Anda di halaman 1dari 57

LAPORAN KASUS

GAGAL GINJAL KRONIK DENGAN ANEMIA

Disusun oleh:

Laras Hanum Istiningtias

030.12.147

Pembimbing :

dr. Rahman Edi Santosa, Sp.PD

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM


RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KARDINAH TEGAL
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI
PERIODE 23 JULI 2018 – 29 SEPTEMBER 2018
LEMBAR PENGESAHAN

LAPORAN KASUS

GAGAL GINJAL KRONIK DENGAN ANEMIA

oleh :

Laras Hanum Istiningtias

030.12.147

Disusun sebagai salah satu syarat kelulusan

Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam

Rumah Sakit Umum Daerah Kardinah Kota Tegal

23 Juli 2018 – 29 September 2018

Tegal, September 2018

dr. Rahman Edi Santosa, Sp.PD

1
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah Yang Maha Kuasa,
atas segala nikmat, rahmat, dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan
laporan kasus yang berjudul “Gagal Ginjal Kronik dengan Anemia” dengan baik dan
tepat waktu .
Laporan kasus ini disusun dalam rangka memenuhi tugas Kepaniteraan Ilmu
Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti di Rumah Sakit Umum
Daerah Kardinah Tegal periode 23 Juli 2018 – 29 September 2018. Di samping itu
juga ditujukan untuk menambah ilmu pengetahuan bagi kita semua.
Melalui kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-
besarnya kepada dr. Rachman Edi Santoso, Sp.PD selaku pembimbing dalam
penyusunan laporan kasus ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada rekan-
rekan sejawat Kepaniteraan Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas
Trisakti di Rumah Sakit Umum Daerah Kardinah Tegal serta berbagai pihak yang
telah memberikan dukungan dan bantuan kepada penulis.
Penulis menyadari bahwa laporan kasus ini masih jauh dari kata sempurna
dan tidak luput dari kesalahan. Oleh karena itu, penulis sangat berharap adanya
masukan, kritik maupun saran yang membangun. Akhir kata penulis mengucapkan
terima kasih yang sebesar-besarnya, semoga tugas ini dapat memberikan tambahan
informasi dan manfaat bagi kita semua.

Tegal, September 2018


Penulis

Laras Hanum Istiningtias

2
LEMBAR PENGESAHAN

Nama : Laras Hanum Istiningtias


NIM : 030.12.147
Bagian : Ilmu Penyakit Dalam
Judul Kasus : Kronik dengan Anemia
Pembimbing : dr. Rachman Edi Santoso, Sp.PD
Diajukan tanggal : September 2018

Tegal, September 2018

dr. Rachman Edi Santoso, Sp.PD

3
Daftar Isi

Lembar Pengesahan……………………..…………………………………………..1
Kata Pengantar………………………………………………………………………2
Lembar Pengesahan…………………………………………………………………3
BAB I Laporan Kasus…………………………………………………………..…...8
I. Identitas Pasien………………………………………………………………...8
II. Anamnesis…………………………………………………………………….8
III. Pemeriksaan Fisik…………………………………………………………….9
IV. Pemeriksaan Penunjang……………………………………………………...13
V. Daftar Abnormalitas………………………………………………………......15
VI. Diagnosis………………………………………………………………….....15
VII. Tatalaksana Awal…………………………………………………………..16
VIII. Edukasi………………………………………………………………….....16
IX. Daftar Masalah Aktif.……………………………………………………....16
X. Perencenaan Pemecahan Masalah…………………………………………….17
XI. Prognosis…………………………………………………………………....17
XII. Monitor……………………………………………………………………...18

BAB II Tinjauan Pustaka……………………………………………………….…22


2.1 Penyakit Ginjal Kronik………………………………………………………...22
2.1.1 Definisi………………………………………………………………………...22
2.2 Anatomi Ginjal…………………………………………………………………..22
2.3 Fisiologi Ginjal…………………………………………………………………..25
2.4 Etiologi…………………………………………………………………………..26
2.5 Epidemiologi…………………………………………………………………….27
2.6 klasifikasi………………………………………………………………………..28
2.7 Patofisiologi gagal ginjal kronik………………………………………………..29
2.8 Patofisiologi trombositopenia pada pasien CKD…………………….…………33
2.9 Manifestasi Klinis dan Pemeriksaan Fisik………………………………………35

4
2.10 pemeriksaan Penunjang………………………………………………………..37
2.10 Tatalaksana……………………………………………………………………..38
2.11 Komplikasi……………………………………………………………………...40
2.12 Prognosis……………………………………………………………………….40

2.2 Hipertensi……………………………………………………………………….41
2.2.1 Etiologi………………………………………………………………………...43
2.2.2 Faktor Resiko………………………………………………………………….43
2.2.3 Gejala Klinis…………………………………………………………………...44

2.3 Anemia………………………………………………………………………….44
2.3.1 Kriteria Anemia………………………………………………………………..44
2.3.2 Etiologi dan Klasifikasi Anemia……………………………………………….45
2.3.3 Patofisiologi Anemia..…………………………………………………………48
2.3.4 Mekanisme Anemia pada pasien CKD………………………………………..48
2.3.5 Gejala Klinis…………………………………………………………………...49
2.3.6 Terapi Anemia pada pasien CKD……………………………………………..51

Daftar Pustaka………………………………...……………………………………55

5
DAFTAR TABEL

1. Persentse Diagnosis Penyakit Penyebab Hemodialisis di Indonesia…….26


2. Klasifikasi dan Penanganan Tekanan Darah Tinggi Pada Orang
Dewasa…………………………………………………………………...38
3. Klasifikasi Anemia Menurut Etiopatogenesis………………………...…42
4. Klasifikasi Anemia Berdasarkan Morfologi dan Etiologi…………….....44

6
DAFTAR GAMBAR

1.1 Anatomi Ginjal Tampak Depan…………………………………………………22


1.2 Potongan Vertikal Ginjal………………………………………………………..23
1.3 Bagian Mikroskopik Ginjal……………………………………………………...23

7
BAB I

Laporan Kasus

I. IDENTITAS PASIEN
Nama lengkap : Ny. Masitoh
Umur : 46 Tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Status perkawinan : Menikah
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Alamat : Jl. Kemiri Rt 06 Rw 06 Kel. Dampyak, Kec.
Kramat, Kab. Tegal. Jawa Tengah
Suku bangsa : Jawa
Tanggal masuk RS : 3 Agustus 2018
Ruang Perawatan : Lavender Atas Wanita, E7
No. RM : 924661

II. ANAMNESIS
Autoanamnesis dilakukan tanggal 8 Agustus 2018

Keluhan utama:
Badan terasa lemas sejak 1 minggu yang lalu

Riwayat penyakit sekarang:

Pasien mengeluh badan terasa lemas sejak 1 minggu yang lalu sebelum
masuk rumah sakit. Badan terasa lemas dirasakan terus-menerus, semakin lama
semakin memberat. Pasien juga mengeluh pusing, pusing seperti nyut-nyutan.
Keluhan lain yang dirasakan oleh pasien mual, muntah sebanyak 10 kali per

8
hari, gatal-gatal pada tangan, buang air kecil sedikit dan sebanyak 3-4 kali
setiap malam hari sehingga membuat pasien terbangun dari tidur. Pasien juga
merasakan nafsu makan yang berkurang sehingga mengalami penurunan berat
badan, jantung berdebar-debar, nyeri di ulu hati dan demam. Demam yang
dialami oleh pasien terus-menerus sejak 1 minggu yang lalu. Demam
meningkat pada malam hari dan menurun pada saat pagi hari.

Riwayat penyakit dahulu:


Pasien memiliki riwayat hipertensi. Riwayat diabetes mellitus disangkal.
Riwayat penyakit jantung disangkal. Riwayat penyakit paru disangkal.

Riwayat keluarga:
Riwayat penyakit hipertensi, kencing manis, riwayat penyakit jantung dan
penyakit paru, riwayat penyakit ginjal disangkal.

Riwayat kebiasaan, sosial ekonomi :


Pasien merupakan ibu rumah tangga setiap hari melakukan pekerjaan
rumah seperti menyapu, mengepel dan bersih-bersih rumah. Pola makan pasien
kadang teratur dan kadang tidak teratur. Pasien jarang konsumsi minum air
putih. Kebiasaan merokok dan minum alkohol disangkal oleh pasien.

III. PEMERIKSAAN FISIK


 Keadaan umum : tampak sakit sedang
 Kesadaran : compos mentis
 Kesan Gizi : BB : 57kg , TB : 150cm, IMT : 25,33 (Obesitas Derajat I)
 Tanda vital
a. Tekanan darah : 160/100 mmHg
b. Nadi : 96x/menit, regular, isi cukup, kuat
c. Suhu : 380C (aksilla)
d. Pernafasan : 22x/menit
 Kepala

9
Ekspresi wajah : Baik
Simetri muka : Simetris
Rambut : Hitam dan terdistribusi rata
 Mata : Konjungtiva anemis +/+, sklera ikterik -/-
 Telinga : Normotia, secret (-), darah (-)
 Hidung : Deviasi septum (-), deformitas (-), sekret (-)
 Mulut : Bibir tidak kering, sianosis (-), pucat (+), lidah tidak
kotor, tonsil T0-T0, karies gigi (-), hiperemis faring (-)
 Leher :
Tekanan vena jugularis/JVP normal (5+2cm), deviasi trakea (-)
Kelenjar tiroid : dalam batas normal
Kelenjar limfe : Tidak teraba
 Thoraks
Inspeksi : bentuk simteris, pelebaran pembuluh dada (-), spider navi (-)
Paru – paru
Anterior Posterior
Inspeksi Kiri Dalam batas normal Dalam batas normal
Tidak ada retraksi dada
Kanan Dalam batas normal Dalam batas normal
Tidak ada retraksi dada
Palpasi Kiri Vocal fremitus normal Vocal fremitus normal
Kanan Vocal fremitus normal Vocal fremitus normal
Perkusi Kiri Sonor Sonor
Kanan Sonor Sonor
Auskultasi Kiri Suara napas vesikuler (+) Suara napas vesikuler (+)
Wheezing (-) Wheezing (-)
Ronchi (-) Ronchi (-)
Kanan Suara napas vesikuler (+) Suara napas vesikuler (+)
Wheezing (-) Wheezing (-)

10
Ronchi (-) Ronchi (-)

Jantung
Inspeksi : ictus cordis tak terlihat
Palpasi : ictus cordis teraba di ICS IV linea midklavikula sinistra
Perkusi : batas kanan : ICS IV line sternalis dextra
batas kiri : ICS V ± 1 cm medial linea midklavikula
sinistra
batas atas : ICS III linea parasternalis sinistra
batas bawah : ICS V linea midklavikula sinistra
Auskultasi : BJ I dan BJ II regular, murmur (-), gallop (-)

