Anda di halaman 1dari 11

1.

Definisi
PPOM adalah klasifikasi luas dari gangguan yang
mencakup bronkitis kronis, bronkiektasis, emfisema dan
asma. (Brunner & Suddarth, 2002,hal 595)
Penyakit Paru Obstruktif Menahun /PPOM (Chronic
Obstructive Pulmonary Disease/COPD) adalah suatu
penyumbatan menetap pada saluran pernafasan yang
disebabkan oleh emfisema atau bronkitis kronis.
Emfisema adalah suatu pelebaran kantung udara
kecil (alveoli) di paru-paru, yang disertai dengan kerusakan
pada dindingnya. Dalam keadaan normal, sekumpulan alveoli
yang berhubungan ke saluran nafas kecil (bronkioli),
membentuk struktur yang kuat dan menjaga saluran
pernafasan tetap terbuka. Pada emfisema, dinding alveoli
mengalami kerusakan, sehingga bronkioli kehilangan struktur
penyangganya. Dengan demikian, pada saat udara
dikeluarkan, bronkioli akan mengkerut. Struktur saluran udara
menyempit dan sifatnya menetap.
Bronkitis kronis adalah batuk menahun yang
menetap, yang disertai dengan pembentukan dahak dan
bukan merupakan akibat dari penyebab yang secara medis
diketahui (misalnya kanker paru-paru). Pada saluran udara
kecil terjadi pembentukan jaringan parut, pembengkakan
lapisan, penyumbatan parsial oleh lendir dan kejang pada
otot polosnya. Penyempitan ini bersifat sementara.
Asma adalah penyakit jalan nafas obstruktif
intermiten, reversible dimana trakea dan bronki berespon
dalam secara hiperaktif terhadap stimulasi tertentu. Asma
dimanifestasikan dengan penyempitan jalan nafas, yang
menyebabkan dipsnea, batuk dan mengi.
Penyakit paru obstruksi menahun adalah suatu
gangguan yang ditandai oleh uji arus ekspirasi yang
abnormal yang tidak mengalami perubahan selama beberapa
bulan diobservasi, obstruksi aliran udara mungkin bersifat
struktural ataupun fungsional. Obstruksi aliran udara yang
penyebabnya spesifik seperti penyakit yang berlokalisasi di
saluran napas bagian atas bronkiektas dan ksitik fibrosis tidak
dimasukkan ke dalam PPOM (american thoracic society ).
Kesimpulan PPOM (Penyakit Paru Obstruktif
Menahun) adalah suatu penyumbatan menetap pada saluran
pernafasan yang disebabkan oleh emfisema atau bronkitis
kronis dan asma yang mengakibatkan obstruksi jalan napas
yang bersifat ireversibel dengan penyebab yang tidak
diketahui dengan pasti.
2. Epidemiologi
Penyakit paru obstruktif menahun (PPOM) kini mulai
diperhitungkan sebagai salah satu masalah kesehatan yang
menyebabkan tingginya angka kesakitan, kecacatan pada
paru dan meningkatnya biaya pengobatan dan tahun ke
tahun. Pada tahun 2002 lebih dan 20 juta penduduk AS
menderita emfisema dan sekitar 11,2 juta menderita bronkitis
kronis, terutama disebabkan oleh paparan asap rokok. Rerata
angka kejadian PPOM di Jawa Timur 6,1%. Penderita PPOM
kebanyakan berusia lanjut, terdapat gangguan mekanis dan
pertukaran gas pada sistim pernapasan dan menurunnya
aktivitas fisik pada kehidupan sehari-hari. Peningkatan volume
paru dan tahanan aliran udara dalam saluran napas pada
penderita emfisema akan meningkatkan kerja pernapasan.
Penyakit ini bersifat kronis dan progrresif, makin lama
kemampuan penderita akan menurun bahkan penderita akan
kehilangan stamina fisiknya.
3. Etiologi
Ada 2 (dua) penyebab dari penyumbatan aliran udara
pada penyakit ini, yaitu emfisema, asma dan bronkitis kronis.
a. Adanya bahan-bahan iritan menyebabkan peradangan
pada alveoli. Jika suatu peradangan berlangsung lama,
bisa terjadi kerusakan yang menetap. Pada alveoli yang
meradang, akan terkumpul sel-sel darah putih yang akan
menghasilkan enzim-enzim (terutama neutrofil elastase),
yang akan merusak jaringan penghubung di dalam dinding
alveoli.
