Diajukan Oleh:
PEMBIMBING :
FAKULTAS KEDOKTERAN
2018
1
CASE REPORT
Diajukan Oleh:
Pembimbing
DAFTAR ISI
[Type here]3
HALAMAN JUDUL....................................................................................... i
HALAMAN PENGESAHAN........................................................................
ii
KATA PENGANTAR......................................................................................
iii
DAFTAR
ISI.................................................................................................................iv
DAFTAR GAMBAR.......................................................................................
v
DAFTAR TABEL............................................................................................
vi
BAB I PENDAHULUAN.........................................................................
1
[Type here]3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA................................................................
2
2.1. Definisi...................................................................................
................................................................................................
2
2.3. Epidemiologi...........................................................................
................................................................................................
5
2.4. Etiologi...................................................................................
................................................................................................
6
2.5. Klasifikasi...............................................................................
................................................................................................
6
2.6. Patofisiologi............................................................................
................................................................................................
8
2.8. Diagnosis................................................................................
................................................................................................
17
[Type here]3
2.10. Penatalaksanaan.....................................................................
................................................................................................
24
3.1. Kesimpulan.............................................................................
................................................................................................
28
3.2. Saran.......................................................................................
................................................................................................
28
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................
[Type here]3
DAFTAR GAMBAR
1
DAFTAR TABEL
7
DAFTAR SINGKATAN
BAB I
STATUS PASIEN
I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Nn. W
Usia : 42 tahun
Suku : Jawa
Jenis kelamin : Perempuan
Pekerjaan :-
Pendidikan Terakhir : S1
Status : Belum Menikah
Agama : Islam
Alamat : Ponorogo
No RM : 2314XX
8
Tanggal MRS :11 Januari 2018
A. Keluhan Utama
Kejang sejak 3 hari yang lalu
(Alloanamnesis dengan Ibu Kandung di Bangsal Aster RSUD Harjono
Ponorogo
B. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke IGD RSUD Harjono Ponorogo dengan keluhan kejang. kejang
pada tubuh sebelah kiri, kejang disertai dengan mata melotot dan anggota gerak
sebelah kiri kaku. Pasien kejang sebanyak 3 kali, lama kejang kurang lebih 2
menit pada masing-masing kejang, saat kejang pasien tidak sadar dan diantara
kejang pasien juga tidak sadar. Kejang pada tubuh sebelah kiri saja, saat kejang
mulut pasien tidak berbusa, lidah tidak tergigit, dan pasien tidak mengompol. Tiga
hari SMRS pasien sempat kejang dirumah sebanyak 2 kali, lama kejang kurang
dari lima menit pada masing-masing kejang, saat kejang pasien tidak sadar dan
diantara kejang pasien juga tidak sadar. Kejang pada tubuh sebelah kiri saja, saat
kejang mulut pasien tidak berbusa, lidah tidak tergigit, dan pasien tidak
mengompol. Selama ini pasien tidak pernah berobat. Pasien menyangkal adanya
demam, mual, muntah dan trauma sebelum terjadinya serangan kejang. BAB dan
BAK dalam batas normal.
E. Pemeriksaan Fisik
1) Keadaan Umum
Tekanan Darah : 130/80 mmHg
Nadi : 80 x/menit
Suhu : 36.3ºC
9
RR : 18 x/menit
2) Pemeriksaan Kepala
Kepala : Simetris, Conjungtiva Anemis (-/-), Sklera Ikterik (-/-),
Reflek Cahaya (+/+), Pupil Isokor (+), Ukuran Pupil ± 3 mm,
3) Pemeriksaan Leher
Pembesaran Kelenjar Getah Bening (-/-)
4) Pemeriksaan Thorax
Pulmo : Inspeksi : Simetris
Palpasi : Ketinggalan Gerak (-/-)
Perkusi : Sonor
Auskultasi: Suara Dasar Vesikuler (+/+), Wheezing (-/-),
Ronkhi (+/+)
Cor : Inspeksi : Ictus Cordis (tidak tampak)
Palpasi : Ictus Cordis (tidak teraba)
Perkusi : Redup (normal)
Auskultasi: Bunyi Jantung I-II reguler, Bising Jantung (-)
5) Pemeriksaan Abdomen
Inspeksi : Simetris, dinding abdomen tidak sama tinggi
dengan dinding dada.
