Anda di halaman 1dari 33

PENDAHULUAN

Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) adalah penyakit umum yang


ditandai dengan gejala pernapasan persisten yang berasal dari kelainan saluran
napas dan/atau alveolar dan keterbatasan aliran udara akibat paparan signifikan
terhadap gas dan partikel berbahaya.1 Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK)
sekarang menjadi salah satu dari tiga penyebab kematian tertinggi di seluruh dunia
setelah penyakit kardiovaskuler dan kanker.2 Indonesia diperkirakan terdapat 4,8
juta orang menderita PPOK dengan prevalensi 5,6 persen (%).3
Eksaserbasi akut PPOK adalah suatu kondisi memburuknya gejala
pernapasan akut yang menghasilkan pengobatan tambahan.4 Eksaserbasi pada
PPOK merupakan peristiwa yang sangat bervariasi dalam proses biologis yang
mendasarinya, dan memiliki konsekuensi besar bagi individu, sistem perawatan
kesehatan, dan merupakan komponen terbesar dari beban sosial ekonomi.
Serangan eksaserbasi PPOK sering terjadi akibat infeksi saluran pernapasan dan
merupakan penyebab penting mortalitas dan morbiditas. PPOK eksaserbasi akut
dan frekuensi eksaserbasi memiliki efek negatif pada kualitas hidup dan
kelangsungan hidup.5
Kondisi patologis dan manifestasi klinis PPOK tidak terbatas pada
inflamasi paru dan remodelling saluran nafas.6 Beberapa penelitian melaporkan
terjadinya berbagai manifestasi sistemik kronik yang merupakan komorbiditas
dari PPOK.6 Disfungsi kelenjar tiroid merupakan penyakit penyerta yang sering
diabaikan meskipun memiliki konsekuensi klinis yang penting.7 Studi Gumus et
al. tahun 2020 menemukan penurunan triiodotironin (T3) dan thyroid-stimulating
hormone (TSH) pada pasien dengan eksaserbasi PPOK, dan frekuensi eksaserbasi
lebih tinggi pada pasien PPOK dengan hipotiroidisme daripada pasien yang tidak
mengalami hipotiroidisme.8
Tinjauan pustaka ini akan membahas mengenai komorbiditas pada PPOK,
diagnosis gangguan fungsi tiroid, prevalensi, faktor risiko, mekanisme, dampak,
pencegahan dan tatalaksana gangguan fungsi tiroid pada PPOK.

1
DEFINISI DAN KLASIFIKASI PPOK

Definisi PPOK berdasarkan GOLD 2023 adalah penyakit paru heterogen


dengan karakteristik gejala pernapasan kronis seperti dispnea, batuk, produksi
sputum dan eksaserbasi yang diakibatkan abnormalitas jalan napas, seperti
bronkitis dan bronkiolitis dan/atau emfisema yang menyebabkan obstruksi jalan
napas persisten hingga progresif.2 Hambatan aliran udara pada PPOK disebabkan
oleh kombinasi penyakit pada saluran napas kecil dan destruksi parenkim paru
atau emfisema. Gejala pernapasan yang paling umum yaitu dispnea, batuk dan
atau produksi sputum.9
Faktor risiko utama PPOK adalah merokok tembakau, namun paparan
lingkungan lain seperti paparan bahan bakar biomassa dan polusi udara dapat
berkontribusi. Faktor pejamu yang mempengaruhi berkembangnya PPOK yaitu
kelainan genetik, perkembangan paru abnormal, dan usia lanjut. 1 Penyakit paru
obstruktif kronik dapat diselingi oleh periode perburukan akut gejala pernapasan
yang disebut eksaserbasi.5 Eksaserbasi pada sebagian besar pasien berhubungan
dengan penyakit kronis penyerta yang meningkatkan morbiditas dan mortalitas. 10
Inflamasi kronis menyebabkan terjadinya perubahan struktural berupa
penyempitan saluran napas kecil dan destruksi parenkim paru sehingga
menyebabkan hilangnya perlekatan alveolus ke saluran napas kecil dan
berkurangnya recoil elastis paru.1 Inflamasi abnormal menyebabkan kerusakan
jaringan parenkim lalu terjadi emfisema dan mengganggu mekanisme pertahanan
sehingga terjadi fibrosis saluran napas kecil. Fibrosis saluran napas kecil
mengakibatkan penurunan kemampuan saluran napas untuk tetap terbuka selama
ekspirasi.11
Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease (GOLD)
mengklasifikasikan PPOK menjadi empat kelompok berdasarkan beratnya
hambatan aliran udara yaitu GOLD 1, GOLD 2, GOLD 3, dan GOLD 4. Kategori
GOLD 1 ditandai nilai volume ekspirasi paksa detik pertama (VEP1) kurang dari
sama dengan (≤) 80 % prediksi, GOLD 2 apabila nilai VEP1 50 - 79 % prediksi,
GOLD 3 apabila nilai VEP1 30 - 49% prediksi, dan GOLD 4 apabila VEP1
kurang dari (<) 30% prediksi.5,10 Evaluasi skala Modified British Medical

2
Research Council (mMRC) menentukan strategi terapi farmakologi. Rekomendasi
GOLD tahun 2023 merekomendasikan penilaian ABCD untuk mengevaluasi
eksaserbasi menjadi ABE, di mana grup C dan D digabung menjadi grup E.10
Penggolongan rekomendasi GOLD dilakukan untuk menekankan relevansi klinis
eksaserbasi.5 Kelompok A memiliki berat gejala rendah dan risiko eksaserbasi
rendah, kelompok B memiliki berat gejala tinggi dan risiko eksaserbasi rendah,
kelompok E memiliki risiko eksaserbasi tinggi. Klasifikasi PPOK digunakan
untuk menentukan terapi.1,10

PATOGENESIS

Patogenesis PPOK bermula dari inhalasi asap rokok atau partikel lain yang
akan menyebabkan kerusakan pada sel respiratorik dan inflamasi. 1 Kerusakan sel
respiratorik akan menyebabkan terjadinya apoptosis, elastolysis, dan peribronkial
fibrosis yang menyebabkan gejala dan gambaran emfisema. Kerusakan pada sel
respiratorik mengaktifkan proses inflamasi yang menyebabkan fibrosis
peribronkial.12 Patogenesis PPOK ditampilkan pada gambar satu.

Gambar 1. Patogenesis PPOK


Keterangan: TGF-β = tumor growth factor-beta; CD8+ lympochte=
cluster of differentiation 8 lymphocyte
Dikutip dari (12)

3
Respons inflamasi akan teraktivasi setelah paparan asap rokok. Inflamasi
pada saluran udara perifer terjadi sebelum ditegakkan diagnosis PPOK pada
perokok. Inflamasi merupakan proses utama pada patogenesis PPOK. Iritan yang
terinhalasi akan mengaktivasi respons inflamasi alami dengan merekrut sel-sel
inflamasi ke paru dan saluran napas.13 Sel inflamasi yang berperan penting pada
PPOK di paru adalah neutrofil, makrofag, eosinofil, sel dendritik, dan limfosit.
Asap rokok mengaktivasi makrofag dan sel epitel untuk memproduksi faktor
kemotaktik dan merusak matriks ekstraseluler paru. Faktor kemotatik akan
merekrut sel inflamasi lain seperti neutrofil dan limfosit T CD8 dari sirkulasi dan
menghasilkan fibroblas sebagai proses perbaikan abnormal.12
Penyakit paru obstruktif kronis terjadi akibat ketidakseimbangan protease
dengan antiprotease. Makrofag, monosit, dan neutrofil menghasilkan protease.
Protease akan memperparah kerusakan elastin paru dan komponen matriks paru
sehingga terjadi hambatan udara pada saluran napas. 13 Oksidan dibentuk oleh
leukosit akibat paparan reaktif oksidan dari asap rokok. Oksidan akan
mempengaruhi proses inflamasi, ekspresi proteinase, dan menyebabkan kerusakan
matriks ekstrasel sehingga terjadi kerusakan dinding alveolar. 12
Hambatan atau penurunan fungsi genetik dari vascular endothelial growth
factor (VEGF) di sel endotel akan menyebabkan apoptosis dan emfisema.
Emfisema adalah dilatasi permanen pada saluran napas distal hingga bronkiolus
terminalis yang disertai dengan kerusakan dinding saluran napas tanpa fibrosis
yang bermakna. Emfisema paru menyebabkan kerusakan vaskular dan kehilangan
jaringan di alveoli.13 Mekanisme dasar terjadinya emfisema adalah terjadinya
degradasi elastin paru karena aktivitas elastase sel inflamasi pada perokok.
Patogenesis emfisema meliputi respons inflamasi, ketidakseimbangan proteinase
dengan anti proteinase, ketidakseimbangan oksidan dengan antioksidan, dan
respons sel terhadap proteinase dan oksidan yang terbentuk oleh inflamasi akibat
asap rokok.12
Kumpulan patogenesis yang terjadi pada PPOK menyebabkan gangguan
pembersihan mukus. Mukus diproduksi di saluran napas dan dilakukan
pembersihan secara teratur. Komponen utama mukus adalah musin glikoprotein.