Merokok akan mengakibatkan kerusakan lebih lanjut pada
pertahanan paru-paru, yaitu dengan cara merusak sel-sel
seperti rambut (silia) yang secara normal membawa lendir
ke mulut dan membantu mengeluarkan bahan-bahan
beracun.
b. Tubuh menghasilkan protein alfa-1-antitripsin, yang
memegang peranan penting dalam mencegah kerusakan
alveoli oleh neutrofil estalase. Ada suatu penyakit
keturunan yang sangat jarang terjadi, dimana seseorang
tidak memiliki atau hanya memiliki sedikit alfa-1-antitripsin,
sehingga emfisema terjadi pada awal usia pertengahan
(terutama pada perokok).
4. Faktor Predisposisi
Faktor-faktor yang dapat meningkatkan resiko
munculnya COPD (Mansjoer, 1999) adalah :
a. Kebiasaan merokok
b. Polusi udara
c. Paparan debu, asap, dan gas-gas kimiawi akibat kerja.
d. Riwayat infeksi saluran nafas.
Faktor resiko terjadinya PPOK meliputi: merokok,
polusi udara (debu, bahankimia), faktor genetik, status sosial
ekonomi, nutrisi, gender. Perokok memiliki prevalensi yang
lebih tinggi menderita gejala respirasi dan abnormalitas fungsi
paru. Resiko PPOK pada perokok,bergantung pada
banyaknya rokok yang dihisap pertahun dan status merokok
saa tini. Debu dan bahankimia okupasi yang ada dalam
tembakau pada fase partikulat atau bukan dari hasil
pembakaran, merupakan faktor resiko penyebab
berkembangnya PPOK. Debu dan bahan kimia okupasi jika
terinhalasi (terhirup) akan mengakibatkan alveoli meradang,
peningkatan sel darah putih, dan akibatnya alveoli terisi
cairan. Jika pemaparan sering dan kadar debu tinggi, maka
gejala akan timbul lebihbesar, dan jika tidak diobati akan
berkembang menjadi kronis, sehingga dalam kurun waktu 20 -
30 tahun dapat menimbulkan fibrosis dan berlanjut pada
terjadinya PPOK (Long, 1996). Polusi udara dalam rumah
yang berasal dari pembakaran tungku atau kompor yang tidak
berfungsi dengan baik dapat menyebabkan PPOK lebih besar
dari partikel emisi kendaraan bermotor.
Faktor genetik berperan dalam terjadinya PPOK
karena penyakit ini melibatkan banyak gen (poligenik) dan
merupakan contoh klasik interaksi gen dan lingkungan. Faktor
resiko genetik yang telah diketahui adalah difisiensi alpha-1
antitrypsin, suatu penghambat yang bersirkulasi dari protase
serine.Status ekonomi yang rendah sering mengakibatkan
terjadinya PPOK.Hal ini diakibatkan karena individu yang
memiliki status ekonomi yang rendah lebih banyak terpapar
polutan di dalam rumah dan luar rumah, tinggal di perumahan
yang padat, dengan status nutrisi yang buruk.
5. Klasifikasi
Menurut Alsagaff & Mukty (2006), COPD/PPOM dapat
diklasifikasikan yaitu :
a. Asma Bronkhial : dikarakteristikan oleh konstruksi yang
dapat pulih dari otot halus bronkhial, hipersekresi mukoid, dan
inflamasi, cuaca dingin, latihan, obat, kimia dan infeksi.
b. Bronkitis kronis : ditandai dengan batuk-batuk hampir
setiap hari disertai pengeluaran dahak sekurang-kurangnya 3
bulan berturut-turut dalam satu tahun, dan paling sedikit
selama 2 tahun. Gejala ini perlu dibedakan dari tuberkulosis
paru, bronkiektasis, tumor paru, dan asma bronkial.
c. Emfisema : suatu perubahan anatomis paru-paru yang
ditandai dengan melebarnya secara abnormal saluran udara
sebelah distal bronkus terminal, disertai kerusakan dinding
alveolus.
Penentuan klasifikasi (derajat) PPOK
Penentuan klasifikasi (derajat) PPOK sesuai dengan
ketentuan Perkumpulan Dokter Paru Indonesia (PDPI) / Gold
tahun 2005 sebagai berikut :
PPOK Ringan
Gejala klinis:
- Dengan atau tanpa batuk
- Dengan atau tanpa produksi sputum.
- Sesak napas derajat sesak 0 sampai derajat sesak 1
Spirometri:
- VEP1 80% prediksi (normal spirometri) atau
- VEP1 / KVP < 70%
PPOK Sedang
Gejala klinis:
- Dengan atau tanpa batuk
- Dengan atau tanpa produksi sputum.
- Sesak napas :derajat sesak 2 (sesak timbul pada saat
aktivitas). Spirometri:
- VEP1 / KVP < 70% atau
- 50% < VEP1 < 80% prediksi.
PPOK Berat
Gejala klinis:
- Sesak napas derajat sesak 3 dan 4 dengan gagal napas
kronik.
