Anda di halaman 1dari 18

SARI PUSTAKA

POSTPARTUM CARDIOMYOPATHY

Disusun oleh:

Ade Maya Yulianti Fordatkosu (1161050063)

Rio Alexander (1261050265)

SARI PUSTAKA DIBUAT DALAM RANGKA MEMENUHI SYARAT


KEPANITERAAN ILMU PENYAKIT DALAM FAKULTAS
KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN INDONESIA
JAKARTA
2017
LEMBAR PENGESAHAN

Sari Pustaka dengan judul:

POTPARTUM CARDIOMYOPATHY

Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat menyelesaikan program

Kepaniteraan Ilmu Penyakit Dalam

Periode 24 Juli 2017 – 30 Oktober 2017

Disusun oleh:

Ade Maya Yulianti Fordatkosu (1161050063)

Rio Alexander (1261050265)

Telah diterima dan disetujui oleh dr. Frits R.W. Suling Sp.JP (K), FIHA, FAsCC

selaku pembimbing

Jakarta,

Mengetahui

dr. Frits R.W. Suling Sp.JP (K), FIHA, FasCC


BAB I

PENDAHULUAN

I.1. Latar belakang

Jantung ibu membuat penyesuaian kompensasi yang besar untuk mengakomodasi

tuntutan kehamilan dan menyusui. Pada beberapa wanita (hingga 0,04% di Amerika Serikat)

gagal jantung, yang ditandai dengan disfungsi ventrikel kiri berat, terjadi antara bulan

terakhir kehamilan dan masa nifas awal dalam penyakit yang dikenal sebagai kardiomiopati

postpartum (PPCM).

Kardiomiopati peripartum atau postpartum (PPCM) adalah penyakit serius dengan

etiologi yang masih kurang dipahami. Sekitar 80% dari pasien simptomatik sembuh,

meskipun kurang dari 30% mencapai pemulihan lengkap dengan normalisasi fungsi dan

ukuran ruang ventrikel kiri.

Elemen sentral dalam diagnosis PPCM adalah onset cepat dari disfungsi sistolik (fraksi

ejeksi ventrikel kiri kurang dari 45%) dengan pembesaran ventrikel kiri. Fenotip

kardiomiopati dilatasi berkembang dekat dengan waktu kelahiran anak (bulan terakhir dari

kehamilan sampai 6 bulan setelah melahirkan). Gejala pertama yang sering yaitu dispnea,

batuk, edema tungkai dan kelelahan umum, kadang-kadang disertai dengan tromboemboli

arteri perifer. Fungsi pompa ventrikel kiri yang terbatas mungkin berhubungan dengan

regurgitasi mitral berat akibat dilatasi ventrikel kiri. Adaptasi fisiologis terhadap kehamilan

dan kelahiran juga terkait dengan kecenderungan protombotik. Ada beberapa perubahan

fisiologis yang terjadi pada kehamilan yang secara sinergis menciptakan keadaan

hiperkoagulasi dan dengan demikian kecenderungan untuk menggumpal, yang berarti bahwa

risiko pembentukan trombus ventrikel kiri dan emboli arteri perifer meningkat pada pasien

PPCM dengan fraksi ejeksi kurang dari 35%. Risiko aritmia jantung dan kematian jantung
mendadak juga meningkat pada wanita dengan PPCM. EKG dan foto thoraks tidak begitu

penting karena spesivisitas mereka yang buruk dan penggunaan diagnostik yang terbatas.

I.2. Rumusan masalah

Postpartum Cardiomyopathy

I.3. Tujuan

1. Mengetahui dan memahami postpartum cardiomyopathy


2. Mengetahui dan memahami cara mendiagnosis postpartum cardiomyopathy
3. Mengetahui dan memahami tatalaksana postpartum cardiomyopathy
4. Mengetahui dan memahami prognosis postpartum cardiomyopathy

I.4. Metode

Sari pustaka
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

II.1. Definisi
Kardiomiopati postpartum (PPCM) adalah terjadinya gagal jantung pada bulan
terakhir kehamilan atau dalam 6 bulan setelah melahirkan tanpa penyebab yang dapat
diidentifikasi pada wanita yang sebelumnya sehat. Ini adalah kondisi yang langka, yang
menyebabkan angka kematian ibu yang tinggi. Ia didefinisikan sebagai penyakit dengan
disfungsi sistolik ventrikel kiri yang tidak dapat dijelaskan dan didiagnosis dengan
ekokardiografi.

II.2. Epidemiologi
Insiden PPCM dikutip 1: 3500 sampai 1: 1400 untuk Amerika Serikat dan Eropa, 1:
1000 untuk Afrika Selatan dan 1 dari 299 untuk Haiti. Karena perjalanan penyakit sama
dalam semua kasus, diasumsikan bahwa penyakit yang sama dijelaskan di berbagai daerah.

