Anda di halaman 1dari 30

LAPORAN PRAKTIKUM

PENILAIAN STATUS GIZI


SECARA ANTROPOMETRI

OLEH :

NURUL RIDA’ AINUN DA RUSMAN


K111 16 345
KELOMPOK 3
KELAS C

LABORATORIUM KIMIA BIOFISIK


PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT
FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS HASANUDDIN
2018
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Nutrient atau zat gizi adalah zat yang terdapat dalam makanan dan
sangat di perlukan oleh tubuh untuk metabolisme, mulai dari proses
pencernaan, penyerapan makanan dalam usus halus, trasportasi oleh darah
untuk mencapai target dan menghasilkan energi, pertumbuhan tubuh,
pemeliharaan jaringan tubuh, proses biologis, penyembuhan penyakit, dan
daya tahan tubuh (Par’i, dkk., 2017).
Gizi adalah sesuatu bahan organik yang dibutuhkan tubuh untuk
melakukan fungsi normal dalam sistem tubuh. Apabila asupan gizi
seseorang bermasalah maka orang tersebut akan mengalami beberapa
gangguan-gangguan fungsi tubuh. Itulah sebabnya kita harus mengatur
pola makan agar gizi untuk tubuh kita selalu tercukupi, tidak berlebihan
serta tidak kekurangan. Dalam mengonsumsi makanan untuk kebutuhan
gizi, Pemerintah menganjurkan Angka Kecukupan Gizi (AKG) dengan
rata-rata energi dan protein 2.150 kilo kalori dan 57 gram per hari.
Penetapan rata-rata tersebut telah disesuaikan dengan kelompok umur,
jenis kelamin, tinggi badan, dan berat badan sesuai dengan Peraturan
Menteri Kesehatan Nomor 75 Tahun 2013.
Status gizi adalah gambaran keadaan zat gizi seseorang yang
merupakan kondisi dimana berhubungan erat denga riwayat konsumsi
makanan dalam jangka waktu tertentu. Gizi adalah semua unsur atau zat
yang terdapat didalam atau semua zat yang terdapat dalam pangan yang
berfungsi untuk pertumbuhan dan perkembangan serta meningkatka
derajat kesehatan seseorang (Sukardji,2002).
Status gizi di Indonesia saat ini mulai membaik. Hal ini ditandai oleh
adanya perhatian khusus pada keadaan gizi msyarakat, sehingga
memberikan peningkatan serta perbaikan yang berarti. Berdasarkan data
hasil Pemantauan Status Gizi (PSG) di Indonesia pada tahun 2015
pemantauan status gizi menunjukkan hasil yang lebih baik dari tahun
sebelumnya. Persentase balita dengan gizi buruk mengalami penurunan.
Status gizi balita menurut indeks berat badan per umur (BB/U) didapatkan
hasil 79,9% gizi baik, 14,9% gizi kurang, 3,8% gizi buruk dan 1,5% gizi
lebih. Pada status gizi balita menurut indeks tinggi badan per usia (TB/U)
didapatkan hasil 71% normal, 29,9% pendek dan sangat pendek.
Sedangkan untuk status gizi balita menurut indeks berat badan per tinggi
badan (BB/TB) didapatkan hasil 82,7% normal, 8,2% kurus, 5,3% gemuk
dan 3,7% sangat kurus (Kemkes Indonesia, 2015).
Status gizi dapat diketahui melalui pengukuran beberapa parameter,
kemudian hasil pengukuran tersebut dibandingkan dengan standar atau
rujukan. Peran penilaian status gizi bertujuan untuk mengetahui ada
tidaknya status gizi yang salah. Penilaian status gizi menjadi penting
karena dapat menyebabkan terjadinya kesakitan dan kematian terkait
dengan status gizi. Oleh karena itu dengan diketahuinya status gizi, dapat
dilakukan upaya untuk memperbaiki tingkat kesehatan pada masyarakat
(Par’i, dkk., 2017).
Dalam menentukan klasifikasi status gizi harus ada ukuran baku yang
sering disebut reference. Baku antropometri yang sekarang digunakan di
Indonesia adalah WHO-NCHS. Untuk menentukan klasifikasi status gizi
diperlukan batasan-batasan yang disebut ambang batas (Supariasa, dkk.,
2016).
Metode Penilaian status gizi dibedakan menjadi dua yaitu melalui
pengukuran langsung dan tidak langsung. Pengukuran langsung mencakup
parameter antropometri, biokimia, biofisik, dan klinis sedangkan untuk
pengukuran tidak langsung melalui survei konsumsi, statik vital, dan
faktor ekologi (Supariasa, dkk., 2016).
Salah satu metode penilaian status gizi secara langsung yaitu
menggunakan pengukuran antropometri. Metode ini sudah sejak lama
digunakan, di Indonesia telah digunakan sejak tahun 1970-an. Pada tahun
1975, melalui kelompok kerja WHO menyarankan penggunaan
antropometri untuk menilai status gizi dalam kegiatan survei dan
surveilans gizi. Selanjutya. pada tahun 1983 WHO mengeluarkan lagi
buku Measuring Change in Nutritional Status yang sangat terkenal dalam
penggunaan buku rujukan National Center for Health Statistic (NCHS).
Dewasa ini, standar yang digunakan adalah WHO 2005 (Supariasa &
Hardiansyah, 2016).
Pengukuran antropometri sering digunakan untuk menilai ukuran,
proporsi dan komposisi tubuh manusia. Pada dewasa, pengukuran
antropometri ini digunakan untuk mengevaluasi status kesehatan dan diet,
risiko penyakit, dan perubahan komposisi tubuh serta dapat menilai status
obesitas seseorang (McDowell et al., 2008; Gruson et al., 2010).
Pengukuran antropometri tergolong pengukuran yang sederhana. Alat
yang digunakan mudah dipahami namun tetap membutuhkan pelatihan
dalam penggunaanya, serta tidak sulit untuk diperoleh. Pengukuran
antropometri pun dianggap efektif serta efisien dalam mengetahui status
gizi seseorang karena dapat dibakukan.
Metode antropometri sangat berguna untuk melihat
ketidakseimbangan energi dan protein. Akan tetapi, antropometri tidak
dapat digunakan untuk mengidentifikasi zat-zat gizi yang spesifik (Gibson,
2005).
Kombinasi antara beberapa parameter disebut Indeks Antropometri.
Indeks antropometri tersebut meliputi perhitungan Indeks Massa Tubuh
(IMT) yang terdiri dari berat badan dan tinggi badan, Waist to Hip Rasio
(WHR) yang terdiri dari pengukuran lingkar pinggag dan lingkar panggul,
pengukuran Lingkar Lengan Atas (LiLA), serta Percent Body Fat (%BF).
Untuk mendapatkan data antropometri yang baik harus dilakukan
sesuai dengan standar prosedur pengumpulan data antropometri. Tujuan
dari prosedur standarisasi adalah memberikan informasi yang cepat dan
menunjukkan kesalahan yang tepat sehingga perubahan dapat dilakukan
sebelum sumber kesalahan dapat dipastikan. Hal ini dilakukan dengan
mempelajari hal-hal apa yang perlu diperhatikan untuk menjamin presisi
dann akurasi pengukuran dan keterampilan apa yang perlu diberikan.
(Supariasa, dkk., 2016).

