Anda di halaman 1dari 31

PENDAHULUAN

Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) merupakan salah satu dari tiga
penyebab kematian teratas di seluruh dunia saat ini dan 90 persen (%) kematian
akibat PPOK terjadi di negara berpenghasilan rendah dan menengah. Lebih dari 3
juta orang meninggal karena PPOK pada tahun 2012 dan merupakan 6% dari semua
kematian secara global. Penyakit paru obstruktif kronik merupakan tantangan
kesehatan masyarakat yang penting, dapat dicegah, dan diobati. Penyakit paru
obstruktif kronik merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas kronis di
seluruh dunia. Beban PPOK secara global diproyeksikan meningkat dalam
beberapa dekade mendatang karena paparan terus menerus terhadap faktor risiko
PPOK dan populasi usia lanjut bertambah.1,2
Penyakit paru obstruktif kronik merupakan keadaan yang ditandai dengan
kelemahan kemampuan untuk bernapas yang berakibat hipoksia. Penurunan kadar
oksigen dalam sirkulasi dan jaringan tubuh menyebabkan pasien PPOK memiliki
risiko tinggi terhadap beberapa kondisi serius yang merupakan efek sistemik
dengan manifestasi ekstraparu. Komplikasi sistemik PPOK terdiri dari peradangan
sistemik, penurunan berat badan, gangguan muskuloskeletal, gangguan
kardiovaskular, gangguan hematologi, neurologi, dan psikiatri.1,3

DEFINISI DAN KLASIFIKASI PPOK

Penyakit paru obstruktif kronik adalah penyakit yang umum, dapat dicegah
dan diobati, yang ditandai dengan gejala pernapasan yang persisten dan
keterbatasan aliran udara yang disebabkan oleh kelainan saluran napas dan atau
alveolar yang biasanya disebabkan oleh pajanan yang signifikan terhadap partikel
atau gas berbahaya. Hambatan aliran udara pada PPOK disebabkan oleh kombinasi
penyakit pada saluran napas kecil dan destruksi parenkim paru atau emfisema.
Gejala pernapasan yang paling umum yaitu dispnea, batuk dan atau produksi
sputum.1,3,4
Faktor risiko utama PPOK adalah merokok tembakau, namun paparan
lingkungan lain seperti paparan bahan bakar biomassa dan polusi udara dapat

1
berkontribusi. Faktor pejamu yang mempengaruhi berkembangnya PPOK yaitu
kelainan genetik, perkembangan paru abnormal, dan usia lanjut. Penyakit paru
obstruktif kronik dapat diselingi oleh periode perburukan akut gejala pernapasan
yang disebut eksaserbasi. Eksaserbasi pada sebagian besar pasien berhubungan
dengan penyakit kronis penyerta yang meningkatkan morbiditas dan mortalitas.1–3
Inflamasi kronis menyebabkan terjadinya perubahan struktural berupa
penyempitan saluran napas kecil dan destruksi parenkim paru sehingga
menyebabkan hilangnya perlekatan alveolus ke saluran napas kecil dan
berkurangnya recoil elastis paru. Inflamasi abnornal menyebabkan kerusakan
jaringan parenkim lalu terjadi emfisema dan mengganggu mekanisme pertahanan
sehingga terjadi fibrosis saluran napas kecil. Fibrosis saluran napas kecil
mengakibatkan penurunan kemampuan saluran napas untuk tetap terbuka selama
ekspirasi.3,5,6
Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease (GOLD)
mengklasifikasikan PPOK menjadi empat kelompok berdasarkan beratnya
hambatan aliran udara yaitu GOLD 1, GOLD 2, GOLD 3, dan GOLD 4. Kategori
GOLD 1 ditandai nilai volume ekspirasi paksa detik pertama (VEP1) kurang dari
sama dengan (≤) 80 % prediksi, GOLD 2 apabila nilai VEP1 50 - 79 % prediksi,
GOLD 3 apabila nilai VEP1 30 - 49% prediksi, dan GOLD 4 apabila VEP1 kurang
dari (<) 30% prediksi. Pasien PPOK diklasifikasikan menjadi kelompok A, B, C,
dan D berdasarkan beratnya gejala atau risiko eksaserbasi. Kelompok A memiliki
berat gejala rendah dan risiko eksaserbasi rendah, kelompok B memiliki berat
gejala tinggi dan risiko eksaserbasi rendah, kelompok C memiliki berat gejala
rendah dengan risiko eksaserbasi tinggi, dan kelompok D memiliki berat gejala
tinggi dengan risiko eksaserbasi tinggi. Klasifikasi PPOK digunakan untuk
menentukan terapi.2,7

PATOFISIOLOGI

Inflamasi dan penyempitan saluran napas perifer menyebabkan penurunan


VEP1 dan rasio volume ekspirasi paksa detik pertama dibandingkan dengan
kapasitas vital paru paksa (VEP1/KVP) pasien PPOK. Penurunan VEP1 merupakan

2
gejala khas pada PPOK. Obstruksi jalan napas perifer menyebabkan udara
terperangkap dan mengakibatkan hiperinflasi. Kerusakan parenkim dan emfisema
menyebabkan penurunan pertukaran gas pada pasien PPOK. Pertukaran gas
abnormal menyebabkan hipoksemia dan hiperkapnia. Abnormalitas pertukaran
oksigen dan karbondioksida akan semakin memburuk seiring memberatnya
penyakit.3,8
Hipersekresi mukus pada pasien PPOK menyebabkan batuk produktif
kronik. Hipersekresi mukus terjadi akibat peningkatan jumlah sel goblet dan
pembesaran kelenjar submukosa karena iritasi kronik saluran napas oleh asap rokok
dan agen berbahaya lainnya. Eksaserbasi PPOK dapat dipicu oleh infeksi dan polusi
lingkungan. Eksaserbasi PPOK meningkatkan hiperinflasi dan udara yang
terperangkap sehingga mengurangi aliran udara ekspirasi dan memperburuk sesak
napas.7,9

MANIFESTASI KLINIS PPOK

Gejala pasien PPOK antara lain sesak napas yang bersifat progresif,
diperberat dengan aktivitas atau olahraga, dan bersifat menetap. Batuk pada pasien
PPOK bersifat kronis dan dapat disertai dahak atau batuk kering. Gejala respiratorik
kronik memburuk ketika terjadi episode eksaserbasi. Eksaserbasi adalah kejadian
akut memberatnya gejala suatu penyakit yang membutuhkan perubahan terapi.
Sepertiga kasus eksaserbasi PPOK belum dapat ditentukan faktor pemicunya.
Beberapa faktor pemicu terjadinya eksaserbasi PPOK yaitu infeksi bakteri atau
virus, paparan polusi udara yang dapat menyebabkan spasme bronkus, dan gagal
jantung.1,9
Temuan pada pemeriksaan fisik pasien PPOK adalah mengi. Mengi tidak
selalu timbul pada pasien PPOK. Mengi tidak selalu berhubungan dengan derajat
obstruksi saluran napas yang terjadi. Ekspirasi yang memanjang dapat ditemukan
pada pasien PPOK dan berhubungan dengan derajat penyakit. Kondisi PPOK berat
dapat ditemukan barrel-shaped chest atau bentuk dada seperti tong, penurunan
suara napas, suara jantung yang menjauh, hipersonor pada perkusi akibat
hiperinflasi, dan dapat ditemukan posisi tripod. Posisi tripod yaitu posisi pasien

3
condong ke depan dengan menyangga badan menggunakan tangan. Posisi tripod
bertujuan mempermudah otot bantu pernapasan di leher dan dada bagian atas untuk
dapat meningkatkan aliran udara.3,9
Penilaian gejala pada pasien PPOK dapat dilakukan dengen metode
kuesioner. Kuesioner oleh Modified British Medical Research Council (mMRC)
menilai derajat sesak napas pasien PPOK. Kuesioner mMRC juga dapat digunakan
untuk mengukur status kesehatan dan memprediksi resiko mortalitas akibat PPOK.
Kuesioner lain yang dapat digunakan seperti Chronic Respiratory Questionnaire
(CRQ), St. George’s Respiratory Questionnaire (SGRQ), COPD Assessment Test
(CAT), dan COPD Control Questionnaire (The CCQ). Kuesioner bermanfaat
sebagai alat bantu untuk menegakkan diagnosis PPOK.1,2
Penegakan diagnosis pasien PPOK memerlukan anamnesis, pemeriksaan
fisik, dan pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan penunjang spirometri bertujuan
untuk menilai fungsi paru. Spirometri bermanfaat untuk melihat keterbasan aliran
udara pada saluran napas. Pasien diminta untuk menghembuskan napas secara
paksa kemudian VEP1 dibandingkan dengan jumlah total udara yang dihembuskan
pada saat ekspirasi atau KVP. Penurunan rasio VEP1 dibandingkan KVP digunakan
untuk menegakkan diagnosis PPOK. Tingkat keparahan obstruksi aliran udara di
saluran napas ditandai dengan penurunan VEP1. Hasil spirometri pasien PPOK
pada grafik aliran dengan volume udara menampilkan bentuk konkaf, sedangkan
pada grafik aliran udara dengan waktu menampilkan adanya perpanjangan waktu
ekspirasi.1,2,9

