Anda di halaman 1dari 16

BAB I

PENDAHULUAN

Di dunia ini setiap menit seorang perempuan meninggal karena komplikasi yang

terkait dengan kehamilan dan persalinan. Dengan kata lain, 1.400 perempuan meninggal

setiap hari atau lebih dari 500.000 perempuan meninggal setiap tahun karena kehamilan dan

persalinan. Di Indonesia, 2 orang ibu meninggal setiap jam karena kehamilan, persalinan dan

nifas. Begitu juga dengan kematian anak, di Indonesia setiap 20 menit anak usia di bawah 5

tahun meninggal. Dengan kata lain 30.000 anak balita meninggal setiap hari dan 10,6 juta

anak balita meninggal setiap tahun. Sekitar 99 % dari kematian ibu dan balita terjadi di negara

miskin, terutama di Afrika dan Asia Selatan. Di Indonesia angka kematian anak balita

menurun 15 % dalam 15 tahun, dari 79 kematian per 1.000 kelahiran hidup pada tahun 1988

menjadi 46 per 1.000 kelahiran hidup pada kurun waktu 1998-2002 (Survei Demografi

Kesehatan Indonesia 2002/2003). Sebagai perbandingan, angka kematian bayi di negara maju

seperti di Inggris saat ini sekitar 5 per 1.000 kelahiran hidup (WHO, 2005). Sebagian besar

kematian perempuan disebabkan komplikasi karena kehamilan dan persalinan, termasuk

perdarahan, infeksi, aborsi tidak aman, tekanan darah tinggi dan persalinan lama (Anonim,

2005).

Preeklampsia-eklampsia merupakan kesatuan penyakit yang masih merupakan

penyebab utama kematian ibu dan penyebab kematian perinatal tertinggi di Indonesia. Wahdi,

dkk (2000) mendapatkan angka kematian ibu akibat preeklampsia/ eklampsia di RSUP Dr.

Kariadi Semarang selama tahun 1996-1998 sebanyak 10 kasus (48%). Data ini sebanding

dengan dokumen WHO (18 September 1989) yang menyatakan bahwa penyebab langsung

kematian terbanyak adalah preeklampsia/eklampsia, perdarahan, infeksi dan penyebab tak

langsung adalah anemia, penyakit jantung. Sehingga diagnosis dini preeklampsia yang
merupakan pendahuluan eklampsia serta penatalaksanaannya harus diperhatikan dengan

seksama. Disamping itu, pemeriksaan antenatal yang teratur dan secara rutin untuk mencari

tanda preeklampsia yaitu hipertensi dan proteinuria sangat penting dalam usaha pencegahan,

disamping pengendalian faktor-faktor predisposisi lain (Sudinaya, 2003).

Insiden preeklampsia sangat dipengaruhi oleh paritas, berkaitan dengan ras dan

etnis. Disamping itu juga dipengaruhi oleh predisposisi genetik dan juga faktor lingkungan.

Sebagai contoh, dilaporkan bahwa tempat yang tinggi di Colorado meningkatkan insiden

preeklampsia. Beberapa penelitian menyimpulkan bahwa wanita dengan sosio ekonominya

lebih maju jarang terkena preeklampsia (Cunningham, 2003). Preeklampsia lebih sering

terjadi pada primigravida dibandingkan multigravida. Faktor risiko lain yang menjadi

predisposisi terjadinya preeklampsia meliputi hipertensi kronik, kelainan faktor pembekuan,

diabetes, penyakit ginjal, penyakit autoimun seperti Lupus, usia ibu yang terlalu muda atau

yang terlalu tua dan riwayat preeklampsia dalam keluarga (George, 2007).
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Preeklampsia

Preeklampsia merupakan sindrom spesifik-kehamilan berupa berkurangnya

perfusi organ akibat vasospasme dan aktivasi endotel, yang ditandai dengan peningkatan

tekanan darah dan proteinuria (Cunningham et al, 2003, Matthew warden, MD, 2005).

Preeklampsia terjadi pada umur kehamilan diatas 20 minggu, paling banyak terlihat pada

umur kehamilan 37 minggu, tetapi dapat juga timbul kapan saja pada pertengahan

kehamilan. Preeklampsia dapat berkembang dari preeklampsia yang ringan sampai

preeklampsia yang berat (George, 2007).

