Anda di halaman 1dari 23

PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIK

EKSASERBASI AKUT
Hadiyat Mahdi, Nur Ahmad Tabri
Departemen Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin
1. PENDAHULUAN
Definisi
Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) adalah penyakit paru-paru yang dapat
dicegah dan diobati, ditandai dengan penyumbatan terus-menerus dari saluran nafas
paru-paru. Keadaan ini terdiagnosa sebagai penyakit paru-paru yang mengancam jiwa
dengan terganggunya pernapasan normal dan tidak sepenuhnya reversible, progresif
dan berhubungan dengan respon inflamasi paru terhadap partikel atau gas yang
beracun atau berbahaya. Istilah lebih familiar bronchitis kronis dan emfisema tidak
digunakan lagi, keduanya sekarang termasuk dalam diagnose PPOK.1,2,3,4,5,6,7,8,9
Penyakit paru obstruksi kronik sering dikaitkan dengan gejala eksaserbasi
akut. Pasien PPOK dikatakan mengalami eksaserbasi akut bila kondisi pasien
mengalami perburukan yang bersifat akut dari kondisi sebelumnya yang stabil dan
dengan variasi gejala harian normal sehingga pasien memerlukan perubahan
pengobatan yang sudah biasa digunakan. Eksaserbasi akut ini biasanya disebabkan
oleh infeksi (bakteri atau virus) bronkospasme, polusi udara atau obat golongan
sedative. Sekitar sepertiga penyebab eksaserbasi akut ini tidak diketahui.8,9,10
Epidemiologi
PPOK adalah penyebab utama kematian ketiga dan mempengaruhi > 10 juta
orang di Amerika Serikat. PPOK juga merupakan penyakit yang sama penting
kesehatan masyarakat di seluruh dunia. Diperkirakan pada tahun 2020, PPOK akan
meningkat menjadi urutan ketiga dari 6 penyebab kematian di seluruh dunia. 2
Berdasarkan survey kesehatan rumah tangga Dep.Kes RI tahun 1992, PPOK
bersama asma bronkial menduduki peringkat keenam. Merokok merupakan factor
resiko lainnya seperti polusi udara, factor genetik dan lain-lainnya. 8
Hasil survey penyakit tidak menular oleh Direktorat Jenderal PPM dan PL di
lima rumah sakit provinsi di Indonesia (Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur,
Lamung dan Sumatera Selatan) pada tahun 2004, menunjukkan PPOK menempati
urutan pertama penyumbang angka kesakitan (35%), diikuti dengan asma bronkial
(33%), kanker paru (30%) dan lainnya (2%) (Depkes RI, 2004). 11

1
PPOK akan berdampak negative dengan kualitas hidup penderita, termasuk
pasien yang berumur > 40 tahun akan menyebabkan disabilitas penderitanya. Padahal
mereka masih dalam kelompok usia produktif namun tidak bekerja maksimal karena
sesak nafas yang kronik. Komorbiditas PPOK akan menghasilkan penyakit
kardiovaskuler, kanker bronkial, infeksi paru-paru, tromboembolik disorder, asma,
hipertensi, osteoporosis, sakit sendi, depresi dan anxiety. 3
2. ETIOLOGI
Diseluruh dunia, faktor resiko paling sering ditemui pada PPOK yaitu
merokok tembakau. Lingkungan luar, pekerjaan dan polusi udara dalam ruangan
merupakan hasil terakhir dari pembakaran biomassa bahan bakar sebagai factor resiko
utama lain pada PPOK. Nonsmoker juga bisa menderita PPOK.1,10
Faktor resiko genetic menjadi data terbaik yaitu defisiensi berat herediter
alpha-1 antitrypsin. Ini menjelaskan bahwa bagaimana factor resiko lainnya
memberikan kontribusi pemahaman untuk PPOK.10
Resiko PPOK berhubungan dengan total beban partikel yang terhirup
seseorang selama hidup : .1,10
a. Asap tembakau termasuk rokok, pipa, cerutu dan jenis-jenis rokok tembakau
popular di banyak negara serta lingkungan asap tembakau.
b. Polusi udara dalam ruangan yang berasal bahan bakar biomassa yang
digunakan untuk memasak dan pemanasan tempat tinggal yang memiliki
ventilasi buruk, factor resiko terutama pada perempauan di negara-negara
berkembang.
c. Debu kerja dan bahan kimia (uap, iritasi dan asap) yang eksposure cukup
intens dan berkepanjangan.
d. Polusi udara di luar ruangan juga berkontribusi total beban partikel terhirup,
meskipun tampaknya memiliki efek yang relative kecil sebagai penyebab
PPOK.
Selain itu, faktor-faktor yang mempegaruhi pertumbuhan paru-paru selama
kehamilan dan masa kanak-kanak ( berat badan lahir rendah, infeksi pernapasan, dan
lain-lain ) memiliki potensi untuk meningkatkan resiko seseorang menderita PPOK.10)
3. PATOLOGI, PATOGENESIS DAN PATOFISIOLOGI
Menghirup asap rokok dan partikel berbahaya lainnya seperti asap dari bahan
bakar biomassa yang menyebabkan peradangan paru-paru , normalnya pada keadaan
ini akan berkembang menjadi pasien PPOK .Inflamasi kronis ini dapat menyebabkan

