Anda di halaman 1dari 34

Case Report Session

PPOK EKSASERBASI

Oleh :

Charyadita Perwita P 1840312631

Mutia Oktaviani D 1840312634

Preseptor:
dr. Sabrina Ermayanti, Sp.P(K), FISR
dr. Dessy Mizarti, Sp.P

BAGIAN PULMONOLOGI DAN KEDOKTERAN RESPIRASI


RSUP DR. M. DJAMIL PADANG
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS
2019
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) adalah penyakit yang dapat dicegah
dan diobati, ditandai dengan keterbatasan aliran udara yang terus-menerus yang
biasanya progresif dan berhubungan dengan respons inflamasi kronis pada saluran
napas dan paru-paru terhadap partikel atau gas yang beracun.1 Menurut World
Health Organization (WHO) terdapat 600 juta orang menderita PPOK di dunia
dengan 65 juta orang mengalami PPOK derajat sedang hingga berat. Pada tahun
2002 PPOK menjadi penyebab kematian kelima dan lebih dari 3 juta orang
meninggal karena PPOK pada tahun 2005. Jumlah kematian akibat PPOK
meningkat 30% dalam waktu 10 tahun ke depan, dan diperkirakan PPOK akan
menjadi penyebab utama ketiga kematian di seluruh dunia pada tahun 2030.2
PPOK merupakan salah satu dari kelompok penyakit tidak menular yang
menjadi masalah kesehatan masyarakat Indonesia. Hal ini disebabkan oleh
meningkatnya usia harapan hidup dan semakin tingginya pajanan faktor resiko,
seperti banyaknya jumlah perokok, serta pencemaran udara didalam ruangan
maupun diluar ruangan. Berdasarkan sudut pandang epidemiologi, laki-laki lebih
berisiko terkena PPOK dibandingkan dengan wanita karena kebiasaan merokok.3
Morbiditas dan mortalitas penderita PPOK berhubungan dengan eksaserbasi
periodik atau terjadinya perburukan gejala. Eksaserbasi PPOK adalah kondisi
perburukan yang bersifat akut dari kondisi yang sebelumnya stabil dengan variasi
harian normal dan mengharuskan perubahan pada pengobatan yang biasa
diberikan. Semakin sering terjadinya eksaserbasi, semakin berat pula kerusakan
paru yang terjadi diikuti dengan memburuknya fungsi paru.4
Berdasarkan hal yang diuraikan diatas, penulis tertarik untuk membahas lebih
lanjut mengenai kasus PPOK eksaserbasi akut.

1.2 Tujuan Penulisan


Penulisan case report ini bertujuan untuk memahami dan menambah
pengetahuan tentang Peyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK).
1.3 Batasan Masalah
Case report ini akan membahas mengenai kasus Penyakit Paru Obstruktif
Kronik (PPOK).

1.4 Metode Penulisan


Metode yang dipakai dalam penulisan studi kasus ini berupa hasil
pemeriksaan pasien, rekam medis pasien, tinjauan kepustakaan yang mengacu
pada berbagai literature, termasuk buku teks dan artikel ilmiah.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
PPOK adalah suatu penyakit dapat dicegah dan diobati, ditandai dengan
keterbatasan aliran udara yang irreversibel, biasanya progresif dan berhubungan
dengan respons inflamasi kronis pada saluran napas dan paruparu terhadap
partikel atau gas yang beracun, disertai efek ekstra paru yang berkontribusi
terhadap derajat sesak.1 Keterbatasan aliran udara kronis yang khas dari PPOK
disebabkan oleh campuran dari penyakit bronkitis kronik dan emfisema.
Bronkitis kronik merupakan suatu gangguan klinis yang ditandai oleh
pembentukan mukus yang meningkat dan bermanifestasi sebagai batuk kronik
dalam jangka waktu 3 bulan. Emfisema merupakan suatu perubahan anatomis
parenkim paru yang ditandai oleh pembesaran alveolus dan duktus alveolaris serta
destruksi dinding alveolar.3

2.2 Epidemiologi
Data World Health Organization (WHO) dari seluruh perokok di dunia, 84%
(1,09 milyar orang) berada di negara berkembang. Depkes RI (2004) melaporkan
bahwa penduduk Indonesia hampir 70% telah mulai merokok di usia anak-anak
dan remaja. Kondisi ini menyebabkan mereka akan sulit berhenti merokok dan
membuat mereka mempunyai risiko yang tinggi mendapatkan penyakit yang
berhubungan dengan rokok pada usia pertengahan. Di Amerika Serikat, PPOK
mengenai lebih dari 16 juta orang, lebih dari 2,5 juta orang Italia, lebih dari 30
juta di seluruh dunia dan menyebabkan 2,74 juta kematian pada tahun 2000. Di
Indonesia, PPOK menempati urutan kelima sebagai penyakit penyebab kematian
dan diperkirakan akan menduduki peringkat ke-3 pada tahun 2020 mendatang.3

2.3 Faktor Risiko

Faktor risiko PPOK adalah hal-hal yang berhubungan dan atau yang
menyebabkan terjadinya PPOK pada seseorang atau kelompok tertentu. Faktor
risiko tersebut meliputi faktor pejamu, faktor perilaku merokok, dan faktor
lingkungan. Faktor pejamu meliputi genetik, hiperesponsif jalan napas dan
pertumbuhan paru. Faktor genetik yang utama adalah kurangnya alfa 1
antitripsin, yaitu suatu serin protease inhibitor. Hiperesponsif jalan napas juga
dapat terjadi akibat pajanan asap rokok atau polusi. Pertumbuhan paru dikaitan
dengan masa kehamilan, berat lahir dan pajanan semasa anak-anak. Penurunan
fungsi paru akibat gangguan pertumbuhan paru diduga berkaitan dengan risiko
mendapatkan PPOK.
Merokok merupakan faktor risiko terpenting terjadinya PPOK. Prevalensi
tertinggi terjadinya gangguan respirasi dan penurunan faal paru adalah pada
perokok. Usia mulai merokok, jumlah bungkus per tahun dan perokok aktif
berhubungan dengan angka kematian. Tidak semua perokok akan menderita
PPOK, hal ini mungkin berhubungan juga dengan faktor genetik. Perokok pasif
dan merokok selama hamil juga merupakan faktor risiko PPOK. Pada perokok
pasif didapati penurunan FEV1 tahunan yang cukup bermakna pada orang muda
yang bukan perokok. Hubungan antara rokok dengan PPOK menunjukkan
hubungan dose response, artinya lebih banyak batang rokok yang dihisap setiap
hari dan lebih lama kebiasaan merokok tersebut maka risiko penyakit yang
ditimbulkan akan lebih besar.