- Eksaserbasi lebih sering terjadi
- Disertai komplikasi korpulmonale atau gagal jantung kanan.
Spirometri:
- VEP1 / KVP < 70%,
- VEP1 < 30% prediksiatau
- VEP1 > 30% dengan gagal napas kronik
Gagal napas kronik pada PPOK ditunjukkan dengan hasil
pemeriksa ananalisa gas darah, dengankriteria:
- Hipoksemia dengan normokapnia atau
- Hipoksemia dengan hiperkapnia
6. Patofisiologi
(terlampir)
7. Manifestasi Klinis
Berdasarkan Brunner & Suddarth (2005) adalah
sebagai berikut :
a. Batuk produktif, kronis pada bulan-bulan musim dingin.
b. Batuk kronik dan pembentukan sputum purulen dalam
jumlah yang sangat banyak.
c. Dispnea.
d. Nafas pendek dan cepat (Takipnea).
e. Anoreksia.
f. Penurunan berat badan dan kelemahan.
g. Takikardia, berkeringat.
h. Hipoksia, sesak dalam dada.
Gejala-gejala awal dari PPOM, yang bisa muncul
setelah 5-10 tahun merokok, adalah batuk dan adanya
lendir. Batuk biasanya ringan dan sering disalah-artikan
sebagai batuk normal perokok, walaupun sebetulnya tidak
normal. Sering terjadi nyeri kepala dan pilek. Selama
pilek, dahak menjadi kuning atau hijau karena adanya
nanah. Lama-lama gejala tersebut akan semakin sering
dirasakan. Bisa juga disertai mengi/bengek. Pada umur
sekitar 60 tahun, sering timbul sesak nafas waktu bekerja
dan bertambah parah secara perlahan. Akhirnya sesak
nafas akan dirasakan pada saat melakukan kegiatan rutin
sehari-hari, seperti di kamar mandi, mencuci baju,
berpakaian dan menyiapkan makanan. Sepertiga
penderita mengalami penurunan berat badan, karena
setelah selesai makan mereka sering mengalami sesak
yang berat sehingga penderita menjadi malas makan.
Pembengkakan pada kaki sering terjadi karena adanya
gagal jantung. Pada stadium akhir dari penyakit, sesak
nafas yang berat timbul bahkan pada saat istirahat, yang
merupakan petunjuk adanya kegagalan pernafasan akut.
Gejala-gejala awal dari PPOM, yang bisa muncul setelah
5-10 tahun merokok:
Batuk dan adanya lendir. Batuk biasanya ringan dan
sering disalah-artikan sebagai batuk normal perokok,
walaupun sebetulnya tidak normal.
Sering terjadi nyeri kepala dan pilek, selama pilek, dahak
menjadi kuning atau hijau karena adanya nanah.
Bisa juga disertai mengi atau bengek.
Pada umur sekitar 60 tahun:
Sering timbul sesak nafas waktu bekerja dan bertambah
parah secara perlahan. Akhirnya sesak nafas akan
dirasakan pada saat melakukan kegiatan rutin sehari-hari.
Penurunan berat badan, karena setelah selesai makan
mereka sering mengalami sesak yang berat sehingga
penderita menjadi malas makan.
Pembengkakan pada kaki sering terjadi karena adanya
gagal jantung.
Pada stadium akhir dari penyakit, sesak nafas yang berat
timbul bahkan pada saat istirahat, yang merupakan
petunjuk adanya kegagalan pernafasan akut.
8. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik :
a. Pasien biasanya tampak kurus dengan barrel-shapped
chest (diameter anteroposterior dada meningkat).
b. Fremitus taktil dada berkurang atau tidak ada.
c. Perkusi pada dada hipersonor, peranjakan hati mengecil,
batas paru hati lebih rendah, pekak jantung berkurang.
d. Suara nafas berkurang
9. Pemeriksaan Penunjang
a. Chest X-Ray : dapat menunjukkan hiperinflation paru,
flattened diafragma, peningkatan ruang udara
retrosternal, penurunan tanda vaskular/bulla (emfisema),
peningkatan bentuk bronchovaskular (bronchitis), normal
ditemukan saat periode remisi (asthma)
b. Pemeriksaan Fungsi Paru : dilakukan untuk
menentukan penyebab dari dispnea menentukan
abnormalitas fungsi tersebut apakah akibat obstruksi atau
restriksi, memperkirakan tingkat disfungsi dan untuk
mengevaluasi efek dari terapi, misal : bronchodilator.
c. TLC : meningkat pada bronchitis berat dan biasanya
pada asthma, menurun pada emfisema.
