Anda di halaman 1dari 45

BAB I

PENDAHULUAN
Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK) adalah penyakit pernafasan yang bersifat
kronis progresif dan sangat sering dijumpai di masyarakat. PPOK ditandai dengan
gangguan aliran udara yang tidak sepenuhnya dapat dikembalikan seperti semula.
Gangguan aliran udara ini umumnya bersifat progresif dan berkaitan dengan
respon radang yang tidak normal dari paru akibat gas atau partikel yang bersifat
merusak. 1,2
Beberapa waktu ini jumlah pasien PPOK terus meningkat seiring dengan
peningkatan usia harapan hidup, meningkatnya prevalensi merokok, pesatnya
industrialisasi dan polusi udara terutama di kota-kota besar dan lokasi industri
serta pertambangan. Sekitar seperempat populasi dewasa di dunia yang berusia 40
tahun ke atas diketahui menderita penyakit obstruksi saluran pernafasan. Sebagai
penyebab kematian, PPOK menduduki peringkat ke enam setelah penyakit
jantung, kanker dan penyakit serebro vascular. Biaya yang dikeluarkan untuk
penyakit ini mencapai $24 milyar per tahunnya Suatu badan yang bernama
Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease (GOLD) memperkirakan
PPOK nantinya akan menjadi penyebab kematian tersering ketiga di seluruh dunia
pada tahun 2020.3,4
Edukasi merupakan aspek yang sangat penting dalam tatalaksana PPOK. Sebuah
pendekatan yang komprehensif terhadap pasien dengan PPOK diperlukan untuk
menetapkan materi edukasi yang tepat, yang sesuai dengan kondisi biologis,
psikologis, sosio-ekonomis, dan kultural pasien. Melalui edukasi yang tepat,
pasien diharapkan dapat memahami dengan lebih baik mengenai penyakit yang
dideritanya serta memfasilitasi diskusi yang terbuka. Sebagai tujuan akhir, edukasi
diharapkan dapat meningkatkan kepatuhan pasien, mencegah perburukan
penyakit, serta mencegah berulangnya episode eksaserbasi akut penyakit ini.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi PPOK
Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) adalah penyakit paru yang dapat dicegah
dan diobati, ditandai dengan hambatan aliran udara yang tidak sepenuhnya
reversibel, bersifat progresif, dan berhubungan dengan respon inflamasi paru
terhadap partikel atau gas beracun atau berbahaya, disertai efek ekstra-paru yang
berkontribusi terhadap derajat berat penyakit.5
2.2. Faktor Risiko
Identifikasi faktor risiko merupakan langkah penting dalam pencegahan dan
penatalaksanaan PPOK. Meskipun saat ini pemahaman faktor risiko PPOK dalam
banyak hal masih belum lengkap, diperlukan pemahaman interaksi dan hubungan
antara faktor-faktor risiko sehingga memerlukan investigasi lebih lanjut. Beberapa
hal yang berkaitan dengan risiko timbulnya PPOK antara lain dapat dilihat pada
tabel di bawah ini: 5,6
Tabel 2. 1. Faktor Risiko COPD1
1. Gen
2. Paparan terhadap partikel
-

Asap rokok

Polusi di tempat kerja (bahan kimia, zat iritasi, gas beracun

Polusi di dalam ruangan dari asap kompor, pemanas ruangan dan


ventilasi rumah yang kurang baik

Populasi di luar ruangan

3. Tumbuh kembang paru


4. Stress oksidatif
5. Gender
6. Umur
7. Infeksi saluran nafas
8. Riwayat tuberculosis dan asma
9. Status sosioekonomi
2

10. Nutrisi
1. Asap Rokok
Asap rokok memiliki prevalensi yang tinggi sebagai penyebab gejala respirasi dan
gangguan fungsi paru. Dari beberapa penelitian dilaporkan bahwa terdapat rerata
penurunan VEP1. Risiko PPOK pada perokok tergantung dari dosis rokok yang
dihisap, jumlah batang rokok pertahun dan lamanya merokok (indeks Brinkman).
Derajat berat merokok dengan Indeks Brinkman (IB) yaitu perkalian jumlah ratarata batang rokok yang dihisap sehari dikalikan lama merokok dalam tahun:
Ringan : 0-200
Sedang: 200-600
Berat : >600
Penelitian eksperimental menunjukan bahwa merokok menyebabkan gangguan
mucociliary defence, gangguan pergerakan silia epitel bronkus, gangguan aktivitas
makrofag alveoli, spasme saluran nafas, dan hipertropi dan hiperplasia kelenjar
mukus. Terhadap makrofag alveoli asap rokok menyebabkan meningginya sekresi
enzim elastase yang dapat merusak jaringan elastik dari alveoli sehingga terjadi
emfisema. Sedangkan pada saluran bronkus asap rokok dapat menyebabkan
hypertropi dan hiperplasia kelenjar mukus sehingga terjadi hipersekresi mukosa
dan muncul batuk yang berdahak sesuai dengan manifestasi klinis dari bronkitis
kronis.
2. Kepekaan Jalan Nafas dan PPOK
Kecenderungan meningkatnya bronkontriksi sebagai reaksi terhadap berbagai
stimulus eksogen, termasuk methakolin dan histamin, adalah salah satu ciri-ciri
dari asma. Bagaimanapun juga, banyak pasien PPOK juga memiliki ciri-ciri jalan
nafas yang hiperresponsif. Pertimbangan akan tumpang tindihnya seseorang
dengan asma dan PPOK dalam kepekaan jalan nafas, obstruksi aliran udara, dan
gejala pulmonal mengarahkan kepada perumusan hipotesis Dutch. Hal ini
menegaskan bahwa asma, bronkitis kronis, dan emfisema merupakan variasi dari
dasar penyakit yang sama, yang dimodulasi oleh faktor lingkungan dan genetik
untuk menghasilkan gambaran patologis yang nyata. Hipotesis alternatif dari
British berpendapat bahwa asma dan PPOK pada dasarnya merupakan penyakit
3

yang berbeda. Asma merupakan suatu fenomena alergi sedangkan PPOK


diakibatkan dari hubungan-rokok inflamasi dan kerusakan.1
3. Infeksi Respirasi
Infeksi respirasi telah diteliti sebagai faktor risiko potensial dalam perkembangan
dan progresivitas PPOK pada orang dewasa, 1 terutama infeksi saluran nafas
bawah berulang.3 Infeksi respirasi pada waktu anak-anak juga telah dinyatakan
sebagai faktor predisposisi potensial pada perkembangan akhir PPOK.1
4. Paparan Pekerjaan
Meningkatnya gejala-gejala respirasi dan obstruksi aliran udara merupakan akibat
dari paparan debu di tempat kerja. Beberapa paparan pekerjaan yang khas
termasuk penambangan batu bara, panambangan emas, dan debu kapas tekstil
telah ditegaskan sebagai faktor risiko obstruksi aliran udara kronis. Bagaimanapun
juga, walaupun pekerja yang bukan perokok berkembang mengalami reduksi
FEV1, yang paling penting adalah paparan debu sebagai faktor risiko PPOK, tidak
merokok bukanlah sesuatu jaminan.1
5. Polusi Udara
Beberapa peneliti melaporkan meningkatnya gejala respirasi pada orang-orang
yang tinggal di daerah padat perkotaan dibandingkan dengan mereka yang tinggal
di daerah pedesaan, yang berhubungan dengan meningkatnya polusi di daerah
padat perkotaan. Pada wanita bukan perokok di banyak negara berkembang,
adanya polusi udara di dalam ruangan yang biasanya dihubungkan dengan
memasak, telah dikatakan sebagai kontributor yang potensial. Pada sebagian besar
populasi, polusi udara adalah faktor risiko yang kurang begitu penting untuk
terjadinya PPOK daripada asap rokok.1
6. Paparan Rokok Pasif
Paparan terhadap janin dari ibu-ibu perokok menghasilkan penurunan
pertumbuhan paru yang signifikan. Paparan asap tembakau dalam rahim juga
memberikan kontribusi penurunan yang signifikan pada fungsi paru post natal.1
7. Defisiensi 1 Antitrypsin
Defisiensi 1AT yang berat adalah merupakan faktor risiko genetik terjadinya
PPOK. Walaupun hanya 1-2% dari pasien-pasien PPOK yang mewarisi defisiensi
1AT yang berat, namun pasien-pasien ini menunjukkan bahwa faktor genetik ini
4

dapat mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap kecenderungan untuk


berkembangnya PPOK. 1AT adalah suatu anti protease yang diperkirakan sangat
penting untuk perlindungan terhadap protease yang terbentuk secara alami oleh
bakteri, leukosit PMN, dan monosit.1
2.3. Patofisiologi5
Keterbasan aliran udara dan air trapping
Luasnya inflamasi, fibrosis dan eksudat pada lumen saluran nafas kecil
berkorelasi dengan reduksi VEP1 dan VEP1/KVP. Selama ekspirasi udara
terperangkap akibat adanya obstruksi saluran nafas perifer secara progresif
sehingga mengakibatkan hiperinflasi. Pada parenkim paru, penghancuran elemen
struktural yang dimediasi protease menyebabkan emfisema. Meskipun emfisema
lebih

terkait

dengan

gangguan

pertukaran

udara

dibanding

dengan

penurunanVEP1, tetapi itu juga berpengaruh terhadap terperangkapnya udara


selama fase ekspirasi. Hal ini khususya diakibatkan oleh rusaknya alveolar
attachment. Kerusakan sekat alveolar menyebabkan berkurangnya elastisitas
recoil pada paru dan kegagalan dinamika saluran udara akibat rusaknya sokongan
pada saluran udara kecil non-kartilago. Akibatnya terjadi jebakan udara (air
trapping) di alveoli bagian distal menyebabkan distensi sakus alveoli sehingga
mengakibatkan hiperinflasi. Hiperinflasi mengakibatkan penurunan kapasitas
inspirasi sehingga mengakibatkan kapasitas residual fungsional meningkat,
khususnya selama berkativitas, sehingga mengakibatkan dyspnea dan limitasi dari
kemampuan beraktivitas.
Abnormalitas pertukaran gas
Peradangan merupakan elemen kunci terhadap patogenesis PPOK. Inhalasi asap
rokok atau gas berbahaya lainnya mengaktifasi makrofag dan sel epitel untuk
melepaskan faktor kemotaktik yang merekrut lebih banyak makrofag dan
neutrofil. Kemudian, makrofag dan neutrofil ini melepaskan protease yang
merusak elemen struktur pada paru-paru. Protease sebenarnya dapat diatasi
dengan antiprotease endogen namun tidak berimbangnya antiprotease terhadap
dominasi aktivitas protease yang pada akhirnya akan menjadi predisposisi
terhadap perkembangan PPOK. Gangguan pertukaran gas akan mengakibatkan
5

