PENDAHULUAN
PPOK adalah penyakit paru kronik yang ditandai dengan hambatan aliran
udara di saluran nafas yang bersifat progresif nonreversibel atau reversibel parsial
dan dikaitkan dengan adanya respon inflamasi paru yang abnormal terhadap
partikel atau gas yang bersifat merusak.(1) Menurut Hadirarto dkk, (2003) bronkitis
kronis dan empisema tidak dimasukkan dalam definisi PPOK karena:
- Emfisema merupakan diagnosis patologis
- Bronkitis kronis merupakan diagnosis klinis.
Selain itu keduanya tidak selalu mencerminkan hambatan aliran udara dalam
saluran nafas.(1) Menurut Tuxen (1997); Rab (1998), Bronkitis kronis dan
empisema masih dimasukkan ke dalam definisi PPOK, karena pada kenyataannya
cukup banyak penderita bronkitis kronik juga memperlihatkan tanda-tanda
empisema, termasuk penderita asma persisten berat dengan obstruksi jalan nafas
yang tidak reversibel penuh, dan memenuhi kriteria PPOK. (2,3) Bronkitis kronis
adalah: kelainan saluran nafas yang ditandai oleh batuk kronik berdahak minimal
3 bulan dalam setahun, sekurang-kurangnya 2 tahun berturut-turut, tidak
disebabkan penyakit lainnya. Emfisema adalah suatu kelainan anatomis paru yang
ditandai oleh pelebaran rongga udara distal bronkeolus terminal, disertai
kerusakan dinding alveoli.(1,4)
Di Amerika PPOK merupakan penyakit yang sering dijumpai dan banyak
dibicarakan oleh karena prevalensi dan angka mortalitas yang terus meningkat.
Kunjungan pasien PPOK di instalasi gawat darurat mencapai angka 1,5 juta, 726
ribu memerlukan perawatan di rumah sakit dan sekitar 100 ribu meninggal tiap
tahunnya. Sebagai penyebab kematian PPOK menduduki peringkat ke empat
setelah penyakit jantung, kanker, dan penyakit serebrovaskuler. Biaya yang
dikeluarkan untuk penyakit ini mencapai 24 milyar dolar pertahunnya dan hampir
mendekati 10 milyar dolar biaya yang hilang akibat pasien tidak masuk kerja.(4)
1
Survei kesehatan rumah tangga DEPKES RI tahun 1992 menunjukkan
angka kematian karena asma, bronkitis kronis dan emfisema menduduki peringkat
ke enam dari 10 penyebab tersering kematian di Indonesia. (5) Beberapa faktor
resiko yang cukup banyak dan makin meningkat di Indonesia, seperti asap rokok,
polusi udara dan kebakaran hutan diperkirakan akan lebih meningkatkan jumlah
kasus PPOK di masa yang akan datang. (1) Kebiasaan merokok merupakan satu-
satunya penyebab kausal yang terpenting, jauh lebih penting dari faktor penyebab
lainnya.(1,4)
Penulisan referat ini bertujuan untuk dapat memberikan gambaran tentang
penatalaksanaan perioperatif pada pasien PPOK yang akan menjalani operasi
elektif sehingga pada waktu operasi akan didapatkan kondisi yang optimal baik
terhadap tindakan anestesinya maupun pembedahannya.
Epidemiologi PPOK(6,7)
Merokok adalah faktor predisposisi yang paling utama untuk terjadinya
PPOK. Resiko terjadinya kematian 30 kali lebih tinggi untuk perokok berat (lebih
dari 25 batang sehari). FEV1 dapat digunakan sebagai indikator beratnya PPOK
dimana terjadi penurunan pada aliran udara ekspirasi.
Gambaran yang paling dominan pada penderita PPOK adalah terjadinya
obstruksi secara progresif pada jalan nafas, yang direfleksikan dengan penurunan
dari FEV1. Angka menunjukkan bahwa 60% perokok dengan usia diatas 60 tahun
terdapat bukti menderita emfisema.
Merokok dalam jangka yang lama juga mengakibatkan ketidakseimbangan
antara enzim protease dan antiprotease sehingga mengakibatkan degradasi atau
kerusakan serabut elastin intersisial pada jalan nafas oleh enzim elastase dan
mempercepat proses terjadinya emfisema.