EFEK SISTEMIK PPOK

PPOK sering berkomorbid dengan penyakit lain yang memiliki dampak


signifikan pada prognosis. Beberapa komorbid muncul secara independen dari PPOK
atau secara kausal, baik dengan faktor risiko bersama atau oleh satu penyakit yang
meningkatkan risiko atau memperberat keparahan yang lain. Berbagai penelitian
terbaru memberikan bukti bahwa PPOK sering dikaitkan dengan kelainan
ekstrapulmoner yang signifikan yaitu efek sistemik PPOK. Efek ekstrapulmoner
ini meliputi peradangan sistemik, kelainan nutrisi dan penurunan berat badan,

4
disfungsi otot rangka serta efek organ tambahan. Klinisi harus menyadari bahwa
efek sistemik ini relevan secara klinis dan dapat berkontribusi untuk
pemahaman dan pengelolaan penyakit yang lebih baik. Efek sistemik PPOK
dijelaskan pada tabel satu. 4,10,11
Tabel 1. Efek sistemik penyakit paru obstruktif kronis
Inflamasi sistemik
Kelainan nutrisi dan penurunan berat badan
Disfungsi otot rangka
Efek sistemik potensial lainnya
 Efek kardiovaskular
 Efek sistem saraf
 Efek osteoskeletal
Dikutip dari (10)

INFLAMASI SISTEMIK PADA PPOK


Inflamasi sistemik berperan penting dalam patogenesis komorbiditas pada
PPOK. Penyebab awal inflamasi sistemik pada PPOK belum banyak diketahui. Ada
beberapa mekanisme yang bekerja pada inflamasi sistemik PPOK. Mekanisme
pertama yaitu merokok tembakau memiliki potensi untuk berkontribusi pada
peradangan sistemik PPOK. Mekanisme potensial kedua adalah proses inflamasi di
paru pada PPOK merupakan sumber inflamasi sistemik. Pasien dengan PPOK
eksaserbasi mengalami peningkatan sitokin, kemokin dan protein fase akut dalam
sirkulasi, atau sebagai kelainan pada sel yang bersirkulasi. Respons inflamasi paru
ditandai dengan peningkatan jumlah neutrofil, makrofag, dan limfosit T dengan
dominasi CD8z. Peningkatan konsentrasi sitokin proinflamasi seperti leukotrien
B4, interleukin (IL)-8, dan tumor necrosis factor (TNF)-alpha (α) juga terdeteksi
pada respon inflamasi paru serta pada stres oksidatif yang disebabkan oleh inhalasi
oksidan asap tembakau dan atau sel inflamasi teraktivasi yang disebutkan di
atas.3,7,12
Mekanisme potensial yang ketiga adalah bahwa beberapa kelainan yang
dijelaskan pada sirkulasi perifer pasien PPOK lebih berperan sebagai penyebab
dibandingkan sebagai konsekuensi dari PPOK. Peningkatan ekspresi permukaan
beberapa molekul adhesi neutrofil (CD11b) dan penurunan regulasi subunit protein
G (Gαs) merupakan kelainan pada sirkulasi perifer pasien PPOK. Peradangan

5
sistemik berhubungan dengan percepatan penurunan fungsi paru dan meningkat
selama eksaserbasi.7,13

Peradangan Saluran Napas Akibat Merokok


Merokok dalam jangka panjang menyebabkan peradangan kronis pada
saluran napas. Sel epitel dan sel inflamasi saluran napas awalnya melepaskan
berbagai macam sitokin, kemokin, dan mediator proinflamasi lain yang mengarah
ke reaksi imun berikutnya sebagai respons terhadap paparan asap tembakau atau
iritan lingkungan lainnya. Asap tembakau mengaktifkan makrofag dan sel epitel di
saluran napas melalui aktivasi Toll Like Receptor (TLR) serta stres oksidatif yang
menyebabkan pelepasan beberapa faktor kemotaksis. Neutrofil dan monosit yang
direkrut, limfosit T, serta sel epitel melepaskan beberapa mediator inflamasi. Sel
inflamasi dan sel epitel melepaskan protease yang menyebabkan destruksi
parenkim dan hipersekresi mukus di saluran napas dan beberapa melepaskan
mediator fibrogenik yang menyebabkan fibrosis saluran napas kecil. Cytotoxic T
Lymphocyte (CTL) terlibat dalam kerusakan dinding alveolus. Aktivasi
inflammasome dan disfungsi fagositosis makrofag alveolar dapat menyebabkan
kolonisasi bakteri.3,7,14
Stres oksidatif merupakan mekanisme kunci lain dari peradangan saluran
napas. Asap tembakau mengandung banyak radikal bebas, reactive oxygen species
(ROS), dan banyak bahan kimia beracun dalam fase partikulat dan gasnya. Asap
tembakau berpotensi secara langsung menginduksi kerusakan oksidatif pada paru
ketika kadarnya cukup tinggi untuk diatasi pertahanan antioksidan. Oksidan
mempercepat peradangan dengan mengaktifkan faktor transkripsi reduksi-oksidasi,
dan nuclear factor kappa beta (NF-κB) yang mempromosikan ekspresi beberapa
gen inflamasi seperti IL-8 dan TNF-α. Oksidan mengaktifkan inflammasome
nucleotide-binding domain-like receptor protein 3 (NLRP3) yang berkontribusi
pada pematangan sitokin proinflamasi termasuk IL-1β dan IL-18, serta
menyebabkan ketidakseimbangan antara protease dan antiprotease dengan
menonaktifkan protease inhibitor yaitu α-1-anti-tripsin. Sitokin IL-1β dan TNF-α
memiliki kapasitas untuk mengaktifkan NF-κB dan membentuk umpan balik positif

6
untuk memperburuk peradangan. Pengaruh tembakau dalam perkembangan PPOK
dapat dilihat pada gambar satu. 3,7,14

Gambar 1. Potensi jalur dan mekanisme asap tembakau dalam perkembangan


peradangan saluran napas pada PPOK.
Keterangan : TH1 = T helper 1; CTL = Cytotoxic T Limphocyte; TH17
aaaaaaaaaaaa = T helper 17.
Dikutip dari (3)
Salah satu hipotesis klasik untuk menjelaskan perkembangan inflamasi
sistemik pada PPOK adalah teori spillover. Konsep spillover menunjukkan bahwa

7
reaksi inflamasi awal bersifat lokal, tetapi setelah itu peningkatan mediator
inflamasi dapat menyebar dari paru yang meradang ke dalam sirkulasi untuk
menyebabkan inflamasi sistemik. Kadar plasma TNF-α, reseptor TNF terlarut, IL-
6, dan IL-8 yang meningkat pada pasien PPOK mempercepat reaksi imun
berikutnya di organ ekstrapulmoner. Hipotesis spillover pada perkembangan PPOK
dapat dilihat pada gambar dua.3,6,11

Gambar 2. Hipotesis spillover pada perkembangan PPOK.


