Anda di halaman 1dari 45

1

BAB I
PENDAHULUAN

1) Latar Belakang
Kapasitas vital paksa (KVP) dan kapasitas vital (KV) merupakan nilai
untuk menentukan fungsi sistem respirasi, khususnya untuk mengetahui
kelainan pada restriksi paru. Pada keadaan restriksi, kapasitas vital (KV) <
80% nilai prediksi dan kapasitas vital paksa (KVP) < 80% nilai prediksi (Al
Ashkar et al, 2003). Kapasitas vital paksa didapatkan setelah seseorang
melakukan inspirasi dengan usaha yang maksimum dan mengekspirasi secara
kuat dan cepat, nilai normal rerata kapasitas vital pada laki-laki sebesar 4800
mL dan pada perempuan sebesar 3100 mL. Semakin tinggi badan seseorang
nilai KVP juga akan semakin meningkat. Kecenderungan yang sama juga
terlihat pada perempuan, semakin tinggi badan perempuan akan meningkatkan
nilai KVP (Ganong, 2003).
Di seluruh dunia, terdapat 1,6 miliar orang dewasa memiliki berat
badan lebih (overweight) dan 400 juta di antaranya mengalami obesitas
(WHO, 2011). Tren terbaru dalam berurbanisasi di negara berkembang dan
globalisasi pasar makanan berkontribusi dalam mengubah perilaku dan gaya
hidup masyarakat. Perubahan gaya hidup, terkait dengan transisi nutrisi dari
tradisional ke kebiasaan modern, telah menyebabkan munculnya masalah
kelebihan berat badan dan obesitas (Gbary et al, 2014). Pada tahun 2011,
terdapat 12 juta (16,3%) anak di Amerika Serikat yang berusia 2-19 tahun
sebagai penyandang obesitas, dan sekitar satu pertiga (32,9%) atau 72 juta
adalah orang dewasa. Berdasarkan jenis kelamin prevalensi obesitas pada
perempuan lebih tinggi 26,9% dibanding laki-laki 16,3% (AHA, 2011). Di
Negara Indonesia, berdasarkan Riset Kesehatan Dasar tahun 2013, angka
overweight dan obesitas pada penduduk usia di atas 18 tahun tercatat sebanyak
27,1%. Prevalensi penduduk obesitas terendah berada di provinsi Nusa
Tenggara Timur (6,2%) dan tertinggi di Sulawesi Utara (24,0%). Kabupaten
Sukoharjo prevalensi IMT di atas normal sebesar 11%. Sedangkan untuk kota
1
2

Surakarta mendapat tingkat pertama di Jawa Tengah dengan prevalensi


sebesar 18% (Depkes, 2013).
Orang gemuk atau obesitas memiliki gangguan pada fungsi parunya dan
bisa menjadi penyebab mortalitas penyakit kardiovaskular (Youssef et al,
2015). Penelitian Azad et al, 2011 menunjukkan bahwa obesitas memiliki efek
langsung pada fungsi sistem pernapasan dengan mengubah volume paru,
kaliber saluran napas dan kekuatan otot pernapasan. Kapasitas vital paksa
(KVP) dan volume ekspirasi paksa detik pertama (VEP1) adalah indikator kuat
fungsi paru yang menurun akibat obesitas dan gaya hidup menetap. Untuk
mengukur perubahan fungsi pernapasan dapat dilakukan dengan pemeriksaan
faal paru. Pemeriksaan faal paru dilakukan dengan menggunakan alat
spirometri, yang dapat menganalisis nilai KVP, VEP1, dan volume ekspirasi
paksa detik pertama dibandingkan kapasitas vital paru (VEP1/ KVP) (Madan
et al, 2010).
Pada obesitas terjadi perubahan karakteristik sistem mekanik
pernapasan yaitu terdapatnya jaringan adiposa di sekitar tulang rusuk,
abdomen, dan rongga viseral yang mengisi dinding dada mengakibatkan
tekanan intra-abdominal meningkat, menurunkan volume paru akhir ekspirasi,
compliance dinding dada menurun, kerja pernapasan meningkat yang pada
dasarnya disebabkan adanya penurunan pada volume residu ekspirasi,
kapasitas vital dan kapasitas paru total (Salome et al, 2010).
Berdasarkan penelitian yang dipelajari oleh Thyagarajan dkk
menemukan hubungan terbalik antara KVP dan obesitas, dalam 10 tahun
orang dengan IMT 26,4 kg/m terjadi penurunan KVP sebesar 185 mL,
sementara orang dengan IMT < 21,3 kg/m menunjukkan kenaikan rata-rata
71 mL. Individu yang mempunyai berat badan di atas normal mengalami
penurunan KVP yang lebih besar. Dalam penelitian Melo dkk pada obesitas
morbid nilai rata-rata KVP % prediksi adalah 83 % pada perempuan dan 71 %
pada laki-laki (Melo et al, 2014). Shenoy dkk 2011, dalam penelitiannya
membandingkan dua kelompok IMT di atas normal dan IMT normal sebagai
kontrol, menunjukkan hasil bahwa kelompok IMT di atas normal mengalami
3

penurunan yang signifikan pada nilai KV (4120 mL), KVP (3910 mL), dan
VEP1 (3250 mL) dibandingkan kelompok IMT normal.
Pada penelitian ini terdapat perbedaan yang membedakan dari
penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Shenoy dkk 2011 yaitu,
menggunakan analisis bivariat komparatif, penelitian ini juga akan menguji
apakah indeks massa tubuh di atas normal mempengaruhi kelainan paru
restriksi dengan menggunakan rumus prediksi pneumomobile Indonesia,
sampel penelitian yang digunakan adalah laki-laki dengan usia remaja akhir
antara 18-25 tahun.
Berdasarkan latar belakang yang menjelaskan bahwa indek massa tubuh
(IMT) mempengaruhi perubahan fungsi pernapasan, maka peneliti tertarik
untuk melakukan penelitian tentang perbedaan nilai rerata KVP % prediksi
dan KV % prediksi antara orang dengan indeks massa tubuh normal dan orang
dengan indeks massa tubuh di atas normal di Universitas Muhammadiyah
Surakarta.
4

2) Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan di atas dapat ditarik
perumusan masalah sebagai berikut :
Apakah ada perbedaan nilai rerata KVP % prediksi dan KV % prediksi
antara orang dengan IMT normal dan di atas normal di Universitas
Muhammadiyah Surakarta?

3) Tujuan Penelitian
Untuk mengetahui perbedaan nilai rerata KVP % prediksi dan KV %
prediksi antara orang dengan IMT normal dan di atas normal di Universitas
Muhammadiyah Surakarta.

4) Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritik
Hasil penelitian ini diharapkan mampu menambah pengetahuan
dalam mempelajari ilmu tentang perbedaan nilai rerata KVP % prediksi
dan KV % prediksi antara orang dengan indeks massa tubuh normal dan
orang dengan indeks massa tubuh di atas normal.

2. Manfaat Praktis
a. Memberikan wawasan dan pengalaman kepada peneliti tentang
bagaimana melakukan pengukuran spirometeri dengan baik dan benar.
b. Hasil penelitian dapat digunakan sebagai motivasi untuk menjaga pola
makan agar tetap sehat dan menambah wawasan bagi penulis mengenai
cara menilai restriksi saluran napas.
c. Hasil penelitian dapat digunakan sebagai data survei epidemiologi KVP
% prediksi dan KV % prediksi pada penderita obesitas.
5

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Indeks Massa Tubuh (IMT)


Indeks Massa Tubuh (IMT) merupakan alat atau cara yang sederhana
untuk memantau status gizi pada orang dewasa yang berusia > 18 tahun dan
tidak diterapkan pada bayi, anak, ibu hamil, serta olahragawan. Pengukuran
indeks massa tubuh juga dilakukan untuk mengetahui kekurangan dan
kelebihan berat badan orang dewasa (Depkes, 2003).
Pengukuran IMT paling sering digunakan dalam sistem klasifikasi
obesitas saat ini (Ambrosi et al, 2012). Pengukuran ini pertama kali
dijelaskan oleh Adolphus Quetelet pada abad ke-19 dengan menggunakan
rumus (Lauria et al, 2013) :

Berat Badan (kg)


IMT :
Tinggi Badan (m) x Tinggi Badan (m)

Tabel 1. Klasifikasi Berat Badan pada Orang Dewasa Berdasarkan IMT


Menurut Kriteria WHO.