d. FEV1/FVC : ratio tekanan volume ekspirasi (FEV)
terhadap tekanan kapasitas vital. (FVC) menurun pada
bronchitis dan asthma.
e. ABGs : menunjukkan proses penyakit kronis, seringkali
PaO2 menurun dan PaCO2 normal atau meningkat
(bronchitis kronis dan emfisema) tetapi seringkali
menurun pada asthma, pH normal atau asidosis, alkalosis
respiratori ringan sekunder terhadap hiperventilasi
(emfisema sedang atau asthma).
f. Bronchogram : dapat menunjukkan dilatasi dari bronchi
saat inspirasi, kollaps bronchial pada tekanan ekspirasi
(emfisema), pembesaran kelenjar mukus (bronchitis)
g. Darah Komplit : peningkatan hemoglobin (emfisema
berat), peningkatan eosinofil (asthma).
h. Sputum Kultur : untuk menentukan adanya infeksi,
mengidentifikasi patogen, pemeriksaan sitologi untuk
menentukan penyakit keganasan atau allergi.
i. ECG : deviasi aksis kanan, gelombang P tinggi (asthma
berat), atrial disritmia (bronchitis), gel. P pada Leads II, III,
AVF panjang, tinggi (bronchitis, emfisema), axis QRS
vertikal (emfisema)
j. Exercise ECG, Stress Test : menolong mengkaji tingkat
disfungsi pernafasan, mengevaluasi keefektifan obat
bronchodilator, merencanakan/evaluasi program
10. Penatalaksanaan
1. Terapi ekserbasi akut dilakukan dengan :
a. Antibiotik, karena eksaserbasi akut biasanya disertai
infeksi :
Infeksi ini umumnya disebabkan oleh H.
Influenza dan S. Pneumonia, maka digunakan
ampisilin 4 x 0,25 0,5 g/hari atau aritromisin 4 x 0,5
g/hari.
Augmentin (amoxilin dan asam klavuralat)
dapat diberikan jika kuman penyebab infeksinya
adalah H. Influenza dan B. Catarhalis yang
memproduksi B. Laktamase. Pemberian antibiotic
seperti kotrimoksosal, amoksisilin atau doksisilin pada
pasien yang mengalami eksaserbasi akut terbukti
mempercepat penyembuhan dan membantu
mempererat kenaikan peak flowrate. Namun hanya
dalam 7 10 hari selama periode eksaserbasi. Bila
terdapat infeksi sekunder atau tanda-tanda
pneumonia, maka dianjurkan antiobiotik yang lebih
kuat.
b. Terapi oksigen diberikan jika terdapat kegagalan
pernafasan karena hiperkapnia dan berkurangnya
sensitivitas CO2.
c. Fisioterapi membantu pasien untuk mengeluarkan
sputum dengan baik.
d. Bronkodilator, untuk mengatasi obstruksi jalan nafas,
termsuk didalamnya golongan adrenergic B dan
antikolinergik. Pada pasien dapat diberikan sulbutamol
g 5 mg dan atau protropium bromide 250diberikan
tiap 6 jam dengan nebulizer atau aminofilin 0,25 05 g
IV secara perlahan.
2. Terapi jangka panjang dilakukan dengan :
a. Antibiotik untuk kemoterapi preventif jangka panjang,
ampisilin 4 x 0,25 0,5/hari dapat menurunkan
ekserbasi akut.
b. Bronkodilator, tergantung tingkat reversibilitas
obstruksi saluran nafas tiap pasien, maka sebelum
pemberian obat ini dibutuhkan pemeriksaan obyektif
fungsi foal paru.
c. Fisioterapi.
d. Latihan fisik untuk meningkatkan toleransi akivitas
fisik.
e. Mukolitik dan ekspekteron.
f. Terapi oksigen jangka panjang bagi pasien yang
mengalami gagal nafas Tip II dengan PaO2
g. Rehabilitasi, pasien cenderung menemui kesulitan
bekerja, merasa sendiri dan terisolasi, untuk itu perlu
kegiatan sosialisasi agar terhindar dari depresi.
Rehabilitasi untuk pasien PPOK/COPD: a) Fisioterapi
b) Rehabilitasi psikis c) Rehabilitasi pekerjaan.
11. Komplikasi
a. Infeksi yang berulang
b. Pneumotoraks spontan
c. Eritrosit karena keadaan hipoksia kronik
d. Gagal nafaskor pulmonal
Daftar Pustaka
American Lung Association, 2010, Chronic Obstructive Pulmonary Diseases
COPD, Amerika.
Brunner & Suddart. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah
edisi 8 volume 2. Jakarta, EGC.
Smeltzer C Suzanne. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medical Bedah,
Brunner and Suddarths, Ed 8 Vol 1. Jakarta: EGC.

Anda mungkin juga menyukai