Anda di halaman 1dari 24

Laporan Kasus

Struma Nodusa Non Toksik

Diajukan sebagai Salah Satu Syarat Kepaniteraan Klinik


di Departemen Ilmu Bedah RSUD H.M. Rabain Muara Enim

Oleh:
Deanita Rahmanda Putri, S.Ked
04084821719225

Pembimbing:
dr. Yustina, SpB, MARS

DEPARTEMEN ILMU BEDAH


RSUD H.M. RABAIN MUARA ENIM
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA
2018
HALAMAN PENGESAHAN

Judul Laporan Kasus


Struma Nodusa Non Toksik

Oleh:
Deanita Rahmanda P, S.Ked
04084821719225

Referat ini diajukan untuk memenuhi salah satu tugas dalam mengikuti Kepaniteraan Klinik
Senior di Bagian Ilmu Bedah RSUD H.M. Rabain Muara Enim Fakultas Kedokteran
Universitas Sriwijaya periode 13 Agustus 2018 – 22 Oktober 2018

Muara Enim, September 2018

dr. Yustina, SpB, MARS

ii
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan
rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan laporan kasus dengan judul “Struma Nodusa Non
Toksik”. Laporan kasus ini disusun sebagai salah satu tugas kepaniteraan klinik di
Departemen Ilmu Bedah RSUD H.M. Rabain Muara Enim Fakultas Kedokteran Universitas
Sriwijaya.
Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada dr. Yustina, SpB,
MARS selaku dokter pembimbing laporan yang telah membantu dalam penyelesaiannya.
Penulis menyadari bahwa laporan kasus ini masih jauh dari sempurna. oleh karena itu,
penulis mengharapkan bantuan dari dokter pembimbing dan rekan mahasiswa untuk memberi
saran dan kritik yang membangun. Akhir kata, semoga telaah ilmiah ini membawa manfaat
bagi kita semua.

Muara Enim, September 2018

Penulis

iii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ............................................................................................... i


HALAMAN PENGESAHAN ................................................................................ ii
KATA PENGANTAR ........................................................................................... iii
DAFTAR ISI ......................................................................................................... iv
BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................... 1
BAB II LAPORAN KASUS .................................................................................. 2
BAB III TINJAUAN PUSTAKA
3.1. Anatomi, Fisiologi, dan Histologi Tiroid ........................................................ 7
3.2. Struma Nodusa Non Toksik
3.2.1. Definisi ....................................................................................................... 12
3.2.2. Etiologi ....................................................................................................... 13
3.2.4. Patogenesis .................................................................................................. 13
3.2.5. Manifestasi klinis ........................................................................................ 14
3.2.6. Pemeriksaan fisik ........................................................................................ 14
3.2.7. Pemeriksaan penunjang .............................................................................. 15
3.2.9. Tatalaksana ................................................................................................. 16
BAB IV ANALISIS KASUS ............................................................................... 18
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 19

iv
BAB I
PENDAHULUAN

Struma adalah pembesaran kelenjar tiroid yang disebabkan oleh penambahan jaringan
kelenjar tiroid itu sendiri. Pembesaran kelenjar tiroid ini ada yang menyebabkan perubahan
fungsi pada tubuh dan ada juga yang tidak mempengaruhi fungsi. Struma merupakan suatu
penyakit yang sering dijumpai sehari-hari, dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik yang
teliti, struma dengan atau tanpa kelainan fungsi metabolisme dapat didiagnosis secara
tepat.(1,2)
Struma merupakan penyakit yang diakibatkan oleh kekurangan yodium sebagai unsur
utama dalam pembentukan hormon T3 dan T4 sehingga untuk mengimbangi kekurangan
tersebut, kelenjar tiroid bekerja lebih aktif dan memnimbulkan pembesaran yang mudah
terlihat di kelenjar tiroid.1
Struma dapat diklasifikasikan berdasarkan fisiologis yaitu termasuk di dalamnya
eutiroidisme, hipotiroidisme, dan hipertiroidisme. Berdasarkan morfologi dibedakan atas
struma hyperplastica diffusa, struma colloides diffusa dan struma nodular serta berdasarkan
kliis dibedakan atas struma toksik dan struma non toksik.3
Struma nodosa merupakan gangguan yang sangat sering dijumpai dan menyerang 16%
perempuan dan 4% laki-laki yang berusia antara 20 sampai 60 tahun seperti yang telah
dibuktikan oleh suatu penyelidikan.untuk itu haruslah tanggap dalam menghadapi penyakit ini
dengan melihat kondisi pada penderita. Penyembuhan penyakit ini dilakukan dengan
pengobatan dan trapi TSH oleh tiroksin serta pembedahan dilakukan apabila srtuma menjadi
besar.4

