Anda di halaman 1dari 29

LAPORAN STUDI KASUS

ELEKTIF KEDOKTERAN HAJI

OLEH:
KELOMPOK 2

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS AIRLANGGA
KELOMPOK 2

1. Innas Safira Putri 011811133008


2. Alexa Surya Romansyah 011811133108
3. Maulana Ar Rasyid 011811133114
4. Hammam Izza Rofiqi 011811133119
5. Neilil Muna Mufidana 011811133177
6. Achmad Iqbal Uswanas 011811133244
7. Annisya Adinda Febriyanti 011811133254
I. Kasus

Seorang calon jemaah haji bernama Tuan Umar berusia 65 tahun. Tuan Umar ini sudah mendaftar
sejak usia 50 tahun sehingga sudah menunggu 15 tahun baru mendapat kabar bahwa bisa
berangkat tahun depan. Tuan Umar menderita Diabetes sejak usia 40 tahun. Berobat dan kontrol
tidak teratur. Saat ini kondisi tuan Umar terjadi komplikasi nefropati diabetes dan retinopati
diabetes. Komplikasi nefropati nya menyebabkan penurunan fungsi ginjal sehingga masuk
kriteria diagnosis CKD stage 4. Selain itu juga didapatkan hipertensi stage 2 dengan pemberat
CHF class functional NYHA III. Tim dokter menyarankan untuk menjalani terapi pengganti
ginjal berupa hemodialisis. Pak Umar tidak setuju dan tidak mau karena tahun depan akan
berangkat ibadah haji yang sudah ditunggu-tunggu selama 15 tahun. Tuan Umar takut saat
pemeriksaan kesehatan tahap 2 dinyatakan tidak istithaah kesehatan, maka tuan Umar
menghubungi teman-teman nya yang memiliki jabatan agar bisa lolos pemeriksaan kesehatan
tahap 2 ini.

Akhirnya tuan Umar saat pemeriksaan tahap 2 dinyatakan istithaah dengan pendampingan obat.
Tuan Umar disarankan untuk mendapat imunisasi tambahan selain yang wajib.

Tuan Umar akhirnya bisa terbang dan berangkat ke tanah suci untuk menjalani ibadah haji. Saat
di tanah suci, tuan Umar rajin beribadah bahkan melakukan umroh sunah sampai 15 kali dalam
5 hari. Beliau beranggapan jika bisa umroh 25 kali setara dengan haji. Setelah menjalani umroh
sunnah yang ke 15 tuan Umar jatuh sakit. Tim dokter kloter merujuk tuan Umar ke KKHI
Mekkah. Pemeriksaan di KKHI Mekkah menunjukkan adanya tanda Acute Lung Oedema dan
CKD stage 5. Tuan Umar dirujuk ke RS Arab Saudi. Di RS Arab Saudi tuan Umar menjalani
hemodialisis dan perawatan di ICU.

Saat puncak ibadah haji tiba, yaitu tanggal 8 – 10 Dzulhijjah. Tuan Umar masih dirawat di RS
Arab Saudi.

II. Masalah Utama

Tuan Umar tetap memaksakan untuk menjalankan ibadah haji walaupun memiliki faktor risiko
penyakit yang menyebabkan Tuan Umar tidak istitho'ah.

III. Kata Kunci


- Tuan Umar 65 tahun
- Diabetes
- Nefropati
- Retinopati
- CKD stage 4 dan 5
- Hipertensi stage 2
- CHF class functional NYHA III
- Acute Lung Oedema
- Hemodialisis
- Umroh sunnah 15 kali dalam 5 hari

IV. Peta Konsep


V. Identifikasi Masalah
A. Aspek Biomedik
Riwayat Penyakit Tuan Umar:
1. Diabetes
2. Nefropati
3. Retinopati
4. CKD stage 4 dan 5
5. Hipertensi stage 2
6. CHF class functional NYHA III
7. Acute Lung Oedema
B. Aspek Psikososial
1. Menolak hemodialisis takut tidak isthithoah
2. Istitha'ah jalur belakang
3. Umroh sunnah 15 kali karena menganggap 25 kali umroh sama dengan haji
C. Aspek Ibadah / Fiqih Ibadah
Ibadah haji (sunnah, rukun, wajib) yang sah
D. Aspek Lingkungan
1. iklim di tanah suci
2. jarak perjalanan selama ibadah haji

VI. Pemecahan Masalah


A. Aspek biomedik
1. Diabetes

Berdasarkan data, pak umar memiliki riwayat diabetes sejak usia 40 tahun. Menurut
Perkeni (2021), penyakit diabetes merupakan keadaan dimana kadar gula darah puasa
(GDP) >126 mg/dL atau gula darah sewaktu (GDS) >200 mg/dL atau kadar HbA1c >6.5%.
Selama perjalanan penyakitnya, diketahui bahwa pak Umar tidak melakukan kontrol
maupun berobat secara rutin. Menurut American Diabetes Association, kadar gula darah
yang tidak terkontrol pada pasien dengan diabetes melitus dapat berkembang menjadi
beberapa komplikasi, ketoasidosis, neuropati, retinopati, nefropati, penyakit jantung,
hipertensi, maupun stroke. Dari hasil pemeriksaan saat ini, Pak Umar yang sudah berusia
65 tahun memiliki komplikasi berupa nefropati dan retinopati. Komplikasi nefropati pada
Pak Umar kemudian berkembang menjadi CKD stage 4. Penyakit yang dimiliki Pak Umar
saat ini sebetulnya dapat dicegah dengan cara mengontrol diabetesnya sejak dini.
Kriteria diagnosis diabetes (Perkeni, 2021)

Promotif preventif:

Penyakit diabetes yang masih dalam tahap awal, dapat dilakukan beberapa upaya untuk
mencegah berkembang menjadi komplikasi penyakit lain. Berdasarkan pedoman
tatalaksana DM dari perkeni (2021), pada pasien dengan diabetes melitus, dapat diberikan
upaya preventif sekunder. upaya tersebut dilakukan untuk mencegah timbulnya penyulit
atau komplikasi pada pasien dengan diabetes melitus tipe 2 adalah dengan pengendalian
kadar glukosa sesuai target terapi serta pengendalian faktor risiko penyulit yang lain
dengan pemberian pengobatan yang optimal. selain itu, dapat juga dilakukan deteksi dini
terkait penyulit yang mungkin terjadi pada pasien dengan diabetes. Penyuluhan merupakan
hal yang terpenting untuk meningkatkan kepatuhan Pak Umar dalam pengobatannya
sehingga mencapai target terapinya.

Kuratif:

Menurut pedoman tatalaksana DM dari perkeni (2021), terapi yang dapat dilakukan untuk
mengobati diabetes melitus tipe 2 dapat berupa,

1. Modifikasi gaya hidup

gaya hidup sehat dapat dilakukan dengan latihan fisik. latihan fisik secara teratur selama
3-5 x seminggu selama 30-45 mnt dengan total 150 menit per minggu dengan jeda latihan
tidak lebih dari 2 hari berturut. latihan fisik dapat berupa aerobik dengan intensitas sedang
seperti jalan cepat, sepeda santai, jogging, dan berenang dgn mengontrol HR dalam batasan
50-70% HR maksimal.