2.2 Epidemiologi Preeklampsia

2.2.1 Insiden Preeklampsia

Frekuensi preeklampsia untuk tiap negara berbeda-beda karena banyak faktor yang

mempengaruhinya; jumlah primigravida, keadaan sosial ekonomi, perbedaan kriteria dalam

penentuan diagnosis dan lain-lain. Di Indonesia frekuensi kejadian preeklampsia sekitar 3-

10% (Triatmojo, 2003), Sedangkan di Amerika Serikat dilaporkan bahwa kejadian

preeklampsia sebanyak 5% dari semua kehamilan (23,6 kasus per 1.000 kelahiran) (Dawn C

Jung, 2007). Pada primigravida frekuensi preeklampsia lebih tinggi bila dibandingkan dengan

multigravida, terutama primigravida muda, Sudinaya (2000) mendapatkan angka kejadian

preeklampsia dan eklamsia di RSU Tarakan Kalimantan Timur sebesar 74 kasus (5,1%) dari

1431 persalinan selama periode 1 Januari 2000 sampai 31 Desember 2000, dengan

preeklampsia sebesar 61 kasus (4,2%) dan eklamsia 13 kasus (0,9%). Dari kasus ini terutama

dijumpai pada usia 20-24 tahun dengan primigravida (17,5%). Diabetes melitus, mola

hidatidosa, kehamilan ganda, hidrops fetalis, umur lebih dari 35 tahun dan obesitas
merupakan faktor predisposisi untuk terjadinya preeklampsia (Trijatmo, 2005). Peningkatan

kejadian preeklampsia pada usia > 35 tahun mungkin disebabkan karena adanya hipertensi

kronik yang tidak terdiagnosa dengan superimposed PIH (Deborah E Campbell, 2006).

Di samping itu, preklamsia juga dipengaruhi oleh paritas. Surjadi, dkk (1999)

mendapatkan angka kejadian dari 30 sampel pasien preeklampsia di RSU Dr. Hasan Sadikin

Bandung paling banyak terjadi pada ibu dengan paritas 1-3 yaitu sebanyak 19 kasus dan juga

paling banyak terjadi pada usia kehamilan diatas 37 minggu yaitu sebanyak 18 kasus.

Wanita dengan kehamilan kembar bila dibandingkan dengan kehamilan tunggal, maka

memperlihatkan insiden hipertensi gestasional (13 % : 6 %) dan preeklampsia (13 % : 5 %) yang

secara bermakna lebih tinggi. Selain itu, wanita dengan kehamilan kembar

memperlihatkan prognosis neonatus yang lebih buruk daripada wanita dengan kehamilan

tunggal (Cunningham, 2003).

2.2.2 Faktor Risiko Preeklampsia

Walaupun belum ada teori yang pasti berkaitan dengan penyebab terjadinya preeklampsia,

tetapi beberapa penelitian menyimpulkan sejumlah faktor yang mempengaruhi terjadinya

preeklampsia. Faktor risiko tersebut meliputi;

1) Riwayat preeklampsia. Seseorang yang mempunyai riwayat preeklampsia atau riwayat

keluarga dengan preeklampsia maka akan meningkatkan resiko terjadinya preeklampsia.

2) Primigravida, karena pada primigravida pembentukan antibodi penghambat (blocking

antibodies) belum sempurna sehingga meningkatkan resiko terjadinya preeklampsia

Perkembangan preklamsia semakin meningkat pada umur kehamilan pertama dan

kehamilan dengan umur yang ekstrem, seperti terlalu muda atau terlalu tua.

3) Kegemukan
4) Kehamilan ganda. Preeklampsia lebih sering terjadi pada wanita yang mempuyai bayi

kembar atau lebih.

5) Riwayat penyakit tertentu. Wanita yang mempunyai riwayat penyakit tertentu

sebelumnya, memiliki risiko terjadinya preeklampsia. Penyakit tersebut meliputi

hipertensi kronik, diabetes, penyakit ginjal atau penyakit degenerati seperti reumatik

arthritis atau lupus.

