Anda di halaman 1dari 15

BAB II

PEMBAHASAN

A. Definisi Diabetes Insipidus

Diabetes insipidus adalah kelainan endokrin yang ditandai dengan polidipsi


dan poliuri. Dua mekanisme yang mendasari adalah gangguan pelepasan ADH oleh
hipotalamus atau hipofisis (sentral) dan gangguan respons terhadap ADH oleh
ginjal (nefrogenik) (Kusmana, 2016). Diabetes Insipidus (DI) adalah penyakit yang
sangat kompleks dan langka. Kata "Diabetes Insipidus" adalah gabungan dua kata
"Diabetes" dan "Insipidus". Diabetes adalah kata asal Yunani yang berarti "siphon"
dan Insipidus adalah kata asal Latin yang berarti "tanpa rasa" . DI sebenarnya
adalah ketidakmampuan tubuh untuk mempertahankan air karena patofisiologi
produksi hormon antidiuretik (ADH) dan penyakit lainnya. ADH diproduksi oleh
syaraf supraoptik dan nukleus paraventrikular yang terletak di hipotalamus. Setelah
produksi ADH mengalir deras sepanjang saluran hipotiroid-hypophyseal dan
disimpan di hipofisis posterior, yang mana tepat di stimulus dari osmoreseptor,
dilepaskan dari lokasi penyimpanannya Produksi. (Abbas, dkk, 2016). Menurut
NIDDK, Diabetes insipidus adalah kelainan langka yang terjadi saat ginjal
seseorang mengeluarkan sejumlah besar urine yang tidak normal yang tidak sedap
dan encer. Pada kebanyakan orang, ginjal mengeluarkan sekitar 1 sampai 2 liter air
kencing sehari. Pada orang dengan diabetes insipidus, ginjal bisa mengeluarkan 3
sampai 20 liter air kencing sehari. Akibatnya, penderita diabetes insipidus mungkin
merasa perlu minum sejumlah besar cairan.

B. Anatomi fisiologi Diabetes Insipidus


C. Etiologi Diabetes Insipidus

Penyebab diabetes insipidus:

1. Sekunder yang berhubungan dengan trauma kepala, tumor otak, atau


pembedahan ablasi atau iradiasi kelenjar hipofisis, infeksi sistem saraf pusat atau
tumor metastasis (payudara, paru).
2. Nefrologis yang berhubungan dengan kegagalan tubulus renalis untuk berespon
terhadap ADH.

1
3. Nefrogenik yang berhubungan dengan obat yang disebabkan oleh berbagai
pengobatan (misalnya: Lifium demeklosikin).
4. Primer, hereditas dengan gejala-gejala kemungkinan saat lahir (kelainan pada
kelenjar hipofisis).

Penyakit ini tidak dapat dikontrol dengan membatasi masukan cairan,


karena kehilangan volume urine dalam jumlah yang besar berlanjut terus bahkan
tanpa mengganti cairan sekalipun. Upaya membatasi cairan menyebabkan pasien
mengalami suatu kebutuhan akan cairan yang tiada henti-hentinya dan mengalami
hipernatrimia serta dehidrasi berat.

D. Patofisiologi Diabetes Insipidus

Vasopresin arginin merupakan suatu hormon antidiuretik yang dibuat di


nucleus supraoptik, paraventrikular, dan filiformis hipotalamus, bersama dengan
pengikatnya yaitu neurofisin II. Vasopresin kemudian diangkut dari badan sel
neuron (tempat pembuatannya), melalui akson menuju ke ujung saraf yang berada
di kelenjar hipofisis posterior, yang merupakan tempat penyimpanannya. Secara
fisiologis, vasopressin dan neurofisin yang tidak aktif akan disekresikan bila ada
rangsang tertentu. Sekresi vasopresin diatur oleh rangsang yang meningkat pada
reseptor volume dan osmotic. Peningkatan osmolalitas cairan ekstraseluler atau
penurunan volume intravaskuler akan merangsang sekresi vasopresin.