Auskultasi : Peristaltik (+) Normal
Perkusi : Timpani (Normal)
Palpasi : Nyeri Tekan (-), Defans Muskular (-)
6) Pemeriksaan Ekstremitas
Edema Ekstremitas - -
- -
Akral hangat + +
+ +
F. Status Neurologis
Kesadaran : compos mentis ( GCS = 6 E2V1M3 )
Rangsang Meningeal:
- Kaku Kuduk : (-)
- Kernig sign : tidak terbatas / tidak terbatas
- Brudzinski I : (-)
- Brudzinski II : (-) / (-)
- Brudzinski III : (-)
Nervus Cranialis :
N.I (Olfaktorius) :
10
Pemeriksaan Hidung Kanan Hidung Kiri
Daya Pembauan SDE SDE
N.II (Optikus)
Pemeriksaan Mata kanan Mata kiri
Funduskopi
N.III (Okulomotorius)
Pemeriksaan Mata kanan Mata kiri
Ptosis (-) (-)
Pupil
Bentuk Bulat Bulat
Diameter 3 mm 3 mm
Reflex Cahaya
Direk (+) (+)
Indirek (+) (+)
Akomodasi Baik Baik
Gerak bola mata
Atas SDE SDE
Bawah SDE SDE
Medial SDE SDE
Medial atas SDE SDE
N. IV (Throklearis)
Pemeriksaan Mata kanan Mata kiri
Stabismus divergen (-) (-)
Gerakan bola mata
SDE SDE
Medial bawah
N.V (Trigeminus)
11
Pemeriksaan Kanan Kiri
Motorik
Mengunyah SDE SDE
Sensibilitas
SDE
Cabang oftalmikus SDE
SDE
Cabang maksilaris SDE
SDE
Cabang mandibularis SDE
Reflex
Kornea (+) (+)
N. VI (Abdusens)
Pemeriksaan Mata kanan Mata kiri
Strabismus
konvergen SDE SDE
Gerakan bola mata
Lateral SDE SDE
N.VII (Facialis)
Pemeriksaan Kanan Kiri
Motorik
Saat diam simetris simetris
Saat bergerak:
Mengangkat alis SDE SDE
Menyeringai SDE SDE
Mencucu SDE SDE
Sensorik
Daya kecap lidah 2/3 depan SDE SDE
N.VIII (Vestibulokoklearis)
Keseimbangan
Test Romberg SDE SDE
Test telunjuk-hidung SDE SDE
12
Nistagmus (-) (-)
Pemeriksaan Hasil
Arkus faring
Pasif SDE
Gerakan aktif SDE
Uvula di tengah
Pasif SDE
Gerakan aktif SDE
Reflex muntah (+)
Daya kecap lidah 1/3 belakang SDE
N. XI (Assesorius)
Pemeriksaan Kanan Kiri
Memalingkan kepala SDE SDE
Mengangkat bahu SDE SDE
N.XII (Hypoglosus)
Pemeriksaan Hasil
Posisi lidah SDE
Papil lidah SDE
Atrofi otot lidah SDE
Fasikulasi lidah SDE
Motorik
Kekuatan Otot SDE SDE
SDE SDE
Atropi : - -
- -
Klonus
Kaki : -/-
13
Patella : -/-
Sensorik
Nyeri : Ekstremitas Atas : normoalgesia
Ekstremitas Bawah : normoalgesia
Raba : Ekstremitas Atas : normostesia
Ekstremitas Bawah : normostesia
Refleks Fisiologis
Reflek bisep : (++/++)
Reflek trisep : (++/++)
Reflek brachioradialis : (++/++)
Reflek patella : (++/++)
Reflek achilles : (++/++)
Refleks Patologis
Hoffman : (-/-)
Trommer : (-/-)
Babinski : (-/-)
Chaddock : (-/-)
Oppenheim : (-/-)
Gordon : (-/-)
Schaefer : (-/-)
Provokasi Nyeri
Laseque : (sde/sde)
Kontra Laseque : (sde/sde)
Patrick : (sde/sde)
Kontra Patrick : (sde/sde)
14
Cerebral Sign
Finger to finger : sde
Finger to Nose : sde
Rebound Test : sde
Heel to Shin : sde
G. Pemeriksaan Penunjang
HCT 43 40-54%
H. Diagnosa Kerja
I. Rencana Terapi
- 02 2lpm
- Infus asering 16 tpm
- Injeksi Diazepam intramuskular 3x1
J. Prognosis
Disease : Dubia ad bonam
Disability : Dubia ad bonam
Disatissfaction: Dubia ad bonam
15
Discomfort : Dubia ad bonam
Death : Dubia ad bonam
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
16
konsekuensi neurobiologis, kognitif, psikologis, dan sosial. Sedangkan
bangkitan epileptik sendiri adalah tanda dan gejala yang timbul sesaat
akibat aktivitas neuron di otak yang berlebihan dan abnormal.2
Definisi operasional epilepsi mencakup:2
a. Minimal terdapat 2 bangkitan tanpa provokasi atau 2 bangkitan refleks
dengan jarak waktu antar bangkitan pertama dan kedua lebih dari 24
jam.