2.3 Etiologi Preeklampsia

Etiologi preeklampsia sampai saat ini belum diketahui dengan pasti. Banyak teori-teori

yang dikemukakan oleh para ahli yang mencoba menerangkan penyebabnya, oleh karena itu

disebut penyakit teori; namun belum ada yang memberikan jawaban yang memuaskan.

Teori sekarang yang dipakai sebagai penyebab preeklampsia adalah teori iskemia plasenta.

Namun teori ini belum dapat menerangkan semua hal yang berkaitan dengan penyakit ini

(Rustam, 1998).

Adapun teori-teori tersebut adalah ;

1) Peran Prostasiklin dan Tromboksan

Pada preeklampsia dan eklampsia didapatkan kerusakan pada endotel vaskuler, sehingga

sekresi vasodilatator prostasiklin oleh sel-sel endotelial plasenta berkurang, sedangkan pada

kehamilan normal prostasiklin meningkat. Sekresi tromboksan oleh trombosit bertambah

sehingga timbul vasokonstrikso generalisata dan sekresi aldosteron menurun. Akibat

perubahan ini menyebabkan pengurangn perfusi plasenta sebanyak 50%, hipertensi dan

penurunan volume plasma (Y. Joko, 2002).

2) Peran Faktor Imunologis

Preeklampsia sering terjadi pada kehamilan I karena pada kehamilan I terjadi

pembentukan blocking antibodies terhadap antigen plasenta tidak sempurna.

Pada
preeklampsia terjadi komplek imun humoral dan aktivasi komplemen. Hal ini dapat

diikuti dengan terjadinya pembentukan proteinuria.

3) Peran Faktor Genetik

Preeklampsia hanya terjadi pada manusia. Preeklampsia meningkat pada anak dari ibu

yang menderita preeklampsia.

4) Iskemik dari uterus. Terjadi karena penurunan aliran darah di uterus

5) Defisiensi kalsium. Diketahui bahwa kalsium berfungsi membantu mempertahankan

vasodilatasi dari pembuluh darah (Joanne, 2006).

6) Disfungsi dan aktivasi dari endotelial. Kerusakan sel endotel vaskuler maternal memiliki

peranan penting dalam patogenesis terjadinya preeklampsia. Fibronektin diketahui

dilepaskan oleh sel endotel yang mengalami kerusakan dan meningkat secara signifikan

dalam darah wanita hamil dengan preeklampsia. Kenaikan kadar fibronektin sudah

dimulai pada trimester pertama kehamilan dan kadar fibronektin akan meningkat sesuai

dengan kemajuan kehamilan (Drajat koerniawan, ).

2.4 Patofisiologi Preeklampsia

Pada preeklampsia yang berat dan eklampsia dapat terjadi perburukan patologis pada

sejumlah organ dan sistem yang kemungkinan diakibatkan oleh vasospasme dan iskemia

(Cunningham, 2003). Wanita dengan hipertensi pada kehamilan dapat mengalami peningkatan

respon terhadap berbagai substansi endogen (seperti prostaglandin, tromboxan) yang dapat

menyebabkan vasospasme dan agregasi platelet. Penumpukan trombus dan pendarahan dapat

mempengaruhi sistem saraf pusat yang ditandai dengan sakit kepala dan defisit saraf lokal dan

kejang. Nekrosis ginjal dapat menyebabkan penurunan laju filtrasi glomerulus dan

proteinuria. Kerusakan hepar dari nekrosis hepatoseluler menyebabkan nyeri epigastrium dan

peningkatan tes fungsi hati. Manifestasi terhadap kardiovaskuler meliputi penurunan volume
intavaskular, meningkatnya cardiac output dan peningkatan tahanan pembuluh perifer.

Peningkatan hemolisis microangiopati menyebabkan anemia dan trombositopeni. Infark

plasenta dan obstruksi plasenta menyebabkan pertumbuhan janin terhambat bahkan kematian janin

dalam rahim (Michael, 2005).

Perubahan pada organ-organ :

1) Perubahan kardiovaskuler.

Gangguan fungsi kardiovaskuler yang parah sering terjadi pada preeklampsia dan

eklamsia. Berbagai gangguan tersebut pada dasarnya berkaitan dengan peningkatan afterload

jantung akibat hipertensi, preload jantung yang secara nyata dipengaruhi oleh berkurangnya

secara patologis hipervolemia kehamilan atau yang secara iatrogenik ditingkatkan oleh larutan

onkotik atau kristaloid intravena, dan aktivasi endotel disertai ekstravasasi ke dalam ruang

ektravaskular terutama paru (Cunningham, 2003).