Keterangan : IL-6 = Interleukin 6; IL-1β = Interleukin 1 beta; TNF-α
= Tumor necrotizing factor-alfa; CRP = C-reactive
aprotein.
Dikutip dari (3)

Efek Luar Paru dari Paparan Asap Tembakau


Penelitian Wouters et al. tahun 2009 di Maastricht menunjukkan tidak ada
korelasi dalam kadar TNF-α, reseptor TNF terlarut, atau IL-8 antara sputum dan
plasma di antara pasien PPOK. Penelitian Echave-Sustaeta tahun 2014 di di Madrid
menunjukkan bahwa kondisi komorbiditas tidak secara langsung berhubungan
dengan derajat keparahan PPOK. Pasien dengan PPOK berat menunjukkan
peningkatan inflamasi saluran napas tetapi tidak selalu mengalami inflamasi
sistemik, dan pasien dengan penyakit kardiovaskular yang berhubungan dengan
merokok tidak selalu mengalami PPOK. Komorbiditas ekstrapulmonal mungkin

8
melibatkan proses inflamasi yang disebabkan oleh paparan asap tembakau yang
tidak tergantung pada PPOK.3,7,15
Asap tembakau mengandung ribuan bahan kimia, radikal bebas, dan ROS
di dalam gas dan partikelnya. Zat beracun disimpan di alveoli paru dan dapat
dengan cepat berdifusi ke dalam sirkulasi sistemik. Asap tembakau dapat
menyebabkan stres oksidatif dan respon imun pada sel endotel vaskular dan sel
inflamasi yang direkrut seperti di saluran napas dan efek ini dapat memicu produksi
mediator proinflamasi sistemik yang menimbulkan kerusakan pada organ target.3,7
Radikal bebas dan ROS yang dihasilkan dari sumber eksogen dan endogen
memiliki peran sentral dalam penciptaan kondisi aterotrombotik, disfungsi endotel,
peradangan di dinding pembuluh darah, lingkungan protrombotik antifibrinolitik,
dan peroksidasi lipid. Studi klinis oleh Chandra et al. tahun 2016 di Pittsburgh
menunjukkan bahwa keterbatasan aliran udara dan disfungsi endotel dikaitkan
dengan peningkatan aterosklerosis, tetapi kemungkinan tidak terkait dan saling
independen. Aterosklerosis akibat rokok dimulai dengan inflamasi saluran napas
akibat rokok dan berakhir dengan penyakit aterosklerotik.9,15
Studi eksperimental terbaru oleh Wu et al. tahun 2015 di Oklahoma,
menunjukkan bahwa asap tembakau mempengaruhi sensitivitas dan sekresi insulin.
Nikotin yang dihirup terbukti mengganggu kaskade pensinyalan insulin dan
meningkatkan lipolisis dalam jaringan adiposa melalui peningkatan stres oksidatif.
Nikotin mengaktifkan mammalian target of rapamycin (mTOR) di otot rangka,
meningkatkan kadar TNF-α, kortisol, hormon seks yang bersirkulasi, dan
menurunkan kadar adiponektin. Penurunan kadar adinopektin menjelaskan
hubungan antara nikotin dan penurunan sensitivitas insulin. Asap tembakau terbukti
menekan sekresi insulin karena perubahan fungsi pankreas, sehingga perokok
kronis memiliki kecenderungan mengalami resisten insulin dan berisiko tinggi
terkena diabetes.3,13,16
Hubungan antara inflamasi sistemik dan metabolisme tulang telah
diidentifikasi. Peningkatan IL-1, IL-6, dan TNF-α yang merupakan mediator
potensial untuk inflamasi pada saluran napas dan organ ekstrapulmoner pada PPOK
menstimulasi resorpsi tulang dan menghambat pembentukan tulang. Proses

9
stimulasi resorpsi dan penghambatan pembentukan tulang berhubungan dengan
tingginya prevalensi osteoporosis pada pasien dengan PPOK. 4,11

KELAINAN NUTRISI DAN PENURUNAN BERAT BADAN PADA PASIEN


PPOK

Malnutrisi dan kehilangan massa otot berdampak langsung pada fungsi otot
pernapasan, kapasitas latihan, dan jaringan paru. Penuaan merupakan salah satu
faktor yang berkontribusi terhadap penurunan asupan makanan pada pasien PPOK
karena adanya kehilangan rasa, gigi yang buruk, disfagia, nafsu makan yang buruk,
kemampuan mengunyah dan menelan yang buruk, masalah sosial, kemiskinan, dan
ketidakmampuan untuk makan sendiri. Penurunan berat badan terjadi ketika asupan
dan konsumsi kalori tidak seimbang dan terjadi pada sekitar 50% pasien dengan
PPOK berat, serta terlihat pada sekitar 10-15% pasien dengan penyakit ringan
hingga sedang. Penurunan berat badan sebagian besar disebabkan oleh hilangnya
massa otot rangka, sedangkan kehilangan massa lemak berkontribusi pada tingkat
yang lebih rendah.4,17,18
Berbagai penelitian menggambarkan kondisi kelainan nutrisi pada pasien
PPOK yaitu perubahan asupan kalori, tingkat metabolisme basal, dan komposisi
tubuh. Ekspresi klinis yang paling jelas dari kelainan nutrisi adalah penurunan berat
badan. Penelitian Ingadottir et al. tahun 2008 di Reykjavik, untuk mengevaluasi
malnutrisi dan fungsi paru menunjukkan bahwa insiden malnutrisi meningkat
seiring dengan meningkatnya keparahan penyakit pasien. Prevalensi malnutrisi
pada pasien PPOK sebesar 21%, dan 57% pasien PPOK berisiko malnutrisi.
Penelitian Benedik et al. tahun 2011 di Afrika Selatan menyelidiki status malnutrisi
pada 108 pasien PPOK ditemukan prevalensi malnutrisi sebesar 14% dan 55%
pasien berisiko malnutrisi. Penelitian Collins et al. tahun 2018 di Boston
menyelidiki pengaruh deprivasi terhadap risiko malnutrisi pada 424 pasien PPOK
dengan hasil prevalensi malnutrisi ditemukan sebesar 22%.18–20
Status gizi berkaitan dengan fungsi pernapasan pada PPOK melalui
interaksi yang kompleks antara faktor lingkungan dan genetik. Faktor pola makan
memainkan peran dalam penyakit PPOK. Asupan antioksidan harian merupakan

10
hal yang perlu dievaluasi karena stres oksidatif meningkat pada pasien dengan
PPOK.18,21
Beberapa faktor pola makan terlibat dalam perkembangan PPOK termasuk
kekurangan vitamin antioksidan, konsumsi asam lemak omega-3 yang lebih rendah,
magnesium, dan selenium. Defisiensi vitamin D pada pasien PPOK dikaitkan
dengan FEV1 yang lebih rendah, peningkatan risiko PPOK eksaserbasi akut, dan
rawat inap. Pasien PPOK mengalami penurunan kadar vitamin B6, asam folat, dan
vitamin A dibandingkan dengan perokok tanpa PPOK. Studi oleh Paiva et al. tahun
1996 di Sao Paulo, Brasil tentang suplementasi vitamin A menunjukkan
peningkatan fungsi paru pada pasien dengan PPOK ringan dan kadar serum vitamin
A normal.18,22
Kehilangan massa otot pada PPOK disebabkan oleh ketidakseimbangan
antara sintesis dan pemecahan protein. Anabolisme dan katabolisme asam amino
berhubungan dengan status nutrisi sistematis, respon inflamasi, dan stres oksidatif.
Pasien cachectic dengan PPOK menunjukkan kenaikan tingkat proteolisis dan
peningkatan autophagy. Branch chain amino acid (BCAA) seperti isoleusin, leusin,
dan valin dapat meningkatkan anabolisme protein dan mempertahankan
homeostasis glukosa di otot rangka. Kadar BCAA yang menurun dapat
mengindikasikan risiko terjadinya malnutrisi protein. Pasien PPOK dengan berat
badan kurang mengalami penurunan konsentrasi BCAA akibat dari
hipermetabolisme dan kelemahan otot pernapasan yang disebabkan oleh
eksaserbasi pada PPOK. Tingkat fenilalanin pasien PPOK mencerminkan
penurunan sintesis dan pemecahan protein sistematis.19,23
Pasien dengan PPOK stabil terjadi peningkatan laju metabolisme karena
dinamika pernapasan yang abnormal, peradangan sistemik kronis, dan obat-obatan
seperti β(beta)-2 agonis yang meningkatkan laju metabolisme. Kehilangan berat
badan dan massa lemak terjadi ketika pengeluaran energi melebihi ketersediaan
energi. Pasien PPOK yang mengalami penurunan berat badan menunjukkan
peningkatan pengeluaran energi istirahat dan peningkatan pergantian protein
seluruh tubuh. Peningkatan ventilasi karena mekanik paru abnormal membutuhkan
adenosine triphosphate (ATP) yang lebih tinggi dari kontraksi otot yang

11
berkontribusi pada penurunan efisiensi mekanik latihan ekstremitas bawah dan
peningkatan kebutuhan energi harian pasien PPOK. Berdasarkan kehilangan massa
lemak atau penurunan free fat mass index (FFMI), kelainan nutrisi pada PPOK
dikategorikan menjadi empat jenis yaitu semistarvation, atrofi otot, cachexia, dan
tidak ada kelainan. Semistarvation yaitu pasien dengan indeks massa tubuh (IMT)
rendah dengan FFMI normal atau di atas normal, atrofi otot yaitu pasien dengan
IMT normal atau di atas normal dengan FFMI rendah, cachexia yaitu pasien dengan
IMT rendah dan FFMI rendah, serta tidak ada kelainan yaitu pasien dengan IMT
normal dan FFMI normal.18,19,23

