Anda di halaman 1dari 28

LAPORAN KASUS

KESEHATAN PERORANGAN

PPOK Eksaserbasi Akut

Diajukan Guna Melengkapi Tugas Program Internsip Dokter Indonesia

Disusun Oleh :
dr. Rizky Istifarina

Pembimbing :
dr. Thanthawy Jauhary, Sp. Rad

PROGRAM INTERNSIP DOKTER INDONESIA

RUMAH SAKIT MUHAMMADIYAH LAMONGAN

LAMONGAN 2022
HALAMAN PENGESAHAN

Nama Penyusun : dr. Rizky Istifarina

Judul Kasus : PPOK Eksasebasi Akut

Pembimbing : dr. Thanthawy Jauhary, Sp. Rad

Lamongan, 03 Oktober 2022

Pembimbing,

dr. Thanthawy Jauhary, Sp. Rad


HALAMAN JUDUL
HALAMAN PENGESAHAN
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
1.2 Tujuan
1.3 Manfaat
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
2.2 Patofisiologi
2.3 Faktor resiko
2.4 Diagnosis
2.5 Assessment
2.6 Diagnosis Banding
2.7 Tatalaksana
2.8 Komplikasi
BAB III LAPORAN KASUS
3.1 Identitas Pasien
3.2 Anamnesis
3.3 Pemeriksaan fisik
3.4 Pemeriksaan penunjang
3.5 Diagnosis
3.6 Planning
3.7 Follow Up harian
DAFTAR PUSTAKA
BAB I

PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang

The American Thoracic Society mendefinisikan PPOK sebagai bronkitis kronis dan
emfisema. Bronkitis kronis ditandai dengan gejala klinis seperti batuk berlebih disertai dengan
produksi sputum, sedangkan emfisema ditandai dengan gejala klinis dyspnea kronis yang
diakibatkan oleh ruang udara yang membesar dan kerusakan jaringan paru (Devine, 2008).
Global initiative for chronic Obstructive Lung Disease (GOLD) mendefinisikan PPOK sebagai
keadaan penyakit yang ditandai dengan keterbatasan aliran udara. Keterbatasan aliran udara
biasanya bersifat progresif dan berhubungan dengan respon inflamasi abnormal paru-paru
terhadap partikel atau gas berbahaya (GOLD, 2020).

Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK) saat ini merupakan penyebab kematian
keempat di dunia, tetapi berpotensi menjadi penyebab kematian ketiga pada tahun 2020. Lebih
dari 3 juta orang meninggal karena PPOK pada tahun 2012 terhitung 6% dari semua kematian
secara global. PPOK merupakan tantangan kesehatan masyarakat yang memerlukan perhatian
lebih, dikarenakan penyakit ini dapat dicegah dan diobati. PPOK merupakan penyebab utama
morbiditas dan mortalitas di seluruh dunia, banyak pasien menderita penyakit ini selama
bertahun-tahun dan meninggal akibat dari proses penyakit itu sendiri atau meninggal akibat
komplikasi yang diderita (GOLD, 2020).

Prevalensi global PPOK pada tahun 2015 sekitar 11,7%, meningkat 44,2% dari tahun
1990, dan menyebabkan kematian pada 3,2 juta orang di tahun 2015. prevalensi PPOK di
Indonesia menurut Riskesdas 2013 adalah 3,7% (pria 4,2%, perempuan 3,3%).

Faktor resiko utama terjadinya PPOK adalah merokok baik secara aktif maupun pasif.
Terkait hal tersebut, Indonesia merupakan salah satu negara berkembang yang memiliki jumlah
perokok aktif yang tinggi. World Health Organization (WHO) telah menetapkan Indonesia
sebagai negara terbesar ketiga di dunia sebagai pengguna rokok. Perilaku merokok di Indonesia
pada penduduk usia > 15 tahun semakin tahun cenderung mengalami peningkatan. Pada tahun
2007 didapatkan 34,2 % perokok, sedangkan pada tahun 2013 didapatkan 36,3 %. Dijumpai
pada tahun 2013 yang perokok aktif sebesar 64,9 % pada pria dan sebesar 2,1 % pada
perempuan. Kejadian Penyakit Paru Obstruksi Kronis dilaporkan sebesar 45% perokok
memiliki resiko lebih besar dibandingkan dengan yang tidak merokok (WHO, 2010).
Berdasarkan penelitian Salaswati (2016) didapatkan bahwa perokok berat sebanyak 34,21%
menderita PPOK derajat III. Selain asap rokok, terdapat faktor resiko lain yang dapat
menyebabkan kejadian PPOK yaitu paparan asap bahan bakar biomassa atau polusi udara,
faktor host seperti abnormalitas genetik dan abnormalitas pertumbuhan paru (GOLD, 2020).

Bertambahnya prevalensi perokok dan populasi usia lanjut, serta peningkatan polusi
udara meningkatkan angka kejadian Penyakit Paru Obstruksi Kronis (PPOK), dimana penyakit
ini dapat dicegah dengan upaya perubahan gaya hidup seperti berhenti merokok untuk
mengurangi progresivitas penyakit. Berdasarkan hal tersebut penulis ingin melaporkan kasus
Penyakit Paru Obstruksi Kronis yang terjadi di Rumah Sakit Muhammadiyah Lamongan
(RSML)

1.2 Tujuan

1. Memahami definisi, etiopatofisiologi, manifestasi klinis, diagnosis pasien PPOK


ekaserbasi akut.
2. Mengetahui tatalaksana dan komplikasi PPOK eksaserbasi akut

1.3 Manfaat

Penulisan laporan ini diharapkan dapat dijadikan sebagai media belajar dalam
melakukan penegakan diagnosis dan tatalaksana pada pasien secara tepat dan
komprehensif.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIS

2.1 Definisi

Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK) merupakan penyakit yang ditandai dengan
gejala pernafasan persisten dan hambatan aliran udara dikarenakan abnormalitas jalan nafas
dan/atau abnormalitas alveolar biasanya disebabkan oleh pajanan partikel noksa atau gas yang
signifikan dan dipengaruhi oleh faktor host seperti pertumbuhan paru-paru yang abnormal
(GOLD, 2020). Sedangkan menurut Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Tahun
2008, PPOK adalah penyakit yang ditandai dengan hambatan aliran udara di saluran nafas yang
tidak sepenuhnya reversible. Hambatan aliran udara ini bersifat progresif dan berhubungan
dengan respons inflamasi paru terhadap partikel atau gas yang beracun atau berbahaya.