Klasifikasi IMT (kg/m2)


Berat Badan Kurang < 18,5
Kisaran Normal 18,5 24,9
Berat Badan Lebih 25
Pra-Obes 25,0-29,9
Obes Tingkat I 30,0-34,9
Obes Tingkat II 35,0-39,9
Obes Tingkat III >40

Sumber : WHO technical series, 2004

5
6

Di Negara Indonesia, batas ambang nilai IMT sebagai berikut:

Tabel 2. Batas Ambang IMT Indonesia


Jenis Kelamin Kategori IMT (kg/m2)
Kurus Normal Kegemukan
Tingkat Ringan Tingkat Berat
Laki-laki
Perempuan <18 kg/m2 18-25 kg/m2 >25-27 kg/m2 >27 kg/m2
<17 kg/m2 17-23 kg/m2 >23-27 kg/m2 >27 kg/m2
Sumber : Depkes, 2003

1. Definisi Obesitas :
Obesitas didefinisikan sebagai kelebihan akumulasi lemak yang
berdampak pada sistem kardiovaskuler dalam tubuh seperti hipertensi,
dislipidemia, resistensi insulin, atau peningkatan enzim-enzim hati (Bohn
et al, 2015).
2. Etiologi dan Patogenesis Obesitas :
Ada beberapa hal yang terlibat dalam etiologi obesitas yaitu hormon,
komponen genetik, dan faktor-faktor lain yang disekresi. Beberapa
diantaranya memiliki efek pada kontrol asupan energi jangka panjang
misalnya, leptin. Sementara yang memiliki dampak jangka pendek pada
asupan energi misalnya, insulin. Gambaran berikut membahas peran
bahwa beberapa hormon, dan faktor lainnya berperan di pengembangan
obesitas.
a. Peran Insulin
Insulin adalah hormon anabolik, tidak hanya dalam otot, tetapi
juga lemak. Insulin dikenal untuk mengarahkan penyimpanan dan
pemanfaatan energi di adiposit tersebut. Insulin menstimulasi
lipogenesis dengan cara meningkatkan pengambilan glukosa di
jaringan adiposa melalui transporter glukosa menuju membran plasma
(Wilborn et al, 2005). Ketika seorang individu menjadi resisten
insulin, maka terjadi penurunan penyerapan glukosa di dalam otot dan
peningkatan produksi glukosa endogen oleh hati sehingga terjadi
7

hiperglikemia, baik dalam gula darah puasa dan gula darah


postprandial. Resistensi insulin juga ditandai oleh penurunan aksi
insulin pada metabolisme lipid (misalnya peningkatan lipolisis di
adiposit) atau pada metabolisme protein (misalnya gangguan sintesis
protein dalam otot, predisposisi sarcopenia) (Castro et al, 2014). Pada
obesitas perut terkait dengan resistensi insulin dan diabetes tipe 2.
Sementara peningkatan berat badan menyebabkan sedikit penurunan
sensitivitas insulin hepatik dan perifer, pada obesitas sentral gangguan
penurunan sensitivitas akan jauh lebih besar (Wilborn et al, 2005).
Pada penderita obesitas akan berkembang resistensi terhadap
aksi seluler insulin yang dikarakteristikkan oleh berkurangnya
kemampuan insulin untuk menghambat pengeluaran glukosa dari hati
dan kemampuannya untuk mendukung pengambilan glukosa pada
lemak dan otot. Resistensi insulin terkait obesitas adalah risiko utama
untuk terjadinya penyakit kardiovaskular dan diabetes melitus tipe 2,
penyakit yang jumlah penderitanya telah mencapai proporsi epidemik
(Castro et al, 2014).
b. Leptin
Leptin adalah polipeptida sitokin yang dihasilkan oleh adiposit.
Leptin berfungsi untuk mengendalikan asupan makanan melalui
aktivasi reseptor hipotalamus. Leptin diproduksi secara proporsional
oleh massa adiposa. Ketika leptin disuntikkan ke hewan maka akan
menghasilkan penurunan asupan makanan dan penurunan
pemeliharaan berat badan. Manusia obesitas tidak memiliki
kekurangan leptin, tapi memiliki peredaran tingkat leptin yang lebih
tinggi di dalam tubuh. Hal ini akan menunjukkan bahwa defisiensi
leptin bukanlah penyebab utama obesitas, melainkan penurunan
respon leptin (Wilborn et al, 2005). Sederhananya, kegagalan tingkat
tinggi leptin untuk menekan makan dan menurunkan berat badan/
adipositas untuk mencegah atau mengurangi obesitas menunjukkan
resistensi relatif terhadap efek katabolik aksi leptin pada obesitas
8

(Friedman, 2014). Beberapa teori telah menyebutkan kaitannya


dengan penurunan respon untuk tingkat sirkulasi leptin plasma.
Pertama, konsentrasi leptin di atas ambang plasma (> 25 ng / ml) yang
penyerapannya ke hipotalamus tidak meningkat meskipun nilai leptin
tinggi (saturasi reseptor leptin). Dengan demikian, pada pasien dengan
obesitas, peningkatan produksi leptin yang besar oleh massa lemak
akan sia-sia. Kedua, ada kerusakan pada reseptor leptin di hipotalamus
sehingga ada keabnormalan dalam cascade sinyal leptin (Wilborn et
al, 2005).
c. Diet
Energi yang dikonsumsi dalam diet meliputi protein, karbohidrat
dan asupan lemak setiap hari secara berlebih akan menyebabkan
kelebihan kalori. Dengan adanya kelebihan kalori, tubuh kemudian
akan mengkonversi dan menyimpan nutrisi energi ini sebagai
trigliserida dalam jaringan adiposa. Seiring waktu, jika kelebihan
kalori yang dikonsumsi tanpa seiring bertambahnya pengeluaran
energi, kelebihan lemak tubuh akan disimpan yang dapat
menyebabkan obesitas (Wilborn et al, 2005).

3. Efek dari peningkatan IMT :


a. Menurunkan kapasitas residual fungsional (KRF)
Efek yang paling konsisten pada peningkatan indeks massa
tubuh atau obesitas pada fungsi paru adalah pengurangan kapasitas
residual fungsional (KRF). Pengurangan kapasitas fungsional residual
ini disebabkan karena peningkatan jaringan adiposa di sekitar tulang
rusuk dan rongga visceral (Salome et al, 2010).
b. Menurunkan kapasitas paru total (KPT)
Penurunan kapasitas total paru pada orang obesitas tidak terlalu
signifikan. Penurunan ini terjadi karena adanya peningkatan jaringan
adiposa dan gerakan diafragma yang kurang maksimal karena
peningkatan massa abdominal (Salome et al, 2010).
9

c. Menurunkan kapasitas vital (KV) dan kapasitas vital paksa (KVP)


Pada orang dengan indeks massa tubuh di atas normal
mengalami penurunan nilai KV dan KVP, karena terjadi perubahan
karakteristik sistem mekanik pernapasan yang akan meningkatkan
tekanan intra-abdominal sehingga compliance dinding dada akan
menurun (Salome et al, 2010).
d. Distribusi lemak yang berlebih di tubuh
Pada orang dengan indeks massa tubuh di atas normal
mempunyai jumlah lemak yang berlebih di dalam tubuhnya. Lemak
pada rongga thoraks dan perut mempunyai efek langsung pada
gerakan diafragma yang kurang maksimal (Salome et al, 2010).
e. Menutup jalan napas, distribusi ventilasi, dan pertukaran gas
Pada orang obesitas beresiko terjadi penutupan jalan napas dan
kelainan distribusi ventilasi. Indikator dari penutupan jalan napas,
seperti volume residual dan penutupan kapasitas, biasanya tidak
meningkat pada saat istirahat. Namun, ada bukti yang konsisten
bahwa kapasitas residual fungsional sangat rendah, dan penutupan
jalan napas terjadi pada pernapasan tidal. Penutupan kapasitas
meningkatkan kemungkinan bahwa penutupan jalan napas selama
pernapasan tidal dikaitkan dengan ventiasi yang kurang baik dari
beberapa daerah paru (Salome et al, 2010).
f. Meningkatkan resiko terjadinya dislipidemia
Orang yang mempunyai berat badan lebih seringkali lebih
terkena dislipidemia dibandingkan orang yang berat badannya normal.
Dislipidemia adalah gangguan metabolisme lipid yang ditandai
dengan peningkatan maupun penurunan fraksi lipid dalam plasma
yang berhubungan dengan kejadian obesitas. Manifestasi orang
obesitas dengan dislipidemia yaitu peningkatan kolesterol total,
peningkatan low-density lipoprotein (LDL), peningkatan trigliserida
serta penurunan kadar high-density lipoprotein (HDL). Dislipidemia
terkait dengan obesitas tidak diragukan lagi memainkan peran utama
10

dalam perkembangan aterosklerosis dan resiko penyakit


kardiovaskuler, suatu penyakit yang mengancam kehidupan pada
orang obesitas (Singh et al, 2011)
g. Meningkatkan sindrom premenstruasi pada perempuan
Beberapa teori menerangkan perempuan dengan indeks massa
tubuh berlebih atau obes cenderung lebih banyak mengalami PMS.
Meskipun penyebab PMS secara pasti belum diketahui, namun adanya
fluktuasi dua jalur hormonal yaitu hormon steroid di ovarium seperti
progestron, alloprenanolone dan hormon yang berperan dalam
pengendalian susunan saraf pusat dan sistem neurotransmitter yaitu
GABA dan serotonin terbukti berperan dalam timbulnya gejala
sindrom premenstruasi (Lakhsmi et al, 2011).