DISFUNGSI OTOT RANGKA

Disfungsi otot terjadi apabila terdapat gangguan yang menyebabkan


hilangnya massa otot disertai dengan gangguan fungsional dan metabolik. Otot
tubuh manusia dikatakan normal apabila memiliki masa yang cukup sehingga dapat
digunakan secara fungsional dalam kekuatan dan endurance otot. Kekuatan otot
merupakan kemampuan untuk menghasilkan gaya yang maksimal pada satu waktu
misalnya mengangkat beban. Endurance otot merupakan kemampuan untuk
menghasilkan gaya dalam jangka waktu tertentu yang dinilai berdasarkan jumlah
nutrisi didalamnya yaitu glikogen. Penghantaran dan penggunaan oksigen oleh otot
mempengaruhi endurance otot. Seseorang dikatakan memiliki disfungsi otot
apabila terdapat salah satu dari kehilangan kekuatan otot atau endurance otot dan
disertai fatigue. Fatigue adalah hilangnya fungsi kontraktilitas otot sementara dan
dapat membaik dengan istirahat.4,24,25

Gangguan Struktur dan Fungsi Otot


Otot berkerja normal apabila memiliki fungsi metabolik yang berjalan
dengan baik. Sel otot dapat mengubah energi kimiawi menjadi energi mekanik yang
berhubungan dengan penggunaan oksigen dan pembentukan ATP. Fungsi
metabolik otot dipengaruhi oleh myosin heavy chain (MHC) yang dihasilkan oleh
jaringan otot. Myosin heavy chain tipe satu diinervasi oleh motoneuron lambat yang
memiliki resistensi terhadap kelelahan otot dan bergantung kepada metabolisme

12
oksidatif. Myosin heavy chain tipe dua diinervasi oleh motoneuron cepat yang
bergantung kepada metabolisme anaerobik dan lebih mudah untuk terjadi
kelelahan.24,26
Disfungsi otot pada PPOK berawal dengan adanya faktor resiko yang
menyebabkan hilangnya massa otot seperti imobilisasi, malnutrisi, merokok,
inflamasi sistemik, eksaserbasi, hipoksemia, hiperkapnia, dan penggunaan
kortikosteroid. Mekanisme disfungsi otot pada PPOK dibagi menjadi dua yaitu
mekanisme instrinsik dan ekstrinsik. Mekanisme intrinsik terjadi di neuromuskular
yang menyebabkan gangguan secara anatomi, fungsional, dan metabolik otot.
Mekanisme ekstrinsik terjadi di struktur dinding dada dan diafragma. 26,27
Eksaserbasi dan PPOK derajat berat menyebabkan inflamasi yang bersifat
sistemik. Inflamasi di paru akan menyebabkan perpindahan sitokin proinflamasi
seperti IL-6, TNF-α, dan IL-1β ke pembuluh darah sehingga terjadi inflamasi
sistemik. Peningkatan IL-6 menyebabkan kelemahan otot rangka. Tumor necrosis
factor-α dan IL-1β meningkat pada pasien PPOK dengan cachexia. Peningkatan
TNF-α menyebabkan atrofi dan kelemahan otot rangka. Peningkatan sitokin di
sirkulasi sistemik menyebabkan peningkatan protein fase akut di aliran darah.
Protein fase akut yaitu C-reactive protein (CRP), serum amiloid A, dan surfaktan
protein D. Peningkatan CRP berhubungan dengan penurunan kapasitas olahraga.7,24
Pengecilan otot adalah ciri khas PPOK sehingga evaluasi kualitas dan
kuantitas otot sangat penting. Aktivitas fisik yang kurang merupakan salah satu
faktor yang terlibat dalam hilangnya fungsi otot secara dini pada PPOK. Pengecilan
otot selanjutnya dapat menurunkan aktivitas fisik, toleransi latihan, dan kualitas
hidup. Kehilangan massa otot lazim terjadi pada pasien PPOK sebagai akibat dari
penyakit dan proses penuaan.26,27
Gangguan anatomi otot mengacu pada ukuran dan kandungan protein
totalnya yang dapat berkurang karena variabilitas fenotipik, jenis kelamin wanita,
dan faktor lain yang bukan patologis. Anatomi otot juga dapat berubah secara
patologis pada keadaan atrofi, cachexia, atau sarcopenia yang mungkin terjadi pada
PPOK. Atrofi atau pengecilan otot adalah istilah umum yang mendefinisikan
pengurangan ukuran serat otot yang merupakan tanda katabolisme protein.

13
Cachexia adalah sindrom metabolik spesifik yang terkait dengan penyakit
mendasar yang sedang berlangsung, ditandai dengan pengecilan otot dan penurunan
berat badan. Sarcopenia merupakan bentuk spesifik dari hilangnya otot yang terjadi
pada usia lanjut yang tidak terkait dengan penurunan berat badan. Patofisiologi
gangguan struktur dan fungsi otot pada PPOK ditampilkan pada gambar tiga.24,26,27

Gambar 3. Patofisiologi gangguan struktur dan fungsi otot pada PPOK.


Keterangan : CO2 = Carbon dioxide; PPOK = penyakit paru obstruktif
kronik.
Dikutip dari (24)

EFEK SISTEMIK POTENSIAL LAINNYA

Efek Kardiovaskular
Kehadiran penyakit kardiovaskular dikaitkan dengan tingginya insiden
kematian pada pasien PPOK. Cardiovascular disease (CVD) seperti penyakit
jantung iskemik, hipertensi, gagal jantung, fibrilasi atrium, dan penyakit pembuluh
darah otak adalah komorbiditas utama pada PPOK. Hipoksia menyebabkan
vasodilatasi pada arteri sistemik dan vasokonstriksi pada pembuluh darah paru.
Hipoksia kronis mempengaruhi pembuluh darah paru melalui vasokonstriksi tonik,

14
remodeling pembuluh darah dengan hiperplasia mio intimal dari anyaman
pembuluh darah paru, dan disfungsi endotel arteri pulmonalis yang diperburuk oleh
sel inflamasi lokal. Gas trapping selama latihan menyebabkan kompresi arteri
pulmonalis sehingga menimbulkan hipertensi pulmonal yang diinduksi oleh
olahraga. Jalur biologis dan mekanisme yang menghubungkan PPOK dan penyakit
kardiovaskular dapat dilihat pada gambar empat.28,29

Gambar 4. Jalur biologis dan mekanisme yang menghubungkan PPOK dan penyakit
aakardiovaskuler.
Keterangan : TNF-alfa = tumor necrosis factor-alfa; IL6 = Interleukin
6; CRP = C- reactive protein; COPD = Chronic
obstructive pulmonary disease; CVD = Cardiovascular
disease; MI = myocard infark; PAD = Peripheral artery
disease; LABA = long acting beta-adrenergik agent;
LAMA = long acting muscuranic agent; ACEI =
angiotensin converting enzyme inhibitor.
Dikutip dari (28)
Penelitian Engstrom et al. tahun 2010 di London melaporkan bahwa
penurunan sedang VEP1 merupakan faktor risiko independen untuk CVD dan
dikaitkan dengan peningkatan insiden gagal jantung pada individu berusia paruh
baya. Terdapat hubungan linier dari penurunan rasio FEV1/forced vital capacity
(FVC) dan peningkatan emfisema dengan volume akhir diastolik ventrikel kiri,