hipoksemia dan hiperkapnia dan beberapa mekanisme lainnya pada PPOK. Secara
umum pertukaran gas memburuk sejalan dengan progresifitas dari penyakit.
Hipersekresi Mukus
Hipersekresi mucus mengakibatkan batuk kronis yang produktif yang merupakan
manifestasi dari brokitis kronis. Hal ini diakibatkan oleh penigkatan jumlah sel
goblet dan pembesaran kelenjar mukosal sebagai respon terhadap iritasi saluran
nafas kronis oleh asap rokok dan zat berbahaya lainnya Terdapat pula disfungsi
silier pada epitel, menyebabkan terganggunya klirens produksi mucus yang
berlebihan. Beberapa mediator dan protease merangsang hipersekresi mucus
melalui aktivasi reseptor faktor EGFR.

Gambar 2.1. Patogenesis PPOK

Eksaserbasi
Eksaserbasi dapat disebabkan oleh infeksi atau faktor faktor lain seperti polusi
udara, kelelahan atau timbulnya komplikasi dan sepertiga dari eksersebasi akut
penyebabnya tidak dapat diidentifikasi. Infeksi dapat berperan sebagai faktor
pencetus karena dengan adanya infeksi maka inflamasi yang sudah ada semakin
memberat sehingga penyempitan saluran nafas makin meningkat, dan gejala
sesakpun akan meningkat
6

2.4. Manifestasi Klinis


Gejala dan tanda PPOK sangat bervariasi, mulai dari tanda dan gejala ringan
hingga berat. Manifestasi klinis dari PPOK ditandai dengan adanya sesak nafas
yang progresif, bertambah berat dengan aktivitas, dan persisten. Pasien PPOK
juga sering mengeluhkan batuk berdahak lebih dari 3 bulan. Pada kasus yang
parah juga sering disertai dengan adanya penurunan berat badan dan anorexia.
Sesak nafas dan pola nafas yang tidak selaras menyebabkan penderita PPOK
sering kali menjadi panik, cemas dan akhirnya frustasi. Gejala ini merupakan
penyebab utama pasien PPOK mengurangi aktivitas fisis untuk menghindari sesak
nafas sehingga menjadi tidak aktif.4
2.5. Diagnosis5,6
Gejala dan tanda PPOK sangat bervariasi, mulai dari tanda dan gejala ringan
hingga berat. Diagnosis PPOK dipertimbangkan bila timbul tanda dan gejala
seperti terlihat pada tabel di bawah ini.
Tabel 2.2 Indikator kunci untuk mendiagnosis PPOK1,4
Gejala
Sesak

Keterangan
- Progresif (sesak bertambah berat seiring berjalannya waktu)
-

Bertambah berat dengan aktivitas

Persisten (menetap sepanjang hari)

Pasien mengeluh berupa, Perlu usaha bernafas, berat,

sukar bernafas, terengah-engah


Batuk Kronis
Hilang timbul dan mungkin tidak berdahak
Batuk
Kronis Setiap batuk kronik berdahak dapat mengindikasikan PPOK
Berdahak
Riwayat

Terpajan Faktor
Risiko

Asap rokok
Debu
Bahan kimia di tempat kerja
Asap dapur

Indikator tersebut bukan merupakan diagnosis pasti, tetapi keberadaan beberapa


indikator kunci meningkatkan kemungkinan diagnosis PPOK. Untuk menegakkan
diagnosis PPOK secara rinci diuraikan sebagai berikut :
7

Anamnesis
a. Riwayat terpajan faktor resiko seperti merokok atau bekas perokok dengan
atau tanpa gejala pernapasan
b. Riwayat terpajan zat iritan yang bermakna ditempat kerja
c. Riwayat penyakit emfisema pada keluarga
d. Terdapat faktor presdiposisi pada masa bayi/anak, missal berat badan lahir
rendah (BBLR), infeksi saluran napas berulang, lingkungan asap rokok
dan polusi udara
e. Batuk berulang dengan atau tanpa dahak
f. Sesak dengan atau tanpa bunyi mengi
Pemeriksaan Fisis5,6
Pemeriksaan fisis jarang digunakan untuk mendiagnosis pasien PPOK. Tandatanda fisik adanya hambatan aliran udara biasanya tidak tampak sampai terjadi
adanya gangguan yang signifikan dari fungsi paru, dan deteksi dari tanda-tanda
tersebut memiliki spesifitas dan sensitivitas yang rendah. Beberapa tanda-tanda
fisik yang mungkin dapat timbul pada penderita PPOK antara lain adalah
1. Inspeksi
b. Pursed - lips breathing (mulut setengah terkatup mencucu)
c. Barrel chest (diameter antero - posterior dan transversal sebanding)
d. Penggunaan otot bantu napas
e. Hipertropi otot bantu napas
f. Pelebaran sela iga
g. Bila telah terjadi gagal jantung kanan terlihat denyut vena jugularis
leher dan edema tungkai
h. Penampilan pink puffer atau blue bloater
2

Palpasi
Pada emfisema fremitus melemah, sela iga melebar

Perkusi
Pada emfisema hipersonor dan batas jantung mengecil, letak diafragma
rendah, hepar terdorong ke bawah

Auskultasi
8

a. Suara napas vesikuler normal, atau melemah


b. Terdapat ronki dan atau mengi pada waktu bernapas biasa atau pada
ekspirasi paksa ekspirasi memanjang bunyi jantung terdengar jauh
Ciri khas yang mungkin ditemui pada penderita PPOK :
-

Pink puffer. Gambaran yang khas pada emfisema, penderita kurus, kulit
kemerahan dan pernapasan pursed lips breathing

Blue bloater. Gambaran khas pada bronkitis kronik, penderita gemuk


sianosis, terdapat edema tungkai dan ronki basah di basal paru, sianosis
sentral dan perifer

- Pursed - lips breathing adalah sikap seseorang yang bernapas dengan mulut
mencucu dan ekspirasi yang memanjang. Sikap ini terjadi sebagai
mekanisme tubuh untuk mengeluarkan retensi CO2 yang terjadi pada gagal
napas kronik.
Pada PPOK terjadi gangguan otot pernapasan yang dipengaruhi kontraksi otot dan
kekuatan otot pernapasan. Hilangnnya daya elastisitas paru pada PPOK
menyebabkan hiperinflasi dan obstruksi jalan nafas kronis yang mengganggu pada
proses ekspirasi sehingga volume udara yang masuk dan keluar tidak seimbang
dan terdapat udara yang terjebak (air trapping). Air trapping dalam keadaan lama
menyebabkan kontraksi otot kurang efektif dan fungsinya sebagai otot utama
pernafasan berkurang terhadap ventilasi paru. Berbagai kompensasi otot
interkosta dan otot inspirasi tambahan yang biasa dipakai pada kegiatan tambahan
akan dipakai terus menerus sehingga peran diafragma akan menurun sampai 65%.
Pemeriksaan Penunjang
a. Spirometri5
Spirometri harus dilakukan pada semua pasien yang dicurigai menderita PPOK.
Ini diperlukan untuk menegakkan diagnosis pasti dari PPOK dan mengeksklusi
diagnosis lain yang memiliki gejala yang serupa. Meskipun spirometri sendiri
tidak berdampak langsung terhadap kesehatan pasien, tetapi spirometri masih
tetap menjadi gold standard dalam mendiagnosis penyakit dan mengawasi progesi
9

penyakit tersebut. Hal yang harus diukur dalam spirometri antara lain adalah
kapasitas vital ekspirasi paksa (KVP) yaitu volume udara yang dikeluarkan secara
paksa dari titik inspirasi maksimal, volume ekspirasi paksa pada detik pertama
(VEP1) yaitu volume udara yang diekspirasi pada detik pertama dari maneuver ini,
dan rasio dari keduanya (VEP1/ KVP). Pada pasien dengan PPOK biasanya
menunjukkan penurunan nilai FEV1 dan KVP. Tingkat abnormalitas dari nilai
spirometri dapat menunjukkan derajat keparahan dari PPOK.
Tabel 2. 3 Klasifikasi PPOK5
Derajat
Klinis
Faal paru
Derajat I: PPOK Gejala batuk kronik dan produksi sputum ada -VEP1/KVP < 70%
Ringan
Derajat

tapi tidak sering.


-VEP1 80% prediksi
II: Gejala sesak mulai dirasakan saat aktivitas dan -VEP1/KVP < 70%

PPOK Sedang

sputum.
III: Gejala sesak lebih berat, penurunan aktivitas, - VEP1/KVP < 70%

Derajat
PPOK Berat

rasa lelah dan serangan eksaserbasi makin -30 < VEP1 < 50% prediksi
sering
IV: Gejala di atas ditambah tanda-tanda gagal napas - VEP1/KVP < 70%

Derajat
PPOK

kadang ditemukan gejala batuk dan produksi -50 < VEP1 < 80% prediksi

Sangat atau gagal jantung kanan dan ketergantungan - VEP1<30% prediksi atau

Berat

oksigen.

VEP1 < 50% disertai gagal


napas kronik.

Adanya hambatan aliran nafas dapat diketahui dari nilai FEV 1/ FVC< 0,70
postbronkdilator. Spirometri harus dilakukan setelah administrasi short acting
inhaled bronchodilator dengan dosis yang tepat untuk meminimalisasi adanya
variabilitas.

