Anda di halaman 1dari 13

1.

Definisi
Kista ovarium adalah tumor ovarium yang bersifat neoplastik dan
non neoplastik. Kista ovarium merupakan suatu tumor, baik kecil maupun
yang besar, kistik atau padat, jinak atau ganas yang berada di ovarium
(Wiknjosastro, 2006). Kista ovarium adalah tumor jinak yang diduga
timbul dari bagian ovum yang normalnya menghilang saat menstruasi,
asalnya tidak teridentifikasi dan terdiri atas sel-sel embrional yang tidak
berdierensiasi. Kista ini tumbuh lambat dan ditemukan selama
pembedahan yang mengandung material sebasea kental berwarna
kuning yang timbul dari lapisan kulit (Smeltzer ,2002).
2. Etiologi
Menurut Nugroho (2010), kista ovarium disebabkan oleh gangguan
(pembentukan) hormon pada hipotalamus, hipofisis dan ovarium.
Beberapa teori menyebutkan bahwa penyebab tumor adalah bahan
karsinogen seperti rokok, bahan kimia, sisa-sisa pembakaran zat arang,
bahan-bahan tambang.
3. Klasifikasi
Berdasarkan tingkat keganasannya, kista terbagi dua, yaitu
nonneoplastik dan neoplastik. Kista nonneoplastik sifatnya jinak dan
biasanya akan mengempis sendiri setelah 2 hingga 3 bulan. Sementara
kista neoplastik umumnya harus dioperasi, namun hal itu pun tergantung
pada ukuran dan sifatnya (Prawirohardjo,2002).
Kista ovarium neoplastik jinak diantaranya: (Mansjoer, 2000)
a. Kistoma Ovarii Simpleks
Kistoma ovarii simpleks merupakan kista yang permukaannya
rata dan halus, biasanya bertangkai, seringkali bilateral, dan dapat
menjadi besar.Dinding kista tipis berisi cairan jernih yang serosa dan
berwarna kuning..
b. Kistadenoma Ovarii Musinosum
Bentuk kista multilokular dan biasanya unilateral, dapat
tumbuh menjadisangat besar.Gambaran klinis terdapat perdarahan
dalam kista dan perubahan degeneratif sehingga timbul perleketan
kista dengan omentum, usus-usus, dan peritoneum parietale. Selain
itu, bisa terjadi ileus karena perleketan dan produksi musin yang terus
bertambah akibat pseudomiksoma peritonei
c. Kistadenoma Ovarii Serosum
Kista ini berasal dari epitel germinativum. Bentuk kista
umumnya unilokular, tapi jika multilokular perlu dicurigai adanya
keganasan.Kista ini dapat membesar, tetapi tidak sebesar kista
musinosum. Selain teraba massa intraabdominal juga dapat timbul
asites
d. Kista Dermoid
Kista dermoid adalah teratoma kistik jinak dengan struktur
ektodermal berdiferensiasi sempurna dan lebih menonjol dari pada
mesoderm dan entoderm. Bentuk cairan kista ini seperti mentega.
Kandungannya tidak hanya berupa cairan tapi juga ada partikel lain
seperti rambut, gigi, tulang, atau sisa-sisa kulit. Dinding kista keabu-
abuan dan agak tipis, konsistensi sebagian kistik kenyal dan sebagian
lagi padat. Dapat menjadi ganas, seperti karsinoma epidermoid. Kista
ini diduga berasal dari sel telur melalui proses parthenogenesis.