15
stroke volume (SV) dan curah jantung yang berkontribusi pada peningkatan risiko
komorbiditas kardiovaskular pada pasien PPOK. 13,28,29
Coronary Artery Disease dan Aterosklerosis
Penyakit paru obstruktif kronik dan coronary artery disease (CAD)
memiliki faktor risiko yang sama yaitu paparan asap rokok, usia yang lebih tua, dan
sedentarisme. Keterbatasan aliran udara dikaitkan dengan pembentukan plak
aterosklerotik di arteri karotis dan peningkatan kadar kalsium arteri koroner. Asap
tembakau merupakan faktor risiko penting untuk aterosklerosis dan PPOK.
Penyakit paru obstruktif kronik dan CAD ditandai dengan peradangan kronis dan
koagulopati. Patogenesis penyakit jantung iskemik dan aterosklerosis pada pasien
dengan PPOK melibatkan proses inflamasi sistemik. Aterosklerosis arteri koroner
ditandai dengan disfungsi endotel dan proses inflamasi pada plak ateroma dengan
adanya makrofag, sel T, peningkatan sitokin proinflamasi, dan CRP. 9,29
Mediator kunci dari inflamasi berkelanjutan pada PPOK adalah peningkatan
kadar CRP yang mempertahankan penyempitan bronkus dan meningkatkan risiko
penyakit koroner. Peningkatan kadar CRP menandakan hubungan antara PPOK dan
peningkatan risiko kejadian koroner, peningkatan pengaturan produksi sitokin
peradangan, pengaktifan sistem komplemen, peningkatan ambilan low density
lipoprotein (LDL) oleh makrofag, dan membantu perlekatan leukosit pada
endotelium pembuluh darah sehingga memperluas reaksi peradangan di dinding
pembuluh darah. C-reactive protein berinteraksi dengan sel endotel dan
merangsang produksi IL-6, monocyte chemoattractant protein-1 (MCP-1) dan
endotelin-1 yang mengubah fungsi endotelium pembuluh darah. 4,17,30,31
Gagal Jantung
Gagal jantung kongestif adalah salah satu penyebab utama rawat inap dan
kematian pasien PPOK dan memperburuk prognosis. Penyakit paru obstruktif
kronik merupakan faktor risiko independen untuk kematian pada pasien dengan
gagal jantung kongestif. Gagal jantung kongestif dan PPOK memperburuk
disfungsi ventrikel kanan bila dibandingkan dengan pasien tanpa PPOK. Disfungsi
ventrikel kiri terjadi pada 20% pasien PPOK. Fungsi ventrikel kiri dapat terganggu

16
pada pasien PPOK akibat efek pada otot polos jantung yang serupa dengan yang
diamati pada otot rangka. 29,30
Gagal jantung kongestif dan PPOK memiliki faktor risiko yang sama.
Penelitian Rutten et al. tahun 2006 di Utrecht, Belanda menunjukkan bahwa > 20%
pasien PPOK memiliki gagal jantung yang tidak terdiagnosis. Penelitian Huiart et
al. tahun 2005 di sepuluh pusat klinis di Amerika Serikat dan Kanada melaporkan
prevalensi gagal jantung sebesar 20-30% dan dapat menjadi penyebab 5% dari
keseluruhan kematian pada pasien PPOK.4,13
Disfungsi diastolik dan sistolik ventrikel kanan dan kiri sering terjadi pada
pasien PPOK. Kerusakan parenkim paru dan vasokonstriksi hipoksia yang
mengakibatkan peningkatan resistensi pembuluh darah paru dapat menyebabkan
gangguan langsung pada ventrikel kanan. Dilatasi dan hipertrofi ventrikel kanan
sebagai akibat dari peningkatan tekanan paru dapat menyebabkan perpindahan
septum ke ventrikel kiri kemudian mengganggu pengisian ventrikel kiri, SV dan
curah jantung.3,28
Pulmonal Artery Hypertension
Pulmonal artery hipertension (PAH) adalah komplikasi lain pada PPOK.
Pulmonal artery hipertension menandai awal dari efek PPOK pada sirkulasi paru.
Peningkatan beban kerja pada jantung yang diinduksi oleh PAH pada akhirnya
menyebabkan gagal jantung kanan dengan hipertrofi ventrikel kanan dan pelebaran
bilik jantung kanan. Pulmonal artery hipertension dan gagal jantung kanan pada
pasien PPOK merupakan konsekuensi dari remodeling arteri pulmonalis.
Remodeling ini terjadi pada PPOK karena disfungsi endotel, kelainan pembekuan,
vasokonstriksi hipoksia, kerusakan anyaman kapiler paru, infiltrasi inflamasi pada
dinding pembuluh darah, dan regangan karena redistribusi aliran darah. 28,32
Penelitian Chaouat et al. tahun 2008 di Québec, Canada memperkirakan
bahwa prevalensi PAH pada pasien PPOK sebesar 40%. Penelitian Thabut et al.
tahun 2005 di Bourges, Perancis melaporkan bahwa 50% pasien PPOK berat yang
menjalani lung volume reduction surgery (LVRS) atau transplantasi paru memiliki
PAH sedang hingga berat. Peradangan pada pembuluh darah paru pada pasien
PPOK derajat ringan hingga berat memiliki sel yang sama seperti yang terlihat pada

17
saluran napas perifer dan parenkim yaitu makrofag, limfosit T-CD8+, dan
neutrofil.28,30,33
Gejala klinis PAH saat istirahat jarang terjadi pada pasien dengan stadium
ringan hingga sedang. Pasien PPOK yang mengalami PAH mengeluh sesak napas
yang lebih intens, desaturasi yang lebih besar selama latihan, dan pembatasan
aktivitas fisik yang lebih mendalam.13,32
Aritmia Jantung
Aritmia jantung sering terjadi pada pasien PPOK. Prevalensi aritmia pada
populasi pasien PPOK sebesar 10-15% . Aritmia jantung pada pasien PPOK stabil
terdeteksi sebesar 84% pada pemantauan EKG saat latihan dan 20% pada EKG
standar saat istirahat. Jenis aritmia yang terjadi pada pasien dengan PPOK
dipengaruhi oleh status klinis pasien. Penelitian Matarese et al. tahun 2019 di Italia
melaporkan aritmia supraventrikular seperti takikardia supraventrikular, takikardia
atrium, fibrilasi atrium, dan takikardia umum terjadi pada pasien PPOK.28,34
Fibrilasi atrium dan PPOK adalah dua morbiditas yang sering muncul
bersamaan. Penelitian Bhatt tahun 2013 di Birmingham menunjukkan bahwa
kehadiran dan berat ringannya PPOK dikaitkan dengan peningkatan kemungkinan
fibrilasi atrium. Kehadiran dan tingkat berat ringannya PPOK berhubungan dengan
peningkatan risiko fibrilasi atrium, atrial flutter, dan takikardia ventrikel.
Penurunan FEV1 dan PPOK dikaitkan dengan insiden fibrilasi atrium yang lebih
tinggi. Penelitian oleh Zoni tahun 2014 di Genoa, Italia melaporkan bahwa
prevalensi PPOK pada pasien dengan fibrilasi atrium mencapai 18%. 28,30
Hipoksemia diurnal dan nokturnal, perubahan dalam keseimbangan asam-
basa, minum obat tertentu, dan interaksi antara obat simpatomimetik, turunan
xanthine, serta digitalis dapat berperan dalam meningkatkan kejadian aritmia
jantung pada pasien PPOK. Inflamasi sistemik dan mitochondrial oxidative stress
adalah dasar dari timbulnya PPOK dan aritmia yang secara mekanis menyebabkan
disfungsi ventrikel, mempengaruhi fungsi diastolik, dan menyebabkan kelainan
EKG. Mekanisme yang bertanggung jawab untuk fibrilasi atrium pada pasien
PPOK dapat dilihat pada gambar lima.28,34

18
Gambar 5. Mekanisme fibrilasi atrium pada PPOK.
Keterangan : LV = left ventricular; Qtc = interval Q; HIF-1 = hypoxia
inducible factor 1; MMP = matrix metaloproteinase;
TGF-B1 = transforming growth factor β1; VEGF =
vascular endhotelial growth factor; β-agonis = beta
agonis.
Dikutip dari (34)
Kekakuan Arteri Dan Fungsi Endotel
Kekakuan arteri sebagai akibat penyakit vaskular merupakan prediktor yang
baik untuk kejadian kardiovaskular dan dapat dinilai secara non-invasif dengan
mengukur kecepatan gelombang nadi aorta atau tonometri arteri radialis. Kekakuan
arteri mencerminkan mekanisme patologis yang umum seperti kelainan pada
jaringan ikat atau peradangan, dan merupakan respons terhadap peradangan
sistemik yang terkait dengan PPOK. Kekakuan arteri meningkat pada pasien PPOK
dibandingkan dengan perokok normal dan bukan perokok dan tidak berhubungan
dengan keparahan penyakit atau konsentrasi CRP yang bersirkulasi. Peningkatan
kekakuan arteri dapat menyebabkan terjadinya hipertensi sistemik dan peningkatan
risiko penyakit kardiovaskular pada pasien PPOK. 29,32
Salah satu mekanisme yang terlibat pada kekakuan arteri adalah gangguan
produksi nitric oxide (NO) endotel. Pasien PPOK dengan emfisema memiliki
gangguan vasodilatasi yang mencerminkan gangguan umum pada fungsi endotel