4
Musin glikoprotein berisi protein serin dan treonin yang merupakan tempat
menempel sisa dari karbohidrat dan sistein.12 Protein mukus di saluran napas yang
normal adalah Mucin 5AC (MUC5AC). Pada PPOK terjadi perubahan MUC5AC
menjadi Mucin 5B (MUC5B) dan Mucin 2 (MUC 2). Mukus saluran napas
berubah menjadi lebih asam, lebih sedikit glikosilasi musin, dan penurunan
peptida anti mikroba.14

PATOFISIOLOGI

Perubahan struktur dan fungsi saluran napas menyebabkan hambatan


aliran udara dan penumpukan udara di paru saat ekspirasi pada pasien PPOK.12
Saluran napas perifer merupakan area utama terjadinya hambatan aliran udara.
Peningkatan ketebalan dinding saluran napas menyebabkan diameter lumen
saluran napas menjadi lebih sempit dan terjadi hambatan aliran udara. 13
Mekanisme yang mendasari hambatan aliran udara meliputi metaplasia sel goblet,
penggantian sel klara dengan sel yang mensekresi lendir, dan infiltrasi dinding
saluran napas oleh sel inflamasi. Perubahan seluler disertai dengan peningkatan
jaringan ikat di subepitel dan kompartemen adventitial dari dinding saluran
napas.12 Perubahan struktur dan fungsi saluran napas pada PPOK menyebabkan
terjadinya abnormalitas pertukaran udara.12
Emfisema diawali oleh iritan dan molekul oksidatif yang mencapai sel
epitel alveolar yang memulai respons imun bawaan dan adaptif.12 Makrofag
alveolar melepaskan protease destruktif seperti elastase dan matrix metallo-
proteinase (MMP) sebagai respons terhadap peradangan. Ketidakseimbangan
aktivitas protease dan apoptosis pada akhirnya menyebabkan destruksi sel
pneumocyte tipe 1, sel pneumocyte tipe 2, disfungsi sel imun alveolar dan
perubahan struktur alveolus.15
Hipersekresi mukus pada pasien PPOK menyebabkan batuk produktif
kronik. Hipersekresi mukus terjadi akibat peningkatan jumlah sel goblet dan
pembesaran kelenjar submukosa karena iritasi kronik saluran napas oleh asap
rokok dan agen berbahaya lainnya.15 Eksaserbasi PPOK dapat dipicu oleh infeksi
dan polusi lingkungan. Eksaserbasi PPOK meningkatkan hiperinflasi dan udara

5
yang terperangkap sehingga mengurangi aliran udara ekspirasi dan memperburuk
sesak napas.5

MANIFESTASI KLINIS PPOK

Gejala pasien PPOK antara lain sesak napas yang bersifat progresif,
diperberat dengan aktivitas atau olahraga, dan bersifat menetap. Batuk pada
pasien PPOK bersifat kronis dan dapat disertai dahak atau batuk kering. 16 Gejala
respiratorik kronik memburuk ketika terjadi episode eksaserbasi. Eksaserbasi
adalah kejadian akut memberatnya gejala suatu penyakit yang membutuhkan
perubahan terapi.5 Sepertiga kasus eksaserbasi PPOK belum dapat ditentukan
faktor pemicunya. Beberapa faktor pemicu terjadinya eksaserbasi PPOK yaitu
infeksi bakteri atau virus, paparan polusi udara yang dapat menyebabkan spasme
bronkus, dan gagal napas.17
Temuan pada pemeriksaan fisik pasien PPOK adalah mengi. Mengi tidak
selalu timbul pada pasien PPOK. Mengi tidak selalu berhubungan dengan derajat
obstruksi saluran napas yang terjadi.1 Ekspirasi yang memanjang dapat ditemukan
pada pasien PPOK dan berhubungan dengan derajat penyakit. 10 Kondisi PPOK
berat dapat ditemukan barrel-shaped chest atau bentuk dada seperti tong,
penurunan suara napas, suara jantung yang menjauh, hipersonor pada perkusi
akibat hiperinflasi, dan dapat ditemukan posisi tripod. Posisi tripod yaitu posisi
pasien condong ke depan dengan menyangga badan menggunakan tangan. Posisi
tripod bertujuan mempermudah otot bantu pernapasan di leher dan dada bagian
atas untuk dapat meningkatkan aliran udara.16
Penilaian gejala pada pasien PPOK dapat dilakukan dengen metode
kuesioner. Kuesioner oleh mMRC menilai derajat sesak napas pasien PPOK.
Kuesioner mMRC juga dapat digunakan untuk mengukur status kesehatan dan
memprediksi resiko mortalitas akibat PPOK. 10 Kuesioner lain yang dapat
digunakan seperti Chronic Respiratory Questionnaire (CRQ), St. George’s
Respiratory Questionnaire (SGRQ), COPD Assessment Test (CAT), dan COPD
Control Questionnaire (The CCQ). Kuesioner bermanfaat sebagai alat bantu
untuk menegakkan diagnosis PPOK.1

6
Penegakan diagnosis pasien PPOK memerlukan anamnesis, pemeriksaan
fisik, dan pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan penunjang spirometri bertujuan
untuk menilai fungsi paru.10 Spirometri bermanfaat untuk melihat keterbatasan
aliran udara pada saluran napas. Pasien diminta untuk menghembuskan napas
secara paksa kemudian VEP1 dibandingkan dengan jumlah total udara yang
dihembuskan pada saat ekspirasi atau kapasitas volume paksa (KVP).1 Penurunan
rasio VEP1 dibandingkan KVP digunakan untuk menegakkan diagnosis PPOK.
Tingkat keparahan obstruksi aliran udara di saluran napas ditandai dengan
penurunan VEP1.17 Hasil spirometri pasien PPOK pada grafik aliran dengan
volume udara menampilkan bentuk konkaf, sedangkan pada grafik aliran udara
dengan waktu menampilkan adanya perpanjangan waktu ekspirasi. 16

KOMORBIDITAS PADA PPOK

Komorbiditas merupakan kelainan atau penyakit kronik lain yang menyertai


suatu penyakit tertentu.2 Penyakit paru obstruktif kronik merupakan salah satu
penyakit yang memiliki banyak komorbiditas dan dapat terjadi pada semua derajat
PPOK.6,18 Prevalensi komorbiditas pada PPOK dilaporkan bervariasi oleh
beberapa penelitian. Komorbiditas PPOK yang tercantum di dalam rekomendasi
GOLD 2023 adalah penyakit kardiovaskular, kanker paru, obstructive sleep apneu
syndrome, diabetes melitus, sindrom metabolik, osteoporosis, kecemasan, depresi,
miopati otot rangka, dan gangguan mental. 2 Studi Vanfletern et al di Maastricht
University Medical Centre, Netherland tahun 2013 melaporkan komorbiditas
dengan frekuensi lima terbanyak adalah hiperglikemia (54%), aterosklerosis
(53%), hipertensi (48%), dislipidemia (36%) dan osteoporosis (31%).6 Van
Manen et al tahun 2001 melakukan penelitian terhadap 1145 pasien PPOK di
Academic Medical Center University of Amsterdam, Netherlands, mendapatkan
lebih dari (>)50% pasien PPOK memiliki 1-2 komorbid, 15,8% memiliki 3-4
komorbid dan 6,8% memiliki paling sedikit (≥)5 komorbid.19
Komorbiditas pada PPOK dapat memiliki dampak yang signifikan pada
prognosis penyakit. Penyakit komorbid dapat muncul baik secara independen
maupun terkait secara kausal dengan PPOK.2 Penatalaksanaan pasien PPOK harus

7
mencakup identifikasi dan pengobatan penyakit penyertanya yang tidak hanya
mengganggu kualitas hidup tetapi juga meningkatkan mortalitas pada pasien
PPOK stadium lanjut.20
Inflamasi sistemik berperan penting dalam patogenesis komorbiditas pada
PPOK.1 Salah satu hipotesis klasik untuk menjelaskan perkembangan inflamasi
sistemik pada PPOK adalah teori spillover.1 Konsep spillover menunjukkan
bahwa reaksi inflamasi awal bersifat lokal, tetapi setelah itu peningkatan mediator
inflamasi dapat menyebar dari paru yang meradang ke dalam sirkulasi untuk
menyebabkan inflamasi sistemik.11 Kadar plasma Tumor Necrotizing Factor-alfa
(TNF-α), reseptor TNF terlarut, Interleukin (IL)-6, dan IL-8 yang meningkat pada
pasien PPOK mempercepat reaksi imun berikutnya di organ ekstrapulmoner. 1
Hipotesis spillover pada perkembangan PPOK dapat dilihat pada gambar dua.

