Anda di halaman 1dari 14

BAB I

PENDAHULUAN

PPOK (Penyakit Paru Obstruktif Kronik) menurut GOLD (Global Initiative for
Chronic Obstructive Lung Disease) adalah penyakit paru kronik ditandai dengan hambatan aliran
udara di saluran nafas yang tidak sepenuhnya reversibel. Hambatan aliran udara ini bersifat
progresif dan berhubungan dengan respon inflamasi paru terhadap partikel atau gas yang beracun
berbahaya (GOLD, 2010).
Di level global, PPOK adalah masalah kesehatan masyarakat yang signifikan
dan menduduki peringkat keempat sebagai penyebab penyakit dan kematian di dunia, dan pada
tahun 2030 diperkirakan akan menduduki peringkat ketiga sebagai penyebab kematian
(Papadopoulos et al, 2011).
Badan Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan bahwa menjelang tahun 2020 prevalensi
PPOK akan meningkat sehingga sebagai penyebab penyakit tersering peringkatnya meningkat
dari ke-12 menjadi ke-5 dan sebagai penyebab kematian tersering peringkatnya juga meningkat
dari ke-6 menjadi ke-3. Pada 12 negara Asia Pasifik, WHO menyatakan angka prevalensi PPOK
sedang-berat pada usia 30 tahun keatas, dengan rata-rata sebesar 6,3%, dimana Hongkong dan
Singapura dengan angka prevalensi terkecil yaitu 3,5% dan Vietnam sebesar 6,7% (susanti,
2015).
Di Indonesia tidak ada data yang akurat tentang kekerapan PPOK. Pada Survai
Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) 1986 asma, bronkitis kronik dan emfisema menduduki
peringkat ke-5 sebagai penyebab kesakitan terbanyak dari 10 penyebab kesakitan utama. SKRT
Depkes RI 1992 menunjukkan angka kematian karena asma, bronkitis kronik dan emfisema
menduduki peringkat ke - 6 dari 10 penyebab tersering kematian di Indonesia (PDPI, 2003).
Faktor risiko terjadinya PPOK yaitu usia, jenis kelamin, merokok, hiperresponsif saluran
pernapasan, pemaparan akibat kerja, polusi udara, dan faktor genetik. Menurut sebuah pene;itian
prevalensi PPOK berdasarkan usia, jenis kelamin, status merokok, dan jumlah rokok yang
dikonsumsi (Gold 2006).
Prevalensi lebih tinggi pada laki-laki daripada perempuan dan meningkat dengan
bertambahnya usia. PPOK lebih sering pada yang masih aktif merokok dan bekas perokok dan
meningkat dengan banyak jumlah rokok yang dikonsumsi (Ridha, 2013).

1
Semakin banyak jumlah batang rokok yang dihisap dan makin lama masa waktu menjadi
perokok, semakin besar risiko dapat mengalami PPOK. Survei saat ini Indonesia menjadi salah
satu produsen dan konsumen rokok tembakau serta dunia, yaitu China mengkonsumsi 1.643
miliar batang rokok per tahun, Amerika Serikat 451 miliar batang per tahun, Jepang 328 miliar
batang per tahun, Rusia 258 miliar batang per tahun, dan Indonesia 215 miliar batang per tahun.
Merokok merupakan faktor risiko terpenting penyebab PPOK di samping faktor risiko
lainnya seperti polusi udara, faktor genetik dan lain-lainnya (Ridha, 2013).