Vasopressin kemudian meningkatkan permeabilitas epitel duktus


pengumpul ginjal terhadap air melalui suatu mekanisme yang melibatkan
pengaktifan adenolisin dan peningkatan AMP siklik. Akibatnya, konsentrasi kemih
meningkat dan osmolalitas serum menurun. Osmolalitas serum biasanya
dipertahankan konstan dengan batas yang sempit antara 290 dan 296 mOsm/kg
H2O. Gangguan dari fisiologi vasopressin ini dapat menyebabkan pengumpulan air
pada duktus pengumpul ginjal karena berkurang permeabilitasnya, yang akan
menyebabkan poliuria atau banyak kencing.

Selain itu, peningkatan osmolalitas plasma akan merangsang pusat haus,


dan sebaliknya penurunan osmolalitas plasma akan menekan pusat haus. Ambang
rangsang osmotic pusat haus lebih tinggi dibandingkan ambang rangsang sekresi
vasopresin. Sehingga apabila osmolalitas plasma meningkat, maka tubuh terlebih

2
dahulu akan mengatasinya dengan mensekresi vasopresin yang apabila masih
meningkat akan merangsang pusat haus, yang akan berimplikasi orang tersebut
minum banyak (polidipsia).

Secara patogenesis, diabetes insipidus dibagi menjadi 2 yaitu diabetes


insipidus sentral, dimana gangguannya pada vasopresin itu sendiri dan diabetes
insipidus nefrogenik, dimana gangguannya adalah karena tidak responsifnya
tubulus ginjal terhadap vasopresin. Diabetes insipidus sentral dapat disebabkan oleh
kegagalan pelepasan hormone antidiuretik ADH yang merupakan kegagalan
sintesis atau penyimpanan. Hal ini bisa disebabkan oleh kerusakan nucleus
supraoptik, paraventrikular, dan filiformis hipotalamus yang mensistesis ADH.
Selain itu, DIS juga timbul karena gangguan pengangkutan ADH akibat kerusakan
pada akson traktus supraoptikohipofisealis dan aksin hipofisis posterior di mana
ADH disimpan untuk sewaktu-waktu dilepaskan ke dalam sirkulasi jika
dibutuhkan.

E. Klasifikasi Diabetes Insipidus


1. Diabetes insipidus sentral (neurogenik)

Merupakan bentuk tersering dari diabetes insipidus dan biasanya


berakibat fatal. Diabetes insipidus sentral merupakan manifestasi dari kerusakan
hipofisis yang berakibat terganggunya sintesis dan penyimpanan ADH. Hal ini
bisa disebabkan oleh kerusakan nucleus supraoptik, paraventrikular, dan
filiformis hipotalamus yang mensistesis ADH. Selain itu, diabetes insipidus
sentral (DIS) juga timbul karena gangguan pengangkutan ADH akibat kerusakan
pada akson traktus supraoptiko hipofisealis dan akson hipofisis posterior di mana
ADH disimpan untuk sewaktu-waktu dilepaskan ke dalam sirkulasi jika
dibutuhkan.

Penanganan pada keadaan DI sentral adalah dengan pemberian sintetik


ADH (desmopressin) yang tersedia dalam bentuk injeksi, nasal spray, maupun
pil. Selama mengkonsumsi desmopressin, pasien harus minum hanya jika haus.
Mekanisme obat ini yaitu menghambat ekskresi air sehingga ginjal
mengekskresikan sedikit urin dan kurang peka terhadap perubahan
keseimbangan cairan dalam tubuh.

3
2. Diabetes Insipidus Nefrogenik

Keadaan ini terjadi bila ginjal kurang peka terhadap ADH. Hal ini dapat
di sebabkan oleh konsumsi obat seperti lithium, atau proses kronik ginjal seperti
penyakit ginjal polikistik, gagal ginjal, blok parsial ureter, sickle cell disease,
dan kelainan genetik, maupun idiopatik. Pada keadaan ini, terapi desmopressin
tidak akan berpengaruh. Penderita diterapi dengan hydrochlorothiazide (HCTZ)
atau indomethacin. HCTZ kadang dikombinasikan dengan amiloride. Saat
mengkonsumsi obat ini, pasien hanya boleh minum jika haus untuk mengatasi
terjadinya volume overload.