2.2. Patofisiologi

− Patologi

Inhalasi asap rokok atau partikel berbahaya lainnya seperti asap dari bahan bakar biomassa
dapat menyebabkan inflamasi pada paru-paru. Inflamasi paru-paru merupakan respon normal
yang muncul. Respon inflamatori kronis dapat menyebabkan destruksi jaringan parenkim
(yang mengakibatkan emfisema), dan gangguan mekanisme perbaikan dan pertahanan.
Perubahan patologis yang dijumpai pada PPOK terlihat dari perubahan jalan nafas, parenkim
paru, dan pembuluh darah paru (GOLD, 2020).

Inflamasi kronis menyebabkan perubahan struktural seperti penyempitan jalan nafas


kecil dan kerusakan parenkim paru yang menyebabkan hilangnya perlekatan alveolar ke jalan
nafas kecil dan penurunan elastisitas paru. Perubahan ini mengurangi kemampuan jalan napas
untuk tetap terbuka selama ekspirasi. Hilangnya jalan napas kecil juga dapat menyebabkan
hambatan aliran udara dan disfungsi mukosiliar yang merupakan ciri khas penyakit ini.
Perubahan patologis ini menyebabkan gas-gas pada paru terperangkap (gas trapping) dan
hambatan aliran udara yang progresif yang menimbulkan manifestasi klinis sesak pada saat
aktivitas. Seiring berjalannya waktu difragma akan mendatar dan tulung rusuk akan mengalami
pelebaran. Secara umum, inflamasi dan perubahan struktural di saluran nafas berjalan
beriringan dengan keparahan penyakit dan proses inflamasi tetap bertahan meskipun
penghentian merokok sudah dilakukan (GOLD, 2020; Devine, 2008).

− Patogenesis

Inflamasi saluran pernafasan yang diamati pada pasien PPOK merupakan respons
normal dari jalur pernafasan dikarenakan iritasi kronis terhadap asap rokok atau partikel
berbahaya lainnya. Stress oksidatif dan kadar proteinases yang tinggi pada paru memiliki
kecenderungan menyebabkan inflamasi paru.

Stress oksidatif merupakan mekanisme penting yang terjadi pada penderita PPOK.
Biomarker stress oksidatif (hydrogen peroxide, 8-isoprostane) meningkat pada ekspirasi
kondensat, sputum, dan sirkulasi sistemik pasien PPOK. Stress oksidatif juga meningkat pada
saat eksaserbasi. Oxidant berasal dari asap rokok dan partikel lain yang terhirup, dan dihasilkan
dari aktivasi sel inflamatori seperti makrofag dan neutrophil. Hal ini pula yang menyebabkan
penurunan produksi antioksidan endogen pada pasien PPOK.

Peningkatan level protease yang merupakan derivate dari sel inflamatori dan sel
epithelial menyebabkan destruksi elastin yang merupakan komponen utama jaringan ikat pada
parenkim paru, yang dipercaya berperan penting dalam terjadinya emphysema. Terdapat bukti
yang meyakinkan bahwa terdapat ketidak seimbangan antara protease yang memecah jaringan
ikat dan antiprotease yang mencegah pemecahan jaringan ikat pada paru pasien yang
mengalami PPOK.

Penyakit Paru Obstruktif Kronis memiliki karakteristik meningkatan jumlah makrofag


di jalan nafas perifer, parenkim paru, dan pembuluh darah paru, disertai dengan peningkatan
neutropil dan limfosit yang meliputi Tc1, Th1, Th17, dan ILC3. Pada beberapa pasien terdapat
peningkatan eosinophil, Th2 atau ILC2. Sel-sel inflamatori inilah yang mengeluarkan mediator
inflamasi. Peningkatan mediator inflamasi pada pasien PPOK menarik sel inflamatori dari
sirkulasi (chemotactic factor), sehingga memperkuat proses inflamatori dan menyebabkan
perubahan structural (GOLD, 2020).

- Patofisiologi

Hambatan aliran udaran dan gas trapping akibat dari inflamasi yang berkepanjangan,
fibrosis, dan eksudat luminal pada jalan nafas kecil berhbungan dengan penurunan nilai FEV1
dan rasio FEV1/FVC yang merupakan karakteristik pasien dengan PPOK. Hambatan aliran
udara perifer secara progresif menyebabkan gas terperangkap selama ekspirasi sehingga terjadi
hiperinflasi. Hiperinflasi yang terjadi menyebabkan penurunan kapasitas inspirasi dan biasanya
berhubungan dengan gejala sesak nafas dan keterbatasan kapasitas latihan. Diperkirakan
bahwa hiperinflasi berkembang pada awal penyakit dan merupakan mekanisme utama
terjadinya sesak nafas (dispnea) saat beraktivitas. Bronkodilator yang bekerja pada saluran
udara perifer mengurangi gas trapping, sehingga mengurangi volume paru-paru, meringankan
gejala dan mingkatkan kapasitas latihan.

Penderita dengan Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK) mengalami abnormalitas


pertukaran gas sehingga terjadi hipoksemia dan hiperkapnia. Secara umum, pertukaran gas
oksigen dan karbon dioksida memburuk seiring dengan progresivitas penyakit. Berkurangnya
ventilasi juga dapat disebabkan oleh berkurangnya penggerak ventilasi dikarenakan adanya
hiperinflasi ditambah dengan gangguan otot ventilasi atau peningkatan ventilasi ruang mati.
Hal ini dapat menyebabkan retensi karbon dioksida.