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Definisi
Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) didefinsikan sebagai penyakit atau gangguan
paru yang memberikan kelainan ventilasi berupa ostruksi saluran pernapasan yang bersifat
progresif dan tidak sepenuhnya reversible. Obstruksi ini berkaitan dengan respon inflamasi
abnormal paru terhadap partikel asing atau gas yang berbahaya.
2.2 Epidemiologi
Pada studi populasi selama 40 tahun, didapati bahwa hipersekresi mukus merupakan
suatu gejala yang paling sering terjadi pada PPOK, penelitian ini menunjukkan bahwa batuk
kronis, sebagai mekanisme pertahanan akan hipersekresi mukus di dapati sebanyak 15-53% pada
pria paruh umur, dengan prevalensi yang lebih rendah pada wanita sebanyak 8-22%.
Badan Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan bahwa menjelang tahun 2020 prevalensi
PPOK akan meningkat sehingga sebagai penyebab penyakit tersering peringkatnya meningkat
dari ke-12 menjadi ke-5 dan sebagai penyebab kematian tersering peringkatnya juga meningkat
dari ke-6 menjadi ke-3. Pada 12 negara Asia Pasifik, WHO menyatakan angka prevalensi PPOK
sedang-berat pada usia 30 tahun keatas, dengan rata-rata sebesar 6,3%, dimana Hongkong dan
Singapura dengan angka prevalensi terkecil yaitu 3,5% dan Vietnam sebesar 6,7%.
Indonesia sendiri belumlah memiliki data pasti mengenai PPOK ini sendiri, hanya Survei
Kesehatan Rumah Tangga DepKes RI 1992 menyebutkan bahwa PPOK bersama-sama dengan
asma bronkhial menduduki peringkat ke- 6 dari penyebab kematian terbanyak di Indonesia
(Susanti, 2015).
2.3 Faktor resiko
PPOK yang merupakan inflamasi lokal saluran nafas paru, akan ditandai dengan
hipersekresi mukus dan sumbatan aliran udara yang persisten. Gambaran ini muncul dikarenakan
adanya pembesaran kelenjar di bronkus pada perokok dan membaik saat merokok di hentikan.
Terdapat banyak faktor risiko yang diduga kuat merupakan etiologi dari PPOK. Faktor-faktor
risiko yang ada adalah genetik, paparan partikel, pertumbuhan dan perkembangan paru, stress
oksidatif, jenis kelamin, umur, infeksi saluran nafas, status sosioekonomi, nutrisi dan
komorbiditas.

3
2.4 Penegakan diagnosis
Gejala dan tanda PPOK sangat bervariasi, mulai dari tanpa gejala, gejala ringan hingga
berat. Penderita mengeluhakan Sesak dan bersuara mengi, batuk berdahak, dan ditandai adanya
riwayat merokok. Pada pemeriksaan fisis tidak ditemukan kelainan jelas dan tanda inflasi paru
diagnosis PPOK di tegakkan berdasarkan :
1. Gambaran klinis
a. Anamnesis
1. Riwayat merokok atau bekas perokok dengan atau tanpa gejala pernapasan
2. Riwayat terpajan zat iritan yang bermakna di tempat kerja
3. Riwayat penyakit emfisema pada keluarga
4. Terdapat faktor predisposisi pada masa bayi atau anak, misalnya berat badan lahir
rendah (BBLR), infeksi saluran napas berulang, lingkungan asap rokok dan polusi udara
5. Batuk berulang dengan atau tanpa dahak.

b. Pemeriksaan fisis
1. Inspeksi
a. Purse-lips breathing (mulut setengah terkatup mencucu)
b. Barrel chest (diameter antero - posterior dan transversal sebanding)
c. Penggunaan otot bantu napas.
d. Hipertropi otot bantu napas
e. Pelebaran sela iga
f. Bila telah terjadi gagal jantung kanan terlihat denyut vena jugularis i leher dan edema
tungkai Penampilan pink puffer atau blue bloater.
2. Palpasi
Pada emfisema fremitus melemah, sela iga melebar.
3. Perkusi
Pada emfisema hipersonor dan batas jantung mengecil, letak diafragma rendah, hepar
terdorong ke bawah.

4
4. Auskultasi
a. suara napas vesikuler normal, atau melemah .
b. terdapat ronki dan atau mengi pada waktu bernapas biasa atau pada ekspirasi paksa
c. ekspirasi memanjang
d. bunyi jantung terdengar jauh
c. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan Spirometri
Pasien yang dicurigai PPOK harus ditegakkan diagnosisnya menggunakan spirometri.
The National Heart, Lung, dan Darah Institute merekomendasikan spirometri untuk semua
perokok 45 tahun atau lebih tua, terutama mereka yang dengan sesak napas, batuk, mengi, atau
dahak persisten.
b. Pemeriksaan Penunjang lain
Spirometri adalah tes utama untuk mendiagnosis PPOK, namun beberapa tes tambahan
berguna untuk menyingkirkan penyakit bersamaan. Radiografi dada harus dilakukan untuk
mencari bukti nodul paru, massa, atau perubahan fibrosis.
Hitung darah lengkap harus dilakukan untuk menyingkirkan anemia atau polisitemia.Hal
ini wajar untuk melakukan elektrokardiografi dan ekokardiografi pada pasien dengan tanda-tanda
corpulmonale untuk mengevaluasi tekanan sirkulasi paru. Pulse oksimetri saat istirahat, dengan
pengerahan tenaga, dan selama tidur harus dilakukan untuk mengevaluasi hipoksemia dan
kebutuhan oksigen tambahan (Susanti, 2015).
2.5 Klasifikasi PPOK
 Ringan – Sedang
Gejala : -Tidak ada gejala waktu istirahat
- gejala ringan pada latihan sedang (mis : berjalan cepat, naik tangga)
- terasa pada latihan / kerja ringan (mis : berpakaian).
Spirometri ringan : VEP > 80%, prediksi VEP/KVP < 75%