2
Asap rokok dan bahan iritan yang lain akan mengaktifasi makrofage dan
sel epitel pada jalan nafas. Makrofage akan merangsang pelepasan neutrophil
chemotactic factor termasuk interleukin-8 dan leukotrine B4. Neutrophils dan
makrofage kemudian melepascan protease-protease yang kemudian merusak
jaringan penghubung pada parenkim paru, mengakibatkan emfisema dan juga
menstimulasi hipersekresi mukus. Protease-protease yang kemudian merusak
jaringan penghubung pada parenkim paru, mengakibatkan emfisema dan juga
menstimulasi hipersekresi mukus. Protease-protease normalnya diantagonis
oleh protease inhibitor termasuk 1-antitrypsin, sekresi leukoprotease
inhibitor dan tissue inhibitor dari matriks metalloproteinase. Cytotoxic T sell
(CD8 + lymphocytes) juga dipengaruhi pada kaskade inflamasi. MCP-1
merupakan monocyte chemotactic protein 1 yang dilepascan oleh dan
mempengaruhi makrofage.
3
b. Polusi udara
Polusi udara merupakan penyebab PPOK namun mekanismenya belum
jelas. Pengaruhnya lebih rendah dibandingkan dengan perokok.
c. Hiperresponsive jalan nafas
Hiperresponsive jalan nafas menyebabkan pasien yang tidak memiliki
hiperreaktifitas jalan nafas dan yang merokok mengalami peningkatan resiko
untuk mengalami PPOK dengan penurunan pada fungsi paru. Hiperresponsive
jalan nafas sebagai faktor yang menyebabkan PPOK pada perokok masih
belum jelas. Namun hiperreaktifitas bronkhial dapat disebabkan dari inflamasi
jalan nafas yang terjadi pada pasien bronchitis kronis yang dihubungkan
dengan merokok.
b. Defisiensi alpha1-antitrypsin
Defisiensi alpha1-antitrypsin merupakan faktor genetik yang dapat
menyebabkan PPOK dan didapatkan kira-kira kurang dari 1% dari semua
kasus yang didapatkan di Amerika Serikat. Alpha1-antitrypsin merupakan
protease inhibitor yang dihasilkan oleh hati yang bekerja terutama
menghambat neutrophil elastase di paru.
4
Defisiensi alpha1-antitrypsin dapat meningkatkan terjadinya emfisema
prematur pada rata-rata umur 53 tahun pada kelompok bukan perokok dan 40
tahun pada kelompok perokok.
Patofisiologi
Jalan nafas pada orang normal didistensikan oleh ikatan alveoli sewaktu
ekspirasi, pengosongan alveoli dan deflasi paru. Pada pasien PPOK ikatan
tersebut dirusak akibat emfisema yang menyebabkan jalan nafas menutup sewaktu
ekspirasi, udara terperangkap di dalam alveoli dan menyebabkan hiperinflasi.
Jalan nafas perifer juga tersumbat dan berubah akibat inflamasi dan fibrosis pada
jalan nafas (chromic obstructive bronchiolitis) dan sumbatan lumen jalan nafas
5
oleh sekresi mukus yang terperangkap di jalan nafas akibat mekanisme
pembersihan mukosiliar yang buruk.(9)
Obstruksi jalan nafas bagian perifer yang terjadi akibat fibrosis dan
infiltrasi sel-sel inflamasi bersama-sama dengan eksudat hasil inflamasi yang
terdapat pada lumen akan menambah beratnya obstruksi jalan nafas.
Perubahan patologis pada pasien PPOK terjadi pada jalan nafas yang besar
(sentral), bronchiolus yang kecil (perifer) dan parenkim paru. Mekanismenya
yang pasti belum sepenuhnya dimengerti. Peningkatan jumlah leukosit
polimorphonuklear dan macrophage yang diaktivasi akan melepascan elastase
yang tidak dapat dilawan oleh antiprotease yang akhirnya dapat menyebabkan
kerusakan paru.
Kebanyakan pasien dengan PPOK mempunyai tiga mekanisme patologis
(bronchitis obstruktif kronis, emfisema dan sumbatan oleh mukus) yang semuanya
dicetuskan akibat merokok tetapi mempunyai proporsi yang berbeda emfisema
dan bronchitis obstruktif. Di negara berkembang, merokok merupakan penyebab
umum dari PPOK selain beberapa faktor lain termasuk polusi udara (terutama
polusi udara dalam ruangan akibat pembakaran minyak) dan gizi buruk.