Gambaran klinis
adalah nyeri mendadak di perut bagian bawah karena torsi tangkai
kista dermoid. Dinding kista dapat ruptur sehingga isi kista keluar di
rongga peritoneum
Kista nonneoplastik terdiri dari: (Prawirohardjo, 2002)
a. Kista folikel
Kista ini berasal dari Folikel de Graaf yang tidak sampai
berovulasi, namun tumbuh terus menjadi kista folikel, atau dari
beberapa folikel primer yang setelah tumbuh di bawah pengaruh
estrogen tidak mengalami proses atresia yang lazim, melainkan
membesar menjadi kista. Bisa didapati satu kista atau lebih, dan
besarnya biasanya dengan diameter 11,5 cm. Cairan dalam kista
berwarna jernih dan sering kali mengandung estrogen.Oleh sebab itu,
kista kadang-kadang dapat menyebabkan gangguan haid. Kista folikel
lambat laun dapat mengecil dan menghilang spontan, atau bisa terjadi
ruptur dan kista pun menghilang. Kista folikel biasanya dalam waktu 2
bulan akan menghilang sendiri.
b. Kista Korpus Luteum
Dalam keadaan normal korpus luteum lambat laun mengecil
dan menjadi korpus albikans. Kadang-kadang korpus luteum
mempertahankan diri (korpus luteum persistens), perdarahan yang
sering terjadi di dalamnya menyebabkan terjadinya kista, berisi cairan
yang berwarna merah coklat karena darah tua. Dinding kista terdiri
atas lapisan berwarna kuning, terdiri atas sel-sel luteum yang berasal
dari sel-sel teka. Kista korpus luteum dapat menimbulkan gangguan
haid, berupa amenorea diikuti oleh perdarahan tidak teratur.
c. Kista Lutein
Pada mola hidatidosa, koriokarsinoma, dan kadang-kadang
tanpa adanya kelainan tersebut, ovarium dapat membesar dan
menjadi kistik. Kista biasanya bilateral dan bisa menjadi sebesar
ukuran tinju. Pada pemeriksaan mikroskopik terlihat luteinisasi sel-sel
teka. Sel-sel granulosa dapat pula menunjukkan luteinisasi, akan
tetapi seringkali sel-sel menghilang karena atresia. Tumbuhnya kista
ini ialah akibat pengaruh hormon koriogonadotropin yang berlebihan,
dan dengan hilangnya mola atau koriokarsinoma, ovarium mengecil
spontan.
d. Kista Inklusi Germinal
Kista ini terjadi karena invaginasi dan isolasi bagian-bagian
kecil dari epitel germinativum pada permukaan ovarium .Kista ini lebih
banyak terdapat pada wanita yang lanjut umurnya, dan besarnya
jarang melebihi diameter 1 cm. Kista ini biasanya secara kebetulan
ditemukan pada pemeriksaan histologik ovarium yang diangkat waktu
operasi. Kista terletak di bawah permukaan ovarium, dindingnya
terdiri atas satu lapisan epitel kubik atau torak rendah, dan isinya
cairan jernih dan serus.
e. Kista Endometriosis
Kista yang terbentuk dari jaringan endometriosis (jaringan
mirip dengan selaput dinding rahim yang tumbuh di luar rahim)
menempel di ovarium dan berkembang menjadi kista. Kista ini sering
disebut juga sebagai kista coklat endometriosis karena berisi darah
coklat-kemerahan. Kista ini berhubungan dengan penyakit
endometriosis yang menimbulkan nyeri haid dan nyeri senggama.
Kista ini berasal dari sel-sel selaput perut yang disebut peritoneum.
Penyebabnya bisa karena infeksi kandungan menahun, misalnya
keputihan yang tidak ditangani sehingga kuman-kumannya masuk
kedalam selaput perut melalui saluran indung telur. Infeksi tersebut
melemahkan daya tahan selaput perut, sehingga mudah terserang
penyakit.
f. Kista Stein-Leventhal
Ovarium tampak pucat, membesar 2 sampai 3 kali, polikistik,
dan permukaannya licin. Kapsul ovarium menebal. Kelainan ini
terkenal dengan nama sindrom Stein-Leventhal disebabkan oleh
gangguan keseimbangan hormonal. Umumnya pada penderita
terhadap gangguan ovulasi, oleh karena endometrium hanya
dipengaruhi oleh estrogen, hiperplasia endometrii sering ditemukan.