B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah berdasarkan latar belakang diatas yaitu:
1. Bagaimana status gizi perseorangan dengan menggunakan pengukuran
Indeks Massa Tubuh (IMT) ?
2. Bagaimana status gizi perseorangan dengan menggunakan pengukuran
prediksi tinggi badan berdasarkan tinggi lutut ?
3. Bagaimana status gizi perseorangan dengan menggunakan pengukuran
Waist to Hip Ratio (WHR) ?
4. Bagaimana status gizi perseorangan dengan menggunakan pengukuran
Lingkar Lengan Atas (LiLA) ?
5. Bagaimana status gizi perseorangan dengan menggunakan pengukuran
Percent Body Fat (PBF) ?

C. Tujuan
1. Tujuan Umum
Adapun tujuan umum dilakukannya praktikum ini adalah untuk
mengetahui status gizi perseorangan melalui metode pengukuran
antropometri.
2. Tujuan Khusus
Adapun tujuan khusus dilakukannya praktikum ini yaitu:
a. Untuk menetukan dan mengetahui status gizi perseorangan dengan
perhitungan Indeks Massa Tubuh (IMT).
b. Untuk menetukan dan mengetahui status gizi perseorangan dengan
pengukuran prediksi tinggi badan berdasarkan tinggi lutut.
c. Untuk menetukan dan mengetahui status gizi perseorangan dengan
perhitungan Waist to Hip Ratio (WHR).
d. Untuk menetukan dan mengetahui status gizi perseorangan dengan
perhitungan Lingkar Lengan Atas (LiLA).
e. Untuk menetukan dan mengetahui status gizi perseorangan dengan
perhitungan Percent Body Fat (PBF).

D. Manfaat
Adapun manfaat yang diperoleh dari praktikum ini yaitu dapat
menentukan status gizi seseorang melalui pengukuran antropometri
dengan menghitung Indeks Massa Tubuh (IMT), prediksi tinggi badan
berdasarkan tinggi lutut, perhitungan Waist to Hip Ratio (WHR), lingkar
lengan atas (LiLA), dan Percent Body Fat (PBF).
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Umum Tentang IMT