PPOK ditandai dengan penurunan fungsi paru tiap tahunnya yang terlihat
sesuai dengan umur.(9,10)
6
Fungsi jalan nafas menunjukkan penurunan pada perokok yang peka dan
efek dari merokok. Pasien dengan PPOK biasanya menunjukkan penurunan tiap
tahunnya pada FEV1, sering kali lebih dari 50 ml per tahun dibandingkan dengan
penurunan yang normal kira-kira 20 ml per tahun meskipun hal tersebut bervariasi
pada beberapa pasien. Hanya 10-20% dari perokok peka terhadap kecepatan
penurunan tersebut. Bagaimanapun juga dengan follow up yang lebih lama, lebih
banyak perokok yang mengalami PPOK.
Pada bronkitis kronik terdapat pembesaran kelenjar mukosa bronkus,
metaplasia sel goblet, inflamasi, hipertrofi otot polos pernafasan serta distorsi
akibat fibrosis. Emfisema ditandai oleh pelebaran rongga udara distal bronkus
terminal, disertai kerusakan dinding alveoli. (1,2,3) Secara anatomik dibedakan tiga
jenis emfisema:
1. Emfisema sentriasinar, dimulai dari bronkeolus respiratoris dan meluas ke
perifer, terutama mengenai bagian atas paru sering akibat kebiasaan merokok
lama.
2. Emfisema parasinar (panlobuler) melibatkan seluruh alveoli secara merata dan
terbanyak pada paru bagian bawah.
3. Emfisema asinar distal (parasepal) lebih banyak mengenai saluran nafas distal,
duktus dan sakus alveoler. Proses terlokalisir di septa atau dekat pleura.
7
Obstruksi saluran nafas pada PPOK bersifat ireversibel dan terjadi karena
perubahan struktur pada saluran nafas kecil yaitu: inflamasi, fibrosis, metaplasi sel
goblet dan hipertropi otot polos penyebab utama obstruksi jalan nafas.(1,2)
Bagan 1. Konsep Patogenesis PPOK (1)
Inflamasi
Kerusakan jaringan
Diagnosis
Diagnosis dari PPOK didasarkan apda anamnesis dan pemeriksaan fisik
yang dikonfirmasi dengan hasil laboratorium, biasanya dengan faktor risiko yang
mendukung (misalnya riwayat PPOK dalam keluarga dan atau terpapar oleh asap
rokok). Gejala dan tanda yang didapat bisa sangat bervariasi mulai dari gejala
ringan sampai berat. Pada pemeriksaan fisik bisa tidak ditemukan kelainan sampai
dengan kelainan yang jelas sampai dengan tanda inflasi paru.(10,11,12)
a. Anamnesis
- Riwayat merokok atau bekas merokok dengan atau tanpa gejala
pernafasan. Kebanyakan pasien dengan PPOK merokok lebih dari 20
batang rokok perhari selama 20 tahun atau lebih sebelum timbul gejala
8
batuk, keluar dahak dan sesak. Gejala umumnya timbul pada dekade
kelima dari kehidupan. Orang yang terpapar oleh asap rokok secondhand
smoke mempunyai resiko peningkatan infeksi saluran nafas dan
menyebabkan pengurangan pada fungsi paru.
- Riwayat terpapar zat iritan yang bermakna di tempat kerja.
- Riwayat penyakit emfisema pada keluarga.
- Terdapat faktor predisposisi pada masa bayi/anak, misal BBLR (berat
badan lahir rendah), infeksi saluran nafas berulang, lingkungan asap rokok
dan polusi udara.
- Batuk berulang dengan atau tanpa dahak. Batuk biasanya memburuk pada
pagi hari dan menghasilkan sejumlah sputum yang berwarna.
- Sesak dengan atau tanpa mengi. Mengi terutama terjadi sewaktu aktifitas
dan eksaserbasi.
b. Pemeriksaan fisik
1. Inspeksi
- Pursed lips breathing. Merupakan sikap seseorang yang bernafas
dengan mulut mencucu dan ekspirasi yang memanjang. Sikap ini
sebagai mekanisme tubuh untuk mengeluarkan CO2 pada gagal nafas
kronis.
- Barrel chest (diameter anteroposterior dan transversal sebanding).
- Penggunaan otot bantu nafas.