b. Satu bangkitan tanpa provokasi atau 1 bangkitan refleks dengan
kemungkinan terjadinya bangkitan berulang dalam 10 tahun kedepan
sama dengan (minimal 60%) bila terdapat 2 bangkitan tanpa profokasi/
bangkitanrefleks (misalkan bangkitan pertama yang terjadi 1 bulan
setelah kejadian stroke, bangkitan pertama pada anak yang disertai lesi
structural dan discharge epileptiform).
c. Sudah ditegakkan diagnosis sindrom epilepsi.
3) Status Epileptikus
B. Epidemiologi
17
memakan obat antikonvulsan.23
C. Etiologi
18
ditemukan perubahan neuroanatomik ataupun neuropatologik, namun
dapat disebabkan oleh kelainan genetik.15
D. Klasifikasi
Klasifikasi Kejang
1. Kejang Umum
Pada kejang umum, seluruh bagian otak terlibat.
a. Tonik-klonik
Pada kejang umum tonik-klonik, terjadi kehilangan kesadaran,
biasanya tanpa aura atau gejala peringatan lain. Walaupun ada
gejala peringatan, biasanya gejala terebut tidak spesifik. Kejang
umu tonik-klonik dibagi menjadi beberapa fase:
1) Fase tonik – manifestasi awal ialah hilangnya kesadaran
dan kontraksi tonik dari otot-otot tungkai selama 10-30
detik, ditandai dengan fleksi pada awalnya, lalu ekstensi
khususnya pada punggung dan leher. Kontraksi tonik pada
otot-otot pernapasan dapat menghasilkan vokalisasi pada
ekspirasi dan sianosis. Kontraksi dari otot mastikasi dapat
menyebabkan trauma lidah.
2) Fase klonik – fase tonik diikuti oleh fase klonik (kontraksi
dan relaksasi oto secara bergantian) dimana sentakan
tungkai terjadi secara simetris dan berlangsung selama 30-
60 detik atau lebih. Setelah fase tonik berakhir, usaha
pernapasan kembali normal dan sianosis akan menghilang.
Mulut dapat berbusa. Seiring waktu, sentakan menjadi
lebih jarang, sampai akhirnya semua pergerakan hilang
dan otot-otot menjadi flaksid. Relaksasi spinkter dan
kontraksi otot detrusor dapat menyebabkan inkontinensia
urin.
3) Pemulihan – setelah pasien kembali sadar, ditemukan
adanya kebingungan post iktal dan seringkali sakit kepala.
19
Pemulihan orientasi sepenuhnya biasanya tercapai setelah
10-30 menit atau bahkan lebih pada pasien dengan status
eileptikus. Pemeriksaan fisik pada keadaan post iktal
biasanya dalam batas normal pada epilepsi idiopatik atau
kejang akibat metabolik, kecuali refleks babinski dapat
positif.
4) Status epileptikus – merupakan emergensi medis karena
dapat menyebabkan kerusakan permanen pada otak akibat
hiperpireksia, kolaps sirkulasi, kerusakan neuronal
eksitotoksik.
b. Absence
1) Tipikal
Pada kejang absence tipikal ditemukan adanya gangguan
kesadaran, komponen klonik ringan, komponen tonik dan atonik,
automatisme, dan komponen otonomik. Pada kejang ini biasanya
pasin terlihat seperti melamun.
2) Atipikal
Kejang absence atipikal mirip dengan kejang absence
tipikal namun perupahan pada tonus otot lebih menonjol
dibanding pada kejang absence tipikal. Durasi biasanya lebih
lama dan memiliki onset dan resolusi yang gradual.
3) Absence dengan fitur khusus
a) Absence Mioklonik
b) Mioklonik Kelopak Mata
c. Klonik
Kejang klonik ditandai dengan adanya sentakan klonik yang
repetitif, disertai dengan hilangnya kesadaran. Tidak ditemukan
fase tonik sebelumnya.
d. Tonik
Kejang tonik ditandai dengan adanya kontraksi otot yang
berkelanjutan yang dapat menyebabkan fiksasi dari tungkai dan
20
muskulatur aksial pada fleksi maupun ekstensi disertai dengan
hilangnya kesadaran.
e. Atonik
Kejang atonik diakibatkan oleh hilangnya tonus postural, terkadang
setelah sentakan mioklonik, menyebabkan jatuh atau drop attack.