1) Anatomi dan Fisiologi


1. Anatomi Sistem Respirasi
Sistem pernapasan pada manusia dibentuk oleh dua struktur, yaitu
struktur utama (principal structure), dan struktur pelengkap (accessorry
structure). Struktur utama pernapasan adalah saluran udara pernapasan
yang terdiri dari jalan napas (nares atau hidung bagian luar, hidung bagian
dalam, sinus paranasal, faring, serta laring) dan saluran napas (trakea,
bronki dan bronkhioli), serta paru (parenkim paru). Struktur pelengkap
sistem pernapasan berupa komponen pembentuk dinding toraks,
diafragma, dan pleura (Djojodibroto, 2013).
Saluran pernapasan berfungsi untuk menghantarkan udara masuk
dalam paru meliputi hidung, faring, laring, trakea, bronkus, dan bronkiolus
(Price and Wilson, 2005 ).
a. Trachea
Trachea terletak di pinggir bawah cartilago circoidea yaitu di depan
corpus vertebra cervicalis VI.
b. Bronkus dan Persyarafannya
11

Pada dinding bronkus dan trakea terdapat banyak tulang rawan


dan sedikit otot polos. Di saluran tersebut juga di lapisi oleh epitel
bersilia yang banyak mengandung mukus dan serosa, sedangkan
pada bronkiolus dan bronkiolus terminalis tidak mengandung
tulang rawan. Dinding bronkus dan bronkiolus dapat menjadi
bronkokonsriksi karena banyak reseptor muskarinik dan
perangsangan kolinergik (Ganong, 2006).
c. Paru
Secara anatomis letak paru berada di samping kanan dan kiri
mediastirnum. Di dalam rongga thorak paru tergantung bebas dan
dilekatkan pada mediastirnum oleh radiksnya. Paru berbentuk
seperti kerucut dan mempunyai apek yang tumpul dan basis konkaf
yang terletak diatas diafragma. Pada pinggir anterior berbentuk
lebih tipis karena tumpang tindih dengan jantung, sedangkan
pinggir posterior lebih tebal dan terletak di kolumna vertebralis.
Paru kanan dibagi menjadi tiga lobus, yaitu lobus superior, lobus
medius dan obus inferior yang dibagi oleh fissura obliqua dan
fissura horisontalis. Paru kiri dibagi oleh fissura obliqua menjadi
dua lobus, yaitu lobus superior dan lobus inferior (Snell, 2012).
d. Alveolus
Alveolus (airspace) dibentuk dan dibatasi oleh dinding alveolus
yang dibentuk oleh dua macam sel, yaitu :
2) Sel alveolar tipe I atau pneumosit tipe I
3) Sel alveolar tipe II atau pneumosit tipe II (Djojodibroto,
2013).
e. Pleura
Peura dibentuk oleh jaringan yang berasal dari mesodermal. Pleura
dapat dibedakan menjadi :
1) Pleura viseralis yang melapisi paru
4) Pleura parietalis yang melapisi dinding dalam hemitoraks
(Djojodibroto, 2013).
12

f. Diafragma
Diafragma adalah suatu septum berupa jaringan
muskulotendineus yang memisahkan rongga thoraks dengan
rongga abdomen. Ada tiga apertura pada diafragma, yaitu :
1) Hiatus aortikus yang dilalui oleh aorta desenden, vena
azigos dan duktus torsikus.
5) Hiatus esofagus yang dilalui oleh esofagus.
6) Apertura yang satu lagi dilalui oleh vena kava inferior
(Djojodibroto, 2013).
2. Fisiologi Pernapasan
Bernapas melalui paru mempunyai dua fungsi penting untuk tubuh
manusia, yaitu untuk menyuplai oksigen ke dalam darah dan untuk
mengatur keseimbangan asam basa. Gas oksigen di dalam darah diedarkan
dalam bentuk terkait dan dalam jumlah tergantung dari konsentrasi darah
(Silbernagl, 2006).

a. Mekanisme Pernapasan

1) Kontraksi otot inspirasi

Pada awal inspirasi otot diafragma dirangsang oleh syaraf


frenikus untuk berkontraksi sehingga rongga thorak mengembang.
Ketika berkontraksi diafragma turun dan memperbesar volume
rongga thorak, dinding abdomen melemah karena diafragma turun
menekan isi abdomen ke bawah dan ke depan. Kontraksi otot
interkostal eksternal memperbesar rongga thorak dan selanjutnya
sternum tertarik ke atas dan ke depan.

Pada akhir ekspirasi sebelumnya, tekanan intra alveolus sama


dengan tekanan atmosfer sehingga tidak ada udara yang masuk
ataupun keluar dari paru. Pada saat rongga thorak kembali
membesar, tekanan intra alveolus lebih rendah daripada tekanan
atsmosfer sehingga udara masuk ke dalam paru (Sherwood, 2011).
13

2) Relaksasi otot inspirasi

Pada akhir inspirasi, otot-otot inspirasi melemas sehingga paru


kembali mengecil, tekanan intra alveolus meningkat, karena jumlah
molekul udara termampatkan kedalam voume yang lebih kecil.
Udara kini meninggalkan paru menuruni gradien tekanannyaa dari
tekanan intra alveolus yang lebih tinggi ke tekanan atmosfer yang
lebih rendah (Sherwood, 2011).

3) Kontraksi otot ekspirasi

Pada normalnya ekspirasi merupakan proses pasif karena


dipengaruhi oleh recoil elastik paru. Ekspirasi bisa menjadi aktif
untuk mengosongkan paru secara tuntas dan cepat dari pernapasan
tenang. Untuk menghasilkan ekspirasi paksa atau aktif, otot-otot
ekspirasi harus lebih berkontraksi untuk mengurangi volume rongga
thorak dan paru (Sherwood, 2011).

b. Pertukaran Gas

Pertukaran gas pada membran respiratorik di dalam jaringan


merupakan proses kontinu dan bergantung pada perbedaan tekanan (760
mmHg) dan darah, atau darah dan jaringan.

1) Difusi gas

Pertukaran gas terjadi saat terdapat perbedaan tekanan parsial


pada membran semipermeabel. Perpindahan gas terjadi dengan difus,
yaitu perpindahan gas dari konsentrasi tinggi ke konsentrasi rendah
hingga tercapai ekuilibrium.

2) Respirasi eksternal

Respirasi eksternal adalah pertukaran gas melalui difusi antara


alveoli dan darah di kapiler alveolus, di sepanjang membran
respiratorik.

3) Respiratori internal
14

Respiratori internal merupakan pertukaran gas oleh difus


antara darah di dalam kapiler dan sel tubuh.

4) Pengangkutan gas di aliran darah

Oksigen dibawa darah di dalam hemoglobin sekitar 98,5%


(oksihemoglobin) dan larut dalam air plasma (1,5%).
Oksihemoglobin merupakan senyawa tidak stabil yang pada kondisi
tertentu siap melepaskan oksigen. Faktor yang meningkatkan
oksihemoglobin melepaskan oksigen adalah kadar oksigen yang
rendah, pH yang rendah, dan suhu yang meningkat. Saat oksigen
terlepas dari eritrosit, warna hemoglobin yang miskin oksigen
berubah menjadi keunguan (Ross and Wilson, 2011).

1) Spirometri

Spirometri merupakan pemeriksaan sederhana yang digunakan untuk


mengukur volume udara yang bergerak masuk dan keluar dari paru.
Pemeriksaan ini memungkinkan untuk menentukan seberapa cepat serta
seberapa banyak udara yang dapat dihirup dan dihembuskan (Al Ashkar et al,
2003).

Indikasi lain penggunaan spirometri adalah untuk menentukan kekuatan


dan fungsi dada, mendeteksi berbagai penyakit saluran pernapasan atau
skrining (Townsend, 2011). Spirometri juga penting untuk diagnosis dan
pemantauan penyakit pernapasan. Pemeriksaan dengan spirometri semakin
dianjurkan dalam praktek layanan primer (Vedala et al, 2013).

Pengukuran spirometri dilakukan sesuai dengan penerimaan dan kriteria


reproduktifitas dari American Thoracic Society dan Eropean Respiratory
Society guidelines meliputi pengukuran VEP1 dan KVP. Data kuesioner yang
disediakan dan diberikan memuat informasi tentang usia, jenis kelamin, indeks
massa tubuh, tingkat pendidikan, ras, status merokok, dan pengakuan pasien
15

ada tidaknya penyakit PPOK, emfisema, dan bronkitis kronis (Wouter et al,
2015).

1. Definisi kapasitas vital paksa dan kapasitas vital

Kapasitas vital paksa adalah volume total dari udara yang


dihembuskan dari paru setelah inspirasi maksimum yang diikuti oleh
ekspirasi paksa maksimum. Hasil ini didapat setelah seseorang
menginspirasi dengan usaha maksimal dan mengekspirasi secara kuat dan
cepat (Ganong, 2006).

Kapasitas vital adalah volume maksimal udara yang dapat


dihembuskan dalam satu kali bernapas setelah inspirasi maksimum. KV
menggambarkan perubahan volume maksimal yang terjadi di paru
(Sherwood, 2011). Kapasitas vital menurun jika ada kehilangan dari tahanan
jaringan paru (seperti pada atelektasis, pneumonia, pulmonari fibrosis,
pulmonari kongesti atau edema, obstruksi bronkhial, karsinoma, dan
surgical excision ) atau pelemahan pada fungsi pompa thorak. Hal ini juga
dipengaruhi oleh usaha dan motivasi pasien (Watchie, 2010).

Faktor- faktor yang mempengaruhi fungsi paru :

2) Usia
Pada orang dengan usia 20-40 kekuatan otot dapat maksimal dan
setelah usia 40 tahun berkurang sebanyak 20%. Pada usia tua akan
terjadi proses penurunan elastisitas alveoli, penebalan kelenjar bronkial,
dan penurunan kapasitas paru.

3) Jenis Kelamin
Fungsi ventilasi laki-laki lebih tinggi 20% dari pada perempuan,
karena secara anatomi ukuran laki-laki lebih besar dibanding pada
perempuan. Selain itu, aktivitas pada laki-laki lebih tinggi sehingga
recoil dan compliance paru lebih terlatih.

4) Tinggi badan
16

Orang yang memiliki tubuh tinggi dan besar fungsi ventilasi


parunya lebih tinggi dari pada orang yang bertubuh kecil dan pendek
(Guyton, 2012).