Indeks Massa Tubuh (IMT) atau Body Mass Index (BMI) merupakan suatu
alat sederhana yang dapat digunakan untuk menentukan status gizi pada orang
dewasa khususya yang berkakaitan dengan kekurangan dan kelebihan berat badan
(Supariasa, dkk., 2016). Parameter IMT hanya dapat diterapkan pada orang
dewasa baik pria maupun wanita dengan umur diatas 18 tahun. IMT tidak dapat
diterapkan dalam penilaian status gizi pada bayi, anak, remaja, ibu hamil, dan
olahragawan. Begitu pula pada orang dengan keadaan khusus tertentu seperti
penderita edema asistes, dan hepatomegali.
Saat ini, indeks massa tubuh (BMI) paling banyak biasa digunakan untuk
menentukan adipositas. Namun, BMI hadir sebagai metode klasifikasi obesitas
yang tidak akurat itu meremehkan epidemi dan berkontribusi terhadap pengobatan
yang gagal. Obesitas adalah penyakit serius yang dikaitkan dengan peningkatan
risiko diabetes, hipertensi, penyakit jantung, stroke, dan kanker, di antara penyakit
lainnya. Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Amerika Serikat (CDC)
memperkirakan Tingkat obesitas 20% di 50 negara bagian, dengan 12 negara
bagian memiliki tingkat lebih dari 30% (Shah & Braverman, 2012).
Rumus Peritungan IMT:

Berat Badan (kg)


IMT =
Tinggi Badan (cm) x Tinggi Badan (cm)

Berdasarkan Pedoman Gizi oleh Kementrian Kesehatan, batas ambang IMT


ditentukan dengan merujuk ketentuan FAO/WHO, yang membedakan batas
ambang untuk laki-laki dan perempuan. Disebutkan bahwa batas ambang normal
untuk laki-laki adalah: 20,1–25,0; dan untuk perempuan adalah : 18,7-23,8. Untuk
kepentingan pemantauan dan tingkat defesiensi kalori ataupun tingkat kegemukan,
lebih lanjut FAO/WHO menyarankan menggunakan satu batas ambang antara
laki-laki dan perempuan. Ketentuan yang digunakan adalah menggunakan ambang
batas laki-laki untuk kategori kurus tingkat berat dan menggunakan ambang batas
pada perempuan untuk kategorigemuk tingkat berat. Untuk kepentingan
Indonesia, batas ambang dimodifikasi lagi berdasarkan pengalam klinis dan hasil
penelitian dibeberapa negara berkembang. Pada akhirnya diambil kesimpulan,
batas ambang IMT untuk Indonesia adalah sebagai berikut:

Tabel 2.1 Batas Ambang Indeks Massa Tubuh (IMT) Indonesia


Kategori IMT

Kurus Kekurangan berat badan tingkat berat < 17,0

Kekurangan berat badan tingkat ringan 17,0 – 18,4

Normal 18,5 – 25,0

Gemuk Kelebihan berat badan tingkat ringan 25,1 – 27,0

Kelebihan berat badan tingkat berat > 27,0

Sumber: Depkes, 1994. Pedoman Praktis Memantau Status Gizi Orang Dewasa,
Jakarta. Hlm. 4
Jika seseorang termasuk kategori :
1. IMT < 17,0: keadaan orang tersebut disebut kurus dengan kekurangan berat
badan tingkat berat atau Kurang Energi Kronis (KEK) berat.
2. IMT 17,0 – 18,4: keadaan orang tersebut disebut kurus dengan kekurangan
berat badan tingkat ringan atau KEK ringan.

B. Tinjauan Umum Tentang Prediksi tinggi Badan Berdasarkan Tinggi


Lutut
Tinggi badan (TB) merupakan komponen indikator status gizi sehingga
pengukuran TB seseorang secara akurat sangatlah penting untuk menentukan nilai
Indeks Massa Tubuh (IMT). IMT berguna sebagai indikator untuk menentukan
adanya indikasi kasus Kurang Energi Kronik (KEK) dan kegemukan (obesitas).
Namun untuk memperoleh pengukuran TB yang tepat pada lansia cukup sulit
karena masalah postur tubuh, kerusakan spinal, atau kelumpuhan yang
menyebabkan harus duduk di kursi roda atau di tempat tidur.
Beberapa penelitian menunjukkan perubahan TB lansia sejalan dengan
peningkatan usia dan efek beberapa penyakit seperti osteoporosis. Oleh karena
itu, pengukuran tinggi badan lansia tidak dapat diukur dengan tepat sehingga
untuk mengetahui tinggi badan lansia dapat dilakukan suatu estimasi dengan
formula berdasarkan beberapa para meter antara lain tinggi lutut, panjang lengan,
dan panjang depa (demispan). Tinggi lutut dapat digunakan untuk melakukan
estimasi TB lansia dan orang cacat. Proses penuaan tidak mempengaruhi panjang
tulang di tangan, kaki, dan tinggi tulang vertebral. Selanjutnya prediksi TB lansia
dianggap sebagai indikator cukup valid dalam mengembangkan indeks
antropometri dan melakukan interpretasi pengukuran komposisi tubuh. (Wiryani,
dkk., 2010)
Prediksi tinggi badan berdasarkan tinggi lutut tidak hanya dapat diterapkan
untuk mengukur tinggi badan lansia, tetapi jua orang-orang yang tidak mampu
berdiri tegak atau sedang dalam kondisi sakit. Prediksi tinggi lutut dapat dikatakan
valid apabila selisih antara tinggi badan sebenarnya dengan hasil prediksi tidak
lebih dari 5 cm. Jika hal tersebut terjadi maka salah satu diantara pengukuran
tersebut dipastikan salah.
Rumus prediksi tinggi badan berdasarkan tinggi lutut yaitu:
Laki-Laki = 6,19 – (0,04 x Umur (tahun) + (2,02 x tinggi lutut)
75−Umur
Perempuan= 84,88 – (0,24 xUmur (tahun) + (1,8 x Tinggi Lutut - x1,2
5
)