2) Metabolisme air dan elektrolit

Hemokonsentrasi yang menyerupai preeklampsia dan eklamsia tidak diketahui

penyebabnya. Jumlah air dan natrium dalam tubuh lebih banyak pada penderita preeklampsia dan

eklamsia daripada pada wanita hamil biasa atau penderita dengan hipertensi kronik. Penderita

preeklampsia tidak dapat mengeluarkan dengan sempurna air dan garam yang diberikan. Hal

ini disebabkan oleh filtrasi glomerulus menurun, sedangkan penyerapan kembali tubulus

tidak berubah. Elektrolit, kristaloid, dan protein tidak menunjukkan perubahan yang nyata

pada preeklampsia. Konsentrasi kalium, natrium, dan klorida dalam serum biasanya dalam batas

normal (Trijatmo, 2005 ).

3) Mata

Dapat dijumpai adanya edema retina dan spasme pembuluh darah. Selain itu dapat terjadi

ablasio retina yang disebabkan oleh edema intra-okuler dan merupakan salah satu indikasi

untuk melakukan terminasi kehamilan. Gejala lain yang menunjukan tanda preklamsia berat

yang mengarah pada eklamsia adalah adanya skotoma, diplopia, dan ambliopia. Hal ini
disebabkan oleh adanya perubahan preedaran darah dalam pusat penglihatan dikorteks serebri

atau didalam retina (Rustam, 1998).

4) Otak

Pada penyakit yang belum berlanjut hanya ditemukan edema dan anemia pada korteks

serebri, pada keadaan yang berlanjut dapat ditemukan perdarahan (Trijatmo, 2005).

5) Uterus

Aliran darah ke plasenta menurun dan menyebabkan gangguan pada plasenta, sehingga

terjadi gangguan pertumbuhan janin dan karena kekurangan oksigen terjadi gawat janin. Pada

preeklampsia dan eklamsia sering terjadi peningkatan tonus rahim dan kepekaan terhadap

rangsangan, sehingga terjadi partus prematur.

6) Paru-paru

Kematian ibu pada preeklampsia dan eklamsia biasanya disebabkan oleh edema paru yang

menimbulkan dekompensasi kordis. Bisa juga karena terjadinya aspirasi pneumonia, atau

abses paru (Rustam, 1998).

2.5 Gambaran Klinis Preeklampsia

2.5.1 Gejala subjektif

Pada preeklampsia didapatkan sakit kepala di daerah frontal, skotoma, diplopia,

penglihatan kabur, nyeri di daerah epigastrium, mual atau muntah-muntah. Gejala-gejala ini

sering ditemukan pada preeklampsia yang meningkat dan merupakan petunjuk bahwa

eklamsia akan timbul. Tekanan darahpun akan meningkat lebih tinggi, edema dan proteinuria

bertambah meningkat (Trijatmo, 2005).

Pemeriksaan fisik

Pada pemeriksaan fisik yang dapat ditemukan meliputi; peningkatan tekanan sistolik 30

mmHg dan diastolik 15 mmHg atau tekanan darah meningkat lebih dari 140/90 mmHg.

Tekanan darah pada preklamsia berat meningkat lebih dari 160/110 mmHg dan disertai
kerusakan beberapa organ. Selain itu kita juga akan menemukan takikarda, takipnu, edema

paru, perubahan kesadaran, hipertensi ensefalopati, hiperefleksia, pendarahan otak (Michael,

2005).

2.6 Diagnosis Preeklampsia

Diagnosis preeklampsia dapat ditegakkan dari gambaran klinik dan pemeriksaan

laboratorium. Dari hasil diagnosis, maka preeklampsia dapat diklasifikasikan menjadi 2

golongan yaitu;

1) Preeklampsia ringan, bila disertai keadaan sebagai berikut:

a) Tekanan darah 140/90 mmHg, atau kenaikan diastolik 15 mmHg atau lebih, atau

kenaikan sistolik 30 mmHg atau lebih setelah 20 minggu kehamilan dengan riwayat

tekanan darah normal.

b) Proteinuria kuantitatif 0,3 gr perliter atau kualitatif 1+ atau 2+ pada urine kateter

atau midstearm.