5) Ras

Koefisien aliran udara dan volume paru pada ras kulit hitam lebih
tinggi dibandingkan dengan ras kulit putih. Ras Indiana, Pakistan,
Oriental berada dianyara kedua ras tersebut. Beberapa penelitian
membuktikan nilai VEP1/ KVP pada ras kulit hitam lebih tinggi
dibandingkan dengan ras kulit putih (Kumar et al, 2010).

2. Volume dan Kapasitas paru

Menurut Ganong, 2003 Volume paru dibagi menjadi 4 :

a. Volume Tidal (VT)

Volume tidal adalah jumlah udara yang masuk ke dalam paru


setiap inspirasi (atau jumlah udara yang keluar dari paru setiap
ekspirasi). Pada orang dewasa rata-rata besarnya 500 ml.

b. Volume Cadangan Inspirasi

Volume cadangan inspirasi adalah jumlah udara yang masih dapat


masuk ke dalam paru pada inspirasi maksimal, setelah inspirasi biasa.
Biasanya mencapai 3000 ml.

c. Volume Cadangan Ekspirasi

Volume cadangan ekspirasi adalah jumlah udara yang dapat


dikeluarkan secara aktif dari dalam paru melalui kontraksi otot ekspirasi
seteah ekspirasi biasa. Pada orang dewasa mencapai 1100 ml.

d. Volume Residu

Volume residual adalah udara yang masih tertinggal di dalam paru


setelah ekspirasi maksimal. Besarnya mencapai 1200 ml.
17

Sedangkan yang dimaksud dengan kapasitas paru merupakan gabungan


dari beberapa volume paru dan sering digunakan dalam menilai faal paru
adalah

a. Kapasitas Inspirasi (KI)

Kapasitas inspirasi adalah volume udara maksimal yang dapat


dihirup pada akhir ekspirasi tenang normal. Besarnya 3500 ml, sama
dengan volume cadangan + volume tidal (Sherwood, 2011).

b. Kapasitas residual fungsional (KRF)

Kapasitas residual fungsional adalah volume udara di paru pada


akhir ekspirasi pasif normal. Besarnya 2200 ml, sama dengan volume
cadangan ekspirasi + volume residual (Sherwood, 2011).

c. Kapasitas Vital (KV)

Kapasitas vital adalah volume maksimal udara yang dapat


dihembuskan dalam satu kali bernapas setelah inspirasi maksimum. KV
menggambarkan perubahan volume maksimal yang terjadi di paru
(Sherwood, 2011).

d. Kapasitas Vital Paksa (KVP)

Kapasitas vital paksa adalah pengukuran kapasitas vital yang


didapat pada ekspresi yang dilakukan secara cepat dan kuat. Pada
keadaan normal nilai dari KVP sama dengan nilai KV, tetapi pada
keadaan obstruksi nilai KVP berkurang (Price and Wilson, 2005).

e. Volume Ekspirasi Paksa (VEP)

Volume ekspirasi paksa adalah volume udara yang dapat di


ekspirasikan dalam waktu standar (Price and Wilson, 2005).
VEP1 : volume udara yang dapat dihembuskan selama detik
pertama ekspirasi dalam suatu penentuan KV (Sherwood,
2011).
18

VEP R : rasio VEP 1 / KVP, digunakan untuk menentukan pola


obstruksi, restriksi, atau normal (Sherwood, 2011).
f. Kapasitas Paru Total (KPT)
Kapasitas paru total merupakan volume maksimal dimana paru
dikembangkan sebesar mungkin dengan inspirasi paksa. Besarnya
5800 ml, sama dengan kapasitas vital + volume residu. Volume dan
kapaitas vital pada perempuan 20-25% lebih kecil dari pada laki-laki
(Guyton, 2012).
g. Laju Aliran Tengah Ekspirasi Maksimal (MMFR)
Laju aliran tengah ekspirasi maksimal merupakan laju aliran
udara pada dua kuartil tengah dari kapasitas vital paksa. Digunakan
sebagai petunjuk untuk mengetahui obstruksi saluran napas yang
didapat dari ekspirasi paksa (Price and Wilson, 2005).

Gambar 1. Respiratory volumes (Damjanov, 2009).


19

3. Kelainan Restriksi
a. Definisi kelainan restriksi

Kelainan restriksi atau gangguan ventilasi restriksi merupakan


gangguan yang ditandai dengan peningkatan kekakuan paru, thoraks
atau keduanya, akibat penurunan keregangan dan penurunan semua
volume paru, termasuk kapasitas vital (Price and Wilson, 2005).

b. Hasil pengukuran spirometri


Tabel 3. Gangguan Restriksi Berdasarkan Nilai Spirometri
Restriksi KVP % prediksi
Normal > 80%
Ringan 60% - 79%
Sedang 30% - 59%
Berat < 30%
Sumber : (Al Ashkar et al, 2003)

Tabel 4. Pola Obstruksi dan Restriksi


Ukuran Pola Obstruksi Pola Restriksi
KVP Menurun atau Normal Menurun
VEP1 Menurun Menurun atau Normal
Rasio VEP1/ KVP Menurun Normal
Kapasitas paru total Normal atau Meningkat Menurun

Sumber : (Al Ashkar et al, 2003)

c. Penyakit kelainan restriksi paru


1) Paru
a) Atelektasis
Atelektasis adalah salah satu komplikasi pernapasan yang
paling sering terjadi setelah operasi. Pada atelektasis terjadi
kolaps pada paru sehingga paru tidak dapat mengembang secara
sempurna (Suzuki et al, 2014).
b) Edem Paru
Edema paru adalah penumpukan abnormal cairan di dalam
paru. Penumpukan ini terjadi karena kebocoran cairan dari
20

kapiler paru ke rongga alveoli melalui membran kapiler alveolar


sehingga akan menyebabkan sesak napas (Tilman, 2015).
c) Fibrosis Paru
Fibrosis paru adalah kelompok kelainan paru yang
meliputi usual interstitial pneumonia atau fibrosis paru
idiopatik, desquamative interstitial pneumonia, respiratory
bronchiolitis interstitial lung disease, lymphoid interstitial
pneumonia, cryptogenic organizing pneumonia, diffuse alveolar
damage atau acute interstitial pneumonia, dan nonspecific
interstitial pneumonia. Penyebab fibrosis paru masih belum
jelas, tetapi banyak penelitian yang menyebutkan karena proses
inflamasi kronis (Raghu et al, 2011).
d) Pneumonia
Pneumonia adalah penyakit radang paru yang disebabkan
oleh bakteri, virus, jamur atau benda asing lain. Gejala dan tanda
dari pneumonia adalah batuk, produksi sputum, hemoptisis,
sesak napas, demam, dan nyeri dada pleuritik (Chalmers et al,
2011).
2) Pleura
a) Efusi Pleura
Efusi pleura adalah akumulasi cairan dalam rongga pleura
yang diklasifikasikan sebagai transudat atau eksudat sesuai
dengan komposisi dan patofisiologi yang mendasari (Hyeon,
2011).
Transudat terjadi pada peningkatan tekanan vena
pulmonalis, misalnya pada gagal jantung kongestif. Transudasi
juga dapat terjadi pada hipoproteinemia, seperti pada penyakit
hati dan ginjal.
Penimbunan eksudat terjadi akibat peradangan atau
keganasan pleura, dan akibat peningkatan permeabilitas kapiler
(Price and Wilson, 2005).
b) Pneumothorak
Pneumothorak adalah adanya udara dalam rongga pleura
akibat robeknya pleura. Gejala dan tanda pada pneumothorak
yaitu, dispnea, nyeri pleuritik hebat, takikardi, pergeseran trakea,
21

suara napas berkurang, fremitus vokal dan sianosis (Price and


Wilson, 2005).
3) Mediastinum
a) Kardiomegali

Kardiomegali adalah suatu kelainan struktur anatomis


jantung, dimana ukuran jantung lebih besar dari ukuran normal.
Kardiomegali terkait perubahan fungsi pernapasan dapat
menyebabkan gangguan pada inspirasi yaitu, mengakibatkan
turunnya volume paru, turunnya volume cadangan inspirasi dan
dispnea (Olson et al, 2008).
4) Osteum
a) Flail chest
Flail chest adalah patahnya tiga atau lebih pada tulang
rusuk berturut-turut dalam dua atau lebih lokasi. Manifestasi
pada flail chest adalah adanya pernapasan paradoksal (Dehghan
et al, 2013).