Penderita struma nodosa biasanya tidak mengalami keluhan karena tidak ada
hipotiroidisme atau hipertiroidisme, nodul mungkin tunggal, tetapi kebanyakan berkembang
menjadi multinoduler yang tidak berfungsi. Deregenerasi jaringan menyebabkan kista atau
adenoma karena pertumbuhannya yang sering berangsur-angsur hingga struma menjadi besar
tanpa gejalah kecuali benjolan di leher, sebagian penderita dengan strauma nodosa dapat
hidup dengan strumanya tanpa adanya gangguan.2,3

1
BAB II
LAPORAN KASUS

I. Identifikasi
Nama : Tn. Z
Umur : 47 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Alamat : Desa Padang Bindu, Muara Enim
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Agama : Islam
MRS : 17 September 2018
No. RM : 143699

II. Anamnesis
2.1. Keluhan Utama
Benjolan pada leher kanan sejak 2 bulan yang lalu.
2.2. Riwayat Perjalanan Penyakit
Pasien datang ke poli bedah RSUD H.M. Rabain Muara Enim dengan
keluhan adanya benjolan pada leher kanan sejak 2 bulan sebelum masuk RS.
Benjolan lebih kurang sebesar telur ayam kampung dengan konsistensi lunak, dan
ikut bergerak saat menelan. Pasien tidak merasakan nyeri maupun kemerahan
pada benjolan. Gangguan menelan, sesak napas, suara serak, demam, mual,
muntah, sering berkeringat, rasa berdebar-debar, gemetaran maupun gangguan
tidur disangkal pasien. Pasien juga tidak mengeluh adanya benjolan di tempat
lain. Penurunan berat badan dan peningkatan nafsu makan juga disangkal pasien.
BAK lancar tidak ada keluhan, BAB normal, tidak ada diare. Di daerah sekitar
tempat tinggal pasien tidak ada yang menderita keluhan yang sama. Pola makan
pasien sehari-hari menggunakan garam beryodium.
2.3. Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat terpapar radiasi(-), riwayat penyakit yang sama sebelumnya (-).
2.4. Riwayat Penyakit Keluarga
Riwayat penyakit dengan keluhan yang sama (-).

2
III. Pemeriksaan Fisik (19-9-2018)
3.1. Status Generalis
Keadaan umum : Tampak sakit ringan
Kesadaran : Compos Mentis (E4V5M6)
Tekanan darah : 140/90 mmHg
Nadi : 84x/menit
Laju pernafasan : 20x/menit
Suhu : 36,7˚C

3.2. Pemeriksaan Fisik Khusus


Kepala :
Normocephali, simetris, konjungtiva palpebra anemis (-), sklera ikterik (-), refleks
cahaya (+/+), pupil isokor (+/+) diameter 3 mm.
Leher :
Status Lokalis
Thorax :
- Paru
Inspeksi : Statis dan dinamis simetris kanan dan kiri, retraksi (-)
Palpasi : Stem fremitus simetris kiri = kanan, nyeri tekan (-)
Perkusi : Sonor kedua lapangan paru
Auskultasi : Vesikuler (+) normal, wheezing (-), ronkhi (-)
- Jantung
Inspeksi : Iktus kordis tidak terlihat
Palpasi : Iktus kordis tidak teraba
Perkusi : Batas jantung dalam batas normal
Auskultasi : Bunyi jantung I-II normal, murmur (-), gallop (-)
Abdomen :
- Inspeksi : Abdomen datar, darm contour dan darm steihfung (-)
- Palpasi : lemas, hepar dan lien tidak teraba
- Perkusi : Timpani, nyeri ketok (-), shifting dullness (-)
- Auskultasi : Bising usus (+) normal
Ekstremitas :
Akral dingin (-), pucat (-), CRT <2 detik, tonus otot baik di keempat ekstremitas

3
Genitalia :
Tidak dilakukan pemeriksaan

3.3. Status Lokalis


REGIO COLLI DEXTRA  Kesan: Bentuk leher normal

(I) Terlihat benjolan pada leher kanan, berbentuk bulat, benjolan ikut
bergerak keatas saat pasien menelan ludah, tidak ada tanda-tanda radang.
(tampak tenang).