Gambar 2. Hipotesis spillover pada perkembangan PPOK.


Keterangan : IL-6 = Interleukin 6; IL-1β = Interleukin 1 beta; TNF-α
= Tumor necrotizing factor-alfa; CRP = C-reactive
aprotein.
Dikutip dari (1)
Penelitian tentang efek dari merokok merupakan model terbaik untuk
mengungkap mekanisme inflamasi sistemik pada PPOK. 20 Pajanan asap rokok
menyebabkan inflamasi lokal pada paru, inflamasi sistemik yang melibatkan

8
beberapa organ, stres oksidatif sistemik, perubahan vasomotor, perubahan fungsi
endotel dan peningkatan kadar beberapa faktor prokoagulan.1 Efek sistemik
pajanan asap rokok disertai berbagai faktor risiko lain seperti usia tua, penurunan
aktivitas fisis, hipoksia kronik dan penggunaan kortikosteroid melatarbelakangi
perkembangan berbagai komorbiditas pada pasien PPOK.20
Komorbiditas pada pasien PPOK akan meningkatkan mortalitas. 11 Penelitian
Manino et al di University of Kentucky College, USA tahun 2008 melaporkan
risiko kematian dipengaruhi derajat PPOK dan jumlah komorbid yang
menyertainya seperti penyakit kardiovaskular (25%), kanker terutama kanker paru
(20-33%) dan penyebab lainnya (30%).11 Komorbiditas pada PPOK juga akan
mempengaruhi lama rawat dan kejadian rawat ulang, yaitu pada pasien dengan
anemia, kandidiasis, depresi, fibrilasi atrium disertai gagal jantung, gagal nafas
dan kaheksia.1
Hormon tiroid memainkan peran penting dalam pengaturan metabolisme.20
Perubahan kadar hormon tiroid serum muncul pada banyak penyakit sistemik.20
PPOK menyebabkan disfungsi tiroid tidak hanya melalui peradangan sistemik
tetapi juga dengan mempengaruhi homeostasis endokrin.18 Gangguan fungsi tiroid
seperti hipotiroidisme, hipertiroidisme, dan sindrom penyakit nontiroidal muncul
seiring dengan kelainan gas darah yang berkembang selama PPOK.4 Sejumlah
penelitian telah dilakukan pada gangguan fungsi tiroid pada pasien PPOK yang
ditemukan lebih umum di antara pasien wanita daripada pria.20

FUNGSI TIROID

Tiroid adalah kelenjar endokrin. Lokasinya di inferior, anterior leher, dan


bertanggung jawab untuk pembentukan dan sekresi hormon tiroid serta
homeostasis yodium dalam tubuh manusia. 21 Tiroid menghasilkan sekitar 90%
hormon tiroid tidak aktif, atau tiroksin (T4), dan 10% hormon tiroid aktif, atau
triidotironin (T3). Hormon tiroid yang tidak aktif diubah secara perifer menjadi
hormon tiroid yang diaktifkan atau hormon tiroid alternatif yang tidak aktif. 22
Hormon tiroid menginduksi efek pada hampir semua sel berinti dalam
tubuh manusia, umumnya meningkatkan fungsi dan metabolismenya.23 Curah

9
jantung, volume sekuncup, dan detak jantung istirahat meningkat melalui efek
kronotropik dan inotropik positif.24 Hormon tiroid aktif meningkatkan kalsium
intraseluler miokard untuk meningkatkan kekuatan dan kecepatan kontraksi,
bersamaan dengan pelebaran pembuluh darah di kulit, otot, dan jantung yang
mengakibatkan penurunan resistensi pembuluh darah perifer sementara volume
darah meningkat melalui aktivasi sistem renin-angiotensin-aldosteron.24
Basal metabolic rate (BMR), produksi panas, dan konsumsi oksigen
meningkat melalui aktivasi hormon tiroid.23 Glukosa dan asam lemak mengalami
peningkatan penyerapan dan oksidasi, yang menghasilkan peningkatan
termogenesis dan memerlukan peningkatan pembuangan panas. Peningkatan
termogenesis menyebabkan intoleransi panas pada hipertiroidisme. Kompensasi
untuk peningkatan termogenesis juga dimediasi oleh hormon tiroid melalui
peningkatan aliran darah, berkeringat, dan ventilasi.25
Triidotironin (T3) bertanggung jawab untuk mempengaruhi banyak organ
dan jaringan di seluruh tubuh yang merupakan efek dari peningkatan laju
metabolisme dan sintesis protein.25 Laju pernapasan istirahat dan ventilasi semenit
mengalami stimulasi oleh T3 untuk menormalkan konsentrasi oksigen arteri
sebagai kompensasi atas peningkatan laju oksidasi. Triiodotironin (T3) juga
mempromosikan pengiriman oksigen ke jaringan dengan mensimulasikan
produksi erythropoietin dan hemoglobin.23 Fungsi T3 yang lain yaitu
mempromosikan penyerapan folat dan kobalamin melalui saluran pencernaan,
bertanggung jawab untuk perkembangan pusat pertumbuhan janin dan
pertumbuhan tulang linier, osifikasi endokhondral, dan pematangan pusat tulang
epifisis setelah kelahiran. Triiodotironin (T3) dapat mensimulasikan remodeling
tulang dewasa dan degradasi mucopolysaccharides dan fibronektin dalam jaringan
ikat ekstraseluler.24 Triiodotironin (T3) menstimulasi sistem saraf yang
menghasilkan peningkatan kewaspadaan, dan respons terhadap rangsangan
eksternal. Hormon tiroid juga merangsang sistem saraf perifer, menghasilkan
peningkatan refleks perifer dan tonus gastrointestinal, serta motilitas.24
Hormon tiroid berperan dalam kesehatan reproduksi dan fungsi organ
endokrin lainnya, misalnya pengaturan fungsi reproduksi normal pada pria dan

10
wanita dengan mengatur siklus ovulasi dan spermatogenesis. 24 Hormon tiroid juga
mengatur fungsi hipofisis; produksi dan pelepasan hormon pertumbuhan
dirangsang oleh hormon tiroid sambil menghambat produksi dan pelepasan
prolaktin.24 Bersihan (clearence) banyak zat ginjal, termasuk beberapa obat, dapat
ditingkatkan karena aktivasi hormon tiroid dengan menstimulasi aliran darah
ginjal dan laju filtrasi glomerulus.23
Free T4 (fT4) dan TSH serum sering diandalkan untuk menguji fungsi
25
tiroid. Thyroid stimulating hormone (TSH) bertanggung jawab menstimulasi
tiroid untuk menghasilkan lebih banyak iodotironin. Level TSH berkorelasi
terbalik dengan konsentrasi hormon tiroid aktif; saat T3 meningkat, TSH
menurun, dan sebaliknya.23 Tingkat tiroksin bebas dalam serum lebih sering
diukur daripada tingkat T4 total (tT4), yang akan mencakup T4 yang terikat
protein, yang tidak tersedia untuk memasuki jaringan. Free T4 (fT4) dapat
menjadi proksi untuk kadar serum T3. 24