Produksi mucus berlebih tidak terjadi pada semua pasien PPOK. Produksi mucus
berlebih ini dikarenakan peningkatan jumlah sel goblet dan pembesaran kelenjar submucosal
yang disebabkan oleh iritasi kronis jalan nafas oleh asap rokok atau agen berbahaya lainnya.

Kejadian hipertensi pulmonal pada pasien PPOK biasanya terjadi lambat. Hipertensi
pulmonal diakibatkan vasokonstriksi arteri pulmonal kecil, yang pada akhirnya menyebabkan
perubahan structural hyperplasia intimal yang selanjutnya akan menjadi hipertrofi/hyperplasia
otot polos. Proses inflamasi pada pembuluh darah menyebabkan disfungsi endothelial.
Hilangnya pulmonary capillary bed pada emfisema dapat berkontribusi dalam peningkatan
tekanan sirkulasi pulmonal. Hipertensi pulmonal yang progresif dapat menyebabkan hipertrofi
ventrikel kanan dan pada akhirnya akan menyebabkan gagal jantung kanan (GOLD, 2020).

Penyakit Paru Obstruktif Kronis dapat mengalami eksaserbasi. Eksaserbasi ini dipicu
oleh infeksi bakteri ataupun virus dan polusi lingkungan. Selama eksaserbasi terjadi
peningkatan hiperinfllasi dan gas trapping, dengan hambatan aliran ekspirasi yang
menyebabkan sesak nafas. Didapatkan pula perburukan VA/Q yang menyebabkan hipoksemia.
Selama eksaserbasi didapatkan adanya peningkatan inflamasi jalan nafas (GOLD, 2020).

2.3. Faktor Resiko

Faktor resiko yang menyebabkan terjadinya Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK)
adalah sebagai berikut (Kristiningrum, 2019):

− Perokok, baik perokok aktif maupun perokok pasif, merupakan faktor resiko terpenting
− Genetik, kekurangan alpha-1 antitrypsin, protein yang berperan menjaga elastisitas
paru.
− Polusi udara/paparan terhadap partikel berbahaya
− Stress oksidatif
− Tumbuh kembang paru yang kurang optimal
− Status sosioekonomi yang rendah
− Riwayat penyakit respirasi (terutama asma)
− Riwayat infeksi paru pada masa kanak-kanak
− Riwayat PPOK atau penyakit respirasi lain di keluarga
− Riwayat Eksaserbasi atau pernah di rawat di RS untuk penyakit respirasi

2.4. Diagnosis

Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK) harus dipertimbangkan pada setiap pasien
yang mengalami dispnea (sesak napas), batuk kronis atau produksi sputum, dan/atau riwayat
pajanan faktor risiko penyakit (asap rokok, polusi udara). Spirometri diperlukan untuk
membuat diagnosis, Nilai FEV1/FVC <0,70 pasca-bronkodilator menegaskan adanya
hambatan aliran udara persisten dan dengan demikian PPOK pada pasien dengan gejala yang
sesuai dan paparan signifikan terhadap rangsangan berbahaya (GOLD, 2020).

PPOK adalah penyakit yang berkembang lambat dengan fase asimtomatik yang
panjang, di mana fungsi paru terus menurun. Batuk terus-menerus, terutama dengan produksi
sputum, adalah gejala umum. Dispnea, terutama saat aktivitas, mengi, dan sesak dada juga
dapat terjadi. Pasien sering datang dengan eksaserbasi akut pertama pada stadium lanjut. Gejala
biasanya tidak terjadi sampai volume ekspirasi paksa dalam 1 detik (FEV1) kira-kira 50% dari
nilai normal yang diperkirakan. Seiring perkembangan penyakit, eksaserbasi dapat menjadi
lebih sering dan komplikasi yang mengancam jiwa dapat berkembang. PPOK stadium akhir
ditandai dengan keterbatasan aliran udara yang parah, kinerja yang sangat terbatas, dan
komplikasi sistemik. Pasien sering kali mengalami gagal napas atau infeksi paru. Efek
ekstrapulmoner yang terkait dengan PPOK termasuk penurunan berat badan, kelainan nutrisi,
dan atrofi otot (Devine, 2008).

Gejala klinis PPOK terutama berkaitan dengan respirasi. Keluhan respirasi ini harus
diperiksa dengan teliti karena seringkali dianggap sebagai gejala yang biasa terjadi pada proses
penuan. Gejala klinis PPOK adalah sebagai berikut:
- Sesak nafas, sesak nafas merupakan gejala utama PPOK, yang menyebabkan
disabilitas dan kecemasan. Pasien dengan PPOK mendeskripsikan sesak nafas
mereka sebagai peningkatan upaya untuk bernafas, dada yang memberat, air
hunger, atau terengah-engah (GOLD, 2020). Sesak nafas dapat diukur
menggunakan skala sesak sebagai berikut (Kemenkes, 2008):

Gambar 1. Skala Sesak


- Batuk kronik, batuk kronik adalah batuk hilang timbul selama 3 bulan yang tidak
hilang dengan pengobatan yang diberikan.
- Berdahak kronik
- Wheezing dan Chest tightness

Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam menilai gambaran kinis pada pasien PPOK
adalah onset (awal terjadinya penyakit) biasanya pada usia pertengahan, perkembangan gejala
yang bersifat progresif lambat, riwayat pajanan seperti asap rokok ataupun polusi udara
(didalam ruangan, luar ruangan, dan tempat kerja), sesak pada saat melakukan aktivitas, dan
hambatan aliran udara umumnya irreversible (tidak bisa kembali normal) (Kemenkes, 2008).