2. Terapi Nutrisi Medis

pola makan yang seimbang dan sesuai dengan kebutuhan kalori dan zat gizi masing-
masing individu. Pasien DM perlu diberikan penekanan mengenai pentingnya keteraturan
jadwal makan, jenis dan jumlah kandungan kalori,
3. Intervensi farmakologi

Obat-obatan dapat digunakan sebagai pengontrol kadar gula darah. Obat yang dapat
diberikan dapat berupa:

a. Antihiperglikemi oral

1) pemicu sekresi insulin (insulin secretagogue) : sulfonilurea, glinid


2) peningkatan sensitivitas terhadap insulin (insulin sensitizer) : metformin,
Tiazolinedion (TZD)
3) penghambat alfa glukosidase
4) penghambat enzim dipeptidil peptidase 4 (DPP-4)
5) penghambat enzim Sodium Glucose co-transporter-2 (SGLT-2)

b. Antihiperglikemi sistemik (insulin)

c. Kombinasi obat antihiperglikemi oral dan insulin

d. Kombinasi Insulin Basal dan GLP-RA

2. Nefropati

Promotif/Preventif:

Nefropati diabetik merupakan penyebab utama gagal ginjal stadium akhir. Intervensi
utama untuk mencegah atau mengurangi laju perkembangan nefropati diabetik adalah
pengendalian gula darah, pengendalian tekanan darah, penggunaan angiotensin converting
enzyme inhibitors, pembatasan asupan protein makanan, pengobatan dengan penghambat
pembentukan produk akhir glikosilasi lanjutan, pengobatan dengan inhibitor aldose
reductase dan pengobatan dislipidemia (Agarwal, 2002). Studi pada pasien dengan T1DM
dan proteinuria yang jelas juga menunjukkan bahwa ACE inhibitor memperlambat
perkembangan nefropati diabetik (Varghese and Jialal, 2021).

Kuratif:

Patogenesis dan progresi nefropati diabetik kemungkinan besar sebagai akibat dari
interaksi antara jalur metabolik dan hemodinamik, yang sering terganggu pada kondisi
diabetes. Kemungkinan kelainan metabolik dan hemodinamik yang terlihat pada diabetes
berinteraksi satu sama lain dan jalur yang terkait dengan generasi spesies oksigen reaktif
(ROS). Regulasi gen dan aktivasi faktor transkripsi dipengaruhi oleh interaksi antara
rangsangan metabolik, faktor hemodinamik dan berbagai ROS pada diabetes. Konsekuensi
dari aktivasi molekuler dan penghambatan berbagai jalur menyebabkan perubahan
fungsional dan struktural yang secara klinis bermanifestasi sebagai nefropati diabetik,
yang ditandai dengan peningkatan albuminuria dan penurunan fungsi ginjal (Cao and
Cooper, 2011).

Nefropati diabetik didiagnosis dengan albuminuria persisten pada dua atau lebih
kesempatan, dipisahkan setidaknya tiga bulan pada sampel urin pagi hari. Albuminuria
persisten lebih besar dari 300 mg selama 24 jam atau lebih besar dari 200 mikrogram per
menit. Albuminuria yang meningkat secara moderat adalah ketika laju ekskresi albumin
urin antara 30 hingga 300 mg selama 24 jam dan merupakan penanda DN dini. Sangat
penting untuk menyingkirkan infeksi saluran kemih sebagai penyebab albuminuria dengan
urinalisis (Varghese and Jialal, 2021).

Pengobatan nefropati diabetik menargetkan empat area: pengurangan risiko


kardiovaskular, kontrol glikemik, kontrol tekanan darah, dan penghambatan angiotensin
receptor blockers (RAS). Penelitian telah menunjukkan manfaat ARB (angiotensin
receptor blocker) dalam menunda perkembangan penyakit ginjal.[6][7] Ini termasuk
penelitian seperti RENAAL (Reduction of Endpoints in NIDDM with the Angiotensin II
Antagonist Losartan Study) dan IDNT (Irbesartan Diabetes Nephropathy Trial), yang juga
menunjukkan bahwa tekanan darah dicapai, hasil ginjal yang diprediksi lebih baik daripada
tekanan darah saat masuk, menekankan perlunya untuk kontrol TD. UKPDS menunjukkan
manfaat kontrol TD pada komplikasi terkait DM seperti kematian, kejadian kardiovaskular
yang merugikan, dan gabungan kejadian mikrovaskular (Varghese and Jialal, 2021).

Rehabilitatif:

Setelah penyakit ginjal stadium akhir berkembang dengan GFR 10-15 ml/menit, terapi
penggantian ginjal mungkin diperlukan. Ada beberapa pilihan untuk dialisis, termasuk
peritoneal, hemodialisis, dan transplantasi ginjal. Transplantasi ginjal dianggap sebagai
pilihan terbaik, dan alternatif ini harus didiskusikan lebih awal dengan keluarga (Varghese
and Jialal, 2021).

3. Retinopati

Promotive/ Preventif :

meminum obat diabetes dan hipertensi secara teratur, makan makanan dan minum
minuman yang bergizi, tidak makan makanan dan minum minuman yang dapat
meningkatkan kadar gula darah, hipertensi dan kolestrol. Jika mata terasa kabur segera
kunjungi dokter
Kuratif :

Tatalaksana utama RD adalah pengendalian gula darah, hipertensi sistemik, dan


hiperkolesterolemia.

RD nonproliferatif ringan-sedang tidak membutuhkan terapi, namun observasi dilakukan


setiap tahun dan dilakukan pengendalian gula darah dan dilakukan pengendalian gula
darah.

Pada RD nonproliferatif berat perlu pemantauan per 6 bulan untuk mendeteksi tanda-tanda
progresivitas menjadi proliferatif.

Pada edema makula tanpa manifestasi klinis yang signifikan dilakukan observasi tanpa
tindakan laser.

Clinically significant macular edema (CSME) membutuhkan tindakan laser fokal atau
difus, injeksi intravitreal triamcinolone atau injeksi intravitreal anti-VEGF.

Pada Retinopati Diabetes proliferatif diberi tindakan laser cito.

4. CKD stage 4 dan 5

Chronic Kidney Disease (CKD) / penyakit ginjal kronik didefinisikan sebagai adanya
kelainan pada struktur atau fungsi ginjal sehingga tidak bisa memfiltrasi darah secara
maksimal yang bertahan lebih dari 3 bulan dengan salah satu atau lebih dari temuan
laboratoris yaitu GFR kurang dari 60 mL/min/1.73 m2, albuminuria (lebih dari 30mg/24
jam), serta adanya ketidak normalan dari sedimen urin maupun imaging ginjal yang rusak
(Chen et al., 2019). CKD stage 4 yang dialami oleh Tuan Umar sebelum pemeriksaan
kesehatan haji tahap 2 (GFR 29-15 mL/min/1.73 m2) menurut Kemenkes RI sudah masuk
derajat berat. Sedangkan saat di tanah suci, Tuan Umar mengalami perburukan dari CKD
nya menjadi Stage 5 (GFR <15) yang berarti sudah terjadi kegagalan dari ginjal untuk
melakukan filtrasi darah serta akan menimbulkan gejala berupa bengkak pada kaki dan
tangan, mual, muntah, hingga kesulitan untuk bernafas. (Chen et al., 2019).
Pada syarat istithaah haji, jama’ah yang memiliki riwayat CKD grade 4 tidak bisa
mengikuti ibadah haji atau tidak istithaah. Hal tersebut dikarenakan hampir keseluruhan
ibadah haji merupakan ibadah fisik yang dapat mengakibatkan kerja ginjal semakin kuat
sehingga dapat menyebabkan faktor resiko pemburukan dari CKD. Selain itu, jama’ah
dengan riwayat CKD grade 4 memerlukan terapi hemodialisis 3 kali dalam seminggu
dengan satu kali terapi hingga 4-5 jam. Pasien dengan CKD grade 4 keatas juga dapat
memiliki faktor resiko komplikasi Acute Lung Oedema yang merupakan kondisi
berbahaya.