GANGGUAN FUNGSI TIROID

Hipotiroidisme
Hipotiroidisme didefinisikan sebagai penurunan produksi hormon tiroid
dan/atau oleh gangguan aksi hormon tiroid pada jaringan target.22 Hipotiroidisme
dapat diklasifikasikan dalam dua jenis utama yaitu primer dan sentral.
Hipotiroidisme primer disebabkan oleh kelainan kelenjar tiroid yang berkontribusi
terhadap penurunan sekresi hormon tiroid, yaitu jika konsentrasi TSH serum
tinggi dan kadar fT4 serum yang rendah, atau sebagai subklinis jika pasien
memiliki pengukuran TSH serum yang tinggi bersamaan dengan fT4 serum
normal. Hipotiroidisme sentral dikaitkan dengan penurunan pelepasan TSH dari
kelenjar hipofisis (hipotiroidisme sekunder) atau dengan penurunan sekresi
thyroid releasing hormone (TRH) dari hipotalamus (hipotiroidisme tersier) yang
menyebabkan penurunan produksi hormon tiroid disebabkan oleh kurangnya
stimulasi kelenjar tiroid.27
Gejala umum hipotiroidisme meliputi intoleransi dingin dan penambahan
berat badan akibat penurunan laju metabolisme basal dan termogenesis, depresi,

11
kelelahan, penurunan refleks perifer, dan konstipasi, akibat penurunan stimulasi
sistem saraf pusat dan perifer.26 Temuan laboratorium pada hipotiroidisme primer
meliputi penurunan fT4 serum dan peningkatan TSH serum.27 Peningkatan TSH
serum pada hipotiroidisme primer berada di atas batas atas kisaran referensi
normal, yaitu 4 - 5 mikrounit per liter (mU/L) dan 2,5 – 3 mU/L pada individu
sehat tanpa penyakit tiroid.28 Temuan laboratorium pada hipotiroidisme sekunder
(sentral) sebagai kadar TSH normal atau rendah dengan adanya penurunan serum
fT4.28 Pemeriksaan TSH serum dan fT4 dilakukan jika diduga penyakit hipofisis
atau hipotalamus (misalnya, wanita muda dengan amenore dan kelelahan). Ukur
fT4 jika pasien memiliki gejala hipotiroidisme yang meyakinkan meskipun hasil
TSH normal.22 Algoritma untuk mengevaluasi pasien dengan gejala
hipertiroidisme dapat dilihat pada gambar tiga.

Gambar 3. Algoritma penegakan diagnosis pada hipotiroidisme


Dikutip dari (22)

12
Hipertiroidisme
Hipertiroidisme adalah gangguan endokrin dengan kelebihan produksi
hormon tiroid.6 Pasien dengan hipertiroidisme akan memiliki kadar TSH rendah
dengan peningkatan kadar fT4 dan T3 total. Pasien dengan hipertiroidisme
ringan/subklinis akan memiliki TSH rendah dengan kadar fT4 dan T3 total
normal. Toksikosis T3 didefinisikan sebagai TSH rendah dengan kadar T4 normal
dan kadar T3 tinggi.25 Algoritma untuk mengevaluasi pasien dengan gejala
hipertiroidisme dapat dilihat pada gambar empat.

Gambar 4. Algoritma untuk mengevaluasi pasien dengan hipertiroidisme.


Dikutip dari (25)
Hipertiroidisme sering menyebabkan intoleransi panas, penurunan berat
badan, kecemasan, hiperrefleksia, diare, serta jantung berdebar. Peningkatan

13
stimulasi laju metabolisme basal, termogenesis, detak jantung istirahat, dan curah
jantung, serta sistem saraf pusat dan perifer menghasilkan gejala yang paling
umum. Gejala lain yang juga muncul yaitu rambut rapuh, kulit kering, dan
miksedema pretibial.25 Pada penyakit Graves merupakan suatu kondisi autoimun
di mana reseptor TSH menjadi aktif oleh antibodi secara otomatis. Antibodi
reseptor TSH juga mengaktifkan sel T dan menyebabkan proliferasi fibroblas dan
akumulasi glikosaminoglikan pada otot ekstraokular dan jaringan ikat retrookular
yang menyebabkan proptosis.24 Tiroiditis Hashimoto adalah penyebab utama
hipertiroidisme, yang berhubungan dengan human leucocyte antigen (HLA)-DR5.
Adanya antibodi anti-tiroglobulin dan peroksidase tiroid menunjukkan tiroiditis
Hashimoto.23

Non-Tiroidal Ilness Syndrome


Setiap penyakit akut dan berat dapat menyebabkan kelainan sirkulasi kadar
hormon tiroid tanpa adanya penyakit tiroid yang mendasarinya. 4 Penyebab utama
perubahan hormonal ini adalah pelepasan sitokin seperti IL-6.7 Pola hormon yang
paling umum pada sick euthyroid syndrome (SES), juga disebut nonthyroidal
illness syndrome (NTIS), adalah penurunan kadar T3 total dan T3 bebas dengan
kadar T4 dan TSH normal. Besarnya penurunan T3 berkorelasi dengan tingkat
keparahan penyakit.24
Penyakit yang berat dapat menyebabkan perubahan kadar hormon tiroid,
dan menunjukkan pola kelainan yang khas pada gangguan tertentu.20 Penyakit hati
akut dikaitkan dengan peningkatan awal kadar T3 dan T4 total (tetapi tidak
terikat) karena pelepasan dari thyroid binding globulin (TBG); yang kemudian
menjadi subnormal dengan perkembangan menjadi gagal hati. 24 Kadar T4 total
dan T4 bebas, mengalami peningkatan sementara dengan kadar T3 normal yang
terlihat pada 5-30% pasien psikiatri yang sakit akut dengan nilai TSH mungkin
rendah, normal, atau tinggi.24 Kadar T3 dan T4 meningkat pada tahap awal infeksi
HIV, kemudian tingkat T3 turun seiring perkembangan menjadi acquired
imunodeficiency disease syndrome (AIDS), dan TSH biasanya tetap normal.27
Penyakit ginjal sering disertai dengan konsentrasi T3 yang rendah, tetapi dengan

14
tingkat reverse T3 (rT3) yang cenderung normal, karena faktor yang tidak
diketahui yang meningkatkan penyerapan rT3 ke dalam hati. 24
Diagnosis NTIS dapat menjadi suatu tantangan, karena informasi yang
terbatas, dan pasien sering mengalami gangguan metabolisme ganda. 29 Riwayat
penyakit tiroid dan tes fungsi tiroid sebelumnya, evaluasi keparahan dan
perjalanan waktu penyakit akut pasien, dokumentasi obat-obatan yang dapat
mempengaruhi fungsi tiroid atau kadar hormon tiroid, dan pengukuran rT3
bersamaan dengan hormon tiroid yang tidak terikat dan TSH merupakan fitur
yang berguna untuk dipertimbangkan.24 Diagnosis NTIS ditegakkan berdasarkan
gejala klinis dan pola nilai laboratorium.4

GANGGUAN FUNGSI TIROID PADA PPOK

Disfungsi tiroid didefinisikan berdasarkan tingkat sirkulasi TSH dan fT4.30


Kelainan tes fungsi tiroid pada PPOK dapat muncul dalam fase stabil penyakit
maupun saat eksaserbasi, dapat berupa NTIS, hipo atau hipertiroidisme subklinis
atau hipo atau hipertiroidisme dengan menifestasi klinis yang jelas.8,18 Derajat
keparahan obstruksi jalan napas, hipoksemia, dan peradangan sistemik dapat
menjadi predisposisi gangguan tiroid pada pasien PPOK.31

Prevalensi
Hormon tiroid memainkan peran penting dalam pengaturan termogenesis
dan metabolisme. Kadar hormon tiroid serum berubah selama penyakit sistemik.31
Beberapa penyakit berhubungan dengan konsentrasi hormon tiroid yang abnormal
mengikuti rangsangan akut atau kronis yang tidak berhubungan dengan disfungsi
kelenjar tiroid intrinsik.8 Studi oleh Gow et al tahun 1987 di Northern General
Hospital, Edinburgh melaporkan bahwa tidak ada perbedaan kadar fT4 dan TSH
antara pasien PPOK dan kontrol.32 Penelitian Martinez et al tahun 1989 di Boston
University melaporkan perubahan kadar hormon tiroid pada penyakit pernapasan,
yaitu pasien dengan disfungsi diafragma hipotiroidisme terjadi lebih sering
daripada yang diduga dan dengan tingkat keparahan yang bervariasi.31 De Groot
tahun 2006 di Brown University USA melaporkan prevalensi NTIS di antara