10

Gambar 2.2 Perbandingan spirometri pada orang normal dan penderita PPOK
Nilai yang didapat harus dibandingkan sesuai umur untuk menghindari adanya
overdiagnosis PPOK pada lanjut usia. Tes spirometri ini dapat dilakukan pada
pederita PPOK yang dalam keadaan stabil.
b. Pemeriksaan Laboratorium

Darah Lengkap

Pada pemeriksaan darah lengkap didapatkan WBC dalam batas normal dan
penurunan jumlah sel darah merah, hemoglobin, dan hematokrit yang sangat
sedikit. Nilai WBC yang berada dalam batas normal belum dapat menyingkirkan
adanya

infeksi

pada

pasien

karena

fungsi

sistem

imunitas

tubuh

(immunocompetence) menurun sesuai umur. Aging (penuaan) dihubungkan


dengan sejumlah perubahan pada fungsi imun tubuh, khususnya penurunan
imunitas mediated sel. Aging juga mempengaruhi aktivitas leukosit termasuk
makrofag, monosit, neutrofil, dan eosinofil. Namun hanya sedikit data yang
tersedia menjelaskan efek penuaan terhadap sel-sel tersebut. Pada pasien PPOK
dengan eksaserbasi akut yang diakibatkan oleh adanya infeksi, akan didapat
gambaran terjadinya peningkatan kadar sel darah putih. Namun terkadang hal ini
tidak terjadi pada pasien usia lanjut.

Analisis Gas Darah (AGD)

Adanya proses destruktif pada paru mengakibatkan hilangnya sebagian besar


dinding alveolus sehingga mengakibatkan penurunan kemampuan paru untuk
mengoksigenasi darah dan mengeluarkan karbon dioksida dari darah. Proses
obstruktif seringkali jauh lebih buruk pada beberapa bagian paru daripada bagian
lainnya, sehingga beberapa bagian paru ventilasinya baik, sementara bagian lain
11

ventilasinnya buruk. Keadaan ini seringkali menghasilkan rasio ventilasi perfusi


yang abnormal, dengan Va/Q

yang sangat rendah pada beberapa bagian

mengakibatkan aerasi darah yang buruk, dan Va/Q yang sangat tinggi pada
beberapa

bagian

lain

yang

mengakibatkan

ventilasi

percuma. Adanya

hipoventilasi pada banyak alveoli dan kerusakan dindng alveolus mengakibatkan


terjadinya peningkatan kadar pCO2 dalam darah dan penurunan kadar pO2 dalam
darah.
c. Chest X-Ray
Hasil foto thorax yang abnormal jarang digunakan sebagai diagnostik PPOK,
tetapi sangat berguna dalam mengeksklusi diagnosis lainnya dan menegakkan
adanya komorbditas seperti gagal jantung. Perubahan radiologi terkait dengan
PPOK adalah ditemukannya gambaran hiperinflasi, hiperlusen dan peningkatan
corakan bronkovaskular dari paru.
d. Elektrokardiografi
Pemeriksaan elektrokardiografi (EKG) diperlukan pada pasien PPOK untuk
mengetahui adanya komplikasi pada jantung yang ditandai dengan adanya
gambaran P pulmonal dan hipertropi ventrikel kanan.
e. Bakteriologi
Pemeriksaan bakeriologi sputum pewarnaan gram dan kultur resistensi diperlukan
untuk mengetahui pola kuman dan untuk memilih antibiotik yang tepat. Infeksi
saluran nafas berulang merupakan penyebab utama eksaserbasi akut pada pasien
PPOK di Indonesia.
2.6. Diagnosis Banding
Adapun diagnosis banding dari PPOK antara lain dapat dilihat pada tabel di bawah
ini:
Tabel 2.4 Diagnosis Banding PPOK5,6
Diagnosis
Asma

Gambaran Klinis
1. Onset usia dini

12

2. Gejala bervariasi dari hari ke hari


3. Gejala pada waktu malam/dini hari lebih menonjol
4. Ditemukan riwayat alergi, rinitis, atau eczema
5. Ada riwayat asma dalam keluarga
Gagal

6. Hambatan aliran udara umumnya reversibel


1. Adanya riwayat hipertensi

jantung

kongestif

2. Ditemukan ronkhi basah pada basal paru


3. Gambaran foto thoraks berupa pembesaran jantung
dan edema paru
4. Pemeriksaan faal paru restriksi, bukan obstruksi
1. Sputum purulen dalam jumlah yang banyak

Bronkiektasis

2. Sering berhubungan dengan infeksi bakteri


3. Ronkhi basah kasar
4. Gambaran

foto

thoraks

tampak

honeycomb

appearance dengan penebalan dinding bronkus.


1. Onset semua usia

Tuberkulosis

2. Gambaran foto thoraks berupa infiltrat


Bronkiolitis

3. Ditemukan BTA pada pemeriksaan mikrobiologi


1. Usia muda

obliterasi

2. Tidak merokok
3. Dapat ditemukan riwayat adanya artritis reumatoid

Diffuse

4. CT paru ekspirasi terlihat gambaran hipodens


Sering pada perempuan tidak merokok

panbronchiolitis

Seringkali berhubungan dengan sinusitis

Pada foto rontgen dan CT paru resolusi tinggi


memperlihatkan

bayangan

diffuse

nodul

opak

sentrilobular dan hiperinflasi.


2.7. Assesment dari PPOK6
Tujuan dari assessment PPOK adalah untuk menentukan severitas dari penyakit,
yang berdampak pada status kesehatan pasien dan risiko ke depannya (seperti
eksaserbasi, hospitalisasi dan kematian) dan juga panduan terapi. Untuk mencapai
tujuan tersebut, penilaian PPOK harus mempertimbangkan hal-hal di bawah ini:

Gejala pasien saat ini


13

Severitas dari abnormalitas spirometri

Risiko eksaserbasi

Adanya kormobiditas

a. Assesment gejala
Beberapa kuisioner yang tervalidasi yang dapat digunakan untuk menilai
gejala pada pasien PPOK antara lain Modified British Medical Research
Council (mMRC) yang menilai disabilitas akibat dampak dari sesak, atau
COPD Assessment Test (CAT) yang memiliki cakupan yang lebih luas
mengenai dampak PPOK terhadap kehidupan sehari-hari pasien.
Tabel 2.5 Modified British Medical Research Council (mMRC)
Grade 0: I only get breathless with strenuous exercise
Grade 1: I get shorth of breath when hurrying on the level or walking up a slight hill
Grade 2: I walk slower than people of the same age on the level because of
breathlessness, or I have to stop for breath when walking on my own pace on the level
Grade 3: I stop for breath after walking about 100 meters or after a few minutes on the
level
Grade 4: I am too breathlessness to leave the house or I am breathless when dressing or
undressing.
b. Assesment spirometri
Tabel 2.6 Klasifikasi dari Severitas Limitasi Aliran pada PPOK
Pada pasien dengan VEP1/KVP < 0,70:
GOLD 1: Mild (VEP1 80% predicted)
GOLD 2: Moderate ( 50% VEP1 < 80% predicted )
GOLD 3: Severe ( 30% VEP1 < 50% predicted )
GOLD 4: Very severe (VEP1 < 30% predicted )
c. Assesment dari eksaserbasi
Eksaserbasi dari PPOK merupakan peristiwa akut yang dikarakterisasi dengan
perburukan gejala pernafasan yang berbeda dengan variasi normalnya sehari-hari
dan mengakibatkan perubahan dalam pengobatan. Angka dimana eksaserbasi itu
terjadi bervariasi antara setiap pasien. Perburukan dari limitasi aliran udara

14

memiliki keterkaitan dengan peningkatan prevalensi dari eksaserbasi dan risiko


kematian.
Eksaserbasi dapat menurunkan fungsi paru, perburukan status kesehatan dan
risiko kematian. Penilaian risiko eksaserbasi dapat juga dilihat sebagai penilaian
dari faktor prognostik yang buruk.
d. Assesment kormobiditas
Karena PPOK sering berkembang pada perokok jangka panjang dalam usia
peretengahan, pasien juga sering kali memiliki berbagai variasi dari penyakit lain
yang terkait dengan merokok atau penuan. PPOK sendiri juga memiliki efek
ekstrapulmonari (sistemik) yang signifikan meliputi penurunan berat badan,
gangguan nutrisi, dan disfungsi otot skeletal. Pada fase lanjut dikarakterisasi
dengan sarcopenia (penurunan jumlah sel otot) dan fungsi abnormal dari sel-sel
sisa. Hal ini menyebabkan terjadi inntoleransi dalam exercise dan rendahnya
status kesehatan pasien PPOK.
Kormobiditas yang terjadi pasien PPOK sering kali meliputi penyakit
kardiovaskuler disfungsi otot skeletal, sindrom metabolik, osteoporosis, depresi
dan kanker paru. Keberadaan PPOK dapat meningkatkan risiko untuk penyakit
lain khususnya keterkaitan anatara PPOK dan kanker paru. Apakah keterkaitan ini
akibat faktor risikonya ( merokok) keterlibatan gen, atau gangguan clearance dari
karsinogen itu sendiri, itu masih belum jelas. Kormobiditas dapat terjadi pada
pasien dengan airflow limitation yang ringan, sedang maupun berat. Kormobiditas
itu sendiri juga dapat mempengaruhi mortalitas dan hospitalisasi secara
independen oleh karena itu kormobiditas harus dilihat secara rutin dan ditangani
secara tepat pada setiap pasien dengan PPOK.
e. Kombinasi Assesment PPOK
Skala MRC atau CAT direkomendasikan untuk assesment gejala, dimana nilai
mMRC 2 atau Nilai CAT10 mengindikasikan gejala yang berat. (Skor CAT
lebih dipilih karena penilaiannya lebih komprehensif; jika skor CAT tidak ada,
skor mMRC dapat digunakan. Tidak perlu menggunakan lebih dari 1 skala).
Terdapat 2 metode untuk menilai risiko eksaserbasi. Salah satu metode yang
15