Pemeriksaan fisik pada pasien penyakit paru obstruktif kronis, pada tahap awal bisa
tidak ditemukan kelainan. Secara umum pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan hal-hal
sebagai berikut (Kemenkes, 2008):

- Inspeksi: Bentuk dada barrel chest yang menandakan hiperinflasi(dada seperti


tong), terdapat cara bernapas purse lips breathing (seperti orang meniup), terlihat
penggunaan dan hpertrofi (pembesaran) otot bantu nafas, pelebaran sela iga.
- Perkusi: Hipersonor
- Auskultasi: fremitus melemah, suara nafas vesikuler melemah atau normal,
ekspirasi memanjang, mengi/wheezing (biasanya timbul pada eksaserbasi), ronki.
Pemeriksaan penunjang yang diperlukan untuk mendiagnosis pasien dengan kecurigaan
PPOK adalah radiologi foto thorax, spirometry, laboraturium darah rutin (timbulnya
polisitemia menunjukkan telah terjadi hiposia kronik), analisis gas darah, dan mikrobiologi
sputum (diperlukan untuk pemilihan antibiotic bila terjadi eksaserbasi). Pada radiologi foto
thorax didapatkan gmbaran paru hiperinflasi atau hiperlusen, diafragma mendatar, corakan
bronkovakular meningkat, bulla, dan jantung pendulum (Kemenkes, 2008).

2.5. Assessment

Penilaian pada pasien PPOK ini bertujuan untuk menentukan keparahan hambatan
aliran udara, dampaknya pada status kesehtan dan resiko kejadian yang akan datang serta
panduan pengobatan.

- Asesmen hambatan aliran udara


Penilaian hambatan aliran udara menggunakan spirometry. Pemeriksaan spirometry
dilakukan setelah pemberian inhalasi bronkodilator kerja pendek untuk mengurangi
variabilitas. Klasifikasi hambatan aliran udara setelah pemeberian bronkodilator
adalah sebagai berikut (GOLD, 2020):

Gambar 2. Klasifikasi hambatan aliran udara post-bronkodilator


- Asesmen gejala
Pasien dengan penyakit paru obstruktif kronis ditandai dengan gejala sesak nafas.
Dalam penilaian gejala sesak nafas ini dapat menggunakan kuesioner Modified
British Medical Research Council (mMRC). Kuesioner mMRC ini dapat
memprediksi status kesehatan pasien dan memprediksi risiko kematian. Selain
menggunakan kuesioner mMRC untuk menilai gejala sesak nafas, dapat
menggunakan COPD Assessment Test (CAT) dan The COPD Control
Questionnaire (The CCQ) untuk menilai status Kesehatan pasien (GOLD, 2020).
Gambar 3. Kuesioner mMRC

Gambar 4. Kuesioner CAT


- Asesmen resiko eksaserbasi.
Eksaserbasi didefinisikan sebagai perburukan akut gejala pernapasan. Eksaserabasi
diklasifikasikan menjadi ringan (terapi dengan bronkodilator keja pendek saja),
sedang (terapi dengan bronkodilator kerja pendek ditambah antibiotic dan/atau
kortikosteroid oral) dan berat (memerlukan rawat inap atau gejala menyebabkan
pasien datang ke IGD). Perburukan hambatan aliran udara dikaitkan dengan
peningkatan prevalensi eksaserbasi. Terdapat hubungan yang signifikan antara
perburukan hambatan aliran udara (diukur dengan spirometry) dan risiko
eksaserbasi. Pasien dengan GOLD 2 terdapat sekitar 20% mengalami eksaserbasi
yang memerlukan pengobatan dengan antibiotic dan/atau kortikosteroid sistemik.
Resiko eksaserbasi meningkat pada pasien dengan GOLD 3 dan GOLD 4 (GOLD,
2020).
- Asesmen Komorbid
Pasien PPOK sering disertai dengan penyakit kronis konkomitan saat didiagnosis,
beberapa komorbid yang sering ditemukan adalah penyakit kardiovaskular,
disfungsi otot skeletal, sindroma metabolic, osteoporosis, depresi dan kanker paru.
Komorbid dapat dijumpai pada pasien dengan hambatan aliran udara ringan,
sedang, maupun berat. Hal ini mempengaruhi mortalitas dan hospitalisasi dan perlu
mendapatkan terapi spesifik untuk komorbid yang diderita. Oleh sebab itu
komorbid harus dicari secara rutin dan diterapi secara tepat pada pasien PPOK
(GOLD, 2020).
- Asesmen kombinasi
Kombinasi asesmen bertujuan untuk mengetahui dampak PPOK pada masing-
masing individu. Kombinasi asesmen ini terdiri dari asesmen gejala, keparahan
spirometry dan atau risiko ekaserbasi. Kombinasi asesmen ini dapat menggunakan
“The ABCD assessment tool”. Dalam menggunakan “The ABCD Assessment
Tool” diperlukan data spirometry untuk melihat keparahan hambatan aliran udara,
penilaian sesak menggunakan mMRC atau penilaian gejala menggunakan CAT,
dan riwayat eksaserbasi sebelumnya (termasuk riwayat masuk rumah sakit karena
eksaserbasi) (GOLD, 2020).

Gambar 5. The ABCD Assessment Tool


2.6 Diagnosis Banding

− Penyakit Paru Obstruktif Kronis


Onset gejala PPOK muncul pada usia pertengahan tahun, gejala biasanya progressive
lambat, didapatkan adanya riwayat merokok atau paparan bahan berbahaya lainnya.
− Asma
Onset gejala asma muncul pada awal usia (pada masa anak-anak), gejala sangat
bervariasi dari hari ke hari, gejala dapat memberat pada malam hari/pagi hari. Biasanya
disertai dengan alergi lain seperti rhinitis dan/atau eczema, riwayat keluarga asma, dan
koeksisten dengan obesitas
- Congestive Heart Failure
Foto thorax pada pasien gagal jantung kongetif didapatkan adanya pembesaran jantung
dan edema pulmonum. Pada tes fungsi paru tidak didapatkan adanya hambatan aliran
udara.
- Bronchiectasis
Pada bronchiectasis didapatkan dahak purulent dalam jumlah banyak. Produksi dahak
yang banyak terutama pada pagi hari. Biasanya berkaitan dengan infeksi bakteri. Pada
pemeriksaan foto thorax / CT-Scan didapatkan adanya pelebaran bronkus, penebalan
dinding bronkus.
- Tuberkulosis
Onset pada semua usia. Pada pemeriksaan foto thorax didapatkan infiltrat pada lapang paru.