C. Tinjauan Umum Tentang WHR


Rasio lingkar pinggang terhadap panggul (Waist-Hip Ratio/WHR), pembagian
ukuran lingkar pinggang dan panggul, ialah cara sederhana  dalam penentuan
distribusi lemak baik di bawah kulit maupun pada jaringan intra-abdominal.
Penggelembungan rasio pinggang panggul (pria >1,0 dan wanita >0,85)
menandakan penumpukan lemak di dalam perut. Risiko yang diakibatkan oleh
gumpalan lemak di dalam perut memang lebih tinggi dibandingkan timbunan di
bawah kulit karena aliran darah di daerah itu lebih tinggi.Secara klinis Waist to
Hip Ratio (WHR) digunakan untuk mengetahui status obesitas seseorang. Selain
itu, rasio lingkar pinggang dan panggul diyakini sebagai prediktor yang baik
untuk menilai risiko penyakit kardiovaskular. Setiap kenaikan WHR sebesar
0,01 berhubungan dengan peningkatan risiko penyakit kardiovaskular. Beberapa
hal yang mempengaruhi WHR adalah hormon seks, umur, status reproduksi, etnis,
dan perilaku buruk seperti merokok dan konsumsi alkohol (Khaira, Sulastri,
Semiarty .,2016).
Konsultasi Ahli WHO 1997 tentang Obesitas mengakui pentingnya massa
lemak perut (disebut sebagai obesitas perut, pusat atau visceral), yang dapat
sangat bervariasi dalam kisaran sempit total lemak tubuh dan indeks massa tubuh
(BMI). Ini juga menyoroti perlunya indikator lain untuk melengkapi pengukuran
BMI, untuk mengidentifikasi individu pada peningkatan risiko morbiditas terkait
obesitas karena akumulasi lemak perut (WHO, 2000). Rasio pinggang-panggul
(yaitu lingkar pinggang dibagi dengan lingkar panggul) disarankan sebagai ukuran
tambahan dari distribusi lemak tubuh. Rasio dapat diukur lebih tepat daripada
lipatan kulit, dan ini menyediakan indeks dari kedua jaringan adiposa subkutan
dan intraabdominal (Bjorntorp, 1987).
Berikut merupakan tabel hasil pengukuran lingkar pinggang dan panggul
pada laki-laki dan perempuan berdasarkan kelompok umur yang risiko jika
kekurangan dan kelebihan (Sirajuddin, dkk., 2016):
Tabel 2.2 Interpretasi Hasil Pengukuran Lingkar Pinggang dan Panggul
Risiko
Jenis Kelompok
Kelamin Umur Very
Low Moderate High
High
20 – 29 < 0,83 0,83 – 0,88 0,89 – 0.94 > 0,94
30 – 39 < 0,84 0,84 – 0,91 0,92 – 0,96 > 0,96
Laki-laki 40 – 49 < 0,88 0,88 – 0,95 0,96 – 1,00 > 1,00
50 – 59 < 0,90 0,90 – 0,96 0,87 – 1,02 > 1,02
60 – 69 < 0,91 0,91 – 0,96 0,99 – 1,03 > 1,03
20 – 29 < 0,71 0,71 – 0,77 0,78 – 0,82 > 0,82
30 – 39 < 0,72 0,72 – 0,78 0,79 – 0,84 > 0,84
Perempuan 40 – 49 < 0,73 0,73 – 0,79 0,80 – 0,87 > 0,87
50 – 59 < 0,74 0,74 – 0,81 0,82 – 0,88 > 0,88
60 – 69 < 0,76 0,76 – 0,83 0,84 – 0,90 > 0,90
Sumber : Sirajuddin, dkk. 2016