 Abdomen
Inspeksi : permukaan cembung, warna sama seperti
kulit sekitar, caput medusa (-), smilling umbilicus (-)
Auskultasi : bising usus (+) 3kali/menit, melemah, arterial bruits (-)
Palpasi : dinding perut  supel, turgor kulit normal, nyeri tekan (+)
- + -
- - -
- - -

Hepar  tidak terdapat pembesaran hepar


Lien  tidak terdapat pembesaran lien
Ginjal  ballottement (-)
Perkusi : Timpani, pekak sisi (-), pekak alih (-), undulasi (-), nyeri
ketok CV (-)
 Genital, anus dan rektum : Dalam batas normal

11
Ekstremitas
Kaki Tangan
Kanan Kiri Kanan Kiri
Akral Hangat + + + +
Oedem - - - -
Otot
- Tonus dbn dbn dbn dbn
- Massa eutrofi eutrofi eutrofi eutrofi
Kekuatan Motorik 5 5 5 5
Refleks Fisiologis
- Bicep + +
- Tricep + +
- Patella + +
- Achiles + +
Refleks Patologis
- Hoffman - -
- Tromner - -
- Babinski - -
- Chaddock - -
- Oppenheim - -
Palmar eritem - -
Sianosis - - - -
Flapping tremor - -
CRT (detik) <2 <2 <2 <2

12
IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Laboratorium :
1. Darah Lengkap (03-08-2018)
Jenis Pemeriksaan Hasil Nilai Normal Satuan
Hemoglobin 5.1 (↓) 11,7 – 15,5 g/dL
Leukosit 4,5 4 – 11 10^³/uL
Trombosit 276 150 – 450 10^³/uL
Hematokrit 17,8 (↓) 35 – 47 %
Eritrosit 2,82 (↓) 3,8 – 5,2 10^⁶/uL
MCV 61,7 (↓) 80 – 100 fl
MCH 18,1 (↓) 26 – 34 Pg
MCHC 29,3 (↓) 32 – 36 g/dL
RDW 22,9 (↓) 11,5 -14,5 %

2. Pemeriksaan Kimiawi (03-08-2018)


Jenis Pemeriksaan Hasil Nilai Normal Satuan
Ureum 152 (↑) 15-43 mg/dL
Creatinin 17,61 (↑) < 0,9 mg/dL

Pemeriksaan Darah Lengkap dan Kimiawi (8-8-2018)


Jenis Pemeriksaan Hasil Nilai Normal Satuan
Hemoglobin 8,5 (↓) 11,2 – 15,7 g/dL
Leukosit 5,5 4,4 – 11,3 10^³/uL
Hematokrit 25,6 (↓) 37 – 47 %
Trombosit 109 (↓) 150 – 521 10^³/uL
Eritrosit 3,8 (↓) 4,1 – 5,1 10^⁶/uL

13
RDW 26 (↑) 11,5 – 14,5 %
MCV 67,5 (↓) 80 – 96 Fl
MCH 22,4 (↓) 28 – 33 Pg
MCHC 32,2 (↓) 33 – 36 g/dL
Ureum 96,8 (↑) 15 – 40 mg/dL
Creatinin 11,65 (↑) 0,6 – 1,1 mg/dL

3. Pemeriksaan Golongan darah dan Rhesus (04-08-2018)


Jenis Pemeriksaan Hasil Nilai Normal Satuan
Golongan Darah B - -
Rhesus Positif - -

4. Pemeriksaan Elektrolit (04-08-2018)


Jenis Pemeriksaan Hasil Nilai Normal Satuan
Natrium 126 125 -145 mmol/L
Kalium 6,31 (↑) 3,2 – 5,1 mmol/L
Klorida 115 (↑) 96 – 105 mmol/L
SGOT 10 < 24 U/L
SGPT 10,5 < 24 U/L

5. Pemeriksaan Sero Imunologi (04-08-2018)


Jenis Pemeriksaan Hasil Nilai Normal Satuan
HIV 3 TEST Non Reaktif Non Reaktif -
(Rapid Test)
HBsAg Negatif Negatif -

6. USG
Hepar : ukuran tak membesar, parenkim normal, ekogenesitas normal, tak
tampak nodul, vena porta tak melebar, vena hepatica tak melebar.

14
Duktus biliaris : intra dan ekstrahepatal tak melebar
Vesika felea : dinding tak menebal, tak tampak batu, tak tampak massa
Pankreas : parenkim homogen, tak tampak massa maupun kalsifikasi
Ginjal kanan : bentuk dan ukuran kecil, batas kortikomeduler kabur, tak
tampak penipisan korteks, tak tampak batu, pielokaliks melebar,
echogenisitas korteks meningkat sama dengan sinus ginjal
Ginjal kiri : bentuk dan ukuran kecil, batas kortikomeduler kabur, tak
tampak penipisan korteks, tak tampak batu, pielokaliks tak melebar,
echogenisitas korteks meningkat sama dengan sinus ginjal
Lien : tak membesar, tak tampak massa
Aorta : tak tampak nodul paraaorta
Vesika urinaria : dinding tak menebal, permukaan rata, tak tampak batu, tak
tampak massa.
Uterus : bentu dan ukuran normal, tak tampak massa.

Kesan :
Atrofi dan peningkatan echogenisitas korteks kedua ginjal (Brenbridge 3),
cenderung proses kronis kedua ginjal
Tak tampak kelainan pada sonografi organ intraabdomen diatas

V. DAFTAR ABNORMALITAS
1. Anemia : Hb 5,1 g/dL
2. Oliguria
3. Hipertensi Derajat II : 160/100 mmHg (JNC VII)
4. Hiperkalemia : 6,31 mmol/L
5. Klorida (↑) : 115 mmol/L
6. Ureum (↑) : 152 mg/dL
7. Creatinin (↑) : 17,61 mg/dL

15
VI. DIAGNOSIS
1. Diagnosis kerja : Gagal Ginjal Kronik dengan Anemia
2. Diagnosis Banding : Acute Kidney Injury dan Acute On Chronic
Kidney Disease

VII. TATALAKSAN AWAL


Tirah baring/ rawat inap
Infus RL 10 tpm
Injeksi Ondansetron 8 mg/8 jam
Transfusi PRC 1.000 cc 1 kolf/hari
Inj. Lasix 1 amp/12 jam IV
Injeksi Ranitidine 1 amp/12 jam IV
P.O.:
- Candesartan 1 x 10 mg tab
- Aminefron 2 x 1 tab
- Asam Folat 2 x 1 tab

VIII. EDUKASI
- Pembatasan asupan cairan
- Hindari alkohol dan makanan berlemak
- Diet tinggi kalori tinggi protein, kalori, rendah garam, kalium, fosfat.
- Kontrol rutin ke dokter untuk memonitor kondisi.
- Rutin Hemodialisis setiap minggu

IX. DAFTAR MASALAH AKTIF


1. Anemia : Hb 5,1 g/dL
2. Oliguria
3. Hipertensi Derajat II : 160/100 mmHg (JNC VII)

16
4. Hiperkalemia : 6,31 mmol/L
5. Klorida (↑) : 115 mmol/L
6. Ureum (↑) : 152 mg/dL
7. Creatinin (↑) : 17,61 mg/dL
8. Choric Kidney Disease

X. RENCANA PEMECAHAN MASALAH


1. Chronic Kidney Disease
a) Assesment :
b) Initial Plan :
- Dx : oligouria, GFR menurun, ureum meningkat, creatinine
meningkat
- Tx : pemasangan DC, Aminefron 2x1
- Mx : tanda vital, urin output, ureum dan creatinin
- Ex : pembatasan asupan cairan, diet tinggi protein, kalori dan garam

2. Anemia
a) Assesment :
b) Initial plan :
- Tx : transufi PRC 1.000 cc 1 Kolf per hari
- Mx : Hb, Ht, MCV, MCH, MCHC
- Ex : diet makanan tinggi zat besi (daging merah, ikan, sayuran hijau,
buah-buahan tinggi vitamin C, hindari minum teh)

XI. PROGNOSIS
Ad vitam : dubia ad malam
Ad fungsionam : dubia ad malam
Ad sanationam : dubia ad malam

17
XII. MONITOR

Ruang Rawat Inap (4-08-2018)

S Lemes, demam, pusing, mual, muntah

O TD : 170/100 mmHg, S : 38˚C, N : 98x/menit


P : 18x/menit, Sat.O₂ : 98%

A CKD dengan Anemia, Hipertensi Derajat II


P Infus RL 500cc, Injeksi Ondansentrone 8 mg 1
amp 3x1, Injeksi Ranitidine 1 amp 2x1,
Tab.Candesartan 8 mg 1x1, Injeksi Furosemide
1 amp 2x1, Tab.Aminefron 2x1, Tab.Asam
Folat 2x1, Pemasangan DC No.16, O₂ Canul,
Lasix 2x2, Transfusi Darah PRC I

Ruang Rawat Inap (5-8-2018)

S Lemes, demam, pusing, mual, muntah, tangan


terasa gatal
O TD : 180/100 mmHg, S : 38˚C, N : 85x/menit
P : 20x/menit, Sat.O₂ : 99%
A CKD dengan Anemia, Hipertensi Derajat II
P Infus RL 500cc, Injeksi Ondansentrone 8 mg 1
amp 3x1, Injeksi Ranitidine 1 amp 2x1,
Tab.Candesartan 8 mg 1x1, Injeksi Furosemide
1 amp 2x1, Tab.Aminefron 2x1, Tab.Asam
Folat 2x1, Pemasangan DC No.16, O₂ Canul,
Amlodipine 1x10 mg, Transfusi Darah PRC II

18
Ruang Rawat Inap (6-8-2018)

S Lemes, pusing, mual dan muntah , tangan


terasa gatal
O TD : 160/100 mmHg, S : 37,5˚C, N : 85x/menit
P : 20x/menit, Sat.O₂ : 99%
A CKD dengan Anemia, Hipertensi Derajat II
P Infus RL 500cc, Injeksi Ondansentrone 8 mg 1
amp 3x1, Injeksi Ranitidine 1 amp 2x1,
Tab.Candesartan 8 mg 1x1, Injeksi Furosemide
2 amp 2x2, Amlodipin 1x10mg, Lasix 2x2,
Tab.Aminefron 2x1, Tab.Asam Folat 2x1,
Pemasangan DC No.16, O₂ Canul, Transfusi
Darah ke III, Ekstra Ca Glukonas 1 amp IV
pelan, esktra D40%+Novorapid 10 unit+ekstra
Lasix

Ruang Rawat Inap (7-8-2018)

S Lemes, sesak, pusing, mual dan muntah ↓,


Tangan terasa gatal
O TD : 170/100 mmHg, S : 36,5˚C, N : 83x/menit
P : 18x/menit, Sat.O₂ : 95%
A CKD dengan Anemia, Hipertensi Derajat II
P Infus RL 500cc, Injeksi Ondansentrone 8 mg 3
amp 3x1, Injeksi Ranitidine 1 amp 2x1,
Candesartan 1x8mg, Aminefron 2x1, Asam
Folat 2x1, Amlodipin 1x10mg, Clonidin 2x1,