2
kerusakan jaringan parenkim ( mengakibatkan emfisema ) , terganggunya perbaikan
normal dan mekanisme pertahanan (yang mengakibatkan fibrosis pada saluran napas
kecil) . Perubahan patologis menyebabkan terperangkapnya udara dan keterbatasan
aliran udara yang progresif . Sebuah gambaran singkat berikut perubahan patologis
pada PPOK , mekanisme secara seluler dan molekuler , dan bagaimana ini mendasari
kelainan fisiologis dan gejala karakteristik dari penyakit. 9
Patologi
Perubahan karakteristik patologis pada PPOK terjadi di saluran nafas ,
parenkim paru , dan pembuluh darah paru . Perubahan patologis yaitu peradangan
kronis dengan peningkatan jumlah jenis sel inflamasi tertentu di berbagai bagian paru-
paru , dan perubahan struktural yang dikarenakan dari perbaikan dan cedera berulang.
Secara umum, perubahan inflamasi dan struktural di saluran nafas meningkat seiring
tingkat keparahan penyakit dan persistent pada seseorang yang behenti merokok. 2,9
Patogenesis
Peradangan saluran nafas pada pasien PPOK muncul akibat bertambahnya
respon inflamasi pada saluran pernapasan menjadi iritasi kronis seperti asap rokok .
Mekanisme inflamasi ini belum dipahami tetapi dapat ditentukan secara genetik .
Pasien dapat menderita PPOK tanpa merokok , tetapi respon inflamasi pada pasien ini
tidak diketahui. Oksidatif stres dan kelebihan proteinase dalam paru-paru lebih
memperparah radang paru-paru . Kedua mekanisme ini menyebabkan perubahan
patologis pada PPOK. Mekanisme inflamasi paru persisten setelah berhenti merokok
tidak diketahui , meskipun autoantigen dan mikroorganisme persisten mungkin
memainkan peran. 9
Stres oksidatif merupakan mekanisme penting dalam PPOK. Biomarker stres
oksidatif (misalnya , hidrogen peroksida , 8 - isoprostan ) meningkat dalam kondensat
hembusan nafas , dahak , dan sirkulasi sistemik pasien COPD . Stres oksidatif lebih
meningkat pada keadaan eksaserbasi . Oksidan yang dihasilkan oleh asap rokok dan
partikulat inhalasi lainnya , dan pelepasan aktivasi sel-sel inflamasi seperti makrofag
dan neutrofil . Terdapat pula penurunan antioksidan endogen pada pasien PPOK
sebagai akibat dari pengurangan faktor transkripsi yang disebut Nrf2 bekerja
mengatur banyak gen antioksidan. 9
Protease-Antiprotease Imbalance. Ada bukti kuat pada pasien PPOK
terdapatnya ketidakseimbangan dalam paru-paru antara protease yang memecah
komponen jaringan ikat dan antiprotease yang melindungi terhadap ini . Beberapa

3
protease , yang berasal dari sel-sel inflamasi dan sel-sel epitel meningkat pada pasien
PPOK . Adanya bukti yang semakin banyak bahwa mereka dapat berinteraksi satu
sama lain. Penghancuran protease dimediasi elastin , komponen jaringan ikat utama
dalam parenkim paru , diyakini menjadi fitur penting dari emfisema dan mungkin
irreversible. 9
Sel inflamasi. PPOK ditandai dengan pola tertentu peradangan yang
melibatkan peningkatan jumlah CD8 + ( sitotoksik ) limfosit TC1 hanya muncul pada
perokok secara bertahap pada penyakit ini . Sel-sel ini , bersamaan dengan neutrofil
dan makrofag , melepaskan mediator inflamasi dan enzim dan berinteraksi dengan
struktur sel-sel di saluran nafas, parenkim paru-paru dan pembuluh darah paru. 9
Mediator inflamasi. Berbagai macam mediator inflamasi yang telah terbukti
meningkat pada pasien PPOK misalnya sel inflamasi dari sirkulasi (faktor
kemotaktik) , memperkuat proses inflamasi (sitokin proinflamasi) , dan menginduksi
perubahan struktural (faktor pertumbuhan). 9
Perbedaan inflamasi antara PPOK dan asma. Meskipun keduanya PPOK dan
asma berkaitan dengan peradangan kronis pada saluran pernapasan, terdapat
perbedaan sel-sel inflamasi dan mediator yang terlibat dalam dua penyakit , yang
memiliki perbedaan dalam efek fisiologis , gejala , dan respon terhadap terapi.
Beberapa pasien dengan PPOK memiliki klinis yang konsisten dengan asma dan
mungkin memiliki pola inflamasi yang sama dengan meningkatnya eosinophil. 9
Patofisiologi
Saat ini adanya pemahaman yang baik tentang bagaimana proses penyakit,
kelainan fisiologis dan gejala yang mendasarinya pada PPOK. Misalnya , peradangan
dan penyempitan saluran nafas perifer ditandai penurunan FEV1 .Kerusakan parenkim
akibat emfisema juga berkontribusi terhadap aliran udara terbatas dan menyebabkan
penurunan pertukaran udara. 9
Airflow Limitation and Air Trapping. Luasnya peradangan, fibrosis, dan
eksudat luminal di saluran nafas kecil berkorelasi dengan penurunan rasio FEV 1 dan
FEV1 / FVC, dan mungkin dengan penurunan drastis pada FEV1 khas pada PPOK.
Obstruksi jalan napas perifer ini, udara akan semakin terperangkap selama ekspirasi,
mengakibatkan hiperinflasi. Meskipun emfisema lebih berkaitan dengan kelainan
pertukaran udara dibanding dengan penurunan FEV1, hal tersebut ini berkontribusi
terperangkapnya udara selama ekspirasi. Terutama alveolar melalui saluran nafas
kecil yang rusak saat penyakit menjadi lebih parah. Hiperinflasi mengurangi kapasitas