1) Hubungan IMT di atas normal dengan nilai KVP % prediksi dan KV


% prediksi

Berat badan berlebih (overweight) merupakan akibat dari akumulasi


lemak abnormal atau berlebih yang dapat mengganggu kesehatan. Masalah
pernapasan merupakan salah satu masalah yang dialami individu dengan
kelebihan berat badan. Penambahan berat badan dan peningkatan indeks massa
tubuh berhubungan dengan berkurangnya volume paru yang dapat
22

digambarkan dengan pola pernapasan yang lebih restriksi pada spirometri


(Raton et al, 2013).
Studi cross sectional dan longitudinal telah menunjukkan bahwa
peningkatan IMT dapat menurunkan volume kapasitas vital paksa (KVP) dan
kapasitas volume paru (KV). Hubungan antara peningkatan IMT dan
penurunan KVP lebih kuat daripada VEP1. Obesitas lebih sering dikaitkan
dengan penyakit paru restriksi daripada obstruksi, dengan KVP dan KV rendah
(<80 % nilai prediksi) dan rasio VEP1 / KVP lebih tinggi (>70% nilai prediksi)
(Zammit et al, 2010).
Peningatan IMT dapat menyebabkan penurunan niai KVP dan KV karena
terjadi perubahan karakteristik sistem mekanik pernapasan yaitu adanya
jaringan adiposa di sekitar tulang rusuk, abdomen, dan rongga viseral yang
mengisi dinding dada mengakibatkan tekanan intra-abdominal meningkat,
menurunkan volume paru akhir ekspirasi, compliance dinding dada menurun,
serta kerja pernapasan meningkat (Salome et al, 2010). Pada penambahan
jaringan adiposa di rongga visceral, juga berpengaruh pada peredaran
konsentrasi dari interleukin-6, tumor necrosis factor-alpha (TNF), leptin, dan
adiponektin sitokin yang dapat bertindak melalui inflamasi sistemik untuk
mempengaruhi fungsi paru menjadi negatif (Satyanarayana, 2014).
Pada penderita obesitas otot pernapasan terbukti memburuk yang
menyebabkan tubuh berkompensasi memenuhi kebutuhan oksigen tambahan
yang diperlukan untuk ventilasi sehingga dapat meningkatkan sensasi sesak
napas pada pasien obesitas (Zammit et al, 2010).
2) Kerangka Pikiran

Indeks Massa Tubuh (IMT)

Normal Di atas Normal

Timbunan lemak normal Timbunan lemak di rongga dada


berlebih
23

Fungsi otot pernapasan baik Tekanan intra abdominal naik

Pola pernapasan baik Fungsi otot pernapasan buruk

Pertukaran gas pada paru baik Complience dinding dada turun

Pola pernapasan buruk


Nilai KVP %
prediksi dan KV % Pertukaran gas pada paru buruk
prediksi normal

Penurunan pada volume residu


ekspirasi, kapasitas vital, dan
kapasitas total
1. Jenis kelamin
2. Penyakit paru
(pneumonia,
atelektasis, fibrosis
paru, edem paru, TB Nilai KVP %
paru) prediksi dan KV
3. Olahragawan % prediksi turun
4. Merokok
5. Ras
6. Usia
7. Tinggi Badan

Keterangan

= yang diteliti
= tidak diteliti
3) Hipotesis
Berdasarkan uraian yang telah dipaparkan di atas dapat dirumuskan
hipotesis sebagai berikut : Terdapat perbedaan nilai KVP % prediksi dan KV
% prediksi pada orang dengan IMT normal dan IMT di atas normal, dimana
pada orang dengan IMT normal nilai KVP % prediksi dan KV % prediksi
lebih tinggi.
24

BAB III
METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Penelitian ini menggunakan desain penelitian observasional analitik


dengan pendekatan cross sectional. Penelitian ini dilakukan dengan cara
mengukur secara langsung dan dalam satu waktu tertentu untuk menilai
25

perbedaan nilai KVP % prediksi dan KV % prediksi antara orang dengan IMT
normal dan IMT di atas normal.

B. Lokasi dan Waktu Penelitian


Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Fisiologi, Fakultas
Kedokteran, Universitas Muhammadiyah Surakarta dengan waktu penelitian
yang dilakukan pada bulan Oktober sampai November 2015.

C. Populasi Penelitian
1. Populasi target :Seluruh mahasiswa Universitas
Muhammadiyah Surakarta yang memiliki IMT normal
dan di atas normal.
2. Populasi aktual :Mahasiswa laki-laki yang memiliki
IMT normal dan di atas normal di Universitas
Muhammadiyah Surakarta.
D. Sampel dan Teknik Sampling
6) Sampel Penelitian
Sampel yang digunakan pada penelitian ini adalah mahasiswa di
Universitas Muhammadiyah Surakarta yang memenuhi kriteria restriksi.
7) Teknik Sampling
Teknik Sampling pada penelitian ini ditentukan dengan
menggunakan metode purposive sampling dari mahasiswa di Universitas
Muhammadiyah Surakarta yang memenuhi kriteria restriksi.

E. Estimasi Besar Sampel


Besar sampel menggunakan rumus penentuan besar sampel terhadap
rerata dua populasi berikut :
25

2
(1,64 1,28)3,09
n1 = n2 = 2
2,25

= 32,16
Keterangan :
26

n1 = n2 = besarnya sampel penelitian


Z = tingkat kepercayaan 95% = 1,64

Z = kekuatan uji = 90% = 1,28


S = simpang baku dari dua kelompok = 3,09
x1-x2 = perbedaan klinis yang diinginkan = 2,25 (Shenoy et al, 2011).
Dari perhitungan rumus diatas didapatkan jumlah sampel perkelompok
sebesar 32 orang, namun untuk menghindari hilang pengamatan maka ditamah
10% sehingga menjadi 35 orang perkelompok.

F. Kriteria Restriksi
1. Kriteria inklusi:
a. Laki-laki
b. Memiliki usia remaja akhir antara 18-25 tahun
c. Memiliki IMT normal (18,5 24,9 kg/m2)
d. Memiliki IMT di atas normal ( 25 kg/m2)
2. Kriteria eksklusi:
a. Tidak bersedia menjadi subjek penelitian.
b. Perokok aktif maupun pasif
c. Memiliki riwayat penyakit atau sedang dalam masa pengobatan
penyakit paru (pneumonia, atelektasis, abses paru, edem paru, dan TB
paru).
d. Kelainan tulang belakang (skoliosis) dan fraktur costae.
e. Olahragawan

G. Variabel Penelitian
Variabel adalah karakteristik subjek penelitian yang berubah dari satu
subjek ke subjek lainnya.
1. Variabel Bebas
Variabel bebas (independen) adalah laki-laki dengan indeks massa
tubuh normal dan laki-laki dengan indeks massa tubuh di atas normal.
2. Variabel Terikat
Variabel terikat (dependen) adalah nilai KVP % prediksi dan KV %
prediksi.
3. Variabel Luar
Tinggi badan, usia, olahragawan, dan ras.
27

H. Definisi Operasional
1. KVP % prediksi dan KV % prediksi
KVP % prediksi merupakan volume total dari udara yang dihembuskan
dari paru setelah inspirasi maksimum yang diikuti oleh ekspirasi paksa
maksimum yang dinyatakan dalam bentuk persen dengan rumus prediksi
Pneumomobile Indonesia (Ganong, 2006).
Sedangkan KV % prediksi merupakan volume total dari udara yang
dihembuskan dari paru setelah inspirasi maksimum yang diikuti oleh
ekspirasi normal yang dinyatakan dalam bentuk persen persen dengan
rumus prediksi Pneumomobile Indonesia (Sherwood, 2011).
Skala : Numerik
Alat ukur : Spirometer dan tabel pneumomobile Indonesia
Hasil pengukuran : Angka atau nilai dari KVP % prediksi dan KV %
prediksi
2. Indeks massa tubuh
Indeks massa tubuh merupakan cara yang sederhana untuk memantau
status gizi pada orang dewasa yang berusia > 18 tahun (Depkes, 2003).
Indeks massa tubuh normal merupakan hasil dari rumus berat badan dibagi
tinggi badan kuadrat dengan hasil 18,5 kg/m 24,9 kg/m.
Sedangkan indeks massa tubuh diatas normal merupakan hasil dari rumus
berat badan dibagi tinggi badan kuadrat dengan hasil 25 kg/m.
Aat ukur : Timbangan/ pengukur berat badan, microtoise.
Skala : Kategorik (Ordinal)
Hasil pengukuran : IMT di atas normal ( 25 kg/m 2) dan IMT normal
(18,5 24,9 kg/m2).

I. Instrumentasi
1. Alat yang digunakan dalam penelitian :
a. Blanko persetujuan
Blangko persetujuan digunakan untuk inform consent kepada
subjek penelitian yang bertujuan sebagai bukti tertulis bahwa subjek
bersedia melakukan pengukuran KVP % prediksi dan KV % prediksi
sesuai prosedural sehingga mendapatkan data yang nyata tanpa unsur
pemaksaan.
b. Kuesioner modifikasi St.Georges Respiratory Questionnaire (SGRQ)
28

Kuesioner digunakan sebagai filter untuk mengeliminasi subjek


apabila tidak sesuai dengan kriteria inklusi. SGRQ merupakan salah
satu kuesioner yang digunakan untuk mengevaluasi status kesehatan
yang dihubungkan dengan kualitas hidup pasien paru. Kuesioner
SGRQ berisikan pertanyaan tentang gejala aktivitas dan dampak
penyakit (Yuarsa et al, 2013).
c. Spirometeri merek Bionet
d. Tabel data Pneumomobile Indonesia
e. Penutup hidung
f. Timbangan/pengukur berat badan merek Camry
g. Microtoise
2. Cara kerja penelitian :
a. Mengumpulkan data koresponden menggunakan kuesioner.
b. Mencatat jenis kelamin, usia, berat badan (dalam kg), dan tinggi badan
(dalam cm).
c. Memeriksa BMI :

d. Subjek penelitian melakukan inspirasi maksimal kemudian


menghembuskan ekspirasi secara maksimal dan paksa. Pengukuran
kedua dengan melakukan inspirasi maksimal kemudian
menghembuskan ekspirasi secara normal dalam satu kali napas.
Pengukuran dilakukan maksimal 8 kali.
e. Setelah menyelesaikan pengukuran dengan spirometer, maka data akan
didapatkan.
f. Menganlisa grafik yang ada, kita pilih grafik yang memenuhi kriteria
reproducibel (dalam tiga kali percobahan beda nilainya kurang dari 5%
atau 100 ml) dan acceptable (grafik yang dihasilkan seperti grafik
parabola) (Al Ashkar et al, 2003).
g. Memperoleh data KVP dan KV.
h. Hasil dari KVP dan KV dibagi dengan nilai rumus prediksi
pneumomobile Indonesia kemudian dikali 100% untuk mendapatkan
nilai KVP% prediksi dan KV% prediksi.
29