Hal ini sering dijumpai pada gangguan seperti Sindroma Lennox-
Gastaut.
f. Mioklonik
Kejang mioklonik ditandai dengan kontraksi shocklike yang tiba-
tiba dan cepat yang dapat terlokalisir pada beberapa otot atau satu
atau dua tungkai.
1) Mioklonik
2) Mioklonik-atonik
3) Mioklonik-tonik
g. Kejang Parsial
Kejang parsial terjadi saat serangan kejang terjadi di satu area di
otak.
1) Kejang parsial sederhana
Kejang parsial sederhana diawali dengan fenomena motorik,
sensorik dan otonomik, tergantung dari regio korteks yang
berperan. Gejala otonomik dapat berupa pucat, flushing,
berkeringat, piloereksi, dilatasi pupil, muntah, borborygmi, atau
hipersalivasi. Gejala psikis termasuk distorsi dari memori (deja
vu), forced thinking, defisit kognitif, gangguan afek, halusinasi
dan ilusi. Kejang parsial sederhana tidak disertai hilangnya
kesadaran kecuali jika kejang sekunder umum terjadi.Pada post
iktal, dapat ditemukan defisit neurologis seperti hemiparesis
(Todd paralysis) yang dapat berlangsung selama 30 menit
sampai 36 jam dan mengindikasikan adanya lesi otak fokal yang
melatarbelakangi kejang.
2) Kejang parsial kompleks
Pada kejang parsial kompleks ditemukan adanya gangguan
kesadaran, tanggapan, atau memori. Discharge biasanya
21
dihasilkan dari lobus temporal atau frontal medial namun dapat
dari tempat lain. Episode biasanya didahului dengan aura.
Sensasi epigastrik adalah yang paling sering. Kejang biasanya
berlangsung selama 1-3 menit. Manifestasi motorik dari kejang
parsial kompleks ditandai dengan aktivitas motorik involunter
yang terkoordinasi yang disebut dengan automatisme. Gerakan
yang paling sering dijumpai ialah gerakan orobukolingual,
fasial, leher, atau tangan.
3) Kejang umum sekunder
Kejang Tanpa Penyebab yang Diketahui
Spasme epileptik
Lain-lain
1. SE Umum Konvulsif
Tipe ini adalah yang paling sering dan berbahaya. Umum merujuk pada
aktivitas elektrik berlebih yang abnormal pada korteks dan konvulsif
merujuk pada aktivitas motorik pada bangkitan. Dikatakan SE Umum
Konvulsif saat bangkitan umum tonik-klonik berlangsung lebih dari 5
menit.
2. SE Nonkonvulsif
a) SE Absans
Pada gambaran klinis, ditemukan perubahan pada tingkat kesadaran
secara jelas. Kebanyakan pasien tidak komatose namun lethargic dan
bingung, disertai dengan penurunan spontanitas dan bicara yang lambat
dapat terjadi automatisme.
b) SE Parsial Kompleks
Tipe ini jarang ditemukan. SE kompleks parsial yang berasal dari
korteks limbik menyebabkan gejala seperti melamun, tidak responsif,
22
automatisme, anxietas, gejala abdomen, deja vu, stupor. Automatisme
lebih terlihat dibanding pada SE absans, Anxietas, agresi, ketakutan dan
iritabilitas umum ditemukan pada SE parsial kompleks.
c) SE Parsial Sederhana
SE parsial sederhana terdiri dari kejang yang terlokalisir pada area
korteks serebri yang terbatas dan tidak menyebabkan alterasi kesadaran.
SE parsial sederhana dapat berasal dari regio manapun pada korteks.
Saat korteks motor terpengaruh, kondisi tersebut dinamakan epilepsi
parsialis kontinua (EPC), dimana ditemukan twitching fokal yang
repetitif, ritmik dan unilateral pada tungkai dan/atau wajah.
E. Patofisiologi
23
membran sinaptik membentuk reseptor eksitatori tambahan, menyebabkan
eksitabilitas meningkat saat kejang terjadi.6
Kerusakan neuronal terjadi akibat stimulasi neuronal NMDA terus
menerus yang berujung pada apoptosis. Ketika neuron mengalami
depolarisasi, ion Mg2+ memblok channel keluar, sehingga terjadi kelebihan
ion Na+ dan Ca2+ di dalam sel, mengakibatkan sel dalam keadaan sitotoksik,
menyebabkan kerusakan sel neuron, lysis sel, dan kematian sel. Kerusakan sel
neuron akibat proses ini mungkin reversibel jika status epileptikus dihentikan
dalam jam pertama.6
Reseptor GABA-A yang mengalami endositosis hanya reseptor yang
terdapat pada intrasinaptik, sedangkan reseptor GABA-A ekstrasinaptik tidak.