Sebuah insiden yang lebih tinggi tercatat pada wanita Afrika kulit hitam. Hal ini,
bersama dengan insiden yang tinggi di antara populasi kulit hitam Haiti dan Afrika,
mengarahkan pada kemungkinan faktor genetik yang meningkatkan risiko PPCM, setidaknya
pada daerah ini. Ibu usia lanjut dan multiparitas telah dicatat sebagai faktor risiko tinggi.

Dengan asumsi insidensi 1: 3500 sampai 1: 1400 kelahiran akan menghasilkan


insidensi yang diperkirakan hingga 300 pasien per tahun di Jerman, dengan gagal jantung
kritis dan berat pada sekitar 30 pasien. Namun, pada tahun 2007 saja 17 kasus dari PPCM
yang baru didiagnosis dilaporkan pada satu pusat saja, yang menunjukkan bahwa insidensi
yang sebenarnya lebih tinggi.

II.3. Faktor Resiko

Faktor risiko penyebab PPCM yang umum dilaporkan adalah usia tua,
multiparitas,kehamilan mutipel, ras kulit hitam, obesitas, malnutrisi hipertensi dalam
kehamilan,preeklamsia, pemeriksaan antenatal yang kurang, penyalahgunaan alkohol, kokain
dan tembakau, dan kondisi sosial ekonomi yang rendah. PPCM telah dilaporkan sebagian
besar pada wanita lebih dari 30 tahun, tetapi dapat terjadi pada berbagai kelompok umur.
Meskipun PPCM telah dilaporkan pada primigravida, ditemukan terjadi lebih sering dengan
multiparitas. Kehamilan kembar tampaknya mempunyai risiko lebih tinggi terkena PPCM.
Preeklamsia dan hipertensi telah dikaitkan dengan sejumlah besar kasus PPCM.
Banyak penulis bahkan melaporkan sebagai bentuk gagal jantung hipertensi. Namun,
preeklamsia sendiri jarang menyebabkan gagal jantung pada wanita sehat.Tidak adanya
perubahan vaskular dan hilangnya hipertensi dan preeklamsia sebelum timbulnya gagal
jantung menunjukkan hanya hipertensi yang mungkin terkait dan memperburuk PPCM, dan
bukan merupakan penyebab.

Malnutrisi, status sosial ekonomi rendah, dan pemeriksaan antenatal yang kurang juga
disebutkan sebagai faktor risiko dalam laporan sebelumnya, tetapi korelasi faktor-faktor ini
belum ditemukan dalam studi lebih lanjut. Ada juga laporan tentang faktor resiko yang
langka seperti penyalahgunaan kokain, alkohol dan tembakau.

II.4. Etiologi

Penyebab pasti PPCM tidak diketahui. Beberapa hipotesis penyebab PPCM seperti
miokarditis, virus, faktor autoimun, sitokin inflamasi, respon hemodinamik abnormal
terhadap perubahan fisiologis pada kehamilan,penggunaan tokolitik berkepanjangan dan
defisiensi selenium.

a. Miokarditis

Miokarditis didefinisikan sebagai infiltrasi inflamasi perivaskular limfosit dan


makrofag yang menyebabkan nekrosis miosit dengan atau tanpa fibrosis.EMB dipandu
Magnetic Resonance Imaging (MRI) pada daerah kontras yang lebih tinggi dapat
meningkatkan bukti terjadinya miokarditis akut pada tahap awal penyakit. Eosinofil dikenal
memiliki sifat kollagenolitik dan kardiotoksik ditemukan dalam jumlah yang signifikan pada
penderita PPCM. Hal tersebut menyiratkan peran eosinofil dalam perkembangan miokarditis
di PPCM.

b. Sitokin inflamasi

Silwa dkk, dalam sebuah studi yang besar, menemukan konsentrasi tinggi sitokin
inflamasi seperti faktor nekrosis tumor (TNF α), protein C-reaktif (CRP), Interleukin-6 (IL-6)
dan Fas/Apo-1 (sebuah penanda apoptosis) pada pasien PPCM. Kadar CRP berkorelasi
terbalik dengan fraksi ejeksi ventrikel kiri (LVEF) dalam studi mereka. Konsentrasi TNF α
yang tinggi dapat menyebabkan remodeling ventrikel lebih lanjut melalui reseptor jantung
spesifik, yang menyebabkan disfungsi ventrikel. Temuan dari studi lain menunjukkan bahwa
apoptosis miokard mungkin merupakan penyebab terjadinya PPCM. Penelitian yang lebih
besar menargetkan sitokin ini perlu dikembangkan untuk mengetahui peran mereka terhadap
terjadinya PPCM.