4
inspirasi sehingga menaikkan fungsi kapasitas residual, khususnya selama olahraga
(hiperinflasi dinamis), mengakibatkan sesak nafas memberat dan keterbatasan
kapasitas olahraga. Faktor-faktor ini berkontribusi menurunkan sifat kontraktil
intrinsik otot pernapasan; hasil ini meningkatkan regulasi lokal sitokin proinflamasi.
Diperkirakan bahwa hiperinflasi berkembang pada awal penyakit dan merupakan
mekanisme utama terjadinya sesak nafas saat aktivitas. Bronkodilator yang bekerja
pada saluran nafas perifer mengurangi terperangkapnya udara, sehingga mengurangi
volume paru-paru dan meningkatkan gejala dan kapasitas latihan. 9
Gas Exchange Abnormalities. Kelainan pertukaran gas mengakibatkan
hipoksemia dan hiperkapnia, dan memiliki beberapa mekanisme pada PPOK. Secara
umum, pertukaran gas oksigen dan karbon dioksida secara progress memburuk.
Kemungkinan ventilasi berkurang juga disebabkan penurunan kecepatan ventilasi.
Hal ini dapat menyebabkan retensi karbon dioksida ketika dikombinasikan dengan
pengurangan ventilasi karena aktivitas nafas berlebihan disebabkan obstruksi berat
dan bersamaan hiperinflasi dengan gangguan otot ventilasi . Kelainan pada ventilasi
alveolar dan dikurangi vascular paru tidur lanjut memperburuk kelainan VA / Q. 9
Hipersekresi mucus. Hipersekresi mucus , mengakibatkan batuk produktif
kronis seperti bronkitis kronis dan belum tentu berkaitan dengan keterbatasan aliran
udara . Sebaliknya , tidak semua pasien dengan PPOK memiliki gejala hipersekresi
mucus . Ketika terjadi, dikarenakan peningkatan jumlah sel goblet dan kelenjar
submukosa membesar dalam merespon iritasi saluran napas kronis dengan asap rokok
dan agen berbahaya lainnya. Beberapa mediator dan protease merangsang
hipersekresi mucus dan banyak dari reaksi tersebut mengerahkan efek melalui aktivasi
epidermal growth factor receptor ( EGFR ). 9
Hipertensi paru. Hipertensi pulmonal dapat berkembang telat dalam perjalanan
dari PPOK dan terutama karena hipoksia menyebabkan vasokonstriksi arteri
pulmonalis kecil, akhirnya terjadinya perubahan struktural yang meliputi hiperplasia
intima dan hipertrofi otot halus / hyperplasia. Adanya respon inflamasi pada
pembuluh darah hampir mirip disaluran nafas dan dibuktikan dengan adanya disfungsi
sel endotel . Hilangnya kapiler paru pada emfisema juga berkontribusi dalam
peningkatan tekanan sirkulasi paru. Hipertensi paru progresif dapat menyebabkan
hipertrofi ventrikel kanan dan akhirnya gagal jantung sisi kanan. 9
Exacerbation. Eksaserbasi yaitu gejala yang sering terjadi pada pasien dengan
PPOK, dipicu oleh infeksi bakteri atau virus (yang mungkin hidup berdampingan ) ,

5
polusi lingkungan , atau faktor yang tidak diketahui. Pasien dengan bakteri dan
episode virus memiliki respon karakteristik dengan peningkatan peradangan. Selama
eksaserbasi terjadi peningkatan hiperinflasi dan perangkap gas, dengan mengurangi
aliran ekspirasi, sehingga sesak nafas memberat. Terdapat juga memburuknya
kelainan VA / Q, dapat mengakibatkan hipoksemia Kondisi lain ( pneumonia ,
tromboemboli , dan gagal jantung akut ) dapat meniru atau memperburuk eksaserbasi
PPOK. 9
4. DIAGNOSIS
Pasien yang mengalami eksaserbasi akut dapat ditandai dengan gejala khas
seperti sesak nafas yang semakin bertambah, batuk produktif dengan perubahan
volume atau purulensi sputum, atau dapat juga memberikan gejala yang tidak khas
seperti malaise, fatigue , dan gangguan susah tidur.8
Pertimbangan pada PPOK dan pemeriksaan spirometri, jika salah satu dari
indicator ini terdapat dalam seseorang yang berumur diatas 40 tahun. Indicator-
indikator ini tidak mendiagnosa mereka sendiri, namun adanya multiple indicator
kunci guna meningkatkan kemungkinan diagnosa PPOK. Spirometri diperlukan untuk
mendiagnosa PPOK.
Tabel 1 : Indikator diagnosis PPOK ( GOLD update 2015) 9
Indikator kunci dalam mempertimbangkan diagnosa PPOK
 Sesak nafas : progresif (memburuk dari waktu ke waktu). Memburuk dengan
olahraga. Persisten.
 Batuk kronis : bisa intermiten dan bisa tidak produktif.
 Produksi sputum kronis : Pola produksi sputum kronis dapat menunjukkan
PPOK.
 Riwayat eksposur terhadap faktor resiko : asap tembakau (termasuk produk
local yang popular), asap dari aktivitas masak dirumah dan bahan bakar
pemanas, debu lingkungan dan bahan kimia.
 Riwayat keluarga PPOK

Dyspnea, gejala kardinal PPOK, merupakan penyebab utama kecacatan dan


kecemasan terkait dengan penyakit. Pasien PPOK khas menggambarkan sesak nafas
sebagai rasa peningkatan usaha bernapas, berat , kelaparan udara, atau terengah-

6
engah. Namun, istilah yang digunakan untuk menggambarkan dyspnea bervariasi baik
oleh individu dan oleh budaya. 9
Batuk kronis, seringkali menjadi gejala pertama dari PPOK, sering muncu
oleh pasien merokok dan / atau paparan lingkungan. Awalnya, batuk mungkin
intermiten, tetapi perlahan-lahan menjadi setiap hari hingga sepanjang hari . Batuk
kronis pada PPOK kadang tidak produktif. Dalam beberapa kasus , keterbatasan aliran
udara yang signifikan dapat berkembang tanpa munculnya gejala batuk . 9
Pasien PPOK umumnya meningkatkan jumlah sedikit sputum setelah serangan
batuk. Produksi sputum selama 3 bulan atau lebih dalam 2 tahun berturut-turut ( tanpa
adanya kondisi lain yang dapat menjelaskan hal tersebut ) adalah definisi
epidemiologi dari bronkitis kronis , tapi ini adalah definisi agak sewenang-wenang
yang tidak mencerminkan kisaran produksi sputum pada pasien PPOK. Produksi
sputum seringkali sulit untuk dievaluasi karena pasien mungkin menelan dahak
daripada meludah itu, tergantung kebiasaan budaya dan gender. Pasien memproduksi
volume besar sputum mungkin didasari oleh penyakit bronkiektasis. Adanya sputum
purulen mencerminkan peningkatan di mediator inflamasi , dan perkembangannya
dapat mengidentifikasi timbulnya eksaserbasi bakteri. 9
Mengi dan sesak dada merupakan gejala tidak spesifik yang berbeda antara
hari dan hari setelahnya. Terdengar mengi dicurigai timbul pada tingkat laring dan
tidak diperlu disertai kelainan auskultasi. Atau, inspirasi luas atau mengi ekspirasi
dapat ditemukan dengan mendengarkan dada . Dada sesak sering melibatkan tenaga,
yaitu kelemahan menggunakan otot pernapasan , dan mungkin timbul dari kontraksi
isometrik otot interkostal . Tidak adanya mengi atau sesak dada tidak mengecualikan
diagnosis PPOK ,begitupula diagnosis asma. 9
Gejala tambahan. Fatigue, berat badan menurun dan anoreksia merupakan
keluhan pada pasien PPOK berat dan sangat berat. Gejala-gejala tersebut penting
dalam prognosa penyakit dan juga bisa menjadi tanda penyakit lainnya seperti
(Tubekulosis, kanker paru) oleh sebab itu sebaiknya mencari tahu lebih lanjut. Sinkop
batuk terjadi karena peningkatan tekanan intratorakal begitu cepat selama perjalanan
serangan batuk. Serangan batuk terus menerus juga dapat menyebabkan fraktur iga,
yang biasa terjadi secara asymptomatis. Bengkak pada kaki hanya menunjukkan
gejala memberat pada korpulmonal. Gejala depresi dan/ atau cemas merupakan gejala
tambahan dalam sejarah klinis pada PPOK. 9