3. Diabetes Insipidus Dipsogenik

Kelainan ini disebabkan oleh kerusakan dalam mekanisme haus di


hipotalamus. Defek ini mengakibatkan peningkatan rasa haus yang abnormal
sehingga terjadi supresi sekresi ADH dan peningkatan output urin.
Desmopressin tidak boleh digunakan untuk penanganan diabetes insipidus
dipsogenik karena akan menurunkan output urin tetapi tidak menekan rasa haus.
Akibatnya, input air akan terus bertambah sehingga terjadi volume overload
yang berakibat intoksikasi air (suatu kondisi dimana konsentrasi Na dalam darah
rendah/hiponatremia) dan dapat berefek fatal pada otak. Belum ditemukan
pengobatan yang tepat untuk diabetes insipidus dipsogenik.

4. Diabetes insipidus gestasional

Diabetes insipidus gestasional terjadi hanya saat hamil jika enzim yang
dibuat plasenta merusak ADH ibu. Kebanyakan kasus diabetes insipidus pada
kehamilan membaik diterapi dengan desmopressin. Pada kasus dimana terdapat
abnormalitas dari mekanisme haus, desmopresin tidak boleh digunakan sebagai
terapi.

F. Manifestasi Klinis Diabetes Insipidus

1. Poliuria : haluaran urin harian dalam jumlah yang sangat banyak dengan urin
yang sangat encer, berat jenis urin 1,001 sampai 1,005. Biasanya mempunyai
awitan yang mendadak, tetapi mungkin secara tersamar pada orang dewasa.

2. Polidipsia : rasanya sangat kehausan , 4 sampai 40 liter cairan setiap hari


terutama sangat membutuhkan air yang dingin.

4
3. Tidur terganggu karena poliuria dan nokturia

4. Penggantian air yang tidak cukup dapat menyebabkan :

a. Hiperosmolalitas dan gangguan SSP ( cepat marah, disorientasi, koma dan


hipertermia )

b. Hipovolemia, hipotensi, takikardia, mukosa kering dan turgor kulit buruk.

5. Dehidrasi Bila tidak mendapat cairan yang adekuat akan terjadi dehidrasi.
Komplikasi dari dehidrasi, bayi bisa mengalami demam tinggi yang disertai
dengan muntah dan kejang-kejang. Jika tidak segera terdiagnosis dan diobati,
bisa terjadi kerusakan otak, sehingga bayi mengalami keterbelakangan mental.
Dehidrasi yang sering berulang juga akan menghambat perkembangan fisik.
Gejala lain :
1. Penurunan berat badan
2. Bola mata cekung
3. Hipotensi
4. Tidak berkeringat atau keringat sedikit, sehingga kulit kering dan pucat
5. Anoreksia
G. Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan penunjang yang dilakukan pada Diabetes Insipidus adalah :

1. Hickey-Hare atau Carter-Robbins test.


Pemberian infuse larutan garam hipertonis secara cepat pada orang normal
akan menurunkan jumlah urin. Sedangkan pada diabetes insipidus urin akan
menetap atau bertambah. Pemberian pitresin akan menyebabkan turunnya
jumlah urin pada pasien DIS dan menetapnya jumlah urin pada pasien DIN.
2. Fluid deprivation menurut Martin Golberg.
a. Sebelum pengujian dimulai, pasien diminta untuk mengosongkan
kandung kencingnya kemudian ditimbah berat badannya, diperiksa
volum dan berat jenis atau osmolalitas urin pertama. Pada saat ini diambil
sampel plasma untuk diukur osmolalitasnya.
b. Pasien diminta buang air kecil sesering mungkin paling sedikit setiap
jam.
c. Pasien ditimbang setiap jam bila diuresis lebih dari 300 ml/jam atau
setiap 3 jam bila dieresis kurang dari 300 ml/jam.
d. Setiap sampel urin sebaiknya diperiksa osmolalitasnya dalam keadaan
segar atau kalau hal ini tidak mungkin dilakukan semua sampel harus
disimpan dalam botol yang tertutup rapat serta disimpan dalam lemari es.
e. Pengujian dihentikan setelah 16 jam atau berat badan menurun 3-4 %
tergantung mana yang terjadi lebih dahulu. Pengujian ini dilanjutkan
dengan :
1) Uji nikotin