15
pasien rawat inap adalah sekitar 35-70%.4 Studi oleh Terzano et al. tahun 2014 di
University of Rome menemukan hubungan negatif antara tekanan parsial oksigen
dan kadar TSH pada pasien PPOK.32
Non-thyroidal illness syndrome (NTIS) adalah jenis gangguan fungsi tiroid
yang paling sering terjadi pada pasien PPOK yang ditandai dengan penurunan
konversi perifer T4 menjadi T3 karena penyakit sistemik.6 Prevalensi NTIS
diperkirakan sebesar 14-20% pada pasien dengan PPOK stabil dan 70% pada
periode eksaserbasi.8 Kadar T3 yang merupakan hormon aktif secara biologis
menurun, kadar T4 normal atau menurun pada NTIS dan kadar TSH yang
normal.18
Penelitian terbaru Gumuz et al tahun 2021 di Recep Tayyip Erdogan
University, Rize, Turki menyebutkan prevalensi penyakit kelenjar tiroid pada
pasien ppok sebesar 22 % dengan rata-rata usia 65:9 ± 9:8. Penyakit kelenjar
tiroid yang paling sering adalah eutiroidisme, diikuti oleh hipertiroidisme dan
hipotiroidisme.20 Dymanowska pada tahun 2015 di Medical University of Lodz,
Poland menyatakan disfungsi tiroid lebih sering terjadi pada wanita daripada pria
di antara pasien PPOK, mirip dengan populasi umum.6 Garcia-Olmost et al.
melaporkan dalam kohort PPOK besar dari Spanyol tahun 2013, pasien dengan
PPOK memiliki prevalensi penyakit tiroid yang lebih tinggi (14,2%) daripada
prevalensi penyakit kronis standar yang diharapkan (11,06%), dan ditemukan
lebih tinggi pada wanita dibandingkan laki-laki (24,6 vs 10,9%) di antara pasien
PPOK.8

Patogenesis
Inflamasi kronis pada PPOK berhubungan dengan produksi IL-1β, TNF-α,
IL-8, IL-6, dan fibrinogen oleh makrofag alveolar dan neutrofil.33 Kadar sitokin
inflamasi sistemik seperti IL-6, IL-1 dan TNF-α yang meningkat pada pasien
dengan PPOK dapat menghambat sintesis atau sekresi TSH, T3 dan protein
pengikat hormon tiroid, dan dapat menurunkan konversi T4 menjadi T3. 6 Karadag
et al. tahun 2007 di Turki menemukan korelasi positif antara IL-6, tT3 dan tT4
pada pasien dengan PPOK stabil.18

16
Asap tembakau mengandung banyak radikal bebas yang dapat merusak
struktur saluran pernapasan dan meningkatkan peradangan.1 Asap rokok menarik
sel inflamasi aktif dan oksidan lain ke paru-paru yang berkontribusi terhadap
peradangan berkelanjutan.1 Sistem endokrin juga tidak lembam terhadap
komponen asap rokok.6 Studi Meral et al di School of Medicine, Yuzuncu Yil
University Turkey tahun 2015 melaporkan tingkat serum total triiodotironin (tT3)
yang lebih tinggi ditemukan pada perokok muda yang sehat dibandingkan dengan
subjek kontrol yang tidak merokok, yang mungkin menunjukkan bahwa merokok
bertindak secara independen dari diagnosis PPOK.18 Hubungan antara penyakit
paru obstruktif kronik dan disfungsi kelenjar tiroid dapat dilihat pada gambar
lima.

Gambar 5. Hubungan antara penyakit paru obstruktif kronik dan disfungsi


kelenjar tiroid
dikutip dari (6)

17
Penyakit paru obstruksi kronik mengganggu homoeostasis endokrinologis
tidak hanya melalui peradangan sistemik. Faktor lain seperti neurohormon,
kelainan gas darah, pemberian glukokortikoid juga mengganggu keseimbangan
hormon.20 Beberapa hormon bekerja pada tingkat sistem saraf pusat, beberapa
berdampak pada kemoreseptor perifer, yang lain dapat berkontribusi pada proses
ini dengan mempengaruhi laju metabolisme, dan yang lain memberikan efek
langsung pada reseptor di saluran pernapasan.33 Obat-obatan yang sering
digunakan oleh pasien PPOK untuk mengobati penyakit penyerta, seperti
amiodaron, litium karbonat atau kalium yodium dapat menyebabkan
hipotiroidisme.6
Hipoksemia dan penggunaan kortikosteroid merupakan faktor predisposisi
dalam perkembangan hipotiroidisme pada pasien PPOK. 18 Hipoksia dan
hiperkapnia menyebabkan destruksi pada sella tursika dan disfungsi kelenjar
pituitari. Hipoksia dapat menyebabkan gangguan pada metabolisme perifer dari
fungsi tiroid serta penurunan kadar hormon tiroid pada pasien dengan PPOK yang
sangat parah.6 Glukokortikoid yang sering digunakan dalam pengobatan PPOK
dapat menyebabkan penurunan serum TSH dan konversi T4 menjadi T3, dan juga
dapat menyebabkan redistribusi hormon tiroid dalam cairan tubuh. 20 Disfungsi
hipotalamus-hipofisis pada pasien usia lanjut juga menjadi faktor penentu untuk
terjadinya disfungsi hormon tiroid pada pasien dengan dengan PPOK. Gangguan
lain yang ditunjukkan pada pasien PPOK berat yang lanjut usia yaitu hilangnya
respons TSH terhadap Thyrotropin Releasing Hormone (TRH).6

DAMPAK GANGGUAN FUNGSI TIROID TERHADAP PPOK

Hormon dapat memengaruhi pengaturan pernapasan.18 Beberapa penelitian


telah menunjukkan hubungan antara kadar hormon tiroid dan parameter gas
darah.20 Studi oleh Terzano et al. di University of Rome tahun 2013
menggambarkan tekanan oksigen darah (PO2) yang lebih rendah pada pasien
dengan hipotiroidisme, dibandingkan dengan kelompok lain yang terdiri dari
pasien dengan hipotiroidisme subklinis, subyek normal dan pasien dengan
hipertiroidisme.8 Dimopoulou et al. di University of Athens Medical School,

18
Greece tahun 2001 melaporkan korelasi positif yang kuat antara rasio
triiodotironin total/tiroksin total serum (tT3/tT4) dan tekanan oksigen arteri
(PaO2), pada pasien PPOK dengan VEP1 <50% nilai prediksi.7

Hipotiroidisme
Kelemahan otot adalah salah satu gejala hipotiroidisme. 28 Kemunduran
fungsi otot pernapasan utama memperburuk ventilasi yang sudah melemah pada
pasien PPOK.18 Studi yang dilakukan Saaresranta, Turku University, Finland
tahun 2002 menyatakan hipotiroidisme dapat menyebabkan hipoventilasi alveolar,
penurunan volume paru-paru, obstruksi jalan napas bagian atas, depresi pada
stimulus pernapasan, dan kegagalan pernapasan.31
Penurunan transmisi neuromuskuler dan ekspresi beberapa protein seperti
rantai myosin IIb yang berhubungan dengan myofibers adalah penyebab utama
disfungsi otot pernapasan dan juga dapat menyebabkan disfungsi diafragma.6,31
Neuropati nervus phrenicus dapat menjadi salah satu penyebab gangguan
transmisi neuromuskuler yang mengakibatkan kelemahan otot pernapasan.6
Kelemahan otot berkorelasi dengan tingkat keparahan hipotiroidisme.33
Pada hipotiroidisme tekanan inspirasi rata-rata dan tekanan ekspirasi rata-
rata menurun, diduga karena penurunan kekuatan otot pernapasan. 33 Studi yang
dilakukan Ulasli et al. di Afyon Kocatepe University, Turkey tahun 2013
menemukan bahwa tingkat tekanan ekspirasi maksimum (MEP) secara signifikan
lebih rendah pada pasien PPOK dengan hipotiroidisme dibandingkan pasien
PPOK tanpa hipotiroidisme.6 Terzano et al. University of Rome tahun 2013 juga
menemukan bahwa tingkat tekanan inspirasi maksimum (MIP) dan MEP lebih
rendah pada kelompok pasien PPOK.8 Hipoventilasi alveolar sekunder akibat
disfungsi otot pernapasan dan penurunan dorongan ventilasi dapat meningkatkan
hipoksemia dan hiperkapnia pada pasien PPOK dengan hipotiroidisme.20
Frekuensi eksaserbasi ditemukan lebih tinggi pada pasien PPOK yang
berhubungan dengan hipotiroidisme daripada yang tidak. 8 Gumus et al. tahun
2020 di Turki melaporkan frekuensi eksaserbasi lebih tinggi pada pasien PPOK
dengan hipotiroidisme dibandingkan pada pasien tanpa hipotiroidisme.20
Frekuensi eksaserbasi PPOK berkorelasi positif dengan kadar TSH dan nilai TSH