J. Analisis Data
Untuk menghitung uji statistik digunakan uji t dua kelompok tidak
berpasangan dengan program SPSS 20 for Windows, dengan syarat distribusi
data diharuskan normal (p>0,05) dengan menggunakan Shapiro Wilk. Jika
distribusi data tidak normal (p<0,05) maka data ditransfomasi dan diuji
menggunakan uji Mann-Whitney. Interpretasi hasil dari uji t dua kelompok
tidak berpasangan dinyatakan bermakna jika nilai p<0,05 dan dinyatakan tidak
bermakna jika nilai p>0,05 (Dahlan, 2011).
Uji t berfungsi untuk melihat ada atau tidaknya perbedaan pada nilai
KVP antara orang dengan indeks massa tubuh normal dan orang dengan
indeks massa tubuh di atas normal. Dengan interpretasi :
1. Jika t hitung t = 0,01 maka hasil ujinya dinyatakan sangat signifikan
2. Jika t = 0,05 t hitung t = 0,05 maka hasilnya signifikan
3. Jika t hitung > t = 0,05 maka hasil ujinya dinyatakan tidak signifikan

K. Jalannya Penelitian

Populasi
30

Purposive
Sampling

Sampel
Penelitian

Orang dengan Orang dengan


IMT diatas IMT normal
KVP % prediksi
normal
dan KV %
prediksi

Catat hasil

Analisis data
dan laporan

Gambar 2. Jalannya Penelitian

L. Jadwal Penelitian

Bulan
Kegiatan
I II III IV V VI VII

Persiapan
studi pustaka

Penyusunan
proposal

Ujian
proposal
31

Pengambilan
dan
pengolahan
data

Penyusunan
skripsi

Ujian skripsi

Revisi
skripsi

Tabel 5. Jadwal Penelitian

BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
A.Hasil Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Fisiologi Biomed III,
Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Surakarta pada bulan
Oktober 2015. Pengambilan sampel penelitian menggunakan teknik purposive
sampling, yaitu pengambilan sampel dengan dasar pertimbangan tertentu.
Dengan metode purposive sampling didapatkan jumlah sampel sebesar 31
orang kemudian ditambahkan 10% menjadi 35 orang, antara orang dengan
IMT normal dan berlebih yang masing-masing telah memenuhi kriteria sebagai
sampel penelitian di Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah
Surakarta.
Kriteria sampel yang digunakan pada penelitian ini adalah mahasiswa
laki-laki dari Universitas Muhammadiyah Surakarta dengan usia remaja akhir
antara 18-25 tahun yang memiliki IMT normal (18,5 24,9 kg/m) dan IMT di
atas normal (>25kg/m), bukan perokok, tidak memiliki riwayat penyakit atau
32

tidak sedang dalam masa pengobatan penyakit paru (pneumonia, atelektasis,


abses paru, edema paru, dan TB paru), serta tidak mempunyai kelainan tulang
belakang dan fraktur costae. Untuk memenuhi kriteria maka digunakan
kuesioner dalam penelitian ini, responden yang sudah memenuhi kriteria
kemudian dilakukan pemeriksaan di laboratorium.

1. Karakteristik sampel penelitian


Tabel 6. Sebaran sampel mahasiswa laki-laki dengan IMT normal dan di
atas normal.
Status Jumlah sampel Presentase (%)
IMT normal 35 50
IMT di atas normal 35 50
Total 70 100

Dari tabel di atas, dapat diketahui bahwa distribusi jumlah sampel


antara kelompok IMT normal dan kelompok IMT di atas normal diperoleh
jumlah yang sama yaitu 35 orang (50%). Data tersebut telah memenuhi
33
syarat dari besar sampel minimal yaitu 31 orang untuk masing-masing
kelompok sesuai dengan rumus besar sampel uji hipotesis terhadap rerata
dua populasi. Besar sampel yang didapat telah mewakili populasi untuk
dilakukan penelitian (Dahlan, 2011).

2. Karakteristik Kelompok Berdasarkan Usia


Tabel 7. Distribusi Mean Usia dan SD Usia
Kelompok Jumlah Sampel Mean Usia SD Usia
Responden
Orang dengan 35 19,11 1,586
IMT Normal
Orang dengan 35 19,40 1,519
IMT Di Atas
Normal

Dari tabel di atas dapat diketahui data mean dan standar deviasi (SD)
usia pada setiap kelompok. Data tersebut menunjukkan bahwa mean usia
33

orang dengan IMT normal lebih rendah dibandingkan usia orang dengan
IMT di atas normal. Sedangkan untuk standar devasi (SD) usia orang
dengan IMT normal lebih tinggi dibandingkan usia orang dengan IMT di
atas normal (Dahlan, 2011).

3. Karakteristik Kelompok Berdasarkan Tinggi Badan


Tabel 8. Distribusi Mean Tinggi Badan dan SD Tinggi Badan
Kelompok Jumlah Sampel Mean TB (m) SD TB
Responden
Orang dengan 35 166,7714 7,66998
IMT Normal
Orang dengan 35 172,0286 5,24396
IMT Di Atas
Normal

Dari tabel di atas dapat diketahui data mean dan standar deviasi (SD)
tinggi badan pada setiap kelompok. Data tersebut menujukkan bahwa
mean dan standar deviasi (SD) orang dengan IMT normal lebih tinggi
dibandingkan IMT di atas normal (Dahlan, 2011).

4. Karakteristik Kelompok Berdasarkan IMT


Tabel 9. Distribusi Mean IMT dan SD IMT
Kelompok Jumlah Mean IMT (kg/m2) SD IMT (kg/m2)
Responden Sampel
Orang dengan 35 20,2411 1,78595
IMT Normal
Orang dengan 35 31,9037 4,18908
IMT Di Atas
Normal

Dari tabel di atas dapat diketahui data mean dan standar deviasi (SD)
IMT pada setiap kelompok. Data tersebut menujukkan bahwa mean dan
standar deviasi (SD) orang dengan IMT normal lebih rendah dibandingkan
IMT di atas normal (Dahlan, 2011).
34

5. Karakteristik Kelompok Berdasarkan Nilai KVP % Prediksi


Tabel 10. Distribusi Median KVP % Prediksi, Nilai Minimum dan
Maksimum KVP % Prediksi
Kelompok Jumlah Median KVP Min (%) Max (%)
Responden Sampel (%)
Orang dengan 35 78,700 60,42 127,59
IMT Normal
Orang dengan 35 68,210 46,98 102,98
IMT Di Atas
Normal

Dari tabel di atas dapat diketahui data median, nilai minimal, dan
nilai maksimal KVP % prediksi pada setiap kelompok. Data tersebut
menujukkan bahwa pada orang dengan IMT normal mempunyai nilai
median, nilai minimal, dan nilai maksimal yang lebih tinggi dibandingkan
orang dengan IMT di atas normal (Dahlan, 2011).

6. Karakteristik Kelompok Berdasarkan Nilai KV % Prediksi


Tabel 11. Distribusi Mean KV % Prediksi dan SD KV % Prediksi
Kelompok Jumlah Mean KV % Prediksi SD
Responden Sampel
Orang dengan 35 112,8063 25,24457
IMT Normal
Orang dengan 35 79,7374 8,17830
IMT Di Atas
Normal

Dari tabel di atas dapat diketahui data mean dan standar deviasi (SD)
KV % prediksi pada setiap kelompok. Data tersebut menujukkan bahwa
mean dan standar deviasi (SD) KV % prediksi pada orang dengan IMT
normal lebih tinggi dibandingkan orang dengan IMT di atas normal
(Dahlan, 2011).

7. Karakteristik Kelompok Berdasarkan Uji Normalitas Data


Tabel 12. Uji Normalitas Data (Shapiro-wilk)
35

Kelompok responden Shapiro-wilk


Frekuensi p-velue
KVP % Orang dengan IMT Normal 35 0,03
prediksi Orang dengan IMT Di Atas Normal 35 0,169

KV % Orang dengan IMT Normal 35 0,265


prediksi Orang dengan IMT Di Atas Normal 35 0,378

Dari tabel uji normalitas data (Shapiro-wilk) didapatkan hasil bahwa


distribusi data KVP % prediksi pada kelompok IMT normal yaitu p<0,05,
yang berarti distribusi data tidak normal. Sedangkan pada kelompok IMT
di atas normal didapatkan nilai p>0,05 yang berarti distribusi data normal,
jadi untuk uji analisisnya menggunakan Mann-Whitney karena ada data
yang tidak normal. Pada distribusi data kelompok KV % prediksi orang
dengan IMT normal dan di atas normal didapatkan nilai p>0,05, yang
berarti distribusi data nya adalah normal sehingga uji analisisnya
menggunakan Uji T dua kelompok tidak berpasangan (Dahlan, 2011).
8. Karakteristik Kelompok Berdasarkan Uji Mann-Whitney
Tabel 13. Uji Mann-Whitney
KVP % Prediksi
Mann-Whitney U 317,000
Asymp. Sig. (2-tailed) 0,001

Dari tabel uji Mann-Whitney di atas, menunjukkan significancy


sebesar 0,001 pada kelompok KVP % prediksi. Berdasarkan hasil
significancy tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa terdapat perbedaan
nilai rerata KVP % prediksi pada orang dengan IMT normal dan IMT di
atas normal (Dahlan, 2011).