c. Infeksi Virus

Infeksi virus juga terlibat sebagai penyebab miokarditis. Penurunan kekebalan selama
kehamilan dapat menyebabkan infeksi virus. Bultmann dkk, menemukan materi genomik
virus dalam spesimen biopsi pasien PPCM. Polymerase chain reaction (PCR) dan ekstraksi
bahan genom dari EMB dipandu kontras MRI sangat membantu dalam mendeteksi genom
virus. Pada saat yang sama, ada beberapa laporan tidak menunjukkan adanya prevalensi
infeksi virus pada pasien PPCM, dan berpendapat bahwa kardiomiopati virus tidak perlu
dimasukkan dalam kriteria penyebab PPCM. Pentingnya dilakukan penelitian lanjut yang
lebih spesifik untuk membangun hubungan miokarditis virus dan PPCM.

d. Faktor autoimun

Telah dihipotesiskan bahwa sel-sel janin dari haplotype ayah masuk ke dalam
sirkulasi ibu berkaitan dengan penurunan kekebalan akibat kehamilan, dan mungkin tetap
beredar untuk waktu yang lama tanpa penolakan. Sel-sel tersebut dianggap sebagai antigen
asing setelah normalisasi kekebalan ibu pascapersalinan dan dapat memicu respon imun.
Autoantibodi dapat dibentuk terhadap plasenta, rahim atau janin pada ibu hamil.
Autoantibodi ini mungkin silang bereaksi dengan miokardium dan dapat menyebabkan
kardiomiopati.

e. Respon hemodinamik abnormal terhadap perubahan fisiologis pada kehamilan

Volume darah dan cardiac output (CO) meningkat, sedangkan resistensi pembuluh
darah sistemik (SVR) menurun selama kehamilan. Dilatasi ventrikel kiri dapat terjadi sebagai
respons terhadap peningkatan beban. Pengurangan fungsi ventrikel kiri pada kehamilan lanjut
dan awal masa nifas secara khas terlihat. Di duga bahwa PPCM mungkin merupakan
eksaserbasi fenomena yang normal tersebut.

f. Defisiensi Selenium

Cenac dkk, menemukan konsentrasi selenium yang rendah pada pasien PPCM, yang
mungkin hanya suatu kebetulan daripada menjadi penyebab. Levander menyatakan bahwa
defisiensi selenium menyebabkan peningkatan kerentanan terhadap infeksi virus, yang pada
gilirannya menyebabkan kardiomiopati.
e. Faktor lain

Beberapa faktor yang kurang penting yang dapat berkontribusi bagi pengembangan
PPCM adalah :

 Terapi tokolitik berkepanjangan


Namun, pengobatan ini mungkin memperberat penyakit jantung yang sudah ada
daripada memainkan peran etiologi.
 Hormon
Relaksin, hormon utama ovarium, dapat menyebabkan dilatasi jantung yang
berlebihan menyebabkan kardiomiopati. Meskipun sebelumnya terlibat, namun
pada laporan berikutnya estrogen, progesteron atau prolaktin tidak mendukung
peran apapun dalam etiologi PPCM.

2.5. Patofisiologi

Peripartum kardiomiopati adalah salah satu bentuk kardiomiopati dilatasi. Masalah


yang mendasar adalah menghilangnya kontraktilitas miokardium, yang ditandai dengan
menghilangnya kemampuan sistolik jantung. Kardiomiopati dilatasi menyebabkan penurunan
fraksi ejeksi, peningkatan volume end-diastolik, dan volume residual, penurunan volume
sekuncup ventrikel, serta gagal biventrikel.

Sekitar setengah kasus, etiologi kardiomiopati dilatasi adalah idiopatik, tetapi


kemungkinan besar kelainan ini merupakan hasil akhir dari kerusakan miokard akibat
produksi berbagai macam toksin, zat metabolit, atau infeksi. Kerusakan akibat infeksi viral
akut pada miokard yang akhirnya mengakibatkan terjadi kardiomiopati dilatasi ini terjadi
melalui mekanisme imunologis. Pada kardiomiopati dilatasi yang disebabkan oleh
penggunaan alkohol, kehamilan (pada 3-4 bulan pertama), penyakit tiroid, penggunaan
kokain dan keadaan takikardia kronik yang tidak terkontrol, dikatakan kardiomiopati tersebut
bersifat reversibel. Obesitas akan meningkatkan risiko terjadinya gagal jantung,sebagaimana
juga gejala sleep apnea. Kardiomiopati dilatasi dapat juga diakibatkan oleh konsekuensi
lanjut infeksi virus, bakteri, parasit atau proses autoimun. Respon inflamasi dan autoimun
termasuk pelepasan sitokin dan interleukin yang menghasilkan terjadinya miokarditis dan
fungsi kontraktil.Jenis ini diklasifikasikan ke dalam “inflammatory cardiomyopathy” oleh
WHO. Penyakit ini bersifat genetik heterogen tetapi kebanyakan transmisinya secara
autosomal dominan, walaupun dapat pula secara autosomal resesif dan diturunkan secara x-
linked. Sampai saat ini belum diketahui bagaimana seseorang akan memiliki predisposisi
kardiomiopati dilatasi apabila tidak diketahui riwayat kejadian penyakit ini dalam
keluarganya.