Spirometri sedang : VEP 30 - 80% prediksi VEP/KVP < 75%

 Berat
Gejala :- Gejala sedang pada waktu istirahat
-Gejala berat pada saat istirahat
-Tanda-tanda korpulmonal Spirometri : VEP1<30% prediksi VEP1/KVP < 75%

5
2.6 PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan umum PPOK
Tujuan penatalaksanaan :
-Mengurangi gejala
-Mencegah eksaserbasi berulang
-Memperbaiki dan mencegah penurunan faal paru
-Meningkatkan kualiti hidup penderita.

Penatalaksanaan secara umum PPOK meliputi :


1.Edukasi
Edukasi merupakan hal penting dalam pengelolaan jangka panjang pada PPOK stabil.
Edukasi pada PPOK berbeda dengan edukasi pada asma. Karena PPOK adalah penyakit kronik
yang ireversibel dan progresif, inti dari edukasi adalah menyesuaikan keterbatasan aktiviti dan
mencegah kecepatan perburukan fungsi paru. Edukasi PPOK diberikan sejak ditentukan
diagnosis dan berlanjut secara berulang pada setiap kunjungan, baik bagi penderita sendiri
maupun bagi keluarganya. Edukasi dapat diberikan di poliklinik, ruang rawat, bahkan di unit
gawat darurat ataupun di ICU dan di rumah. Secara intensif edukasi diberikan di klinik
rehabilitasi atau klinik konseling, karena memerlukan waktu yang khusus dan memerlukan alat
peraga. Edukasi yang tepat diharapkan dapat mengurangi kecemasan pasien PPOK, memberikan
semangat hidup walaupun dengan keterbatasan aktiviti. Penyesuaian aktiviti dan pola hidup
merupakan salah satu cara untuk meningkatkan kualiti hidup pasien PPOK. Bahan dan cara
pemberian edukasi harus disesuaikan dengan derajat berat penyakit, tingkat pendidikan,
lingkungan sosial, kultural dan kondisi ekonomi penderita (PPDI, 2003). Secara umum bahan
edukasi yang harus diberikan adalah

1.Pengetahuan dasar tentang PPOK


2.Obat - obatan, manfaat dan efek sampingnya
3.Cara pencegahan perburukan penyakit
4.Menghindari pencetus (berhenti merokok)
5.Penyesuaian aktiviti.

6
Edukasi diberikan dengan bahasa yang sederhana dan mudah diterima, langsung ke
pokok permasalahan yang ditemukan pada waktu itu. Pemberian edukasi sebaiknya diberikan
berulang dengan bahan edukasi yang tidak terlalu banyak pada setiap kali pertemuan. Edukasi
merupakan hal penting dalam pengelolaan jangka panjang pada PPOK stabil, karena PPOK
merupakan penyakit kronik progresif yang ireversibel.
2.Obat – obatan