- Hipertropi otot bantu nafas.
- Pelebaran sela iga.
- Bila terjadi gagal jantung kanan terlihat denyut vena jugularis di leher
dan edema tungkai.
- Penampilan pink puffer atau blue bloater. Pink puffer merupakan
gambaran yang khas pada emfisema, penderita kurus, kulit kemerahan
dan pernafasan pursed lips breathing. Blue boater merupakan
gambaran khas pada penderita bronchitis kronis, penderita nampak
sianosis, terdapat edema tungkai dan ronkhi di basal paru, sianosis
sentral dan perifer.
9
2. Palpasi
Pada emfisema vokal fremitus melemah, sela iga melebar.
3. Perkusi
Pada emfisema hipersonor dan detak jantung melemah, letak diafragma
lebih rendah dan hepar terdorong ke bawah.
4. Auskultasi
- Suara nafas vesikuler normal atau melemah.
- Terdapat ronkhi dan atau mengi pada waktu bernafas biasa atau pada
ekspirasi paksa.
- Ekspirasi memanjang.
- Bunyi jantung terdengar jauh.
Pemeriksaan Penunjang
a. Spirometri
Pemeriksaan spirometri sangat diperlukan untuk menegakkan diagnosis PPOK
sebab pemeriksaan tersebut merupakan pemeriksaan standar untuk
mengkonfirmasi adanya obstruksi jalan nafas. Spirometri dapat menunjukkan
penurunan forced expiratory volume dalam satu detik (FEV1) dan rasio
(FEV1)/Forced vital capacity (FVC).(9,13)
10
Obstruksi ditentukan oleh FEV1 < 80% prediksi, FEV1/FVC < 75%.
Berdasarkan hasil pemeriksaan spirometri derajat PPOK dapat
diklasifikasikan sebagai berikut:
Derajat Klinis Faal Paru
Derajat 1 (PPOK ringan) Dengan atau tanpa gejala klinis (batuk, FEV1/FVC < 75%
produksi sputum) FEV1 > 80% prediksi
Derajat 2 (PPOK sedang) Dengan atau tanpa gejala klinis (batuk, FEV1/FVC < 75%
produksi sputum) gejala bertambah 30% < FEV1 < 80%
sehingga menjadi sesak.
Derajat 3 (PPOK berat) Gejala di atas bertambah meski pada FEV1/FVC < 75%
saat istirahat, tanda-tanda gagal nafas, FEV1 > 30% prediksi
cor pulmonal dan gagal jantung kanan.
b. Laboratorium
Darah rutin
Polisitemia sekunder dapat terjadi akibat hipoksemia kronis pada PPOK
berat atau pada perokok berat, 52% didapatkan pada laki-laki dan sekitar 47%
pada perempuan. Peningkatan lekosit dapat terjadi karena terapi steroid atau
karena adanya infeksi.
Sputum
Pada pasien bronchitis kronis yang stabil, dari sputum yang mucoid
ditemukan banyak makrofag. Pada pasien bronchitis kronis yang mengalami
11
eksaserbasi, dari sputum yang purulen didapatkan banyak neutrophil.
Organisme campuran sering terlihat dengan menggunakan pengecatan gram.
c. Radiologi
Foto thorak PA dan lateral berguna untuk menyingkirkan penyakit paru
yang lain. Pada emfisema terlihat gambaran hiperinflasi, hiperlusen, ruang
retrosternal melebar, jantung menggantung (jantung pendulum/tear drop/eye
drop appereance). Pada bronchitis kronis bisa terdapat gambaran normal
sampai corakan bronkhovaskuler bertambah. Dengan komplikasi hipertensi
pulmonal, vaskularisasi hilus tampak prominen dan mungkin pembesaran
ventrikel kanan. Foto thorak juga dapat menyingkirkan diagnosis
pneumothorak, pneumonia, kolaps paru dan gagal jantung kiri. CT scan
resolusi tinggi lebih sensitif dibandingkan dengan foto thorak standar.
d. EKG
Umumnya normal, namun dapat menunjukkan gambaran pembesaran
ventrikel kanan dan atrium kanan. Dapat juga terlihat gambaran iskemik
jantung.
e. Bakteriologi
Pemeriksaan bakteriologi sputum dengan pewarnaan gram dan kultur
resistensi diperlukan untuk memilih antibiotik yang tepat. Infeksi saluran
nafas berulang merupakan penyebab utama eksaserbasi akut pada penderita
PPOK di Indonesia.