2) Preeklampsia berat, bila disertai keadaan sebagai berikut:

a) Tekanan darah 160/110 mmHg atau lebih.

b) Proteinuria 5 gr atau lebih perliter dalam 24 jam atau kualitatif 3+ atau 4+

c) Oligouri, yaitu jumlah urine kurang dari 500 cc per 24 jam.

d) Adanya gangguan serebral, gangguan penglihatan, dan rasa nyeri di epigastrium.

e) Terdapat edema paru dan sianosis

f) Trombositopeni

g) Gangguan fungsi hati

h) Pertumbuhan janin terhambat (Lanak, 2004).

2.7 Penatalaksanaan Preeklampsia Berat

Penanganan umum.
a) Jika tekanan diastolik > 110 mmHg, berikan antihipertensi, sampai tekanan diastolik

diantara 90-100 mmHg

b) Pasang infus RL

c) Ukur keseimbangan cairan, jangan sapai terjadi overload

d) Kateterisasi urin untuk pengeluaran volume dan proteinuria

e) Jika jumlah urin < 30 ml perjam:

Infus cairan dipertahankan 1 1/8 jam

Pantau kemungkinan edema paru

f) Jangan tinggalkan pasien sendirian. Kejang disertai aspirasi dapat mengakibatkan

kematian ibu dan janin

g) Observasi tanda vital, refleks, dan denyut jantung janin setiap jam

h) Auskultasi paru untuk mencari tanda edema paru.

Krepitasi merupakan tanda edema paru. Jika terjadi edema paru, stop pemberian cairan

dan berikan diuretik misalnya furosemide 40 mg intravena

i) Nilai pembekuan darah dengan uji pembekuan bedside. Jika pembekuan tidak terjadi

sesudah 7 menit, kemungkinan terdapat koagulapati (Abdul bari, 2001).

Antikonvulsan. Pada kasus preeklampsia yang berat dan eklampsia, magnesium sulfat yang

diberikan secara parenteral adalah obat anti kejang yang efektif tanpa menimbulkan depresi

susunan syaraf pusat baik bagi ibu maupun janinnya. Obat ini dapat diberikan secara

intravena melalui infus kuntinu atau intramuskular dengan injeksi intermiten.

Infus intravena kontinu;

a) Berikan dosis bolus 4 - 6 gram MgSO 4 yang diencerkan dalam 100 ml cairan dan

diberikan dalam 15-20 menit


b) Mulai infus rumatan dengan dosis 2 g/jam dalam 100 ml cairan intravena

c) Ukur kadar MgSO4 pada 4-6 jam setelah pemberian dan disesuaikan kecepatan infus

untuk mempertahankan kadar antara 4 dan 7 mEg/l (4,8-8,4 mg/l)

d) MgSO4 dihentikan 24 jam setelah bayi lahir.

Injeksi intamuskular intermiten:

a) Berikan 4 gram MgSO4 sebagai larutan 20% secara intavena dengan kecepatan tidak

melebihi 1 g/manit

b) Lanjutkan segera dengan 10 gram MgSO4 50%, sebagian (5%) disuntikan dalam-

dalam di kuadran lateral atas bokong (penambahan 1 ml lidokain 2 % dapat

mengurangi nyeri). Apabila kejang menetap setelah 15 menit, berikan MgSO4 sampai

2 gram dalam bentuk larutan 20% secara intravena dengan kecepatan tidak melebihi 1

g/menit. Apabila wanita tersebut bertubuh besar, MgSo4 dapat diberikan samapi 4

gram perlahan.

c) Setiap 4 jam sesudahnya, berikan 5 gram larutan MgSO4 50% yang disuntikan dalam-

dalam ke kuadran lateral atas bokong bergantian kiri-kanan, tetapi setelah dipastikan

bahwa:

Reflek patela (+)

Tidak terdapat depresi pernapasan

Pengeluaran urin selama 4 jam sebelumnya melebihi 100 ml

d) MgSO4 dihentikan 24 jam setelah bayi lahir.

e) Siapkan antidotum

Jika terjadi henti napas

Berikan bantuan dengan ventilator

Berikan kalsium glukonat 2 g (20 ml dalam larutan 10%) secara intravena


perlahan-lahan sampai pernapasan mulai lagi.