Polusi udara terdiri dari polusi di dalam ruangan (indoor) seperti asap rokok,
asap kompor, asap kayu bakar, dan lain-lain, polusi di luar ruangan (outdoor),
seperti gas buang industri, gas buang kendaraan bermotor, debu jalanan, dan
lain-lain, serta polusi di tempat kerja, seperti bahan kimia, debu/zat iritasi, gas
beracun, dan lain-lain. Pajanan yang terus menerus oleh polusi udara merupakan
faktor risiko lain PPOK. Peran polusi luar ruangan (outdoor polution) masih
belum jelas tapi lebih kecil dibandingkan asap rokok. Polusi dalam ruangan
(indoor polution) yang disebabkan oleh bahan bakar biomassa yang digunakan
untuk keperluan rumah tangga merupakan faktor risiko lainnya. Status
sosioekonomi merupakan faktor risiko untuk terjadinya PPOK, kemungkinan
berkaitan dengan polusi, ventilasi yang tidak adekuat pada tempat tinggal, gizi
buruk atau faktor lain yang berkaitan dengan sosioekonomi1.
2.4 Patogenesis dan Patofisiologi PPOK
Patogenesis
Inflamasi dari saluran napas pasien PPOK merupakan interaksi dari faktor
resiko yang telah dibahas sebelumnya. Inflamasi tersebut melibatkan sel-sel
seperti neutrofil, makrofag, dan limfosit yang akan melepaskan mediator
inflamasi dan berinteraksi dengan sel-sel struktural dalam saluran napas dan
parenkim paru. Mediator inflamasi dapat menarik sel-sel inflamasi lain dari
sirkulasi ke jaringan (faktor kemotaktik), menguatkan proses inflamasi (sitokin
pro inflamasi) dan mendorong perubahan struktural (faktor pertumbuhan).1,3
Stress oksidatif yang dihasilkan asap rokok, polusi udara dan yang dilepaskan
sel inflamasi memiliki akibat yang merugikan di paru, diantaranya yaitu aktivasi
proses inflamasi, stimulasi ekskresi mukus, stimulasi eksudasi plasma dan
inaktivasi antiprotease. Protease pada paru berfungsi memecah komponen
jaringan ikat dan antiprotease melindunginya. Peningkatan protease tanpa diikuti
dengan perlindungan oleh antiprotease akan menyebabkan inflamasi pada paru.
Perubahan patologik pada PPOK ditemukan di saluran napas perifer, parenkim
dan vaskuler.1,3
Tingkat peradangan, fibrosis dan cairan eksudat di lumen saluran napas kecil
berkolerasi dengan penuruna VEP1 dan rasio VEP1/KVP. Adanya obstruksi pada
saluran napas perifer akan menyebabkan udara terperangkap dan mengakibatkan
inflasi timbulnya sesak napas pada aktivitas.1,3

Gambar 2.1 Patogenesis PPOK1


Patofisiologi
Faktor risiko utama dari PPOK adalah merokok. Komponen-komponen asap
rokok merangsang perubahan pada sel-sel penghasil mukus bronkus. Selain itu,
silia yang melapisi bronkus mengalami kelumpuhan atau disfungsional serta
metaplasia. Perubahan-perubahan pada sel-sel penghasil mukus dan silia ini
mengganggu sistem eskalator mukosiliaris dan menyebabkan penumpukan
mukus kental dalam jumlah besar dan sulit dikeluarkan dari saluran napas.
Mukus berfungsi sebagai tempat persemaian mikroorganisme penyebab infeksi
dan menjadi sangat purulen. Timbul peradangan yang menyebabkan edema
jaringan. Proses ventilasi terutama ekspirasi terhambat. Timbul hiperkapnia
akibat dari ekspirasi yang memanjang dan sulit dilakukan akibat mukus yang
kental dan adanya peradangan.
Komponen-komponen asap rokok juga merangsang terjadinya peradangan
kronik pada paru. Mediator-mediator peradangan secara progresif merusak
struktur-struktur penunjang di paru. Akibat hilangnya elastisitas saluran udara
dan kolapsnya alveolus, maka ventilasi berkurang. Parenkim paru kolaps
terutama pada ekspirasi karena ekspirasi normal terjadi akibat pengempisan
(recoil) paru secara pasif setelah inspirasi. Dengan demikian, apabila tidak
terjadi recoil pasif, maka udara akan terperangkap di dalam paru dan saluran
udara kolaps, sehingga dapat terjadi sesak nafas.
Berbeda dengan asma yang memiliki sel inflamasi predominan berupa
eosinofil, komposisi seluler pada inflamasi saluran napas pada PPOK
predominan dimediasi oleh neutrofil. Asap rokok menginduksi makrofag untuk
melepaskan Neutrophil Chemotactic Factors dan elastase, yang tidak diimbangi
dengan antiprotease, sehingga terjadi kerusakan jaringan. Selama eksaserbasi
akut, terjadi perburukan pertukaran gas dengan adanya ketidakseimbangan
ventilasi perfusi. Kelainan ventilasi berhubungan dengan adanya inflamasi jalan
napas, edema, bronkokonstriksi, dan hipersekresi mukus. Kelainan perfusi
berhubungan dengan konstriksi hipoksik pad arteriol.2
2.5 Klasifikasi PPOK

1. PPOK Stabil

Kriteria3 :

- Tidak dalam kondisi gagal napas akut pada gagal napas kronik

- AGD PCO2 <45 mmHg dan PO2 > 60 mmHg

- Dahak jernih tidak berwarna

- Aktifitas terbatas tidak disertai sesak sesuai derajat PPOK

- Penggunaan bronkodilator sesuai rencana pengobatan

- Tidak ada penggunaan bronkodilator tambahan.

2. PPOK eksaserbasi

PPOK eksaserbasi merupakan suatu keadaan akut yang ditandai dengan


perburukan gejala respirasi pada pasien dibawah variasi harian dan
membutuhkan perubahan pada penatalaksanaan. Penyebab terbanyak eksaserbasi
adalah infeksi virus pada saluran nafas atas dan infeksi bakteri pada percabangan
trakeobronkial.3

Diagnosis eksaserbasi dapat ditegakkan berdasarkan peningkatan :

- Sesak nafas

- Produksi sputum

- Perubahan warna sputum

Klasifikasi :

- Tipe I (eksaserbasi berat) : 3 gejala diatas

- Tipe II (eksaserbasi sedang) : 2 positif dari 3 gejala

- Tipe III ( eksaserbasi ringan) :1 positif dari 3 gejala + infeksi saluran


nafas atas lebih dari 5 hari, demam tanpa sebab lain, peningkatan batuk,
peningkatan mengi, atau peningkatan frekuensi nafas >20% baseline atau
frekuensi nadi >20% baseline.