19
Lasix 2x2, Ranitidine 2x1, Ondansetron
3x8mg, Cefriaxone 1x2gr, Novalgin 2x1.
Ruang Rawat Inap (8-8-2018)

S Lemes, sesak, pusing, mual dan muntah ↓,


tangan terasa gatal
O TD : 130/80 mmHg, S : 37,2˚C, N : 80x/menit
P : 80/menit, Sat.O₂ : 98%
A CKD dengan Anemia
P Candesartan 1x1, Aminefron 2x1, Asam Folat
2x1, Amlodipin 1x10mg, Clonidin 2x1, Lasix
2x2, Ranitidine 2x1, Ondansetron 3x8mg,
Cefriaxone 1x2gr, Novalgin 2x1, Transfusi
PRC ke 4

Ruang Rawat Inap (9-8-2018)


S Lemes
O TD : 130/80 mmHg, S : 37,5˚C, N : 85x/menit
P : 20x/menit, Sat.O₂ : 99%
A CKD dengan Anemia
P Tab.Candesartan 1x8mg,Tab.Aminefron 2x1,
Tab.Asam Folat 2x1, Tab.Amlodipine 1x10 mg
Clonidin 2x1, Lasix 2x1, Ranitidine 2x1,
Ondansetrone 3x8 mg, Cefriaxone 1x2 gram,
Novalgin 2x1, PRC I SPDT Ke 2
Ruang Rawat Inap (10-8-2018)

S Lemes
O TD : 130/80mmHg, S : 36,5˚C, N : 98x/menit
P : 20x/menit, Sat.O₂ : 99x/menit

20
A CKD dengan Anemia
P Tab.Candesartan 1x8mg,Tab.Aminefron 2x1,
Tab.Asam Folat 2x1, Tab.Amlodipine 1x10 mg
Clonidin 2x1, Lasix 2x1, Ranitidine 2x1,
Ondansetrone 3x8 mg, Cefriaxone 1x2 gram,
Novalgin 2x1

21
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Penyakit Ginjal Kronik (Chronic Kidney Disease)


2.1.1 Definisi
Chronic Kidney Disease (CKD) atau Panyakit Ginjal Kronik (PGK) adalah
kerusakan ginjal yang terjadi selama lebih dari 3 bulan, berdasarkan kelainan patologis
atau petanda kerusakan ginjal seperti proteinuria. Jika tidak ada tanda kerusakan ginjal
diagnosis penyakit ginjal kronik ditegakkan jika nilai laju filtrasi glomerulus kurang
dari 60 ml/menit/1,73m². Batasan penyakit ginjal kronik :

1. Kerusakan ginjal > 3 bulan, yaitu kelainan struktur atau fungsi ginjal, dengan atau

tanpa penurunan laju filtrasi glomerulus berdasarkan:

 Kelainan patologik

 Petanda kerusakan ginjal seperti proteinuria atau kelainan pada pemeriksaan

pencitraan radiologi

2. Laju filtrasi glomerulus < 60 ml/menit/1,73m² selama > 3 bulan dengan atau tanpa

kerusakan ginjal.1,2

2.2 Anatomi Ginjal


Ginjal terletak pada dinding posterior abdomen terutama didaerah lumbal,
disebelah kanan dan kiri tulang belakang, dibungkus lapisan lemak yang tebal
dibelakang peritonium. Kedudukan ginjal dapat diperkirakan dari belakang, mulai dari
ketinggian vertebra thorakalis 8 terakhir sampai vertebra lumbalis ketiga. Dan ginjal
kanan sedikit lebih rendah dari ginjal kiri karena tertekan oleh hati.(2)

22
Gambar 1.1 Anatomi Ginjal tampak depan.

Setiap ginjal panjangnya antara 12 cm sampai 13 cm, lebarnya 6 cm dan


tebalnya antara 1,5 sampai 2,5 cm, pada orang dewasa berat ginjal antara 140 sampai
150 gram. Bentuk ginjal seperti kacang dan sisi dalamnya atau hilus menghadap
ketulang belakang, serta sisi luarnya berbentuk cembung. Pembuluh darah ginjal
semuanya masuk dan keluar melalui hilus. Diatas setiap ginjal menjulang kelenjar
suprarenal.2

Setiap ginjal dilingkupi kapsul tipis dan jaringan fibrus yang membungkusnya,
dan membentuk pembungkus yang halus serta didalamnya terdapat setruktur-setruktur
ginjal. Setruktur ginjal warnanya ungu tua dan terdiri dari bagian kapiler disebelah luar,
dan medulla disebelah dalam. Bagian medulla tersusun atas 15 sampai 16 bagian yang
berbentuk piramid, yang disebut sebagai piramid ginjal. Puncaknya mengarah ke hilus
dan berakhir di kalies, kalies akan menghubungkan dengan pelvis ginjal.(2)

23
Gambar 1.2 Potongan vertikal ginjal

Struktur mikroskopik ginjal tersusun atas banyak nefron yang merupakan satuan
fungsional ginjal, dan diperkirakan ada 1.000.000 nefron dalam setiap ginjal. Setiap
nefron mulai membentuk sebagai berkas kapiler (Badan Malpighi/Glomerulus) yang
erat tertanam dalam ujung atas yang lebar pada unineferus. Tubulus ada yang berkelok
dan ada yang lurus. Bagian pertama tubulus berkelok-kelok dan kelokan pertama
disebut tubulus proksimal, dan sesudah itu terdapat sebuah simpai yang disebut simpai
henle. Kemudian tubulus tersebut berkelok lagi yaitu kelokan kedua yang disebut
tubulus distal, yang bergabung dengan tubulus penampung yang berjalan melintasi
korteks dan medulla, dan berakhir dipuncak salah satu piramid ginjal.(2)

Gambar 1.3
Bagian miskroskopik dinjal

24
Selain tubulus urineferus, setruktur ginjal juga berisi pembuluh darah yaitu arteri
renalis yang membawa darah murni dari aorta abdominalis ke ginjal dan bercabang-
cabang di ginjal dan membentuk arteriola aferen (arteriola aferentes), serta masing-
masing membentuk simpul didalam salah satu glomerulus. Pembuluh eferen kemudian
tampil sebagai arteriola eferen (arteriola eferentes), yang bercabang-cabang membentuk
jaring kapiler disekeliling tubulus uriniferus. Kapiler-kapiler ini kemudian bergabung
lagi untuk membentuk vena renalis, yang membawa darah kevena kava inferior. Maka
darah yang beredar dalam ginjal mempunyai dua kelompok kapiler, yang bertujuan
agar darah lebih lama disekeliling tubulus urineferus, karena fungsi ginjal tergantung
pada hal tersebut.2

2.3 Fisiologi Ginjal

Dibawah ini akan disebutkan tentang fungsi ginjal dan proses pembentukan urin
menurut Syaeifudin (2006).

a. Fungsi ginjal
Ginjal adalah organ tubuh yang mempunyai peranan penting dalam sistem organ
tubuh. Kerusakan ginjal akan mempengaruhi kerja organ lain dan sistem lain dalam
tubuh. Ginjal punya dua peranan penting yaitu sebagi organ ekresi dan non ekresi.
Sebagai sistem ekresi ginjal bekerja sebagai filtran senyawa yang sudah tidak
dibutuhkan lagi oleh tubuh seperti urea, natrium dan lain-lain dalam bentuk urin, maka
ginjal juga berfungsi sebagai pembentuk urin.
Selain sebagai sistem ekresi ginjal juga sebagai sistem non ekresi dan bekerja
sebagai penyeimbang asam basa, cairan dan elektrolit tubuh serta fungsi hormonal.
Ginjal mengekresi hormon renin yang mempunyai peran dalam mengatur tekanan darah
(sistem renin angiotensin aldosteron), pengatur hormon eritropoesis sebagai hormon
pengaktif sumsum tulang untuk menghasilkan eritrosit. Disamping itu ginjal juga
menyalurkan hormon dihidroksi kolekalsi feron (vitamin D aktif), yang dibutuhkan
dalam absorsi ion kalsium dalam usus.

25
b. Proses pembentukan urin.
Urin berasal dari darah yang dibawa arteri renalis masuk kedalam ginjal. Darah
ini terdiri dari bagian yang padat yaitu sel darah dan bagian plasma darah, kemudian
akan disaring dalam tiga tahap yaitu filtrasi, reabsorsi dan ekresi (Syaefudin, 2006) :
1. Proses filtrasi.

Pada proses ini terjadi di glomerulus, proses ini terjadi karena proses aferen lebih
besar dari permukaan eferen maka terjadi penyerapan darah. Sedangkan sebagian
yang tersaring adalah bagian cairan darah kecuali protein. Cairan yang disaring
disimpan dalam simpay bowman yang terdiri dari glukosa, air, natrium, klorida
sulfat, bikarbonat dll, yang diteruskan ke tubulus ginjal.

2. Proses reabsorsi.

Pada peroses ini terjadi penyerapan kembali sebagian besar dari glukosa,
natrium, klorida, fosfat, dan ion bikarbonat. Prosesnya terjadi secara pasif yang
dikenal dengan proses obligator. Reabsorsi terjadi pada tubulus proksimal.
Sedangkan pada tubulus distal terjadi penyerapan kembali natrium dan ion
bikarbonat bila diperlukan. Penyerapannya terjadi secara aktif, dikenal dengan
reabsorsi fakultatif dan sisanya dialirkan pada papila renalis.

3. Proses ekresi.

Sisa dari penyerapan urin kembali yang terjadi pada tubulus dan diteruskan pada
piala ginjal selanjutnya diteruskan ke ureter dan masuk ke vesika urinaria.

2.4 Etiologi

Penyakit gagal ginjal kronik bervariasi antara satu negara dengan negara yang
lain. Di Indonesia jumlah pasien penyakit gagal ginjal berdasarkan diagnosa etiologi
atau comorbid tahun 2012 menurut data Perhimpunan Nefrologi Indonesia

26
(PERNEFRI), dimana penyakit ginjal hipertensi masih menduduki angka tertinggi yaitu
5.654 pasien, disusul nefropati diabetika sebanyak 4.199 pasien. Untuk wilayah DIY
angka tertinggi penyakit ginjal hipertensi sebanyak 746 pasien dan angka nefropati
diabetika sebanyak 534 pasien. Penyakit penyebab pasien hemodialisis pada tahun
2012 menurut data PERNEFRI disajikan pada tabel I. (PERNEFRI, 2013).

Tabel I. Persentase Diagnosa Penyakit Penyebab Pasien HD di Indonesia


Menurut Data PERNEFRI Tahun 2012 (PERNEFRI, 2013).
Penyakit Penyebab Persentase (%)
Ginjal Hipertensi 35
Nefropati Diabetika 26
Glumerulopati Primer/GNC 12
Nefropati Obstruksi 8
Pielonefritis Kronik/PNC 7
Lain-lain 6
Nefropati Asam Urat 2
Nefropati Lupus/SLE 1
Ginjal Polikistik 1
Tidak diketahui 2
Jumlah 100

2.5 Epidemiologi

Data mengenai penyakit ginjal didapatkan dari hasil Riset Kesehatan Dasar
(Riskesdas), Indonesian Renal Registry (IRR), dan sumber data lain. Riskesdas 2013
mengumpulkan data responden yang didiagnosis dokter menderita penyakit gagal ginjal
kronis, juga beberapa faktor risiko penyakit ginjal yaitu hipertensi, diabetes melitus dan
obesitas.