Penatalaksanaan
Tujuan penatalaksanaan pasien PPOK adalah: (8, 10, 13)
1. Mencegah perkembangan penyakit
2. Mengurangi gejala
3. Mencegah dan mengobati komplikasi
4. Mencegah dan mengobati eksaserbasi
5. Mengurangi mortalitas
6. Mencegah atau meminimalkan efek samping dari pengobatan
12
Algoritme untuk penatalaksanaan PPOK secara umum dapat dilihat sebagai
berikut: (14)
13
dikombinasikan dengan antikolinergik. Rehabilitasi paru dapat mengurangi gejala
klinis dan sebagai tambahan untuk mengoptimalkan penggunaan theophylline atau
kortikosteroid inhalasi. Pengurangan volume paru dan transplantasi dilakukan
pada PPOK yang berat.
Penatalaksanaan yang optimal untuk pasien dengan PPOK yang
mengalami eksaserbasi akut meliputi diagnostik yang akurat, penggunaan
bronkhodilator, kortikosteroid dan antibiotik. Untuk pasien yang perlu mondok,
oksigenasi dan ventilasi mekanik dilakukan jika diperlukan.
Diagnostik
Pasien yang datang ke unit gawat darurat atau ke rumah sakit
direkomendasikan untuk dilakukan foto thorak. Spirometri tidak rutin dikerjakan
pada pasien PPOK eksaserbasi akut meskipun pada studi observasional yang
dilakukan pada pasien yang datang ke unit gawat darurat didapatkan bahwa pada
pasien dengan FEV1 kurang dari 40% dari yang diprediksikan mempunyai
sensitifitas 96% untuk memprediksikan kemungkinan untuk kambuh atau
memerlukan perawatan di rumah sakit.(15)
Oksigen
Meskipun relatif tidak banyak dipelajari, suplementasi oksigen termasuk
merupakan terapi awal yang diberikan untuk pasien PPOK dengan hipoksemia.
Oksigen biasanya diberikan melalui nasal cannula atau melalui sungkup muka
untuk mengontrol fraksi oksigen yang diinspirasi. Target saturasi oksigen
sebanyak 90 sampai 92% dengan target tekanan parsial oksigen di arteria (PaO2)
60-65 mmHg.
Bronkhodilator
Pilihan obat bronkhodilator yang diberikan tergantung dari respon masing-
masing pasien. Untuk terapi awal bisa diberikan antikolinergik atau memakai
kombinasi antikolinergi dengan 2 agonis. Bronkhodilator kerja cepat (fenoterol,
salbutamol, terbutalin) lebih menguntungkan daripada yang kerja lambat
14
(salmeterol, formeterol) terutama pada kasus eksaserbasi akut karena efeknya
yang cepat. Pemberian bronkhodilator dapat meningkatkan FEV 1 dan FVC sampai
15-29% dalam 60-120 menit. Agonis 1 adrenergik efeknya tidak lebih superior
dibandingkan dengan obat antikolinergik. Faktor-faktor seperti waktu yang
diperlukan untuk mencapai efek puncak (sedikit lebih cepat dibandingkan dengan
agonis 2) dan efek samping (umumnya lebih rendah) dapat mempengaruhi
pemilihan obat-obatan yang diberikan.(8)
Data-data dari penelitian klinis tidak menunjukkan keuntungan
penggunaan kombinasi agonis 2 adrenergik dan antikolinergik dibandingkan
dengan penggunaan hanya salah satu dari jenis obat tersebut. Antikolinergik
(ipatropium bromida) mempunyai aktifitas yang lebih lama daripada agonis 2
adrenergik dan efek puncaknya setelah 30-90 menit tetapi obat ini mempunyai
waktu kerja yang sedikit lebih lama yaitu 6-8 jam. Efek samping obat termasuk
mulut kering, pandangan kabur dan bronkhospasme paradoxal.
Penggunaan golongan methylxanthine seperti aminophylline sebagai
tambahan untuk bronkhodilator masih belum jelas. Obat ini dipakai bila hasil
terapi dengan agonis 2 adrenergik dan antikolinergik masih belum memuaskan.