7
Riwayat Penyakit : 9
a. Pasien-pasien beresiko seperti merokok, tempat kerja tidak sehat dan asap
dekat lingkungan
b. Riwayat penyakit sebelumnya yaitu asma, alergi, sinusitis atau polip nasal,
infeksi saluran nafas saat berumur anak-anak, penyakit saluran nafas lainnya.
c. Riwayat keluarga menderita PPOK atau penyakit paru kronik lainnya.
d. Pola gejala yang berkembang: Jenis PPOK yang berkembang saat
pertumbuhan dewasa dan kebanyakan pasien menyadari semakin susah
bernafas, semakin sering atau “musim dingin” yang panjang dan keterbatasn
social untuk beberapa waktu sebelum mendapatkan pertolongan rumah sakit.
e. Riwayat eksaserbasi atau peyakit paru sebelum mendapatkan pelayanan rumah
sakit. Pasien menyadari gejalanya memburuk bahkan belum didapatkan gejala
eksaserbasi pada PPOK.
f. Adanya komorbid : penyakit jantung, osteoporosis, penyakit muskulusketal
dan malignansi yang juga berkontribusi aktivitas menurun.
g. Dampak pasien terhadap kebiasaan hidup: keterbatasan aktivitas, pekerjaan
terganggu dan ekonomi, berefek kebiasaan terhadap keluarga, depresi atau
cemas, kehidupan seksual.
h. Keluarga dan social memberi dukungan terhadap pasien.
i. Faktor resiko menurun terutama berhenti merokok.
Pemeriksaan fisis: 12
a. Penurunan suara nafas, ekspirasi memanjang, wheezing, Hyperinflation,
respiratory distress.
b. Agitasi, kebingungan, atau obtundation seperti hiperkapni atau hipoksia.
c. Kelemahan otot pernapasan dapat berlebihan oleh gerakan nafas paradoksal.
Pemeriksaan penunjang :
a. Chest x-ray ditemukan hiperinflasi dengan diafragma rata, peningkatan
restrosternal dan retrocardiac airspaces, kelemahan pembuluh darah atau
penonjolan tanda-tanda paru, pembesaran arteri pulmonal di hilum dengan
pembesaran ventricular kanan, adanya daerah hiperlusen dan bulla. 12
b. CT-scan thoraks didapatkan : empisema sentrilobular ; lobus atas terdistribusi
area focal atenuasi rendah biasanya < 1 cm. empisema panlobular ; lobus
bawah terdistribusi dengan penurunan tanda-tanda paru di beberapa pembuluh
darah. 12

8
c. Tes fungsi paru :
Pemeriksaan fungsi paru menunjukkan adanya obstruksi saluran nafas atau
penurunan fungsi dengan menilai FEV1 dan FEV1/ FVC. Berguna menilai
memburuknya tingkat keparahan penyakit, volume paru meningkat, adanya
peningkatan total kapasitas paru, kapasitas residu fungsi dan volume residu.2
Tabel 2 : GOLD Criteria for Severity of Airflow Obstruction in COPD (Harrison’s
Principles of Internal Medicine 19 th Edition) . 2

Tabel 3 : Perbandingan spirometri normal dan obstruksi (GOLD Update 2015) 9


Volume, Liters

FEV1 = 4L
FVC = 5L
FEV1/FVC = 0.8

Time, Second

9
Volume, Liters

FEV1 = 1.8L
FVC = 3.2L
FEV1/FVC = 0.56

Time, Second
PPOK eksaserbasi
Sebuah perjalanan penyakit (bukan karena pneumonia, emboli paru,
pneumotoraks, gagal jantung kongestif ) ditandai perubahan sesak nafas, batuk,
dan/atau keluarnya sputum yang bervariasi sehari-hari guna menentukan perubahan
dalam manajemen. Dekompesasi akut paling sering dikaitkan dengan infeksi saluran
nafas akut atas/ bawah. Gejala lebih berat terjadi lebih mungkin diakibatkan infeksi
bakteri. Pasien mengalami peningkatan sesak nafas, batuk, dan produksi sputum
(jarang dengan adanya perubahan warna dan jenis). Saluran nafas memburuk, usaha
nafas meningkat, dan produksi mucus dan kebersihan mukosiliar berubah.
Pemeriksaan fungsi paru dapat menentukan keparahan saluran nafas saat ekspirasi.
Mereka sulit untuk melakukan tes dan mungkin tidak akurat selama eksaserbasi.
Analisa gas darah dapat menjadi data adanya gangguan pertukaran udara dan beratnya
eksaserbasi. 11
Diagnosa Banding
Beberapa pasien dengan asma kronik, perbedaan jelas dari PPOK tidak mungkin
menggunakan teknik imaging saat ini dan test fisiologis dan diasumsikan bahwa
asma dan PPOK bersamaan pada pasien ini. Dalam kasus ini, manajemen mencakup
penggunaan anti inflamasi dan perawatan lainnya secara individu. Diagnosa lainnya
berpotensi biasanya lebih mudah membedakan dari PPOK. 9