Hasil Riskesdas 2013, populasi umur ≥ 15 tahun yang terdiagnosis gagal ginjal
kronis sebesar 0,2%. Angka ini lebih rendah dibandingkan prevalensi PGK di negara-

27
negara lain, juga hasil penelitian Perhimpunan Nefrologi Indonesia (Pernefri) tahun
2006, yang mendapatkan prevalensi PGK sebesar 12,5%. Hal ini karena Riskesdas
2013 hanya menangkap data orang yang terdiagnosis PGK sedangkan sebagian besar
PGK di Indonesia baru terdiagnosis pada tahap lanjut dan akhir.

Hasil Riskesdas 2013 juga menunjukkan prevalensi meningkat seiring dengan


bertambahnya umur, dengan peningkatan tajam pada kelompok umur 35-44 tahun
dibandingkan kelompok umur 25-34 tahun. Prevalensi pada laki-laki (0,3%) lebih
tinggi dari perempuan (0,2%), prevalensi lebih tinggi terjadi pada masyarakat
perdesaan (0,3%), tidak bersekolah (0,4%), pekerjaan wiraswasta, petani/nelayan/buruh
(0,3%), dan kuintil indeks kepemilikan terbawah dan menengah bawah masing-masing
0,3%.

Sedangkan provinsi dengan prevalensi tertinggi adalah Sulawesi Tengah sebesar


0,5%, diikuti Aceh, Gorontalo, dan Sulawesi Utara masing-masing 0,4 %.4

2.6 Klasifikasi CKD

Menurut Kidney Disease Improving Global Outcomes (KDIGO), tingkatan


penyakit ginjal kronik dapat diklasifikasikan sebagai berikut :1

 Stage 1: Kerusakan ginjal dengan LFG normal atau↑ (>90 mL/menit/1.73 m2)
 Stage 2: Kerusakan ginjal dengan LFG↓ ringan (60-89 mL/ menit /1.73 m2)
 Stage 3a: Kerusakan gijal dengan LFG↓ sedang (45-59 mL/ menit /1.73 m2)
 Stage 3b: Kerusakan gijal dengan LFG↓ sedang (30-44 mL/ menit /1.73 m2)
 Stage 4: Kerusakan ginjal dengan LFG↓ berat (15-29 mL/ menit /1.73 m2)
 Stage 5: Gagal ginjal (GFR < 15 mL/ menit /1.73 m2 atau dialisis)

28
2.7 Patofisiologi

 Anemia
Gangguan pembentukan eritropoietin di ginjal menyebabkan penurunan
produksi eritropoietin sehingga tidak terjadi proses pembentukan eritrosit
menimbulkan anemia ditandai dengan penurunan jumlah eritrosit, penurunan
kadar Hb dan diikuti dengan penurunan kadar hematokrit darah. Selain itu GGK
dapat menyebabkan gangguan mukosa lambung (gastripati uremikum) yang
sering menyebabkan perdarahan saluran cerna. Adanya toksik uremik pada GGK
akan mempengaruhi masa paruh dari sel darah merah menjadi pendek, pada
keadaan normal 120 hari menjadi 70 – 80 hari dan toksik uremik ini dapat
mempunya efek inhibisi eritropoiesis.7

 Dispnoe

Disebabkan karena ada kerusakan pada unit filtrasi ginjal sehingga


menyebabkan penurunan perfusi ginjal akhirnya menjadi iskemik ginjal. Hal
tersebut menyebabkan terjadinya pelepasan renin yang terdapat di aparatus
juxtaglomerulus sehingga mengubah angiotensinogen menjadi angitensin I. Lalu
oleh converting enzyme, angiotensin I diubah menjadi angiotensin II. Angiotensin
II merangsang pelepasan aldosteron dan ADH ssehingga menyebabkan retensi
NaCl dan air  volume ekstrasel meningkat (hipervolemia)  volume cairan
berlebihan  ventrikel kiri gagal memompa darah ke perifer  LVH 
peningkatan tekanan atrium kiri  peningkatan tekanan vena pulmonalis 
peningkatan tekanan di kapiler paru  edema paru  sesak nafas.7

 Asidosis
Pada gagal ginjal kronik, asidosis metabolik dapat terjadi akibat penurunan
kemampuan ginjal untuk mengeksresikan ion H+ disertai dengan penurunan kadar
bikarbonat (HCO3) dan pH plasma. Patogenesis asidosis metabolik pada gagal
ginjal kronik meliputi penurunan eksresi amonia karena kehilangan sejumlah

29
nefron, penurunan eksresi fosfat, kehilangan sejumlah bikarbonat melalui urin.
Derajat asidosis ditentukan oleh penurunan pH darah. Apabila penurunan pH
darah kurang dari 7,35 dapat dikatakan asidosis metabolik. Asidosis metabolik
dpaat menyebabkan gejala saluran cerna seperti mual, muntah, anoreksia dan
lelah. Salah satu gejala khas akibat asidosis metabolik adalah pernapasan
kussmaul yang timbul karena kebutuhan untuk meningkatkan eksresi karbon
dioksida untuk mengurangi keparahan asidosis.7

 Hipertensi
Disebabkan karena ada kerusakan pada unit filtrasi ginjal sehingga
menyebabkan penurunan perfusi ginjal akhirnya menjadi iskemik ginjal. Hal
tersebut menyebabkan terjadinya pelepasan renin yang terdapat di aparatus
juxtaglomerulus sehingga mengubah angiotensinogen menjadi angitensin I. Lalu
oleh converting enzyme, angiotensin I diubah menjadi angiotensin II. Angiotensin
II memiliki efek vasokonstriksi kuat sehingga meningkatkan tekanan darah.7

 Hiperlipidemia

Penurunan GFR menyebabkan penurunan pemecahan asam lemak bebas oleh


ginjal sehingga menyebabkan hiperlipidemia.7

 Hiperuricemia
Terjadi gangguan eksresi ginjal sehingga asam urat terakumulasi di dalam
darah (hiperuricemia). Kadar asam urat yang tinggi akan menyebabkan
pengendapan kristal urat dalam sendi, sehingga sendi akan terlihat membengkak,
meradang dan nyeri.7

 Hiponatremia
Peningkatan eksresi natrium dapat disebabkan oleh pengeluaran hormon
peptida natriuretik yang dapat menghambat reabsorpsi natrium pada tubulus
ginjal. Bila fungsi ginjal terus memburuk disertai dengan penurunan jumlah

30
nefron, natriuresis akan meningkat. Hiponatremia yang disertai dengan retensi air
yang berlebihan akan menyebabkan dilusi natrium di cairan ekstraseluler.
Keadaan hiponetremia ditandai dengan gangguan saluran pencernaan berupa
kram, diare dan muntah.7

 Hiperfosfatemia
Penurunan fungsi ginjal mengakibatkan penurunan eksresi fosfat sehingga
fosfat banyak yang berada dalam sirkulasi darah. Jika kelarutannya terlampaui,
fosfat akan bergabung deng Ca2+ untuk membentuk kalsium fosfat yang sukar
larut. Kalsium fosfat yang terpresipitasi akan mengendap di sendi dan kulit (
berturut-turut menyebabkan nyeri sendi dan pruritus).7

 Hipokalsemia
Disebabkan karena Ca2+ membentuk kompleks dengan fosfat. Keadaan
hipokalsemia merangsang pelepasan PTH dari kelenjar paratiroid sehingga
memobilisasi kalsium fosfat dari tulang. Akibatnya terjadi demineralisasi tulang
(osteomalasia). Biasanya PTH mampu membuat konsentrasi fosfat di dalam
plasma tetap rendah dengan menghambat reabsorbsinya diginjal. Jadi meskipun
terjadi mobilisasi kalsium fosfat dari tulang, produksinya di plasma tidak
berlebihan dan konsentrasi Ca2+ dapat meningkat. Namun pada insufisiensi ginjal,
eksresinya melalui ginjal tidak dapat ditingkatkan sehingga konsentrasi fosfat di
plasma meningkat. Selanjutnya konsentrasi CaHPO4 terpresipitasi dan konsentrasi
Ca2+ di plasma tetap rendah. Oleh karena itu, rangsangan untuk pelepasan PTH
tetap berlangsung. Dalam keadaan perangsangan yang terus-menerus ini, kelenjar
paratiroid mengalami hipertrofi bahkan semakin melepaskan lebih banyak PTH.
Kelaina yang berkaitan dengan hipokalsemia adalah hiperfosfatemia, osteodistrofi
renal dan hiperparatiroidisme sekunder. Karena reseptor PTH selain terdapat di
ginjal dan tulang, juga terdapat di banyak organ lain ( sistem saraf, lambung, sel
darah dan gonad), diduga PTH berperan dalam terjadinya berbagai kelainan di
organ tersebut.7

31
 Hiperkalemia
Pada keadaan asidosis metabolik dimana konsentrasi ion H+ plasma
meningkat, maka ion hidrogen tersebut akan berdifusi ke dalam sel –sel ginjal
sehingga mengakibatkan kebocoran ion K+ ke dalam plasma. Peningkatan
konsentrasi ion H+ dalam sel ginjal akan menyebabkan peningkatan sekresi
hidrogen, sedangkan sekresi kalium di ginjal akan berkurang sehingga
menyebabkan hiperkalemia. Gambaran klinis dari kelainan kalium ini berkaitan
dengan sistem saraf dan otot jantung, rangka dan polos sehingga dapat
menyebabkan kelemahan otot dan hilangnya refleks tendon dalam, gangguan
motilitas saluran cerna dan kelainan mental.7

 Proteinuria
Proteinuria merupakan penanda untuk mengetahui penyebab dari kerusakan
ginjal pada GGK seperti DM, glomerulonefritis dan hipertensi. Proteinuria
glomerular berkaitan dengan sejumlah penyakit ginjal yang melibatkan
glomerulus. Beberapa mekanisme menyebabkan kenaikan permeabilitas
glomerulus dan memicu terjadinya glomerulosklerosis. Sehingga molekul protein
berukuran besar seperti albumin dan immunoglobulin akan bebas melewati
membran filtrasi. Pada keadaan proteinuria berat akan terjadi pengeluaran 3,5 g
protein atau lebih yang disebu dengan sindrom nefrotik.7