berdasarkan populasi menggunakan klasifikasi spirometri (tabel 2.5), dengan


kategori GOLD3 atau GOLD4 mengindikasikan risiko tinggi. Metode lain
didasarkan pada riwayat eksaserbasi dari individu pasien, dengan dua atau lebih
eksaserbasi dalam setahun mengindikasi risiko tinggi.
Untuk menggunakan Gambar 2.2 pertama nilai gejala dengan skala mMRC atau
CAT, dan tentukan jika pasien tergolong ke kotak A atau C- Gejala ringan (mMRC
tingkat 0-1 atau CAT <10)- atau ke kotak B atau D- gejala lebih berat dengan
mMRC grade 2 atau CAT 10.
Kemudian nilai risiko eksaserbasi untuk menentukan jika pasien tergolong pada
kotak bagian bawah- risiko rendah atau kotak bagian atas risiko tinggi. Hal ini
dapat dilakukan dengan dua metode. Pertama menggunakan Spirometri untuk
menentukan derajat GOLD dari airflow limitition (kategori GOLD 1 dan GOLD 2
mengindikasikan

reisiko

rendah,

sedangkan

GOLD

dan

GOLD

mengindikasikan re\isiko tinggi). Kedua menilai jumlah eksaserbasi yang dialami


pasien dalam 12 bulan sebelumnya 0-1 mengindikasikan resiko rendah, sedangkan
2 atau lebih mengindikasikan risiko tinggi. Dalam beberapa pasien terdapat 2 cara
dalam menilai risiko eksaserbasi yang tidak akan mengarahkan ketingkat resiko
yang sama.
4

0
Mmrc 0-1

Mmrc 2

Gambar 2.3 Asosiasi CAT


antara
<10 Gejala, Klasifikasi
CAT 10Spirometri, dan Risiko
Eksaserbasi

Symptoms
Kelompok ini dapat diringkas sebagai
berikut:

16

RISK

Exacerbation history

RISK

GOLD Classifcation of Airfow Limitation

(C)(D)
(A)(B)

Pasien Grup A : Resiko rendah gejala minimal. Khususnya pada GOLD 1


atau GOLD 2 ( airflow limitation ringan atau sedang) dan atau 0-1 kali
eksaserbasi pertahun dan mMRC 0-1 atau niali CAT < 10

Pasien Grup B: Resiko rendah, gejala lebih berat. Khususnya pada GOLD
1 atau GOLD 2 (airflow limitation ringan atau sedang) dan atau 0-1 kali
eksaserbasi pertahun dan mMRC 2 atau nilai CAT 10

Pasien Grup C: Risiko tinggi, gejala minimal. Pada pasien GOLD 3 atau
GOLD 4 ( airflow limitation yang parah atau sangat parah) dan atau 2
kali eksaserbasi pertahun dan mMRC 2 atau nilai CAT 10

Pasien Grup D: Resiko tinggi, gejala lebih berat. Pada pasien dengan
GOLD 3 atau GOLD 4 ( airflow limitation yang parah atau sangat parah)
dan atau 2 kali eksaserbasi pertahun dan mMRC 2 atau nilai CAT 10

2.8. Penatalaksanaan
Tujuan pelaksanaan PPOK mencakup beberapa komponen yaitu :
a. Mengurangi gejala
b. Mencegah progresivitas penyakit
c. Meningkatkan toleransi latihan
d. Meningkatkan status kesehatan
e. Mencegah dan menangani komplikasi
f. Mencegah dan menangani eksaserbasi
g. Menurunkan kematian
Penatalaksanaan secara umum PPOK meliputi :

Edukasi

Berhenti merokok

Obat-obatan

Rehabilitasi

Terapi oksigen

Ventilasi mekanis

Nutrisi
17

1. Edukasi
Edukasi merupakan hal penting dalam pengelolaan jangka panjang pada
PPOK stabil. Edukasi pada PPOK berbeda dengan edukasi pada asma. Karena
PPOK adalah penyakit kronik yang ireversibel dan progresif, inti dari edukasi
adalah menyesuaikan keterbatasan aktivitas dan mencegah kecepatan
perburukan fungsi paru. Berbeda dengan asma yang masih bersifat reversibel,
menghindari pencetus dan memperbaiki derajat adalah inti dari edukasi atau
tujuan pengobatan dari asma. Tujuan edukasi pada pasien PPOK :
1. Mengenal perjalanan penyakit dan pengobatan
2. Melaksanakan pengobatan yang maksimal
3. Mencapai aktivitas optimal
4. Meningkatkan kualitas hidup
Edukasi PPOK diberikan sejak ditentukan diagnosis dan berlanjut secara
berulang pada setiap kunjungan, baik bagi penderita sendiri maupun bagi
keluarganya. Edukasi dapat diberikan di poliklinik, ruang rawat, bahkan di
unit gawat darurat ataupun di ICU dan di rumah. Secara intensif edukasi
diberikan di klinik rehabilitasi atau klinik konseling, karena memerlukan
waktu yang khusus dan memerlukan alat peraga. Edukasi yang tepat
diharapkan dapat mengurangi kecemasan pasien PPOK, memberikan
semangat hidup walaupun dengan keterbatasan aktivitas. Penyesuaian
aktivitas dan pola hidup merupakan salah satu cara untuk meningkatkan
kualitas hidup pasien PPOK.
Bahan dan cara pemberian edukasi harus disesuaikan dengan derajat berat
penyakit, tingkat pendidikan, lingkungan sosial, kultural dan kondisi ekonomi
penderita.
Secara umum bahan edukasi yang harus diberikan adalah
1. Pengetahuan dasar tentang PPOK
2. Obat - obatan, manfaat dan efek sampingnya
3. Cara pencegahan perburukan penyakit
4. Menghindari pencetus (berhenti merokok)
5. Penyesuaian aktivitas
2. Berhenti merokok
18

Berhenti merokok merupakan satu-satunya intervensi paling efektif dalam


mengurangi resiko berkembangnya PPOK dan memperlambat progresivitas
penyakit.
Tabel 2.7 Penatalaksanaan terhadap Ketergantungan dan pengguna rokok
Penatalaksanaan terhadap Ketergantungan dan pengguna rokok
1.
Ketergantungan rokok merupakan kondisi kronis yang perlu
mendapatkan pengobatan jangka panjang hingga abstinence yang permanen bisa
dicapai
2.

Segala pengobatan efektif yang ada untuk ketergantungan


rokok harus ditawarkan pada setiap perokok.

3.

Dokter harus menginstituionalisasi identifikasi, dokumentasi,


pengobatan pada setiap pengguna rokok, di setiap kali pertemuan.

4.

Konseling yang singkat mengenai berhenti merokok sangat


efektif dan nasihat harus diberikan kepada perokok setiap bertemu dengan pelayan
kesehatan

5.

Terdapat hubungan selaras antara intensitas konseling dengan


efektivitas keluarannya.

6.

Terdapat 3 tipe konseling yang ditemukan efektif : konseling


praktis, dukungan sosial sebagai bagian dari pengobatan, dan dukungan sosial yang
diluar pengobatan

7.

Terapi utama untuk ketergantungan rokok varenicline.


Buproprion, SR, nicotine gum, nicotine inhaler, nicotine nasal spray, dan nicotine
patch- sangat efektif dan minimal satu harus diresepkan jika tidak ada kotraindikasi.

8.

Pengobatan ketergantungan rokok merupakan pengobatan


yang relatif costeffective dibandingkan intervensi terhadap pencegahan medis lainnya.

3. Obat-obatan
Tabel 2.8 Penatalaksanaan awal farmakologi pada PPOK1
19

a. Bronkodilator
Diberikan secara tunggal atau kombinasi dari ketiga jenis bronkodilator dan
disesuaikan dengan klasifikasi derajat berat penyakit. Pada derajat berat
diutamakan pemberian obat lepas lambat atau obat berefek panjang.
Macam-macam bronkodilator

Golongan antikolinergik
Digunakan pada derajat ringan sampai berat, disamping sebagai
bronkodilator juga dapat mengurangi sekresi mukus.

Golongan agonis -2
Bentuk inhaler digunakan untuk mengatasi sesak, peningkatan jumlah
penggunaan dapat sebagai monitor timbulnya eksaserbasi. Bentuk
nebulizer dapat digunakan untuk mengatasi eksaserbasi akut, tidak
dianjurkan untuk penggunaan jangka panjang. Bentuk injeksi subkutan
atau drip untuk mengatasi eksaserbasi berat.

Kombinasi antikolinergik dan agonis -2


Kombinasi ini akan memperkuat efek bronkodilatasi, karena keduanya
mempunyai tempat kerja yang berbeda.
20

Golongan xantin
Dapat digunakan sebagai pengobatan pemeliharaan jangka panjang derajat
sedang maupun berat.

Antiinflamasi
Digunakan bila terjadi ksaserbasi akut dalam bentuk oral atau injeksi
intravena, berfungsi menekan inflamasi yang terjadi dipilih golongan
metilprednisolon atau prednisone.

Antibiotika
Hanya diberikan bila terdapat eksaserbasi

Antioksidan
Dapat mengurangi eksaserbasi dan memperbaiki kualitas hidup, digunakan
N-asetilsistein.

Mukolitik
Hanya diberikan terutama pada eksaserbasi akut karena akan mempercepat
perbaikan eksaserbasi, terutama pada bronchitis kronik dengan sputum
yang kental. Mengurangi eksaserbasi pada PPOK bronchitis kronik.

Antitusif
Diberikan dengan hati-hati

Phosphodiesterase-4 inhibitor
Diberikan kepada pasien dengan derajat III atau derajat IV dan memiliki
riwayat eksaserbasi dan bronchitis kronik.