(Pa) Teraba benjolan, tunggal, ukuran 3cm x 2cm x 3cm, konsistensi kenyal,
padat, ikut bergerak saat menelan, batas tegas, nyeri tekan (-), pembesaran
KGB regional (-), suhu raba normal, tidak teraba adanya bruit.

(Pe) Tidak dilakukan.

(A) Bruit (-)

REGIO COLLI SINISTRA  Kesan: Bentuk leher normal

(I) Tidak terlihat benjolan, tidak ada tanda-tanda radang

(Pa) Tidak teraba benjolan, nyeri tekan (-), suhu raba normal, pembesaran KGB
(-)

(Pe) Tidak dilakukan

(A) Bruit (-)

TANDA-TANDA HIPERTIROIDISME :

 Oedem kelopak mata : (-/-)


 Eksoftalmus : (-/-)
 Tanda stellwag : (-/-)
 Tanda von graefe : (-/-)
 Tanda Morbius : (-/-)
 Tanda joffroy : (-/-)
 Tanda Roseenbach : (-/-)

4
IV. Pemeriksaan Penunjang
4.1. Pemeriksaan Laboratorium (14-8-2018)

Jenis Pemeriksaan Hasil Rujukan


Hemoglobin 12,3 gr/dL 14-18 gr/dL
HCT 38,3 % 36-48 %
Eritrosit 5,02 4,0-5,5 106/uL
Leukosit 6,58 5,0 -10,0 x 103/uL
Trombosit 269/µL 150-450 x 103/µL
MCV 76,3 fl 82-92 fl
MCH 24,5 pg 27-31pg
MCHC 32,1 g/dL 32-36 g/dL
T3 1,35 ng/mL 0,6-1,5 ng/dL
T4 8,11 µg/dL 4,68-9,36 µg/dL
TSH 0,7 µIU/mL 0,25-5,0 µIU/mL

4.2. Pemeriksaan USG (13-08-2018)

5
Kesan:
Tiroid kanan : ukuran membesar, volume 18,86 cc, parenkim inhomogen.
Tampak massa kistik dengan gambaran fluid-fluid level, disertai bagian solid di
tepinya, berukuran 2,83 x 2,37 x 3,13 cm. Tampak nodul hipodens berdiameter
0,78 cm. Tidak tampak kalsifikasi.
Tiroid kiri : ukuran tidak membesar, volume 1,67 cc, parenkim homogen tidak
tampak nodul/massa. Tidak tampak kalsifikasi. Tidak tampak nodul hipoechoic di
colli bilateral.
Kesan :
- Struma disertai massa kistik kompleks dan nodul solid tiroid kanan.
- Tiroid kiri tidak tampak kelainan.
-
V. Diagnosis Banding
- Struma Nodusa Non Toksik
- Adenoma Tiroid
- Karsinoma Tiroid

VI. Diagnosis Kerja


Struma Nodusa Non Toksik lobus dextra
VII. Tatalaksana
Non-farmakologis:
- Diet Bubur Biasa
- Bed rest
Farmakologis:
- IVFD Asering gtt XX/menit
- Cefoperazone 1 gram/12 jam IV
- Dexketoprofen 50 mg/8 jam IV

VIII. Prognosis
Quo ad vitam : Bonam
Quo ad functionam : Bonam
Quo ad sanationam : Bonam

6
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1. Anatomi, Histologi, dan Fisiologi Kelenjar Tiroid


Anatomi
Glandula thyroidea terdiri atas lobus dextra dan sinitra yang dihubungkan oleh
isthmus yang sempit. Glandula ini merupakan organ vaskular yang dibungkus oleh
selubung yang berasal dari lamina pretrachealis fascia profunda. Selubung ini melekatkan
glandula pada laring dan trakea.5
Pada ligamen suspensori anterior memanjang dari aspek superomedial lobus tiroid
ke kartilago krikoid dan tiroid. Aspek posteromedial glandula menempel pada kartilago
krikoid, cincin trakea pertama dan kedua, dan oleh ligamen suspensori posterior
(Ligamen Berry). Penempelan yang erat glandula pada laringoskeleton menyebabkan
bergeraknya glandula tiroid dan struktur lainnya saat menelan.7 Nervus laringeus rekurens
biasanya melewati bagian dalam dari ligamen Berry atau antara ligamen dan bagian
lateralnya. Di dalam ligamen, tetapi lateral dari nervus, merupakan porsi posteromedial
dari lobus tiroid, yang mesti diperhatikan saat melakukan tiroidektomi.6
Setiap lobus berbentuk seperti buah pir, dengan apexnya menghadap ke atas
sampai linea obliqua cartilaginis thyroideae; basisnya terletak di bawah setinggi cincin
trakea keempat atau kelima.6
Isthmus meluas melintasi garis tengah di depan cincin trakea kedua, ketiga, dan
keempat. Sering terdapat lobus pyramidalis, yang menonjol ke atas dari isthmus, biasanya
ke sebelah kiri garis tengah. Sebuah pita fibrosa atau muskular sering menhubungkan
lobus pyramidalis dengan os hyoideus. Jika pita ini muscular, disebut musculus levator
glandulae thyroidea.6 Batas-batas lobus:6
1. Ke anterolateral: musculus sternothyroideus, venter superior musculi omohyoidei,
musculus sternohyoideus, dan pinggir anterior musculus sternocleidomastoideus
2. Ke posterolateral: selubung carotis dengan arteria carotis communic, vena jugularis
interna, dan nervus vagus
3. Ke medial: laring, trakea, faring, dan esofagus. Berkaitan dengan struktur-struktur ini
adalah musculus cricothyroideus dan persarafannya nervus laryngeus externus di
sulcus antara esofagus dan trakea terdapat nervus laryngeus recurrens.
Pinggir masing-masing lobus yang bulat berbatasan dengan glandula