 Uremia
Kadar urea yang tinggi dalam darah disebut uremia. Penyebab dari uremia
pada GGK adalah akibat gangguan fungsi filtrasi pada ginjal sehingga dapat
terjadi akumulasi ureum dalam darah. Urea dalam urin dapat berdifusi ke aliran
darah dan menyebabkan toksisitas yang mempengaruhi glomerulus dan
mikrovaskularisasi ginjal atau tubulus ginjal. Bila filtrasi glomerulus kurang dari
10% dari normal, maka gejala klinis uremia mulai terlihat. Pasien akan
menunjukkan gejala iritasi traktus gastrointestinal, gangguan neurologis, nafas

32
seperti amonia (fetor uremikum), perikarditis uremia dan pneumonitis uremik.
Gangguan pada serebral adapat terjadi pada keadaan ureum yang sangat tinggi
dan menyebabkan koma uremikum.7

2.8 Patofisiologi trombosit pada pasien CKD


Patofisiologi terjadinya perubahan jumlah trombosit pada pasien gagal ginjal
kronik yang menjalani hemodialisis masih perlu pengkajian lebih lanjut. Namun,
beberapa teori telah berusaha menjelaskannya. Beberapa hal yang dianggap dapat
mempengaruhi jumlah trombosit pada pasien gagal ginjal kronik yang menjalani
hemodialisis antara lain :
 Gangguan trombositopoesis
Kemungkinan penyebab penurunan jumlah trombosit adalah aktivitas tromboietik
yang tidak mencukupi, sebagaimana diketahui, ginjal sebagai salah satu penghasil
trombopoetin mengalami kerusakan permanen pada pasien gagal ginjal kronik. Proses
trombositopoesis sendiri sangat dipengaruhi oleh kadar trombopoetin dan begitu pula
sebaliknya, akan terjadi hubungan timbal balik sehingga akan terjadi peningkatan
produksi trombopoetin pada organ lainnya sebagai usaha kompensasi.7
Penelitian oleh Altum et al yang mendapatkan adanya penurunan kadar
trombopoetik mendukung pemikiran ini. Namun, penelitian-penelitian selanjutnya
seperti yang dilakukan oleh Linthrost et al mendapatkan adanya kenaikan kadara
trombopoetin sebagaimana terjadinya usaha kompensasi. Peningkatan trombopoetin
yang berbanding lurus dengan peningkatan reticulated trombosit (RP) menjadi bukti
adanya hipoproduksi dari trombosit itu sendiri. Di sisi lain, eritropoetin
mengimplikasikan efek megakaryocyte colony stimulating factors, acetylhydroase
(PAF-AH) dan paraoxonase (PON 1). Pada penyakit ginjal kronis, sekresi
eritropoetin yang terganggu menyebabkan penurunan jumlah trombosit.
Terdeteksinya reseptor untuk eritropoetin pada megakariosit karena homologi luas
antara eritropoetin dan trombopoetin yang menyebabkan eritropoetin bertindak
sebagai pengatur humoral utama massa trombosit dapat dimengerti. Maka tidak
mengherankan bila ditemukan penurunan jumlah trombosit pada pasien gagal ginjal
kronik.7

33
 Heparin Induced Trombocytopenia (HIT)
Unfractional heparin adalah kelompok heterogen dari glycosaminoglycans
bermuatan negatif, (berat molekuler 3.000 sampai 3.000 Da) dari sumber hewani.
Heparin dengan berat molekul rendah (LMWHs; berat molekul, 2.000 sampai 10.000
Da) dihasilkan dari heparin tak terfragmentasi dengan proses kimia atau enzimatik.
Heparin memiliki affinitas yang tinggi kepada faktor trombosit 4 (PF4), protein
bermuatan positif yang ditemukan pada butiran trombosit dan sel endotel. Tingkat
binding (ikatan) heparin dan PF4 bergantung pada panjang rantai heparin, atau berat
molekul (optimalnya, setidaknya 14 sampai 16 sakarida, berat molekul 400 Da), dan
derajat sulfasinya. Bila heparin dan PF4 mengadakat ikatan, PF4 akan mengalami
perubahan konformator, memperlihatkan neopitopes yang bertindak sebagai
immunogens dan mengarah pada pembentukan antibody heparin PF4.7
Antibody yang paling sering berperan adalah IgG, yang berikatan dengan
kompleks Heparin-PF4. Antibodi Heparin-PF4 (kadang-kadang disebut “abtibodi
HIT”) di kompleks imun multimolekuler menghasilkan kompleks trombosit melalui
reseptor Fella mereka, menyebabkan pelepasan mikropartikel derivate trombosit
protrombotik, konsumsi trombosit, dan trombositopenia. Mikropartikel tersebut pada
akhirnya, menigkatkan produksi thrombin berlebih, dan sering mengakibatkan
thrombosis. Kompleks antibody-antigen juga berikatan dengan monosit, yang
menyebabkan produksi tissue factor dan cedera endotel karena antibodi dapat terjadi.
Kedua proses terakhir ini dapat berkontribusi lebih lanjut menjadi thrombosis.7
Frekuensi terjadinya HIT berkisar 3,2% pada pasien hemodialisis dengan
manifestasi klinis HIT yang terbagi dalam dua tipe :
1. Jenis non-imunologi : jumlah trombosit tidak turun di bawah 50.000/µl, hanya
trombositopenia ringan yang dalam waktu singkat akan terlihat setelah
penggunaan heparin, akan membaik selama pengobatan heparin.
2. Jenis imunologis : dapat terlihat setelah 5 – 8 hari pengobatan. Jika pasien telah
menggunakan heparin sebelumnya, efek dapat terjadi dalam waktu singkat.
Trombositopenia berat bias ditemukan.

34
Kedua mekanisme ini dapat bermanifestasi menjadi thrombosis. Perdarahan
sendiri jarang terlihat. Thrombosis vena jauh lebih banyak daripada thrombosis
arterial.7
 Interaksi trombosit dengan membrane mesin dialisis
Marker permukaan platelet yang diukur dalam cairan outlet mesin dialisis
memberikan bukti adanya aktivasi platelet dan degranulasi selama dialisis. Selain
itu, terdapat juga pembentukan agregat platelet-platelet dan platelet-leukosit.
Namun, konsekuensi klinis dari efek dialisis pada platelet ini masih belum
diketahui pasti. Sering, aktivasi dan agregasi trombosit karena aktivasi dari
komplemen C3a selama dialisis disebabkan oleh terpaparnya darah ke segmen
roller pump tabung dialisis atau terbentuknya microbubbles dan bukan karena
paparan pada membrane dialiser. Sehubungan dengan membrane dialiser, aktivai
platelet tampaknya dapat dikurangi dengan dialiser yang digunakan kembali dan
menggunakan membrane selulosa.7
Jumlah trombosit menurun selama disalisis, namun penurunan ini tidak terlalu
signifikasn dan cenderung terjadi pada 15 – 30 menit (satu jam pertama) selama
proses dialisis, dan pulih kembali pada akhir dialisis.7
Penelitian yang dilakukan oleh Daurgirdas dan Bernardo menunjukkan bahwa
aktivasi platelet terjadi hanpir secara universal saat darah menjalani proses dialisis.
Aktivasi trombosit ini dapat disertai dengan pembentukan agregat platelet-platelet
dan platelet-leukosit, yang kemudian dapatbmasuk dan membahayakan
mikrosirkulasi. Terapi pengganti ginjal yang memerulakan waktu pemaparan yang
terlalunlama ke sirkuit darah ekstrakorperal, seperti hemodialisis nocturnal dan
berbagai bentuk terapi pengganti ginjal secara terus-menerus dapat menimbulkan
efek berbahaya yang belum diketahui yang terkait dengan aktivasi platelet kronik.8

2.9 Manifestasi Klinis dan Pemeriksaan Fisik


Karena pada CKD setiap sistem tubuh dipengaruhi oleh kondisi uremia, maka
pasien akan menunjukkan sejumlah tanda dan gejala. Keparahan tanda dan gejala
tergantung pada bagian dan tingkat kerusakan ginjal, dan kondisi lain yang mendasari.

35
Manifestasi yang terjadi pada CKD antara lain terjadi pada sistem kardio vaskuler,
dermatologi, gastro intestinal, neurologis, pulmoner, muskuloskletal dan psiko-sosial
menurut Smeltzer, dan Bare (2001) diantaranya adalah :
1. Kardiovaskuler :
a. Hipertensi, yang diakibatkan oleh retensi cairan dan natrium dari aktivasi sistem
renin angiotensin aldosteron.
b. Gagal jantung kongestif.
c. Edema pulmoner, akibat dari cairan yang berlebih.
2. Dermatologi seperti Pruritis, yaitu penumpukan urea pada lapisan kulit.
3. Gastrointestinal seperti anoreksia atau kehilangan nafsu makan, mual sampai dengan
terjadinya muntah.
4. Neuromuskuler seperti terjadinya perubahan tingkat kesadaran, tidak mampu
berkonsentrasi, kedutan otot sampai kejang.
5. Pulmoner seperti adanya seputum kental dan liat, pernapasan dangkal, Kussmaul,
sampai terjadinya edema pulmonal.
6. Muskuloskletal seperti terjadinya fraktur karena kekurangan kalsium dan
pengeroposan tulang akibat terganggunya hormon dihidroksi kolekalsi feron.
7. Psikososial seperti terjadinya penurunan tingkat kepercayaan diri sampai pada harga
diri rendah , ansietas pada penyakit dan kematian.

Pada stadium yang paling dini penyakit ginjal kronik, terjadi kehilangan daya
cadang ginjal, pada keadaan mana basal LFG masih normal atau malah meningkat.
Kemudian secara perlahan tapi pasti, akan terjadi penurunan fungsi nefron yang
progresif, yang ditandai dengan peningkatan kadar urea dan kreatinin serum. Sampai
pada LFG sebesar 60 % pasien masih belum merasakan keluhan (asimptomatik), tapi
sudah terjadi peningkatan kadar urea dan kreatinin serum. Sampai pada LFG sebesar 30
% mulai terjadi keluhan pada seperti nokturia, badan lemah, mual, nafsu makan kurang
dan penurunan berat badan. Sampai pada LFG kurang 30 % pasien memperlihatkan
gejala dan tanda uremia yang nyata seperti anemia, peningkatan tekanan darah,
gangguan metabolisme fosfor dan kalsium, pruritus, mual, muntah dan lain sebagainya.

36
Pasien juga mudah terkena infeksi seperti infeksi saluran kemih, infeksi saluran
nafas, maupun infeksi saluran cerna. Juga akan terjadi gangguan keseimbangan air
seperti hipo atau hipervolumia, gangguan keseimbangan elektrolit antara lain natrium
dan kalium. Pada LFG di bawah 15 % akan terjadi gejala dan komplikasi yang lebih
serius dan pasien sudah memerlukan terapi pengganti ginjal (renal replacement therapy)
antara lain dialisis atau transplantasi ginjal. Pada keadaan ini pasien dikatakan sampai
pada stadium gagal ginjal.