2.7. Tatalaksana

Penatalaksanaan PPOK bertujuan untuk mengurangi gejala, mencegah progresivitas


penyakit, meningkatkan toleransi Latihan, meningkatkan status Kesehatan, mencegah dan
menangani komplikasi, mencegah dan menangani ekaserbasi, dan menurunkan angka kematian
(GOLD, 2020).

A. Pencegahan dan terapi pemeliharaan


- Berhenti merokok
Berhenti merokok sangat bermafaat dalam perjalanan alamiah penyakit PPOK.
Farmakoterapi untuk berhenti merokok adalah produk pengganti nikotin (nicotine
gum, nasal spray). Bahan farmakologi seperti bupropion, varenicline (Amin et all,
2019).
- Vaksinasi
Vaksinasi influenza dapat menurunkan kejadian infeksi saluran napas bawah dan
kematian pada PPOK. Selain itu, vaksin pneumokokus juga menurunkan kejadian
infeksi saluran napas bawah, direkomendasikan untuk pasien PPOK berusia > 65
tahun (Amin et all, 2019; GOLD,2020).
- Rehabilitasi pulmonal

Rehabilitasi paru bertujuan untuk memperbaiki gejaa, kualita hidup, patisipasi fisik
dan emosi penderita PPOK dalam aktivitas harian. Program rehabilitasi optimum
dicapai selama 6-8 minggu (Amin et all, 2019).

B. Tatalaksana PPOK Stabil


Tujuan terapi pada PPOK stabil adalah untuk mengurangi gejala dan mengurangi
faktor resiko terjadinya eksaserabsi di kemudian hari. Selain itu juga memperbaiki status
kesehatan dan kemampuan latihan.
Terapi PPOK stabil berdasarkan combined COPD assessment, dimana tatalaksana
PPOK dibagi dalam kelompok ABCD. Umumnya obat yang diberikan dalam bentuk
inhalasi sehingga perlu memperhatikan teknik pemakaian obat waktu memberikan terapi.
Berikut adalah tabel inisial terapi farmakologis pada pasien PPOK stabil
berdasarkan combined COPD assessment yang dibagi dalam empat kelompok, yaitu (Amin
et all, 2019; GOLD 2020):
- Kelompok A
Semua pasien kelompok A ditawarkan obat bronchodilator karena memiliki efek
menghilangkan sesak. Bronchodilator yang digunakan bisa kerja singkat ataupun kerja
panjang.
- Kelompok B
Bronchodilator kerja panjang merupakan terapi awal untuk kelompok ini. Sebagai
terapi awal dapat diberikan satu bronchodilator kerja panjang (LABA/LAMA), pada
pasien yang masih ada keluhan sesak direkomendasikan mengunakan dua
bronchodilator kerja panjang dengan memilih bronchodilator kerja panjang dari
golongan lain misalnya LAMA.
- Kelompok C
Terapi awal menggunakan bronchodilator kerja panjang. Menurut rekomendasi GOLD
penggunaan terapi awal untuk kelompok C dapat diberikan LAMA. Apabila masih
mengalami eksaserbasi direkomendasikan menambah bronchodilator kerja panjang ke
dua seperti LAMA+LABA atau LABA+ICS.
- Kelompok D
Terapi dapat dimulai dengan LAMA, untuk pasien dengan banyak keluhan dapat
menggunakan LAMA+LABA sebagai terapi awal. Pada beberapa pasien dapat
menggunakan ICS + LABA terbukti paling memungkin mengurangi eksaserbasi pada
pasien dengan jumlah eosinophil darah ≥ 300 sel/uL.

Gambar 6. Terapi inisial untuk PPOK Stabil.

- Tindak lanjut (Follow Up) tatalaksana PPOK stabil


Tindak lanjut tatalaksana PPOK dipandu oleh prinsip review, assess, dan adjust
yaitu evaluasi gejala (sesak) dan risiko eksaserbasi, assess teknik penggunaan inhaler,
kepatuhan terhadap terapi non-farmakologi, selanjutnya terapi farmakologi di adjust
untuk eskalasi maupun de eskalasi (GOLD, 2020).
Apabila pasien masih mengeluh sesak atau hambatan aktivitas dengan terapi
ICS+LABA, terapi di eskalasi dengan menambahkan LAMA sehingga menjadi 3
terapi.
Apabila pasien tetap mengalami eksaserbasi dengan terapi LABA+LAMA, maka
terdapat dua pilihan terapi yaitu pemeriksaan jumlah eosinifil darah tepi untuk melihat
respons terhadap ICS. Eskalasi menjadi ICS+LABA+LAMA manfaat tambahan dapat
ditemukan pada pasien dengan jumlah eosinophil >100 sel/uL. Menambahkan
roflumilast atau azitromicin jika eosinophil < 100 sel/uL.
Gambar 7. Tindak lanjut tatalaksana PPOK stabil