7
parathyroidea superior dan inferior di daerah posterior dan anastomosis terletak di antara
arteria thyroidea superior dan inferior.6
Batas-batas isthmus:6
1. Ke anterior: musculus sternothyroideus, musculus sternohyoideus, vena jugularis
anterior, fascia, dan kulit
2. Ke posterior: cincin trakea kedua, ketiga, dan keempat
Cabang-cabang terminal arteria thryoidea superior beranastomosis sepanjangan
pinggir atas isthmus.6

Gambar 1. Anatomi kelenjar tiroid

Arteri-arteri yang mendarahi glandula thyroidea adalah arteria thyroidea superior,


arteria thyroidea inferior, dan kadang arteria thyroidea ima. Arteri ini saling
beranastomosis dengan luas di permukaan glandula.6
Arteria thyroidea superior, cabang dari arteria carotis externa, berjalan turun
menuju ke kutub atas setiap lobus, bersama dengan nervus laryngeus externus.6 Arteri ini
berjalan di bawah muskulus omohyoid dan sternohyoid. Ligasi tinggi pada arteri saat
prosedur tiroidektomi berisiko untuk mencederai nervus laryngeus, menyebabkan
terjadinya disfonia dengan terganggunya regulasi nada.7
Arteria thyroidea inferior, cabang dari truncus thryocervicalis, berjalan ke atas di
belakang glandula sampai setinggi kartilago cricoidea. Kemudian arteri membelok ke
medial dan bawah untuk mencapai pinggir posterior glandula. Nervus laryngeus recurrens
melintas di depan atau belakang arteri ini, atau mungkin berjalan di antara cabang-

8
cabangnya.6
Arteria thyroidea ima, jika ada merupakan cabang dari arteria brachiocephalica
atau arcus costae. Berjalan ke atas di depan trakea menuju isthmus.6

Gambar 2. Perdarahan arteri kelenjar tiroid


Vena-vena dari glaundula thyroidea adalah vena thryoidea superior yang
bermuara ke vena jugularis interna. Vena thyroidea media bermuara ke vena jugularis
interna, dan vena thyroidea inferior. Vena thyroidea inferior dari kedua sisi
beranastomosis satu dengan lainnya pada saat mereka berjalan turun di depan trakea.
Vena-vena ini akan bermuara ke dalam vena brachiocephalica sinistra di dalam rongga
thorax.6

9
Gambar 3. Vaskularisasi kelenjar tiroid

Cairan limfe dari glandula thyroidea terutama mengalir ke lateral ke dalam nodi
lymphoidei cervicales profundi. Beberapa pembuluh limfe berjalan turun ke nodi
lymphoidei paratracheales.6