Hal inilah yang dimanfaatkan dalam pengobatan status epileptikus dengan
cara menstimulasi reseptor GABA-A ekstrasinaptik.6
Patofisiologi status epileptikus terbagi menjadi 2 fase, yaitu:7,8
1. Fase I (0-30 menit) – mekanisme terkompensasi. Pada fase ini terjadi:
h. Pelepasan adrenalin dan noradrenalin
i. Peningkatan cerebral blood flow dan metabolisme
j. Hipertensi, hiperpireksia
k. Hiperventilasi, takikardia, asidosis laktat
2. Fase II (>30 menit) – mekanisme tidak terkompensasi. Pada fase ini
terjadi:
o Kegagalan autoregulasi serebral/ edema otak
o Depresi pernafasan
o Disritmia jantung, hipotensi
o Hipoglikemia, hiponatremia
o Gagal ginjal, rhabdomyolisis, hipertermia dan DIC
F. Gambaran klinik15
24
Aktivitas motorik merupakan gejala yang paling lazim pada epilepsi
parsial sederhana. Gerakan ditandai dengan gerakan klonik atau tonik yang
tidak sinkron, dan mereka cenderung melibatkan wajah, leher dan tungkai.
Kejang versify terdiri atas pemutaran kepala dan gerakan mata gabungan
adalah sangat lazim. Rata – rata kejang berlangsung selama 10–22 detik.
Kejang parsial sederhana dapat terancukan dengan gerenjit (tic), namun
gerenjit ditandai dengan pengangkatan bahu, mata berkedip – kedip dan wajah
menyeringai serta terutama melibatkan wajah dan bahu. Gerenjit dapat tertekan
sebentar, tetapi kejang parsial tidak dapat dikendalikan. EEG dapat
menunjukkan gelombang paku atau gelombang tajam unilateral atau bilateral,
atau gambaran paku multifokal pada penderita dengan kejang parsial
sederhana, gelombang paku ombak di daerah temporal tengah (daerah
Rolandik ).
25
1. Serangan pertama biasa terjadi antara usia 5 – 10 tahun.
2. Serangan terutama terjadi sewaktu tidur.
3. Respon terhadap obat antikonvulsan baik.
4. Prognosis baik.
5. Sumber ( focus ) epilepsinya adalah di daerah temporal tengah,
pada satu sisi atau pada kedua sisi di otak.
6. Serangan – serangan kejang akan menghilang atau berhenti bila
mencapai usia remaja, demikian juga halnya dengan gelombang
paku di daerah temporal tengah yang terlihat pada pemeriksaan
EEG akan menghilang.
Anak dengan jenis epilepsy ini mempunyai inteligensi, tingkah laku, dan
kemampuan bersekolah yang tidak berbeda dengan populasi umum. Jenis
epilepsy ini cukup sering dijumpai.
Kejang jenis ini disebut juga kejang psikomotor. Kejang ini dapat
didahului oleh kejang parsial sederhana dengan atau tanpa aura, disertai
dengan gangguan kesadaran atau sebaliknya, mulainya kejang parsial
kompleks ini dapat bersama dengan keadaan kesadaran yang berubah. Aura
terdiri dari rasa tidak enak, samar – samar, sedikit rasa tidak enak
epigastrium, atau ketakutan pada sekitar sepertiga anak. Kejang parsial ini
sukar didokumentasikan pada bayi dan anak, frekuensi hubungannya dengan
kejang parsial kompleks mungkin kurang terestimasi. Kesadaran terganggu
pada anak dan bayi sukar dinilai.
Kejang parsial kompleks yang disertai gelombang tajam atau paku –
paku setempat EEG antar kejang lobus temporalis anterior, dan paku
multifokus merupakan temuan yang sering. Sekitar 20 % bayi dan anak
dengan kejang parsial kompleks mempunyai EEG antar kejang rutin normal.
Daerah yang terkena kejang parsial kompleks lebih luas dibandingkan dengan
kejang parsial sederhana dan biasanya didahului dengan aura.