2.10 Pemeriksaan Penunjang


 Pemeriksaan darah lengkap: ureum meningkat, kreatinin serum meningkat.
Dari kadar kreatinin serum dapat dilakukan perhitungan estimasi laju filtrasi
glomerulus.
 Pemeriksaan elektrolit: dapat ditemukan hyperkalemia, hipokalsemia,
hiperfosfatemia,dan hipermagnesemia.
 Pemeriksaan kadar glukosa darah, profil lipid (dapat ditemukan
hiperkolestrolemia, hipertrigliseridemia, LDL meningkat)
 Analisis gas darah: asidosis metabolic (pH menurun, HCO3 menurun)
 Urinalisis dan pemeriksaan albumin urin
 Sedimen urin: sel tubulus ginjal, sedimen eritrosit, sedimen leukosit, sedimen
granuler kasar, dan adanya eritrosit yang dismorfik merupakan tanda
patognomonik jejas ginjal.
 Pemeriksaan protein urin kuantitatif 24 jam
 Pencitraan: USG binjal, BNO IVP, renogram
 Biopsi ginjal.3

Tingkat nitrogen urea darah (BUN) dan kreatinin serum akan meningkat pada
pasien dengan CKD. Hiperkalemia atau tingkat bikarbonat rendah. Kadar albumin
serum juga dapat diukur, karena pasien mungkin mengalami hipoalbuminemia sebagai
akibat hilangnya protein urin atau malnutrisi. Profil lipid harus dilakukan pada semua
pasien dengan CKD karena risiko penyakit kardiovaskular.

37
Rumus Cockcroft-Gault untuk memperkirakan bersihan kreatinin (CrCl) harus
digunakan secara rutin sebagai cara sederhana untuk memberikan perkiraan fungsi
ginjal residual yang dapat diandalkan pada semua pasien dengan CKD. Rumusnya
adalah sebagai berikut: 7
 CrCl (laki-laki) = ([140-usia] × BB kg)/(serum creatinine × 72)
 CrCl (perempuan) = ([140-usia] × BB kg)/(serum creatinine × 72) × 0.85

2.11 Tatalaksana
Tujuan tatalaksana antara lain untuk menghambat penuruan LFG dan mengatasi
komplikasi PGK stadium akhir. Canadian Society of Nephrology mengeluarkan
pedoman baru yang merekomendasikan menunda dialisis pada pasien PGK tanpa gejala
sampai perkiraan laju filtrasi glomerular (eGFR) turun menjadi 6 mL / menit / 1,73 m2
atau sampai onset pertama dari indikasi klinis (yang termasuk gejala uremia, kelebihan
cairan, dan hiperkalemia refrakter atau acidemia).
Perawatan medis pasien dengan PGK harus fokus pada hal-hal berikut:7
 Menunda atau menghentikan perkembangan PGK
 Mendiagnosis dan mengobati manifestasi patologis PGK
 Perencanaan yang tepat waktu untuk terapi penggantian ginjal jangka panjang

a. Menunda atau menghentikan perkembangan PGK3,7


Tindakan yang dilakukan untuk menunda atau menghentikan perkembangan
penyakit ginjal kronis (PGK) adalah sebagai berikut:
 Kontrol tekanan darah untuk menargetkan sesuai nilai pedoman saat ini. Obat
antihipertensi yang disarankan adalah ACE inhibitor, ARB, dan CCB
nondihidropiridin. Target tekanan darah :
- <130/80 mmHg (tanpa proteinuria),
- <125/75 mmHg (dengan proteinuria)
 Restriksi asupan protein. Rekomendasi asupan protein:
- PGK pre-dialisis: 0,6-0,75 g/KgBB ideal/hari

38
- PGK hemodialis: 1,2 g/KgBB ideal/hari
- PGK peritoneal dialisis: 1,2-1,3 g/KgBB/hari
- Transplantasi ginjal: 1,3 g/KgBB ideal/hari pada 6 minggu pertama, dan
dilanjutkan 0,8-1 g/KgBB ideal/hari.
 Restriksi cairan. Rekomendasi asupan cairan pada PGK:
- PGK pre-dialisis: tidak dibatasi
- PGK hemodialisis: 500 mL/hari
- PGK peritoneal dialisis: 1500-2000 mL/hari
- Transplantasi ginjal: 2000 mL/hari
 Pengobatan hiperlipidemia ke tingkat target pedoman saat ini.
Target LDL <100 mg/dL. Apabila trigliserida ≥200 mg/dL, target kolesterol
non-HDL <130 mg/dL. Kolesterol non-HDL adalah kolesterol total dikurang
kadar HDL. Terapi menggunakan derivate statin, pola makan rendah lemak
jenuh.
 Kontrol glikemik yang agresif per rekomendasi American Diabetes Association
(target HbA1C <7%)
 Menghindari nefrotoksin, termasuk media radiokontras intravena (IV), agen
anti-inflamasi nonsteroid (NSAID), dan aminoglikosida
 Modifikasi gaya hidup. Indeks masa tubuh ideal, olahraga 30 menit minimal 3
kali/minggu, tidak merokok.
 Edukasi pasien tentang PGK.

Sebuah penelitian kohort prospektif menunjukkan bahwa pada pasien dengan CKD
lanjut dan hipertensi stabil, pengobatan antihipertensi dengan ACEI atau ARB
mengurangi kemungkinan dialisis jangka panjang dan menurunkan risiko mortalitas
juga.6

b. Mendiagnosis dan mengobati manifestasi patologis PGK sebagai berikut:7


 Anemia: Ketika kadar hemoglobin di bawah 10 g / dL, obati dengan
erythropoiesis-stimulating agent (ESA) seperti epoetin alfa atau darbepoetin.

39
 Hiperfosfatemia: Obati dengan pengikat fosfat dan pembatasan fosfat dari
makanan
 Hipokalsemia: Obati dengan suplemen kalsium dengan atau tanpa kalsitriol
 Hiperparatiroidisme: Obati dengan kalsitriol, analog vitamin D, atau
kalsimimetik
 Volume overload: Obati dengan loop diuretik atau ultrafiltrasi
 Asidosis metabolik: Obati dengan suplementasi alkali oral
 Manifestasi uremik: Obati dengan terapi penggantian ginjal jangka panjang
(hemodialisis, dialisis peritoneal, atau transplantasi ginjal)
 Komplikasi kardiovaskular: Rawat bila perlu
 Kegagalan pertumbuhan pada anak-anak: Obati dengan hormon pertumbuhan

c. Perencanaan yang tepat waktu untuk terapi penggantian ginjal jangka panjang
Indikasi untuk terapi penggantian ginjal pada pasien dengan penyakit ginjal kronis
(CKD) termasuk yang berikut:7
 Asidosis metabolik berat
 Hiperkalemia
 Perikarditis
 Encephalopathy
 Overload cairan yang sulit diatasi
 Kegagalan untuk berkembang dan malnutrisi
 Neuropati perifer
 Gejala gastrointestinal yang sulit diatasi
 Pada pasien dewasa tanpa gejala, tingkat filtrasi glomerulus (GFR) 5-9 mL /
menit / 1,73 m²

2.12 Komplikasi
Komplikasi PGK meliputi penyakit tulang dan mineral terkait PGK/ Chronic
Kidney Disease-mineral bone disease. Kejadian kardiovaskular misalnya pericarditis,

40
penyakit jantung coroner, hentai jantung. Komplikasi neurologis, infeksi, serta
komplikasi nutrisi dan saluran cerna, anemia, hiperparatiroidisme sekunder. Penyakit
kardiovaskular merupakan penyebab kematian terbanyak pada pasien-pasien PGK.3

2.13 Prognosis
Pasien dengan penyakit ginjal kronis (PGK) umumnya mengalami penurunan
fungsi ginjal secara progresif dan beresiko untuk penyakit ginjal stadium akhir. Tingkat
perkembangan tergantung pada usia, diagnosis yang mendasari, keberhasilan
pelaksanaan tindakan pencegahan sekunder, dan secara individu pasien itu sendiri.
Inisiasi tepat pada terapi penggantian ginjal kronik sangat penting untuk mencegah
komplikasi uremik yang dapat menyebabkan morbiditas dan mortalitas.
Tangri et al mengembangkan dan memvalidasi model pada pasien dewasa yang
menggunakan hasil laboratorium rutin untuk memprediksi perkembangan PGK (tahap
3-5) ke gagal ginjal akhir.5 Mereka melaporkan bahwa perkiraan laju filtrasi glomerulus
yang lebih rendah, albuminuria yang lebih tinggi, usia yang lebih muda, dan jenis
kelamin laki-laki menunjukkan perkembangan gagal ginjal yang lebih cepat. Juga,
tingkat serum albumin, kalsium, dan bikarbonat yang lebih rendah dan tingkat serum
fosfat yang lebih tinggi ditemukan untuk memprediksi peningkatan risiko gagal ginjal.5

2.2 Hipertensi
Hipertensi adalah meningkatnya tekanan darah sistolik lebih besar dari 140
mmHg dana tau tekanan darah diastolik lebih besar dari 90 mmHg pada dua kali
pengukuran dengan selang waktu 5 menit dalam keadaan cukup istirahat (tenang).
Menurut JNC 7, tekanan darah dibagi dalam 4 klasifikasi yakni normal, pre-hipertensi,
,hipertensi stage 1, dan hipertensi stage 2. Klasifikasi ini berdasarkan pada nilai rata-
rata dari dua atau lebih pengukuran tekanan darah yang baik, yang pemeriksaannya
dilakukan pada posisi duduk dalam setiap kunjungan berobat.8

41
Tabel 2. Klasifikasi dan Penanganan Tekanan Darah Tinggi pada Orang Dewasa
Klasifikasi Tekanan Tekanan Modifikasi Obat Awal
Tekanan Darah Darah Gaya Tanpa Dengan
Darah Sistolik Diastolik Hidup indikasi Indikasi
(mmhg) (mmhg)
Normal <120 < 80 Anjuran Tidak perlu Gunakan
Pre Hipertensi 120 – 139 80 – 89 Ya menggunakan obat yang
obat anti spesifik
hipertensi dengan
indikasi
(risiko)
Hipertensi 140 – 159 90 – 99 Ya Untuk semua Gunakan
Stage I kasus gunakan obat yang
diuretik jenis spesifik
thiazide dengan
dengan indikasi
pertimbangan (risiko).
ACEi, ARB, Kemudian
BB, CCB, tambahkan
atau dengan obat
kombinasikan anti
Hipertensi ≥ 160 ≥ 100 Ya Gunakan hipertensi
Stage II kombinasi 2 (diuretik,
obat ( ACEi, ARB,
biasanya BB, CCB)
diuretik jenis seperti yang
thiazide) dan dibutuhkan
ACEi/ARB/B
B/CCB

42
2.2.1 Etiologi Hipertensi
Berdasarkan penyebabnya, hipertensi digolongkan menjadi 2, yaitu :
1. Hipertensi esensial atau hipertensi primer yang tidak diketahui penyebabnya,
disebut juga hipertensi idiopatik
2. Hipertensi sekunder atau hipertensi renal. Penyebab spesifiknya dari hipertensi ini
diketahui.
Hipertensi merupakan penyakit multifaktorial. Patogenesis atau mekanisme yang
berperan dalam peningkatan tekanan darah antara lain :8
3. Mekanisme neural : stres, aktivitas simpatis, variasi diurnal
4. Mekanisme renal : asupan natrium tinggi dengan retensi cairan
5. Mekanisme vaskular : disfungsi endotel, radikal bebas, dan remodeling pembuluh
darah
6. Mekanisme hormonal : sistem renin, angiotensin, dan aldosteron
Faktor lainnya seperti genetik, perilaku dan gaya hidup juga berpengaruh dalam
hipertensi.