4. Epidemiologi
Di Indonesia sekitar 25-50% kematian wanita usia subur
disebabkan oleh masalah yang berkaitan dengan kehamilan dan
persalinan serta penyakit sistem reproduksi, misalnya kista ovarium
(Depkes RI, 2011). Insiden di Indonesia, kista ovarium ditemukan
2,39%-11,7% pada semua penderita ginekologi yang dirawat (Hanafi,
2005). Angka kematian ibu di Indonesia hingga saat ini masih tinggi, hal
ini merupakan cerminan keterpurukan hak-hak reproduksi perempuan
kita.
Di Amerika pada tahun 2009 diperkirakan jumlah penderita
keseluruhan kista ovarium sebanyak 20.180 orang, yang meninggal
sebanyak 15.310 orang, dan yang masih menderita penyakit sebanyak
4.870 orang. Di Asia angka kejadian Kista Ovarium semakin tinggi pada
tahun 2010 sebanyak 60.113 penderita yang meninggal 21.004 orang dan
masih menderita sebanyak 39. Angka kejadian Kista Ovarium di
Indonesia pada tahun 2010 sampai 2011 terakhir ini belum diketahui
dengan pasti karena sistem pencatatan dan pelaporan yang belum
akurat. Berdasarkan pencatatan dan pelaporan dari Dinas Kesehatan
Propinsi Sulawesi Selatan dari bulan Januari sampai Desember 2010
sebanyak 92 penderita yaitu umur 15-24 tahun sebanyak 31 penderita,
Umur 25-44 tahun sebanyak 42 penderita, umur 45-64 tahun sabanyak
19 penderita dan umur 65 tahun ke atas tidak ditemukan penderita Kista
Ovarium.
5. Faktor resiko
a. Faktor Umur
Kista sering tejadi pada wanita usia subur atau usia reproduksi,
keganasan kista ovarium bisa terjadi pada usia sebelum menarche dan
usia di atas 45 tahun (Manuaba, 2009).
b. Faktor Genetik
Resiko wanita terkena kista ovarium adalah sebesar 1,6%. Apabila
wanita tersebut memiliki seorang anggota keluarga yang mengidap kista,
resikonya akan meningkat menjadi 4% sampai 5% (Rasjidi, 2009). Dalam
tubuh kista ada terdapat gen-gen yang berpotensi memicu kanker yaitu
protoonkogen. Karena faktor pemicu seperti pola hidup yang kurang
sehat, protoonkogen bisa berubah menjadi onkogen yaitu gen yang dapat
memicu timbulnya sel kanker.
c. Faktor Reproduksi
Riwayat reproduksi terdahulu serta durasi dan jarak reproduksi
memiliki dampak terbesar pada penyakit kista ovarium, paritas
(ketidaksuburan) yang rendah dan infertilitas, serta menarche dini dan
menopause terlambat meningkatkan resiko untuk berkembang menjadi
kista ovarium (Rasjidi, 2009). Kista ovarium sering terjadi pada wanita
dimasa reproduksi, menstruasi di usia dini (menarche dini) yaitu usia 11
tahun atau lebih muda (< 12 tahun) merupakan faktor risiko
berkembangnya kista ovarium, karena faktor asupan gizi yang jauh lebih
baik , rata-rata anak perempuan mulai memperoleh haid pada usia 10-11
tahun. Siklus haid yang tidak teratur juga merupakan faktor risiko
terjadinya kista ovarium (Manuaba, 2010).
Pada wanita usia subur dan sudah menikah serta memiliki anak,
biasanya mereka menggunakan alat kontrasepsi hormonal merupakan
faktor resiko kista ovarium, yaitu pada wanita yang menggunakan alat
kontrasepsi hormonal implant, akan tetapi pada wanita yang
menggunakan alat kontrasepsi hormonal berupa pil cenderung
mengurangi resiko untuk terkena kista ovarium (Henderson, 2005).
d. Faktor Hormonal
Kista ovarium dapat terjadi karena ketidakseimbangan hormon
estrogen dan progesteron, misalnya akibat penggunaan obat-obatan yang
merangsang ovulasi dan obat pelangsing tubuh yang bersifat diuretik.