Risiko eksaserbasi dapat ditentukan melalui 3 metode :

1. Menggunakan spirometri untuk menentukan derajat GOLD (GOLD 1 dan


2 indikasi risiko rendah, GOLD 3 dan 4 indikasi risiko tinggi).
2. Penilaian riwayat serangan dalam 12 bulan terakhir

Keterbatasan aliran udara, durasi perburukan atau adanya gejala baru,


komorbid, riwayat penggunaan ventilasi, dan regimen pengobatan saat
ini. Gejala klinis : penggunaan otot-otot pernafasan, perburukan atau
sentral sianosis, edem perifer, ketidakstabilan hemodinamik, perubahan
status mental.

3. Menentukan satu atau lebih rawatan pada serangan sebelumnya

Untuk menentukan gejala pada PPOK dapat menggunakan CAT atau mMRC
breathlessness scale.1

CAT (COPD assesment test)


Penilaian CAT :

<10 : ringan

10-20 : sedang

20-30 : berat

>30 : parah/sangat berat

Modified British Medical Research Council (mMRC) questionnare

Menentukan derajat PPOK dapat menggunakan airflow limitation/ derajat


hambatan aliran udara
Karakteristik1 :
 Grup A : risiko rendah, gejala sedikit
Tipe GOLD 1 dan GOLD 2 ( Keterbatas aliran udara ringan – sedang);
dan/atau 0-1 eksaserbasi per tahun dan tidak ada riwayat rawatan karena
serangan, dan skor CAT <10 atau mMRC grade 0-1.
 Grup B : Risiko rendah, gejala lebih banyak
Tipe GOLD 1 dan GOLD 2 ( Keterbatas aliran udara ringan – sedang);
dan/atau 0-1 eksaserbasi per tahun dan tidak ada riwayat rawatan karena
serangan, dan skor CAT ≥10 atau mMRC grade ≥ 2.
 Grup C : risiko tinggi, gejala sedikit
Tipe GOLD 3 dan 4 (keterbatasan airan udara berat – sangat berat);
dan/atau ≥2 serangan per tahun atau > 1 riwayat rawatan akibat serangan,
dan skor CAT < 10 atau mMRC derajat 0-1.
 Grup D : risiko tinggi, gejala lebih banyak
Tipe GOLD 3 dan 4 (Keterbatasan aliran udara berat - sangat berat);
dan/atau ≥2 eksaserbasi per tahun atau atau ≥1 riwayat rawatan akibat
eksaserbasi,CAT skor ≥10, atau skor mMRC ≥2.

2.6 Diagnosis
Diagnosis PPOK dapat dipertimbangkan pada setiap pasien yang
memiliki sesak, batuk kronik, produksi sputum dan riwayat terpapar faktro
risiko dari PPOK.
A. Gambaran Klinis
a. Anamnesis2,3
 Riwayat merokok atau bekas perokok dengan atau tanpa gejala
pernapasan
 Riwayat terpajan zat iritan yang bermakna di tempat kerja
 Batuk berulang dengan atau tanpa dahak
 Sesak dengan dengan atau tanpa bunyi mengi
 Riwayat penyakit emfisema pada keluarga.
b. Pemeriksaan fisik2,3
Inspeksi
 Pursed - lips breathing (mulut setengah terkatup mencucu)
Sikap ini terjadi sebagai mekanisme tubuh untuk mengeluarkan retensi
CO2 yang terjadi pada gagal nafas kronik.
 Barrel chest (diameter antero - posterior dan transversal sebanding)
 Penggunaan otot bantu napas
 Hipertropi otot bantu napas
 Pelebaran sela iga
 Bila telah terjadi gagal jantung kanan terlihat denyut vena jugularis di
leher dan edema tungkai.
 Penampilan pink puffer (gambaran khas emfisema, penderita kurus, kulit
kemerahan, dan pernafaran pursed-lips breathing) atau blue bloater
(gambaran khas pada bronkitis kronik, penderita gemuk sianosis, terdapat
edema tungkai dan ronki di basal paru, sianosis sentral dan perifer).1
Palpasi
 Fremitus melemah
 Sela iga melebar
Perkusi
Pada emfisema hipersonor dan batas jantung mengecil, letak diafragma
rendah, hepar terdorong kebawah.
Auskultasi
 Suara napas vesikuler normal, atau melemah
 Terdapat ronki dan atau mengi pada waktu bernapas biasa atau pada
ekspirasi paksa
 Ekspirasi memanjang
 Bunyi jantung terdengar jauh

B. Pemeriksaan Penunjang2,3

a. Pemeriksaan rutin

1. Faal paru

• Spirometri
Spirometri merupakan suatu pemeriksaan yang menilai fungsi terintegrasi
mekanik paru, dinding dada dan otot-otot pernapasan dengan mengukur
jumlah volume udara yang dihembuskan dari kapasitas paru total (TLC) ke
volume residu.
Gangguan obstruktif pada paru, dimana terjadi penyempitan saluran napas
dan gangguan aliran udara di dalamnya, akan mempengaruhi kerja
pernapasan dalam mengatasi resistensi nonelastik dan akan bermanifestasi
pada penurunan volume dinamik.
Kelainan ini berupa penurunan rasio FEV1:FVC <70%. FEV1akan selalu
berkurang pada PPOK dan dapat dalam jumlah yang besar, sedangkan FVC
dapat tidak berkurang. Pada orang sehat dapat ditemukan penurunan rasio
FEV1:FVC, namun nilai FEV1 dan FVC tetap normal. Ketika sudah
ditetapkan diagnosis PPOK, maka selanjutnya menilai: beratnya obstruksi,
kemungkinan reversibelitas dari obstruksi, menentukan adanya hiperinflasi,
dan air trapping.

• Uji bronkodilator

- Dilakukan dengan menggunakan spirometri, bila tidak ada gunakan APE


meter.

- Setelah pemberian bronkodilator inhalasi sebanyak 8 hisapan, 15 - 20


menit kemudian dilihat perubahan nilai VEP1 atau APE, perubahan VEP1
atau APE < 20% nilai awal dan < 200 ml.

- Uji bronkodilator dilakukan pada PPOK stabil

2. Laboratorium : darah rutin

3.Radiologi :

Foto toraks PA dan lateral berguna untuk menyingkirkan penyakit paru lain.