C. Tatalaksana PPOK Eksaserbasi


PPOK Eksaserbasi didefinisikan sebagai perburukan gejala pernapasan akut yang
memerlukan terapi tambahan. Eksaserbasi dapat dipicu oleh beberapa faktor, yang paling
sering adalah dikarenkan infeksi saluran pernapasn. Penyebab lain adalah polusi udara,
kelelahan, dan adanya komplikasi. Gejala eksaserbasi akut PPOK adalah sesak napas
bertambah, produksi sputum meningkat, perubahan warna sputum (sputum menjadi lebih
purulent) dan bersamaan dengan hal tersebut didapatkan gejala batuk dan mengi (wheeze).
Eksaserbasi akut PPOK merupakan kejadian penting dalam perjalanan penyakit
PPOK karena berefek negative pada kualitas hidup pasien, memperburuk gejala dan fungsi
paru yang membutuhkan waktu beberapa minggu untuk pulih, mempercepat laju
penurunan fungi paru, berhubungan secara bermakna dengan mortalitas terutama yang
memerlukan rawat inap, dan menyebabkan beban sosioekonomi tinggi (Kristiningrum,
2019).
Eksaserbasi akut PPOK biasanya dipicu oleh infeksi virus pada sistem respirasi,
infeksi bakteri, dan faktor lingkungan seperti polusi dan suhu lingkungan. Infeksi virus
tersering adalah rhinovirus (penyebab common cold). Ketika ada infeksi virus, eksaserbasi
yang terjadi menjadi lebih berat dan berlangsung lebih lama. Pada eksaserbasi PPOK
biasanya gejala berlangsung selama 7—10 hari (Amin et all, 2019).
Eksaserbasi dibagi menjadi eksaserbasi ringan, eksaserbagi sedang, dan
eksaserbasi berat. Eksaserbasi ringan terdiri 1 gejala ditambah infeksi saluran napas atas
lebih dari 5 hari, demam tanpa sebab lain, peningkatan batuk, peningkatan mengi atau
peningkatan frekuensi pernapasan atau frekunsi nadi. Eksaserbasi sedang terdiri dari 2
gejala diantara 3 gejala. Ekaserbasi berat didapatkan 3 gejala, pasien datang ke instalasi
gawat darurat dan membutuhkan perawatan di rumah sakit. Eksaserbasi berat berisiko
menyebabkan gagal nafas (Kristiningrum, 2019).
Tujuan tatalaksana eksaserbasi akut PPOK adalah meminimalisir efek negative dari
eksaserbasi saat ini dan mencegah berkembangnya perjalanan penyakit. Tergantung dari
keparahan dari eksaserbasi dan keparahan penyakit yang mendasari, eksaserbasi PPOK
dapat di tatalaksana secara rawat jalan maupun rawat inap.
Indikasi rawat inap pasien dengan eksaserbasi PPOK adalah (GOLD, 2020):
- Gajala meningkat dengan hebat seperti sesak waktu istirahat dengan mendadak,
peningkatan laju nafa, saturasi oksigen yang menurun, didapatkan adanya perubahan
status mentasl seperti gelisah dan somnolen (rasa mengantuk).
- Gagal nafas akut → dikonfirmasi dengan pemeriksaan analisis gas darah
- Ditemukan tanda fisik baru seperti sianosis atau edema perifer.
- Gagal dengan terapi awal
- Ditemukan komorbid serius seperti gagal jantung atau aritmia yang baru ditemukan
- Sering eksaserbasi
- Usia tua
- Insufficient home support
Indikasi perawatan pasien di ruang ICU adalah sebagai berikut (GOLD, 2020):
- Perubahan status mental: bingung, letargi, koma
- Hipoksemia persisten atau meburuk (PaO2 40 mmHg) dan atau asidosis respiratori
berat/membururk (pH < 7.25) meskipun dengan oksigen dan NIV
- Memerlukan ventilator mekanik
- Hemodinamik tidak stabil (memerlukan vasopressor)
Presentasi klinis pasien dengan eksaserbasi PPOK sangat beragam sehinga pada
pasien yang membutuhkan rawat inap perlu dibedakan tingat keparahannya dengan
klasifikasi sebagai berikut, yaitu (GOLD, 2020):
- Eksaserbasi tanpa disertai gagal nafas
Respiratory rate sekitar 20-30x per menit, tidak menggunakan otot bantu nafas, tidak
ada penurunan kesadaran, hipoksemia membaik dengan suplementasi oksigen dengan
venturi mask (FiO2 24-35%), tidak ada peninigkatan PaCO2.
- Eksaserbasi dengan gagal nafas akut – tidak mengancam jiwa
Respiratory rate >30x per menit, menggunakan otot bantu nafas tidak didapatkan
penurunan kesadaran, hipoksemia membaik dengan suplementasi oksigen via venturi
mask (FiO2 24-35%), Hypercarbia dengan peningkatan PCO2 antara 50-60 mmHg.
- Eksaserbasi dengan gagal nafas akut – mengancam jiwa
Respiratory rate >30x per menit, menggunakan otot bantu nafas, didapatkan adanya
penurunan kesadaran, hipoksemia tidak membaik dengan venturi mask atau
membutuhkan FiO2 > 40%, didapatka hypercarbia dengan peningatan PCO2 > 60
mmHg atau diatas baseline, dan didapatkan adanya asidosis (pH < 7.25).

Inti tatalaksana eksaserbasi PPOK adalah sebagai berikut (GOLD, 2020):

- Terapi oksigen
Oksigen merupakan komponen yang penting pada terapi di rumah sakit. Oksigen harus
dititrasi untuk memperbaiki hipoksemia dengan target SaO2 88-92%. Jika sudah
diberikan oksigen 30-60 menit selanjutnya dilakukan pemeriksaan gas darah untuk
memastikan oksigenasi adekuat tanpa menimbulkan retensi CO2 atau asidosis.
- Inhalasi beta 2 agonis kerja pendek dengan atau tanpa antikolinergik kerja pendek
direkomenndasikan sebagai bronkodilator awal untuk tatalaksana eksaserbasi akut.
Inhalasi beta 2 agonis dapat menggunakan nebulizer maupun metered dose inhaler
(MDI). Apabila pasien tidak mendapatkan nebulizer dapat menggunakan MDI
sebanyak satu sampai dua puff selama satu jam lalu dilanjutkan 2-4 jam tergantung
respon pasien.
- Kortikosteroid sistemik dapat meningkatkan fungsi paru (FEV1), oksigenasi, dan
memperpendek waktu penyembuhan dan rawat inap. Penggunaan kortikosteroid tidak
boleh lebih dari 5-7 hari. Kortikosteroid sistemik yang direkomendasikan adalah
prednisone 40 mg perhari selama 5 hari. Terapi oral maupun intravena memiliki
efektivitas yang sama. Alternatif lain dapat menggunakan nebulizer budesonide dan
memeliki manfaat yang sama seperti metilprenisolon intravena. Terapi kombinasi
ICS/LABA 10 hari pada ISPA dapat menurunkan risikok eksaserbasi, terutama pada
pasien dengan eksaserbasi berat.
- Antibiotic, digunakan sesuai indikasi. Antibiotic dapat memperpendek waktu
penyembuhan, menurunkan resiko kekambuhan, menurunkan resiko gagal terapi, dan
memperpendek waktu rawat inap. Penggunnaan antibiotic selama 5-7 hari. Penggunaan
antibiotic pada pasien eksaserbasi ketika pasien memiliki gejala infeksi bakteri seperti
produksi sputum yang purulent. Pemilihan antibiotic harus disesuaikan dengan pola
resistensi bakteri setempat. Antibiotic empiris awal biasanya aminopenicillin dengan
atau tanpa asam klavulana, makrolid atau tetrasiklin (Hunter&King, 2001).

