KESEHATAN PERORANGAN
Disusun Oleh :
dr. Rizky Istifarina
Pembimbing :
dr. Thanthawy Jauhary, Sp. Rad
LAMONGAN 2022
HALAMAN PENGESAHAN
Pembimbing,
PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang
The American Thoracic Society mendefinisikan PPOK sebagai bronkitis kronis dan
emfisema. Bronkitis kronis ditandai dengan gejala klinis seperti batuk berlebih disertai dengan
produksi sputum, sedangkan emfisema ditandai dengan gejala klinis dyspnea kronis yang
diakibatkan oleh ruang udara yang membesar dan kerusakan jaringan paru (Devine, 2008).
Global initiative for chronic Obstructive Lung Disease (GOLD) mendefinisikan PPOK sebagai
keadaan penyakit yang ditandai dengan keterbatasan aliran udara. Keterbatasan aliran udara
biasanya bersifat progresif dan berhubungan dengan respon inflamasi abnormal paru-paru
terhadap partikel atau gas berbahaya (GOLD, 2020).
Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK) saat ini merupakan penyebab kematian
keempat di dunia, tetapi berpotensi menjadi penyebab kematian ketiga pada tahun 2020. Lebih
dari 3 juta orang meninggal karena PPOK pada tahun 2012 terhitung 6% dari semua kematian
secara global. PPOK merupakan tantangan kesehatan masyarakat yang memerlukan perhatian
lebih, dikarenakan penyakit ini dapat dicegah dan diobati. PPOK merupakan penyebab utama
morbiditas dan mortalitas di seluruh dunia, banyak pasien menderita penyakit ini selama
bertahun-tahun dan meninggal akibat dari proses penyakit itu sendiri atau meninggal akibat
komplikasi yang diderita (GOLD, 2020).
Prevalensi global PPOK pada tahun 2015 sekitar 11,7%, meningkat 44,2% dari tahun
1990, dan menyebabkan kematian pada 3,2 juta orang di tahun 2015. prevalensi PPOK di
Indonesia menurut Riskesdas 2013 adalah 3,7% (pria 4,2%, perempuan 3,3%).
Faktor resiko utama terjadinya PPOK adalah merokok baik secara aktif maupun pasif.
Terkait hal tersebut, Indonesia merupakan salah satu negara berkembang yang memiliki jumlah
perokok aktif yang tinggi. World Health Organization (WHO) telah menetapkan Indonesia
sebagai negara terbesar ketiga di dunia sebagai pengguna rokok. Perilaku merokok di Indonesia
pada penduduk usia > 15 tahun semakin tahun cenderung mengalami peningkatan. Pada tahun
2007 didapatkan 34,2 % perokok, sedangkan pada tahun 2013 didapatkan 36,3 %. Dijumpai
pada tahun 2013 yang perokok aktif sebesar 64,9 % pada pria dan sebesar 2,1 % pada
perempuan. Kejadian Penyakit Paru Obstruksi Kronis dilaporkan sebesar 45% perokok
memiliki resiko lebih besar dibandingkan dengan yang tidak merokok (WHO, 2010).
Berdasarkan penelitian Salaswati (2016) didapatkan bahwa perokok berat sebanyak 34,21%
menderita PPOK derajat III. Selain asap rokok, terdapat faktor resiko lain yang dapat
menyebabkan kejadian PPOK yaitu paparan asap bahan bakar biomassa atau polusi udara,
faktor host seperti abnormalitas genetik dan abnormalitas pertumbuhan paru (GOLD, 2020).