Gambar 4. Aliran limfe kelenjar tiroid

Histologi
Kelenjar tiroid merupakan organ endokrin yang selnya tersusun oleh folikel
(folliculus). Setiap folikel dikelilingi oleh serat retikular dan suatu anyaman kapiler yang
memudahkan hormon tiroid masuk ke dalam aliran darah. Epitel folikel dapat berupa
10
epitel selapis gepeng, kuboid, atau kolumnar rendah, tergantung pada keadaan aktivitas
kelenjar tiroid.
Folikel adalah unit struktural dan fungsional kelenjar tiroid. Sel yang
mengelilingi folikel, yaitu sel folikular (thyrocytus T), juga disebut cellula principalis,
menyintesis, melepaskan, dan menyimpan produknya di luar sitoplasma, atau
ekstraseluler, di lumen folikel sebagai substansi gelatinosa, yaitu koloid (colloidum).
Koloid terdiri atas tiroglobulin, suatu glikoprotein beriodin yang merupakan bentuk
simpanan hormon tiroid yang tidak aktif.10
Selain sel folikular, kelenjar tiroid juga mengandung sel parafolikular
(thyrocytus C) terpulas pucat yang lebih besar. Sel ini ditemukan di tepi epitel folikel atau
di dalam folikel. Jika sel parafolikular terletak di dalam suatu folikel, sel ini biasanya
terpisah dari lumen folikel oleh sel-sel folikular sekitarnya.10

Gambar 6. Histologi kelenjar tiroid

Fisiologi
Kelenjar tiroid menghasilkan hormon tiroid yaitu triidodothyronin (T3) dan
tetraiodo-thyronine (T4). Hormon berfungsi mengatur sistem metabolisme tubuh.

11
Produksi hormon tiroid diatur oleh otak melalui Thyrotropin Releasing Hormone
(TRH) dan Thyroid Stimulating Hormone (TSH). Jika TSH meningkat maka kerja
kelenjar tiroid dalam memproduksi hormon T3 meningkat. Hal sebaliknya terjadi bila
TSH menurun.2
Kerja TSH juga diatur oleh jumlah hormon tiroid yang beredar dalam darah. Jika
T3 dan T4 berlebihan dalam darah, maka TSH akan menurun agar kelenjar tiroid
mengurangi produksi hormon dan sebaliknya (feedback mechanism).2

Gambar 7. Fisiologi tiroid

3.2. Struma Nodusa Non Toksik


3.2.1. Definisi
Struma nodosa nontoksik adalah pembesaran kelenjar tiroid yang secara klinik teraba
nodul satu atau lebih tanpa disertai tanda-tanda hypertiroidisme. Istilah struma nodosa
menunjukkan adanya suatu proses, baik fisiologis maupun patologis yang menyebabkan
pembesaran asimetris dari kelenjar tiroid. Karena tidak disertai tanda-tanda toksisitas pada
tubuh, maka pembesaran asimetris ini disebut sebagai struma nodosa nontoksik. Kelainan ini

12
sangat sering dijumpai sehari-hari, dan harus diwaspadai tanda-tanda keganasan yang
mungkin ada.8

3.2.2. Etiologi
Adanya gangguan fungsional dalam pembentukan hormon tyroid merupakan faktor
penyebab pembesaran kelenjar tyroid antara lain:

a. Defisiensi iodium. Pada umumnya, penderita penyakit struma sering terdapat di daerah
yang kondisi air minum dan tanahnya kurang mengandung iodium, misalnya daerah
pegunungan.
b. Kelainan metabolik kongenital yang menghambat sintesa hormon tyroid.
c. Penghambatan sintesa hormon oleh zat kimia (seperti substansi dalam kol, lobak, kacang
kedelai).
d. Penghambatan sintesa hormon oleh obat-obatan (misalnya: thiocarbamide, sulfonylurea
dan litium).

3.2.3. Patogenesis
Penyebabnya sampai sekarang belum diketahui dengan jelas, bisa terdapat gangguan
enzim yang penting dalam sintesis hormon tiroid atau konsumsi obat-obatan yang
mengandung litium, propiltiourasil, fenilbutazone, atau aminoglutatimid.9 Iodium merupakan
semua bahan utama yang dibutuhkan tubuh untuk pembentukan hormon tyroid. Bahan yang
mengandung iodium diserap usus, masuk ke dalam sirkulasi darah dan ditangkap paling
banyak oleh kelenjar tyroid. Dalam kelenjar, iodium dioksida menjadi bentuk yang aktif yang
distimuler oleh Tiroid Stimulating Hormon kemudian disatukan menjadi molekul tiroksin
yang terjadi pada fase sel koloid.

Senyawa yang terbentuk dalam molekul diyodotironin membentuk tiroksin (T4) dan
molekul yoditironin (T3). Tiroksin (T4) menunjukkan pengaturan umpan balik negatif dari
sekresi Tiroid Stimulating Hormon dan bekerja langsung pada tirotropihypofisis, sedang
tyrodotironin (T3) merupakan hormon metabolik tidak aktif. Beberapa obat dan keadaan
dapat mempengaruhi sintesis, pelepasan dan metabolisme tyroid sekaligus menghambat
sintesis tiroksin (T4) dan melalui rangsangan umpan balik negatif meningkatkan pelepasan
TSH oleh kelenjar hypofisis. Keadaan ini menyebabkan pembesaran kelenjar tyroid.