A. Bronkodilator
Diberikan secara tunggal atau kombinasi dari ketiga jenis bronkodilator dan disesuaikan
dengan klasifikasi derajat berat penyakit . Pemilihan bentuk obat diutamakan inhalasi, nebuliser
tidak dianjurkan pada penggunaan jangka panjang. Pada derajat berat diutamakan pemberian
obat lepas lambat (slow release ) atau obat berefek panjang ( long acting).
Macam - macam bronkodilator :
-Golongan antikolinergik
Digunakan pada derajat ringan sampai berat, disamping sebagai bronkodilator juga
mengurangi sekresi lendir
-Golongan agonis beta - 2
Bentuk inhaler digunakan untuk mengatasi sesak, peningkatan jumlah penggunaan dapat
sebagai monitor timbulnya eksaserbasi. Sebagai obat pemeliharaan sebaiknya
digunakan bentuk tablet yang berefek panjang. Bentuk nebuliser dapat digunakan untuk
mengatasi eksaserbasi akut, tidak dianjurkan untuk penggunaan jangka panjang.Bentuk injeksi
subkutan atau drip untuk mengatasi eksaserbasi berat.
-Kombinasi antikolinergik dan agonis beta – 2
Kombinasi kedua golongan obat ini akan memperkuat efek bronkodilatasi, karena
keduanya mempunyai tempat kerja yang berbeda. Disamping itu penggunaan obat kombinasi
lebih sederhana dan mempermudah penderita.
-Golongan xantin
Dalam bentuk lepas lambat sebagai pengobatan pemeliharaan jangka panjang,
terutama pada derajat sedang dan berat. Bentuk tablet biasa atau puyer untuk mengatasi sesak
( pelega napas ), bentuk suntikan bolus atau drip untuk mengatasi eksaserbasi akut.

7
b.Antiinflamasi
Digunakan bila terjadi eksaserbasi akut dalam bentuk oral atau injeksi intravena,
berfungsi menekan inflamasi yang terjadi, dipilih golongan metilprednisolon atau prednison.
Bentuk inhalasi sebagai terapi jangka panjang diberikan bila terbukti uji kortikosteroid positif
yaitu terdapat perbaikan pascabronkodilator meningkat > 20% dan minimal 250 mg.
c. Antibiotik
Antibiotika diberikan bila terdapat infeksi.
d.Antioksidan
Dapat mengurangi eksaserbasi dan memperbaiki kualiti hidup, digunakan N -
asetilsistein. Dapat diberikan pada PPOK dengan eksaserbasi yang sering, tidak dianjurkan
sebagai pemberian yang rutin.

e.Mukolitik
Hanya diberikan terutama pada eksaserbasi akut karena akan mempercepat perbaikan
eksaserbasi, terutama pada bronkitis kronik dengan sputum yang viscous. Mengurangi
eksaserbasi pada PPOK bronkitis kronik, tetapi tidak dianjurkan sebagai pemberian rutin.
3.Terapi oksigen
Pada PPOK terjadi hipoksemia progresif dan berkepanjangan yang menyebabkan
kerusakan sel dan jaringan. Pemberian terapi oksigen merupakan hal yang sangat penting untuk
mempertahankan oksigenasi seluler dan mencegah kerusakan sel baik di otot maupun organ -
organ lainnya.
4.Ventilasi mekanik
Ventilasi mekanik pada PPOK digunakan pada eksaserbasi dengan gagal napas akut,
gagal napas akut pada gagal napas kronik atau pada pasien PPOK derajat berat dengan napas
kronik. Ventilasi mekanik dapat digunakan dirumah sakit di ruang ICU.

5.Nutrisi
Malnutrisi sering terjadi pada PPOK, kemungkinan karena bertambahnya kebutuhan
energi akibat kerja muskulus respirasi yang meningkat karena hipoksemia kronik dan hiperkapni
menyebabkan terjadi hipermetabolisme. Kondisi malnutrisi akan menambah mortaliti PPOK
karena berkolerasi dengan derajat penurunan fungsi paru dan perubahan analisis gas darah.

8
Mengatasi malnutrisi dengan pemberian makanan yang agresis tidak akan mengatasi
masalah, karena gangguan ventilasi pada PPOK tidak dapat mengeluarkan CO2 yang terjadi
akibat metabolisme karbohidrat. Diperlukan keseimbangan antara kalori yang masuk dengan
kalori yang dibutuhkan, bila perlu nutrisi dapat diberikan secara terus menerus (nocturnal
feedings) dengan pipa nasogaster.
Komposisi nutrisi yang seimbang dapat berupa tinggi lemak rendah karbohidrat. Kebutuhan
protein seperti pada umumnya, protein dapat meningkatkan ventilasi semenit oxigen comsumption dan
respons ventilasi terhadap hipoksia dan hiperkapni. Tetapi pada PPOK dengan gagal napas kelebihan
pemasukan protein dapat menyebabkan kelelahan. Gangguan keseimbangan elektrolit sering terjadi pada
PPOK karena berkurangnya fungsi muskulus respirasi sebagai akibat sekunder dari gangguan ventilasi

6.Rehabilitasi
Tujuan program rehabilitasi untuk meningkatkan toleransi latihan dan memperbaiki
kualiti hidup penderita PPOK.