2.6. Manifestasi Klinis

Kriteria untuk diagnosis peripartum kardiomiopati ditegakkan oleh Demakis et al


pada tahun 1971. Gagal jantung harus bermanifestasi dalam bulan-bulan terakhir kehamilan
atau dalam waktu 5 bulan sebelum melahirkan dan ditemukan penyebab lain gagal jantung.
Kriteria diagnostik untuk peripartum kardiomiopati

 Ditemukan disfungsi ventrikel kiri (yakni, fraksi ejeksi ventrikel kiri <45%).
 Gejala gagal jantung bermanifestasi dalam bulan-bulan terakhir kehamilan atau dalam
waktu 5 bulan sebelum melahirkan.
 Tidak ditemukan penyebab lain untuk gagal jantung.

Peripartum kardiomiopati bermanifestasi dengan gejala-gejala dyspnea, orthopnea,


dispnea paroksismal nokturnal, batuk, nyeri dada, anorexia, fatigue dan edema pedis.

Pasien dengan peripartum kardiomiopati adalah mirip dengan pasien lain dengan
disfungsi sistolik ventrikel kiri. Gejala-gejala umum terdiri dari distensi vena dileher,
takikardi, takipneu, hepatomegali, hepatojugular refluks, asites, edema perifer, terjadinya
perubahan status mental dan tromboemboli jantung.

Gejala kardiak terdiri dari adanya irama gallop, murmur regurgitasi mitral, loud P2
dan rales. Dokter haruslah berhati-hati mendiagnosis kardiomiopati peripartum dan menolak
diagnosis-diagnosis yang lain. Selama kehamilan terdapat banyak perubahan fisiologis yang
dapat menyerupai gagal jantung. Pada trimester pertama terjadi peningkatan volume darah,
yang dapat menyebabkan distensi vena jugularis. Pada bulan-bulan terakhir kehamilan
normal sering ditemukan edema pedis. Dyspneu dan fatigue juga gejala sering pada
kehamilan normal. Perubahan fisiologis normal ini dapat membuka kedok penyakit jantung
subklinis atau kompensasi untuk pertama kalinya. Misalnya jika status cairan pasien
meningkat, penyakit jantung valvular asimptomatis dapat menjadi simptomatis untuk pertama
kalinya.
2.7 Pemeriksaan Diagnostik

Evaluasi status kardiovaskular pada wanita hamil lebih baik hanya dengan anamnesis
dan pemeriksaan fisik. Adakalanya diperlukan pemeriksaan lain yang harus dilakukan dengan
mempertimbangkan resikonya terhadap wanita hamil dan janin yang dikandungnya.

a. Pemeriksaan radiografi

Semua pemeriksaan radiografi mesti dihindarkan terutama pada awal kehamilan.


Pemeriksaan radiografi mempunyai resiko terhadap organogenesis abnormal pada janin, atau
malignancy pada masa kanak-kanak terutama leukemia. Jika pemeriksaan sangat diperlukan
sebaiknya dilakukan pada kehamilan lanjut, dosis radiasi seminimal mungkin dan
perlindungan terhadap janin seoptimal mungkin. Pada foto toraks pasien biasanya terdapat
pembesaran jantung dan kongesti pulmonal.

b. Pemeriksaan ekokardiografi

Pemeriksaan ekokardiografi, termasuk Doppler sangat aman dan tanpa resiko


terhadap ibu dan janin. Pemeriksaan tranesofageal ekokardiografi pada wanita hamil tidak
dianjurkan karena resiko anestesi selama prosedur.

Ekokardiografi adalah standar non invasif untuk mengukur fungsi jantung, mengukur
fungsi ventrikel kiri dan memberikan informasi dalam menyokong diagnosis untuk
menentukan disfungsi ventrikel kiri, oleh karena itu, ekokarkardiografi merupakan instrumen
yang penting dalam mendiagnosis kardiomiopati peripartum dan memprediksi prognosisnya.
Ekokardiografi sangat penting untuk meniadakan penyebab lain dari gagal jantung seperti
penyakit katup mitral, miksoma atrium kiri, dan penyakit perikardium. Ekokardiogram
biasanya menunjukkan dilatasi ventrikel kiri, dengan gangguan penanda dari penampilan
seluruh sistolik.