Gambar 8. Antibiotik yang digunakan ketika PPOK eksaserbasi akut.

- Methylxanntine tidak direkomendasikan


- Ventilasi mekanik non-invasive digunakan pada pasien PPOK dengan gagal nafas akut
yang tidak memiliki kontraindikasi. Ventilasi mekanik non-invasive meningkatkan
pertukaran gas, memperbaiki asidosis respirasi akut, menurunkan respirasi dan kerja
napas, keparahan sesak napas dan lama perawatan di rumah sakit. NIV juga
menurunkan angka mortalitas dan kebutuhan intubasi pada pasien eksaserbasi.
- Ventilasi mekanik invasive
Indikasi ventilasi mekanik invasive adalah tidak dapat mentoleransi NIV atau gagal
dengan NIV, post cardiac arrest, agitasi psikomotor (gelisah), muntah persisten, ketidak
mampuan untuk mengeluarkan sekret karena terlalu banyak, ketidak seimbangan
hemodinamik yang tidak respon dengan cairan maupun obat vasoaktif, aritmia berat,
hipoksemia yang mengancam jiwa yang tidak respons dengan NIV.

2.8. Komplikasi

A. Gagal nafas
Gagal nafas kronis dapat diatasi dengan menjaga keseimbangan PO2 dan PCO2,
bronchodilator adekuat, terapi oksigen yang adekuat terutama waktu aktivitas atau waktu
tidur, antioksidan, latihan pernapasan. Gagal nafas akut pada gagal nafas kronis, ditandai
oleh sesak nafas dengan atau tanpa sianosis, sputum bertambah purulent, demam, dan
kesadaran menurun.
B. Infeksi berulang
Pada pasien PPOK produksi sputum berlebih menyebabkan terbentuknya koloni kuman,
hal ini memudahkan terjadinya infeksi berulang.
C. Kor pulmonal
Ditandai oleh P Pulmonal pada EKG, hematokrit > 50%, dapat disertai gagal jantung kanan
(Kristiningrum, 2019).
BAB III

LAPORAN KASUS

3.1 Identitas Pasien

Identitas pasien adalah sebagai berikut:

Nama : Tn. K

Umur : 67 Tahun

Jenis Kelamin : Laki-laki

Alamat : Lamongan

Pekerjaan : Petani

Pendidikan Terakhir : SD

Status : Sudah Menikah

Agama : Islam

Tanggal Masuk : 30 Agustus 2022

3.2 Anamnesis

Berdasarkan autoanamnesis dengan pasien pada tanggal 30 Agustus 2022 pukul 01:16
WIB di Instalasi Gawat Darurat RS Muhammadiyah Lamongan.
Keluhan Utama: Sesak Napas
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang dengan keluhan sesak sejak 2 hari yang lalu. Pasien merasakan sesak tiba-tiba
setelah puang Bertani. Sesak dirasakan hilang timbul. Sesak memberat terutama saat
berjalan atau aktivitas berat. Sesak membaik saat posisi duduk. Selain sesak pasien juga
mengeluhkan nafas menjadi pendek dan jantung berdebar-debar. Pasien juga mengeluhkan
batuk, batuk dirasakan hilang timbul disertai dengan dahak warna kekuningan. Selain itu pasien
juga merasakan lemas yang dirasakan bersamaan dengan keluhan sesak. Tidak didapatkan
keluhan bengkak kedua kaki, nyeri dada yang menjalar ke lengan kiri, keringat dingin, pilek,
demam, nyeri perut, mual-muntah, nyeri kepala, dan pusing berputar. Pasien masih bisa kentut
(+). BAB dan BAK tidak ada keluhan.
Riwayat Penyakit Dahulu
- Pasien belum pernah sesak sebelumnya
- Riwayat hipertensi dan diabetes melitus disangkal
- Riwayat batuk-batuk lama disangkal
- Riwayat sakit paru sebelumnya disangkal
- Riwayat sakit jantung sebelumnya disangkal
- Riwayat alergi obat disangkal

Riwayat Penyaki Keluarga

- Tidak ada keluarga yang mengalami keluhan serupa


- Riwayat hipertensi dan diabetes melitus disangal

Riwayat Pemberian Obat

- Pasien tidak pernah konsumsi obat sebelumnya


- Pengobatan TB 6 bulan disangkal

3.3 Pemeriksaan Fisik

Primary Survey

• A: Clear, Gargling (-), Speak fluently (+), Potensial obstruksi (-)


• B: Spontan, RR 26x/menit, Ves/Ves, Rh-/-, Wh-/-, SaO2 95% tanpa O2 support
• C: Akral HKM, CRT < 2 detik, N 114x/menit, TD 150/104 mmHg
• D: GCS 456, Lateralisasi -, PBI 3mm/3mm, RC +/+
• E: Temperature 36.6oC
Secondary Survey
- Kepala-Leher
Kesadaran: Compos Mentis GCS: 456
Anemis-/ Icteric -/Cyanosis -/Dyspneu +
- Thorax
Inspeksi: Simetris
Palpasi: Fremitus raba N/N
Perkusi: Sonor +/+, Batas jantung kesan N
Auskultasi: Cor: S1S2 Tunggal, Mur-mur (-), Gallop (-)
Pulmo: Ves+/+, Rh -/-, Wz +/+
- Abdomen
Inspeksi: Flat
Auskultasi: Bising usus + N
Palpasi: Soepel, Nyeri tekan - epigastrium, Hepar/Lien tidak teraba, Undulasi –
Perkusi: Timpani
- Ekstremitas
Akral HKM, CRT < 2 detik, Oedem -/-.