Aminophylline loading dose 5-6 mg/kgbb iv diberikan selama 30 menit kemudian
diikuti dengan pemberian 0.5 mg/kgbb/jam. Efek samping dari aminophylline
termasuk rasa mual, nyeri kepala dan refluks gastrointestinal.
Pada tiga penelitian random yang dilakukan pemberian aminophylline
secara intravena tidak menghasilkan perbaikan pada hasil tes fungsi paru. Lebih
lanjut lagi aminophylline dihubungkan dengan peningkatan efek samping
terutama mual dan muntah. Bronkhodilator digunakan dengan menggunakan
metered-dose inhaler atau nebulizer. Metered-dose inhaler harganya lebih murah
dibandingkan. dengan nebulizer tetapi kurang efektif pada pasien dengan distress
pernafasan oleh karena itu untuk terapi awal digunakan nebulizer kemudian
diteruskan dengan metered-dose inhaler ketika klinisnya sudah memungkinkan.(16)
15
Kortikosteroid
Pada beberapa penelitian yang dilakukan (placebo-controlled trial)
didapatkan bahwa kortikosteroid sistemik dapat memperbaiki pertukaran gas dan
gejala serta mengurangi angka kegagalan terapi. Pada penelitian yang lebih besar,
271 pasien diacak untuk menerima methylprednisolone intravena selama 3 hari
(125 mg setiap 6 jam) atau plasebo. Pasien yang mendapatkan kortikosteroid
mempunyai FEV1 yang sedikit lebih tinggi dibandingkan kelompok plasebo pada
hari pertama. Keuntungan lain yang didapatkan dengan penggunaan
kortikosteroid adalah berkurangnya angka kegagalan pengobatan pada 30 dan 90
hari dan lebih singkatnya hari rawat. (17)
Durasi optimal penggunaan kortikosteroid untuk terapi PPOK eksaserbasi
akut masih belum jelas, tetapi data-data lebih lanjut menyatakan 5-10 hari. Secara
khusus penelitian yang dilakukan dengan membandingkan penggunaan
prednisolone oral (2 minggu penggunaan dengan dosis 30 mg/hari) dengan
plasebo, FEV1 lebih baik setelah hari kelima pada kelompok kortikosteroid
dibandingkan dengan kelompok plasebo. Pada penelitian lebih lanjut yang
membandingkan 3 hari dan 10 hari pengobatan dengan menggunakan
methylprednisolone pada pasien yang mondok di rumah sakit, perbaikan pada
FEV1 dan PaO2 telah terlihat setelah 3 hari terapi, setelah 10 hari terapi perbaikan
16
yang lebih besar terlihat pada FEV1, FVC dan PaO2, sesuai dengan lebih cepatnya
pemulihan dari gejala klinis. (10,17)
Antibiotik
Infeksi bakteri ikut mempengaruhi PPOK eksaserbasi akut. Sebuah studi
metaanalisis menguji penggunaan antibiotik untuk PPOK eksaserbasi akut dengan
gejala sputum yang purulen. Dari penelitian tersebut didapatkan pemulihan gejala
klinis dalam 21 hari sebanyak 68% pada kelompok yang menerima antibiotik dan
55% pada kelompok yang menerima plasebo. (12)
Antibiotik nampak paling bermanfaat pada pasien dengan eksaserbasi
yang berat. Sebagai contoh, pada penelitian random yang dilakukan pada 173
pasien yang mendapat antibiotik doxycycline, trimethoprim-sulfamethoxazole
atau amoxicilline dalam 10 hari, pasien dengan eksaserbasi yang lebih berat
(ditandai dengan sesak memberat dan sputum yang purulen) mendapatkan
manfaat yang lebih besar dibandingkan dengan kelompok yang mengalami
eksaserbasi yang lebih ringan.
Meskipun perhatian terhadap adanya resistensi menyebabkan pemilihan
awal antibiotik menggunakan antibiotik yang spektrumnya lebih luas namun tidak
ada penelitian definitif yang menyatakan hasilnya lebih baik. Pengecatan gram
dari sputum umumnya tidak selalu bermanfaat dan kultur sputum umumnya
dikerjakan pada pasien yang tidak berespon terhadap terapi empiris awal
berdasarkan penyebab kuman patogen secara umum (misal Streptecoccus
pnemoniae, Moraxella catarrhalis dan Haemophilus influenzae). Kebanyakan
klinisi memberikan terapi antibiotika sampai 5-10 hari. (12)
17
merupakan tujuan pengobatan yang penting pada pasien PPOK eksaserbasi
akut sehingga tidak menimbulkan komplikasi kegagalan respirasi. Pada enam
dari tujuh penelitian random-controlled trials dengan ventilasi tekanan positif
tanpa intubasi, pasien yang menerima terapi tersebut outcome nya lebih baik
dibandingkan dengan kelompok yang tidak mendapatkan NIPPV.