4. Rehabilitasi PPOK
Tujuan program rehabilitasi untuk meningkatkan toleransi terhadap latihan
dan memperbaiki kualitas hidup pasien PPOK. Pasien yang dimasukkan ke
dalam program rehabilitasi adalah mereka yang telah mendapatkan
pengobatan optimal yang disertai :

Symptom pernapasan berat

Beberapa kali masuk ruang gawat darurat

Kualitas hidup yang menurun

Program rehabilitasi terdiri dari 3 komponen yaitu : latihan fisis, psikososial,


dan latihan pernapasan.
21

Latihan fisis
Ditujukan untuk memperbaiki efisiensi dan kapasitas system
transportasi oksigen. Latihan fisis yang baik akan menghasilkan:
o Peningkatan VO2 max
o Perbaikan kapasitas kerja aerobic maupun anaerobic
o Peningkatan cardiacoutput dan stroke volume
o Peningkatan efisiensi distribusi darah
o Pemendekkan waktu yang diperlukan untuk pemulihan

Psikososial
Status psikologi pasien perlu diamati dengan cermat dan apabila
diperlukan dapat diberikan obat

Latihan pernapasan
Tujuan latihan ini adalah untuk mengurangi dan mengontrol sesak napas.
Teknik latihan meliputi pernapasan diafragma dan pursed lips breathing
guna memperbaiki ventilasi dan mensinkronkan kerja otot abdomen dan
toraks.

5. Terapi Oksigen
Pada PPOK terjadi hipoksemia progresif dan berkepanjangan yang
menyebabkan kerusakan sel dan jaringan. Pemberian terapi oksigen
merupakan hal yang sangat penting untuk mempertahankan oksigenasi seluler
dan mencegah kerusakan sel.
6. Ventilasi Mekanis
Ventilasi mekanis pada PPOK digunakan pada eksaserbasi dengan gagal napas
akut, gagal napas akut pada gagal napas kronik, atau pada pasien PPOK
derajat berat dengan gagal napas kronik.
7. Nutrisi
Malnutrisi sering terjadi pada PPOK, kemungkinan karena bertambahnya
kebutuhan energy akibat kerja muskulus respirasi yang meningkat karena
hipoksemia kronik dan hiperkapnia menyebabkan terjadi hipermetabolisme.
Kondisi malnutrisi akan menambah mortalitas PPOK karena berkolerasi
dengan derajat penuruna faal paru dan perubaan analisis gas darah.
22

2.8.1. Penatalaksanaan Pada Keadaan Stabil


Penatalaksanaan PPOK stabil dilaksanakan di poliklinik sebagai evaluasi berkala
atau di rumah untuk mempertahankan PPOK yang stabil dan mencegah
eksaserbasi. Penatalaksanaan dirumah meliputi:
a. Penggunaan obat-obatan dengan tepat
Obat-obatan sesuai klasifikasi. Pemilihan obat dapat dalam bentuk inhaler,
nebulhaler, turbuhaler, atau breezhaler karena pasien PPOK biasanya berusia
lanjut, koordinasi neurologis dan kekuatan otot sudah berkurang.
b. Terapi oksigen
Terapi oksigen untuk PPOK derajat sedang hanya digunakan bila timbul sesak
yang disebabkan pertambahan aktivitas. Pada PPOK derajat berat yang
menggunakan terapi oksigen di rumah pada waktu aktivitas atau terusmenerus selama 15 jam terutama pada waktu tidur. Dosis oksigen tidak lebih
dari 2 liter.
c. Penggunaan mesin bantu napas dan pemeliharaannya
d. Rehabilitasi
-

Menyesuaikan aktivitas

Latihan ekspektorasi atau batuk yang efektif

Latihan ekstremitas atas dan otot bantu napas

e. Evaluasi dan monitor


-

Tanda eksaserbasi

Efek samping obat

Kecukupan dan efek samping penggunaan oksigen

2.8.2. Penatalaksanaan pada eksaserbasi akut


Eksaserbasi akut pada PPOK berarti timbulnya perburukan dibandingkan dengan
kondisi sebelumnya. Gejala eksaserbasi berupa sesak yang bertambah,
meningkatnya produksi sputum dan perubahan warna sputum (sputum menjadi
purulen).
Eksaserbasi akut dibagi menjadi 3 :
-

Tipe I (eksaserbasi berat), memiliki 3 gejala

Tipe II (eksaserbasi sedang), memiliki 2 gejala


23

Tipe III (eksaserbasi ringan), memiliki 1 gejala diatas ditambah infeksi


saluran napas atas lebih dari 5 hari, demam tanpa sebab lain, peningkatan
batuk, peningkatan mengi, atau peningkaatan frekuensi penapasan >20%
nilai dasar atau frekuensi nadi >20% nilai dasar.

Prinsip penatalaksanaan PPOK pada eksaserbasi akut adalah mengatasi segera


eksaserbasi yang terjadi dan mencegah terjadinya gagal napas. Bila telah terjadi
gagal napas segera atasi untuk mencegah kematian.
Beberapa hal yang perlu diperhatikan pada eksaserbasi akut adalah:
a. Diagnosis beratnya eksaserbasi :
-

Derajat sesak, frekuensi napas, pernapasan paradoksal

Kesadaran

Tanda vital

Analisis gas darah

Pneumonia

b. Terapi oksigen yang adekuat


Pada eksaserbasi akut terapi oksigen merupakan hal pertama dan utama,
bertujuan untuk memperbaiki hipoksemia dan mencegah keadaan yang
mengancam jiwa.
c. Pemberian obat-obatan yang optimal
Obat yang diperlukan pada eksaserbasi akut yaitu:
-

Bronkodilator

Kortikosteroid

Antibiotik

Diberikan bila terdapat 2 atau lebih dari gejala di bawah ini :


-

Peningkatan sesak

Peningkatan jumlah sputum

Sputum berubah menjadi purulen

Pemilihan antibiotik disesuaikan dengan pola kuman setempat dan komposisi


antibiotic yang mutakhir. Antibiotic bermanfaat untuk pasien PPOK
eksaserbasi

dengan

tanda

klinis

infeksi

saluran

napas

(misalnya,

meningkatnya dahak purulen)

24

Penatalaksanaan eksaserbasi akut dapat dilakukan di rumah atau di rumah sakit.


Pada eksaserbasi ringan dapat dilakukan penatalaksanaan di rumah. Ada beberapa
hal yang menjadi indikasi untuk rawat inap pada pasien PPOK eksaserbasi akut
berdasarkan diagnosis dan penatalaksanaan PPOK (PDPI) antara lain:
-

Eksaserbasi sedang dan berat

Terdapat komplikasi

Infeksi saluran nafas berat

Gagal napas akut pada gagal napas kronis

Gagal jantung kanan

Berdasarkan GOLD 2011 kriteria indikasi rawat inap antara lain:


-

Ditandai dengan peningkatan gejala seperti sesak nafas mendadak pada


saat istirahat

Adanya tanda-tanda fisis seperti sianosis dan edema perifer

Kegagalan pengobatan eksaserbasi dengan penatalaksanaan awal

Adanya komplikasi

Eksaserbasi yang sering

Aritmia yang baru terjadi

Diagnosis belum pasti

Usia lanjut

Keadaan rumah dan lingkungan yang kurang mendukung

Pemeriksaan spirometri perlu direncanakan untuk memantau perjalanan penyakit


dan efektivitas obat yang telah diberikan. Selain itu juga perlu dilakukan
pemeriksaan sputum gram/kultur untuk mengetahui sensitivitas bakteri terhadap
antibiotika sehingga dapat dipilih antibiotika yang sesuai. Monitoring terhadap
sesak nafas, vital sign dan pemeriksaan AGD secara serial dilakukan untuk
memantau kondisi pasien dan melihat efektivitas dari pengobatan yang dilakukan.
2.9. Komplikasi4
Komplikasi pada PPOK merupakan bentuk perjalanan penyakit yang progresif
dan tidak sepenuhnya reversible seperti:
1. Gagal nafas
25

Gagal nafas kronik


Pada gagal nafas kronik, hasil analisa gas darah, PO2<50mmHg dan
PCO2>50mmHg, dan pH normal, penatalaksanaan :
a. jaga keseimbangan PO2 dan PCO2
b. bronkodilator kuat
c. terapi oksigen yang adekuat terutama waktu aktivitas dan tidur
d. antioksidan
e. latihan pernafasan dengan pursed lips breathing

Gagal nafas akut


Pada gagal nafas kronik, yang ditandai oleh :
Sesak nafas dengan atau tanpa sianosis, sputum bertambah dan
purulen, demam, dan kesadaran menurun.

2. Infeksi berulang
Pada pasien PPOK produksi sputum yang berlebihan menyebabkan
terbentuknya koloni kuman, hal ini memudahkan terjadinya infeksi
berulang. Pada kondisi kronik ini imunitas menjadi lebih rendah, ditandai
dengan menurunnya kadar limfosit darah.
3. Cor Pulmonale (Gagal jantung Kanan)
Pertukaran udara yang jelek pada penderita PPOK menyebabkan
menurunnya jumlah oksigen di darah sehingga timbul refleks spasme
percabangan-percabangan

kecil

arteri

pulmonalis

(hypoxic

vasoconstriction). Kesemuanya ini akan lebih meningkatkan tahanan


perifer dalam paru. Maka ventrikel kanan harus bekerja lebih keras,
sehingga terjadi hipertrofi ventrikel kanan. Bila sudah tidak mampu lagi
mengkompensasi meningkatnya tahanan perifer intrapulmonal, maka akan
terjadi kegagalan jantung kanan. Tanda dan gejala gagal jantung kanan
antara lain pembengkakan ekstemitas bawah yaitu kaki, dispneu, tidak
mampu mentoleransi latihan, sianosis, meningkatnya vena leher.