Kista fungsional dapat terbentuk karena stimulasi hormon gonadotropin
atau sensitivitas terhadap hormon gonadotropin yang berlebihan. Hormon
gonadotropin termasuk FSH (Folikel Stimulating) dan HCG (Human
Chorionik Gonadotropin) (Wiknjosastro, 2008 ).
e. Faktor Lingkungan
Perubahan pola struktur masyarakat agraris ke masyarakat
industri banyak memberikan andil terhadap perubahan pola fertilitas, gaya
hidup, dan sosial ekonomi. Perubahan gaya hidup juga mempengaruhi
pola makan yaitu konsumsi tinggi lemak dan rendah serat, merokok,
konsumsi alkohol, zat tambahan pada makanan, terpapar polusi asap
rokok atau zat berbahaya lainya, stress dan kurang aktivitas atau
olahraga bisa memicu terjadinya suatu penyakit ( Bustam, 2007).
6. Manifestasi Klinis
Menurut Nugroho (2010), kebanyakan wanita yang memiliki kista
ovarium tidak memiliki gejalasampai periode tertentu. Namun beberapa orang
dapat mengalami gejala:
a. Nyeri saat menstruasi.
b. Nyeri di perut bagian bawah.
c. Nyeri saat berhubungan seksual.
d. Nyeri pada punggung terkadang menjalar sampai ke kaki.
e. Terkadang disertai nyeri saat berkemih atau BAB.
f. Siklus menstruasi tidak teratur, bisa juga jumlah darah yang keluar
banyak.
7. Patofisiologi

8. Penatalaksanaan Medis
a. Observasi
Jika kista tidak menimbulkan gejala, maka cukup dimonitor
(dipantau) selama 1-2 bulan, karena kista fungsional akan menghilang
dengan sendirinya setelah satu atau dua siklus haid. Tindakan ini diambil
jika tidak curiga ganas (kanker) (Nugroho, 2010).
b. Terapi bedah atau operasi
Bila tumor ovarium disertai gejala akut misalnya torsi, maka
tindakan operasi harus dilakukan pada waktu itu juga, bila tidak ada
gejala akut, tindakan operasi harus dipersiapkan terlebih dahulu dengan
seksama. Kista berukuran besar dan menetap setelah berbulan-bulan
biasanya memerlukan operasi pengangkatan. Selain itu, wanita
menopause yang memiliki kista ovarium juga disarankan operasi
pengangkatan untuk meminimalisir resiko terjadinya kanker ovarium.
Wanita usia 50-70 tahun memiliki resiko cukup besar terkena kenker jenis
ini. Bila hanya kistanya yang diangkat, maka operasi ini disebut ovarian
cystectomy. Bila pembedahan mengangkat seluruh ovarium termasuk
tuba fallopi, maka disebut salpingo-oophorectomy.
Faktor-faktor yang menentukan tipe pembedahan, antara lain
tergantung pada usia pasien, keinginan pasien untuk memiliki anak,
kondisi ovarium dan jenis kista. Kista ovarium yang menyebabkan posisi
batang ovarium terlilit (twisted) dan menghentikan pasokan darah ke
ovarium, memerlukan tindakan darurat pembedahan (emergency surgery)
untuk mengembalikan posisi ovarium. Prinsip pengobatan kista dengan
pembedahan (operasi) menurut Yatim,(2005) yaitu:
1. Apabila kistanya kecil (misalnya, sebesar permen) dan pada
pemeriksaan sonogram tidak terlihat tanda-tanda proses keganasan,
biasanya dokter melakukan operasi dengan laparoskopi. Dengan cara
ini, alat laparoskopi dimasukkan ke dalam rongga panggul dengan
melakukan sayatan kecil pada dinding perut, yaitu sayatan searah
dengan garis rambut kemaluan.
2. Apabila kistanya besar, biasanya pengangkatan kista dilakukan
dengan laparatomi. Teknik ini dilakukan dengan pembiusan total.