5
a) Pasien diminta untuk merokok dan menghisap dalam-dalam
sebanyak 3 batang dalam waktu 15-20 menit.
b) Teruskan pengukuran volume, berat jenis dan osmolalitas setiap
sampel urine sampai osmolalitas/berat jenis urin menurun
dibandingkan dengan sebelum diberikan nikotin.
2) Uji Vasopresin :
a) Berikan pitresin dalam minyak 5 m, intramuscular.
b) Ukur volume, berat jenis, dan osmolalitas urin pada dieresis
berikutnya atau 1 jam kemudian.
3. Laboraturium: darah, urinalisis fisis dan kimia. Jumlah urin biasanya
didapatkan lebih dari 4-10 liter dan berat jenis bervariasi dari 1,001-1,005
dengan urin yang encer. Pada keadaan normal, osmolalitas plasma kurang
dari 290 mOsml/l dan osmolalitas urin osmolalitas urin 300-450 mOsmol/l.
pada keadaan dehidrasi, berat jenis urin bisa mencapai 1,010, osmolalitas
plasma lebih dari 295 mOsmol/l dan osmolalitas urin 50-150 mOsmol/l. urin
pucat atau jernih dan kadar natrium urin rendah. Pemeriksaan laboraturium
menunjukkan kadar natrium yang tinggi dalam darah. Fungsi ginjal lainnya
tampak norma.
4. Tes deprivasi air diperlukan untuk pasien dengan diabetes insipidus dengan
defisiensi ADH parsial dan juga untuk membedakan diabetes insipidus
dengan polidipsia primer pada anak. Pemeriksaan harus dilakukan pagi
hari. Hitung berat badan anak dan periksa kadar osmolalitas plasma urin
setiap 2 jam. Pada keadaan normal, osmolalitas akan naik (<300) namun
output urin akan berkurang dengan berat jenis yang baik (800-1200).
5. Radioimunoassay untuk vasopressin Kadar plasma yang selalu kurang drai
0,5 pg/mL menunjukkan diabetes insipidus neurogenik berat. Kadar AVP
yang subnormal pada hiperosmolalitas yang menyertai menunjukkan
diabetes insipidus neurogenik parsial. Pemeriksaan ini berguna dalam
membedakan diabetes insipidus parsial dengan polidipsia primer.
6. Rontgen cranium Rontgen cranium dapat menunjukkan adanya bukti tumor
intrakranium seperti kalsifikasi, pembesaran slla tursunika, erosi prosesus
klinoid, atau makin melebarnya sutura.
7. MRI MRI diindikasikan pada pasien yang dicurigai menderita diabetes
insipidus. Gambaran MRI dengan T1 dapat membedakan kelenjar pitutaria
anterior dan posterior dengan isyarat hiperintense atau disebut titik terang
atau isyarat terang.

H. Komplikasi Diabetes Insipidus


1. Hipertonik enselopati

6
2. Gagal tumbuh
3. Kejang terlalu cepat koreksi hipernatremia, sehingga edema serebral
4. Dehidrasi berat dapat terjadi apabila tidak tersedia air minum dalam jumlah
besar

I. Asuhan Keperawatan Diabetes insipidus

Analisa Data.

No.