D. Tinjauan Umum Tentang Lingkar Perut


Cara lain yang biasa dilakukan untuk memantau risiko kegemukan
adalah dengan mengukur lingkar perut. Ukuran lingkar perut yang baik yaitu
tidak lebih dari 90 cm untuk laki-laki dan tidak lebih dari 80 cm untuk
perempuan. Pengukuran lingkar perut lebih memberi arti dibandingkan IMT
dalam menentukan timbunan lemak di dalam rongga perut (obesitas sentral)
karena peningkatan timbunan lemak di perut tercermin dari meningkatnya
lingkar perut (Sirajuddin, dkk., 2018).
Obesitas telah menjadi masalah global di seluruh dunia, baik di negara
maju maupun negara berkembang. Data menunjukkan bahwa di Amerika
Serikat pada tahun 2007/2008 terdapat 2,2% pria dan 35,5% wanita yang
memiliki Body Mass Index (BMI) atau Indeks Massa Tubuh (IMT) > 30 dan
di Australia, pada tahun 2008, terdapat 25,6% pria dan 24% wanita yang
memilik BMI atau IMT > 30 (IASO, 2010). Di Indonesia, menurut Riset
Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007, laki-laki dan perempuan usia ≥ 15
tahun yang memiliki IMT > 25 kg/m2 adalah sebesar 13,9% dan 23,8%
(Dewi, & Mahmudiyono, 2013).
Berdasarkan penelitian W.C. Chumlea (2009) dalam Left Ventricular
Mass, Abdominal Circumference And Age: The Fels Longitudinal
Study menyatakan bahwa hubungan massa ventrikel kiri dan lingkar perut
telah diperiksa. Hanya beberapa studi telah menggunakan lingkar perut telah
sebagai variabel kontinyu dan hal itu positif terkait dengan massa ventrikel
kiri bahkan dengan adanya obesitas. BMI dan lingkar perut bukan tindakan
diagnostik, namun lingkar perut berpotensi dari utilitas klinis yang lebih
besar dibandingkan BMI dalam menggambarkan distribusi lemak dan
obesitas terkait risiko kesehatan dan beberapa menganggapnya sebagai risiko
kesehatan yang penting.
Berikut adalah nilai ambang batas lingkar perut menurut berbagai
Negara:
Tabel 2.3 Nilai Ambang Batas Linkar Perut Menurut Berbagai Negara.
Negara Laki-Laki Perempuan (cm)
(cm)
USA (ATP III) 102 (90) 88 (85)
Europeans 94 80
Middle Eastern, Eastern 94 80
European, North African
Sub-Saharan Africans 94 80
Asian (including Chinese, South 90 80
Asia and Japanese)
Ethnic South and central 90 80
Americans
Indonesia 90 80
Sumber: Sirajuddin, dkk,. 2018
E. Tinjauan Umum Tentang Lingkar Lengan Atas (LiLA)
Lingkar Lengan Atas (LiLA) adalah salah satu indikator yang digunakan
untuk menilai status gizi dengan cara mengukur lingkar lengan atas. Menurut
Kamus Gizi (2009) LiLA adalah cara untuk menentukan status gizi yang praktis
dengan mengukur lingkar lenga kiri atas pada bagian tengah antara ujung bahu
dan ujung siku (Supariasa, 2016). Jenis pengukuran antropometri yang digunakan
untuk mengukur resiko KEK pada Wanita Usia Subur (WUS) adalah Sasaran
WUS adalah wanita pada usia 15 sampai 45 tahun yang terdiri dari remaja, ibu
hamil, ibu menyusui dan Pasangan Usia Subur (PUS). Ambang batas LiLA WUS
dengan resiko KEK adalah 23,5 cm. Apabila LiLA kurang dari 23,5 cm artinya
wanita tersebut mempunyai risiko KEK dan diperkirakan akan melahirkan bayi
dengan Berat Badan Lahir Rendah (BBLR).
KEK merupakan salah satu permasalahan gizi di Indonesia yang banyak
dialami oleh WUS termasuk remaja, ibu hamil, dan ibu menyusui. KEK pada
WUS merupakan faktor risiko kematian pada ibu hamil dan janin. Manifestasi
dari masalah gizi makro apabila terjadi pada WUS dan ibu hamil yang mengalami