Kriteria ekokardiografi yang memenuhi dalam mendiagnosis kardiomiopati


peripartum yaitu fraksi ejeksi ventrikel kiri < 45%, fractional shortening < 30% pada skan
ekokardiografi M-mode, atau terdapat 2 kriteria tersebut, dan dimensi akhir diastolik
ventrikel kiri > 2,7 cm/m2 dari area permukaan tubuh. Secara keseluruhan, gambaran pada
ekokardiografi kardiomiopati peripartum tidak dapat dibedakan dari kardiomiopati dilatasi
non-iskemik primer.
c. Pemeriksaan elektrokardiografi

Pemeriksaan EKG sangat aman dan dapat membantu menjawab pertanyaan yang
spesifik. Kehamilan dapat menyebabkan interpretasi dari variasi gelombang ST-T lebih sulit
dari yang biasa, Depresi segmen ST inferior sering didapati pada wanita hamil normal.
Pergeseran aksis QRS kekiri sering didapati, tetapi deviasi aksis kekiriyang nyata (-30°)
menyatakan adanya kelainan jantung.

EKG biasanya menunjukkan takikardia sinus, meskipun mungkin ada fitur flutter
/fibrilasi atrium, hipertrofi atrium dan ventrikel kiri (LVH), deviasi aksis kiri, kelainan ST-T
non-spesifik, low voltage complex, aritmia, gelombang Q pada lead anteroseptal dan
abnormalitas konduksi sepert perpanjangan interval PR, QRS dan bundle branch blocks.
Dilaporkan juga terjadinya supraventricular / ventrikel takikardia, denyut prematur dan
gambaran infark miokard. Dalam banyak kasus,EKG bahkan mungkin normal.

d. Pemeriksaan laboratorium

Evaluasi laboratorium biasanya menunjukkan sedikit atau tidak ada peningkatan pada
kreatinin kinase,atau troponin jantung.

e. Pemeriksaan radionuklide

Beberapa pemeriksaan radionuklide akan mengikat albumin dan tidak akan mencapai
fetus, pemisahan akan terjadi dan eksposure terhadap janin mungkin terjadi. Sebaiknya
pemeriksaan ini dihindarkan. Adakalanya pemeriksaan ventilasi pulmonal/perfusi scan atau
scan perfusi miokard thallium diperlukan saat kehamilan. Diperkirakan eksposur terhadap
fetua rendah.

f. Magnetic resonance imaging (MRI)

Meskipun tidak tersedia informasi mengenai keamanan prosedur MRI pada evaluasi
wanita hamil dengan kehamilan, dilaporkan tidak didapati efek fetal yang merugikan bila
digunakan pada tujuan yang lain. Pemeriksaan ini mesti dihindarkan pada wanita dengan
implantasi pacu jantung atau defibrillator.

g. Biopsi Endomiokardial (EMB)

Peran EMB pada pasien PPCM masih kontroversial. Sensitivitas diagnostik EMB
dilaporkan sekitar 50%, sedangkan spesifisitas sangat tinggi (99%). EMB memiliki hasil
negatif palsu yang tinggi dan dapat bervariasi dengan waktu dilakukan biopsi.
EMB yang dilakukan pada awal dari proses penyakit memberikan hasil positif yang
lebih baik. EMB dipandu kontras MRI dapat memberikan hasil yang lebih positif. EMB
mempunyai beberapa risiko prosedural,dan oleh karena itu hanya dipertimbangkan jika
pasien tidak membaik setelah dua minggu manajemen konvensional atau ada kecurigaan
klinis kuat adanya miokarditis.

h. Kateterisasi jantung

Kateterisasi jantung digunakan untuk evaluasi fungsi ventrikel kiri, melakukan EMB
dan angiografi koroner. Kateterisai akan menunjukkan peningkatan tekanan pengisian
jantung dan penurunan CO dan PAH, tetapi indikasinya terbatas pada gagal jantung berat,
perburukan gejala penyakit jantung dan penyakit jantung iskemik (IHD). Angiografi koroner
harus selalu dipertimbangkan pada pasien dengan gambaran klinis dan EKG dari IHD,
sindrom koroner akut, hiperlipidemia, riwayat merokok dan diabetes mellitus.

2.8. Penatalaksanaan

Penanganan medis PPCM mirip penanganan pada penyakit gagal jantung. Pengobatan
utama adalah pembatasan cairan dan garam, digoksin, diuretik,vasodilator dan antikoagulan.
Kehamilan dan menyusui harus selalu menjadi pertimbangan sebelum memilih obat.

Tindakan Non-Farmakologis

Bed rest total selama 6 - 12 bulan, seperti yang telah dianjurkan sebelumnya, terkait
dengan kejadian rendah kardiomegali, tetapi hasil yang sama dapat dicapai tanpa istirahat di
tempat tidur berkepanjangan. Bed rest total mungkin merupakan predisposisi terjadinya
trombosis vena dalam (deep vein thrombosis) dan selanjutnya meningkatkan risiko emboli
paru. Setelah gejala klinis membaik dengan manajemen medis, olahraga sederhana
sebenarnya dapat meningkatkan perbaikan otot serta tonus arteri. Asupan cairan dan garam
dan cairan harus dibatasi masing-masing 2 - 4 gram / hari dan 2 L / hari, dan juga penting
dalam perbaikan gejala.