Antihipertensi.

a) Obat pilihan adalah hidralazin, yang diberikan 5 mg intravena pelan-pelan selama 5

menit sampai tekanan darah turun

b) Jika perlu, pemberian hidralazin dapat diulang setiap jam, atau 12,5 intamuskular

setiap 2 jam

c) Jika hidralazin tidak tersedia, dapat diberikan:

Nifedipine dosis oral 10 mg yang diulang tiap 30 menit.

Labetalol 10 mg intravena sebagai dosis awal, jika tekanan darah tidak membaik

dalam 10 menit, maka dosis dapat ditingkatkan samapi 20 mg intravena

(Cunningham, 2003) .

Persalinan.

a) Pada preeklampsia berat, persalinan harus terjadi dalam 24 jam.

b) Jika seksio sesarea akan dilakukan, perhatikan bahwa:

Tidak terdapat koagulapati

Anestesi yang aman/ terpilih adalah anastesia umum. Jangan lakukan anastesia

lokal, sedangkan anestesia spinal berhubungan dengan hipotensi

c) Jika anestesia yang umum tidak tersedia, atau janin mati, aterm terlalu kecil, lakukan

persalinan pervaginam.

Jika servik matang, lakukan induksi dengan aksitosin 2-5 IU dalam 500 ml

dekstrose 10 tetes/menit atau dengan prostaglandin (Abdul bari, 2001).

BAB IV
PEMBAHASAN

Preeklampsia berat adalah timbulnya hipertensi 160/110 mmHg disertai


proteinuria dan atau edema pada kehamilan setelah 20 minggu. Pada kasus ini ibu
dikatakan mengalami preeklampsia berat karena mengalami hipertensi, yaitu tekanan
darahnya sebesar 180/120 mmHg dan disertai proteinuria +3. Ibu mengalami edema.
Edema memang bukan lagi menjadi kriteria untuk mendiagnosis preeklampsia berat.
Dalam kasus ini ibu telah hamil cukup bulan.
Hipertensi terjadi sebagai usaha untuk mengatasi kenaikan tahanan perifer agar
oksigenasi jaringan dapat tercukupi. Proteinuria terjadi karena pada preeklampsia
permeabilitas pembuluh darah terhadap protein meningkat. Edema terjadi karena terjadi
penimbunan cairan yang berlebihan dalam ruang interstitial. Pada preeklampsia dijumpai
kadar aldosteron yang rendah dan konsentrasi prolaktin yang tinggi daripada kehamilan
normal. Aldosteron penting untuk mempertahankan volume plasma dan mengatur retensi
air dan natrium. Pada preeklampsia terjadi perubahan pada ginjal yang disebabkan oleh
aliran darah kedalam ginjal menurun sehingga mengakibatkan filtrasi glomerulus
berkurang atau mengalami penurunan. Penurunan filtrasi glomerulus akibat spasmus
arteriole ginjal menyebabkan filtrasi natrium melalui glomerulus menurun yang
menyebabkan retensi garam dan juga retensi air.
Tanda lain dari preeklampsia berat yang dijumpai pada kasus ini adalah
Oliguria, jumlah produksi urine < 500 cc / 24 jam yang disertai kenaikan kadar
kreatinin darah. Hal ini terjadi karena pada preeklampsia filtrasi glomerulus dapat
turun sampai 50% dari normal sehingga menyebabkan diuresis menurun; pada
keadaan lanjut dapat terjadi oliguria atau anuria.
Hematuria, hematuria disinyalir merupakan gejala dan tanda daripada menuju ke
gagal ginjal. Hematuria pada pasien ini terjadi di duga akibat pemberian dosis
MgSO4 yang berlebihan pada saat dipuskemas sebelum datang kerumah sakit.
Gangguan visus : mata berkunang-kunang karena terjadi vasospasme, edema/ ablatio
retina.
Gangguan Serebral : kepala pusing dan sakit kepala karena vasospasme / edema otak
dan adanya resistensi pembuluh darah dalam otak.
Nyeri epigastrium atau nyeri pada kuadran kanan atas abdomen karena regangan
selaput hati oleh perdarahan/ edema atau sakit akibat perubahan pada lambung.