2.2.2 Faktor Resiko Hipertensi

Faktor risiko terjadinya hipertensi yaitu, sebagai berikut :8


 Usia tua
 Ras kulit hitam
 Riwayat keluarga
 Overweight atau obesitas
 Kurang aktif bergerak.
 Merokok
 Diet tinggi garam ( sodium)
 Diet kurang potasium
 Diet kurang vitamin D

43
 Alkohol
 Stres
 Penyakit kronik

2.2.3 Gejala Klinis Hipertensi


Gejala yang sering ditemukan pada penderita hipertensi ialah sakit kepala,
epistaksis, marah, telinga berdengung, rasa berat di tengkuk, sukar tidur, mata
berkunang-kunang, dan pusing.8

2.3 Anemia

Anemia adalah keadaan dimana massa eritrosit dan atau massa hemoglobin yang
beredar tidak dapat memenuhi fungsinya untuk menyediakan oksigen bagi jaringan
tubuh. Anemia ditandai dengan rendahnya konsentrasi hemoglobin atau hematokrit
yang disebabkan rendahnya produksi sel darah merah dan hemoglobin, meningkatnya
kerusakan eritrosit atau hemolisis, atau kehilangan darah yang berlebihan.9

Red Distribution Width (RDW) merupakan koefisien variasi dari volume


eritrosit. RDW yang tinggi dapat mengindikasikan ukuran eritrosit yang heterogen, dan
biasanya ditemukan pada anemia defisiensi besi, defisiensi asam folat dan defisiensi
vitamin B12, sedangkan jika didapatkan hasil RDW yang rendah dapat menunjukkan
eritrosit yang mempunyai ukuran variasi yang kecil.9

2.3.1 Kriteria Anemia


Pada umumnya parameter yang digunakan untuk menunjukkan penurunan massa
eritrosit adalah kadar hemoglobin, disusul oleh hematokrit dan hitung eritrosit. Untuk
menjabarkan definisi anemia di atas maka perlu ditetapkan batas hemoglobin yang kita
anggap anemia. Batas ini disebut cut off point, yang sangat dipengaruhi oleh: umur,
jenis kelamin, ketinggian tempat tinggal dari permukaan laut. Batas yang umum
dipakai ialah kriteria WHO tahun 1968. Dinyatakan anemia bila:
- Laki dewasa : Hb < 13 g/dl

44
- Perempuan dewasa tak hamil : Hb < 12 g/dl
- Perempuan hamil : Hb < 11 g/dl
- Anak umur 6-14 tahun : Hb < 12 g/dl
- Anak umur 6 bulan-6 tahun : Hb < 11 g/dl
Sedangkan untuk alasan praktis kriteria klinis di rumah sakit di Indonesia pada
umumnya:
- Hb < 10 g/dl
- Ht < 30 %
- Eritrosit < 2,8 juta/mm

2.3.2 Etiologi dan Klasifikasi Anemia


Anemia hanyalah suatu kumpulan gejala yang disebabkan oleh bermacam
penyebab. Pada dasarnya anemia disebabkan oleh karena :9

1) Gangguan pembentukan eritrosit oleh sumsum tulang


2) Kehilangan darah keluar tubuh (perdarahan)
3) Proses penghancuran eritrosit dalam tubuh sebelum waktunya (hemolisis)

A. Anemia karena gangguan pembentukan eritrosit dalam sumsum tulang


1. Kekurangan bahan esensial pembentuk eritrosit
a) Anemia defisiensi besi
b) Anemia defisiensi asam folat
c) Anemia defisiensi vitamin B12
2. Gangguan penggunaan (utilisasi) besi
a) Anemia akibat penyakit kronik
b) Anemia sideroblastik
3. Kerusakan sumsum tulang
a) Anemia aplastik
b) Anemia mieloptisik
c) Anemia pada keganasan hematologi

45
d) Anemia diseritropoietik
e) Anemia pada sindrom mielodisplastik
Anemia akibat kekurangan eritropoietin: anemia pada gagal ginjal kronik
B. Anemia akibat hemoragi
1. Anemia pasca perdarahan akut
2. Anemia akibat perdarahan kronik
C. Anemia hemolitik
1. Anemia hemolitik intrakorpuskular
a) Gangguan membran eritrosit (membranopati)
b) Gangguan enzim eritrosit (enzimopati): anemia akibat defisiensi
G6PD
c) Gangguan hemoglobin (hemoglobinopati)
- Thalassemia
- Hemoglobinopati struktural: HbS, HbE, dll
2. Anemia hemolitik ekstrakorpuskular
a) Anemia hemolitik autoimun
b) Anemia hemolitik mikroangiopatik
c) Lain-lain
D. Anemia dengan penyebab tidak diketahui atau dengan patogenesis yang
kompleks
Tabel 3.Klasifikasi Anemia Menurut Etiopatogenesis

Klasifikasi lain untuk anemia dapat dibuat berdasarkan gambaran morfologik


dengan melihat indeks eritrosit atau hapusan darah tepi. Dalam klasifikasi ini anemia
dibagi menjadi tiga golongan:9

1) Anemia hipokromik mikrositer


Anemia dengan ukuran eritrosit yang lebih kecil dari normal dan mengandung
konsentrasi hemoglobin yang kurang dari normal. Indeks eritrosit: MCV < 80 fl
dan MCH < 27 pg.9

46
2) Anemia normokromik normositer
Anemia normokromik normositer disebabkan oleh karena perdarahan akut,
hemolisis, dan penyakit-penyakit infiltratif metastatik pada sumsum tulang.
Terjadi penurunan jumlah eritrosit tidak disertai dengan perubahan konsentrasi
hemoglobin. Indeks eritrosit: MCV 80-95 fl dan MCH 27-34 pg.9

3) Anemia makrositer
Anemia dengan ukuran eritrosit yang lebih besar dari normal dan hiperkrom
karena konsentrasi hemoglobinnya lebih dari normal. Indeks eritrosit: MCV > 95
fl. Ditemukan pada anemia megaloblastik (defisiensi vitamin B12, asam folat),
serta anemia makrositik non-megaloblastik (penyakit hati, dan mielodisplasia).9

A. Anemia hipokromik mikrositer


1. Anemia defisiensi besi
2. Thalassemia major
3. Anemia akibat penyakit kronik
4. Anemia sideroblastik
B. Anemia normokromik normositer
1. Anemia pasca perdarahan akut
2. Anemia aplastik
3. Anemia hemolitik didapat
4. Anemia akibat penyakit kronik
5. Anemia pada gagal ginjal kronik
6. Anemia pada sindrom mielodisplastik
7. Anemia pada keganasan hematologik
C. Anemia makrositer
1. Bentuk megaloblastik
a) Anemia defisiensi asam folat
b) Anemia defisiensi B12, termasuk anemia pernisiosa

47
2. Anemia non-megaloblastik
a) Anemia pada penyakit hati kronik
b) Anemia pada hipotiroidisme
c) Anemia pada sindrom mielodisplastik
Tabel 4. Klasifikasi Anemia Berdasarkan Morfologi dan Etiologi

2.3.3 Patofisiologi Anemia

Gejala umum anemia (sindrom anemia) adalah gejala yang timbul pada setiap
kasus anemia, apapun penyebabnya, apabila kadar hemoglobin turun di bawah nilai
tertentu. Gejala umum anemia ini timbul karena:9

a. Anoksia organ target, karena berkurangnya jumlah oksigen yang dapat dibawa oleh
darah ke jaringan menimbulkan gejala pada organ yang terkena.
b. Mekanisme kompesasi tubuh terhadap anemia:9
- Penurunan afinitas Hb terhadap oksigen dengan meningkat enzim 2,3 DPG (2,3
diphospho glycerate)
- Meningkatkan curah jantung
- Redistribusi aliran darah
- Menurunkan tekanan oksigen darah

2.3.4 Mekanisme Anemia pada CKD


Anemia adalah kondisi yang umum ditemukan pada pasien dengan penyakit
ginjal kronis. Anemia pada penyakit kronis biasanya berbentuk anemia normositik
normokrom. Mekanisme terjadinya anemia pada penyakit ginjal kronik terjadi melalui
beberapa mekanisme. Defisiensi EPO, inhibisi eritropoiesis oleh uremia, penurunan
lifespan erritrosit, peningkatan blood loss, penurunan absorbsi besi dan peningkatan
kadar hepcidin merupakan mekanisme yang diutarakan berperan dalam anemia pada
penyakit ginjal kronik.9

48
Peningkatan blood loss pada pasien penyakit ginjal kronik berkaitan dengan
perdarahan kronis akibat disfungsi platelet terkait uremia, phlebotomy yang sering, dan
darah yang terperangkap pada alat dialisa. Selain penurunan absorbsi besi, pada pasien
penyakit ginjal kronik, terjadi juga defisiensi besi fungsional. Hal ini dicirikan dengan
penurunan pelepasan besi sehingga tidak mampu memenuhi kebutuhan eritropoiesis.
Pada pasien terdapat penurunan transferin dan kadar ferritin yang normal atau
meningkat.9
Teori terkini menyebutkan peran hepcidin dalam terjadinya penurunan
absorbsi besi sera blokade besi retikuloendotelial. Hepcidin berperan pada hemostatis
besi sistemik. Hepcidin diproduksi oleh hati dan dikeluarkan ke sirkulasi lalu bekerja
dengan cara mengikat dan menginduksi degradasi exporter besi, ferroportin pada
eritrosit duodenum, makrofag retikuendotelial, dan hepatosit sehingga menghambat
masuknya besi ke dalam plasma.9
Transkripsi hepcidin ini diinduksi oleh adanya sitokin proinflamasi yang
menjelaskan mekanisme terjadinya anemia pada sebagian besar penyakit ginjal kronis.
Berbagai studi menunjukkan bahwa kadar hepcidin meningkat pada penyakit ginjal
kronik. Mekanisme yang menyebabkan hal ini diduga meliputi peningkatan sitokin
proinflamasi, serta penurunan klirens renal.9

2.3.5 Gejala Klinis Anemia

Gejala umum anemia menjadi jelas (anemia simptomatik) apabila kadar


hemoglobin telah turun di bawah 7 g/dL. Berat ringannya gejala umum anemia
tergantung pada: derajat penurunan hemoglobin, kecepatan penurunan
hemoglobin, usia, adanya kelainan jantung paru sebelumnya.10

Gejala anemia dapat digolongkan menjadi tiga jenis gejala yaitu:

1. Gejala umum anemia


Gejala umum anemia disebut juga sebagai sindrom anemia, timbul karena
iskemia organ target serta akibat mekanisme kompensasi tubuh terhadap

49
penurunan kadar hemoglobin. Gejala ini muncul pada setiap kasus anemia setelah
penurunan hemoglobin < 7g/dL. Sindrom anemia terdiri dari rasa lemah, lesu,
cepat lelah, telinga mendengin, mata berkunang-kunang, kaki terasa dingin, sesak
nafas, dan dispepsia. Pada pemeriksaan pasien tampak pucat, dilihat dari
konjungtiva, mukosa mulut, telapak tangan dan jaringan di bawah kuku. Sindrom
anemia bersifat tidak spesifik karena dapat ditimbulkan oleh penyakit diluar
anemia dan tidak sensitif karena timbul setelah penurunan hemoglobin yang berat
(Hb < 7 g/dl). 10

2. Gejala khas masing-masing anemia :10


 Anemia defisiensi besi: disfagia, atrofi papil lidah, stomatitis angularis dan
kuku sendok
 Anemia megaloblastik: glositis, gangguan neurologik pada defisiensi
vitamin B12
 Anemia hemolitik: ikterus, splenomegali, hepatomegali
 Anemia aplastik: perdarahan dan tanda-tanda infeksi

3. Gejala Penyakit Dasar


Gejala yang timbul akibat penyakit dasar yang menyebabkan anemia sangat
bervariasi tergantung dari penyebab anemia tersebut. Misalnya gejala akibat
infeksi cacing tambang: sakit perut, pembengkakan parotis dan warna kuning
pada telapak tangan. Pada kasus tertentu sering gejala penyakit dasar lebih
dominan, seperti misalnya pada anemia akibat penyakit kronik oleh karena artritis
reumatoid.10

Meskipun tidak spesifik, anamnesis dan pemeriksaan fisik sangat penting pada
kasus anemia untuk mengarahkan diagnosis anemia. Tetapi pada umumnya diagnosis
anemia memerlukan pemeriksaan laboratorium.10

50
2.3.6 Terapi Anemia Pada Pasien CKD
1. Suplementasi eritropoetin
Terapi yang sangat efektif dan menjanjikan tersedia menggunakan recombinant
human eritropoetin yang telah diproduksi untuk aplikasi terapi. Seperti yang
telah di demontrasikan dengan plasma kambing uremia yang kaya eritropoetin,
human recombinant eritropoetin diberikan intravena kepada pasien hemodialisa,
telah terbukti menyebabkan peningkatan eritropoetin yang drastis. Hal ini
memungkinkan untuk mempertahankan kadar Hb normal setelah transfusi darah
berakhir pada pasien bilateral nefrektomi yang membutuhkan transfusi
regular.11

Indikasi dan kontraindikasi terapi EPO :11


a. Indikasi :
Bila Hb < 10 g/dl, Ht < 30% pada beberapa kali pemeriksaan dan penyebab
lain anemia sudah disingkirkan. Syarat pemberian :
 Cadangan besi adekuat : ferritin serum > 100 mcg/L, saturasi transferrin
> 20%.
 Tidak ada infeksi yang berat

b. Kontraindikasi :
Hipersensivitas terhadap EPO.

c. Keadaan yang perlu diperhatikan kepada terapi EPO, hati-hati pada


keadaan :
 Hipertensi tidak terkendali
 Hiperkoagulasi
 Beban cairan berlebihan atau fluid overload

51
d. Terapi eritropoetin ini memerlukan syarat yaitu status besi yang cukup,
terdapat beberapa kriteria pengkajian status besi pada pasien dengan gagal
ginjal :
 Anemia dengan status besi cukup.
 Anemia defisiensi besi.
1. Anemia defisiensi besi absolut : Ferritin serum < 100 mcg/L
2. Anemi defisiensi besi fungsional : Ferritin serum > 100
mcg/L.
e. Agar pemberian terapi eritripoetin optimal, perlu diberikan penunjang yang
berupa pemberian :
 Asam folat : 5 mg/hari
 Vitamin B6 : 100 – 150 mg
 Vitamin B12 : 0,25 mg/bulan
 Vitamin C : 300 mg IV pasca HD, pada anemia defisiensi besi
fungsional yang mendapat terapi EPO
 Vitamin D : mempunyai efek langsung terhadap precursor eritrosit
 Vitamin E : 1200 IU : mencegah efek induksi stress oksidatif yang
diakibatkan terapi besi intravena

2. Pembuangan eritropoesis inhibitor endogen dan toksin hemolitik endogen


dengan terapi transplantasi ginjal ekstra korporeal atau peritoneal dialysis
Seluruh terapi pengganti ginjal ekstra korporeal dan peritoneal dialisis pada
dasarnya dapat juga mempengaruhi patogenesis anemia pada gagal ginjal, sejak
prosedur ini dapat membuang toksin yang menyebabkan hemolisis dan menghambat
eritropoesis. Selain itu pengalaman klinis membutikan bahwa perkembangannya
lebih cepat daripada menggunakan terapi eritropoetin. Ketidakefektifan pada terapi
pengganti ginjal merupakan akibat keterbatasan pengetahuan tentang toksin dan cara
terbaik untuk menghilangkannya.11
Pendekatan sederhana untuk meningkatkan terapi detoksifikasi pada uremia
dengan meningkatkan batas atas ukuran molekuler yang dibuang dengan difusi dan

52
atau transportasi konvektif tidak menghasilkan yang memuaskan. Misalnya, tidak
ada data yang membuktikan bahwa hemofiltasi yang mencakup pembuangan
jangkauan molekuler yang lebih besar dibanding hemodialisis dengan membran
selulosa yang kecil, merupakan dua terapi utama dalam mengkoreksi anemia pada
gagal ginjal.11
Selain itu continous ambulatory peritenoeal dialysis (CAPD), juga merupakan
terapi pembuangan janhkuan molekuler yang besar, ini lebih baik dibandingkan
dengan hemodialisis standar dengan membran selulosa yang kecil. Hal ini masih
tidak jelas jika keuntungan CAPD ini hanya karena pembuangan yang lebih baik
dari inhibitor eritropoesis. Beberapa penelitian mengindikasikan CAPD
meningkatkan produksi eritropoetin, mungkin juga diluar ginjal dan oleh karena itu
meningkatkan eritropoesis. Walaupun mekanismenya belum diketahui.11

3. Pembuangan kelebihan aluminium dengan deferoxamine


Sejak inhibitor eritropoesis diketahui, pada kasus intoksikasi aluminium,
terapi dapat selektif dan efektif efek aluminium yang memperberat pada anemia
dengan gagal ginjal selalu harus diasumsikan ketika terjadi anemia mikrositik
dengan normal atau peningkatan feritin serum pada pasien reguler hemodialisis.
Diagnosis ditegakkan dengan peningkatan nilai aluminium serum, riwayat terpapar
aluminium baik oral maupun dialisa, gejala intoksikasi aluminium seperti enselopati,
penyakit tulang aluminium, dan keberhasilan percobaan terapi. Terapi utama adalah
chelator deferoxamin (DFO) IV selama satu sampai dua jam terakhir saat
hemodialisa atau hemofiltrasi atau CAPD.11
Range dosis 0,5 – 2 gr, 3 x seminggu. DFO memobilsasi aluminium sebagai
larutan yang kompleks, dimana kemudian dibuang dengan dialisis atau prosedur
filtrasi.efek samping utama adalah hipotensi, toksisitas okular, komplikasi neurologi
seperti kejang dan mudah terkena infeksi jamur.11

53
4. Mengkoreksi hiperparatiroid
Sekunder hiperparatiroid pada anemia dengan gagal ginjal, paratiroidektomi
bukan merupakan indikasi untuk terapi anemia. Pengobatan supresi aktivitas kelenjar
paratiroid dengan 1,25-dihidroksi vitamin D3 biasanya berhubungan dengan
peningkatan anemia.11

5. Terapi Androgen
Efekt yang positif pada terapi ini yaitu meningkatkan produski eritropoetin,
meningkatan sensitivitas polifrasi eritropoetin yang sensitive terhadap populasi stem
cell. Testosterone ester (testosterone propionate, enanthane, cypionate), derivate 17-
metil androstanes (fluoxymesterone, oxymetholone, metyltestosteron), dan komponen
19 norterstosteron (nadrolone, dekanoat, nandrolone phenpropionate) telah sukses
digunakan pada terapi anemia dengan gagal ginjal. Responnya lambat dan efek dari
obat ini dapat terbukti dalam 4 minggu terapi. Nandrolone dekanoat cukup diberikan
dengan dosis 100-200 mg, 1 x seminggu.11

54
Daftar Pustaka

1. Kidney Disease: Improving Global Outcomes (KDIGO) CKD Work Group.


KDIGO 2012 Clinical Practice Guideline for the Evaluation and Management of
Chronic Kidney Disease. Kidney Int Suppl. 2013. 3:1-150.
2. Ketut Suwitra, Aru WS, Bambang S, Idrus A, et al. . Penyakit Ginjal Kronik.
Dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Ed. 4 Jilid I. Jakarta: Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia; 2007. hlm 570-3
3. Tanto C, Husrini N.M. Penyakit Ginjal Kronik. Dalam: Kapita Selekta
Kedokteran. Edisi ke-4. Jakarta: Media Aesculapius; 2014. P. 644-7.
4. Balitbang Kemenkes RI. 2013. Riset Kesehatan Dasar; RISKESDAS. Jakarta:
Balitbang Kemenkes RI.
5. Tangri N, Stevens LA, Griffith J, Tighiouart H, Djurdjev O, Naimark D, et al. A
predictive model for progression of chronic kidney disease to kidney failure.
JAMA. 2011 Apr 20. 305(15):1553-9
6. Hand L. Antihypertensives May Delay Kidney Disease Progression. Medscape
Medical News. Dec 16 2013.
7. Arora P. Chronic Kidney Disease. [update] 2018 July 17. [cited 2018 September
09]. Available from: URL: https://emedicine.medscape.com/article/238798-
overview.
8. Daurgidas J.T, Bernando A.A (2012). Hemodialysis, effect on platelet count and
function and hemodialysis-associated thrombocytopenia. Kidney International.
82:147-157.
9. Aris, S. 2007. Mayo Clinic. Hipertensi, Mengatasi Tekanan Darah Tinggi. PT.
Intisari Mediatama : Jakarta.
10. Adamson, Longo, 2010. Anemia and Polychythemia. In Harrison’s Hematology
and Oncology. China: The McGraw-Hill Companies. 10-21.
11. Glassman AB, 2002. Anemia Diagnosis and Clinical Considerations. In (Denise
MH). Clinical Hematology and Founderation of Hemostatis. Fourth Edition.
Company. 165-185.

55
12. Wheeler D, Brown A, Trison C. Evaluation of anemia of CKD. Clinical Practice
Guidelines : Anemia of CKD. 2010(3): 25-35.

56

Anda mungkin juga menyukai