Manajemen Farmakologi

 Digoksin

Digoksin bermanfaat sebagai ionotropik,dan mengurangi gejala simptomatik.


Digoksin dalam dosis rendah aman selama kehamilan dan menyusui (dosis tinggi akan
meningkatkan sitokin inflamasi) dan kadar digoksin serum harus dimonitor, terutama bila
dikombinasi dengan diuretik. Pengobatan digoksin selama 6 - 12 bulan dapat mengurangi
risiko kekambuhan dari PPCM.

 Diuretik

Diuretik aman pada kehamilan dan menyusui. Diuretik diindikasikan untuk


mengurangi preload dan mengurangi gejala. Namun, harus hati-hati terhadap dehidrasi
iatrogenik yang menyebabkan hipoperfusi rahim dan mengakibatkan gawat janin.

 Loop diuretik

Biasa digunakan di rumah sakit, tapi thiazides dapat digunakan pada kasus-kasus
ringan. Dapat terjadi alkalosis metabolik akibat dehidrasi yang dipicu oleh diuretik.
Penambahan acetazolamide akan mengurangi alkalosis dengan menghilangkan bikarbonat.
Spironolactone, karena sifat antagonisme aldosteronnya, telah terbukti dapat mengurangi
gejala, frekuensi perawatan di rumah sakit dan kematian pada pasien gagal jantung berat bila
dikombinasi dengan manajemen standar. Namun, spironolactone mungkin tidak aman pada
kehamilan dan sebaiknya dihindari pada periode antepartum.

 Vasodilator

Vasodilator sangat penting dalam penanganan gagal jantung karena efek menurunkan
preload dan afterload. Vasodilator meningkatkan CO dan keberhasilan pengobatan gagal
jantung. Angiotensin Converting Enzyme Inhibitor (ACE- I) atau Angiotensin Reseptor
Blocker II (ARB) sekarang dianggap sebagai manajemen utama dan telah terbukti
menurunkan angka kematian pasien gagal jantung secara signifikan. ACE-I dan ARB
dikontraindikasikan pada kehamilan karena teratogenisitas, tapi harus dipertimbangkan
setelah melahirkan, dan bahkan dapat diberikan pada kehamilan lanjut ketika obat lainnya
tidak efektif. ACE-I diekskresikan melalui ASI sehingga ASI harus dihentikan pada pasien
yang membutuhkan ACE-I. Infus nitrogliserin dan natrium nitroprusside (SNP) mungkin
diperlukan dalam kondisi yang parah. Karena toksisitas sianida yang tinggi, SNP mungkin
bukan pilihan yang baik pada periode antepartum.

 Calcium channel blocker

Awalnya, penggunaan calcium channel blockers (CCB) pada gagal jantung tidak
dapat diterima karena efek kontraktil negatif dan potensi risiko hipoperfusi rahim.
Amlodipine sekarang telah terbukti meningkatkan tingkat kelangsungan hidup pada pasien
kardiomiopati non-iskemik. Pada pengujian Prospective Randomized Amlodipine Survival
Evaluation (PRAISE), amlodipine dapat menurunkan kadar IL-6 dan menunjukkan peran
potensial dalam pengelolaan PPCM. Levosimendan,sebuah sensitizer kalsium memiliki efek
vasodilatasi dan meningkatkan kontraktilitas jantung pada pasien gagal jantung. Akhir-akhir
ini, Levosimendan telah digunakan pada pasien PPCM dan berhasil menurunkan peningkatan
Pulmonary Capillary Wedge Pressure (PCWP) dan selanjutnya meningkatkan CO. Karena
kurangnya laporan tentang keamanannya, levosimendan sebaiknya dihindari pada pasien
menyusui.

 Beta blocker

Beta bloker tidak dikontraindikasikan pada kehamilan, tetapi penggunaannya


dikaitkan dengan berat badan lahir rendah. Beta blockers dengan sifat tambahan blok alpha
(seperti carvedilol) juga mengurangi afterload. Carvedilol telah digunakan dengan aman pada
kehamilan dan PPCM. Beta blockers dan ACE-I mungkin mempunyai peran tambahan dalam
penekanan respon imun, dan juga mencegah remodeling ventrikel dan mengurangi ukuran
ventrikel. Obat dapat dikurangi secara bertahap selam 6 - 12 bulan bila secara klinis fungsi
ventrikel dan ekokardiografi kembali normal. Jika ada bukti disfungsi jantung terus-menerus
yang terkait dengan hipertensi atau diabetes, obat harus dilanjutkan untuk waktu yang lama.