Dengan cara laparotomi, kista bisa diperiksaapakah sudah mengalami
proses keganasan (kanker) atau tidak. Bila sudah dalam proses
keganasan, operasi sekalian mengangkat ovarium dan saluran tuba,
jaringan lemak sekitar serta kelenjar limfe.
Perawatan Post Operasi
Menurut Johnson (2008) perawatan post operasi yang perlu
dilakukan antara lain:
a. Perawatan luka insisi/post operasi
Beberapa prinsip yang perlu diimplementasikan antara lain:
1. Balutan dari kamar operasi dapat dibuka pada hari pertama pasca
operasi.
2. Luka harus dikaji setelah operasi sampai hari pasca operasi
sampai klien diperbolehkan pulang.
3. Luka mengeluarkan cairan atau tembus, pembalut harus segera
diganti.
4. Pembalutan dilakukan dengan teknik aseptik.
b. Pemberian cairan
Pada 24 jam pertama klien harus puasa pasca operasi, maka
pemberian cairan perinfus harus cukup banyak dan mengandung
elektrolit yang diperlukan agar tidak terjadi hipotermia, dehidrasi, dan
komplikasi pada organ-organ lainnya. Cairan yang dibutuhkan
biasanya dekstrose 5-10%, garam fisiologis, dan ranger laktat (RL)
secara bergantian. Jumlah tetesan tergantung pada keadaan dan
kebutuhan, biasanya kira-kira 20 tetes per menit. Bila kadar
hemoglobin darah rendah, berikan transfusi darah atau pocked-
cellsesuai dengan kebutuhan.
c. Diet
Pemberian cairan perinfus biasanya dihentikan setelah klien
flatus, lalu dimulailah pemberian minuman dan makanan per oral,
sebenarnya pemberian sedikit minuman sudah boleh diberikan 6-10
jam pasca operasi berupa air putih atau air teh yang jumlahnya dapat
dinaikkan pada hari pertama dan kedua pasca operasi. Setelah
infuse dihentikan, berikan makanan bubur saring, minuman, buah
dan susu. Selanjutnya secara bertahap diperbolehkan makan bubur
dan akhirnya makanan biasa.
d. Nyeri
Dalam 24 jam pertama, rasa nyeri masih dirasakan di daerah operasi.
Untuk mengurangi rasa nyeri dapat diberikan obat-obatan anti sakit dan
penenang seperti suntikan intramuskuler (IM) pethidin dengan dosis 100-
150 mg atau morpin sebanyak 10-15 mg atau secara perinfus atau obat-
obatan lainnya.
e. Mobilisasi
Mobilisasi segera sangat berguna untuk membantu jalannya
penyembuhan klien. Miring ke kanan dan ke kiri sudah dapat dimulai 6-10
jam pertama pasca operasi setelah klien sadar. Latihan pernafasan dapat
dilakukan sambil tidur terlentang sedini mungkin setelah sadar. Pada hari
kedua pasien dapat latihan duduk selama 5 menit dan tarik nafas dalam-
dalam. Kemudian posisi tidur diubah menjadi setengah duduk atau semi
fowler. Selanjutnya secara berturut-turut, hari demi hari klien dianjurkan
belajar duduk sehari, belajar berjalan dan kemudian berjalan sendiri pada
hari ketiga sampai hari kelima pasca operasi.
f. Kateterisasi
Kandung kemih yang penuh menimbulkan rasa nyeri dan tidak
nyaman pada klien. Karena itu dianjurkan pemasangan kateter tetap
(balon kateter) yang terpasang 24-48 jam atau lebih lama tergantung jenis
operasi. Dengan cara ini urine dapat ditampung dan diukur dalam
kantong plastik secara periodik. Bila tidak dipasang kateter tetap
dianjurkan untuk melakukan pemasangan kateter rutin kira-kira 12 jam
pasca operasi, kecuali bila klien dapat berkemih sendiri.
g. Pemberian Obat-obatan
1. Antibiotik, kemoterapi dan anti inflamasi
2. Obat-obatan pencegah perut kembung
3. Obat-obatan lainnya
h. Perawatan Rutin
Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pemeriksaan dan
pengukuran adalah:
1. Tanda-tanda vital, meliputi: tekanan darah (TD), nadi, pernafasan,
dan suhu.