Bertambahnya prevalensi perokok dan populasi usia lanjut, serta peningkatan polusi
udara meningkatkan angka kejadian Penyakit Paru Obstruksi Kronis (PPOK), dimana penyakit
ini dapat dicegah dengan upaya perubahan gaya hidup seperti berhenti merokok untuk
mengurangi progresivitas penyakit. Berdasarkan hal tersebut penulis ingin melaporkan kasus
Penyakit Paru Obstruksi Kronis yang terjadi di Rumah Sakit Muhammadiyah Lamongan
(RSML)
1.2 Tujuan
1.3 Manfaat
Penulisan laporan ini diharapkan dapat dijadikan sebagai media belajar dalam
melakukan penegakan diagnosis dan tatalaksana pada pasien secara tepat dan
komprehensif.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK) merupakan penyakit yang ditandai dengan
gejala pernafasan persisten dan hambatan aliran udara dikarenakan abnormalitas jalan nafas
dan/atau abnormalitas alveolar biasanya disebabkan oleh pajanan partikel noksa atau gas yang
signifikan dan dipengaruhi oleh faktor host seperti pertumbuhan paru-paru yang abnormal
(GOLD, 2020). Sedangkan menurut Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Tahun
2008, PPOK adalah penyakit yang ditandai dengan hambatan aliran udara di saluran nafas yang
tidak sepenuhnya reversible. Hambatan aliran udara ini bersifat progresif dan berhubungan
dengan respons inflamasi paru terhadap partikel atau gas yang beracun atau berbahaya.
2.2. Patofisiologi
− Patologi
Inhalasi asap rokok atau partikel berbahaya lainnya seperti asap dari bahan bakar biomassa
dapat menyebabkan inflamasi pada paru-paru. Inflamasi paru-paru merupakan respon normal
yang muncul. Respon inflamatori kronis dapat menyebabkan destruksi jaringan parenkim
(yang mengakibatkan emfisema), dan gangguan mekanisme perbaikan dan pertahanan.
Perubahan patologis yang dijumpai pada PPOK terlihat dari perubahan jalan nafas, parenkim
paru, dan pembuluh darah paru (GOLD, 2020).
− Patogenesis
Inflamasi saluran pernafasan yang diamati pada pasien PPOK merupakan respons
normal dari jalur pernafasan dikarenakan iritasi kronis terhadap asap rokok atau partikel
berbahaya lainnya. Stress oksidatif dan kadar proteinases yang tinggi pada paru memiliki
kecenderungan menyebabkan inflamasi paru.
Stress oksidatif merupakan mekanisme penting yang terjadi pada penderita PPOK.
Biomarker stress oksidatif (hydrogen peroxide, 8-isoprostane) meningkat pada ekspirasi
kondensat, sputum, dan sirkulasi sistemik pasien PPOK. Stress oksidatif juga meningkat pada
saat eksaserbasi. Oxidant berasal dari asap rokok dan partikel lain yang terhirup, dan dihasilkan
dari aktivasi sel inflamatori seperti makrofag dan neutrophil. Hal ini pula yang menyebabkan
penurunan produksi antioksidan endogen pada pasien PPOK.
Peningkatan level protease yang merupakan derivate dari sel inflamatori dan sel
epithelial menyebabkan destruksi elastin yang merupakan komponen utama jaringan ikat pada
parenkim paru, yang dipercaya berperan penting dalam terjadinya emphysema. Terdapat bukti
yang meyakinkan bahwa terdapat ketidak seimbangan antara protease yang memecah jaringan
ikat dan antiprotease yang mencegah pemecahan jaringan ikat pada paru pasien yang
mengalami PPOK.
- Patofisiologi
Hambatan aliran udaran dan gas trapping akibat dari inflamasi yang berkepanjangan,
fibrosis, dan eksudat luminal pada jalan nafas kecil berhbungan dengan penurunan nilai FEV1
dan rasio FEV1/FVC yang merupakan karakteristik pasien dengan PPOK. Hambatan aliran
udara perifer secara progresif menyebabkan gas terperangkap selama ekspirasi sehingga terjadi
hiperinflasi. Hiperinflasi yang terjadi menyebabkan penurunan kapasitas inspirasi dan biasanya
berhubungan dengan gejala sesak nafas dan keterbatasan kapasitas latihan. Diperkirakan
bahwa hiperinflasi berkembang pada awal penyakit dan merupakan mekanisme utama
terjadinya sesak nafas (dispnea) saat beraktivitas. Bronkodilator yang bekerja pada saluran
udara perifer mengurangi gas trapping, sehingga mengurangi volume paru-paru, meringankan
gejala dan mingkatkan kapasitas latihan.