9. Karakteristik Kelompok Berdasarkan Uji Varians


Tabel 14. Uji Varians Data (Levenes test)
Levenes test Sig.
36

Nilai KV % Prediksi 27,952 ,000

Dari tabel di atas uji varians data menunjukkan bahwa nilai p<0,05
maka varians data kedua kelompok tidak sama atau homogen. Untuk
variabel dua kelompok tidak berpasangan, kesamaan varians tidak menjadi
syarat mutlak (Dahlan, 2011).

10. Karakteristik Kelompok Berdasarkan Uji T Dua Kelompok Tidak


Berpasangan
Tabel 15. Uji T Dua Kelompok Tidak Berpasangan
N Sig.(2- Mean Nilai IK 95%
tailed) Difference Batas Batas
Bawah Atas
KV % Equal 35 0,000 33,06886 24,11829 42,01942
Prediksi variances
assumed
Equal 0,000 33,06886 24,01071 42,12700
variances
not
assumed

Dari tabel Uji T dua kelompok tidak berpasangan di atas,


menunjukkan significancy sebesar 0,000 pada kelompok KV % prediksi
antara orang dengan IMT normal dan di atas normal. Perbedaan rerata
didapatkan sebesar 33,06886. Berdasarkan hasil significancy tersebut
dapat ditarik kesimpulan bahwa terdapat perbedaan nilai rerata KV %
37

prediksi pada orang dengan IMT normal dan IMT di atas normal (Dahlan,
2011).

B. Pembahasan

Pada hasil penelitian yang telah dilakukan dengan jumlah responden 70


orang dapat dijelaskan bahwa orang dengan indeks massa tubuh diatas normal
mempunyai nilai rerata KVP % prediksi dan KV % prediksi dibawah nilai
normal paru, dimana nilai rerata KVP % prediksinya pada IMT di atas normal
sebesar 70,4734 % dan pada IMT normal sebesar 83,9580 %. Nilai rerata KV
% prediksi pada IMT di atas normal sebesar 79,7374 % dan pada IMT normal
sebesar 112,8063 %. Dalam penelitian ini keadaan restriksi didapat pada orang
dengan IMT di atas normal. Karena sampel penelitian di evaluasi tidak
memiliki penyakit pernapasan, maka nilai restriksi paru didapat karena
perubahan mekanik ventilasi yang dialami oleh orang dengan IMT di atas
normal.
Orang dengan kelebihan berat badan akan berpengaruhi pada organ paru,
diafragma, dan dinding dada sehingga akan berdampak pada fungsi sistem
pernapasan yang tidak sempurna (Shenoy et al 2011). Hasil pemeriksaan pada
orang IMT di atas normal terbukti didapatkan hasil restriksi ringan pada nilai
rerata KVP % prediksi dan KV % prediksi. Orang dengan kelainan restriksi
ringan dalam spirometri didapatkan rentang nilai 60-79 %, sedangkan untuk
restriksi berat < 30 % prediksi. Pada orang IMT di atas normal selain adanya
timbunan lemak berlebih dan kelainan paru yang mempengaruhi nilai
spirometri, juga bisa diakibatkan karena responden memakai baju ketat, makan
terlalu kenyang sebelum pemeriksaan, dan terpapar asap rokok 2 jam sebelum
pemeriksaan (Townsend, 2011).
Pada pengukuran spirometri kelompok IMT normal didapatkan
perbedaan nilai rerata yang cukup jauh pada KVP % prediksi dan KV %
prediksi dikarenakan saat pengambilan data yang pertama diukur dalam
spirometri adalah nilai KV % prediksi secara tiga kali manuver percobaan
38

sampai didapatkan kriteria reproductible dan acceptible, setelah selesai


pengukran KV % prediksi kemudian responden dilakukan pengukuran yang
kedua yaitu KVP % prediksi secara tiga kali manuver sampai didapatkan
kriteria reproductible dan acceptible sehingga responden kelelahan dan
kehabisan tenaga untuk melakukan pengukuran KVP % prediksi.
Pada penelitian ini didapatkan hasil uji normalitas data (Shapiro-wilk)
p=0,03 pada kelompok KVP % prediksi dengan IMT normal, p=0,169 pada
kelompok KVP % prediksi dengan IMT di atas normal, p=0,265 pada
kelompok KV % prediksi dengan IMT normal, dan p=0,378 pada kelompok
KV % prediksi dengan IMT di atas normal. Karena nilai p<0,05 pada
kelompok KVP % prediksi maka dapat disimpulkan hasil normalitas data
adalah tidak normal. Kemudian untuk analisa data pada KVP % prediksi
digunakan uji Mann-Whitney. Sedangkan pada KV % prediksi didapatkan nilai
p>0,05 sehingga analisa data nya menggunakan Uji T dua kelompok tidak
berpasangan.
Berdasarkan hasil Uji T dua kelompok tidak berpasangan, didapatkan
hasil significancy p< 0,05 pada kelompok KV % prediksi, yaitu sebesar 0,000.
Sedangkan hasil uji Mann-Whitney, didapatkan nilai significancy p< 0,05 yaitu
sebesar 0,001 pada kelompok KVP % prediksi. Hal ini memberikan
kesimpulan bahwa terdapat perbedaan nilai rerata KVP % prediksi dan KV %
prediksi antara orang dengan IMT normal dan di atas normal di Universitas
Muhammadiyah Surakarta. Hasil ini sesuai dengan penelitian sebelumnya yang
dilakukan oleh Shenoy bahwa ada perbedaan yang signifikan pada nilai rerata
KVP % prediksi dan KV % prediksi antara kelompok obesitas dibandingkan
kelompok normal (Shenoy et al, 2011). Penelitian lain yang dilakukan
Satyanarayana juga membuktikan ada penurunan yang signifikan dari nilai
KVP pada kelompok IMT di atas normal dibandingkan kelompok IMT normal
(Satyanarayana et al, 2014).
Pada penelitian ini terdapat beberapa faktor perancu yang dapat
dikendalikan, seperti tinggi badan, usia, dan jenis kelamin. Faktor perancu lain
pada penelitian ini yang dapat mempengaruhi penelitian adalah penyakit paru,
39

olahragawan, merokok, ras, berat badan dan tinggi badan. Pada penelitian
faktor ras dikendalikan dengan hanya memilih suku melayu (Indonesia) yang
sudah diketahui nilai pneumomobile nya. Untuk faktor penyakit paru
(pneumonia, atelektasis, fibrosis paru, edem paru, TB paru), olahragawan, dan
merokok bisa dikendalikan dengan pengisian kuesioner sebelum penelitian.
Penelitian ini mempunyai keterbatasan seperti pada faktor perancu
olahragawan dan penyakit paru yang hanya bisa dikendalikan lewat anamnesis
dan kuesioner. Kebugaran jasmani pada seseorang mempengaruhi kondisi
tubuh seseorang, khususnya pada sistem pernapasan. Pada beberapa responden
IMT normal mengalami penurunan nilai KVP % prediksi dan KV % prediksi
karena keadaan kebugaran jasmani yang kurang. Sedangkan pada responden
IMT di atas normal mempunyai niali KVP % prediksi dan KV % prediksi
normal karena kebugaran jasmani nya bagus. Faktor kebugaran jasmani
menjadi salah satu faktor perancu yang tidak bisa dikendalikan (Kodarusman,
2015). Selain itu yang menjadi keterbatasan lain adalah kesalahan dalam
pengukuran spirometri yang mungkin karena ketidakpahaman responden dalam
mengikuti instruksi peneliti.
40

BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A.Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa terdapat
perbedaan yang signifikan nilai rerata KVP % prediksi dan KV % prediksi
antara orang dengan IMT normal dan di atas normal di Universitas
Muhammadiyah Surakarta (p<0,05).
B.Saran
1.Pada penelitian selanjutnya baiknya digunakan kuesioner lebih rinci yang
memuat tentang karakteristik sampel penelitian untuk meminimalisir
kesalahan penelitian agar didapatkan hasil yang lebih sempurna.
2.Penelitian selanjutnya akan lebih baik jika variabel yang dibandingkan adalah
IMT di bawah normal, IMT normal, dan IMT di atas normal agar lebih bisa
mengetahui seberapa besar perbedaan nilai rerata KVP % prediksi dan KV
% prediksi.
41

DAFTAR42
PUSTAKA

AHA.2011.ObesityInformation.http://www.heart.org/HEARTORG/GettingHealth
y/Obesity-Information.jsp diakses pada tanggal 10 Maret 2015

Al-Ashkar, F., Mehra, R., Peter, J.M., 2003. Interpreting Pulmonary Function
Tests: Recognize the pattern,and the diagnosis will follow. Cleveland
Clinic Journal of Medicine. 70:10

Ambrosi, G.J., Silva, C., Galofre, J.C., Escalada, J., Santos, S., Millan, D., et al.,
2012. Body mass index classification misses subjectswith increased
cardiometabolic risk factors related to elevated adiposity. International
Journal of Obesity. 36, 286294

Azad, A., Gharakhanlou, R., Niknam, A., Ghanbari, A., 2011. Effects of Aerobic
Exercise on Lung Function in Overweight and Obese Students.
National Research Institute of Tuberculosis and Lung Disease
(NRITLD). 10(3), 24-31

Bohn, B., Kiess, W., Berghem, S., James, M., Siegfried, W., Holl, R., et al., 2015.
BMI or BIA: Is Body Mass Index or Body Fat Mass a Better Predictor
of Cardiovascular Risk in Overweight or Obese Children and
Adolescents?. The European Journal of Obesity. DOI:
10.1159/000381227

Castro, A.V., Cathryn, M.K., Stella,P.K., Richard, N.B., 2014. Obesity, insulin
resistance and comorbidities Mechanisms of association. Departamento
42

de Clnica Mdica, Diviso de Endocrinologia. DOI: 10.1590/0004-


2730000003223.