2. Jumlah cairan yang masuk dan yang keluar.
3. Pemeriksaan lainnya menurut jenis operasi dan kasus
9. Pemeriksaan Diagnostik
Menurut Djuwantono, dkk (2011), yang perlu dilakukan untuk
menegakkan diagnosa kista ovarium adalah:
a. Anamnesa
Anamnesa lengkap merupakan bagian penting dari diagnosis
tumor adneksa. Pertanyaan tentang rasa nyeri, lokasi, dan derajat
nyeri serta kapan mulai timbulnya rasa nyeri tersebut akan
memudahkan penegakan diagnosis.
b. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik diagnostik yang lengkap dan tertuju pada
gejala klinis atau tanda dari suatu infeksi atau tumor neoplastik sangat
diperlukan untuk menentukan etiologi dari massa tumor di daerah
rongga panggul. Pemeriksaan payudara secara sistematis diperlukan
karena ovarium merupakan metastasis yang umum dijumpai
karsinoma payudara. Pemeriksaan bimanual dan pemeriksaan rekto
vagina merupakan pemeriksaan pokok ginekologi yang harus
mendapatkan perhatian lebih untuk menegakkan diagnosis kelainan
di daerah rongga pelvis.
c. Pemeriksaan penunjang/tambahankista ovarium
1. Ultrasonografi (USG)
USG pada kista ovarium akan terlihat sebagai struktur
kistik yang bulat (kadang-kadang oval) dan terlihat sangat
echolucent dengan dinding-dinding yang tipis/tegas/licin dan di
tepi belakang kista nampak bayangan echo yang lebih putih dari
dinding depannya. Kista ini dapat bersifat unilokuler (tidak
bersepta) atau multilokuler (bersepta-septa). Kadang-kadang
terlihat bintik-bintik echo yang halus-halus (internal echoes) di
dalam kista yang berasal dari elemen-elemen darah di dalam
kista.
a. Transabdominal sonogram
Pemeriksaan cara sonogram menggunakan
gelombang bunyi untuk melihat gambaran organ tubuh.
Pemeriksaan jenis ini bisa dilakukan melalui dinding perut atau
bisa juga dimasukkan melalui vagina dan memerlukan waktu
sekitar 30 menit, bisa diketahui ukuran dan bentuk kistanya.
Syarat pemeriksaan transabdominal sonogram dilakukan
dalam keadaan vesica urinaria terisi/penuh.
b. Endovaginal sonogram
Pemeriksaan ini dapat menggambarkan atau
memperlihatkan secara detail struktur pelvis. Pemeriksaan ini
dilakukan dengan cara endovaginal. Pemeriksaan dilakukan
dalam keadaan vesica urinaria kosong.
c. Kista endometriosis
Menunjukkan karakteristik yang difuse, low
level/echoes pada endometrium, yang memberikan gambaran
yang padat.
d. Polikistik ovarium
Menunjukkan jumlah folikel perifer dan hiperechoid stroma.
2. CT-Scan
Akan didapat massa kistik berdinding tipis yang
memberikan penyangatan kontras pada dindingnya.
3. MRI (Magnetic Resonance Imaging)
Gambaran MRI lebih jelas memperlihatkan jaringan halus
dibandingkan dengan CT-scan, serta ketelitian dalam
mengidentifikasi lemak dan produk darah. CT-scan dapat
memberikan petunjuk tentang organ asal dari massa yang ada.
MRI tidak terlalu dibutuhkan dalam beberapa/banyak kasus. USG
dan MRI jauh lebih baik dalam mengidentifikasi kista ovarium dan
massa/tumor pelvis dibandingkan dengan CT-scan.