26

BAB III
LAPORAN KASUS
BAB II
LAPORAN KASUS
I. IDENTITAS PENDERITA
Nama

: ND

Umur

: 61 tahun

Jenis kelamin

: Laki-laki

Bangsa

: Indonesia

Suku

: Bali

Agama

: Hindu

Pendidikan

: Tamat SLTP

Status

: Sudah menikah

Pekerjaan

: Tidak bekerja

Alamat

: Jl. Tukad Balian, No 51 B, Renon, Denpasar

Tanggal MRS

: 21 September 2012

Tanggal Pemeriksaan : 24 September 2012


Ruangan

: Angsoka II

AUTOANAMNESIS
II. KELUHAN UTAMA
Sesak nafas
III. ANAMNESIS KHUSUS
Riwayat penyakit sekarang :
Pasien datang ke IRD RSUP SANGLAH dengan keluhan sesak nafas sejak I
minggu SMRS dan memburuk sejak 2 hari SMRS. Sesak nafas timbul secara
mendadak pada pagi tanpa didahului oleh aktivitas fisik yang berat. Sesak
mulanya terasa ringan, tidak pernah hilang dan makin lama dirasakan semakin
memberat. Sesak nafas dirasakan terus-menerus sepanjang hari saat pasien
menarik nafas dalam-dalam dan memburuk saat batuk kuat. Sesak nafas dirasakan
27

seperti tertekan sampai membuat pasien merasa tidak bisa bernafas dan pasien
mengeluh sulit tidur. Sesak tidak dipengaruhi oleh posisi dan juga tidak membaik
dengan perubahan posisi. Pasien juga mengeluh sesak nafas terkadang disertai
dengan bunyi ngik - ngik. Sesak nafas juga membuat pasien menjadi lemas dan
tidak bisa beraktivitas. Selama perawatan pasien mengatakan sesaknya masih
terasa namun sudah terasa berkurang.
Pasien juga mengeluhkan batuk sebelum keluhan sesak terjadi. Batuk
dikatakan muncul sejak 9 hari yang lalu dan semakin lama dirasakan bertambah
berat sejak 3 hari SMRS. Batuk dirasakan pasien terus-menerus sepanjang hari
dengan dahak kental berwarna kuning. Volume dahak yang keluar sekali batuk
sekitar hingga sendok makan. Batuk dengan dahak berdarah disangkal oleh
pasien. Sampai saat perawatan pasien masih batuk berdahak dengan warna putih
kekuningan namun dikatakan frekuensinya sudah berkurang.
Pasien juga mengeluh demam sejak 7 hari sebelum masuk rumah sakit yang
muncul bersamaan dengan keluhan batuk yang pasien alami. Demam terjadi
mendadak dan dirasakan terus menerus baik siang maupun malam. Demam
dikatakan merespon obat penurun panas, dan pasien mengaku sudah tidak demam
sejak 3 hari sebelum masuk rumah sakit.
Pasien menyangkal adanya keluhan mual dan muntah. Pasien juga
menyangkal adanya penurunan nafsu makan dan berat badan, serta berkeringat
pada malam hari saat tanpa aktivitas. BAK pasien dikatakan biasa, dengan
frekuensi berkemih sekitar 4-5 kali dalam sehari, volume tiap berkemih
hingga 1 gelas, warna jernih kekuningan. BAB pasien juga dikatakan biasa,
frekuensi rata-rata sekali sehari, warna kecokelatan, konsistensi padat.
Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien mengaku sering mengalami batuk terutama saat bangun tidur dengan
dahak kental sebelum keluhan saat ini muncul. Batuk dirasakan muncul sejak 3
tahun terakhir namun hilang dengan pengobatan dari dokter praktek umum.
Terkadang pasien juga mengeluh sesak saat batuk muncul, namun tidak pernah
separah yang dirasakan sekarang.Pasien juga mengatakan memiliki riwayat
hipertensi yang diketahui 3 tahun yang lalu ketika pasien berobat di RSUP
Sanglah. Riwayat kencing manis, penyakit jantung, asma disangkal oleh pasien.
Riwayat Pengobatan
Pasien sempat berobat ke Rumah Sakit Umum Sanglah 3 tahun yang lalu
dengan keluhan yang sama. Adepun pada masa itu pasien menolak dirawat di
rumah sakit dan lebih memilig pengobatan alternative (herbal). Kemudian 2 bulan
28

yang lalu keluhan yang sama timbul kembali dan dirawat di RSUP Sanglah.
Pasien juga mengalami keluhan biasanya berobat ke praktek dokter umum yang
berada dekat rumahnya. Adapun

pasien biasanya mendapatkan pengobatan

berupa suntikan , obat batuk dan obat hipertensi.


Riwayat Penyakit Keluarga
Di keluarga tidak ada yang mempunyai penyakit yang sama seperti ini,
adanya kelainan bawaan di keluarga juga disangkal. Riwayat penyakit sistemik
lain pada keluarga seperti hipertensi, sakit jantung, ginjal, dan kencing manis
disangkal oleh penderita.
Riwayat Sosial dan Ekonomi
Penderita saat ini tidak berkerja selama 15 tahun. Sebelumnya pekerjaan
pasien adalah sebagai petani. Pasien berkerja sebagai petani selama 50 tahun.
Adapun selama berkerja pasien tidak pernah menggunakan alat perlindungan diri,
khususnya masker ketika menyemprotkan pestiside.
Pasien memiliki riwayat merokok sejak 60 tahun yang lalu. Dalam sehari
pasien mampu menghabiskan 6 batang rokok. Namun pasien mengaku sudah
berhenti merokok sejak 10 tahun yang lalu. Riwayat mengkonsumsi alkohol
disangkal oleh pasien.
Dalam 1 rumah pasien tinggal bersama 2 orang cucu dan 2 orang keluarga
yang kos di rumah pasien. Pasien memiliki 2 orang anak yang sudah menikah dan
tinggak di rumah yang berbeda dengan pasien. Adepun istri pasien sudah
meninggal 10 tahun yang lalu. Keluarga pasien merupakan golongan sosial
ekonomi menengah. Anak- anaknya sebagai pegawai swasta dikatakan cukup
untuk membiayai kehidupan sehari-hari pasien bersama keluarganya.
IV. PEMERIKSAAN FISIK
Status present
Keadaan umum

: tampak sakit sedang

Kesadaran

: compos mentis (E4V5M6)

Tekanan darah

: 170/110 mmHg
29

Nadi

: 84 x/menit, reguler, isi cukup

Respirasi

: 24 x/ menit

Temp. axilla

: 36,5 C

BB

: 49 kg

TB

: 162 cm

BMI

: 18.67 kg/m2

Status general
Mata

: Anemis -/-, ikterus -/-, reflek pupil +/+ isokor, edema palpebra -/-

Bibir

: Pursued lips breathing

THT
Telinga

: Sekret -/-, hiperemis -/-

Hidung

: Sekret (+) mucoid

Tenggorokan

: Tonsil T1/T1, faring hiperemi (+)

Lidah

: Papil atrofi (-)

Leher

:JVP + 3 cmH2O, kelenjar tiroid normal, penggunaan otot


bantu

Thorax

nafas(+)

Cor
Inspeksi : Pulsasi iktus cordis tampak pada ICS V MCL S
Palpasi

: Iktus kordis teraba pada ICS V MCL S, kuat angkat (-)

Perkusi

: Batas atas jantung ICS II


Batas kanan jantung PSL kanan
Batas kiri jantung 2cm MCL kiri ICS V

Auskultasi

: S1S2 tunggal, regular, murmur (-)

Pulmo
Inspeksi

: Simetris (+), Barrel chest (+), tampak pelebaran celah iga

Palpasi

: Vocal fremitus

Perkusi

(+)
Hipersonor
Hipersonor
Hipersonor

Pelebaran celah iga

Hipersonor
Hipersonor
Hipersonor

30

Auskultasi

: Vesikuler

- --

Rhonchi
Wheezing

++
++

Abdomen :
Inspeksi

: Distensi (-)

Auskultasi

: Bising usus (+) normal

Palpasi

:Hepar/lien tidak teraba, nyeri tekan (-), ballottement (-),


Nyeri ketok sudut costo vertebral -/-

Perkusi

: Timpani, shifting dullness (-)

Ekstremitas

+
+
, Trem,
+, +

: Hangat

edema-+Edema
+

V. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Darah Lengkap (22/9/2012)
Variabel
WBC
Ne
Lym
Mo
Eo
Ba
RBC
HGB
HCT
MCV
MCH
PLT

Satuan
8,87
3,89
2,10
0,71
0.10
0.30
5,00
15,00
47,8
85,20
26,29
171,70

Normal

x 103/L
x 103/L
x 103/L
x 103/L
x 103/L
x 103/L
x 106/L
g/dL

4,10-11,00
2,50-7,50
1,00-4,00
0,10-1,20
0,00-0,50
0,00-0,10
4,50-5,90
13,50-

%
fL
Pg
x 103/L

17,50
41-53
80-100
26-34
150-440

Kimia Klinik (22/9/2012)


31

Variabel

Hasil

Satuan

Normal

SGOT
SGPT
BUN
Glucose darah

31,6
45,00
20,00
136,00

U/L
U/L
U/L
mg/dL

11,00-33,00
11,00-50,00
8,00 23,00
70,00-140,00

Analisis Gas darah (22/9/2012)


Parameter

Result

Unit

Remarks

Reference
range

pH

7,32

pCO2

68,00

mmHg

35,00
45,00

pO2

60,00

mmHg

80,00
100,00

HCO3-

35,00

mmol/L

22,00
26,00

TCO2

29,60

mmol/L

24,00
30,00

SO2c

88,00

--

BEecf

8,90

mmol/L

-2,00-2,00

Natrium

131,00

mmol/L

136,00145,00

Kalium

4,20

mmol/L

7,35 7,45

3,5-5,1

32

Pemeriksaan rontgent thorax PA


Ro Thorax PA:

Cor: Membesar dengan CTR


60%, tampak kalsifikasi aortic
knob

Pulmo:

Tampak

honey

comb

appearance dengan infiltrate di


sekitarnya di paracardial kanan
kiri, tampak hiperaerated di kedua
paru

Sinus pleura kanan tajam, kiri


tumpul

Diafragma kanan kiri normal

Tulang-tulang: Tak tampak kelainan

Kesan : Cardiomegali dengan atherosclerosis di aorta


Suspek bronchiectasis dengan infeksi sekunder
Hiperaerated lung
Efusi pleura kiri
Pemeriksaan ECG
Irama : sinus
HR