10
Tabel 4 : Perbedaan PPOK dan diagnose banding (GOLD Update 2015) 10
PPOK dan Diagnosa Bandingnya
PPOK:
 Onset pada usia pertengahan
 Gejala progresif lambat
 Riwayat merokok tembakau atau terpapar berbagai jenis asap
Asma :
 Onset pada awal usia ( sering anak-anak)
 Gejala bervariasi dari hari ke hari
 Gejala memburuk pada malam hari/ dini hari.
 Alergi, rhinitis dan atau eczema juga muncul
 Riwayat keluarga asma
Gagal Jantung Kongestif :
 X-ray dada menggambarkan dilates jantung, edema paru.
 Tes fungsi paru menunjukkan pembatasan volume, tidak ada airflow limitation
Bronkiektasis :
 Sputum purulent volumenya besar
 Umumnya terkait dengan infeksi bakteri
 X-ray dada/ CT menunjukkan dilatasi bronkus, penebalan dinding bronkiolus
Tuberkulosis :
 Onset segala usia
 X-ray dada menunjukkan infiltrate paru.
 Konfirmasi mikrobiologi
 Prevalensi local tinggi pada tuberkulosis
Obliterative Bronchiolitis :
 Onset pada usia yang lebih muda, bukan perokok
 Mungkin memiliki riwayat atritis rematoid atau paparan asap akut.
 Muncul setelah transplantasi paru-paru atau tulang sumsum
 CT on expiration menunjukkan daerah hipodens.
Panbronchiolitis difus :
 Terutama terdapat pada pasien keturunan Asia.
 Kebanyakan pasien laki-laki dan bukan perokok
 Hampir semua memiliki sinusitis kronik.
 X-ray dada dan HRCT menunjukkan nodular opac centrilobular difus kecil
dan hiperinflasi.
5. PENATALAKSANAAN
Tujuan dari penilaian PPOK adalah untuk menentukan beratnya penyakit,
dampaknya pada status kesehatan pasien, dan risiko peristiwa masa depan
(eksaserbasi , masuk rumah sakit , kematian ) dalam rangka untuk memandu terapi .
Menilai aspek berikut penyakit secara terpisah: 10
a. Gejala
b. Tingkat kemampuan paru-paru ( spirometry)
c. Resiko eksaserbasi

11
d. Komorbid.
Penilaian gejala:
Kuesioner divalidasi seperti COPD Assessment Test ( CAT ) atau COPD
Clinical Questionnaire ( CCQ ) direkomendasikan untuk penilaian yang komprehensif
dari gejala . diubah Medical Research Council British ( mMRC ) skala hanya
menyediakan penilaian sesak napas. 10
Tabel 5 : Kuesioner penilaian sesak nafas (GOLD update 2015).9
Modified Medical Research Council Questionnaire
untuk menilai keparahan sesak nafas
Di check list bila ditemukan pada diri sendiri.
mMRC grade 0 : saya hanya sesak nafas dengan latihan berat. □
mMRC grade 1 : saya mengalami sesak nafas saat bergegas atau mendaki sedikit atas
bukit. □
mMRC grade 2 : saya berjalan lebih lambat dari tingkat orang usia yang sama karena
sesak nafas, atau saya harus berhenti untuk menarik nafas saat berjalan pada tingkat
kecepatan sendiri. □

mMRC grade 3 : saya berhenti untuk menarik nafas setelah berjalan sekitar 100 meter
atau setelah beberapa menit. □
mMRC grade 4 : saya sangat sesak nafas untuk meninggalkan rumah atau sesak nafas
ketika berpakaian atau membuka baju. □

Penilaian tingkat kemampuan paru-paru dengan spirometry.


Tabel 6 : Klasifikasi tingkat keterbatasan saluran nafas pada PPOK setelah pemberian
bronkodilator. (GOLD update 2015).10
Pasien dengan FEV1/FVC < 0.70
GOLD 1 : Ringan Prediksi FEV1  80%
GOLD 2 : Sedang Prediksi 50%  FEV1 < 80%
GOLD 3 : Berat Prediksi 30%  FEV1 < 50%
GOLD 4 : Sangat Berat Prediksi FEV1 < 30%

Penilaian resiko eksaserbasi. 10


Prediktor terbaik dari memiliki sering eksaserbasi ( 2 atau lebih per tahun )
adalah sejarah peristiwa diobati sebelumnya . Risiko eksaserbasi juga meningkat
sebagai pembatasan aliran udara memburuk . Rawat inap untuk PPOK eksaserbasi
dikaitkan dengan prognosis buruk dengan peningkatan risiko kematian .
Penilaian komorbid. 10

12
Penyakit kardiovaskular , osteoporosis , depresi dan kecemasan , disfungsi
otot rangka , sindrom metabolik , dan kanker paru-paru di antara penyakit lainnya
sering terjadi pada pasien PPOK . Ini kondisi komorbiditas dapat mempengaruhi
angka kematian dan rawat inap , dan harus investigasi secara rutin dan diobati dengan
tepat. 8
Pilihan Terapi.
Konseling disampaikan oleh dokter dan profesional kesehatan lainnya secara
signifikan meningkatkan tingkat berhenti. Bahkan singkat ( 3 menit ) periode
konseling untuk mendesak perokok untuk berhenti, keberhasila berhenti merokok 5-
10% . 10
Terapi pengganti nikotin ( permen karet nikotin, inhaler, nasal spray, patch
transdermal, tablet sublingual, atau permen ) serta farmakoterapi dengan varenicline,
bupropion, atau nortriptyline bermanfaat meningkatkan pantang merokok jangka
panjang dan perawatan ini secara signifikan lebih efektif daripada placebo. 10
Pencegahan Merokok : Mendorong kebijakan tembakau, kontrol yang
komprehensif dan program dengan pesan merokok jelas, konsisten, dan diulang.
Bekerja dengan pejabat pemerintah untuk meloloskan peraturan untuk mendirikan
sekolah bebas asap rokok, fasilitas umum, dan lingkungan kerja dan mendorong
pasien untuk menjaga bebas asap rokok di rumah. 10
Eksposur Pekerjaan : Tekankan pencegahan primer, yang terbaik dicapai
dengan penghapusan atau pengurangan eksposur berbagai zat di tempat kerja.
Pencegahan sekunder, dicapai melalui pengawasan dan deteksi dini juga penting. 10
Indoor dan Outdoor Polusi Udara : Menerapkan langkah-langkah untuk
mengurangi atau menghindari polusi udara dalam ruangan dari pembakaran bahan
bakar biomassa untuk memasak dan memanaskan di tempat tinggal ventilasi buruk.
Menyarankan pasien untuk memantau pengumuman publik dari kualitas udara dan,
tergantung pada tingkat keparahan penyakit mereka, menghindari olahraga berat di

luar ruangan atau tinggal di dalam rumah selama polusi. 10


Manajemen PPOK stabil.
Sekali PPOK telah didiagnosis , manajemen yang efektif harus didasarkan
pada penilaian individual gejala saat ini dan risiko di masa mendatang. 10
 Meredakan gejala
 Meningkatkan toleransi latihan