KEK adalah Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR). Pola makan yang belum baik
dipengaruhi oleh kebutuhan terkait dengan estetik atau penampilan dalam rangka
menjaga bentuk tubuh dibandingkan aspek ekonomi. KEK pada remaja dan WUS
dapat disebabkan oleh penyebab langsung seperti penyakit dan pola konsumsi,
serta penyebab tidak langsung seperti umur, pendidikan, dan pekerjaan. Status
gizi dapat diukur dengan menggunakan pita Lingkar Lengan Atas (LiLA).
Pengukuran dengan pita LiLA pada orang dewasa merupakan salah satu pilihan
terbaik karena mudah dilaksanakan dan menggunakan alat ukur yang murah serta
mudah diperoleh (Sicillia & Kusuma, R., 2016).
LiLA mencerminkan cadangan energi, sehingga dapat mencerminkan status
KEP (Kurang Energi Protein) pada balita dan KEK (Kurang Energi Kronik) pada
wanita usia subur dan ibu hamil.
Tabel 2.4 Klasifikasi Lingkar Lengan Atas (LiLA)
Klasifikasi Batas Ukur
Wanita Usia Subur
KEK < 23,5
Normal ≥ 23,5
Bayi Usia 0 – 30 hari
KEP < 9,5 cm
Normal ≥ 9,5 cm
Balita
KEK <12,5 cm
Normal ≥ 12,5 cm
Sumber: Sirajuddin, dkk,. 2018
.
F. Tinjauan Umum Tentang Percent Body Fat (%BF)
Pada usia beranjak dewasa merupakan periode puncak tumbuh kembang
yang ditandai dengan percepatan pertumbuhan dan pematangan global,
sehingga masa remaja dapat menjadi salah satu indikator profil kesehatan pada
masa lanjut kelak. Salah satu metode untuk menilai adalah dengan mengukur
persentase lemak tubuh. Lemak tubuh terdiri dari lemak subkutan (lemak
dibawah kulit) dan lemak abdomen (lemak daerah perut) (Calara, & Adyaksa,.
2014).
Lemak dapat diukur secara absolute (dalam kg) dan secara relatif (%)
terhadap berat tubuh total. Jumlah lemak tubuh sangat bervariasi ditentukan
oleh jenis kelamin dan umur. Ketebalan lipatan kulit adalah suatu pengukuran
kandungan lemak tubuh karena sekitar separuh dari cadangan lemak tubuh total
terdapat langsung dibawah kulit. Pengukuran tebal lipatan kulit merupakan
salah satu metode penting untuk menentukan komposisi tubuh serta persentase
lemak tubuh dan untuk menentukan status gizi secara antropometri (Sirajuddin,
dkk,. 2018).
Cara pengukuran lemak tubuh ada beberapa macam di antaranya dapat
melalui pengukuran skinfold (triceps, biseps, subscapula, suprailiaca, dan
lainlain) maupun pengukuran dengan metode Bioelectrical Impedance
Analysis (BIA). Bioelectrical impedance analysis (BIA) adalah metode yang
paling sering digunakan untuk menilai komposisi tubuh dan menghitung BF%
dalam praktek klinis, mengingat akurasi, kesederhanaan, biaya rendah, dan
korelasi yang sangat baik dengan DXA, CT, atau magnetic resonance imaging
(MRI) (Velez, et all., 2017).
Untuk rumus perhitungan pecent body fat adalah sebagai berikut
(Sirajuddin, dkk., 2016):
Laki-laki(18-27) =
Percent Body fat = [(4,97/DB) – 4,52] x 100
DB = 1,0913 – 0,00116 x (Tricep + Scapula)
Wanita (18 – 23) =
Percent Body fat = [(4,76/DB) – 4,28] x 100
DB = 1,0897 – 0,00133 x (Tricep + Scapula)
Tabel 2.5 Klasifikasi Percent Body Fat (%BF) berdasarkan umur dan
jenis kelamin
Umur Under fat Healthy Overweight Obese
(tahun) Range
Perempuan (umur)
20-40 < 21 % 24 - 36% 33 - 39% > 39 %
41-60 < 23 % 23 - 35% 35 - 40% > 40 %
61-79 < 24 % 24 - 26% 36 - 42% > 42 %
Laki-laki (umur)
20-40 <8% 8 - 9% 19 - 25% > 25 %
41-60 < 11 % 11 - 22% 22 - 27% > 27 %
61-79 < 13 % 13 – 25 % 25 - 30% > 30 %
Sumber: Sirajuddin, dkk,. 2018
BAB III