: 117x/mnt

Axis

: Right axis

deviation
Gel P : P pulmonal
di II, III, aVF
Complex QRS : V1>1
Kesan

Sinus

takikardi

33

dengan

pembesaran

ventrikel dan atrium


kanan

VI

DIAGNOSIS KERJA

PPOK exacerbasi akut


-

CPCD

Asidosis respiratorik

Bronkiektasis

Hipovolemi hiponatremia hipoosmolar asimtomatik


Suspek Pneumonia (HCAP)
HHD
VII TERAPI
-IVFD NaCl 0.9% 20 tpm
-Oksigen 2L/mm (MR bag 8lmp)
-Nebulizer salbutamol tiap 8 jam
-Methylprednisolon 2x62.5 mg IV
-Valsartan 1x 60mg
-Ceftazidine 3x2g IV
-Ciprofloxacin 2x400 mg IV
-Bromhexyn syr 3x C
-Furosemide 2x 20mg IV
VIII. PLANNING DIAGNOSIS
-

Sputum gram/ kultur/ ST

Spirometri bila keadaan stabil

Konsul ke divisi cardiologi

AGD setiap 12 jam


IX

MONITORING
34

Keluhan

vital sign

35

BAB IV
DISKUSI HASIL KUNJUNGAN RUMAH
4.1. Daftar Permasalahan
Adapun sejumlah permasalahan yang masih menjadi kendala penderita dalam hal
menghadapi penyakitnya antara lain:
1. Pasien masih kurang paham dengan penyakitnya, gejala-gejala eksaserbasi
akut, dan penanganannya.
2. Pasien tinggal di rumah dengan ventilasi rumah yang kurang baik dan kurang
mendapat pencahayaan dari sinar matahari.
3. Pasien saat ini tidak bekerja, dan biasanya pasien sering duduk-duduk di
warung pinggir jalan dekat rumah pasien, dimana paparan terhadap debu
cukup tinggi.
4. Cucu pasien memiliki kebiasaan merokok, dimana setiap hari mereka sering
duduk-duduk bersama pasien di teras depan kamar pasien, dengan demikian
dapat meningkatkan paparan terhadap asap rokok.
5. Pasien sehari-hari kurang mendapat perhatian dan perawatan dari keluarga
oleh karena cucu pasien sibuk berkerja.
4.2.

Analisis Kebutuhan Penderita


Kebutuhan Fisik-Biomedis
a. Kecukupan Gizi
Nutrisi Harian Pasien
Jenis
Karbohidrat
Nasi
Roti
Mie
Lainnya
Protein
Hewani
Nabati
Sayur
Buah
Susu

Jumlah

Jadwal/hari

Jadwal/minggu

5 sendok
-

3 kali
-

21 kali
-

1 potong
2 potong
gelas
1 buah
-

2 kali
1 kali
3 kali
1 kali
-

14 kali
7 kali
21 kali
3 kali
-

36

Menurut pengakuan pasien, dalam sehari pasien makan tiga kali. Lauk yang
disiapkan oleh cucunya dikatakan tidak selalu sama, namun dapat dibuat
gambaran umum menu untuk masing-masing jadwal makan sebagai berikut:
-

Sarapan

: nasi, tempe/tahu, sayur

Makan siang

: nasi, daging ayam, sayur

Makan malam

: nasi, tempe/tahu atau ikan laut, sayur

Pasien sesekali makan buah diantara waktu makan besar, tergantung dari
ketersediaan buah tersebut. Buah-buahan yang sering dikonsumsi pasien
antara lain jeruk, pisang, dan mangga.
Kebutuhan kalori pasien dapat dihitung dengan menggunakan rumus Brocca
dengan pertama-tama menentukan berat badan ideal (BBI).
BBI
= (TB 100) 10% x 1kg
= (162 100) 10% x 1kg
= 55.8 kg.
Berdasarkan hasil pemeriksaan fisik yang dilakukan, berat badan pasien saat
ini adalah 49 kg, atau dengan kata lain 87,8% dari BBI, pasien termasuk
kategori berat badan normal. Selanjutnya dilakukan penghitungan kebutuhan
kalori basal dan penyesuaian terhadap kebutuhan kalori pasien sesuai kondisi
pasien.

1. Kebutuhan kalori basal (jenis kelamin Laki-laki)


=
BBI x 30 kalori
= 54 x 30 kalori
= 1620 kalori
2. Penyesuaian
a. Usia 64 tahun, maka dikurangi 5% dari kebutuhan kalori
basal
5% x 1620 kalori = 81 kalori
b. Tingkat aktivitas berat, maka ditambah 30% dari
kebutuhan kalori basal
10% x 1620 kalori = 162 kalori

Total kebutuhan kalori pasien dalam satu hari adalah 1620 kalori 81 kalori +
162 kalori, yaitu 1701 kalori/hari.
Untuk memudahkan perhitungan maka dipakai kebutuhan kalori penderita
adalah 1700 kalori/hari.
Distribusi Makanan
37

Jumlah kalori per hari pasien ini dibagi dalam 3 porsi makan utama dan 2
porsi makanan selingan, yaitu:
a. Makan pagi
: 20% x 1700 kalori = 340 kalori
b. Makan siang
: 30% x 1700 kalori = 510 kalori
c. Makan malam : 25% x 1700 kalori = 425 kalori
d. Asupan di sela makan pagi dan siang : 15% x 1700 = 255 kalori
e. Asupan di sela makan siang dan malam : 10% x 1700 = 170 kalori
Distribusi makanan berdasarkan komponen makanan adalah:
Waktu

Total

makan

Lemak

Karbohidrat

Protein

(50% x kalori)

(20% x kalori)

(30%

Makan Pagi
Makan

340 kalori
510 kalori

170 kalori
255 kalori

68 kalori
102 kalori

kalori)
102 kalori
153 kalori

Siang
Makan

425 kalori

212,5 kalori

85 kalori

127,5

Malam
Selingan 1
Selingan 2

kalori
255 kalori
170 kalori

Pemilihan Jenis Makanan


Dengan penghitungan tersebut maka dicoba untuk memberikan suatu
pola jadwal yang mencakup pilihan jenis makanan dan jumlah makanan.
Perhitungan di atas sudah disesuaikan dengan kondisi penyakit pasien,
dimana pasien membutuhkan diet rendah karbohidrat untuk mencegah
timbulnya gejala eksaserbasi akut.
Berdasarkan data dari poliklinik gizi RSUP Sanglah maka penulis
mencoba menyusun pola makanan yang sudah diubah ke dalam bentuk
ukuran yang dapat dimengerti oleh pasien. Pemilihan jenis makanan pun
disesuaikan dengan makanan yang tersedia dan terjangkau bagi pasien.
Waktu
Makan
Makan Pagi

Karbohidrat

Protein

Lemak

Roti putih tawar: 3 Protein hewani


iris

Ayam

tanpa

Telur ayam 1 butir


kulit Telur bebek asin 1

38

Nasi

putih:

3/4 1,25 potong sedang

butir

Teri kering 1,25 sdm

Hati

gelas
Singkong:

ayam

1,25

1,5 Putih telur ayam 3 buah sedang

potong

btr

Bebek potong

Mi basah : 2 gelas

sedang

Biskuit:

Daging

buah Protein Nabati

besar

Kacang

sdm

Jeruk manis 1 buah

Kacang

hijau

ayam

1,5 dengan kulit ptng


sedang

tanah

1,5

sdm
Tahu

0,5

potong

besar
Tempe 1,5 potong
sedang
Selingan 1

Biskuit 5 buah besar


Kentang 2,5 buah sedang
Roti putih 3 iris

Makan siang

Susu sapi 1 gelas + biskuit 1 buah besar


Nasi putih 2 gelas
Protein hewani

Telur ayam 2 butir

Roti tawar 5 iris

Ayam tanpa kulit 2 Telur bebek asin 2

Mi basah 3 gelas

potong sedang

butir

Teri kering 2 sdm

Hati ayam 2 buah

Putih telur ayam 5 sedang


btr

Bebek 1

potong

sedang
Protein Nabati
Kacang

Daging

hijau

2,5 dengan kulit 1 ptng

sdm
Kacang

ayam

sedang
tanah

2,5

sdm
Tahu

1,5

potong

potong

besar
Tempe

39

sedang
Selingan 2

Biskuit 4 buah besar

1 potong besar pepaya

Roti putih 3 sisir

+ 2 buah jeruk

Makan

Singkong 1,5 potong


buah mangga besar
Nasi putih 1 gelas
Protein hewani
Telur ayam

Malam

Roti tawar 4 iris

Ayam tanpa kulit 1,5 butir

Mi basah 2,5 gelas

potong sedang

Telur bebek asin

Teri kering 1,5 sdm

1,5 butir

1,5

Pepaya potong Putih telur ayam 3 Hati ayam 1,5 buah


besar

btr

sedang

Jeruk manis 1 buah

Bebek 3/4 potong


Protein Nabati

sedang

Kacang hijau 2sdm

Daging

Kacang tanah 2 sdm

dengan

Tahu 1 potong besar

ptng sedang

Tempe

ayam
kulit

3/4

potong

sedang
b. Akses Pelayanan Kesehatan
PPOK merupakan penyakit kronis yang dapat kambuh bila ada faktor
pencetus bahkan dapat menyebabkan kematian. Pasien tinggal di seputaran
Sidakarya, Denpasar, dimana akses pelayanan kesehatan cukup mudah
dijangkau. Adepun pusat layanan kesehatan yang terdekat dari rumah pasien
adalah PUSKESMAS Pembantu Renon dan RSUP Sanglah yang dapat
dicapai dalam 15 menit. Sebelum sakit pasien biasa mengontrol kondisi
kesehatannya ke praktek dokter umum yang tidak jauh dari rumah pasien.
Akses pelayanan yang dekat memberikan kemudahan bagi pasien terutama
saat sesaknya kambuh. Sampai saat ini pasien hanya 2 kali saja mengalami
sesak yang sampai harus dibawa ke rumah sakit untuk rawat inap.
c. Lingkungan
Saat ini pasien tinggal bersama 2 orang cucu bersama 2 orang keluarga lain
yang kos di rumah pasien. Pasien tinggal di rumah dengan luas bangunan dan
40

pekarangan sekitar 3 are. Rumah pasien cukup rapat dengan rumah-rumah di


sekitarnya. Keadaan rumah pasien tergolong cukup layak untuk dihuni.
Hanya saja kamar pasien tampak agak kotor dan berantakan.Tempat tinggal
pasien terdiri dari 8 kamar yang terpisah. Kamar tidur pasien berukuran 5 x
3 m2. Kamar tidur pasien hanya memiliki 1 buah jendela berukuran 1,25 x
0,5 m2 dan 3 lubang ventilasi berukuran 25 x 25 cm. Sirkulasi udara hanya
melalui 1 buah jendela dan lubang sirkulasi tersebut, terkadang jendela tidak
dibuka oleh pasien. Cahaya matahari yang masuk ke kamar pasien hanya
sedikit. Sumber air minum dan air MCK untuk keluarga pasien adalah dari
air PDAM. Di rumah tersebut, terdapat 1 dapur dengan 1 kompor.