19
sebagai respons terhadap peradangan sistemik. Defek pada fungsi endotel dapat
mencerminkan penurunan sirkulasi sel progenitor endotel yang memperbaiki
cedera endotel dan mempertahankan fungsi normal. 32,33

Efek Sistem Saraf


Berbagai aspek abnormal dari sistem saraf dilaporkan pada pasien dengan
PPOK dengan hipoksia kronis diduga sebagai penyebab masalah tersebut.
Penelitian Yoshida tahun 2007 di Jepang melaporkan bahwa nitric oxide (NO), IL-
6, IL-1β, dan 1-antichymotrypsin meningkat pada pasien dengan PPOK dan
gangguan sistem saraf. Peningkatan CRP plasma berhubungan dengan penurunan
kognitif baik melalui efek neurotoksik langsung atau melalui efek pada arteri
serebral.10,35
Gangguan Kognitif
Disfungsi kognitif merupakan salah satu manifestasi klinis pada pasien
PPOK. Pemeriksaan magnetic resonance imaging (MRI) pada pasien PPOK
menunjukkan perubahan perfusi serebral dan metabolisme bioenergi otak. Kognisi
didefinisikan sebagai setiap fungsi otak yang memungkinkan individu untuk
memahami, mendaftar, menyimpan, mengambil, dan menggunakan informasi
untuk menyesuaikan perilaku dengan situasi dan fungsi baru di lingkungan kita.
Kognisi terdiri dari banyak domain yang terpisah yaitu memori, memori kerja, dan
perhatian. 10,35
Kognisi diatur secara hierarkis dan dapat diklasifikasikan sebagai lower atau
higher. Fungsi kognisi lower membentuk dasar untuk fungsi higher yaitu fungsi
eksekutif dan fleksibilitas. Fungsi eksekutif mendasari proses yang lebih kompleks
seperti pemecahan masalah dan pengambilan keputusan, misalnya kapan dan
bagaimana melakukan tindakan jika terjadi peningkatan keparahan gejala. Sistem
bahasa dan memori terletak di lobus temporal, sedangkan fungsi tingkat tinggi
seperti penghambatan, fleksibilitas kognitif, penalaran, dan pengambilan keputusan
diproses di lobus frontal. Struktur subkortikal terletak di dalam otak termasuk
hipokampus yang memainkan peran sentral dalam pengkodean memori. Sistem
limbik terlibat dalam pemrosesan rasa takut dan nyeri, sedangkan ganglia basalis

20
terlibat dalam gerakan, belajar, dan mengingat. Pandangan hierarkis dari proses
kognitif dapat dilihat pada gambar enam.10,35

Gambar 6. Pandangan hierarkis dari proses kognitif


Dikutip dari (35)
Salah satu prinsip mekanisme disfungsi kognitif pada pasien PPOK adalah
kerusakan saraf yang disebabkan oleh hipoksia. Faktor risiko gangguan kognitif
pada populasi sehat dan pasien PPOK, yaitu aktivitas, merokok, kualitas tidur pada
obstructive sleep apnea (OSA), peradangan, status kesehatan, body mass index
(BMI), depresi, dan kelelahan. Penelitian Karamanli tahun 2015 di Turki
melaporkan bahwa 42% pasien PPOK memiliki gangguan kognitif sedang hingga
berat dan 14% subjek kontrol mengalami disfungsi kognitif. Tingkat defisit
neuropsikologi adalah 27% untuk hipoksemia ringan dan 62% untuk hipoksemia
berat. Penelitian Allen tahun 2003 di Bournemouth melaporkan bahwa penggunaan
inhaler yang salah dikaitkan dengan disfungsi eksekutif dan terkait erat dengan
gangguan fungsi dalam kehidupan sehari-hari sehingga menurunkan kualitas hidup
pasien.6,32,35
Depresi
Efek sistemik PPOK pada sistem saraf pusat berhubungan dengan tingginya
prevalensi depresi. Prevalensi depresi pada pasien PPOK yang menerima terapi

21
oksigen jangka panjang mencapai 60%. Inflamasi sistemik yang terjadi pada pasien
PPOK ditandai dengan peningkatan TNF-α, sitokin, dan molekul lain seperti NO
yang terlibat dalam patogenesis depresi pada beberapa model eksperimental.30,36
Sebanyak 25% pasien PPOK menderita depresi yang tidak terdiagnosis.
Depresi mengurangi aktivitas fisik, skor kualitas hidup, kepatuhan terhadap
pengobatan medis, dikaitkan dengan tingkat eksaserbasi PPOK yang lebih tinggi,
dan peningkatan mortalitas. Penelitian Hill et al. tahun 2008 di Canada melaporkan
gejala depresi yang relevan secara klinis diperkirakan terjadi pada 10-80% dari
semua pasien PPOK. Pasien PPOK yang stabil secara klinis dengan depresi berat
yang memerlukan intervensi medis memiliki prevalensi sebesar 19-42%. Penelitian
Pumar et al. tahun 2008 di Queensland, Australia melaporkan pasien PPOK dengan
kecemasan atau depresi cenderung berisiko lebih besar untuk eksaserbasi, lama
tinggal di rumah sakit, dan prognosis yang buruk dibandingkan dengan pasien
PPOK dengan kondisi psikologis yang stabil.4,30
Mekanisme yang bertanggung jawab untuk depresi pada pasien dengan
PPOK adalah multifaktorial. Depresi dapat mendahului perkembangan PPOK dan
terdapat peran faktor genetik, efek penuaan, merokok dan hipoksemia. Penelitian
Anisman tahun 2008 di Ottawa, Canada melaporkan bukti bahwa inflamasi sistemik
dapat mengakibatkan depresi yang ditandai peningkatan IL-6 yang memainkan
peran penting pada manusia dan pada model hewan.4,36
Sistem Saraf Otonom
Sistem saraf otonom dapat mengalami perubahan pada pasien PPOK.
Aktivitas saraf simpatis pada pasien PPOK dipengaruhi oleh hipoksemia berulang,
hiperkapnia, peningkatan tekanan intratoraks karena obstruksi jalan napas,
peningkatan upaya pernapasan, peradangan sistemik, dan penggunaan
simpatomimetik beta. Disfungsi otonom merupakan faktor penting yang mencakup
beberapa gangguan dan terkait dengan peningkatan insiden penyakit kardiovaskular
pada pasien PPOK.37–39
Pasien dengan gagal jantung kronis menunjukkan peningkatan aktivitas
simpatis yang berhubungan dengan pengecilan otot dan gangguan toleransi latihan.
Penelitian Takabatake et al. tahun 1999 di London melaporkan bahwa disfungsi

22
otonom yang ditandai dengan dominasi aktivitas simpatis secara signifikan
memodulasi reaksi inflamasi. Penelitian Takabatake menunjukkan bukti tidak
langsung dari kontrol sistem saraf otonom abnormal pada pasien PPOK, terutama
pasien dengan berat badan rendah.37,38

Efek Osteokeletal
Prevalensi osteoporosis pada pasien PPOK sebesar 50-70%. Insidensi
rendahnya kepadatan mineral tulang volumetrik meningkat secara paralel dengan
berat ringannya PPOK dan mencapai 84% pada pasien pada tahap yang sangat
berat. Osteoporosis meningkatkan risiko patah tulang, penurunan tingkat aktivitas
fisik karena rasa sakit yang diakibatkan, peningkatan sesak napas, dan kesulitan
mengeluarkan dahak. Osteoporosis pada pasien PPOK dikaitkan dengan penurunan
kemampuan aktifitas harian dan eksaserbasi yang semakin membatasi aktivitas fisik
sehingga pasien dengan PPOK dan osteoporosis masuk ke dalam siklus negatif
kehilangan massa tulang dan kondisi pernapasan yang melemahkan. 3,30
Tulang adalah jaringan yang dinamis dan mengalami proses keausan yang
berkelanjutan. Modeling dan remodeling memiliki peran penting dalam menjaga
kesehatan kerangka. Remodeling adalah proses fisiologis pembentukan tulang baru
oleh osteoblas yang didahului oleh resorpsi tulang yang dimediasi oleh osteoklas.
Modeling tulang dicirikan oleh proses pembentukan tulang dan tidak didahului oleh
resorpsi tulang sebelumnya. Osteoporosis berkembang karena ketidakseimbangan
antara pembentukan dan resorpsi tulang.3,16
Faktor penyebab osteoporosis dapat berbeda pada setiap individu yaitu
peningkatan kadar mediator proinflamasi yang disebabkan oleh merokok dan
malnutrisi akibat asupan makanan yang buruk. Pasien PPOK dapat jatuh dalam
keadaan hipermetabolik yang disebabkan oleh peradangan sistemik, aktivitas fisik
terbatas karena gejala pernapasan dan pengobatan dengan kortikosteroid. Pasien
wanita usia tua dengan kekurangan estrogen setelah menopause dapat menjadi
faktor risiko osteoporosis. Faktor risiko osteoporosis pada pasien PPOK dapat
dilihat pada tabel tiga.11,40