Chalmers, D.J., Taylor, K.J., Singanayagam, A., Fleming, G.B., Akram, A.R.,
Mandal, P, et al., 2011. Epidemiology, Antibiotic Therapy, and Clinical
Outcomes in Health CareAssociated Pneumonia: A UK Cohort Study.
Journal of Epidemiology and Outcomes in HCAP. DOI:
10.1093/cid/cir274. 2011:53.

Dahlan, M.S., 2011. Langkah-Langkah Membuat Proposal Penelitian Bidang


Kedokteran dan Kesehatan. Jakarta: Agung Seto

Damjanov, I., 2009. Pathophysiology. Jakarta : EGC

Dehghan, M., Mestral, C., Michael, D., Schemitsch, H.E., Nathens, A., 2014. Flail
chest injuries: A review of outcomes and treatment practices from the
National Trauma Data Bank. Journal of Trauma Acute Care Surgery.
DOI: 10.1097/TA.0000000000000086. Volume 76, Number 2

Depkes RI, 2003. Pedoman Praktis Memantau Status Gizi Orang Dewasa, Jakarta
gizi.depkes.go.id/wp-content/uploads diakses pada tanggal 10 Maret
2015.
43
Depkes RI, 2013. Riset Kesehatan Dasar Kemenkes RI.
http://www.riskesdas.litbang.depkes.go.id/download/TabelRiskesdas20
10.pdf diakses pada tanggal 10 Maret 2015

Djojodibroto, D. 2013. Respirologi (Respiratory Medicine). Jakarta : EGC.

Fahrian, A.S., 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta : InternaPublishing

Friedman, J., 2014. Leptin at 20: an overview. Journal of Endocrinology. Vol. 223
: 1, T1T8.

Ganong, W.F., 2003. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta: EGC

_______. 2006. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta: EGC

Gbary, R.A., Kpozehouen, A., Yessito, C.H., Djrolo, F., Amoussou, M.P., Tchabi,
Y., et al., 2014. Prevalensi and risk factor of overweight and obesity:
findings from a cross-sectional community based survey in Benin.
Hebert Open Access Journals (HOAJ). ISSN 2052-5966

Guyton, A.C., John, E.H., 2012. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 11. Jakarta:
EGC
43

Hyeon, Y., 2011. Management of Pleural Effusion, Empyema, and Lung Abscess.
Thieme Medical Publishers. DOI: 10.1055/s-0031-1273942.ISSN 0739-
9529. Volume 28, No.1

Kodarusman, W.R., 2015. The Coparation Of Lung Vital Capacity In Various


Sport Athlete. Journal Majority. Volume 4, Nomor 2

Kumar, R., Seibold, M.A., Aldrich, M.C., Williams, L.K., Reiner, A.P., Colangelo,
L., et al. 2010. Genetic Ancestry in Lung-Function Predictions. The
new england journal of medicine. 363:321-30.

Lauria, W.M., Maria, P.L., Luiz, L.G., Marques, N.R., Marta, S.M., Versiani, R.A.,
2013. Ability of body mass index to predict abnormal waist
circumference: receiving operating characteristics analysis.
Diabetology & Metabolic Syndrome licensee BioMed Central. 5 :74

Lakhsmi, A., Saraswathi, I., Saravanan, A., Ramamchandran, C., 2011. Prevalence
of Premenstrual Students and its Association with College Syndrome
and Dysmenorrhoea among Female Medical Students and Its
Association with College Absenteeism. International Journal of
Biological & Medical Research. Vol. 2(4): 1011 -1016.

Madan, D., Singal, P., Kaur, H., 2010. Spirometric Evaluation of Pulmonary
Function Test in Bronchial Asthma Patients. Journal of Exercise
Science and Physiotherapy. Vol. 6, No. 2: 106-111

Melo, L.C., Mendona, D.S., Maria, A., Nascimento, C., Ana, C.D., 2014. Obesity
and lung function: a systematic review. Journal of Obesity Review.
DOI: 10.1590/S1679-45082014RW2691.

Price, S.A., Wilson, L.M., 2005. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses


Penyakit. Jakarta : EGC

Raghu, G., Collard, H.R., Egan, J.J., Martinez, F.J., Behr, J., Brown, K.K., et al.,
2011. Idiopathic Pulmonary Fibrosis: Evidence-based Guidelines for
Diagnosis and Management. American Journal Respiratory. Vol 183. pp
788824, 2011 DOI: 10.1164/rccm.2009-040GL.

Raton, R., Polii, H., Sylvia, R.M., 2013. Pengaruh Latihan Aerobik Terhadap
Forced Expiratory Volume In One Secound ( FEV1) Pada Mahasiswa
Pria Dengan Kelebihan Berat Badan (Over weight). Jurnal e-Biomedik
(eBM). 1: 884-889

Ross and Wison, 2011. Anatomy and Phsysiology in Health and Ilness 10th ed.
Singapore : Elsevier.
44

Salome, M.C., King, G.G., Berend, N., 2010. Physiology of obesity and effects on
lung function. Journal of Applied Physiology. 108:206-211

Satyanarayana, P., Roy, M., Parma, C., Mounika, V., Ravuri, S., Manaswi, C., et
al., 2014. Assessment of Lung Functions in Obese Young Adolescent
Medical Students. IOSR Journal of Dental and Medical Sciences : e-
ISSN: 2279-0853, p-ISSN: 2279-0861.Volume 13

Shenoy, J., Shivakhumar, J., Suguna, D.K., Mirajkar, A., Muniyappanavar, N.S.,
Preethi, G.P., 2011. Status of Pulmonary function in Indian young
overweight male individuals. Research Journal of Pharmaceutical,
Biological and Chemical Sciences (RJPBCS) : ISSN: 0975-8585.
Volume 2 Issue 4

Sherwood, L., 2011. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem Edisi ke 2. Jakarta:
EGC

Silbernagl, S., Lang, F., 2006. Teks & Atlas Berwarna Patofisiologi. Jakarta : EGC
Singh, A.K.,Singh, S.K., Singh, N., Agrawal, N., Gopal, K., 2011. Obesity and
dyslipidemia. International Journal of Biological & Medical Research.
Vol 2(3): 824-828.

Snell, S.R. 2012., Anatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran (Edisi 6). Jakarta
: EGC

Suzuki, Y., Takasaki, Y., 2014. Respiratory support with nasal high-flow therapy
helps to prevent recurrence of postoperative atelectasis: a case report.
Journal of Intensive Care. DOI:10.1186/2052-0492-2-3.

Tilman, V., 2015. Pulmonary Edema: A Unifying Pathophysiological Formula.


Journal of Cardiovascular Diseases & Diagnosis. ISSN:2329-9517
JCDD. Volume 3 Issue 3 1000194

Townsend, M.C., Eschenbacher, W., Chair, C., Beckett, W., Bohnker, B., Brodkin,
C., et al., 2011. Spirometry in the Occupational Health Setting2011
Update. American College of Occupational and Environmental
Medicine. DOI: 10.1097/JOM.0b013e31821aa964. Volume 53.

Olson, P.T., Kenneth, C.B., Johnson, B.D., 2008. Pulmonary Function Changes
Associated with Cardiomegaly in Chronic Heart Failure. Journal of
Cardiology Fail. 13(2): 100107.

Vedala, S., Paul, N., Mane, B.A., 2013. Differences in Pulmonary Function Test
among the Athletic and Sedentary Population. National Journal of
Physiology, Pharmacy & Pharmacology. Vol 3 Issue 2. 118 123
45

Watchie, J., 2010. Cardiovascular and Pulmonary Physical Therapy. United States
of America : ELSEVIER

WHO. 2004. BMI Classification.http://apps.who.int/bmi/index.jsp diakses pada


tanggal 10 Maret 2015

WHO. 2011. Sugar Guideline. http://apps.who.int/obesity/index.jsp diakses pada


tanggal 10 Maret 2015

Wilborn, C., Beckham, J., Campbell, B., Harvey, T., Galbreath, M., La Bounty, P.,
et al., 2005. Obesity: Prevalence, Theories, Medical Consequences,
Management, and Research Directions. Journal of the International
Society of Sports Nutrition. ISSN 1550-2783.

Wouter, V.D., Tan, W., Li P., Guo, B., Li S., Benedetti, A., et al., 2015. Clinical
Relevance of Fixed Ratio vs Lower Limit of Normal of FEV1/FVC in
COPD: Patient-Reported Outcomes From the CanCOLD Cohort.
Annals Of Family Medicine. Vol.13 No.31

Youssef, M., Mojaddidi, M., Fath-El, M., Abd- El, W., Salem, M., 2015. Gender
differences in body composition, respiratory functions, life style among
medical students. Biomedical Research India. ISSN 0970-938X. Vol 26.
Yuarsa, T.A., Yunus, F., Antariksa, B., 2013. Korelasi Penilaian Kualitas Hidup
dan Prognosis Penderita Penyakit Paru Obstruktif Kronik dengan
CAT, SGRQ dan BODE di Rumah Sakit Persahabatan Jakarta.
Journal of Respirology Indonesia. Vol.33 No.1.

Zammit, C., LiddicoatIan, H., Moonsie, I., Makker, H., 2010. Obesity and
respiratory diseases. International Journal of General Medicine. 3:335
343

Anda mungkin juga menyukai