19
ditemukan sebagai penentu frekuensi eksaserbasi yang signifikan. 6 Konsekuensi
klinis dan mekanismenya pada pasien PPOK dengan hipotiroidisme ditunjukkan
pada Tabel satu.
Tabel 1. Konsekuensi klinis hipotiroidisme pada pasien PPOK
Konsekuensi Klinis Mekanisme
Penurunan pada MEP dan MIP Disfungsi otot pernapasan:
Penurunan transmisi neuromuskuler
Penurunan ekspresi protein myofiber
Neuropati saraf frenikus

Hipoventilasi alveolar Penurunan dorongan ventilasi


Kelemahan otot pernafasan
Efusi pleura
Gangguan tidur obstruktif Obesitas
Pengendapan mukoprotein
Miopati
Penurunan dorongan ventilasi
Peningkatan frekuensi eksaserbasi Disfungsi otot pernapasan
Penurunan dorongan ventilasi
Kerentanan terhadap infeksi pernapasan
Dikutip dari (6)
Hipertiroidisme
Hipertiroidisme lebih jarang terlihat daripada hipotiroidisme pada pasien
6
PPOK. Kelemahan otot akibat hilangnya massa dan kekuatan otot akibat
peningkatan katabolisme dapat dilihat pada pasien PPOK dengan
hipertiroidisme.18 Tingkat kelebihan T3 ditambah dengan pengobatan
glukokortikoid dapat menyebabkan proteolisis pada otot pernapasan, sehingga
pasien PPOK yang memiliki cachexia harus dipertimbangkan untuk dilakukan
pemeriksaan kemungkinan terjadi hipertiroidisme secara bersamaan.4
Siafakas et al di University Hospital, Heraklion, Greece tahun 1992
melaporkan bahwa kelemahan otot inspirasi dan ekspirasi sebanding dengan
tingkat hipertiroidisme dan reversibel dengan pengobatan pada pasien tirotoksik.6
Penelitian Laghi et al University of Chicago, USA tahun 2009 mengungkapkan
risiko gagal napas meningkat pada pasien dengan hipertiroidisme akibat
kelemahan otot pernapasan, penurunan compliance paru dan peningkatan

20
sensitivitas kemoreseptor perifer dan sentral.8 Penelitian oleh El-Yazed di Faculty
of Medicine, Al-Azhar University, Egypt tahun 2013 melaporkan bahwa
peningkatan fT3 menunjukkan korelasi negatif dengan PaO2 dan korelasi positif
dengan PaCO2 dan juga sebanding dengan tingkat keparahan PPOK.20

Non-Thyroidal Illness Syndrome


Penyakit akut atau kronis memiliki efek pada fungsi dan metabolisme
hormon tiroid.29 Non-Thyroidal Illness Syndrome (NTIS) terjadi lebih sering
daripada hipotiroidisme dan hipotiroidisme sub klinis, dan dapat mencerminkan
keparahan peradangan, hipoksia atau proses patologis lainnya yang terkait dengan
eksaserbasi PPOK.33 Karadag et al tahun 2007 di Turki menyelidiki kadar
hormon tiroid pada pasien PPOK baik dalam fase stabil dan periode eksaserbasi
dan menunjukkan bahwa perubahan kadar hormon tiroid lebih menonjol pada
periode eksaserbasi dan berubah ke tingkat normal setelah pemulihan
eksaserbasi.8 Berbagai faktor dapat mempengaruhi fungsi tiroid dengan efek
stimulasi atau supresi.18
Non Thyroid Illness Syndrome (NTIS) dapat menyebabkan hasil yang
lebih buruk dalam perjalanan klinis pasien PPOK.33 Yasar et al di University
School of Medicine, Bolu, Turkey tahun 2015 meneliti hubungan antara NTIS dan
penyapihan berkepanjangan pada pasien PPOK yang dirawat di ruang intensif
care unit (ICU).8 Hasil dari penelitian ini yaitu NTIS memiliki peran prediktif
untuk penyapihan berkepanjangan pada pasien PPOK yang menjalani ventilasi
mekanis invasif.8 Penelitian Van der Speek et al di Erasmus Medical Center,
Rotterdam tahun 2018 mengungkapkan infeksi paru lebih sering terjadi pada
pasien dengan NTIS karena beberapa sitokin dan sel sistem kekebalan menahan
aktivitas kelenjar tiroid.4

TATALAKSANA

Landasan manajemen untuk PPOK dan komorbiditas adalah pengobatan


berbasis pedoman.17 Penatalaksanaan dan pengobatan PPOK didasarkan pada
pedoman GOLD dengan mempertimbangkan komorbiditas dan gambaran sistemik

21
dalam rencana pengelolaan PPOK.2 Pengobatan yang tepat terdiri dari terapi non-
farmakologi, farmakologi, dan perawatan komorbiditas yang memiliki peran
sentral dalam manajemen pasien.16

Tatalaksana Non-Farmakologi
Penatalaksanaan nonfarmakologi pasien PPOK meliputi penghentian
merokok dengan konseling dan farmakoterapi, vaksinasi influenza dan
pneumokokus, serta rehabilitasi paru.1 Rehabilitasi paru memiliki potensi untuk
mempengaruhi sejumlah komorbiditas melalui pelatihan olahraga, penekanan
pada manajemen diri, perubahan perilaku, dan dukungan psikologis. 17 Aktivitas
fisik dan olahraga teratur terbukti bermanfaat untuk beberapa komorbiditas seperti
penyakit kardiovaskular, diabetes, atau penyakit muskuloskeletal.1

Tatalaksana Farmakologi
Terapi farmakologis pada pasien PPOK stabil bertujuan untuk mengurangi
gejala dan mengurangi risiko.34 Tujuan terapi dengan mengurangi risiko adalah
untuk mencegah progresivitas penyakit, mencegah dan mengobati eksaserbasi,
serta mengurangi kematian.34 Pendekatan pertama melibatkan penekanan
inflamasi paru untuk mencegah penyakit sistemik terkait jika penyakit tersebut
disebabkan atau diperburuk oleh influx mediator inflamasi dari paru ke dalam
sirkulasi sistemik.17
Regimen farmakologi utama dalam terapi PPOK yaitu β2-agonis,
antikolinergik kerja singkat dan kerja panjang, serta antimuskarinik kerja singkat
dan kerja panjang.1 Regimen terapi dapat diberikan dalam bentuk kombinasi
misalnya β2-agonis kerja pendek ditambah antikolinergik dalam satu inhaler,
kombinasi β2-agonis kerja lama ditambah antikolinergik dalam satu inhaler, dan
kombinasi β2-agonis kerja lama ditambah kortikosteroid dalam satu inhaler.5
Regimen terapi lain yang dapat diberikan yaitu methylxanthines, kortikosteroid
inhalasi, atau kortikosteroid sistemik.1 Inisiasi terapi farmakologis diberikan
berdasarkan pertimbangan individual dengan melihat kriteria kesesuaian
kelompok berdasarkan kriteria PPOK stabil dari GOLD.2 Gambar enam
menjelaskan tentang terapi PPOK stabil berdasarkan GOLD tahun 2023.