Kuratif:

Terapi yang harus diberikan pada CKD stage 4 dan 5 adalah hemodialisis untuk
menggantikan fungsi ginjal atau dengan melakukan transplantasi ginjal. Selain itu, Tuan
Umar juga memiliki riwayat diabetes sejak usia 40 tahun dan hipertensi grade 2 yang
merupakan faktor resiko dari CKD. Penggunaan obat golongan ACE inhibitor atau
Angiotensin Receptor Blocker (ARB) dapat membantu menurunkan perburukan dari
pasien CKD dengan hipertensi dan diabetes (Chen et al., 2019).

Promotive/ Preventif :

Upaya preventif berupa kontrol kadar gula dalam darah serta kontrol terhadap tekanan
darah dapat mengurangi resiko pemburukan dari CKD. Upaya promotif dengan diet rendah
garam yang sehat serta melakukan aktivitas fisik atau berolahraga teratur 30 menit dalam
sehari juga dapat mengurangi resiko pemburukan dari CKD. Edukasi kepada Tuan Umar
yang tidak mau melakukan hemodialisis juga harus diberikan agar tidak menyebabkan
terjadinya pemburukan. Edukasi mengenai mengurangi aktivitas fisik yang terlalu
berlebihan seperti pada Tuan Umar yang memaksakan melakukan umroh sunnah hingga
15 kali perlu juga dapat dilakukan.
5. Hipertensi stage 2

Hipertensi adalah penyakit tekanan darah tinggi lebih dari 140/90 mmHg. Hal ini dapat
disebabkan secara sekunder karena mempunyai penyakit bawaan khusus atau secara
primer karena genetik dan lingkungan seperti kurang istirahat. Pada sebagian orang,
hipertensi sering tidak bergejala. Namun secara umum, gejala penyakit hipertensi adalah
sakit kepala dibagian tengkuk, telinga berdengung, dan jantung berdebar-debar. Berikut
kategori dari hipertensi dan algoritma penanganan hipertensi:

Berdasarkan data, Tuan Umar mengalami hipertensi stage 2 dimana pada tahap ini,
penderita biasanya sudah mengalami kerusakan organ tubuh, begitu juga dengan kelainan
kardiovaskular, Tuan Umar sudah mengalami gagal jantung. Maka dari itu Tuan Umar
perlu mengkontrol hipertensinya antara lain dengan:

Preventif / promotif:

- Mengurangi konsumsi garam, kafein, alkohol, soda


- Rajin berolahraga dan menjaga berat badan
- Mengelola stres
- Makan buah dan sayur yang cukup
- Istirahat yang cukup
Kuratif:

Tatalaksana secara farmakologi, Tuan Umar dapat diberikan obat golongan ACE inhibitor
atau Angiotensin Receptor Blocker (ARB) dapat membantu menurunkan perburukan dari
pasien CKD dengan hipertensi dan diabetes (Chen et al., 2019).

6. CHF class functional NYHA III

Chronic Heart Failure (CHF) atau dalam bahasa dikenal sebagai Gagal jantung merupakan
kelainan multisitem dimana terjadi gangguan pada jantung, otot skelet dan fungsi ginjal,
stimulasi sistem saraf simpatis serta perubahan neurohormonal yang kompleks.
Gambar di atas menunjukkan tanda dan gejala yang dialami oleh pasien gagal jantung.
Selain itu terdapat klasifikasi/penggolongan gagal jantung berdasarkan kapasitas
fungsionalnya menurut New York Heart Association, berikut penjelasannya:

Berdasar data, kondisi komplikasi CHF Pak Umar telah tergolong class functional NYHA
III yang berarti terdapat Batasan aktifitas yang bermakna pada kondisi tubuh Pak Umar.
Meski tidak terdapat keluhan saat istirahat,namun dengan aktifitas fisik yang ringan dapat
menyebabkan Pak Umar mengalami kelelahan, palpitasi (berdebar) ataupun sesak nafas.

Sesuai dengan Juknis Permenkes no 15 Tahun 2016, ketentuan “tidak memenuhi syarat
isthithoah” memang Jemaah haji dengan kriteria salah satunya gagal jantung stadium IV.
Meski kondisi gagal jantung Pak Umar (stadium 3) ini bukanlah alasan mutlak
dinyatakannya “tidak memenuhi syarat isthithoah” namun kondisi Kesehatan ini tentunya
memperburuk kondisi Kesehatan Pak Umar mengingat penyakit yang dialami Pak Umar
sangat kompleks. Tidak ada hubungan secara langsung antara jemaah haji yang
didefinisikan sebagai tidak memenuhi syarat istithaah kesehatan haji dengan kejadian
kematian terhadap jemaah haji tersebut, tetapi lebih berhubungan dengan "upaya" yang
harus dipersiapkan dan dilaksanakan terutama jika masih terdapat jemaah haji yang tidak
memenuhi syarat istithaah kesehatan haji tetapi berangkat ke Arab Saudi.

Alasan Pak Umar dinyatakan Tidak Isthithoah juga bukan tanpa arti, melainkan karena
salah satu hal yang perlu diperhatikan dalam kasus Pak Umar adalah, untuk pasien dengan
penyakit gagal jantung maka diharuskan membatasi aktifitas fisik yang berlebih, karena
latihan/aktivitas akan meningkatkan beban jantung dan juga meningkatkan kebutuhan
jaringan terhadap oksigen. Pada pasien yang fungsi jantungnya mengalami tekanan, latihan
dapat menimbulkan kongesti. Karena itu maka kerja jantung harus diturunkan dengan
istirahat atau membatasi aktivitas. Sedangkan ibadah haji merupkan ibadah fisik yang
cukup extreme terlebih bagi orang-orang seperti Pak Umar.

Upaya promotive tentunya dilakukan dengan tujuan menciptakan perilaku yang kondusif
untuk terciptanya Kesehatan, seperti dilakukannya promosi/edukasi Kesehatan oleh tenaga
Kesehatan kepada masyarakat umur terutama untuk masyarakat dewasa hingga lansia,
karena di usia mereka risiko terjadinya penyakit juga sangat tinggi, rajin berolahraga,
menjaga pola hidup agar tetap sehat.

Upaya preventif sejatinya dilakukan saat Pak Umar belum diketahui telah memiliki
penyakit atau Faktor Risiko alami Gagal Jantung, yakni berupa Tindakan pencegahan.
Diantaranya mampu melakukan deteksi dini penyakit gagal jantung terutama bagi
masyarakat yang memiliki faktor risiko. Deteksi dini dapat dilakukan dengan rajin
mengukur tekanan darah, mengukur massa indeks tubuh dsb.