Produksi mucus berlebih tidak terjadi pada semua pasien PPOK. Produksi mucus
berlebih ini dikarenakan peningkatan jumlah sel goblet dan pembesaran kelenjar submucosal
yang disebabkan oleh iritasi kronis jalan nafas oleh asap rokok atau agen berbahaya lainnya.
Kejadian hipertensi pulmonal pada pasien PPOK biasanya terjadi lambat. Hipertensi
pulmonal diakibatkan vasokonstriksi arteri pulmonal kecil, yang pada akhirnya menyebabkan
perubahan structural hyperplasia intimal yang selanjutnya akan menjadi hipertrofi/hyperplasia
otot polos. Proses inflamasi pada pembuluh darah menyebabkan disfungsi endothelial.
Hilangnya pulmonary capillary bed pada emfisema dapat berkontribusi dalam peningkatan
tekanan sirkulasi pulmonal. Hipertensi pulmonal yang progresif dapat menyebabkan hipertrofi
ventrikel kanan dan pada akhirnya akan menyebabkan gagal jantung kanan (GOLD, 2020).
Penyakit Paru Obstruktif Kronis dapat mengalami eksaserbasi. Eksaserbasi ini dipicu
oleh infeksi bakteri ataupun virus dan polusi lingkungan. Selama eksaserbasi terjadi
peningkatan hiperinfllasi dan gas trapping, dengan hambatan aliran ekspirasi yang
menyebabkan sesak nafas. Didapatkan pula perburukan VA/Q yang menyebabkan hipoksemia.
Selama eksaserbasi didapatkan adanya peningkatan inflamasi jalan nafas (GOLD, 2020).
Faktor resiko yang menyebabkan terjadinya Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK)
adalah sebagai berikut (Kristiningrum, 2019):
− Perokok, baik perokok aktif maupun perokok pasif, merupakan faktor resiko terpenting
− Genetik, kekurangan alpha-1 antitrypsin, protein yang berperan menjaga elastisitas
paru.
− Polusi udara/paparan terhadap partikel berbahaya
− Stress oksidatif
− Tumbuh kembang paru yang kurang optimal
− Status sosioekonomi yang rendah
− Riwayat penyakit respirasi (terutama asma)
− Riwayat infeksi paru pada masa kanak-kanak
− Riwayat PPOK atau penyakit respirasi lain di keluarga
− Riwayat Eksaserbasi atau pernah di rawat di RS untuk penyakit respirasi
2.4. Diagnosis
Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK) harus dipertimbangkan pada setiap pasien
yang mengalami dispnea (sesak napas), batuk kronis atau produksi sputum, dan/atau riwayat
pajanan faktor risiko penyakit (asap rokok, polusi udara). Spirometri diperlukan untuk
membuat diagnosis, Nilai FEV1/FVC <0,70 pasca-bronkodilator menegaskan adanya
hambatan aliran udara persisten dan dengan demikian PPOK pada pasien dengan gejala yang
sesuai dan paparan signifikan terhadap rangsangan berbahaya (GOLD, 2020).
PPOK adalah penyakit yang berkembang lambat dengan fase asimtomatik yang
panjang, di mana fungsi paru terus menurun. Batuk terus-menerus, terutama dengan produksi
sputum, adalah gejala umum. Dispnea, terutama saat aktivitas, mengi, dan sesak dada juga
dapat terjadi. Pasien sering datang dengan eksaserbasi akut pertama pada stadium lanjut. Gejala
biasanya tidak terjadi sampai volume ekspirasi paksa dalam 1 detik (FEV1) kira-kira 50% dari
nilai normal yang diperkirakan. Seiring perkembangan penyakit, eksaserbasi dapat menjadi
lebih sering dan komplikasi yang mengancam jiwa dapat berkembang. PPOK stadium akhir
ditandai dengan keterbatasan aliran udara yang parah, kinerja yang sangat terbatas, dan
komplikasi sistemik. Pasien sering kali mengalami gagal napas atau infeksi paru. Efek
ekstrapulmoner yang terkait dengan PPOK termasuk penurunan berat badan, kelainan nutrisi,
dan atrofi otot (Devine, 2008).