13
3.2.4. Gejala Klinis
Pada umumnya struma nodosa non toksik tidak mengalami keluhan karena tidak ada
hipo- atau hipertiroidisme. Yang penting pada diagnosis Struma nodosa nontoksik adalah
tidak adanya gejala toksik yang disebabkan oleh perubahan kadar hormon tiroid, dan pada
palpasi dirasakan adanya pembesaran kelenjar tiroid pada salah satu lobus. Biasanya tiroid
mulai membesar pada usia muda dan berkembang menjadi multinodular pada saat dewasa.
Karena pertumbuhannya berangsur-angsur, struma dapat menjadi besar tanpa gejala kecuali
benjolan di leher. Sebagian besar penderita dengan struma nodosa dapat hidup dengan
strumanya tanpa keluhan.10

Walaupun sebagian struma nodosa tidak mengganggu pernafasan karena menonjol ke


depan, sebagian lain dapat menyebabkan penyempitan trakea bila pembesarannya
bilateral. Struma nodosa unilateral dapat menyebabkan pendorongan sampai jauh ke arah
kontra lateral. Pendorongan demikian mungkin tidak mengakibatkan gangguan pernafasan.
Penyempitan yang berarti menyebabkan gangguan pernafasan sampai akhirnya terjadi dispnea
denganstridor inspiratoar. Keluhan yang ada ialah rasa berat di leher. Sewaktu menelan
trakea naik untuk menutup laring dan epiglotis sehingga terasa berat karena terfiksasi pada
trakea.11

3.2.5. Pemeriksaan fisik


Pada pemeriksaan fisik status lokalis pada regio coli anterior, yang paling pertama
dilakukan adalah inspeksi, dilihat apakah pembesaran simetris atau tidak, timbul tanda-tanda
gangguan pernapasan atau tidak, ikut bergerak saat menelan atau tidak.6

Pada palpasi sangat penting untuk menentukan apakah bejolan tersebut benar adalah
kelenjar tiroid atau kelenjar getah bening. Perbedaannya terasa pada saat pasien diminta untuk
menelan. Jika benar pembesaran tiroid maka benjolan akan ikut bergerak saat menelan,
sementara jika tidak ikut bergerak maka harus dipikirkan kemungkinan pembesaran kelenjar
getah bening leher. Pembesaran yang teraba harus dideskripsikan:

- Lokasi : lobus kanan, lobos kiri, ismus


- Ukuran : dalam sentimeter, diameter panjang
- Jumlah nodul : satu (uninodosa) atau lebih dari satu (multinodosa)
- Konsistensinya : kistik, lunak, kenyal, keras
- Nyeri : ada nyeri atau tidak pada saat dilakukan palpasi
- KGB di sekitar tiroid : ada pembesaran atau tidak
14
- Mobilitas : ada atau tidak perlekatan terhadap trakea, muskulus
sternokleidomastoidea

3.2.6. Pemeriksaan penunjang


Pemeriksaan laboratorium yang digunakan dalam mendiagnosis penyakit tiroid terbagi
atas :

1. Pemeriksaan untuk mengukur fungsi tiroid. Pemeriksaan untuk mengetahui kadar T3


danT4 serta TSH paling sering menggunakan teknik radioimmunoassay (RIA) dan ELISA
dalam serum atau plasma darah. Kadar normal T4 total pada orang dewasa adalah 50-120
ng/dl. Kadar normal untuk T3 pada orang dewasa adalah 0,65-1,7 ng/dl.

2. Pemeriksaan untuk menunjukkan penyebab gangguan tiroid. Antibodi terhadap macam-


macam antigen tiroid yang ditemukan pada serum penderita dengan penyakit tiroid
autoimun. Seperti antibodi tiroglobulin dan thyroid stimulating hormone antibody