Upaya kuratif atau pengobatan. Upaya ini rasanya lebih cocok dilakukan untuk Pak Umar
karena Pak Umar telah terdiagnosis dengan CHF class functional NYHA III. Tujuan upaya
ini tentunya untuk mengurangi morbiditas dan mortalitas. Upaya kuratif dapat berupa tata
laksana farmakologi dan non farmakologi. Berdasarkan Perki tentang Tatalaksana
Penyakit Jantung tahun 2020, tata laksana tersebut dapat dilakukan sebagai berikut:

A. Tatalaksana Non Farmakologi

● Manajemen Perawatan Mandiri. Manajemen perawatan mandiri dapat


didefinisikan sebagai tindakan-tindakan yang bertujuan untuk menjaga stabilitas
fisik, menghindari perilaku yang dapat memperburuk kondisi dan mendeteksi
gejala awal perburukan gagal jantung.
● Ketaatan pasien berobat. Ketaatan pasien untuk berobat dapat mempengaruhi
morbiditas, mortalitas dan kualitas hidup pasien. Berdasarkan literatur, hanya 20-
60% pasien yang taat pada terapi farmakologi maupun non-farmakologi.
● Pemantauan berat badan mandiri. Pasien harus memantau berat badan rutin setap
hari, jika terdapat kenaikan berat badan > 2 kg dalam 3 hari, pasien harus menaikan
dosis diuretik atas pertimbangan dokter
● Asupan cairan. Restriksi cairan 900 ml–1,2 liter/hari (sesuai berat badan)
dipertimbangkan terutama pada pasien dengan gejala berat yang disertai
hiponatremia. Restriksi cairan rutin pada semua pasien dengan gejala ringan
sampai sedang tidak memberikan keuntungan klinis
● Pengurangan berat badan. Pengurangan berat badan pasien obesitas dengan gagal
jantung dipertimbangkan untuk mencegah perburukan gagal jantung, mengurangi
gejala dan meningkatkan kualitas hidup
● Latihan fisik. Latihan fisik direkomendasikan kepada semua pasien gagal jantung
kronik stabil. Program latihan fisik memberikan efek yang sama baik dikerjakan
di rumah sakit atau di rumah

B. Tatalaksana Farmakologi

Terapi ini disesuaikan dengan kondisi pasien, mengingat gagal jantung akut dan kronik
adalah kompetensi 3A dan 3B untuk dokter umum sehingga dokter hanya mampu
mendiagnosis dan memberikan tata laksana pendahuluan, merujuk dan menindaklanjti
sesudah Kembali dari rujukan. Obat-obat yang dapat diberikan diantaranya Angiotensin-
Converting Enzyme Inhibitors (ACE-I), Penyekat Reseptor 8, Antagonis Aldosteron dan
masih banyak lagi pilihat obat yang tentunya disesuaikan dengan kondisi pasien, kontra
indikasi yang dimiliki dan penyakit komorbid lain yang dimiliki.

Upaya rehab yakni memulihkan kondisi dan mencegah perburukan seperti contoh
timbulnya kerusakan miokard. Berdasarkan Panduan Rehabilitas Kardiovaskular PERKI
2019 Edisi Pertama salah satu upaya penting dan komponen inti dari program rehabilitasi
kardiovaskular adalh pengendalian faktor risiko seprti berhenti merokok, pengendalian
hipertensi, pengendalian berat badan berlebih, pengendalian dislipidemia, dan sebagainya.
7. Acute Lung Oedema

Edema paru dapat didefinisikan sebagai akumulasi abnormal cairan ekstravaskular di


parenkim paru. Proses ini menyebabkan berkurangnya pertukaran gas pada tingkat
alveolar, yang berlanjut hingga berpotensi menyebabkan gagal napas. Edema paru secara
luas dapat diklasifikasikan menjadi edema paru kardiogenik dan nonkardiogenik.

Edema paru kardiogenik atau kelebihan volume timbul karena peningkatan yang cepat
dalam tekanan hidrostatik kapiler paru. Hal ini biasanya terlihat pada gangguan yang
melibatkan fungsi sistolik dan diastolik ventrikel kiri (miokarditis akut termasuk etiologi
lain dari kardiomiopati non-iskemik, infark miokard akut), fungsi katup (regurgitasi
aorta/mitral dan stenosis dalam kisaran sedang hingga berat), ritme ( fibrilasi atrium
dengan respon ventrikel yang cepat, takikardia ventrikel, derajat tinggi, dan blok jantung
derajat ketiga).

Edema paru nonkardiogenik disebabkan oleh cedera paru dengan hasil peningkatan
permeabilitas pembuluh darah paru yang menyebabkan pergerakan cairan, kaya protein,
ke alveolar dan kompartemen interstisial. Cedera paru akut dengan hipoksemia berat
disebut sebagai sindrom gangguan pernapasan akut (ARDS) dan terlihat pada berbagai
kondisi yang secara langsung mempengaruhi paru-paru, seperti pneumonia, cedera
inhalasi, atau tidak langsung, seperti sepsis, pankreatitis akut, trauma berat dengan syok,
beberapa transfusi darah.

Gejala

- Dispnea yang semakin memburuk, takipnea, dan ronki (atau ronki).


- Batuk dengan sputum berbusa merah muda, Demikian pula, adanya murmur,
peningkatan tekanan vena jugularis, edema perifer dapat menunjukkan etiologi
jantung.
- Pada pasien dengan edema paru non-kardiogenik, gejala infeksi seperti demam, batuk
dengan dahak, dispnea

Diagnosis

● Pengujian Laboratorium
● Pengujian Radiografi
● Ekokardiografi
● USG Paru-paru
● Kateterisasi Arteri Paru
● Termodilusi Transpulmoner
Diagnosis Banding:

Edema paru imersi karena tenggelam, edema paru neurogenik akibat stroke, trauma kepala,
hipersensitivitas obat atau konsumsi toksik, transfusi darah yang menyebabkan cedera paru
akut terkait transfusi (TRALI), penyakit hati, emboli paru atau infark, dan uremia.

Prognosis:

Edema paru adalah keadaan dekompensasi akut karena etiologi jantung atau nonkardiak.
Tindakan sementara seperti oksigenasi tambahan, diuretik, nitrat, dan morfin membantu
mengelola dispnea, hipoksemia. Namun, manajemen definitif dari penyebab yang
mendasarinya diperlukan untuk mencegah kekambuhannya.

Tatalaksana:

Tujuan terapi pada pasien dengan edema paru termasuk pengurangan gejala dan
pengobatan kondisi patologis yang mendasarinya. Diuretik dan furosemide menjadi obat
yang paling umum digunakan. Dosis yang lebih tinggi dikaitkan dengan lebih banyak
perbaikan dispnea; namun, juga terkait dengan perburukan sementara fungsi ginjal.
Vasodilator dapat ditambahkan sebagai terapi tambahan pada diuretik dalam pengelolaan
edema paru.

Nifedipine telah digunakan dalam profilaksis dan pengobatan high altitude pulmonary
edema (HAPE). Inotrop, seperti dobutamin dan dopamin, digunakan dalam pengelolaan
kongesti paru bila dikaitkan dengan SBP rendah dan tanda-tanda hipoperfusi jaringan.
Morfin mengurangi resistensi pembuluh darah sistemik dan bertindak sebagai analgesik
dan ansiolitik.

Dukungan ventilasi, baik noninvasif dan invasif, digunakan untuk meningkatkan


oksigenasi, mengarahkan cairan alveolar dan interstisial kembali ke kapiler, meningkatkan
hiperkarbia dan karenanya membalikkan asidosis respiratorik, dan terakhir, oksigenasi
jaringan.