Gejala klinis PPOK terutama berkaitan dengan respirasi. Keluhan respirasi ini harus
diperiksa dengan teliti karena seringkali dianggap sebagai gejala yang biasa terjadi pada proses
penuan. Gejala klinis PPOK adalah sebagai berikut:
- Sesak nafas, sesak nafas merupakan gejala utama PPOK, yang menyebabkan
disabilitas dan kecemasan. Pasien dengan PPOK mendeskripsikan sesak nafas
mereka sebagai peningkatan upaya untuk bernafas, dada yang memberat, air
hunger, atau terengah-engah (GOLD, 2020). Sesak nafas dapat diukur
menggunakan skala sesak sebagai berikut (Kemenkes, 2008):
Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam menilai gambaran kinis pada pasien PPOK
adalah onset (awal terjadinya penyakit) biasanya pada usia pertengahan, perkembangan gejala
yang bersifat progresif lambat, riwayat pajanan seperti asap rokok ataupun polusi udara
(didalam ruangan, luar ruangan, dan tempat kerja), sesak pada saat melakukan aktivitas, dan
hambatan aliran udara umumnya irreversible (tidak bisa kembali normal) (Kemenkes, 2008).
Pemeriksaan fisik pada pasien penyakit paru obstruktif kronis, pada tahap awal bisa
tidak ditemukan kelainan. Secara umum pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan hal-hal
sebagai berikut (Kemenkes, 2008):
2.5. Assessment
Penilaian pada pasien PPOK ini bertujuan untuk menentukan keparahan hambatan
aliran udara, dampaknya pada status kesehtan dan resiko kejadian yang akan datang serta
panduan pengobatan.
2.7. Tatalaksana
Rehabilitasi paru bertujuan untuk memperbaiki gejaa, kualita hidup, patisipasi fisik
dan emosi penderita PPOK dalam aktivitas harian. Program rehabilitasi optimum
dicapai selama 6-8 minggu (Amin et all, 2019).
- Terapi oksigen
Oksigen merupakan komponen yang penting pada terapi di rumah sakit. Oksigen harus
dititrasi untuk memperbaiki hipoksemia dengan target SaO2 88-92%. Jika sudah
diberikan oksigen 30-60 menit selanjutnya dilakukan pemeriksaan gas darah untuk
memastikan oksigenasi adekuat tanpa menimbulkan retensi CO2 atau asidosis.
- Inhalasi beta 2 agonis kerja pendek dengan atau tanpa antikolinergik kerja pendek
direkomenndasikan sebagai bronkodilator awal untuk tatalaksana eksaserbasi akut.
Inhalasi beta 2 agonis dapat menggunakan nebulizer maupun metered dose inhaler
(MDI). Apabila pasien tidak mendapatkan nebulizer dapat menggunakan MDI
sebanyak satu sampai dua puff selama satu jam lalu dilanjutkan 2-4 jam tergantung
respon pasien.
- Kortikosteroid sistemik dapat meningkatkan fungsi paru (FEV1), oksigenasi, dan
memperpendek waktu penyembuhan dan rawat inap. Penggunaan kortikosteroid tidak
boleh lebih dari 5-7 hari. Kortikosteroid sistemik yang direkomendasikan adalah
prednisone 40 mg perhari selama 5 hari. Terapi oral maupun intravena memiliki
efektivitas yang sama. Alternatif lain dapat menggunakan nebulizer budesonide dan
memeliki manfaat yang sama seperti metilprenisolon intravena. Terapi kombinasi
ICS/LABA 10 hari pada ISPA dapat menurunkan risikok eksaserbasi, terutama pada
pasien dengan eksaserbasi berat.
- Antibiotic, digunakan sesuai indikasi. Antibiotic dapat memperpendek waktu
penyembuhan, menurunkan resiko kekambuhan, menurunkan resiko gagal terapi, dan
memperpendek waktu rawat inap. Penggunnaan antibiotic selama 5-7 hari. Penggunaan
antibiotic pada pasien eksaserbasi ketika pasien memiliki gejala infeksi bakteri seperti
produksi sputum yang purulent. Pemilihan antibiotic harus disesuaikan dengan pola
resistensi bakteri setempat. Antibiotic empiris awal biasanya aminopenicillin dengan
atau tanpa asam klavulana, makrolid atau tetrasiklin (Hunter&King, 2001).