Pada emfisema terlihat gambaran :

- Hiperinflasi,

- hiperlusen,

- ruang retrosternal melebar,

- diafragma mendatar

- jantung menggantung (jantung pendulum/ tear drop/ eye drop


appearance)

Pada bronkitis kronik :

- normal

- corakan bronkovaskular bertambah pada 21% kasus.


b. Pemeriksaan khusus (tidak rutin)
1. Faal paru
- Volume Residu (VR), Kapasiti Residu Fungsional (KRF), Kapasiti Paru
Total (KPT), VR/KRF, VR/KPT meningkat
- Variabiliti harian APE kurang dari 20 %
2.Uji latih kardiopulmoner
- Sepeda statis (ergocycle)
- Jentera (treadmill)
- Jalan 6 menit, lebih rendah dari normal
3.Uji provokasi bronkus
Untuk menilai derajat hipereaktiviti bronkus, pada sebagian kecil PPOK
terdapat hipereaktiviti bronkus derajat ringan.
4. Uji coba kortikosteroid
Menilai perbaikan faal paru setelah pemberian kortikosteroid oral (prednison
atau metilprednisolon) sebanyak 30 - 50 mg per hari selama 2 minggu yaitu
peningkatan VEP1 pasca bronkodilator > 20 % dan minimal 250 ml. Pada PPOK
umumnya tidak terdapat kenaikan faal paru setelah pemberian kortikosteroid.
5. Analisis gas darah
Terutama untuk menilai :
- Gagal napas kronik stabil
- Gagal napas akut pada gagal napas kronik
6. Radiologi
- CT - Scan resolusi tinggi
 Mendeteksi emfisema dini dan menilai jenis serta derajat emfisema
atau bula yang tidak terdeteksi oleh foto toraks polos.
- Scan ventilasi perfusi
 Mengetahui fungsi respirasi paru
7. Elektrokardiografi
- Mengetahui komplikasi pada jantung yang ditandai oleh pulmonal dan
hipertrofi ventrikel kanan.
8. Ekokardiografi
- Menilai funfsi jantung kanan
9. Bakteriologi
- Pemerikasaan bakteriologi sputum pewarnaan gram dan kultur resistensi
diperlukan untuk mengetahui pola kuman dan untuk memilih antibiotik
yang tepat. Infeksi saluran napas berulang merupakan penyebab utama
eksaserbasi akut pada penderita PPOK di Indonesia.
10. Kadar alfa-1 antitripsin
- Kadar antitripsin alfa-1 rendah pada emfisema herediter (emfisema pada
usia muda), defisiensi antitripsin alfa-1 jarang ditemukan di Indonesia.

2.7 Diagnosis Banding

- Asma

- SOPT (Sidroma Obstruksi Pasca Tuberkulosis)

Adalah penyakit obstruksi saluran nafas yang ditemukan pada


penderita pasca tuberkulosis dengan lesi paru yang minimal.

- Pneumotoraks

- Gagal jantung kronik

- Bronkiektasis

2.8 Penatalaksanaan3
Tujuan penatalaksanaan :
 Mengurangi gejala
 Mencegah eksaserbasi berulang
 Memperbaiki dan mencegah penurunan faal paru
 Meningkatkan kualitas hidup penderita
a. Penatalaksanaan secara umum :
1. Edukasi
Tujuan : mengenal perjalanan penyakit dan pengobatan,
melaksanakanpengobatan yang maksimal, mancapai aktivitas optimal,
meningkatkan kualitas hidup.
Bahasan edukasi : pengetahuan tentang dasar PPOK, obat-obat (manfaat
dan efek sampingnya), cara pencegahan perburukan penyakit,
menghindari pencetus, penyesuaian aktvitas.
2. Obat-obat
a. Bronkodilator
 Gol. Beta-2 agonis : relaksasi otot polos pernafasan  menstimulasi
reseptor B2 agonist  produksi antagonis bronkokonstriksi.
SABA  4-6 jam, LABA  12 jam
 Antikolinergik: digunakan pada ringan sampai berat, selain untuk
bronkodilator juga mengurangi sekresi lendir (max. 4 kali/hari).
 Kombinasi B2 agonis dengan antikolinergik : kombinasi 2 obat lebih
memperkuat efek bronkodilator karena tempat kerja berbeda dan
penggunaan obat kombinasi lebih sederhana.
 Gol. xantin : dalam bentuk lepas lambat sebagai obat pemeliharaan
jangka panjang, terutama derajat sedang-berat. Bentuk tablet/puyer
untuk mengatasi sesak (pelega nafas), bentuk suntik/bolus mengatasi
eksasebasi akut.
b. Antiinflamasi
Digunakan bila eksaserbasi akut dalam bentuk oral atau injeksi
intravena, berfungsi menekan inflamasi. Dipilih golongan
metilprednisolon atau prednison. Bentuk inhalasi sebagai terapi jangka
panjang diberikan bila uji kortikosteroid positif yaitu terdapat
perbaikan VEP1 pascabronkodilator meningkat >20% dan min 200 ml.
c. Antibiotik
Hanya diberikan apabila ada infeksi.
 Lini 1 : amoksisilin, makrolid.
 Lini 2 : amoksisilin dan adam klavulanat, sefalosporin, kuinolon,
makrolid baru.
d. Antioksidan
Dapat mengurangi eksaserbasi dan memperbaiki kualiats hidup,
digunakan N-asetilsistein. Dapat diberikan pada PPOK dengan
eksaserbasi yang sering, tidak dianjurkan pemberian rutin.
e. Mukolitik
Hanya diberikan terutama eksaserbasi akut karena akan mempercepat
perbakan eksaserbasi, terutama pada bronkitis kronik dengan sputum
yang viscous. Tidak dianjurkan pemberian lama.
3. Terapi Oksigen
Pada PPOK terjadi hipoksemia progresif dan berkepanjangan
menyebabkan kerusakan sel dan jaringan. Pemberian terapi oksigen
merupakan hal yang sangat penting untuk mempertahankan oksigenasi
seluler dan mencegah kerusakan sel baik di otot maupun di organ-organ
lainnya.
Indikasi : - PaO2 < 60 mmHg atau SaO2 < 90%
- PaO2 55-59 mmHg atau SaO2 >89% disertai kor pulmonal,
perubahan P pulmonal, Ht >55% dan tanda-tanda gagal
janutng kanan, sleep apnea, penyakit paru lain.
4. Ventilasi mekanik
Digunakan pada saat eksaserbasi dan gagal nafas akut, pasien
PPOK derajat berat dengan sesak kronik. Ventilasi mekanik dapat
dilakukan dengan ventilasi mekanik tanpa intubasi (Noninvasive
Intermitten Posstitive Pressure Ventilation (NIPPV) dan Negative
Pressure Ventilation (NPV)) dan ventilasi mekanik intubasi (di rumah
sakit).
5. Nutrisi
Malnutrisi sering terjadi pada PPOK  karena bertambahnya
energi akibat muskulus respirasi meningkat akibat hiperkapnia dan
hipoksemia kronik  hipermetabolisme. Komposisi nutrisi seimbang
tinggi lemak rendah karbohidrat.Sering terjadi gangguan elektrolit 
hipofosfotemi, hiperkalemi, hipokalsemi, hipomagnesemi . Gangguan ini
dapat mengurangi fungsi diagfrahma  pemberian nutrisi komposisi
seimbang, porsi kecil dan waktu pemberian sering.
6. Rehabilitasi
Tujuan : untuk meningkatkan toleransi latihan dan memperbaiki
kualitas hidup penderita PPOK. Ditujukan untuk penderita yang telah
mendapat pengobatan optimal dengan gejala pernapasan berat, beberapa
kali masuk ruang gawat darurat, dan kualitas hidup yang menurun.
Program rehabilitasi terdiri dari:
 Memperbaiki efisiensi dan kapasitas sistem transportasi oksigen
 Latihan meningkatkan otot perapasan
 Latihan endurance
7. Operasi
- Lung volume reduction surgery (LVRS)
- Bullektomi
- Transplantasi paru