Data

Etiologi

Masalah Keperawatan

1. DS :Pasien mengeluh sering haus . DO : Pasien terlihat pusing , mulut kering,


lengket merasa haus dan mudah mengantuk. Diabetes Insipidus Tubuh tidak
kompensasi = tidak ada pemasukan cairan yang cukup Dehidrasi Kekurangan volume
cairan kekurangan volume cairan 2. DS :Pasien mengeluh sering kencing setiap hari
kadang sampai lebih dari 5 kali . DO : Pasien terlihat gelisah, menahan kencing.
Diabetes Insipidus Produksi urin meningkat Poliuria Gangguan eliminasi urine
Gangguan eliminasi urine 3. DS :Pasien mengeluh jarang bisa tidur karena sering
kencing malam . DO : Pasien terlihat kelelahan. Diabetes Insipidus Poliuria Nocturia
Sering terbangun ketika malam hari -

Gangguan pola tidur Gangguan pola tidur

7
4. DS :Pasien mengeluh bingung dengan yang di sarakan . DO : Pasien terlihat tidak
mengerti dengan penyakitnya. Diabetes Insipidus Klien mengeluarkan urin secara
terus Klien tidak tahu apa yang terjadi Defisensi pengetahuan Defisensi pengetahuan

4.

Diagnosa.

1)

Kekurangan volume cairan b.d kehilangan cairan aktif : poliuria & nocturia 2)

Gangguan eliminasi urine b.d. penurunan permeabilitas tubulus ginjal, ditandai dengan
poliuri dan nokturia. 3)

Gangguan pola tidur b.d nocturia. 4)

Defisensi pengetahuan b.d tidak familier dengan gejala penyakit.

5.

Rencana Keperawatan.

No

Diagnosa Keperawatan

8
Tujuan

Kriteria

Hasil

Intervensi

1.

Kekurangan volume cairan b.d kehilangan cairan aktif : poliuria & nocturia Setelah
dilakukan asuhan keperawata Dalam waktu 3 x 24 jam, diharapkan Kekurangan
volume cairan teratasi. 1)

Tidak terdapat tanda-tanda dehidrasi ( turgor baik bila kulit ditekan akan cepat
kembali ke kontur normal, mata tidak cowong). 1)

Mempertahankan urine output sesuai 1)

Pantau tanda-tanda dehidrasi (turgor kulit jelek, kulit kering, mata cowong). 2)

Anjurkan pasien untuk minum banyak (2000-2500 cc/hari). 3)

Monitor status cairan termasuk intake dan

9
20

<1500 ml/hari

, 2)

TTV px dalam batas BJ urine normal (1,003-1,030, rata-rata 1,020).normal (Nadi: 60-
100 x/mnt, RR: 16-24 x/mnt; TD: 120/80 mmHg; suhu : 36-37,5°C) Px tidak
mengalami pusing, mulut tidak kering ,tidak mudah mengantuk dan tidak sering
merasa haus 2. Gangguan eliminasi urine b.d. penurunan permeabilitas tubulus ginjal,
ditandai dengan poliuri dan nokturia. Setelah dilakukan asuhan keperawata Dalam
waktu 2 x 24 jam, diharapkan Eliminasi urine teratasi dan kembali normal . 1)

Karakteristik urine meliputi warna(kuning pekat), berat jenis BJ urine normal (1,003-
1,030, rata-rata 1,020).jumlah, bau normal (seperti amonia) dan px sudah tidak merasa
ingin sering kencing lagi. 1)

monitor dan kaji karakteristik urine meliputi frekuensi, konsistensi, bau, volume dan
warna. 2)

Pantau intake input dan output 3)

Batasi cairan sesuai kebutuhan 4)

10
Catat waktu terakhir px eliminasi urin. 5)

Instruksikan px/keluarga untuk mencatat output urine px. 6)

Kolaborasi tim medis lain terkait pemberian obat dan terapi lebih

21

lanjut 3. Gangguan pola tidur b.d nocturia. Setelah diberikan asuhan keperawatan
selama 1x 24 jam, diharapkan pola tidur px terkontrol. 1)

TTV px dalam batas normal (Nadi: 80-110 x/mnt, RR: 16-24 x/mnt; TD: 120/80
mmHg; suhu : 36-37,5°C) 2)

Px tidak sering terbangun di malam hari akibat ingin buang air kecil. 3)

Px tidak mengalami kesulitan untuk tertidur. 1)

Kaji dan Pantau TTV dan catat jika ada perubahan. 2)

Jika kecing malam mengganggu, batasi asupan cairan waktu malam dan kecing
sebelum tidur. 3)