Komplikasi:

Karena edema paru merupakan akibat dari gangguan fisiologis kompleks, baik itu jantung,
hati, keterlibatan sistem multiorgan, rangsangan toksik, komplikasi yang timbul dari itu
umumnya sekunder untuk proses patofisiologi tersebut. Edema paru kardiogenik dapat
berkembang menjadi gagal napas yang memerlukan penggunaan ventilator mekanik.
ARDS merupakan komplikasi cedera paru akut dengan hipoksemia progresif, juga
memerlukan intubasi dan ventilasi mekanis.
Pencegahan dan Edukasi Pasien:

Pasien dengan riwayat penyakit jantung iskemik atau katup harus dididik tentang gejala
edema paru pada setiap kunjungan klinik dengan dokter mereka. Konseling tentang diet
rendah garam, olahraga teratur, dan kepatuhan minum obat harus ditekankan.

Meningkatkan Hasil Tim Kesehatan:

Edema paru dapat menjadi hasil dari keterlibatan multiorgan, dan karenanya keterlibatan
tim interprofesional seperti internis, kardiologi, pulmonologi di awal kursus
direkomendasikan untuk inisiasi terapi yang ditargetkan secara tepat waktu untuk
meningkatkan hasil pasien. Edukasi kepada perawat, mahasiswa kedokteran, mahasiswa
keperawatan tentang tanda-tanda gagal napas harus diberikan secara teratur untuk
identifikasi awal pasien dengan dekompensasi pernapasan yang akan datang. Keterampilan
anamnesis yang baik harus dipraktikkan untuk mengidentifikasi faktor-faktor seperti
ketidakpatuhan pengobatan, situasi sosial ekonomi yang buruk, penggunaan obat-obatan
terlarang untuk menghindari kekambuhan atau penerimaan kembali.

B. Aspek Psikososial
1. Menolak hemodialisis takut tidak isthithoah
Menurut Gaitonde, Cook, dan Rivera (2017), tatalaksana pada pasien CKD grade 4 adalah
dengan mempersiapkan terapi pengganti ginjal. Berdasarkan penelitian Karinda, Sugeng,
Moeis (2019), komplikasi penyakit ginjal kronik seperti anemia, hipertensi, dislipidemia,
hiperurisemia, dan gangguan elektrolit lebih banyak ditemukan pada pasien CKD grade 4
meskipun persentase kasusnya tidak sebanyak pada pasien CKD grade 5. Dalam website
kidneyfund, dalam mencegah progres penyakit CKD grade 4 menjadi CKD grade 5 atau
End stage renal disease atau gagal ginjal, beberapa upaya yang dapat dilakukan adalah
dengan mengedukasi pasien agar melakukan kontrol secara rutin dengan spesialis
nefrologi, melakukan diet sehat, dan rutin mengonsumsi obat-obatan hipertensi ataupun
diabetes sesuai dengan penyakit penyerta yang dialami pasien. Hipertensi atau diabetes
yang terkontrol dengan baik dapat mengurangi progres perjalanan penyakit. Pasien yang
tidak memperhatikan 3 hal penting tersebut sangat berisiko untuk mengalami perburukan
grade penyakitnya.

Dalam website kemenag (2019), dijelaskan bahwa sebetulnya calon jamaah haji yang
ditetapkan sebagai tidak istithaah bukan berarti tidak akan berangkat haji selamanya.
Namun, memerlukan upaya terlebih dahulu agar kondisi calon jamaah haji menjadi lebih
optimal sehingga calon jamaah haji berkesempatan untuk berangkat haji pada tahun
berikutnya. Keadaan yang mutlak termasuk dalam tidak istithaah adalah jamaah haji
dengan penyakit menular karena hal tersebut dapat membawa kemudharatan kepada
jamaah lainnya.
Promotif preventif:
Pada kasus pak Umar, sebelum berangkat dapat dilakukan upaya preventif seperti
mengedukasi pak umar agak mengoptimalkan kondisinya terlebih dahulu dengan
melakukan kontrol rutin ke spesialis nefrologi, menerapkan diet sehat, serta mengontrol
tekanan darah dan gula darahnya sesuai dengan target terapinya. Hal ini dilakulan karena
perjalanan penyakit beliau sudah pada grade 4 CKD dan dapat mengalami perburukan
menjadi CKD grade 5 apabila Pak Umar tidak dapat merawat kondisi serta penyakit
penyertanya dengan baik.
Kuratif :
Penyakit CKD yang dialami Pak Umar dapat disebabkan karena riwayat diabetesnya dan
diperburuk dengan hipertensi. Maka, pilihan pengobatan yang dilakukan adalag dengan
mengontrol tekanan darah menggunakan obat-obatan seperti CCB, diuretik, ACE
inhibitor, atau ARB, serta mengontrol gula darah dengan mengonsumsi obat-obatan seperti
metformin, sulfonilurea, atau insulin.

2. Istitha'ah jalur belakang

Promotif/Preventif:

Kita sebagai manusia yang baik sudah sebaiknya kita berkata dan bertindak dengan jujur.
Dengan membiasakan jujur, kita akan terjauh dari perbuatan seperti menyalahgunakan
jabatan untuk mempermudah urusan secara ilegal. Sebagaiman firman Allah SWT:

‫ّٰللا اَ ْوفُ ْوا ۗ ٰذ ِلكُ ْم َو ه‬


‫صىكُ ْم بِ ٖه لَعَلَّكُ ْم تَذَكَّ ُر ْون‬ ِ ‫َ َواِذَا قُلْتُ ْم فَا ْع ِدلُ ْوا َولَ ْو كَانَ ذَا قُرْ بٰى ۚ َوبِعَ ْه ِد ه‬

Artinya: "Apabila kamu berbicara, bicaralah sejujurnya, sekalipun dia kerabat(mu) dan
penuhilah janji Allah. Demikianlah Dia memerintahkan kepadamu agar kamu ingat." (QS.
Al-An'am: 152)

Kuratif:

Jika meminta bantuan dengan jabatannya memerintahkan kepada mereka yang menyeleksi
untuk meluluskannya, maka kondisi tersebut tidak diperbolehkan. Sebagaimana firman
Allah SWT:
‫اْلثْ ِم َوالْعُد َْوان‬
ِ ْ ‫علَى‬ َ َ‫علَى الْبِ ِر َوالتَّقْ َو ٰى ۖ َو ََل تَع‬
َ ‫اونُوا‬ َ َ‫َِوتَع‬
َ ‫اونُوا‬

“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa”

Dari sini dapat diketahui bahwa pak Umar telah melakukan perbuatan dosa dan hendaknya
meminta ampunan kepada Allah SWT dan bertaubat.

Rehabilitatif:

Berikut adalah dalil untuk selalu tetap berbuat kebaikan yang bisa digunakan untuk
motivasi pak Umar agar tidak mengulangi perbuatan buruknya.

"Dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat
baik". QS. Al-Baqarah: 195

"Tidak ada balasan kebaikan kecuali kebaikan (pula)". QS. Ar-Rahman: 60

"Barangsiapa yang berbuat kebaikan (sebesar biji dzarrah), niscaya dia akan melihat
(balasan) nya. Dan barangsiapa yang berbuat kejahatan (sebesar biji dzarrah), niscaya dia
akan melihat (balasan) nya pula" . QS. Az-Zalzalah: 7-8

3. Umroh sunnah 15 kali karena menganggap 25 kali umroh sama dengan haji
Promotif/ preventif:

Mengingatkan bahwa haji adalah ibadah fisik yang memerlukan stamina yang baik,
mengingatkan bahwa kondisi atau stamina tubuh yang lemah akan menyebabkan Pak
Umar mudah terserang penyakit atau penyakit yang dideritanya mudah kambuh dan
menjadi semakin parah, mengingatkan bahwa jangan beribadah yang berlebihan dan
membebani tubuh karena tubuh juga memiliki haknya

Dalam Shahih Bukhari diceritakan

Dari Abdullah bin ‘Amru, dia berkata; “Rasulullah SAW menemuiku, lalu beliau
bersabda: “Aku memperoleh berita bahwa kamu bangun di malam hari dan berpuasa di
siang hari, benarkah itu?” Aku menjawab; “Benar.” Beliau bersabda, “Jangan berlaku
demikina, bangun dan tidurlah, puasa dan berbukalah, sesungguhnya tubuhmu memiliki
hak atasmu, sesungguhnya matamu memiliki hak atasmu, tamumu memiliki hak atasmu,
dan istrimu memiliki hak atasmu. (HR. Bukhari)
Kuratif :

Tidur dan istirahat yang cukup dan hindari kegiatan fisik yang berlebihan.

C. Aspek Ibadah / Fiqih Ibadah

Rukun haji adalah rangkaian amalan yang harus dilakukan dalam ibadah haji dan tidak dapat
diganti dengan amalan lain, walaupun dengan dam. Jika rukun ini ditinggalkan, ibadah haji
seseorang tidak sah. Rukun haji yaitu 1) Ihram (niat) 2) Wukuf di Arafah; 3) Thawaf ifadhah;
4) Sa’I; 5) Cukur/tahalul; 6) Tertib.

Sedangkan wajib haji adalah rangkaian amalan yang harus dikerjakan dalam ibadah haji yang
bila salah satu amalan itu tidak dikerjakan ibadah haji seseorang tetap sah tapi dia harus
membayar dam. Jika seseorang sengaja meninggalkan salah satu rangkaian amalan itu tanpa
adanya uzur syar’i, ia berdosa. Wajib haji adalah: 1) Ihram, yakni niat berhaji dari mīqāt; 2)
Mabit di Muzdalifah; 3) Mabit di Mina; 4) Melontar Jamrah Ulā, Wustha dan Aqabah; 5)
Thawaf wada’ (Kemenag RI, 2020)

Berdasarkan buku Tuntunan Manasik Haji dan Umrah, Kementerian Agama RI (2020),
terdapat beberapa kekhususan/ keringanan yang diberikan terhadap jama’ah haji lemah, lansia
dan risti, dan dirawat di rumah sakit. Beberapa keringanan tersebut adalah :

Saat di Makkah :

1. Setelah tiba di Makkah dan menempati kamar hotel, jemaah haji lemah, lansia dan risti
dianjurkan tidak terburu-buru menuju Masjidil Haram. Mereka disarankan beristirahat
dan tidur yang cukup untuk memulihkan kebugaran tubuh. Rasulullah SAW ketika
melaksanakan haji wada’ bermalam di Dzi Tua lebih dulu untuk beristirahat, lalu salat
subuh dan mandi, kemudian ke Masjidil Haram untuk thawaf dan sa’i.
2. Jika jemaah haji lemah dan sakit kebetulan menderita beser dan buang angin terus-
menerus, mereka boleh dan sah melaksanakan tawaf tidak dalam keadaan suci dari
hadats kecil dan tidak dikenakan dam.
3. Tawaf dan sa’i dapat menggunakan kursi roda, baik dengan membawa sendiri atau
menyewa. Tawaf dan sa’i dengan cara digendong, menggunakan kursi roda atau sekuter
matik, adalah sah secara hukum.
4. Menurut Ibnu ‘Abbas RA seluruh tanah haram Makkah adalah Masjidil Haram (Al-
Fâkihî, Akhbâr Makkah, juz 2 hal.106, nomor hadits 1223). Para jemaah haji lemah dan
sakit tidak perlu memaksakan diri salat fardhu di Masjidil Haram jika bisa berakibat
buruk pada kesehatan fisik mereka. Jemaah yang melaksanakan salat berjamaah di
pondokan/hotel atau di masjid sekitar pondokan, tetap mendapat keutamaan yang sama
dengan salat di Masjidil Haram.
5. Akibat keterbatasan kondisi fisik, para jemaah haji lemah dan sakit hendaknya
membatasi diri dalam melaksanakan ibadah sunnah yang dapat menguras tenaga
semacam umrah, terlebih lagi umrah sunah yang berulangkali dilakukan. Jemaah
sebaiknya menjaga kesehatan dan kebugaran dengan menyimpan tenaga demi
menyelesaikan rukun dan wajib haji, terutama wukuf di Arafah.

Ketika Armuzna

1. Bagi jemaah lansia, sakit dan risti, ada dua kemungkinan cara berhaji /wukuf. Apa pun
jenis haji yang diambil, jemaah haji hendaknya menerima ketentuan itu dengan ikhlas
karena Allah SWT. Kedua cara tersebut:
a) Jemaah haji yang mampu secara fisik, sehat dan kuat, atau dalam kondisi sakit
ringan dihadirkan di Arafah pada 9 Dzulhijjah untuk melakukan wukuf, bersama-
sama dengan rombongan satu kloter.
b) Jemaah haji yang dirawat di rumah sakit melakukan wukuf dengan dua
kemungkinan.
- Jemaah haji sakit yang tidak bergantung pada alat dibawa ke Arafah dengan bus
atau ambulans yang disediakan oleh pihak rumah sakit untuk menjalani proses
safari wukuf. Wukuf dilakukan hanya sejenak di siang hari 9 Dzulhijjah di dalam
bus atau ambulans. Selesai wukuf, jemaah haji diantar kembali ke rumah sakit
untuk menjalani perawatan selanjutnya.
- Jemaah haji yang dirawat di rumah sakit dan fisiknya benar-benar lemah, dengan
kondisi yang tidak memungkinkan hadir di Arafah walaupun dengan cara safari
wukuf, tidak perlu khawatir karena proses hajinya dibadalkan.
1.
2. Di Arafah, jemaah haji sakit yang menjadi peserta safari wukuf atau yang dirujuk dan
dirawat di rumah sakit dikategorikan sebagai jemaah yang mengalami uzur syar’i.
Mereka diberi keringanan untuk tidak melakukan mabit di Muzdalifah dan tidak
dikenai dam.
3. Di Mina, jemaah haji sakit yang menjadi peserta safari wukuf atau yang dirujuk dan
dirawat di rumah sakit dikategorikan sebagai jemaah haji uzur syar’i yang diberi
keringanan tidak melakukan mabit di Mina; mereka tidak dikenai dam.
4. Mewakilkan lontar jamrah hukumnya sah. Karena itu, kewajiban melontar Jamrah
Kubra (Aqabah) pada 10 Dzulhijjah dan melontar Jamrah Sughra, Wustha dan Kubra
pada 11 - 13 Dzulhijjah bagi jemaah lemah, lansia dan risti seyogyanya diwakilkan oleh
keluarga, teman seregu atau petugas haji.
5. Jemaah haji peserta safari wukuf yang dirawat di rumah sakit pada 10 Dzulhijjah boleh
mencukur rambut tanpa menunggu laporan dari petugas yang mewakilinya. Setelah
mendapat laporan dari yang mewakili bahwa jamrah sudah dilontar berarti sudah
tahallul.