 Agen antiaritmia

Agen antiaritmia kadang mungkin diperlukan untuk mengobati keluhan


simptomatik.Tidak ada agen antiaritmia yang benar-benar aman pada kehamilan. Quinidine
dan Procainamide merupakan pengobatan lini pertama karena profil keamanan yang lebih
tinggi dan pengobatan harus dilakukan di rumah sakit. Digoksin dapat dipertimbangkan untuk
aritmia atrium, dan adenosin juga dapat digunakan dalam keadaan darurat. Amiodarone dapat
menyebabkan hipotiroidisme, retardasi pertumbuhan dan kematian perinatal, sehingga harus
dihindari pada trimester pertama dan diberikan hanya pada aritmia berat yang mengancam
kehidupan.

 Terapi antikoagulan

Terapi antikoagulan diberikan pada pasien dengan LVEF <35% dan pasien terbaring
di tempat tidur dengan atrial fibrilasi, trombus, obesitas dan riwayat tromboemboli. Keadaan
hiperkoagulasi yang biasa terjadi pada kehamilan dan stasis darah karena disfungsi ventrikel
membuat pasien PPCM lebih rentan terhadap pembentukan trombus dan komplikasinya.
Situasi ini dapat bertahan selama enam minggu masa nifas, sehingga diperlukan penggunaan
heparin dalam antepartum dan heparin atau warfarin dalam periode postpartum. Warfarin
merupakan kontraindikasi pada kehamilan karena efek teratogenik,tetapi baik heparin
maupun warfarin aman digunakan selama menyusui.

 Terapi imunosupresif

Terapi imunosupresif dengan azathioprine dan prednisolon telah diteliti pada pasien
PPCM dengan miocarditis-positif. Melvin dkk,pertama mencatat perbaikan dramatis dalam
tiga pasien dengan terapi imunosupresif. Dalam studi lain, 9 dari 10 pasien menunjukkan
perbaikan PCWP dan Left Ventricular Stroke Work Index (LVSWI) dengan terapi
prednisolon. Namun, Pengujian Pengobatan Miokarditis gagal untuk menunjukkan
keuntungan dari terapi imunosupresif pada pasien PPCM. Saat ini, tampaknya tidak ada
indikasi rutin terapi imunosupresif, tetapi dapat dipertimbangkan bila hasil biopsi terbukti
tidak berespon setelah 2 minggu pengobatan standar.

 Terapi imunoglobulin

Imunoglobulin intravena (IVIG) telah terbukti meningkatkan perbaikan disfungsi


ventrikel akibat PPCM. Mengingat bukti-bukti meningkatnya autoimunitas pada PPCM,
mungkin bijaksana untuk mempertimbangkan IVIG pada pasien PPCM yang tidak berespon
terhadap pengobatan konvensional.

 Interferon

Interferon telah digunakan bila hasil biopsi membuktikan miokarditis virus. Interferon
hanya memperbaiki parameter echocardiografi, namun tidak menghasilkan banyak manfaat
terhadap gejala simtomatik pasien PPCM.

 Immunomodulasi

Pentoxifylline, agen imunomodulasi dikenal untuk mengurangi produksi TNFa, CRP


dan Fas/Apo-1, telah terbukti dalam penelitian dapat memperbaiki kelas NYHA, LVEF dan
hasil akhir pengobatan pada pasien PPCM bila dikombinasikan dengan pengobatan
konvensional. Namun, dibutuhkan lebih banyak bukti sebelum pentoxifylline dapat
direkomendasikan.
Manajemen Operasi

Transplantasi jantung hanya diperuntukkan bagi mereka yang resisten terhadap semua
manajemen medis, tetapi tingkat penolakan lebih besar karena tingginya titer antibodi yang
beredar. Pasien dengan usia muda, kerusakan end- organ minimal dan PPCM onset dini
memiliki hasil yang lebih menguntungkan.

Manajemen Obstetrik

PPCM selama periode antepartum memerlukan pemantauan janin dan ibu yang
intensif. Suatu pendekatan multidisiplin yang melibatkan dokter kebidanan, ahli jantung,
anestesi dan perinatologist mungkin diperlukan untuk memberikan perawatan yang optimal
kepada pasien PPCM. Analgesia regional akan mengurangi stres jantung akibat nyeri
persalinan, sedangkan aplikasi forsep outlet atau alat vakum dapat meminimalkan stres
jantung pada kala 2 persalinan. Operasi caesar meningkatkan risiko kehilangan darah,
endometriosis dan emboli paru, dan paling baik dilakukan untuk indikasi obstetri serta dalam
kondisi dekompensasi berat.Setelah persalinan, pasien perlu pemantauan di Unit Perawatan
Intensif (ICU) untuk deteksi dini dan pengelolaan autotransfusi uterus yang menginduksi
edema paru.