METODE PRAKTIKUM

A. Tempat dan Waktu


Praktikum dilakasankan di Laboraturium Terpadu Kesehatan
masyarakat Lantai 3 Fakultas Kesehatan masyarakat Universitas
Hasanuddin pada hari Rabu tanggal 21 Maret 2018 pukul 08.00-12.00
WITA.

B. Alat dan Bahan


Alat yang digunakan dalam selama pratikum adalah :
1. Pengukuran IMT
Tinggi Badan = Microtoice
Berat Badan = Timbangan Digital Seca
2. Pengukuran tinggi badan berdasarkan tinggi lutut = Kanomometer
3. Pengukuran WHR
Lingkar pinggang = pita circumference
Lingkar panggul = pita circumference
4. Pengukuran LiLA = pita LiLA
5. Pengukuran PB = skinfold
Alat mencatat = pulpen dan kertas

C. Peserta Praktikum
Peserta praktikum yaitu mahasiswa kelas C Kesehatan Masyarakat
angkatan yang berjumlah 40 dan yang hadir 39.

D. Prosedur Kerja
1. Indeks Massa Tubuh (IMT)
a. Pengukuran Berat Badan
1) Diminta responden mengenakan pakaian biasa (usahakan
dengan pakaian yang minimal). Responden tidak menggunakan
alas kaki.
2) Dipastikan timbangan berada pada penunjukkan skala dengan
angka 0,0.
3) Diminta responden  berdiri di atas timbangan dengan berat
yang tersebar merata pada kedua kaki dan posisi kepala dengan
pandangan lurus ke depan.
4) Diperhatikan Posisi kaki responden agar tepat di tengah alat
timbang, usahakan responden tetap tenang dan kepala tidak
menunduk ( memandang lurus kedepan).
5) Dibaca angka yang berada di kaca jendela yang akan muncul,
dan ditunggu sampai angka tidak berubah (statis).
6) Dibaca dan dicatat berat badan responden pada tampilan
dengan skala 0,1 terdekat.
7) Penimbangan diulang sampai dengan 3 kali.
b. Pengukuran Tinggi Badan
1) Diminta responden tidak mengenakan alas kaki (sandal/sepatu),
topi (penutup kepala). Posisikan responden tepat di bawah
microtoice.
2) Diminta Reponden  berdiri tegak, persis di bawah alat geser.
3) Diarahkan responden agar posisi kepala dan bahu bagian
belakang, lengan, pantat dan tumit menempel pada dinding
tempat microtoice di pasang.
4) Pandangan lurus ke depan, dan tangan dalam posisi tergantung
bebas dan menghadap paha.
5) Diminta responden untuk menarik nafas panjang dan berdiri
tegak tanpa mengangkat tumit untuk menegakkan tulang
belakang.  Usahakan badan tetap santai.
6) Ditarik microtoice hingga menyentuh bagian atas kepala
responden. Microtoice dipastikan berada tepat di tengah kepala
responden. Dalam keadaan ini bagian belakang alat geser harus
tetap menempel pada dinding. Pengukuran tinggi badan
diambil pada saat menarik nafas maksimum. Dengan mata
pengukur sejajar dengan alat petunjuk angka untuk
menghindari kesalahan penglihatan. 
7) Tinggi badan pada jendela dibaca ke arah angka yang lebih
besar (ke bawah). Pembacaan dilakukan tepat di depan angka
(skala) pada garis merah, sejajar dengan mata petugas.
8) Apabila pengukur lebih rendah dari yang diukur, pengukur
harus berdiri di atas bangku agar hasil pembacaannya benar.
Catat tinggi badan pada skala 0,1 cm terdekat. 
9) Pengukuran ini diulang selama tiga kali