13
 Meningkatkan status kesehatan, dan
 Mencegah progresi penyakit
 Mencegah dan mengobati eksaserbasi
 Menurunkan mortalitas
Tabel 7 : Model gejala/ resiko evaluasi pasien PPOK. 9
Kategori Karakteristik Spirometri Kejadian CAT mMRC
pasien Klasifikasi eksaserbasi
pertahun
A Resiko GOLD 1-2 1 < 10 0-1
rendah,
gejala
kurang
B Resiko GOLD 1-2 1  10 2
rendah,
gejala
bertambah
C Resiko GOLD 3-4 >2 < 10 0-1
tinggi, gejala
kurang
D Resiko GOLD 3-4 2  10 2
tinggi, gejala
bertambah

Tabel 8 : Pengobatan non farmakologi pada PPOK.(GOLD update 2015). 10


Pengobatan Farmakologi.
Manajemen non farmakologi pada PPOK
Kelompok pasien Essential Recommended Tergantung pada
pedoman lokal
A Berhenti merokok Aktivitas fisik Vaksin flu, vaksin
(dapat termasuk pneumococcal.
penanganan
farmakologi)
B, C, D Berhenti merokok Aktivitas fisik Vaksi flu, vaksin
(dapat termasuk pneumococcal.
penanganan
farmakologi,
rehabilitasi paru-
paru)

1. Bronkodilator direkomendasikan : 10,13,14,15


 Beta 2 agonis dan antikolinergik, formulasi long-acting lebih baik dibanding
formulasi short-acting.
 Kombinasi short atau long-acting beta 2 agonis dan antikolinergik jika gejala

14
tidak membaik dengan satu jenis obat.
 Berdasarkan efikasi dan efek samping bronkodilator inhaler lebih baik
dibanding bronkodilator oral.
 Berdasarkan bukti keberhasilan, efikasi relative menurun dan efek sampinh
lebih besar, pengobatan teofilin tidak direkomendasikan kecuali bronkodilator
lainnya tidak tersedia atau terjangkau untuk pengobatan jangka panjang.
2. Kortikosteroid dan Phosphodiesterase-4 Inhibitors direkomendasikan : 10,13,14,15
 Tidak ada bukti untuk merekomendasikan percobaan terapi jangka pendek
dengan kortikosteroid oral pada pasien dengan PPOK untuk mengidentifikasi
orang-orang yang peka terhadap kortikosteroid inhalasi atau obat lain.
 Pengobatan jangka panjang dengan kortikosteroid inhalasi direkomendasikan
untuk pasien dengan keterbatasan saluran nafas yang sangat berat dan untuk
pasien sering eksaserbasi yang tidak adekuat terkontrol oleh bronkodilator
long-acting.
 Monoterapi jangka panjang dengan kortikosteroid oral tidak dianjurkan pada
PPOK.
 Monoterapi jangka panjang dengan kortikosteroid inhalasi tidak dianjurkan
pada PPOK karena kurang efektif daripada kombinasi kortikosteroid inhalasi
dengan beta 2 agonis long-acting.
 Pengobatan jangka panjang yang mengandung kortikosteroid inhalasi tidak
boleh diresepkan diluar indikasi mereka karena resiko pneumonia dan
kemungkinan sedikit menigkat resiko patah tulang setelah penggunaan jangka
panjang.
 Phosphodiesterase-4 Inhibitors rofrumilast juga dapat digunakan untuk
mengurangi eksaserbasi untuk pasien dengan bronchitis kronik, keterbatasan
saluran nafas berat dan sangat berat, dan ekaserbasi sering kambuh yang tidak
adekuat terkontrol dengan bronkodilator long-acting.

Tabel 9 : Terapi farmakologi pada pasien PPOK stabil. (GOLD Update 2015)10

15
Terapi farmakologi untuk PPOK stabil.
Kelompok Pilihan pertama Pilihan alternatif Terapi lain yang
pasien (recommended) mungkin.
A SA anticholinergic prn LA anticholinergic Theophyline
Atau Atau
SA beta2-agonist prn LA beta2-agonist
atau
SA beta2-agonist dan
SA anticholinergic
B LA anticholinergic LA anticholinergic dan SA beta2-agonist
Atau LA beta2-agonist dan/atau
LA beta2-agonist SA anticholinergic
Theophyline
C ICS + LA beta2- LA anticholinergic dan SA beta2-agonist
agonist atau LA beta2-agonist dan/atau
LA anticholinergic Atau SA anticholinergic
LA anticholinergic dan Theophyline
PDE-4 inhibitor
Atau
LA beta2-agonist dan
PDE-4 inhibitor
D ICS + LA beta2- ICS + LA beta2-agonist Carbocysteine
agonist dan/atau dan LA anticholinergic N-acetylcysteine
LA anticholinergic Atau SA beta2-agonist
ICS + LA beta2-agonist dan/atau
dan PDE-4 inhibitor SA anticholinergic
Atau Theophyline
LA beta2-agonist dan LA
anticholinergic
Atau
LA anticholinergic dan
PDE-4 inhibitor
Ket :
SA : short-acting, LA : long-acting, ICS : inhaled corticosteroid, PDE-4 :
phosphodiesterase-4.