b. Penatalaksanaan PPOK stabil2


Kriteria : - tidak dalam gagal napas akut pada gagal napas kronik
- AGD pCO2 <45 mmHg dan pO2 >60 mmHg
- Dahak jernih tidak berwarna
- Aktivitas terbatas tidak disertai sesak sesuai derajar PPOK
- Penggunaan bronkodilator sesuai rencana pengobatan
- Tidak ada penggunaan bronkodilator tambahan

Tabel farmakologi tatalaksana PPOK


Rekomendasi Terapi lain yang
Grup Pasien Pilihan alternatif
utama memungkinkan
A Short acting Long acting Teofilin
Memiliki beberapa antikolinergic antikolinergic
gejala dan risiko atau atau
rendah eksaserbasi SABA LABA
atau
SABA + SAMA
B LAMA SABA dan/atau
Memiliki gejala atau LAMA + LABA SAMA
lebih signifikan LABA
tetapi risiko Teofilin
eksaserbasi rendah
C ICS + LABA LAMA + LABA SABA + SAMA
Memiliki beberapa atau atau
gejala tapi risiko LAMA LAMA +
tinggi eksaserbasi pospodiesterase-4 Teofilin
inhibitor
atau
LABA +
pospodiesterase-4
inhibitor
D ICS + LABA ICS + LABA dan Karbosistein
Memiliki banyak dan/atau LAMA LAMA N-asetil sistein
gejala dan risiko Atau SABA dan/atau
tinggi eksaserbasi ICS + LAMA dan SAMA
phospodiesterase- Teofilin
4 inhibitor

C. Penanganan PPOK eksaserbasi2


Prinsip penatalaksanaan eksaserbasi akut adalah mengatasi segera eksaserbasi
yang terjadi dan mencegah gagal nafas. Bila telah menjadi gagal nafas segera atasi
untuk mencegah kematian. Beberapa yang perlu diperhatikan :
1. Diagnosis beratnya eksaserbasi
Gejala : peningkatan sesak, peningkatan produksi sputum, perubahan
warna sputum.
Klasifikasi : - tipe I : 3 gejala diatas
-tipe II : 2 positif dari 3 gejala
- tipe III : 1 positif dari 3 gejala
2. Terapi oksigen adekuat
Tujuan : memperbaiki hipoksemia dan mencegah keadaan yang
mengancam jiwa, dapat dilakukan di IGD atau di ICU. Sebaiknya
dipertahankan PaO2 >60 mmHg dan SaO2 >90%, evaluasi ketat hiperkapni.
3. Pemberian obat-obat
a. Bronkodilator
Pemberian bronkodilator di rumah sakit secara intravena dan nebulisasi.
SABA dan/atau tanpa SAMA biasanya digunakan untuk eksaserbasi.
Hati-hati penggunaan nebulizer yang memakai oksigen sebagai
compressor, karena penggunaan oksigen 8-10 L untuk menghasilkan
uap dapat menyebabkan retensi CO2. Golongan santin mempunyai efek
memperkua otot-otot pernapasan.
b. Kortikosteroid
Pada eksaserbasi derajat sedang dapat diberikan prednisone 30 mg/hari
selama 1-2 minggu, pada derajat berat diberikan secara i.v. Pemberian
lebih 2 minggu tidak memberikan manfaat lebih baik.
c. Antibiotik
Antibiotik diberikan pada eksaserbasi derajat III, peningkatan purulensi
sputum, dan membutuhkan ventilasi mekanik. Rekomendasi pemberian
antibiotik 5-10 hari. Pemilihan antibiotik disesuaikan dengan pola
kuman setempat, pemberian di rumah sakit sebaiknya per drip atau
intravena.
d. Nutrisi adekuat
Untuk mencegah starvation yang disebabkan hiposemi
berkepanjangan, danmenghindari kelelahan otot bantu pernapasan.
e. Ventilasi mekanik
Indikasi : sesak nafas berat >35x/i, kesadaran menurun, hipoksemi berat
PaO2 <50%, asidosis (pH < 7,25), hiperkapnia PaCO2 > 60 mmH,
komplikasi kardiovaskular.
f. Kondisi lain yang berkaitan (Monitor balance cairan, pengeluaran
sputum, gagal jantung/aritmia)
g. Evaluasi ketat progresifitas penyakit

2.9 Komplikasi2
1.Gagal napas
- Gagal napas kronik : Hasil AGD PO2 > 60mmHg dan pH normal
- Gagal napas akut pada gagal napas kronik :
 Sesak napas dengan atau tanpa sianosis
 Sputum bertambah dan purulen
 Demam
 Penurunan kesadaran
2. Infeksi berulang
Pada PPOK produksi sputum yang berlebihan menyebabkan terbentuk
koloni kuman, hal ini memudahkan terjadi infeksi berulang. Pada kondisi
kronik imunitas menjadi lebih rendah ditandai dengan kadar limfosit darah
yang rendah.
3. Kor pulmonal
Ditandai P pulmonal pada EKG, Ht >50%, dapat disertai gagal jantung kanan.