Manfaat NIPPV termasuk lebih rendahnya kemungkinan untuk
dilakukan intubasi, mortalitas di rumah sakit yang lebih rendah dan lebih
singkatnya perawatan di rumah sakit. NIPPV digunakan ketika pasien
memerlukan ventilasi bantuan yang diindikasikan dengan sesak yang
memburuk, asidosis respirasi akut dan oksigenasi yang buruk (rasio PaO2
terhadap FiO2 kurang dari 200).
Syarat penggunaan NIPPV adalah pasien harus sadar, kooperatif,
hemodinamik stabil dan sekret jalan nafas minimal. NIPPV tidak dilakukan
pada pasien dengan gagal nafas, medical instability (seperti shock
hipovolemik, iskemik jantung yang tidak terkontrol), tidak mampu
memproteksi jalan nafas, sekresi yang berlebihan, agitasi atau tidak kooperatif
atau kondisi yang tidak memungkinkan penempatan masker secara fit).
b. Ventilasi mekanik dengan intubasi
Pada prinsipnya pada pasien PPOK tidak memerlukan intubasi dan
ventilasi mekanik selama masa eksaserbasi oleh karena pemakaian ventilasi
mekanik bukan saja memperburuk keadaan tetapi menyebabkan banyak faktor
yang harus dimonitor dan penggunaan ventilator sendiri dapat juga
mengancam kehidupan oleh karena itu sedapat mungkin ventilator jangan
digunakan. Indikasi pemakaian ventilator adalah :
- gagal nafas akut maupun kronik
- frekwensi nafas > 35 x/mnt
- sesak nafas berat dengan penggunaan otot bantu nafas dan pergerakan
abdominal paradoksal (work of breathing) yang meningkat
- hipoksemia yang mengancam jiwa (PaO2 < 40 mmHg)
- asidosis berat pH < 7.25 dan hiperkapnia (PCO2 > 60 mmHg)
- penurunan kesadaran
18
- komplikasi kardiovaskular (hipotensi, shock, gagal jantung)
- komplikasi lain gangguan metabolisme, sepsis, pnemonia, emboli paru,
barotrauma, efusi pleura masif
- gagal dalam penggunaan NIPPV
19
terjadinya komplikasi itu. Adanya bukti menurunnya suara nafas, wheezing,
ekspirasi yang memanjang pada pemeriksaan fisik dapat diprediksi meningkatkan
resiko terjadinya komplikasi pulmonal pasca operasi.
Intra Operatif
- Apabila mungkin memilih tindakan bedah infasif seminimal mungkin
(laparoskopi).
- Dipertimbangkan memakai teknik regional anesthesia.
- Menghindari penggunaan pelumpuh otot dengan masa kerja yang lama.
- Menghindari tindakan operasi dengan prosedur yang membutuhkan waktu
yang lama.
Pasca operatif
20
- Meneruskan manufer ekspansi paru pascaoperasi
- Analgetik yang optimal (opioid, regional blok, analgetik gol lainnya).
(6, 20)
MANAGEMEN ANESTESI
Managemen anestesi pada pasien penderita PPOK yang akan dilakukan
pembedahan elektif termasuk persiapan pre operatif untuk mengoptimalkan fungsi
paru. Managemen selama intra operatif untuk mengurangi depresi dari obat dan
zat anestesi terhadap pernafasan, dan interfensi pasca operatif untuk mengurangi
nyeri pasca operatif yang memberikan kontribusi untuk terjadinya gangguan
oksigenasi dan ventilasi.
21
2. Pemilihan Teknik Anestesi
Adanya penyakit PPOK tidaklah menjadi catatan khusus terhadap obat
yang spesifik atau teknik khusus dalam managemen anestesi. Regional
anestesi lebih cocok terhadap operasi abdomen yang tidak menginfasi
peritoneum dan pada ekstremitas. Sedangkan untuk abdomen bagian bawah
dapat dilakukan baik regional anestesi maupun anestesi umum. Anestesi
umum menjadi pilihan utama untuk operasi abdomen atas dan operasi thorak.