Manejemen Eksaserbasi.
Penyebab paling umum tampaknya infeksi saluran pernapasan (virus atau bakteri).
Bagaimana menilai tingkat keparahan eksaserbasi : 10
 pengukuran arteri gas darah ( di rumah sakit ) : PaO2 < 8,0 kPa ( 60 mmHg )
dengan atau tanpa PaCO2 > 6,7 kPa , ( 50 mmHg ) saat bernafas dalam
ruangan menunjukkan kegagalan pernafasan.
 Radiografi dada berguna tidak termasuk alternative diagnose.
 EKG dapat membantu dalam menyingkirkan diagnose gangguan jantung.
Tes laboratorium lainnya : 10

16
 Cek darah lengkap dapat mengidentifikasi polisitemia atau perdarahan
 Adanya sputum purulent selama eksaserbasi merupakan indikasi memulai
terapi antibiotic secara empiris.
 Pemeriksaan biokimia dapat membantu mendeteksi gangguan elektrolit,
diabetes, dan gizi buruk.
 Tes spirometri tidak dianjurkan selama eksaserbasi karena mereka bisa sulit
untuk melakukan dan pengukurannya tidak cukup akurat.
Pilihan terapi: 10,13
1. Oksigen : oksigen harus dititrasi untuk memperbaiki keadaan pasien
hipoksemia dengan target saturasi 88-92 %.
2. Bronkodilator : short-acting beta 2 agonis inhalasi dengan atau tanpa short-
acting antikolinergik lebih disukai pilihan bronkodilator untuk pengobatan
eksaserbasi.
3. Kortikosteroid sistemik : kortikosteroid sistemik mempersingkat waktu
penyembuhan, memperbaiki fungsi paru-paru (FEV1), hipoksemia arteri
(PaO2), dan mengurangi resiko kekambuhan dini, kegagalan pengobatan, dan
lama rawat inap di rumah sakit. Dianjurkan pemberian dosis prednisone 40
mg/hari selama 5 hari.
4. Antibiotic : sebaiknya diberikan pada pasien;
 Dengan 3 gejala kardinal berikut : meningkatnya sesak nafas, volume sputum,
sputum purulent.
 Dengan meningkatnya sputum purulent dan satu gejala cardinal lainnya.
 Yang membutuhkan ventilasi mekanik.
5. Terapi adjuvant: tergantung kondisi klinis pasien, keseimbangan cairan tepat
dengan perhatian khusus pemberian diuretic, anticoagulant, pengobatan
penyakit penyerta dan aspek gizi harus dipertimbangkan. Pada setiap waktu,
petugas layanan kesehatan harus kuat menegakkan langkah-langkah ketat
terhadap perokok aktif. Pasien dirawat rumah sakit karena PPOK eksaserbasi
akan meningkatkan resiko deep vein thrombosis dan emboli paru. Tindakan
tromboprofilaksis harus ditingkatkan.

Tabel 10 : (GOLD Update 2015) 9

17
Indikasi perawatan ICU
 Sesak nafas berat yang tidak adekuat respon terhadap terapi awal darurat.
 Perubahan status mental (bingung, lesu, koma).
 Persisten atau hipoksemia memburuk (PaO2 < 5.3 kPa, 40 mmHg) dan/ atau
asidosis respiratorik berat/ memburuk (pH < 7.25) meskipun mendapatkan
oksigen dan ventilasi noninvasive.
 Memerlukan ventilasi mekanik invasive.
 Hemodinamik tidak stabil – membutuhkan vasopressor.

Tabel 11 : (GOLD Update 2015) 9


Indikasi untuk ventilasi mekanik noninvasive
Setidaknya salah satu dari berikut.
 Asidosis respiratorik (pH arteri  7.35 dan/ atau PaCO2  6.0 kPa, 45 mmHg)
 Sesak nafas berat dengan tanda-tanda klinis yang menunjukkan kelelahan otot-
otot pernapasan, kerja nafas meningkat, atau keduanya, seperti penggunaan
otot aksesori pernapasan, gerakan paradoksal perut, atau retraksi ruang
intercostal.

Tabel 12 : (GOLD Update 2015) (9)


Indikasi untuk ventilasi mekanik invasive.
 Tidak toleransi terhadap noninvasive ventilasi atau noninvasive ventilasi
gagal.
 Henti jantung atau nafas
 Pernapan berhenti dengan hilangnya kesadaran atau nafas gasping.
 Hilangnya kesadaran, agitasi psikomotor tidak cukup terkontrol oleh sedasi.
 Aspirasi massif.
 Ketidakmampuan persisten untuk mengeluarkan sekresi pernafasan.
 Denyut jantung < 50 min-1 dengan hilangnya kewaspadaan.
 Instabilitas hemodinamik berat tanpa respon cairan dan obat-obat vasoaktif.
 Ventricular aritmia berat.
 Hipoksemia mengancam hidup pada pasien yang tidak dapat mentoleransi
terhadap non invasive ventilasi.

Pengobatan bedah. 9
Lung Volume Reduction Surgery (LVRS). LVRS adalah prosedur pembedahan
di mana bagian paru-paru direseksi untuk mengurangi hiperinflasi, membuat otot-otot
pernapasan lainnya lebih efektif tekanan generator dengan memperbaiki efisiensi
mekaniknya (yang diukur dengan hubungan panjang/ tekanan, kelengkungan
diafragma dan daerah aposisi). Selain itu, LVRS meningkatkan tekanan elastisitas dari
paru-paru dan dengan meningkatkan tingkat aliran ekspirasi dan mengurangi
eksaserbasi.
Bronchoscopic Lung Volume Reduction (BLVR). Beberapa teknik

18
bronkoskopik non bedah mengurangi volume paru (misalnya valve, glues, coils)
sedang diteliti. Namun, bukti yang ada tidak cukup untuk menentukan rasio resiko
manfaat. Efektivitas biaya dan mungkin berperan dalam strategi perawatan pasien
dengan dominan empisema. Teknik-teknik ini tidak boleh digunakan diluar uji klinis
sampai adanya lebih banyak data.
Transplantasi paru. Pada pasien yang diseleksi seperti PPOK sangat parah.
Transplantasi paru-paru telah terbukti meningkatkan kualitas hidup dan kapasitas
fungsional. Komplikasi umum terlihat setelah tranplantasi paru-paru selain dari
kematian post operasi yaitu penolakan akut, bronkiolitis obliteran, infeksi
oppurtunistik seperti cytomegalovirus, jamur (candida, aspergillus, Cryptococcus,
pneumocystis), atau infeksi bakteri (pseudomonas, staphylococcus spesies) dan
penyakit limpoproliferatif.
6. PROGNOSA
PPOK sering bersamaan dengan penyakit lain (penyakit penyerta) yang
mungkin memiliki dampak signifikan terhadap prognosis. Secara umum, adanya
penyakit komorbid tidak harus mengubah pengobatan PPOK dan penyakit komorbid
harus diobatin sebagai jika pasien tidak menderita PPOK.10
Prognosis berdasarkan system poin dengan 4 faktor yang digunakan untuk di
skor, sebagai berikut: 16
 Indeks massa tubuh, lebih dari 21 = 0 poin, kurang dari 21 = 1 poin.
 FEV1 (prediksi persentase post bronkodilator) lebih dari 65 % = 0 poin, 50-
64% = 1 poin, 36-49% = 2 poin, kurang dari 35% = 3 poin.
 Modified Medical Research Council (MMRC) skala sesak. MMRC 0 = sesak
saat latihan berat ( 0 poin ). MMRC 1 = sesak saat mendaki (0 poin). MMRC
2 = sesak saat berjalan datar, harus berhenti sesekali karena sesak nafas ( 1
poin ). MMRC 3 = sesak nafas setelah berjalan 100 yard atau beberapa menit
(2 poin). MMRC 4 = tidak bisa meninggalkan rumah, sesak nafas saat
melakukan aktivitas sehari-hari (3 poin).
 Enam menit berjalan kurang lebih : lebih jauh 350 meter = 0 poin, 250-349
meter = 1 poin, 150-249 meter = 2 poin, kurang dari 149 meter = 3 poin.
Perkiraan kelangsungan hidup 4 tahun berdasarkan system poin diatas sebagai
berikut: 16
 0 – 2 poin = 80 %