Terapi preeklampsia berat menggunakan MgSO4 40% 15 cc dalam 500 cc


larutan RL (drip 20 tetes/ menit) dan MgSO4 40% 4 g IV (bolus) dalam kasus ini terbukti
efektif dalam mencegah terjadinya kejang pada penderita. Tetapi pemberian MgSO4 di
hentikan karena pertimbangan ginjal pasien yang mengalami gangguan. Pemberian arti
hipertensi seperti klonidin (I.V), metildopa, dan Nifedipin 10 mg peroral pada pasien ini
belum juga dapat mengontrol tekanan darah pasien. Maka pertimbangan terminasi
kehamilan di lakukan dengan cara operasi Sectio. Setelah bayi lahir keadaan tekanan
darah pasien segera turun dan berada dalam keadaan normotensi (tekanan darah
normal) dan dilanjutkan pemberian diuretic furosemide IV 1x1 selama 3 hari untuk
mengatasi asites dan edema pada pasien.

BAB IV
DAFTAR PUSTAKA

Anonim, (2005, 07 April), Make Every Mother and Child Count, Available from:

http://pikas.bkkbn.go.id/news_detail.php?nid=4356 (Accesed: 2008, November

20).
Anaonim., (2006, october 31 - Last updated), About Preeclampsia, Available

from:

http://www.preeklamsia.org/abaut.asp. (Accesed: 2008, November 20)

Anonim, (2006, August), Preeclampsia, Eclampsia, and HELLP Syndrome,

Available

from: http://www.marchofdimes.com/pnhec/188 1054.asp. (Accesed: 2008,

November 20)

Anonim, (2007, January 24), Preeclampsia, Available from:

htttp://www.mayoclinic.com/health/preeclamsia/DS00583/DSECTION=4 (Accesed:

2008, November 20)

Brooks, B.M., (2005, January 05 - Last update), Pregnancy, Preeclampsia, Available

from: http://www.emedicine.com/emerg/topic480.htm (Accesed:2008, November

20)

Cunningham, F.G. et all, 2003, Williams Obstetrics, 21st ed, McGraw-Hill Companies.

Mochtar, R., 1998, Toksemia Gravidarum, dalam: Sinopsis Obstetri, Jilid I edisi II, EGC,

Jakarta.

Musalli,G. & Linden, A. (2007), Preeclampsia, Available from:

http://www.babycenter.com/refcap/pregnancy/pregcomplications/257.html#5.

(Accesed: 2008, November 20).

Rachimhadhi, T., 2005, pereklamsia dan Eklamsia, dalam: buku Ilmu Kebidanan,

Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawiroharjo, Jakarta.

Saifuddin, B. A., 2001, Buku Acuan Nasional Pelayanan Kesehatan Maternal Dan

Neonatal, JNNPKKR-POGI bekerjasama dengan Yayasan bina pustaka sarwono

prawirohardjo, Jakarta.

Sudinaya I.P., 2003, Insiden Preeklamsia-Eklamsia di Rumah Sakit Umum Tarakan

Kalimantan Timur-Tahun 2000, Cermin Dunia Kedokteran, 139, 13-15.


Surjadi, M.L. dkk, 1999, Perbandingan Rasio Ekskresi Kalsium/Kreatinin Dalam Urin

Antara Penderita Preeklamsia Dan Kehamilan Normal, Majalah Obstetri

Dan

Ginekologi Indonesia, 23, 23-26.

Suyono, Y.J., 2002, Dasar-Dasar Obstetri & Ginekologi, edisi 6, Hipokrates, Jakarta

Tomasulo, P.J. & Lubetkin, D., (2006, March 15 - Review date), Preeclamsia,

Availablefrom:

http://www.obgyn.health.ivillage.com/pregnancybacics/preeclamsia.cmf.

Wagner, L., (2004), Diagnosis And Management Of Preeclampsia, Available:

http://www.aafp.org/afp/20041215/2317.html. (Accesed: 2008, November 20)

Wahdi. Dkk, 2000. Kematian Maternal Di RSUP Dr. Kariadi Semarang Tahun 1996-

1998, Majalah Obstetri Dan Ginekologi Indonesia, 24, 165-170.

Anda mungkin juga menyukai