26
Gambar 2. Manifestasi Epilepsi Parsial Kompleks (ELSEVIER-netterimages.com)
27
epilepsi yang sering dijumpai. Serangan grandmal yang khas adalah sebagai
berikut :
Penderita secara mendadak menghilang kesadarannya, disertai kejang
tonik (badan dan anggota gerak menjadi kaku ), yang kemudian diikuti oleh
kejang klonik (badan dan anggota gerak berkejut - kejut, kelojotan ). Bila
penderita sedang berdiri sewaktu serangan mulai, ia akan jatuh seperti benda
mati. Pada fase tonik badan menjadi kaku. Bila kejang tonik ini kuat, udara
dikeluarkan dengan kuat dari paru-paru melalui pita suara sehingga terjadi
bunyi yang disebut sebagai jeritan epilepsy ( epileptic cry ). Sewaktu kejang
tonik ini berlangsung, penderita menjadi biru ( sianosis ) karena pernafasan
terhenti dan terdapat pula kongesti ( terbendungnya ) pembuluh darah balik
vena. Biasanya fase kejang tonik ini berlangsung selama 20 – 60 detik.
Kemudian disusul oleh fase klonik. Pada fase ini terjadi kejang klonik
yang bersifat umum, melibatkan semua anggota gerak. Semua anggota gerak pada
28
fase klonik ini berkejang klonik ( kelojotan ) juga otot pernafasan dan otot rahang.
Pernafasan menjadi tidak teratur, tersendat - sendat, dan dari mulut keluar busa.
Lidah dapat tergigit waktu ini dan penderita dapat pula mengompol. Bila
penderita terbaring pada permukaan yang keras dan kasar, kejang klonik dapat
mengakibatkan luka – luka karena kepala digerak – gerakkan sehingga terantuk –
antuk dan luka. Biasanya fase klonik ini berlangsung kira – kira 40 detik, tetapi
dapat lebih lama. Setelah fase klonik ini penderita terbaring dalam koma. Fase
koma ini biasanya berlangsung kira – kira 1 menit. Setelah itu penderita tertidur,
yang lamanya bervariasi, dari beberapa menit sampai 1 – 3 jam. Bila pada saat
tidur ini dibangunkan ia mengeluh sakit kepala, dan ada pula yang tampak
bengong. Lama keadaan bengong ini berbeda –beda. Ada penderita yang keadaan
mentalnya segera pulih setelah beberapa menit serangan selesai. Ada pula yang
lebih lama, sampai beberapa jam atau hari.13
Kelemahan umum, muntah, nyeri kepala hebat, pegal otot, gelisah, mudah
tersinggung, dan berbagai perubahan tingkah laku merupakan gejala pasca
serangan yang sering dijumpai. Gangguan pasca serangan ini dapat berlangsung
beberapa saat, namun dapat juga sampai beberapa jam. Sesekali dijumpai keadaan
dimana serangan grandmal timbul secara beruntun, berturut – turut sebelum
penderita pulih dari serangan sebelumnya. Hal ini merupakan keadaan gawat
darurat, dan disebut status epileptikus. Dapat berakibat fatal, memautkan dan
dapat pula mengakibatkan terjadinya cacat pada penderitanya.
Kejang ini biasanya terdapat pada BBLR dengan masa kehamilan kurang
dari 34 minggu dan pada bayi dengan komplikasi perinatal berat misalnya
perdarahan intraventrikuler. Bentuk klinis kejang ini yaitu berupa pergerakan
tonik satu ekstremitas, atau pergerakan tonik umum dengan ekstensi lengan dan
tungkai yang menyerupai sikap deseberasi atau ekstensi tungkai dan fleksi
lengan bawah dengan bentuk dekortikasi. Juga ditemukaan adanya epileptic
cry. Bentuk kejang tonik yang menyerupai deserebrasi harus dibedakan dengan
29
sikap opistotonus yang disebabkan oleh rangsang meningeal karena infeksi
selaput otak atau kernikterus.
Bentuk kejang ini merupakan gerakan klonik pada satu atau lebih
anggota gerak yang berpindah-pindah atau terpisah secara teratur, misalnya
30
kejang klonik lengan kiri diikuti dengan kejang klonik tungkai bawah kanan.
Kejang yang satu dengan yang lain sering berkesinambungan, seolah-olah
memberi kesan sebagai kejang umum.
Jenis epilepsy ini dikenal juga dengan nama Petit mal. Jenis ini jarang
dijumpai. Nama lainnya ialah lena khas, lena sederhana ( simple absence ) atau
lena murni ( pure absence ). Serangan petit mal berlangsung singkat hanya
beberapa detik 5-15 detik.
31
Penderita tiba-tiba berhenti melakukan apa yang sedang ia lakukan ( misalnya
makan, bermain, berbicara, membaca )
32
Epilepsi masa anak ditandai dengan kejang berulang yang terdiri dari
kontraksi otot sebentar, sering kontraksi otot simetris dengan kehilangan tonus
tubuh dan jatuh atau menelungkup ke depan.
33
demam, riwayat persalinan, tumbuh kembang, dan penyakit yang sedang
diderita.