Kebutuhan Bio-psikososial
a. Lingkungan Biologis
Dalam lingkungan biologis/keluarga pasien tidak ada yang mengeluhkan hal
serupa seperti dialami pasien. Kondisi imun pasien sangat penting dalam
timbulnya kekambuhan pada penyakit pasien. Lingkungan yang kurang
mendukung serta kecukupan gizi yang tidak sesuai diduga menjadi faktor
penting kambuhnya penyakit pasien.
Kondisi rumah pasien dimana ventilasinya kurang memadai tidak mendukung
untuk perbaikan kondisi kesehatan pasien. Selain itu, rendahnya aliran udara
di dalam rumah pasien akibat minimnya ventilasi meningkatkan risiko
penyebaran penyakit menular yang bersifat airborne di kalangan anggota
keluarga menjadi lebih mudah.
Kecukupan gizi pasien masih tergolong dalam kondisi gizi kurang. Namun
demikian pola makan pasien tetap perlu diperhatikan sesuai dengan ketentuan
diet yang tepat bagi penderita PPOK, yaitu diet dengan rendah karbohidrat.
b. Faktor Psikososial dan Kultural
Pasien tidak lagi memiliki tanggung jawab untuk menghidupi keluarganya
dengan mencari nafkah. Biaya untuk kebutuhan sehari-hari pasien dan
keluarga ditopang oleh putranya. Pasien merasa sudah sangat tua untuk
bekerja dan membantu untuk memenuhi biaya di keluarganya, sehingga
41

masalah apapun yang mengenai biaya di luar kebutuhan sehari-hari, pasien


menyerahkan semuaya kepada putranya dan cucunya.
Anggota keluarga pasien, terutama yang ikut tinggal serumah dengan
pasien, cukup memahami kondisi pasien saat ini, serta cukup mendukung
kesembuhan pasien. Secara umum putra pasien dan keluarganya memahami
gambaran besar mengenai penyakit pasien serta ikut menjaga supaya penyakit
pasien tidak kambuh. Sebagai contoh, putra dan cucu pasien memilih untuk
tidak merokok di dalam rumah atau dimanapun dekat pasien berada untuk
menghindari kambuhnya penyakit pasien akibat asap rokok.
Selain itu karena kesibukan cucu pasien dalam berkerja, mereka tidak
sanggup untuk mengurus kebutuhan pasien sehari-hari dan pasien juga tidak
ada keluarga yang diajak untuk berbagi cerita tentang masalah pasien.

4.3.

Saran dan KIE

a. Pasien lebih mengetahui tentang penyakitnya, faktor-faktor risiko yang harus


dihindari untuk mencegah eksaserbasi penyakitnya, serta mengenali gejala
eksaserbasi akut dan cara menanganinya.
KIE yang diberikan:
- PPOK merupakan penyakit yang bersifat kronis dan dapat kambuh
-

(mengalami eksaserbasi) apabila ada pencetus.


Faktor-faktor risiko pemicu eksaserbasi akut PPOK pada pasien ini: asap
rokok, paparan terhadap debu dan insektisida, sirkulasi udara dalam
rumah yang kurang baik. Maka dari itu diperlukan juga peranan keluarga

untuk menjaga kesehatan pasien.


Pasien mengenakan masker atau kain penutup hidung dan mulut saat
bepergian keluar rumah, serta dalam setiap kondisi menghindari terpapar

dari asap (saat duduk bersebelahan dengan orang yang merokok)


Pasien selain didiagnosis dengan PPOK juga didiagnosis dengan diabetes
mellitus. Maka penting pula untuk mengedukasi pasien tentang penyakit
ini, dimana penyakit diabetes mellitus dapat meningkatkan resiko
terjadinya suatu infeksi. Diperlukan suatu ketaatan untuk menjaga agar
42

gula darah pasien tetap terkontrol dan perlu memperhatikan tanda-tanda


bahaya hiperglikemi maupun hipoglikemi yang mungkin terjadi pada
pasien.
b. Ventilasi udara di rumah pasien perlu dimaksimalkan penggunaannya, agar
udara bersih dapat masuk dengan lebih efektif.
KIE yang diberikan:
- ventilasi yang tidak efektif tidak hanya menimbulkan rasa tidak nyaman
bagi anggota keluarga namun juga meningkatkan risiko kambuhnya
-

penyakit pada pasien


jendela-jendela kamar perlu lebih sering dibuka terutama pada pagi hari

agar sirkulasi udara berjalan dengan baik.


Bersamaan dengan itu perlu diperhatikan pula kebersihan ventilasi udara

(bebas dari kotoran pada kain kasa, sarang laba-laba, dll).


c. Pasien sebaiknya menjaga kondisi tubuh agar tetap bugar dan jangan
membiarkan diri begadang sampai dini hari.
KIE yang diberikan:
- Pasien harus selalu memperhatikan waktu untuk istirahat pada malam
-

harinya
Tidak memaksakan diri untuk begadang apabila merasa kondisi tubuhnya

menurun
d. Mengikuti pola makan yang baik dengan gizi seimbang sesuai dengan pola
yang telah dianjurkan.
KIE yang diberikan:
- Karbohidrat merupakan sumber tenaga yang baik dan utama bagi tubuh,
namun pasien dengan PPOK perlu membatasi asupan karbohidrat karena
-

konsumsi karbohidrat yang berlebihan dapat memicu eksaserbasi akut.


Makanan sumber karbohidrat yang baik dan sekaligus perlu diperhatikan

porsinya antara lain: nasi, mie, roti, kentang, singkong.


Jenis lauk dan sayuran dapat bervariasi agar pasien tidak merasa bosan,
namun dengan tetap memperhatikan proporsinya sesuai dengan pola
yang dianjurkan.

e. Pasien sebaiknya mendapat perhatian secara khusus oleh keluarganya


khususnya oleh anak pasien dimana cucu pasien itu sendiri sudah disibukan
oleh pekerjaan masing-masing atau alternatif lain pasien dapat tinggal di
rumah anaknya

43

f. Melakukan kontrol ke poli interna RSUP Sanglah secara teratur serta rajin
dan terbuka dalam melaporkan perkembangan kondisi tubuhnya serta
penyakitnya kepada dokter.
KIE yang diberikan:
- Datang ke poliklinik RSUP Sanglah untuk kontrol obat secara teratur dan
-

sesuai jadwal poli divisi Pulmonologi, yaitu pada hari Senin Jumat.
Menyampaikan dengan sebenar-benarnya perkembangan kondisi dirinya
kepada dokter poliklinik, termasuk keluhan yang sudah membaik,

keluhan yang belum membaik, serta apabila ada keluhan baru.


Memanfaatkan waktu kontrol di poliklinik untuk berdiskusi dengan
dokter mengenai penyakitnya ataupun hal-hal yang masih belum

dimengerti oleh pasien.


g. Tetap optimis menjalani hidup dan jangan merasa terbebani oleh penyakit
yang dideritanya saat ini.
KIE yang diberikan:
- Senantiasa mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Maha Esa dengan
-

menjalani peribadatan sesuai keyakinan yang dianut pasien.


Penyakit yang diderita pasien bukanlah alasan untuk menghentikan
aktivitas pasien ataupun alasan bagi pasien untuk menarik diri dari

kehidupan sosialnya.
Kepada anggota keluarga yang lain supaya senantiasa mendukung pasien
dalam mencapai kesembuhan dan mencegah kekambuhan penyakitnya,
serta melakukan tindakan nyata yang dapat mencegah kekambuhan
tersebut (seperti menjaga kebersihan rumah, tidak merokok di dalam
rumah dan sekitar pasien)

44

DAFTAR PUSTAKA
1. Reilly JJ, Silverman EK, Shapiro SD. Chronic obstructive pulmonary
disease.In: Kasper DL, Fauci AS, Longo DL, Braunwald E, Hauser SL,
Jameson JL, editors. Harrisons principles of internal medicine. 16th ed.
New York: McGraw-Hill; 2004. p. 1547-54.
2. Riyanto BS, Hisyam B. Obstruksi Saluran Pernapasan Akut. Dalam: Buku
Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi ke-4. Jilid II. 2006. Hal: 984-5
3. Kanervisto M, dkk. COPD, Chronic Bronchitis, and Capacity for Day-today Activities: Negative Impact of Illness on the Health-related Quality of
Life. Chronic Respiratory Disease. 2010. 7(4): 207-215.
4. Tan WC, Ng TP. COPD in Asie: Where East Meets West. CHEST. 2008;
133: 517-527
5. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Penyakit Paru Obstruktif Kronis
(PPOK): Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia. 2011.
6. Roche N, dkk. Beyond Corticosteroids: Future Prospects in the
Management of Inflammation in COPD. Eur Respir Rev 2011; 20: 121,
175-182
7. GOLD Report. 2011. Management Reference for Chronic Obstructive
Pulmonary disease (COPD). www.goldcopd.org.

45

Anda mungkin juga menyukai