23
Tabel 3. Faktor risiko osteoporosis pada PPOK
Umum
 Usia lanjut
 Merokok
 Indeks massa tubuh rendah
 Aktifitas fisik terbatas
Penyakit spesifik
 Inflamasi sistemik
 Disfungsi paru
 Penggunaan glukokortikoid
 Defisiensi / Insufisiensi vitamin D
Dikutip dari (40)
Peradangan sistemik ditandai oleh peningkatan CRP dan dikaitkan dengan
osteoporosis pada populasi umum. Penelitian Watanabe et al. tahun 2015 di Jepang
melaporkan bahwa inflamasi sistemik pada PPOK berhubungan dengan gangguan
kualitas tulang yang dibuktikan dengan nilai trabecular bone score (TBS) yang
lebih rendah. Pasien PPOK dengan bone marrow density (BMD) yang lebih rendah
terbukti menunjukkan kadar CRP dan sitokin inflamasi yang lebih tinggi. Sitokin
TNF-α, IL-1, dan IL-6 dikenal sebagai penginduksi osteoklas baik in vitro dan in
vivo dan terlibat dalam patogenesis osteoporosis primer dan sekunder. 16,41,42

TATALAKSANA

Landasan manajemen untuk PPOK dan komorbiditas adalah pengobatan


berbasis pedoman. Penatalaksanaan dan pengobatan PPOK didasarkan pada
pedoman GOLD dengan mempertimbangkan komorbiditas dan gambaran sistemik
dalam rencana pengelolaan PPOK. Pengobatan yang tepat terdiri dari terapi
farmakologi, non-farmakologi, dan perawatan komorbiditas yang memiliki peran
sentral dalam manajemen pasien.1,2

Tatalaksana Farmakologi
Pengobatan farmakoterapi pada pasien PPOK stabil bertujuan untuk
memperbaiki gejala, kualitas hidup, intoleransi olahraga, dan risiko eksaserbasi.
Pendekatan pertama melibatkan penekanan inflamasi paru untuk mencegah
penyakit sistemik terkait jika penyakit tersebut disebabkan atau diperburuk oleh
influx mediator inflamasi dari paru ke dalam sirkulasi sistemik. Regimen

24
farmakologi utama dalam terapi PPOK yaitu β2-agonis, antikolinergik kerja singkat
dan kerja panjang, serta antimuskarinik kerja singkat dan kerja panjang. Regimen
terapi dapat diberikan dalam bentuk kombinasi misalnya β2-agonis kerja pendek
ditambah antikolinergik dalam satu inhaler, kombinasi β2-agonis kerja lama
ditambah antikolinergik dalam satu inhaler, dan kombinasi β2-agonis kerja lama
ditambah kortikosteroid dalam satu inhaler. Regimen terapi lain yang dapat
diberikan yaitu methylxanthines, kortikosteroid inhalasi, atau kortikosteroid
sistemik.1,4,30
Obat antiinflamasi alternatif telah dikembangkan sebagai pengobatan
sistemik yang diharapkan dapat mengurangi peradangan sistemik dan mengobati
manifestasi sistemik PPOK seperti kelemahan otot rangka dan osteoporosis.
Regimen terapi antiinflamasi spektrum luas seperti phosphodiesterase (PDE)4, p38
mitogen-activated protein kinase (MAPK), dan NF-kB inhibitor telah
dikembangkan untuk pemberian oral dan berkhasiat untuk menekan peradangan
sistemik serta penyakit penyerta. Regimen terapi antiinflamasi alternatif memiliki
target distribusi yang luas sehingga efek samping dan masalah toksikologi menjadi
penghalang utama untuk pengembangan klinis.4,30
Setiap regimen pengobatan farmakologi harus disesuaikan dengan spesifik
pasien, berdasarkan keparahan gejala, risiko eksaserbasi, ketersediaan obat, dan
respons pasien. Long acting beta agonists dikaitkan dengan peningkatan mortalitas
dan rawat inap pada pasien dengan gagal jantung dan peningkatan risiko insiden
gagal jantung. Penelitian Hawkins et al. tahun 2011 di San Francisco melaporkan
bahwa penggunaan tiotropium sebagai terapi PPOK dikaitkan dengan pengurangan
risiko semua penyebab kematian, mortalitas kardiovaskular, dan kejadian
kardiovaskular. Pedoman GOLD merekomendasikan dosis terbatas untuk
penggunaan kortikosteroid oral karena memiliki efek samping yang berpotensi
berbahaya yaitu hipertensi, sindrom metabolik, memperburuk gagal jantung yang
menyertai, dan berhubungan dengan peningkatan risiko aritmia sehingga
diperlukan pemantauan yang ketat. Teofilin lebih potensial sebagai pengobatan
inflamasi paru pada PPOK. Teofilin oral dosis rendah mengurangi inflamasi
neutrofilik dan sputum C-X-C Motif Chemokine Ligand 8 (CXCL8) pada pasien

25
PPOK. Pemberian regimen methylxanthines seperti teofilin dapat berkorelasi
dengan peningkatan risiko aritmia dan fibrilasi atrium.3,4,30
Pedoman khusus pemberian regimen kardiovaskular β-blocker
kardioselektif untuk pasien PPOK meningkatkan prognosis pasien tanpa merusak
fungsi paru. Pedoman GOLD merekomendasikan penggunaan β1-blocker selektif
bahkan pada pasien PPOK berat. Penggunaan penghambat angiotensin converting
enzyme (ACE) pada perokok dapat mencegah penurunan cepat dalam fungsi paru
dan perkembangan menjadi PPOK. Penurunan kronis ACE memperbaiki inflamasi
paru, fungsi otot pernapasan, dan penggunaan oksigen perifer. Penelitian
retrospektif Corsonello et al. tahun 2011 di Cosenza, Italia melaporkan bahwa
penghambat ACE dan statin dikaitkan dengan penurunan mortalitas kardiovaskular,
morbiditas dan mortalitas pernapasan yang lebih rendah, serta penurunan risiko
kanker paru. Statin dapat memperburuk miopati dan meningkatkan enzim hati, oleh
karena itu harus digunakan secara hati-hati.2,4,30

Tatalaksana Nonfarmakologi
Penatalaksanaan nonfarmakologi pasien PPOK meliputi penghentian
merokok dengan konseling dan farmakoterapi, vaksinasi influenza dan
pneumokokus, serta rehabilitasi paru. Rehabilitasi paru memiliki potensi untuk
mempengaruhi sejumlah komorbiditas melalui pelatihan olahraga, penekanan pada
manajemen diri, perubahan perilaku, dan dukungan psikologis. Aktivitas fisik dan
olahraga teratur terbukti bermanfaat untuk beberapa komorbiditas seperti penyakit
kardiovaskular, diabetes, atau penyakit muskuloskeletal.3,30

26
SIMPULAN

1. Penyakit paru obstruktif kronik memiliki efek luar paru seperti malnutrisi,
penurunan berat badan, disfungsi otot rangka, osteoporosis, penyakit
kardiovaskular, dan efek pada sistem saraf.
2. Patogenesis yang tepat dari komorbiditas pada PPOK menjelaskan bahwa
inflamasi sistemik berkontribusi terhadap perkembangan efek sistemik.
3. Penyakit paru obstruktif kronik dan komorbiditasnya saling memperburuk
satu sama lain dan dapat mempengaruhi kualitas hidup secara negatif dan
menghasilkan prognosis yang buruk.
4. Klinisi harus mempertimbangkan PPOK sebagai penyakit sistemik,
mewaspadai adanya komorbiditas, dan mengontrol semua kondisi patologis
terkait PPOK secara komprehensif untuk mencapai hasil terbaik bagi
pasien.
5. Pengobatan efek sistemik PPOK termasuk olahraga, terapi diet, serta
farmakoterapi untuk mengobati PPOK itu sendiri maupun efek sistemik
PPOK secara langsung.