2.10 Prognosis1,5
Setelah muncul secara klinik, median survival kira-kira 10 tahun.
Beberapa faktor yang telah diidentifikasi dapat memprediksi survival jelek
pada PPOK : FEV1 rendah, masih merokok, hipoksemia,nutrisi jelek,
korpulmonale, penyakit komorbid,dan kapasitas difusi rendah.
Pasien dengan FEV1 <35% prediksi memiliki mortalitas 10% per tahun.
Jika pasien menyatakan tidak mampu berjalan 100 meter tanpa harus berhenti
oleh karena sesak napas, five survival rate hanya 30%. Index prognostic :
BODE INDEX (Body mass index, obstructive ventilator defect severity,
dyspneu severity, and exercise capacity).
Prognosis PPOK dapat ditentukan melalui BODE index4
Point BODE index
Variable
0 1 2 3

FEV1 (prediksi dalam %) ≥65% 50-64 36-49 ≤35

Jarak tempuh berjalan (m) dalam 6 ≥350 250- 150-


menit 349 249
Dyspnea berdasarkan MMRC 0-1 2 3 4

Body Mass Index >21 ≤21


Interpretasi BODE Index
Nilai BODE Mortalitas dalam Mortalitas dalam Mortalitas dalam
index 1 tahun (%) 2 tahun (%) 52 bulan (%)
0-2 2 6 19
3-4 2 8 32
4-6 2 14 40
7-10 5 31 80
BAB 3
LAPORAN KASUS

2.1 Identitas Pasien


Nama : Tn.A
Umur/tanggal lahir : 68 tahun/ 03 Juni 1947
Jenis kelamin : Laki-laki
Pekerjaan : Swasta
No RM :
Alamat : Padang
Status perkawinan : Menikah
Negeri asal : Indonesia
Agama : Islam
Suku Bangsa : Minangkabau
Tanggal masuk : 11 Februari 2019

2.2 Anamnesis
Seorang pasien laki-laki berumur 68 tahun datang ke RSUP Dr M Djamil
Padang pada tanggal 11 Februari 2019 dengan keluhan:
Keluhan Utama
Sesak nafas sejak 3 hari sebelum masuk rumah sakit.
Riwayat Penyakit Sekarang:
 Sesak meningkat sejak 3 hari yang lalu, menciut, tidak dipengaruhi cuaca
dan makanan, sesak meningkat dengan aktifitas dan batuk.
 Diluar serangan, pasien tidak dapat beraktifitas normal. Pasien telah
dikenal dengan PPOK, pernah dilakukan spirometri 2 tahun yll. Pasien
rutin kontrol ke RST Padang dan mendapat obat berotec, symbicort dan
spirivat. Dalam 1 tahun ini pasien sudah 4x rawat di RS.
 Batuk (+) berdahak dirasakan sejak ± 2 hari yang lalu, dahak berwarna
putih, kental,dan sulit dikeluarkan. Riwayat batuk sudah dirasakan sejak
1 bulan yang lalu,dahak berwarna putih.
 Batuk darah (-), riwayat batuk darah sebelumnya (-).
 Demam (-)
 Keringat malam (-)
 Nyeri ulu hati (-), mual (-), muntah (-)
 Penurunan nafsu makan (-), penurunan berat badan (-)
 BAB dan BAK normal, tidak ada keluhan.
Riwayat Penyakit Dahulu
 Riwayat hipertensi (-)
 Riwayat Diabetes mellitus (+) sejak 2015, kontrol teratur di puskesmas
mendapat terapi glimepirid
 Riwayat penyakit jantung (-)
 Riwayat TB (-)
 Riwayat keganasan (-)
Riwayat Penyakit Keluarga
 Riwayat konsumsi OAT, hipertensi, diabetes mellitus, penyakit jantung (-)
dalam keluarga.

Riwayat Pekerjaan, Sosial, Ekonomi dan Kebiasaan


 Pasien seorang pedagang keliling
 Riwayat merokok 20 batang/hari selama ± 40 tahun, berhenti 4 tahun yll
(bekas perokok, IB berat )

2.3 Pemeriksaan Fisik


Vital Sign
▰ Keadaan umum : sedang
▰ Kesadaran : CMC
▰ Nadi : 98 x/menit
▰ Nafas : 30 x/menit
▰ Suhu : 37°C
▰ Tekanan darah : 110/80 mmHg
▰ Tinggi badan : 160 cm
▰ Berat badan : 60 Kg
Status Generalisata
- Kepala : normocephal
- Mata : konjungtiva tidak anemis, sklera ikterik
- Kulit : turgor kulit baik, ikterik tidak ada
 Leher: JVP 5 – 2 cmH20, tidak ada pembesaran KGB
Thoraks
 Paru-paru depan :
Inspeksi : simetris kiri = kanan (statis)
pergerakan dinding dada kiri = kanan (dinamis)
Palpasi : fremitus kiri = kanan
Perkusi : sonor
Auskultasi : suara nafas ekspirasi memanjang, ronkhi (+/+),
wheezing (+/+)

 Punggung :
Inspeksi : (statis) simetris kiri = kanan
(dinamis) pergerakan dinding dada kiri = kanan
Palpasi : fremitus kiri = kanan
Perkusi : sonor
Auskultasi : ekspirasi memanjang, ronkhi (+/+), wheezing (+/+)

- Jantung :
Inspeksi : iktus kordis tidak terlihat
Palpasi : iktus kordis teraba 1 jari medial LMCS RIC V
Perkusi : dalam batas normal
Auskultasi : irama reguler, murmur (-), gallop (-).
 Abdomen :
Inspeksi : distensi (-).
Palpasi : supel, hepar dan lien tidak teraba.
Perkusi : timpani
Auskultasi : bising usus (+) N
 Genitalia : tidak dilakukan pemeriksaan
 Anus : tidak dilakukan pemeriksaan colok dubur
 Ekstremitas : akral hangat, edema (-), clubbing finger (-).
2.4 Pemeriksaan Laboratorium
Darah Rutin :
Hb : 14,6 g/dl
Leukosit : 15.770 /mm3
Trombosit : 314.000 /mm3
Ht : 42 %
Na/K/Cl : 130/3,8/96 mmol/L

AGD dan elektrolit


PH : 7,49 ( 7.35-7.45)
PCO2 : 29,2 (35-45)
PO2 : 89,5 (80-100)
HCO3 : 22,7 (21-28)
Saturasi O2 : 97% (95-100%)
BE : -0,9 (-2.5-2.5)

Kesan : Alkalosis Respiratorik

2.5 Pemeriksaan Rontgen Thoraks


Rontgen
Kesan :
Pneumoni

2.6 Diagnosis Kerja


PPOK eksaserbasi akut tipe I + CAP
DM tipe II terkontrol

2.7 Diagnosis Banding

2.8 Rencana Pengobatan


 IVFD NaCl 0,9% 12 jam/kolf
 Drip aminofilin
 Nebu combivent 4x1
 Nebu flumucyl 2x1
 Inj. Metilprednisolon 2x125 mg
 Inj ceftriaxon 1x2 gr
 Inj. Ranitidin 2 x 1 amp
 Cek kultur sputum dan sensitivitas kuman banal
 Spirometri bila stabil
 Cek GDP, GD2PP. HbA1C  konsul ke penyakit dalam