Pemeriksaan fisik
pemeriksaan neurologi lengkap meliputi tingkat kesadaran penglihatan dan
pendengaran refleks fisiologis dan patologi, lateralisasi, papil edema
akibat peningkatan intrakranial akibat tumor, perdarahan, dll. Sistem
motorik yaitu parestesia, hipestesia, anestesia.
Pemeriksaan penunjang
a) Pemeriksaan laboratorium yaitu darah, elektrolit, glukosa, fungsi ginjal
dengan urin analisis dan kultur, jika ada dugaan infeksi, maka dilakukan
kultur darah dan
b) Imaging yaitu CT Scan dan MRI untuk mengevaluasi lesi struktural di
otak. Ct Scan (Computed Tomography Scan) kepala dan MRI
(Magnetic Resonance Imaging) kepala adalah untuk melihat apakah ada
atau tidaknya kelainan struktural diotak.
Indikasi CT Scan kepala adalah:
- Semua kasus serangan kejang yang pertama kali dengan dugaan ada
kelainan struktural di otak.
- Perubahan serangan kejang.
- Ada defisit neurologis fokal.
- Serangan kejang parsial.
- Serangan kejang yang pertama diatas usia 25 tahun.
- Untuk persiapan operasi epilepsi.
CT Scan kepala ini dilakukan bila pada MRI ada kontra indikasi
namun demikian pemeriksaan MRI kepala ini merupakan prosedur
pencitraan otak pilihan untuk epilepsi dengan sensitivitas tinggi dan
lebih spesifik dibanding dengan CT Scan. Oleh karena dapat
mendeteksi lesi kecil diotak, sklerosis hipokampus, disgenesis kortikal,
tumor dan hemangioma kavernosa, maupun epilepsi refrakter yang
sangat mungkin dilakukan terapi pembedahan. Pemeriksaan MRI
34
kepala ini biasanya meliputi: T1 dan T2 weighted“ dengan minimal dua
irisan yaitu irisan axial, irisan coronal dan irisan sagital.
c) EEG untuk mengetahui aktivitas listrik otak dan dilakukan secepat
mungkin jika pasien mengalami gangguan mental.
Pemeriksaan penunjang yang paling sering dilakukan adalah
pemeriksaan elektroensefalografi (EEG). Pemeriksaan EEG rutin
sebaiknya dilakukan perekaman pada wktu sadar dalam keadaan
istirahat, pada waktu tidur, dengan stimulasi fotik dan hiperventilasi.
Pemeriksaam EEG ini adalah pemeriksaan laboratorium yang penting
untuk membantu diagnosis epilepsi dengan beberapa alasan sebagai
berikut.
1. Pemeriksaan ini merupakan alat diagnostik utama untuk
mengevaluasi pasien dengan serangan kejang yang jelas atau yang
meragukan. Hasil pemeriksaan EEG akan membantu dalam
membuat diagnosis, mebgklarifikasikan jenis serangan kejang yang
benar dan mengenali sindrom epilepsi.
2. Dikombinasikan dengan hasil pemeriksaan fisik dan neurologi, pola
epileptiform pada EEG (spikes and sharp waves) sangat mendukung
diagnosis epilepsi. Adanya gambaran EEG yang spesifik seperti “3-
Hz spike-wave complexes“ adalah karakteristik kearah sindrom
epilepsi yang spesifik.
3. Lokalisasi dan lateralisasi fokus epileptogenik pada rekaman EEG
dapat menjelaskan manifestasi klinis daripada“aura“ maupun jenis
serangan kejang. Pada pasien yang akan dilakukan operasi,
pemeriksaan EEG ini selalu dilakukan dengan cermat.
35
1. Pada pemeriksaan EEG tunggal pada pertama kali pasien dengan
kemungkinan epilepsi didapat sekitar 29-50 % adanya gelombang
epileptiform, apabila dilakukan pemeriksaan ulang maka
persentasinya meningkat menjadi 59-92 %. Sejumlah kecil pasien
epilepsi tetap memperlihatkan hasil EEG yang normal, sehingga
dalam hal ini hasil wawancara dan pemeriksaan klinis adalah penting
sekali.
2. Gambaran EEG yang abnormal interiktal bisa saja tidak
menunjukkan adanya epilepsi sebab hal demikian dapat terjadi pada
sebagian kecil orang-orang normal oleh karena itu hasil pemeriksaan
EEG saja tidak dapat digunakan untuk menetapkan atau meniadakan
diagnosis epilepsi.
3. Suatu fokus epileptogenik yang terlokalisasi pada pemeriksaan EEG
mungkin saja dapat berubah menjadi multifokus atau menyebar
secara difus pada pasien epilepsi anak.