Beberapa penelitian mengesankan bahwa dengan anestesi umum angka
kejadian terjadinya komplikasi paru pasca operasi lebih tinggi. Lamanya
operasi juga sangat menentukan, operasi yang lebih dari 3 jam meningkatkan
resiko komplikasi paru.
22
sevofluran, dengan itu maka dapat meminimalisasi efek depresi pernafasan
pada periode pascaoperatif. Keuntungan lain dari zat inhalasi anestesi ini
mempunyai efek sekunder terjadinya bronkodilatasi.
N2O biasanya digunakan untuk kombinasi dengan zat anestesi inhalasi.
Manakala N2O digunakan satu yang harus diperhatikan adalah bahwa gas N2O
mempunyai kemampuan untuk masuk ke dalam bula yang ada pada paru-paru
pada pasien emfisema, sehingga gas ini akan memperbesar bula, bahkan bula
akan ruptur yang akhirnya akan menyebabkan pneumothoraks.
Kerugian lain dari penggunaan N2O pada pasien PPOK terbatasnya
konsentrasi O2 yang diberikan, pada keadaan ini penting untuk diingat akan
terjadinya hipoksia vasokonstriksi pulmonal yang akan meningkatkan
intrapulmonal shunting dari kanan ke kiri.
Opioid meskipun dapat digunakan tetapi lebih kecil manfaatnya dari
anestesi inhalasi bila digunakan sebagai rumatan pada pasien penderita PPOK.
Opioid dihubungkan dengan memanjangnya efek depresi pernafasan. Bahkan
efek depresi inipun akan memanjang terhadap beberapa macam obat seperti
thiopental, midazolam dan pelumpuh otot.
Ventilasi kendali sangat berguna untuk oksigenasi arterial pada pasien
PPOK yang akan dilakukan operasi dengan anestesi umum. Pemberian
volume tidal besar (10-15 cc/kgBB) dikombinasikan dengan kecepatan aliran
inspirasi yang perlahan, meminimalisasi kemungkinan turbulensi pada jalan
nafas dan akan mengoptimalkan ventilasi-perfusi di paru.
Jika ventilasi spontan dipilih pada pasien PPOK maka harus
diperhatikan bahwa efek depresi pernafasan yang akan ditimbulkan oleh zat
anestesi inhalasi akan lebih besar dari pada orang normal. Tetapi apapun
teknik ventilasi yang dipilih yang paling penting adalah monitoring terhadap:
(1) pengukuran analisa gas darah, (2) monitoring terhadap SpO 2 dengan Pulse
Oximetry, (3) monitor terhadap konsentrasi CO2 ekspirasi dengan
Capnography.
3. Perawatan Pascaoperatif
23
Perawatan pascaoperasi pada pasien penderita PPOK ditujukan untuk
meminimalisasi terjadinya komplikasi paru pasca operasi. Teknik ekspansi
paru dengan volume dan pemberian analgetik yang adekuat paru dengan
volume dan pemberian analgetik yang adekuat adalah hal yang terpenting
untuk mencegah kejadian ini.
Kemungkinan komplikasi paru ini akan lebih besar terjadinya pada operasi
daerah abdomen atas dan operasi toraks. Data menyebutkan bahwa terjadi
penurunan kapasitas vital lebih dari 40% dibandingkan dengan pra operasi dan
hal ini tidak kembali normal sampai 14 hari pasca operasi.
Ventilasi mekanik mungkin diperlukan pasca operasi pada pasien yang
dalam pengamatan terjadi kegagalan nafas pasca operasi.
24
DAFTAR PUSTAKA
25
17. Irwin MS, Madison JM. 2003. Systemic Corticosteroids for Acute
Exacerbations of Chronic Obstructive Pulmonary Disease. The New England
Journal of Medicine. 348:2679-2681.
18. Davidson, AC. 2002. The Pulmonary physician in critical care: critical care
management of respiratory failure resulting from COPD. Thorac. 57:1079-
1084.
19. Barnes PJ. 2000. Chronik obstructive pulmonary disease. N Engl J Med.
343:269-80.
20. Smetana GW. 1999. Preoperative pulmonary evaluation. N Engl J Med.
340:937-944.
26