PPOK merupakan penyakit paru kronik progresif dan nonreversibel, sehingga


penatalaksanaan PPOK terbagi atas penatalaksanaan pada keadaan stabil dan penatalaksanaan
pada eksaserbasi akut (PDPI, 2003).

9
2.7 Penatalaksanaan PPOK stabil
Kriteria PPOK stabil adalah :
-Tidak dalam kondisi gagal napas akut pada gagal napas kronik
-Dapat dalam kondisi gagal napas kronik stabil, yaitu hasil analisa gas darah menunjukkan PCO2
< 45 mmHg dan PO2 > 60 mmHg
-Dahak jernih tidak berwarna
-Aktivitas terbatas tidak disertai sesak sesuai derajat berat PPOK (hasil spirometri)
-Penggunaan bronkodilator sesuai rencana pengobatan
-Tidak ada penggunaan bronkodilator tambahan.
Tujuan penatalaksanaan pada keadaan stabil :
-Mempertahankan fungsi paru
-Meningkatkan kualiti hidup
-Mencegah eksaserbasi

Penatalaksanaan PPOK stabil dilaksanakan di poliklinik sebagai evaluasi berkala atau


dirumah untuk mempertahankan PPOK yang stabil dan mencegah eksaserbasi.
1. Penatalaksanaan di rumah
Penatalaksanaan di rumah ditujukan untuk mempertahankan PPOK yang stabil. Beberapa
hal yang harus diperhatikan selama di rumah, baik oleh pasien sendiri maupun oleh
keluarganya. Penatalaksanaan di rumah ditujukan juga bagi penderita PPOK berat yang harus
menggunakan oksigen.
Tujuan penatalaksanaan di rumah :
a.Menjaga PPOK tetap stabil
b.Melaksanakan pengobatan pemeliharaan
c.Mengevaluasi dan mengatasi eksaserbasi dini.
d.Mengevaluasi dan mengatasi efek samping pengobatan
e.Menjaga penggunaan ventilasi mekanik
f.Meningkatkan kualiti hidup.

10
Penatalaksanaan di rumah meliputi :
1. Penggunaan obat-obat dengan tepat Pemili han obat dalam bentuk dishaler, nebuhaler
atau tubuhaler karena penderita PPOK biasanya berusia lanjut, koordinasi neurologis dan
kekuatan otot sudah berkurang. Penggunaan bentuk MDI menjadi kurang efektif.
Nebuliser sebaiknya tidak digunakan secara terus menerus.
2. Terapi oksigen
Dibedakan untuk PPOK derajat sedang dan berat. Pada PPOK derajat sedang oksigen
hanya digunakan bila timbul sesak yang disebabkan pertambahan aktiviti. Pada PPOK
derajat berat yang terapi oksigen di rumah pada waktu aktiviti atau terus menerus selama
15 jam terutama pada waktu tidur. Dosis oksigen tidak lebih dari 2 liter.
3. Rehabilitasi
-Penyesuaian aktiviti
- Latihan ekspektorasi atau batuk yang efektif
(huff cough)
-"Pursed-lips breathing"
-Latihan ekstremiti atas dan otot bantu napas.
4. Evaluasi / monitor terutama ditujukan pada :
-Tanda eksaserbasi
-Efek samping obat
-Dan penggunaan oksigen.

11
12
13
BAB III

KESIMPULAN

Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) didefinsikan sebagai penyakit atau gangguan
paru yang memberikan kelainan ventilasi berupa ostruksi saluran pernapasan yang bersifat
progresif dan tidak sepenuhnya reversible. Obstruksi ini berkaitan dengan respon inflamasi
abnormal paru terhadap partikel asing atau gas yang berbahaya. Setiap tahunnya prevalensi
PPOK cenderung meningkat , dan didapatkan terbanyak pada laki laki yang mempunyai
kebiasaan merokok.

14

Anda mungkin juga menyukai