3. Pemeriksaan radiologis

a. Foto rontgen dapat memperjelas adanya deviasi trakea atau pembesaran struma
retrosternal yang pada umumnya secara klinis pun sudah bisa diduga. Foto rontgen
leher posisi AP dan lateral biasanya menjadi pilihan.
b. USG tiroid yang bermanfaat untuk menentukan jumlah nodul, membedakan antara
lesi kistik maupun padat, mendeteksi adanya jaringan kanker yang tidak menangkap
iodium dan bisa dilihat dengan scanning tiroid.
c. Scanning Tiroid dasarnya adalah presentasi uptake dari I 131 yang didistribusikan
tiroid. Dari uptake dapat ditentukan teraan ukuran, bentuk lokasi dan yang utama
ialah fungsi bagian-bagian tiroid (distribusi dalam kelenjar). Uptake normal 15-40%
dalam 24 jam. Dari hasil scanning tiroid dapat dibedakan 3 bentuk, yaitu cold
nodule bila uptake nihil atau kurang dari normal dibandingkan dengan daerah
disekitarnya, ini menunjukkan fungsi yang rendah dan sering terjadi pada
neoplasma. Bentuk yang kedua adalah warm nodule bila uptakenya sama dengan
sekitarnya, menunjukkan fungsi yang nodul sama dengan bagian tiroid lain.
Terakhir adalah hot nodule bila uptake lebih dari normal, berarti aktifitasnya
berlebih dan jarang pada neoplasma.
4. FNAB. Pemeriksaan histopatologis akurasinya 80%. Hal ini perlu diingat agar jangan
sampai menentukan terapi definitif hanya berdasarkan hasil FNAB saja.
15
3.2.7 Tatalaksana

Tindakan operatif masih merupakan pilihan utama pada Struma nodosa nontoksik.
Macam-macam teknik operasinya antara lain :

a. Lobektomi, yaitu mengangkat satu lobus, bila subtotal maka kelenjar disisakan seberat 3
gram
b. Isthmolobektomi, yaitu pengangkatan salah satu lobus diikuti oleh isthmus
c. Tiroidektomi total, yaitu pengangkatan seluruh kelenjar tiroid
d. Tiroidektomi subtotal bilateral, yaitu pengangkatan sebagian lobus kanan dan sebagian
kiri, sisa jaringan 2-4 gram di bagian posterior dilakukan untuk mencegah kerusakan pada
kelenjar paratiroid atau N. Rekurens Laryngeus

Tindakan Pembedahan

Indikasi operasi pada struma adalah :

1. Struma difus toksik yang gagal dengan terapi medikamentosa

2. Struma uni atau multinodosa dengan kemungkinan keganasan

3. Struma dengan gangguan kompresi

4. Kosmetik

16
Kontraindikasi pada operasi struma :

1. Struma toksika yang belum dipersiapkan sebelumnya

2. Struma dengan dekompensasi kordis dan penyakit sistemik lain yang belum terkontrol

3. Struma besar yang melekat erat ke jaringan leher sehingga sulit digerakkan yang biasanya
karena karsinoma. Karsinoma yang demikian biasanya sering dari tipe anaplastik yang
jelek prognosisnya. Perlekatan pada trakea ataupun laring dapat sekaligus
dilakukanreseksi trakea atau laringektomi, tetapi perlekatan dengan jaringan lunak leher
yang luas sulit dilakukan eksisi yang baik.

Pertama-tama dilakukan pemeriksaan klinis untuk menentukan apakah nodul tiroid


tersebut suspek maligna atau suspek benigna. Bila nodul tersebut suspek maligna, maka
dibedakan apakah kasus tersebut operable atau inoperable.

Bila kasus yang dihadapi adalah inoperable maka dilakukan tidakan biopsi insisi untuk
keperluan pemeriksaan histopatologis. Dilanjutkan dengan tindakan debulking dan radiasi
eksterna atau kemoradioterapi. Bila nodul tiroid suspek maligna yang operable atau suspek
benigna dapat dilakukan tindakan isthmolobektomi atau lobektomi. Jika setelah hasil PA

17
membuktikan bahwa lesi tersebut jinak maka operasi selesai, tetapi jika ganas maka harus
ditentukan terlebih dahulu jenis karsinoma yang terjadi.

Komplikasi pembedahan tiroid :

a. Perdarahan dari A. Tiroidea superior

b. Dispneu

c. Paralisis N. Rekurens Laryngeus. Akibatnya otot-oto laring terjadi kelemahan

d. Paralisis N. Laryngeus Superior. Akibatnya suara penderita menjadi lenih lemah dan sukar
mengontrol suara nada tinggi, karena terjadi pemendekan pita suara oleh karena relaksasi
M. Krikotiroid. Kemungkinan nervus terligasi saat operasi