22
Gambar 6. Terapi PPOK stabil berdasarkan GOLD tahun 2023
Keterangan : CAT = COPD assessment tool; LABA = long acting
bronchodilator agent; LAMA = long acting antimuscarinic
agent; mmRC = modified medical research council. > = lebih dari
sama dengan; < = kurang dari.
Dikutip dari (2)
Eksaserbasi PPOK didefinisikan sebagai kondisi akut yang ditandai
dengan perburukan gejala respirasi dari variasi gejala normal harian dan
membutuhkan perubahan terapi.5 Eksaserbasi dapat disebabkan infeksi atau faktor
lainnya seperti polusi udara, kelelahan, atau timbulnya komplikasi.2 Target terapi
pada PPOK eksaserbasi adalah untuk meminimalisasi akibat negatif dari
eksaserbasi yang sedang terjadi dan mencegah komplikasi lanjutan. 5
Gejala PPOK eksaserbasi adalah sesak bertambah, produksi sputum
meningkat, dan perubahan warna sputum menjadi purulen. 5 Eksaserbasi PPOK
menurut kriteria Anthonisen 1987 dibagi menjadi tiga, yaitu tipe satu atau
eksaserbasi berat jika memiliki tiga gejala diatas, tipe dua atau eksaserbasi sedang
jika memiliki dua gejala diatas, dan tipe tiga atau eksaserbasi ringan jika memiliki
satu gejala diatas.2 Gejala PPOK eksaserbasi memiliki banyak diagnosa banding
yaitu pneumonia, pneumotoraks, dan efusi pleura. Diagnosis banding PPOK perlu
dipertimbangkan sebelum mendiagnosis PPOK eksaserbasi.17
Tatalaksana PPOK eksaserbasi bergantung pada derajat eksaserbasi.5
Penggunaan short acting β agonist (SABA) dengan atau tanpa antikolinergik dapat

23
diberikan pada kondisi eksaserbasi. Studi klinis mengenai penggunaan
bronkodilator kerja panjang dengan atau tanpa inhalasi kortikosteroid pada PPOK
eksaserbasi belum ada, namun sangat direkomendasikan untuk memulai terapi ini
segera saat eksaserbasi.2 Penggunaan nebulisasi untuk pemberian bronkodilator
lebih disarankan dari pada menggunakan oksigen tekanan tinggi pada saat PPOK
eksaserbasi untuk menghindari potensi risiko peningkatan kadar karbondioksida
dalam arteri (PaCO2).5 Gambar tujuh menjelaskan tentang terapi PPOK
eksaserbasi berdasarkan GOLD 2023.

Gambar 7. Terapi PPOK eksaserbasi berdasarkan GOLD tahun 2023


Keterangan : ICS = inhaled corticosteroid; LABA = long acting bronchodilator
agent; LAMA = long acting antimuscarinic agent; eos =
eosinofil; > = lebih dari sama dengan; + = dengan; < = kurang dari.
Dikutip dari (2)
Tatalaksana Gangguan Fungsi Tiroid Pada Pasien PPOK
Pengobatan hipotiroidisme pada pasien PPOK tidak berbeda dengan
pengobatan pasien hipotiroidisme tanpa PPOK.16 Pasien dengan hipotiroidisme
primer dengan kadar TSH di atas 10 mIU/L harus diberikan terapi pengganti

24
tiroid.26,35 Monoterapi L-tiroksin telah menjadi andalan untuk mengobati
hipotiroidisme dan L-triiodothyronine dapat diresepkan ketika levothyroxine
gagal.26
Hipertiroidisme pada pasien PPOK ditatalaksana dengan cara yang sama
seperti pada pasien hipertiroidisme tanpa PPOK. 16 Ada tiga perawatan definitif
untuk hipertiroidisme: terapi yodium radioaktif (RAI), terapi thionamide, dan
tiroidektomi subtotal.25 Pilihan modalitas pengobatan definitif tergantung pada
etiologi, komorbiditas, dan preferensi pasien.24 Obat thionamide termasuk
methimazole, carbimazole (prekursor methimazole), dan propylthiouracil. Obat-
obat ini adalah penghambat kompetitif enzim tiroid peroksidase (TPO), yang
menghasilkan kemampuannya untuk memblokir sintesis hormon tiroid. 25
Thionamide memiliki efek imunosupresif tambahan, seperti yang ditunjukkan
oleh kemampuannya untuk menginduksi remisi pada pasien dengan penyakit
Graves.25
Modalitas kedua yaitu Yodium Radioaktif/ Radioctive Iodium (RAI) yang
dapat menjadi terapi pilihan pada sebagian besar pasien, terutama pasien dengan
komorbiditas risiko tinggi yang berisiko tinggi untuk pembedahan dan
memerlukan penanganan definitif.24 Pasien yang memiliki kontraindikasi
penggunaan thionamide juga harus menjalani RAI. 25 Tatalaksana bedah
diindikasikan pada wanita yang merencanakan kehamilan dalam waktu kurang
dari enam bulan, adanya orbitopati Graves aktif, pada pasien yang mengalami
efek samping yang signifikan dengan penggunaan tionamid, ketika dicurigai
adanya keganasan tiroid, adanya gondok kompresif yang besar, dan adanya
hiperparatiroidisme yang menyertai.25 Pilihan pembedahan harus dihindari pada
pasien dengan komorbiditas signifikan yang dianggap berisiko tinggi untuk
menjalani pembedahan.27
Terapi pengganti hormon tiroid pada pasien dengan NTIS masih
kontroversial.10,13 Penelitian-penelitian yang pernah dilakukan tidak dapat
menunjukkan keuntungan atau kerugian dari penggantian hormon tiroid pada
NTIS.6,36 Salah satu kondisi dimana terapi T3 mungkin dapat bermanfaat yaitu
pada NTIS dengan gagal jantung dan operasi jantung. 27 Peneitian Zhang et al di

25
Zhengzhou University, Zhengzhou, China melaporkan bahwa pemberian hormon
tiroid oral jangka pendek sebelum operasi dapat mengurangi keparahan NTIS
pasca operasi tanpa efek negatif, memberikan perlindungan terhadap miokard, dan
merekomendasikan terapi hormon tiroid oral pra operasi untuk perbaikan hasil
klinis pada anak yang menjalani operasi jantung dengan cardiopulmonary
bypass.37 Nurdan Mancini et al di University of the Sacred Heart, Rome, Italy
tahun 2012 berpendapat bahwa stres oksidatif meningkat pada pasien PPOK
dengan kadar FT3 rendah dan terapi penggantian tiroid mungkin dapat
memberikan manfaat.20
Bukti klinis yang mendukung pengobatan NTIS dengan hormon tiroid
pada pasien sakit kritis sampai saat ini belum jelas.29 Studi yang dilakukan Van
Den Berghe et al dari University of Leuven, Leuven, Belgium pada tahun 1999
melaporkan pemberian TRH eksogen dan growth hormone-releasing peptide
(GHRP2) pada pasien sakit kritis yang didukung dengan perawatan medis intensif
selama beberapa minggu, memulihkan sekresi pulsatil TSH dan growth hormone
(GH), serta menghasilkan peningkatan anabolisme.27 Studi Van Den Berghe ini
menunjukkan bahwa setidaknya sebagian dari sindrom wasting dari penyakit kritis
yang berkepanjangan disebabkan oleh sekresi GH dan TSH yang relatif tidak
mencukupi dan dapat dipulihkan dengan infus terus menerus dari hypothalamic
releasing factors.27
Beberapa uji coba terkontrol acak yang membandingkan terapi
levothyroxine dengan tanpa pengobatan belum menunjukkan manfaat klinis yang
signifikan, dan telah menimbulkan masalah keamanan yang membatasi dukungan
untuk pendekatan terapi dengan hormon pengganti. 38 Jonklaas et al dalam
Guidelines for the Treatment of Hypothyroidism American Thyroid Association
tahun 2014 tidak merekomendasikan penggunaan levothyroxine, L-
triiodothyronine sebagai bentuk terapi untuk pasien rawat inap yang mengalami
penyakit kritis yang menunjukkan sindrom penyakit nontiroidal. 38 Garber et al
menyatakan dalam Clinical Practice Guidelines For Hypothyroidism In Adults
bahwa pasien yang tidak hipotiroid tidak boleh diobati sampai kondisi medis akut

26
yang dialami pasien tersebut teratasi, karena pengobatan dengan L-thyroxine atau
L triiodothyronine belum terbukti bermanfaat.35
Belum ada manuskrip yang menerima perawatan apa pun untuk NTIS, dan
penting untuk diingat bahwa normalisasi parameter fisiologis pada pasien kritis
terbukti tidak efektif dalam meningkatkan hasil terapi ketika stimulus kausal tidak
ditangani.36 Pasien dengan NTIS dipantau dengan pemeriksaan tes fungsi tiroid
pasien selama pemulihan tanpa pemberian hormon tiroid, kecuali ada bukti
riwayat atau klinis yang menunjukkan hipotiroidisme.24 Manajemen farmakologis
NTIS masih perlu pembuktian manfaat hasil klinisnya.29 Efek pengobatan pada
fungsi paru dan prognosis harus diklarifikasi dengan penelitian selanjutnya. 6