3.4 Pemeriksaan Penunjang


- Laboratorium

Jenis Hasil Nilai Jenis Hasil Nilai


Pemeriksaan Normal Pemeriksaan Normal
Eritrosit 4.93 3.80 - Gula Darah 121
5.30 Acak
Hemoglobin 15.7 P13,0 - Kalium 4.3 3.6 – 5.5
18,0
serum
L14,0 -
18,0
Laju Endap 21 0-1 Natrium 135 135 – 155
Darah serum
Limposit 4.8 25.0 - Clorida 98 70-108
33.0 serum
ALC 0.5 . Serum 0.8 P 0.7 - 1.2
L. 0.8 -
Creatinin
1.5
Basofil 0.6 0.0 - 1.0
Eosinopil 1.2 1.0 - 2.0
Hematokrit 47.2 L 40 -54
P 35 - 47
Lekosit 10.1 4.0 - 11.0
MCH 31.80 28.00 -
36.00
MCHC 33.30 31.00 -
37.00
MCV 95.70 87.00 -
100
Monosit 9.0 3.0 - 7.0
MPV 6 5 - 10
Neutropil 84.4 49.0 -
67.0
NLR 17.6 0.0 - 3.13
RDW 11 10 - 16.5
Trombosit 327 150 - 450

Blood Gas Analysis

Jenis Pemeriksaan Hasil Nilai Normal


Clorida 100 96 – 108 mmol/L
Kalium 4.16 3.4 – 4.5 mmol/L
Natrium 131 134-146 mmol/L
Be 4.5
Beecf 5.8
HCO3 28.5 22-26
PCO2 51.5 32-45
Ph 7.393 7.35 – 7.45
PO2 242 75 – 100
SO2 99.5 > 94%

- Foto Polos Thorax

− Airway: Tidak didapatkan adanya deviasi trakea


− Bone: Tidak didapatkan diskontinyuitas pada tulang clavicula, costae,
maupun vertebra.
− Costophrenic angle: Costopheric angle D/S lancip
− Diafragma: didapatkan diafragma kesan mendatar setinggi Th10
− Edge of the heart: jantung kesan seperti pendulum, pinggang jantung
menyempit
− Field of lung: paru-paru kesan mengalami hiperinflasi
− Gastric bubble: tidak tampak gastric bubble
− Hilum: dalam batas normal
− Instrument: -
3.5 Diagnosis
− Diagnosis Kerja: Dyspnoea
− Diagnosis Primer: PPOK eskaserbasi akut
− Diagnosis Sekunder: -
− Diagnosis Komplikasi: -
3.6 Planning

Terapi Monitoring Edukasi

O2 NRM 7 lpm Keluhan sesak, laju Edukasi terkait


IVFD RL 1000ml/24 jam nafas, saturasi penyakit, gejala,
Inj. Pantoprazole 1x40mg oksigen, suara nafas komplikasi,
Konsultasi
tambahan post pengobatan, dan
Dr. Ganis Tjahyono Sp.P →
Nebul Pulmicort + Velutine nebulisasi prognosis
per 8 jam
Fluimucil 2x600mg
Ceftriaxone 2x1gr
Masuk ruangan biasa

3.7 Follow Up pasien di ruangan


Tanggal
Hasil Follow Up
Evaluasi
31/08/22 S: pasien masih merasakan sesak
O: GCS 456, SpO2 99% NRM, RR 25x/menit, Wz +/+
A: PPOK ekaserbasi akut
P: O2 NRM 7 lpm, IVFD RL 1000cc/24 jam, Inj. Pantoprazole
1x40mg, Nebulasi Velutine + Pulmicort/8 jam, Inj. Fluimucil
2x60mg. inj. Ceftriaxone 2x1g
01/09/2027 S: pasien masih merasakan sesak
O: GCS 456, SpO2 100% NRM, RR 25x/menit, Wz +/+ minimal
A: PPOK ekaserbasi akut
P: O2 NRM 7 lpm → coba SM 7 lpm, IVFD RL 1000cc/24 jam, Inj.
Pantoprazole 1x40mg, Nebulasi Velutine + Pulmicort/8 jam, Inj.
Fluimucil 2x60mg. inj. Ceftriaxone 2x1g
03/09/2022 S: sesak nafas sudah berkurang
O: GCS 456, SpO2 100% NRM, RR 22x/menit, Wz -/-
A: PPOK ekaserbasi akut
P: O2 NRM 7 lpm → coba SM 7 lpm, IVFD RL 1000cc/24 jam, Inj.
Pantoprazole 1x40mg, Nebulasi Velutine + Pulmicort/8 jam, Inj.
Fluimucil 2x60mg. inj. Ceftriaxone 2x1g
DAFTAR PUSTAKA

Buku Ajar Paru (2019) Departemen/SMF Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi
Fakultas Kedokteran UNAIR / RSUD Dr. Soetomo-Penyakit Paru Obstruktif Kronis
(PPOK).
Devine JF. Chronic obstructive pulmonary disease: an overview. Am Health Drug Benefits.
2008 Sep;1(7):34-42. PMID: 25126252; PMCID: PMC4106574.
GOLD 2017 (2020) ‘Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease : Pocket Guide
To COPD Diagnosis, Management, and Prevention, A Guide for Health Care
Professionals’, Gold, pp. 1–33. doi: 10.1097/00008483-200207000-00004.
HUNTER, M. and KING, D., 2022. COPD: Management of Acute Exacerbations and
Chronic Stable Disease. [online] Aafp.org. Available at:
<https://www.aafp.org/pubs/afp/issues/2001/0815/p603.html> [Accessed 2 October
2022].
Kristiningrum, E. (2019) ‘Farmakoterapi Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK)’, Cermin
Dunia Kedokteran, 46(4), pp. 262–271.
Menkes RI. Riskesdas (2013). Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian
Kesehatan RI; Jakarta.
WHO (2010). Chronic obstructive pulmonary disease.

Anda mungkin juga menyukai