Paska Armuzna

1. Setibanya di Makkah pasca mabit di Mina, jemaah haji dianjurkan untuk beristirihat
yang cukup agar kembali bugar dan selanjutnya bersiap-siap melaksanakan tawaf
ifadhah. Jemaah haji lemah, lansia dan risti dianjurkan melakukan tawaf ifadhah
menggunakan kursi roda atau skuter matic. Bagi jemaah yang disafari wukufkan, yang
terhalang tidak bisa melaksanakan thawaf ifadhah, tawaf ifadhahnya dibadalkan dan
dilaksanakan oleh petugas haji.
2. Jemaah haji lemah dan sakit yang benar-benar tidak mampu melakukan tawaf wada’
dapat mengambil pendapat Imam Malik yang mengatakan hukum tawaf wada’ adalah
sunnah dan bagi orang sakit atau uzur yang meninggalkan tawaf wada’ tidak dikenakan
dam.

Ketentuan mengenai badal haji:

Jemaah haji Indonesia yang sudah berangkat/ berada ke Arab Saudi, kemudian sakit berat
atau wafat sebelum wukuf, maka hajinya dibadalkan. Jemaah yang berhak dibadalkan
pelaksanaan hajinya adalah:

a) Jemaah yang meninggal dunia di asrama haji embarkasi, di perjalanan, atau di Arab
Saudi sebelum melaksanakan wukuf;

b) Jemaah yang sakit dan tidak dapat disafariwukufkan karena pertimbangan keselamatan
atau sangat bergantung pada peralatan medis;

c) Jemaah yang mengalami gangguan jiwa.


Promotive/ Preventif :

Berdasarkan kasus Tuan Umar beliau tidak bisa mengikuti ibadah haji pada tanggal 8-10
dzulhijjah karena masih dirawat di Rumah Sakit Arab Saudi, maka berdasarkan ketentuan
Buku Tuntunan Manasik Haji dan Umrah, Kementerian Agama RI (2020) haji Tuan Umar
terkait dengan rukun haji yaitu Wukuf di Arafah, Tawaf ifadhah, serta Sa’i akan dibadalkan
oleh petugas haji yang ditunjuk dan dibiayai oleh pemerintah. Sedangkan mengenai wajib haji
yaitu mabit di Muzdalifah, mabit di Mina, dan thawaf wada’ karena memiliki uzur syar’i maka
Tuan Umar tidak perlu mengikutinya serta tidak perlu membayar dam. Terkait dengan
melempar jamrah dapat diwakilkan.

Mengenai kejadian Tuan Umar yang memaksakan untuk memperbanyak umroh sunnah
hingga 15 kali dalam 5 hari dengan beranggapan bahwa 25 kali umroh sunnah setara haji,
mungkin dapat dihindari kejadian seperti hal tersebut terulang dengan lebih menekankan
upaya promotif/preventif dengan edukasi mengenai membatasi diri bagi jamaah haji dengan
keterbatasan kondisi fisik, seperti jemaah haji risti dan sakit dalam melaksanakan ibadah
sunnah yang dapat menguras tenaga semacam umrah, terlebih lagi umrah sunah yang
berulangkali dilakukan. Jemaah sebaiknya menjaga kesehatan dan kebugaran dengan
menyimpan tenaga demi menyelesaikan rukun dan wajib haji, terutama wukuf di Arafah.
Termasuk juga setelah kembali dari Mina ke Makkah, jemaah haji lemah, lansia dan risti
sebaiknya tidak memburu ibadah-ibadah sunnah yang membutuhkan tenaga ekstra, misalnya
dengan selalu datang untuk salat berjama’ah di Masjidil Haram, melakukan umrah sunnah,
atau melakukan tawaf sunnah berulang- ulang (Kemenag RI, 2020).

D. Aspek Lingkungan
1. Iklim di tanah suci
Kondisi iklim di Mekkah dan Madinah sangat berbeda dengan kondisi iklim di tanah air,
hal ini sering menyebabkan jemaah haji dan umroh mengalami gangguan kesehatan. Di
Mekkah, musim dingin biasanya terjadi antara bulan september hingga maret dengan
puncak suhu mencapai 15 C sedangkan saat musim panas, puncak suhu bisa mencapai
melebihi 48 C dengan suhu rata-rata sepanjang tahun 29 - 31 C. Sedangkan di Madinah,
merupakan iklim padang pasir sehingga saat pergantian musim dingin dan panas dapat
terjadi badai pasir.
Perbedaan kondisi iklim dan cuaca yang drastis dapat menyebabakan timbulnya masalah-
masalah kesehatan bagi jemaah haji khususnya saat cuaca panas yang ekstrim. Suhu atau
cuaca yang panas dapat menimbulkan beberapa penyakit yang berbahaya antara lain:
1) Mimisan
Tatalaksana : menunduk sambil menekan bagian depan hidung dengan jari jempol
dan telunjuk dan segera periksa ke dokter
Preventif : menggunakan masker yang selalu dibasahi air (lembab)
2) Kulit dan bibir pecah-pecah
Tatalaksana : sering membasahi kulit dan bibir menggunakan air atau air zam zam
Preventif : menggunakan minyak zaitun atau pelembap bibir
3) Heat Exhaustion
Gejala : lemas, mengantuk, pusing, kekurangan cairan (warna air kencing
seperti teh)
Tatalaksana dan Preventif : minum cairan cukup dan bila perlu dapat dicampur
oralit atau minuman isotonic dengan jumlah minimal 1 gelas 300cc setiap dua
sampai tiga jam, serta hindari sengatan panas secara langsung
4) Heat Stroke
Gejala : kulit terasa panas, demam, lemas, mual, dan hilang kesadaran, dan
bisa menyebabkan kematian dan/atau lumpuh seumur hidup
Tatalaksana : siram air, kompres es, segera melakukan pertolongan pertama kepada
tenaga kesehatan terdekat
Preventif : minum cairan cukup dan menghindari sengatan panas secara
langsung, misalnya menggunakan payung.

2. Jarak perjalanan selama ibadah haji

Jarak yang harus ditempuh jamaah haji selama melaksanakan serangkaian ibadah haji
secara singkat dapat dijelaskan seperti berikut:
Secara ringkas beberapa gambaran jarak yang harus ditempuh selama proses ibadah haji
diantaranya:

- Tawaf → Berkeliling ± 1,4 km. Menurut Syafi’iyah, tawaf dengan berjalan kaki
hukumnya sunnah. Namun, bagi jemaah yang tidak dalam kondisi uzur, para ulama’
berbeda pendapat. Ada yang tidak membolehkan tawaf dengan kendaraan dengan
alasan hukum yang berlaku dalam tawaf sama dengan yang berlaku dalam shalat. Ada
pula ulama yang membolehkan tawaf menggunakan kendaraan, antara lain
diungkapkan oleh Imam Ibn Mundzir. Kalangan Malikiyah dan Hanifiyah
membolehkannya namun harus membayar dam karena berjalan kaki saat tawaf adalah
wajib.
- Sai → jarak yang ditempuh dari safa ke marwah ± 400 meter, sehingga total jarak yang
ditempuh sebanyak ± 3km. Ada pula ulama yang membolehkan tawaf menggunakan
kendaraan, antara lain diungkapkan oleh Imam Ibn Mundzir. Sa’i dengan berjalan kaki
adalah sunnah menurut golongan madzhab Syafi’i, madzhab Maliki dan dalam satu
riwayat mazhab Hambali. Sementara itu menurut madzhab Hanafi, sa’i dengan berjalan
kaki hukumnya wajib dan apabila ditinggalkan wajib membayar dam. Berjalan kaki
merupakan syarat sa’i menurut satu riwayat dalam madzhab Hambali dan Maliki
sehingga disimpulkan melakukan sa’i, disunahkan dengan berjalan kaki bagi yang
mampu, dan boleh menggunakan kursi roda atau skuter matik bagi yang udzur.
- Lontar jumrah → jarak yang ditempuh ± 7km
- Jarak pemondokan di Mekkah→ bolak balik ± 4km
Meski medan di Tanah suci selain cuaca yang panas juga jarak perjalanan yang harus
ditempuh sungguh Panjang, namun terdapat fasilitas transportasi dan akomodasi yang akan
membantu Jemaah haji beserta tenaga Kesehatan maupun tenaga yang lain untuk mencapai
titik titik tujuan, seperti contoh transportasi sholawat, transportasi antar kota perhajian,
transportasi Masya’ir.