4. Pada EEG ada dua jenis kelainan utama yaitu aktivitas yang lambat
dan epileptiform, bila pada pemeriksaan EEG dijumpai baik
gambaran epileptiform difus maupun yang fokus kadang-kadang
dapat membingungkan untuk menentukan klasisfikasi serangan
kejang kedalam serangan kejang parsial atau serangan kejang
umum,
5. Pungsi lumbar, dapat kita lakukan jika ada dugaan infeksi CNS
atau perdarahan subarachnoid.
36
H. Tata Laksana Status Epileptikus9
I. Penatalaksanaan
Status epileptikus merupakan gawat darurat neurologic. Harus ditindaki
secepat mungkin untuk menghindarkan kematian atau cedera saraf permanen.
Biasanya dilakukan dua tahap tindakan:21
I. Stabilitas Penderita
37
Tahap ini meliputi usaha usaha mempertahankan dan memperbaiki fungsi
vital yang mungkin terganggu. Prioritas pertama adalah memastikan jalan
napas yang adekuat dengan cara pemberian oksigen melalui nasal canul
atau mask ventilasi. Tekanan darah juga perlu diperhatikan, hipotensi
merupakan efek samping yang umum dari obat yang digunakan untuk
mengontrol kejang. Darah diambil untuk pemeriksaan darah lengkap, gula
darah, elektrolit, ureum, kreatinin. Harus diperiksa gas-gas darah arteri
untuk melacak adanya asidosis metabolic dan kemampuan oksigenasi
darah. Asidosis di koreksi dengan bikarbonat intravena. Segera diberi 50
ml glukosa 50% glukosa iv, diikuti pemberian tiamin 100 mg im.
38
Stadium Penatalaksanaan
39
Tabel 1. Penanganan Status Epileptikus Konvulsif
40
SUMBER : PERDOSSI 2014, PEDOMAN TATALAKSANA EPILEPSI
Tindakan:
1. Operasi
Indikasi operasi :
a. Fokal epilesi yang intraktabel terhadap obat obatan
b. Sindroma Epilepsi fokal dan simptomatik
Kontraindikasi:
Kontraindikasi absolut
a. Penyakit neurologik yang progresif (baik metabolic maupun
degeneratif)
b. Sindroma epilepsi yang benigna, dimana diharapkan terjadi remisi
dikemudian hari
41
Kontraindikasi relatif:
a. Ketidak patuhan terhadap pengobatan
b. Psikosis interiktal
c. Mental retardasi
Indikasi rawat :
1. Status Epileptikus
2. Bangkitan berulang
3. Kasus Bangkitan Pertama
4. Epilepsi intraktabel
Oedema serebri
Disfungsi kognitif
Gagal Ginjal
Myoglobinuria, rhabdomiolisis
Gagal Nafas
Apnoe
42
Pneumonia
Hipoksia, hiperkapni
Gagal nafas
Pelepasan Katekolamin
Hipertensi
Oedema paru
Aritmia
Hipersekresi, hiperpireksia
Jantung
Dehidrasi
Asidosis
Hiper/hipoglikemia
Hiperkalemia, hiponatremia
Kegagalan multiorgan
Idiopatik
K. Prognosis23
43
Prognosis status epileptikus adalah tergantung pada penyebab yang
mendasari status epileptikus. Pasien dengan status epileptikus akibat penggunaan
antikonvulsan atau akibat alkohol biasanya prognosisnya lebih baik bila
penatalaksanaan dilakukan dengan cepat dan dilakukan pencegahan terjadi
komplikasi. Pasien dengan meningitis sebagai etiologi maka prognosis tergantung
dari meningitis tersebut.
BAB III
KESIMPULAN
44
Dengan ditetapkannya atau lebih dipahaminya dasar dari patofisologi
penyakit ini dan adanya konsensus mengenai penatalaksanaan Status Epileptikus,
maka diharapkan prognosa pasien yang mengalami kasus ini dapat menjadi lebih
baik.
45
DAFTAR PUSTAKA
46
Januari 2018]. Available from:
https://www.aesnet.org/about_aes/press_releases/guidelines2016
13. Hanhan UA, Fiallos MR, Orlowski JP. Status epilepticus. Pediatr Clin
North Am. 2001;48:683-94.
17. Hauser SL, Longo DL, Jameson JL (ed). Harrison’s Principles of Internal
Medicine 15th Edition CD ROM. McGraw-Hill. 2001.
47
21. Paul E. Marik, MD, FCCP; and Joseph Varon, MD, FCCP. The
Management of Status Epilepticus. CHEST 2004; 126:582–591
48