Dokter kebidanan harus memberikan konseling tentang menyusui dan kehamilan


berikutnya sebelum pasien dipulangkan. Tidak ada kontrasepsi yang benar-benar ideal untuk
wanita dengan penyakit jantung, karena resiko terjadinya komplikasi seperti thrombosis dan
infeksi. Jenis-jenis kontrasepsi :

 Barier/ kondom
Kurang ideal karena angka kegagalan cukup tinggi ± 12 %
 Pil oral ontrasepsi
Angka keberhasilan sangat tinggi tetapi karena ada resiko tromboemboli maka
pemakaiannya harus dihindari pada kelainan jantung seperti mitral stenosis, riwayat
tromboemboli, atrial fibrilasi, katup jantung prostetik, kardiomiopati, dan sindroma
Eisenmenger
 Kontrasepsi bebas estrogen
Walaupun efektifitasnya lebih rendah tapi terbukti aman untuk wanita dengan
penyakit jantung
 IUD
Pemakaian harus hati-hati karena adanya resiko infeksi dan reflex vagal yang dapat
menimbulkan bradikardia pada saat pemasangan. Selain itu pada pasien yang
memakai antikoagulan ada resiko perdarahan menstruasi yang banyak
 Tubektomi atau vasektomi
Dianjurkan pada pasien yang sudah tidak mengingkan anak

2.9 Prognosis

Prognosis berhubungan dengan peningkatan fungsi ventrikel kiri, dan fungsi ventrikel
kembali normal dalam enam bulan pertama pada 30% pasien dan 50% pasien sembuh total.
Dalam kasus ini kematian bervariasi antara 3% dan 60% dalam fase akut dan subakut.
Insidensi PPCM adalah 1 dari 1,300-15,000 kelahiran hidup. Berbagai angka kejadian dan
kematian dapat dijelaskan oleh perbedaan geografis, perbedaan kriteria diagnostik dan
ekokardiografi yang digunakan secara luas. Gagal jantung kongestif, aritmia dan peristiwa
tromboemboli bertanggung jawab atas kematian.

Sebuah studi pada 100 pasien dari Afrika Selatan melaporkan angka kematian 15%
untuk PPCM. Pada 23% fungsi ventrikel kiri (LV) kembali ke normal setelah 6 bulan. Studi
dari Haiti juga mengutip angka kematian sebesar 15% dan melaporkan normalisasi pada
akhirnya pada 31% dari pasien PPCM. Laporan studi yang diterbitkan baru-baru ini pada 100
pasien, 67% di antaranya orang Amerika kulit putih dengan fraksi ejeksi ventrikel kiri awal
29 ± 11%. Pada 54% fungsi LV membaik, dan kematian ibu adalah 9%. Data ini,
menunjukkan bahwa meskipun pengobatan gagal jantung optimal, tidak ada 20 perbaikan
klinis dalam fungsi pompa yang diamati pada 30% sampai 40% dari pasien PPCM, dan gagal
jantung terminal terjadi pada 9% sampai 23%.
DAFTAR PUSTAKA

1. Clapp C, et al. Hormones and postpartum cardiomyopathy. TRENDS in


Endocrinology and Metabolism 2007; 18(9)
2. Sliwa K, Fett J, Elkayam U: Peripartum cardiomyopathy. Lancet 2006; 368: 687–93
3. Hilfiker-Kleiner D, et al. Postpartum Cardiomyopathy. Dtsch Arztebl Int 2008;
105(44): 751–6
4. Bozkurt M, et al. Coexistence of postpartum cardiomyopathy and single coronary
artery anomaly. Proceedings in Obstetrics and Gynecology, 2013; 3(2):7 7
5. McAnulty JH, Metcalfe J, Ueland K. Heart disease and preganancy. In Alexander
RW, Schlant RC, Fuster V, O'Rourke, Roberts R, and Sonnenblick EH. Hurst's The
Heart; 9th ed. Mc Graw-Hilllnternational: New York, 1999; p. 2271-88.
6. Reiltorld SC, Rutherford JD. Valvular heart disease in pregnancy. N.Engl J Med
2003; 349: 52-9.
7. Prasad AK, Ventura HO. Valvular heart disease and pregnancy. A high index of
susupicion is important to reduce risk. Postgraduate Medicine. 2001; 110; 69-76.
8. Maron BJ dkk, 2006, “Contemporary Definitions and Classification of The
Cardiomyopathies” Circulation, 113, 1807-1816
9. Lok SI et all. Peripartum cardiomyopathy: the need for a national database. NethHeart
J (2011) 19:126 –133. Available at: www.springerlink.com
10. Ramaraj R and Sorrel VL. Peripartum cardiomyopathy: Causes, diagnosis,
andtreatment. Cleveland clinic journal of medicine volume 76, number 5 may 2009;
289-296.
11. Wells GL and Twomley KM. Peripartum Cardiomyopathy: A Current
Review.Journalof Pregnancy. Volume 2010

Anda mungkin juga menyukai