11
Anjurkan keluarga px untuk memberi klien rutinitas relaksasi untuk persiapan tidur.
4. Defisensi pengetahuan b.d tidak familier dengan gejala penyakit. Setelah diberikan
asuhan keperawatan selama 1x 24 jam, diharapkan pengetahuan px bertambah. 1)

Px dan keluarga mengetahui definisi diabetes insipidus. 2)

Px dan keluarga mengetahui factor penyebab diabetes insipidus. 3)

Px dan keluarga mengetahui tanda dan gejala awal diabetes insipidus. 4)

Klien dan keluarga mengetahui terapi pengobatan yang diberikan pada klien dengan
penyakit diabetes insipidus. 1)

kaji pengetahuan awal px mengenai penyakitnya. 2)

Jelaskan patofisologi penyakitnya dan bagaimana itu bisa berpengaruh terhadap


bentuk dan fungsi tubuh. 3)

Deskripsikan tanda dan gejala penyakit yang diderita klien. 4)

Diskusikan terapi pengobatan yang diberikan kepada klien. 5)

Diskusikan perubahan gaya hidup yang

12
22

dilakukan untuk mencegah terjadinya komplikasi dan atau mengontrol proses


penyakit tersebut.

13
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Diabetes insipidus merupakan kelainan pada lobus posterior hipofisis yang


disebabkan oleh defisiensi vasopressin yang merupakan hormone anti diuretic
(ADH). Kelainan ini ditandai oleh rasa haus yang sangat tinggi ( polidipsia ) dan
pengeluaran urin yang encer dengan jumlah yang besar. (Suzanne C, 2001). Diabetus
insipidus merupakan suatu penyakit langka yang jarang ditemukan. Menurut sebuah
konsorsium Europian Partner, menyatakan ini merupakan penyakit langka yang
terdapat 1 : 2000 orang. Penyebab terjadinya Diabetes Insipidus antara lain :
Defisiensi ADH ( diabetes insipidus sentral) yang mungkin kongenital atau didapat,
disebabkan oleh defek SSP, trauma kepala, infeksi , tumor otak, atau idiopatik.
Penurunan sensitivitas ginjal pada ADH ( diabetes insipidus nefrogenik ) biasanya
menyertai penyakit ginjal kronis , atau supresi ADH sekunder akibat mengkonsumsi
cairan berlebihan ( polidipsia). Klasifikasi diabetes insipidus yaitu ada 4, DI sentral,
DI nefrogenik, DI dispogenik, DI gestasional. Adapun manifestasi klinis pada
diabetes insipidus meliputi polidipsia, poliuria, gangguan pola tidur akibat nokturia
dan poliuria, anoreksia, penurunan berat badan, dll. Pemeriksaan diagnostic untuk
menegakkan diabetes insipidus dapat menggunakan uji nikotin, uji vasopresin,
laboraturium: darah, urinalis fisis dan kimia, tes deprivasi air, MRI, dll.
Penatalakasanaan secara kolaboratif yaitu vasopressin sebagai obat pilihan untuk
penderita diabetes insipidus dan penatalaksanaan secara keperawatan dapat
memantau status keseimbangan cairan dan elektrolit untuk memonitor pasien yang
beresiko terhadap dehidrasi.

14
DAFTAR PUSTAKA

Abbas MW et al. 2016. Diabetes Insipidus: The Basic and Clinical Review.
International Journal of Research in Medical Sciences. Jan;4(1):5-11 :

Fisiologi Sistem Hormonal dan Reproduksi dan Patofisiologinya. Bandung: Penerbit


Alumni anggota IKAPI Bandung Guyton, A. C. M. D. and Hall, J. E., 2007.

Buku Ajar Patofisiologi Kedokteran.Jakarta : EGC. Kusuma, Felix. 2016.

Diabetes Insipidus-Diagnosa Dan Terapi. Surabaya : CDK-246/ Vol. 43 no. 11 th.


2016 Mayer, dkk. 2012.

Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosa Medis & NANDA NIC-NOC.


Jogjakarta : MediAction. Price Sylva and M. Wilsol Lorraine. 2011.

15

Anda mungkin juga menyukai