27
KESIMPULAN

1. Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) memiliki banyak komorbiditas,


dan disfungsi tiroid merupakan salah satu komorbiditas yang tidak
diperhitungkan
2. Disfungsi tiroid dapat berupa hipo atau hipertiroidisme subklinis, hipo
atau hipertiroidisme, dan NTIS yang dapat terjadi dalam fase stabil
penyakit maupun saat eksaserbasi
3. Patogenesis disfungsi tiroid pada PPOK terutama diperankan oleh
inflamasi sistemik dan juga ada peran dari kondisi hipoksemia, merokok,
faktor usia, derajat keparahan obstruksi serta penggunaan obat
glukokortikoid
4. Tatalaksana hipertiroidisme dan hipotiroidisme pada PPOK sama dengan
tatalaksana tanpa penyakit PPOK.
5. Terapi pengganti hormon tiroid pada NTIS masih diragukan manfaat
klinisnya, dan diperlukan penelitian lanjut untuk mengklarifikasi prognosis
dan efek pengobatan pada fungsi paru.

28
DAFTAR PUSTAKA

1. Morishima Y, Hizawa N. Pathogenesis of comorbidities in COPD. In:


Nakamura H, Aoshiba K, editors. Chronic obstructive pulmonary disease:
a systemic inflammatory disease. 1st ed. Ibaraki: Springer Pub; 2016. p.
115-30.
2. Vogelmeirer C, Agusti A, Anzueto A, Barnes P, Bourbeau J, Criner G, et
al. Definition and overview. In: Hadfield R, editor. Global initiative for
chronic obstructive lung disease 2023. 1st ed. Wisconsin: GOLD Inc;
2022. p. 4-25.
3. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Penyakit paru obstruktif kronik.
Jakarta; Perhimpunan Dokter Paru Indonesia: 2016. p.1-111.
4. Gumus A, Ozyurt S, Ozcelik N, Kara BY. Prevalence of non-thyroidal
illness syndrome in COPD exacerbation and effect of hypoxaemia and
hypercapnia on thyroid functions. Clin Respir J. 2020;14(9):806-12.
5. MacLeod M, Papi A, Contoli M, et al. Chronic obstructive pulmonary
disease exacerbation fundamentals: Diagnosis, treatment, prevention and
disease impact. Respirology. 2021;26(6):532-51.
6. Akpinar EE. An underestimated comorbidity of COPD: Thyroid
dysfunction. Tuberk Toraks. 2019;67(2):131-5.
7. Obstrüktif K, Hastalığı A, Tiroid A. Thyroid Dysfunction in Exacerbation
of Chronic Obstructive Pulmonary Disease. Gazi Med J. 2023;34(1):22-
26.
8. Huang D, Wu D, He J, et al. Association between thyroid function and
acute exacerbation of chronic obstructive pulmonary disease. Int J COPD.
2021;16:333-9.
9. Rabe KF, Watz H. Chronic obstructive pulmonary disease. Lancet.
2017;389(10082):1931-40.
10. Vogelmeirer C, Agusti A, Anzueto A, Barnes P, Bourbeau J, Criner G, et
al. Diagnosis and assesment. In: Hadfield R, editor. Global initiative for

29
chronic obstructive lung disease 2023. 1st ed. Wisconsin: GOLD Inc;
2022. p. 28-45
11. Machado A, Marques A, Burtin C. Extra-pulmonary manifestations of
COPD and the role of pulmonary rehabilitation: a symptom-centered
approach. Expert Rev Respir Med. 2021;15(1):131-42.
12. Wright JL, Churg A. Pathology of chronic obstructive pulmonary disease.
In: Grippi MA, Elias JA, Fishman JA, Kotloff RM, Pack AI, Senior RM,
editors. Fishman’s Pulmonary Diseases and Disorder. 5th ed.
Philadelphia: McGraw Hill Education; 2015. p. 600-72.
13. Macnee W, Vestbo J. COPD pathogenesis and natural history. In: Murray
JF, Nadel JA, Slutsky AS, Broaddus VC, Mason R, Ernst J, et al, editors.
Murray and Nadel’s textbook of respiratory medicine. 6th ed.
Philadelphia: Elsevier Saunders; 2016. p. 751-85.
14. Barreiro E, Gea J. Molecular and biological pathways of skeletal muscle
dysfunction in chronic obstructive pulmonary disease. Chronic Obstr Pulm
Dis. 2016;13(2):297-311.
15. Hikichi M, Mizumura K, Maruoka S, Gon Y. Pathogenesis of chronic
obstructive pulmonary disease (COPD) induced by cigarette smoke. J
Thorac Dis. 2019;11(17):2129-40.
16. Celli BR, Wedzicha JA. Update on Clinical Aspects of Chronic
Obstructive Pulmonary Disease. N Engl J Med. 2019;381(13):1257-66.
17. Lee JH. Pathogenesis Of COPD. In: Sang-Do Lee, editor. COPD
heterogenity and personalized treatment. 1st ed. Berlin: Springer; 2017. p.
35-49.
18. Buklioska Ilievska D, Mickovski I. Comorbidities of patients with chronic
obstructive pulmonary disease (COPD): thyroid abnormalities in stable
COPD. Med Res J. 2021;6(3):204-10.
19. Kulsum ID, Yunus F. Sindrom Metabolik pada Penyakit Paru Obstruktif
Kronik ( PPOK ) Metabolic Syndrome in Chronic Obstructive Pulmonary
Disease ( COPD ). J Respir Indones. 2016;36(1):47-59.

30
20. Gumus A, Ozcelik N, Yilmaz Kara B, Ozyurt S, Sahin U. Thyroid Gland
Disease as a Comorbid Condition in COPD. Pulm Med. 2021(10); 1-6.
21. Alshamari AHI, Deli F, Kadhum HI, Kadhim IJ. Assessment of thyroid
function tests in patients with chronic obstructive pulmonary disease. J
Med Life. 2022;15(12):1532-5.
22. Ashraff S, Razvi S. Diagnosis and Treatment of Hypothyroidism. 392-419.
Vitti P, Laszlo H, editors. In : Thyroid Diseases : Pathogenesis, Diagnosis,
and Treatment. 1st ed. Springer Pub. 2018; p. 392-419
23. Jameson JL, Mandel SJ, Weetman AP. Thyroid Gland Physiology and
Testing. In : Jameson JL, Kasper KL, Longo DL, Fauci AS, Hauser SL,
Loscalzo SL, editors. Harrison’s Principle of Internal Medicine. 20th ed.
New York. Mc Graw Hill Education; 2018. P. 2692-718
24. Armstrong M, Asuka E, Fingeret A. Physiology, Thyroid Function.
StatPearls. 2023;(1):1-8
25. Mathew P, Kaur J, Rawla P. Hyperthyroidism. StatPearls. 2023;(1): 1-33.
26. National Institute for Health and Care Excellence (NICE). Thyroid
disease: assessment and management. London : NICE. 2019;9:1-55. \
27. Gomes-Lima CJ, Burman KD. Hypothyroidism. Luster M, Duntas LH,
Wartofsky L, editors. The Thyroid and Its Disease. 1st ed. Washington:
Springer Pub; 2019. p. 235-62.
28. Dev N , Sankar J , Vinay MV. Functions of Thyroid Hormones. Imam
SK, Ahmad SI, editors. Thyroid Disorders : basic science and clinical
practice. 1st ed. Switzerland. Springer International Publishing. 2016. p.
11-9
29. Fliers E, Boelen A. An update on non-thyroidal illness syndrome. J
Endocrinol Invest. 2021;44(8):1597-1607.
30. Bano A, Chaker L, Mattace-Raso FUS, et al. Thyroid function and life
expectancy with and without noncommunicable diseases: A population-
based study. PLoS Med. 2019;16(10):1-16.
31. Chowdhury S, Chakraborty P pratim. Universal health coverage ‑ There is
more to it than meets the eye. J Fam Med Prim Care. 2017;6(2):169-170.

31

Anda mungkin juga menyukai