18
BAB IV
ANALISIS KASUS

Pada kasus ini, pasien perempuan 47 tahun datang dengan keluhan utama benjolan
pada leher yang disadari sejak ± 2 bulan yang lalu, benjolan lebih kurang sebesar telur ayam
kampung. Melalui pemeriksaan fisis, ditemukan status generalis sakit sedang, gizi cukup,
composmentis, status vitalis dalam batas normal, status regional dalam batas normal, status
lokalis pada regio colli dekstra, inspeksi didapatkan tampak benjolan sebesar bola golf, ikut
gerak menelan, warna kulit sama dengan sekitarnya. Pada inspeksi, benjolan ikut gerak
menelan, menunjukkan benjolan tersebut berasal dari glandula thyroidea. Dapat disimpulkan
bahwa benjolan yang ada pada leher pasien adalah struma.
Kelenjar tiroid terletak dibagian bawah leher, terdiri atas dua lobus, yang dihubungkan
oleh isthmus yang menutupi cincin trakea 2 dan 3. Kapsul fibrosa menggantungkan kelenjar
ini pada fasia pratrakea sehingga pada setiap gerakan menelan selalu diikuti dengan
terangkatnya kelenjar ke arah kranial, yang merupakan ciri khas kelenjar tiroid
Menurut bentuk pembengkakan pada leher, struma dapat bersifat difus ataupun
nodusa. Pada palpasi teraba satu benjolan pada thyroid ukuran 3 x 2 x 3 cm ikut gerakan
waktu menelan, batas tegas, permukaan rata, konsistensi padat kenyal. Tidak ditemukan
adanya pembesaran kelenjar getah bening pada regio Colli. Dapat disimpulkan bahwa
benjolan tersebut adalah Struma noduler.
Pasien tidak sulit menelan, tidak sesak dan suara tidak berubah, ini menunjukkan tidak
terdapat gejala penekanan lokal glandula thyroidea pada struktur lain di leher, seperti trakea
dan esophagus .
Struma menurut perubahan fungsi fisiologis kelenjar tiroid seperti hipertyroid dan
hipotyroid dibedakan menjadi struma toksik dan nontoksik. Secara klinis, pasien datang
dengan gejala eutyroid, seperti jantung tidak berdebar-debar, berat badan tidak mengalami
penurunan, dan tidak mudah lelah saat beraktivitas serta tangan tidak gemetar. Oleh karena
itu, dapat dikatakan bahwa pasien ini tidak mengalami gangguan fungsi glandula thyroid
yakni eutyroid, sehingga pasien ini dapat didiagnosa struma nodusa non toksik.
Dari hasil palpasi, benjolan yang teraba terkesan tumor jinak, karena batas tumor jelas,
permukaan tumor rata, menunjukkan tidak terjadi infiltrasi tumor ke jaringan sekitarnya,
perubahan suara tidak menjadi serak, sehingga struma yang terbentuk diperkirakan jinak.

19
DAFTAR PUSTAKA

1. Pendit, Brahm U., 2002. Buku Ajar Fisologi Kedokteran, Penerbit Buku
Kedokteran EGC, Jakarta.
2. Rebecca, et al., 2005. Thyroid of Puducherry. Indian Journl Of Clinical
Biochemistry, Vol. 24 , No. 1 hal 52-59.
http://www.unboundmedicine.com/medline.
3. Seymour I.S., 2000. Intisari Prinsip-Prinsip Ilmu Bedah. Edisi 6. Penerbit
Buku Kedokteran EGC, Jakarta.
4. Schteingert David E., Penyakit Kelenjar Tiroid, Patofisiologi, Edisi Keempat,
Buku Dua, EGC, Jakarta, 1995 : 1071-1078.
5. Liberty Kim H, Kelenjar Tiroid : Buku Teks Ilmu Bedah, Jilid Satu, Penerbit
Binarupa Aksara, Jakarta, 1997 : 15-19.
6. Aru W., Sudoyo, dkk, 2007. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Pusat
Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam FKUI, Jakarta.
7. Haznam,M. W., 2006. Endokrinologi. Penerbit Angkasa Offset Merdeka,
Bandung.
8. Davis, Anu Bhalla., 2005. Goiter Toxic Nodular. eMedicine.
9. Ketut S., Nengah D.S., 2005. Penyakit Kelenjar Tiroid. Penerbit Buku
Kedokteran EGC, Jakarta.
10.Pirce A.G. Neil R.B., 2006. Surgery at a Glance. Edisi 3. Penerbit Erlangga,
Jakarta.
11.Schteingert David E., Penyakit Kelenjar Tiroid, Patofisiologi, Edisi Keempat,
Buku Dua, EGC, Jakarta, 1995 : 1071-1078.

20

Anda mungkin juga menyukai