Namun tentu saja, dengan kondisi cuaca, jarak tempuh perjalanan ditambah banyaknya
orang (massa) yang berkumpul menjadi satu di satu tempat menimbulkan berbagai macam
masalah, seperti risiko penularan penyakit, risiko komplikasi penyakit, risiko cidera, dan
sebagainya. Berdasarkan kondisi Pak Umar oleh karena pernyataan “istitha'ah” yang
didapatkan bukan merupakan hasil dari tahapan pemeriksaan Kesehatan sehingga
keberangkatan Pak Umar yang dipaksakan ini dapat diprediksi akan sangat mungkin
muncul potensi masalah-masalah/ risiko tersebut. Terbukti ternyata, setelah menjalani
umrah sunnah kondisi Kesehatan Pak Umar semakin memburuk yakni dari pemeriksaan
di KKHI Mekkah menunjukkan adanya tanda Acute Lung Oedema dan CKD stage 5.

Dengan kondisi Pak Umar yang mengalami komplikasi penyakit yang semakin memburuk
alhasil Pak Umar harus dirawat dan dirujuk ke RSAS untuk dilakukan upaya kuratif yakni
menjalani hemodialisis dan perawatan di ICU.

VII. Kesimpulan

Persiapan menjadi jamaah haji tentunya harus melalui beberapa tahapan. Dimulai dari
melakukan pendaftaran dan memenuhi persyaratan yang telah ditentukan. Setelah itu jamaah
harus mengikuti serangkaian tahapan pemeriksaan kesehatan dan pembinaan. Jamaah yang
telah ditentukan tidak istitha’ah tidak boleh melanjutkan ibadah haji.
Pada pelaksanaan ibadah haji bisa saja ditemukan kasus yang tidak terduga. Penanganan dan
penyelesaian kasus-kasus tersebut perlu mengikutsertakan berbagai pihak dengan koordinasi
yang baik, terkhusus petugas haji sebagai bentuk pelayanan kepada jamaah haji. Hal ini
dilakukan agar jamaah haji tetap mampu melaksanakan ibadah hajinya dengan lancar. Semua
kasus yang terjadi harus dilaporkan sebagai bahan evaluasi.
Daftar Pustaka

Agarwal, D. K. (2002) Diabetic nephropathy--prevention and treatment - PubMed. Available at:


https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/12408275/ (Accessed: 18 December 2021).

American Diabetes Association. 2021. Diabetes Complications | ADA. [online] Available at:
<https://www.diabetes.org/diabetes/complications> [Accessed 18 December 2021].

Cao, Z. and Cooper, M. E. (2011) ‘Pathogenesis of diabetic nephropathy’, Journal of Diabetes


Investigation. Wiley-Blackwell, 2(4), p. 243. doi: 10.1111/J.2040-1124.2011.00131.X.

Chen, T.K., Knicely, D.H. and Grams, M.E., 2019. Chronic kidney disease diagnosis and management:
a review. Jama, 322(13), pp.1294-1304.

Erlyana Suryawijaya, E. (2019). Retinopati Diabetes. CDK-274/ vol. 46 no. 3 th. 2019

ESC Guidelines for the diagnosis and treatment of acute and chronic heart failure 20123

Gaitonde, D. Y., Cook, D. L., & Rivera, I. M. (2017). Chronic Kidney Disease: Detection and
Evaluation. American family physician, 96(12), 776–783.

Karinda, T., Sugeng, C. and Moeis, E., 2019. Gambaran Komplikasi Penyakit Ginjal Kronik Non
Dialisis di Poliklinik Ginjal-Hipertensi RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou Periode Januari 2017 –
Desember 2018. e-CliniC, 7(2).

Kementerian Agama RI. 2020. Tuntunan Manasik Haji dan Umrah. Jakarta: Kementerian Agama RI

Kementerian Kesehatan RI. 2017. PEMERIKSAAN DAN PEMBINAAN KESEHATAN HAJI


MENCAPAI ISTITHAAH KESEHATAN JEMAAH HAJI UNTUK MENUJU KELUARGA SEHAT.
Jakarta: Kementerian Kesehatan RI

Kidneyfund. 2021. Stages of Chronic Kidney Disease (CKD). [online] Available at:
<https://www.kidneyfund.org/kidney-disease/chronic-kidney-disease-ckd/stages-of-chronic-
kidney-disease/#stage-4-ckd> [Accessed 18 December 2021].
Maghfiro, Neneng. 2021. Rasulullah Melarangan Umatnya Berlebih-lebihan dalam Beribadah.
https://bincangmuslimah.com/ibadah/rasulullah-melarangan-umatnya-berlebih-lebihan-dalam-
beribadah-35305/ . diakses 18 Desember 2021

Perhimpunan Spesialis Kardiovaskular Indnesia 2020. Pedoman Tata Laksana Gagal Jantung Edisi
kedua. 2020. Accessed from: https://inaheart.org/wp-
content/uploads/2021/08/Pedoman_Tatalaksana_Gagal_Jantung_2020.pdf

Perhimpunan Spesialis Kardiovaskular Indnesia 2020. Panduan Rehabilitasi Kardiovaskular. 2019.


Accessed from: https://inaheart.org/wp-
content/uploads/2021/07/buku_panduan_rehabilitasi_kardiovaskular.pdf

(Kementerian Agama RI. Tuntunan Manasik Haji dan Umrah. 2020)

Perkumpulan Endokrinologi Indonesia. 2021. Pedoman Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus
Tipe 2 di Indonesia 2021. Indonesia: Perkeni https://pbperkeni.or.id/wp-
content/uploads/2021/11/22-10-21-Website-Pedoman-Pengelolaan-dan-Pencegahan-DMT2-
Ebook.pdf

Puskeshaji.kemkes.go.id. 2021. Kemenkes akan Bina 311 Calon Jamaah tak Istitha'ah. [online]
Available at: <https://puskeshaji.kemkes.go.id/berita/2019/4/13/kemenkes-akan-bina-311-calon-
jamaah-tak-istithaah> [Accessed 18 December 2021].

R Alexander, MD, PhD, M., 2021. Hypertension: Practice Essentials, Background, Pathophysiology.
[online] Emedicine.medscape.com. Available at: <https://emedicine.medscape.com/article/241381-
overview> [Accessed 18 December 2021].

Varghese, R. T. and Jialal, I. (2021) ‘Diabetic Nephropathy’. StatPearls Publishing. Available at:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK534200/ (Accessed: 18 December 2021)

Anda mungkin juga menyukai