27
Daftar Pustaka

1. Rabe KF, Watz H. Chronic obstructive pulmonary disease. Lancet.


2017;389(10082):1931-40.
2. Vogelmeirer C, Agusti A, Anzueto A, Barnes P, Bourbeau J, Criner G, et
al. Definition and overview. In: Hadfield R, editor. Global initiative for
chronic obstructive lung disease 2022. 1st ed. Wisconsin: GOLD Inc; 2021.
p. 4-25.
3. Morishima Y, Hizawa N. Pathogenesis of comorbidities in COPD. In:
Nakamura H, Aoshiba K, editors. Chronic obstructive pulmonary disease: a
systemic inflammatory disease. 1st ed. Ibaraki: Springer Pub; 2016. p. 115-
30.
4. Barnes PJ, Celli BR. Systemic manifestations and comorbidities of COPD.
Eur Respir J. 2009;33(5):1165-85.
5. Macnee W, Vestbo J. COPD pathogenesis and natural history. In: Murray
JF, Nadel JA, Slutsky AS, Broaddus VC, Mason R, Ernst J, et al, editors.
Murray and Nadel’s textbook of respiratory medicine. 6 th ed. Philadelphia:
Elsevier Saunders; 2016. p. 751-85.
6. Machado A, Marques A, Burtin C. Extra-pulmonary manifestations of
COPD and the role of pulmonary rehabilitation: a symptom-centered
approach. Expert Rev Respir Med. 2021;15(1):131-42.
7. Barnes PJ. Inflammatory mechanisms in patients with chronic obstructive
pulmonary disease. J Allergy Clin Immunol. 2016;138(1):16-27.
8. Hikichi M, Mizumura K, Maruoka S, Gon Y. Pathogenesis of chronic
obstructive pulmonary disease (COPD) induced by cigarette smoke. J
Thorac Dis. 2019;11(17):2129-40.
9. Lee JH. Pathogenesis Of COPD. In: Sang-Do Lee, editor. COPD
heterogenity and personalized treatment. 1 st ed. Berlin: Springer; 2017. p.
35-49.

28
10. Piya-Amornphan N, Santiworakul A, Nawarat J. Chronic obstructive
pulmonary disease and extrapulmonary effects: cognitive impairment. J
Heal Sci Med Res. 2018;36(4):323-33.
11. Islam MK, Hossain FS, Chowdhury MK, Biswas PK. Osteoporosis in
chronic obstructive pulmonary disease (COPD) patients. J Med.
2018;19(2):114-8.
12. Kulsum ID, Yunus F. Sindrom metabolik pada penyakit paru obstruktif
kronik (PPOK). J Respir Indonesia. 2016;36(1):47-59.
13. Couillard A, Muir JF, Veale D. COPD recent findings: impact on clinical
practice. COPD J Chronic Obstr Pulm Dis. 2010;7(3):204-13.
14. Yudhawati R, Prasetiyo YD. Imunopatogenesis penyakit paru obstruktif
kronik. J Respirasi. 2019;4(1):19.
15. Senior RM, Pierce RA, Atkinson JJ. Chronic obstructive pulmonary disease:
epidemiology, pathophysiology, pathogenesis, and α1-antitrypsin
deficiency. In: Grippi MA, Jack RA, Fishman AP, editors. Fishman’s
pulmonary diseases and disorders. 5th ed. Philadelphia: McGraw Hill Edu;
p. 613-29.
16. Inoue D, Watanabe R, Okazaki R. COPD and osteoporosis: links, risks, and
treatment challenges. Int J COPD. 2016;11(1):637-48.
17. Agusti À, Soriano JB. COPD as a systemic disease. COPD J Chronic Obstr
Pulm Dis. 2008;5(2):133-8.
18. Sehgal IS, Dhooria S, Agarwal R. Chronic obstructive pulmonary disease
and malnutrition in developing countries. Curr Opin Pulm Med.
2017;23(2):139-48.
19. Mete B, Pehlivan E, Gülbaş G, Günen H. Prevalence of malnutrition in
COPD and its relationship with the parameters related to disease severity.
Int J COPD. 2018;13:3307-12.
20. Agustí AGN, Noguera A, Sauleda J, Sala E, Pons J, Busquets X. Systemic
effects of chronic obstructive pulmonary disease. Eur Respir J.
2003;21(2):347-360.

29
21. Chambaneau A, Filaire M, Jubert L, Bremond M, Filaire E. Nutritional
intake, physical activity and quality of life in copd patients. Int J Sports Med.
2016;37(9):730-7.
22. Horadagoda C, Dinihan T, Roberts M, Kairaitis K. Body composition and
micronutrient deficiencies in patients with an acute exacerbation of chronic
obstructive pulmonary disease. Intern Med J. 2017;47(9):1057-63.
23. Schols AM, Ferreira IM, Franssen FM. Nutritional assessment and therapy
in COPD: a European respiratory society statement. Eur Respir J.
2014;44(6):1504-20.
24. Byun MK, Cho EN, Chang J, Ahn CM, Kim HJ. Sarcopenia correlates with
systemic inflammation in COPD. Int J COPD. 2017;12(4):669-75.
25. Barreiro E, Gea J. Molecular and biological pathways of skeletal muscle
dysfunction in chronic obstructive pulmonary disease. Chron Respir Dis.
2016;13(3):297-311.
26. Gea J, Pascual S, Casadevall C, Orozco-Levi M, Barreiro E. Muscle
dysfunction in chronic obstructive pulmonary disease: update on causes and
biological findings. J Thorac Dis. 2015;7(10):418-38.
27. Redox FR, Cohen JI, Chen X, Nagy LE, Clinic C, Oh C. Sceletal muscle
dysfunction in patients with COPD. Am Thorac Soc. 2017; 61(7):1-36.
28. Morgan AD, Zakeri R, Quint JK. Defining the relationship between COPD
and CVD: what are the implications for clinical practice?. Ther Adv Respir
Dis. 2018;12(10):1-16.
29. Hillas G, Perlikos F, Tsiligianni I, Tzanakis N. Managing comorbidities in
COPD. Int J COPD. 2015;10(1):95-109.
30. Fahri I, Dianiati, Yunus F. Efek peradangan sistemik pada PPOK terhadap
sistem kardiovaskular. Respirologi. 2009;29(1):1-13.
31. André S, Conde B, Fragoso E, Boléo-Tomé JP, Areias V, Cardoso J. COPD
and cardiovascular disease. Pulmonology. 2019;25(3):168-76.
32. Thenappan T, Ormiston ML, Ryan JJ, Archer SL. Pulmonary arterial
hypertension: pathogenesis and clinical management. BMJ. 2018;360(3):1-
27.

30
33. Sakao S. Chronic obstructive pulmonary disease and the early stage of cor
pulmonale: a perspective in treatment with pulmonary arterial hypertension-
approved drugs. Respir Investig. 2019;57(4):325-9.
34. Matarese A, Sardu C, Shu J, Santulli G. Why is chronic obstructive
pulmonary disease linked to atrial fibrillation? a systematic overview of the
underlying mechanisms. Int J Cardiol. 2019;276(2):149-51.
35. Van Beers M, Janssen DJA, Gosker HR, Schols AMWJ. Cognitive
impairment in chronic obstructive pulmonary disease: disease burden,
determinants and possible future interventions. Expert Rev Respir Med.
2018;12(12):1061-74.
36. Majid H, Nadeem T. Depression and anxiety in COPD patients. In:
Sharafkhaneh A, Yohannes AM, Hanania NA, Kunik ME, editors.
Depression and anxiety in patients with chronic respiratory diseases.1st ed.
New York: Springer Pub; 2017. p. 57-69.
37. Van Gestel A, Steier J. Autonomic dysfunction in patients with chronic
obstructive pulmonary disease (COPD). J Thorac Dis. 2010;2(4):215-22.
38. Vanzella LM, Bernardo AFB, Carvalho TD de, Vanderlei FM, Silva AKF
da, Vanderlei LCM. Complexity of autonomic nervous system function in
individuals with COPD. J Bras Pneumol. 2018;44(1):24-30.
39. Wang X, Jiang Z, Chen B. Cardiac autonomic function in patients with acute
exacerbation of chronic obstructive pulmonary disease with and without
ventricular tachycardia. BMC Pulm Med. 2016;16(1):1-7.
40. Agustí A. Systemic effects of chronic obstructive pulmonary disease: what
we know and what we don’t know (but should). Proc Am Thorac Soc.
2007;4(7):522-5.
41. Hirai T. Osteoporosis in chronic obstructive pulmonary disease. Clin
Calcium. 2016;26(10):1393-8.

31

Anda mungkin juga menyukai