FOLLOW UP
Tanggal S/ O/ A/ P/
16/02/20 Sesak nafas (+) KU: sedang PPOK eksaserbasi O2 3-4 liter/menit
19 Batuk (+) KS: CMC akut tipe I + CAP IVFD aminofluid
berdahak, TD: 130/80 + DM tipe II 24 jam/kolf
Demam (-) Nd: 100x/menit terkontrol Drip aminofilin
Nf: 30 x/menit Nebu combivent
T: 36,7 4x1
Nebu flumucyl
Inspeksi: 2x1
statis: simetris Inj.
kiri = kanan Metilprednisolon
Dinamis: 2x125 mg
pergerakan Inj ceftriaxon 1x2
dinding dada kiri gr
= kanan Inj. Ranitidin 2 x
Palpasi: 1 amp
fremitus kiri =
kanan
Perkusi: sonor
Auskultasi:ekspi
rasi memanjang,
ronkhi (+/+),
wheezing (+/+)

BAB IV
DISKUSI

Seorang pasien laki-laki berumur 68 tahun datang dengan keluhan utama


sesak nafas sejak 3 hari sebelum masuk rumah sakit. Sesak nafas pada pasien
menciut, tidak dipengaruhi oleh emosi, cuaca dan makanan. Sesak meningkat
dengan aktifitas. Batuk meningkat sejak 2 hari yang lalu dengan dahak berwarna
putih, sukar dikeluarkan dan bersifat bersifat hilang timbul. Pasien sebelumnya
tidak punya riwayat batuk lama. Penurunan nafsu makan tidak ada. Penurunan
berat badan tidak ada. Pasien pernah dirawat di RSUP Dr. M Djamil 4x selama
tahun ini dengan diagnosis PPOK. Pasien seorang pedangan, riwayat merokok 20
batang/ hari, selama 40 tahun, berhenti 4 tahun yang lalu.
Dari keluhan diatas dapat dicurigai bahwa sesak nafas pada pasien
disebabkan oleh adanya gangguan pada saluran napas berupa hambatan aliran
udara karena adanya inflamasi kronik disebabkan oleh pemaparan yang signifikan
terhadap partikel atau gasberbahaya.Inflamasi kronik menyebabkan peradangan
dan penyempitan saluran napas dan mengakibatkan hiperinflasi. Hal ini
menimbulkan gejala sesak napas yang bertambah berat seiring berjalannya waktu
(progresif) dan meningkat dengan aktivitas disertai batuk kronik berdahak.
Gangguan tersebut disebut Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK).
Gejala sesak napas pada PPOK terjadi karena adanya peradangan.
Mediator-mediator peradangan secara progresif merusak struktur-struktur
penunjang di paru. Akibat hilangnya elastisitas saluran udara dan kolapsnya
alveolus, maka ventilasi berkurang. Parenkim paru kolaps terutama pada ekspirasi
karena ekspirasi normal terjadi akibat pengempisan (recoil) paru secara pasif
setelah inspirasi. Dengan demikian, apabila tidak terjadi recoil pasif, maka udara
akan terperangkap di dalam paru dan saluran udara kolaps, sehingga dapat terjadi
sesak nafas.,Obstruksi jalan napas perifer menyebabkan udara terperangkap dan
terjadi hiperinflasi yang mengurangi kapasitas inspirasi (peningkatan kapasitas
residual fugsional, khususnya selama latihan/hiperinflasi dinamis). Hiperinflasi
yang berkembang pada awal penyakit merupakan mekanisme utama timbulnya
sesak napas pada aktivitas. Pada PPOK juga terjadi ketidakseimbangan pertukaran
gas sehingga terjadi hipoksemia dan hiperkapnia, hal ini juga memicu sesak nafas
pada penderita.Proses ventilasi terutama ekspirasi terhambattimbul hiperkapnia
akibat dari ekspirasi yang memanjang dan sulit dilakukan akibat mukus yang
kental dan adanya peradangan.
Gejala lain pada pasien adalah batuk berdahak. Batuk merupakan
mekanisme refleks untuk menjaga jalan napas tetap terbuka dengan cara
menyingkirkan hasil sekresi lendir yang menumpuk pada jalan napas. Pada
PPOK, batuk kronik berdahak berkaitan dengan keadaan hipersekresi pada
mukus. Beberapa mediator dan protease merangsang hipersekresi mukus melalui
aktivasi reseptor faktor EGFR.Selain itu, hal ini juga disebabkan oleh respon
terhadap iritasi kronik saluran napas oleh asap rokok/agen berbahaya lain yaitu
meningkatnya jumlah sel goblet dan membesarnya kelenjar submukosa sehingga
terjadi hipersekresi.
Pasien memiliki kebiasaan merokok 16 batang/hari selama 53 tahun.
Jumlah rata-rata batang rokok yang dihisap sehari dikalikan lama merokok dalam
tahun disebut indeks Brinkman. Pada pasien didapatkan indek brinkman berat
(ringan: 0-200, sedang: 201-600, berat: >600). Kebiasaan pasien ini memperkuat
dugaan terjadinya PPOK pada pasien, karena rokok merupakan salah satu faktor
risiko meningkatnya PPOK. Risiko PPOK pada perokok tergantung pada dosis
rokok yang dihisap, usia mulai merokok, jumlah batang rokok pertahun, dan
lamanya merokok.Komponen-komponen asap rokok merangsang perubahan pada
sel-sel penghasil mukus bronkus. Selain itu, silia yang melapisi bronkus
mengalami kelumpuhan atau disfungsional serta metaplasia. Perubahan-
perubahan pada sel-sel penghasil mukus dan silia ini mengganggu sistem
eskalator mukosiliaris dan menyebabkan penumpukan mukus kental dalam jumlah
besar dan sulit dikeluarkan dari saluran napas..Pada perokok, sering terjadi
dilatasi dan kerusakan bronkiolus yang mengakibatkan emfisema sentrilobular.
Asap rokok juga menghasilkan mediator inflamasi yang akan menarik sel
inflamasi dari sirkulasi (faktor kemotaktik: Leukotrien B-4, IL-8), menguatkan
proses inflamasi (sitokin pro inflamasi: TNF-alfa, IL-1 beta, IL-6), dan
mendorong perubahan struktural dan fibrosis saluran napas (factor pertumbuhan:
TGF-beta). Asap rokok menginduksi makrofag untuk melepaskan Neutrophil
Chemotactic Factors dan elastase, yang tidak diimbangi dengan antiprotease,
sehingga terjadi kerusakan jaringan.
Pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum sedang dengan kesadaran
komposmentis kooperatif, suhu 37 °C, tekanan darah 130/70 mmHg , frekuensi