19
 3 – 4 poin = 67 %
 5 – 6 poin = 57 %
 7 – 10 poin = 18 %
Sistem penilaian klinis menegaskan bahwa factor-faktor penentu prognosis
pada PPOK tetap multifactorial. Waschki dan yang lain berpendapat bahwa penilaian
obyektif dari aktivitas fisik, termasuk hasil tes 6 menit berjalan kaki, yang sangat
mampu memprediksi kematian. Namun, adanya factor sosioekonomi juga mungkin
memainkan peran dalam prognosa PPOK ; misalnya sebuah penelitian kohor
retropektif menyoroti meningkatnya resiko kematian pada pasien PPOK yang tinggal
di pedesaam terpencil. 16

DAFTAR PUSTAKA

20
1) Anonymous. Chronic Obstructive Pulmonary Disease. World Health
Organization: Media Center; January 2015. Available at
http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs315/en/
2) Reilly JJ, Silverman EK, Shapiro SD. Chronic Obstructive Pulmonary
Disease. Harrison’s Principles of Internal Medicine 19 th
Edition. McGraw-
Hill Profesional’s Media Center; 2015. Available at
http://www.mhprofessional.com/mediacenter/hpim19
3) Oemiati R. Kajian Epidemiologis Penyakit Paru Obstruktif Kronik. Jakarta:
Pusat Teknologi Intervensi Kesehatan Masyarakat Badan Penelitian dan
Pengembangan Masyarakat Kem.Kesehatan RI; Media Litbangkes vol.23
No.2, Juni 2013.
4) Lange P, Celli B, Agusti A, etc. Lung Function Trajectories Leading To
Chronic Obstructive Pulmonary Disease. Denmark: The New England Journal
Medicine; 2015. Available at
http://www.nejm.org/doi/pdf/10.1056/NEJMoa1411532.
5) Well JM, Washko GR, Han MK, etc. Pulmonary Arterial Enlargement and
Acute Exacebation of COPD. Birmingham: The New England Journal
Medicine; 2012. Available at
http://www.nejm.org/doi/pdf/10.1056/NEJMoa1203830.
6) McDonough JE, Yuan R, Suzuki M, etc. Small Airway Obstruction and
Emphysema in Chronic Obstructive Pulmonary Disease. Canada: The New
England Journal Medicine; 2011. Available at
http://www.nejm.org/doi/pdf/10.1056/NEJMoa1106955.
7) Kleinschmidt P, Talavera F, Brenner BE. Chronic Obstructive Pulmonary
Disease and Emphysema in Emergency Medicine. USA: Medscape; 2016.
Available at http://emedicine.medscape.com/article/807143-overview.
8) Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, dkk. Obstruksi Saluran Nafas Pernapasan.
Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III Edisi VI . Jakarta Pusat: Dep. Ilmu
Penyakit Dalam FK UI; 2014.
9) Decramer M, Vogelmeier C, etc. Global Strategy For The Diagnosis,
Management, and Prevention of Chronic Obstructive Pulmonary Diseases
Update 2015. Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease. GOLD
Committees. Available at
http://www.goldcopd.org/uploads/users/files/GOLD_Report_2015.pdf

21
10) Decramer M, Vestbo J, Hurd S, etc. Pocket Guide To COPD Diagnosis,
Management , and Prevention Update 2015. Global Initiative for Chronic
Obstructive Lung Disease. GOLD Committees. Available at
http://www.goldcopd.org/uploads/users/files/GOLD_Pocket_2015_Feb18.pdf
11) Antariksa B, dkk. Penyakit Paru Obstruktif Kronik Diagnosis dan
Penatalaksanaan. Jakarta : Perhimpunan Dokter Paru Indonesia ; 2011.
12) Rajan S and Schaefer OP. Chronic Obstructive Pulmonary Disease. Manual
of Intensive Care Medicine Fifth Edition. Philadelphia : Lippincott Williams
& Wilkins ; 2010.
13) Sabatine MS. Chronic Obstructive Pulmonary Disease. Pocket Medicine
Fourth Edition. USA: Lippincott Williams & Wilkins; 2011.
14) Oba Y, Sarva ST, Dias S. Efficacy and Safety of Long-acting -agonist/ Long-
acting Muscarinic Antagonist Combinations in COPD. A Network Meta-
Analysis: Medscape; 2016. Available at
http://www.medscape.com/viewarticle/856463_1.
15) Mapel DW, Dalal AA, Jhonson P, etc. A Clinical Study of COPD Severity
Assessment by Primary Care Physicians and Their Patients Compared with
Spirometry. CC BY-NC-ND : The American Journal of Medicine; 2015.
Available at http://www.amjmed.com/article/S0002-9343(15)00002-9/pdf.
16) Mosenifar Z, Kamangar N. Chronic Obstructive Pulmonary Disease. Los
Angeles: Medscape; 2016. Availabe at
http://emedicine.medscape.com/article/297664-overview#showall.

Referat

22
PENYAKIT PARU OBSTRUKSI KRONIK
EKSASERBASI AKUT

HADIYAT MAHDI
NUR AHMAD TABRI

BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2016

23

Anda mungkin juga menyukai