2.8. Komplikasi
A. Gagal nafas
Gagal nafas kronis dapat diatasi dengan menjaga keseimbangan PO2 dan PCO2,
bronchodilator adekuat, terapi oksigen yang adekuat terutama waktu aktivitas atau waktu
tidur, antioksidan, latihan pernapasan. Gagal nafas akut pada gagal nafas kronis, ditandai
oleh sesak nafas dengan atau tanpa sianosis, sputum bertambah purulent, demam, dan
kesadaran menurun.
B. Infeksi berulang
Pada pasien PPOK produksi sputum berlebih menyebabkan terbentuknya koloni kuman,
hal ini memudahkan terjadinya infeksi berulang.
C. Kor pulmonal
Ditandai oleh P Pulmonal pada EKG, hematokrit > 50%, dapat disertai gagal jantung kanan
(Kristiningrum, 2019).
BAB III
LAPORAN KASUS
Nama : Tn. K
Umur : 67 Tahun
Alamat : Lamongan
Pekerjaan : Petani
Pendidikan Terakhir : SD
Agama : Islam
3.2 Anamnesis
Berdasarkan autoanamnesis dengan pasien pada tanggal 30 Agustus 2022 pukul 01:16
WIB di Instalasi Gawat Darurat RS Muhammadiyah Lamongan.
Keluhan Utama: Sesak Napas
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang dengan keluhan sesak sejak 2 hari yang lalu. Pasien merasakan sesak tiba-tiba
setelah puang Bertani. Sesak dirasakan hilang timbul. Sesak memberat terutama saat
berjalan atau aktivitas berat. Sesak membaik saat posisi duduk. Selain sesak pasien juga
mengeluhkan nafas menjadi pendek dan jantung berdebar-debar. Pasien juga mengeluhkan
batuk, batuk dirasakan hilang timbul disertai dengan dahak warna kekuningan. Selain itu pasien
juga merasakan lemas yang dirasakan bersamaan dengan keluhan sesak. Tidak didapatkan
keluhan bengkak kedua kaki, nyeri dada yang menjalar ke lengan kiri, keringat dingin, pilek,
demam, nyeri perut, mual-muntah, nyeri kepala, dan pusing berputar. Pasien masih bisa kentut
(+). BAB dan BAK tidak ada keluhan.
Riwayat Penyakit Dahulu
- Pasien belum pernah sesak sebelumnya
- Riwayat hipertensi dan diabetes melitus disangkal
- Riwayat batuk-batuk lama disangkal
- Riwayat sakit paru sebelumnya disangkal
- Riwayat sakit jantung sebelumnya disangkal
- Riwayat alergi obat disangkal
Primary Survey
Buku Ajar Paru (2019) Departemen/SMF Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi
Fakultas Kedokteran UNAIR / RSUD Dr. Soetomo-Penyakit Paru Obstruktif Kronis
(PPOK).
Devine JF. Chronic obstructive pulmonary disease: an overview. Am Health Drug Benefits.
2008 Sep;1(7):34-42. PMID: 25126252; PMCID: PMC4106574.
GOLD 2017 (2020) ‘Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease : Pocket Guide
To COPD Diagnosis, Management, and Prevention, A Guide for Health Care
Professionals’, Gold, pp. 1–33. doi: 10.1097/00008483-200207000-00004.
HUNTER, M. and KING, D., 2022. COPD: Management of Acute Exacerbations and
Chronic Stable Disease. [online] Aafp.org. Available at:
<https://www.aafp.org/pubs/afp/issues/2001/0815/p603.html> [Accessed 2 October
2022].
Kristiningrum, E. (2019) ‘Farmakoterapi Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK)’, Cermin
Dunia Kedokteran, 46(4), pp. 262–271.
Menkes RI. Riskesdas (2013). Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian
Kesehatan RI; Jakarta.
WHO (2010). Chronic obstructive pulmonary disease.