napas 32 x/menit pada pasien terjadi takipnea (N:18-20 kali/menit) karena
hambatan aliran udara akibat adanya inflamasi kronik, frekuensi nadi 118 x/menit
pada pasien takikardi ( N: 60-100x/menit) sebagai respon jantung untuk
meningkatkan curah jantung demi terpenuhinya kebutuhan oksigen akibat
gangguan pada paru, tinggi badan 150 cm, dan berat badan 35 kg menunjukkan
status gizi kurang. Malnutrisi sering terjadi pada PPOK karena bertambahnya
energy akibat muskulus respirasi meningkat akibat hiperkapnia dan hipoksemia
kronik sehungga terjadi hipermetabolisme. Pasien tampak dengan ekspirasi
memanjang (pursed-lips breathing), ini merupakan mekanisme tubuh untuk
mengeluarkan retensi CO2 pada gagal napas kronik. Pemeriksaan fisik paru
depan, pada inspeksi simetris kiri dan kanan(statis), pergerakan dinding dada
simetris kiri dan kanan (dinamis). Pada palpasi fremitus sulit dinilai. Pada perkusi
sonor kanan dan kiri. Pada auskultasi suara napas ekspirasi memanjang, karena
adanya obstruksi jalan napas perifer, akibatnya udara terperangkap dan terjadi
hiperinflasi yang mengurangi kapasitas inspirasi seperti peningkatan kapasitas
residual fungsional, khususnya selama latihan. Ronkhi +/+ karena lewatnya udara
melalui penyempitan saluran napas, inflamasi, atau spasme saluran napas pada
bronkitis, asma, dan PPOK. Wheezing +/+ kanan dan kiri karena obstruksi jalan
napas (khas pada asma dan PPOK).
Dari anamnesis dan pemeriksaan fisik ditemukan tanda-tanda eksaserbasi
akut PPOK pada pasien, karena terjadinya perburukan dibandingkan kondisi
sebeumnya yaitu sesak yang bertambah, bertambahnya sputum dan adanya
sputum berwarna putih, sehingga pasien dapat diklasifikasikan ke dalam PPOK
eksaserbasi akut tipe I (eksaserbasi sedang). Eksaserbasi akut menurut kriteria
Anthonisen 1987 adalah Tipe I (eksaserbasi berat): 3 diatas, tipe II (eksaserbasi
sedang: 2 dari 3 gejala di atas), tipe III (eksaserbasi ringan: 1 dari 3 gejala di atas
+ infeksi saluran napas atas > 5 hari, demam tanpa sebab lain, meningkatnya
batuk, meningkatnya mengi dan frekuensi napas > 20% dari nilai dasar, dan
meningkatnya nadi > 20% dari nilai dasar).
Pemeriksaan laboratorium ditemukan Hb 14,6 gr/dl, leukosit 15,770 /mm3,
Ht 42%, trombosit 314.000, Na/K/Cl 130/3,8/96, ureum/kreatinin 17/0,9, pH 7,49,
Pa CO2 29,2, PaO2 89,5, HCO3- 22,7, BE -0,9, SaO2 97%. Kesan: alkalosis
respiratorik
Prinsip penatalaksanaan PPOK pada eksaserbasi akut adalah mengatasi
segera eksaserbasi dan mencegah gagal napas. Penatalaksanaan eksaserbasi akut
tergantung pada tipe eksaserbasi berdasarkan kriteria Anthonisen (1987), yaitu
eksaserbasi ringan ditatalaksana dengan meningkatkan pemakaian SABA,
eksaserbasi sedang dengan menambah antibiotik atau kortikosteroid sistemik atau
keduanya, dan eksaserbasi berat dengan perawatan di rumah sakit. Pasien ini
tergolong eksaserbasi berat sehingga perlu perawatan di rumah sakit. Terapi yang
diberikan saat di IGD adalah oksigen 3-4 L /menit nasal kanul, combivent nebu 4
x 1, dan injeksi metilprednisolon 2 x 125 mg (iv). Bronkodilator dalam bentuk
inhalasi untuk memperbaiki VEP1, gejala sesak napas, dan eksaserbasi. Pada
PPOK eksaserbasi dipilih kombinasi SABA dan SAMA (combivent). Injeksi
metilprednisolon 2 x 62,5 mg (iv) diberikan jika terjadi eksaserbasi akut pada
PPOK untuk menekan inflamasi. Dipilih golongan metilprednisolon atau
prednison (Bukti A).3
Saat dirawat, terapi yang diberikan adalah O2 nasal kanul 3L/menit , IVFD
NaCL 0,9% 12 jam/ kolf, drip aminofilin 1 ampul, , Inj. Ceftriaxone 1x2gr iv, Inj.
Inj. Ranitidin 2x50mg, dan Inj. Fluimucyl 2x1amp. Oksigenasi adalah terapi
utama pada pasien rawat akibat eksaserbasi. Suplementasi oksigen pada
hipoksemia dititrasi dengan target saturasi 88-92%. Drip aminofilin (golongan
xantin) digunakan untuk mengatasi eksaserbasi akut pada PPOK. Injeksi fluimucil
untuk mengencerkan dahak yang menghalangi jalan nafas pasien.
Rencana pemeriksaan meliputi spirometri post bronkodilator saat pasien
sudah dalam keadaan stabil, kultur sputum dan konsul gizi. Spirometri merupakan
pemeriksaan faal paru pada PPOK stabil untuk menilai beratnya PPOK dan
memantau perjalanan penyakit. Obstruksi ditentukan oleh nilai VEP1/KVP (%).
Berdasarkan GOLD, obstruksi pada PPOK terjadi jika VEP1/KVP < 70%. Kultur
sputum bertujuan untuk mengidentifikasi bakteri spesifik pada sputum dalam
membantu menegakkan diagnosis definitif. Konsul gizi dilakukan untuk
tatalaksana yang tepat pada keadaan malnutrisi pasien3
DAFTAR PUSTAKA

1. Global Initial obstructive Lung Disease. 2016. Global strategy for


diagnosis, management, and prevention of COPD. USA.
2. World health organization(2016).Chronic respiratory disease. Diakses
pada tanggal 4 Agustus 2018 dari http://
www.who.int/respiratory/copd/burden/en.
3. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2016. Pedoman dan Penatalaksanaan
Penyakit Paru Obstruktif Kronik di Indonesia, Jakarta.
4. Papi, A. 2006. Pathofisiology of Exacerbation COPD. american thoracic
society journal:vol.3:245-51.
5. American Thoracic Society, 2011, American Thoracic Society statement
Occupational Contribution To The Burden of Airway Disease, In :Centers
for Disease Control and Prevention. Public Health Strategic Framework
for COPD Prevention. Atlanta, GA: Centers for Disease Control and
Prevention.

Anda mungkin juga menyukai