4. CA-125
Dokter juga memeriksa kadar protein di dalam darah yang
disebut CA-125. Kadar CA-125 juga meningkat pada perempuan
subur, meskipun tidak ada proses keganasan. Tahap pemeriksaan
CA-125 biasanya dilakukan pada perempuan yang berisiko terjadi
proses keganasan.
10. Komplikasi
Menurut Wiknjosastro (2007), komplikasi yang dapat terjadi pada kista
ovarium diantaranya:
a. Akibat pertumbuhan kista ovarium
Adanya tumor di dalam perut bagian bawah bisa menyebabkan
pembesaran perut. Tekanan terhadap alat-alat disekitarnya disebabkan
oleh besarnya tumor atau posisinya dalam perut. Apabila tumor
mendesak kandung kemih dan dapat menimbulkan gangguan miksi,
sedangkan kista yang lebih besar tetapi terletak bebas di rongga perut
kadang-kadang hanya menimbulkan rasa berat dalam perut serta dapat
juga mengakibatkan edema pada tungkai.
b. Akibat aktivitas hormonal kista ovarium
Tumor ovarium tidak mengubah pola haid kecuali jika tumor itu
sendiri mengeluarkan hormon.
c. Akibat komplikasikista ovarium
1. Perdarahan ke dalam kista
Biasanya terjadi sedikit-sedikit sehingga berangsur-angsur
menyebabkan kista membesar, pembesaran luka dan hanya
menimbulkan gejala-gejala klinik yang minimal. Akan tetapi jika
perdarahan terjadi dalam jumah yang banyak akan terjadi distensi yang
cepat dari kista yang menimbukan nyeri di perut.
2. Torsio atau putaran tangkai
Torsio atau putaran tangkai terjadi pada tumor bertangkai dengan
diameter 5 cm atau lebih.Torsi meliputi ovarium, tuba fallopi atau
ligamentum rotundum pada uterus. Jika dipertahankan torsi ini dapat
berkembang menjadi infark, peritonitis dan kematian. Torsi biasanya
unilateral dan dikaitkan dengan kista, karsinoma, TOA, massayang tidak
melekat atau yang dapat muncul pada ovarium normal. Torsi ini paling
sering muncul pada wanita usia reproduksi. Gejalanya meliputi nyeri
mendadak dan hebat di kuadran abdomen bawah, mual dan muntah.
Dapat terjadi demam dan leukositosis. Laparoskopi adalah terapi pilihan,
adneksa dilepaskan (detorsi), viabilitasnya dikaji, adneksa gangren
dibuang, setiap kista dibuang dan dievaluasi secara histologis.
3. Infeksi pada tumor
Jika terjadi di dekat tumor ada sumber kuman patogen, seperti
appendisitis, atau salpingitis.
4. Robek dinding kista
Terjadi pada torsi tangkai, akan tetapi dapat pula sebagai akibat
trauma, seperti jatuh atau pukulan pada perut dan lebih sering pada saat
bersetubuh. Jika robekan kista disertai hemoragi yang timbul secara akut,
maka perdarahan bebas berlangsung ke uterus ke dalam rongga
peritoneum dan menimbulkan rasa nyeri terus menerus disertai tanda-
tanda abdomen akut.
5. Perubahan keganasan
Setelah tumor diangkat perlu dilakukan pemeriksaan mikroskopis
yang seksama terhadap kemungkinan perubahan keganasannya. Adanya
asites dalam hal ini mencurigakan.Massa kista ovarium berkembang
setelah masa menopause sehingga besar kemungkinan untuk berubah
menjadi kanker (maligna). Faktor inilah yang menyebabkan pemeriksaan
pelvik menjadi penting.
Daftar Pustaka
Nugroho, Taufan. 2010. Kesehatan Wanita, Gender dan Permasalahannya.
Yogyakarta : Nuha Medika
Prawirohardjo, Sarwono. 2002. Ilmu Kandungan. Jakarta : Yayasan Bina Pustaka
Winkjosastro. Hanifa. 2006. Ilmu Kebidanan. Jakarta: YayasanBina Pustaka
Sarwono Prawirihardjo

Anda mungkin juga menyukai