2. Prediksi Tinggi Badan berdasarkan Tinggi Lutut

Pengukuran tinggi lutut

a. Diminta responden duduk dengan salah satu kaki ditekuk


hingga membentuk sudut 900 proximal hingga patella. 
b. Diminta responden meletakkan kaki di atas alat pengukur
tinggi lutut dan pastikan kaki subjek membentuk sudut 900
dengan melihat kelurusannya pada tiang alat ukur.
c. Dibaca dengan sedikit menjongkok sehingga mata pembaca
tepat berada pada angka yang ditunjukkan oleh alat ukur.
Dicatat tinggi badan pada skala 0,1 cm terdekat.
3. Perhitungan Waist to Hip Ratio (WHR)
a. Lingkar Pinggang (Lpi)
1) Digunakan pakaian yang longgar (tidak menekan) sehingga alat
ukur dapat diletakkan dengan sempurna. Sebaiknya pita
pengukur tidak berada di atas pakaian yang digunakan.
2) Diarahkan responden berdiri tegak dengan perut dalam keadaan
rileks.
3) Diletakan pengukur menghadap ke subjek dan alat ukur
melingkar pinggang secara horizontal dimana merupakan
bagian paling kecil dari tubuh atau pada bagian tulang rusuk
paling terakhir. Seorang pembantu diperlukan untuk
meletakkan alat ukur dengan tepat.
4) Dilakukan pengukuran di akhir dari ekspresi yang normal dan
alat ukur tidak menekan kulit.
5) Dibaca dengan teliti hasil pengukuran pada pita hingga 0,1 cm
terdekat.
b. Lingkar Panggul (Lpa)
1) Digunakan pakaian yang tidak terlalu menekan sehingga alat
ukur dapat diletakkan dengan sempurna. Sebaiknya pita
pengukur tidak berada di atas pakaian yang digunakan.
2) Diarahkan responden berdiri tegak dengan kedua lengan berada
pada kedua sisi tubuh dan kaki rapat.
3) Diletakan pengukur menghadap ke subjek dan alat ukur
melingkar pinggang secara horizontal dimana merupakan
bagian paling kecil dari tubuh atau pada bagian tulang rusuk
paling terakhir. Seorang pembantu diperlukan untuk
meletakkan alat ukur dengan tepat.
4) Dilakukan pengukuran di akhir dari ekspresi yang normal dan
alat ukur tidak menekan kulit.
5) Dibaca dengan teliti hasil pengukuran pada pita hingga 0,1 cm
terdekat.
4. Pengukuran Lingkar Perut
a. Ditetapkan titik batas tepi tulang rusuk paling bawah.
b. Ditetapkan titik ujung lengkung tulang pangkal paha/panggul.
c. Ditetapkan titik tengah di antara di antara titik tulang rusuk terakhir
titik ujung lengkung tulang pangkal paha/panggul dan tandai titik
tengah tersebut dengan alat tulis.
d. Diminta responden untuk berdiri tegak dan bernafas dengan
normal 
e. Dilakukan pengukuran lingkar perut dimulai/diambil dari titik
tengah kemudian secara sejajar horizontal melingkari pinggang dan
perut kembali menuju titik tengah diawal pengukuran.
f. Dilakukan pengukuran pada bagian atas dari pusar lalu meletekkan
dan melingkarkan alat ukur secara horizontal.
g. Dilihat bagian perut responden, apabila responden mempunyai
perut yang gendut ke bawah, pengukuran mengambil bagian yang
paling buncit lalu berakhir pada titik tengah tersebut lagi.
h. Diukur pita tidak boleh melipat dan ukur lingkar pinggang
mendekati angka 0,1 cm.
5. Pengukuran Lingkar Lengan Atas (LiLA)
a. Menentukan Titik Mid Point Pada Lengan
1) Diminta responden untuk berdiri tegak.
2) Diminta responden untuk membuka lengan pakaian yang
menutup lengan kiri atas (bagi yang kidal gunakan lengan
kanan).
3) Ditekuk tangan responden membentuk 90° telapak tangan
menghadap ke atas. Pengukur berdiri dibelakang menentukan
titik tengah antara tulang rusuk atas bahu kiri dan siku.
4) Ditandai titik tengah tersebut dengan pena.
b. Mengukur Lingkar Lengan Atas (LiLA)
1) Diarahkan responden dengan tangan tergantung lepas dan siku
lurus di samping badan, telapak tangan menghadap ke bawah.
2) Diukur lingar  lengan  atas pada posisi mid point  dengan  pita
LiLA menempel pada kulit dan dilingkarkan pada lengan.
Perhatikan jangan sampai pita menekan kulit atau ada rongga
antara kulit dan pita.
3) Dicatat lingkar lengan atas pada skala 0,1 cm terdekat.
6. Percent Body Fat
a. Penentuan Tebal Lipatan Kulit (TLK)
1) Digunakan ibu jari dan jari telunjuk dari tangan kiri untuk
mengangkat kedua sisi kulit dan lemak subkutan kurang lebih 1
cm proximal dari daerah yang diukur.
2) Diangkat lipatan kulit pada jarak kurang lebih 1 cm tegak lurus
arah garis kulit sampai selesai.
3) Dilakukan pengukuran dalam 4 detik setelah penekanan kulit
oleh caliper dilepas.
b. Pengukuran TLK Pada Tricep
1) Diarahkan responden berdiri tegak dengan kedua lengan
tergantung bebas pada kedua sisi tubuh.
2) Dilakukan pengukuran pada titik mid point (sama pada LiLA).
3) Diletakkan telapak tangan kiri responden  pada bagian lengan
kearah tanda yang telah dibuat dimana ibu jari dan telunjuk
menghadap ke bawah dan pengukur berdiri di belakang
responden. Tricep skinfold diambil dengan menarik pada 1 cm
dari proximal tanda titik tengah tadi.
4) Diukur tricep skinfold dengan mendekati 0,1 mm.
c. Pengukuran TLK Pada Subscapular
1) Diarahkan responden berdiri tegak dengan kedua lengan
tergantung bebas pada kedua sisi tubuh.
2) Diletakkan tangan kiri ke belakang.
3) Diraba scapula dan mencari ke arah bawah lateral sepanjang
batas vertebrata sampai menentukan sudut bawah scapula oleh
pemeriksa untuk  mendapatkan  tempat   pengukuran.
4) Ditarik subscapular skinfold dalam arah diagonal (infero-
lateral) kurang lebih 450 ke arah horizontal garis kulit. Titik
scapula terletak pada bagain bawah sudut scapula.
5) Diletakkan skinfold 1 cm infero-lateral dari ibu jari dan jari
telunjuk yang mengangkat kulit dan subkutan dan ketebalan
kulit diukur mendekati 0,1 mm.
BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Tabel Hasil
1. Indeks Massa Tubuh (IMT)
Adapun hasil praktikum pemeriksaan Indeks Massa Tubuh (IMT)
dengan mengukur tinggi badan (TB) dan berat badan (BB) pada praktikan
didapatkan hasil sebagai berikut:
Tabel 4.1 Penilaian Status Gizi Berdasarkan Indeks Massa
Tubuh(IMT) Mahasiswa Kelompok 3 Kelas C pada Tahun
2018
BB TB
No. Nama IMT
(kg) (cm)
19,21
1. Nur Pratami 47 156,3
Normal
21,30
2. Mitha Rahmila 51,23 155,07
Normal
27,47
3. Darwinda Khaerunnisa 63,5 152,1
Overweight
21,27
4. Diah Puspitasari 53,83 159,1
Normal
16,76
5. Apsela Bunda Gladys 37,73 150,03 Moderate
Thinnes
17,52
6. Ayu Widya Desrianthi 41,83 154,5
Mild Thinnes
26,57
7. Nurul Rida’ Ainun 56,33 145,6
Overweight
35,49
8. Ayunita Chairunnisa 88,03 157,5
Obesitas kelas II
9. A. M. Fadel Ananta P 61 164,56 22,67
Normal
Sumber : Data Primer, 2018
2. Prediksi Tinggi Badan Berdasarkan Tinggi Lutut
Adapun hasil praktikum prediksi tinggi badan berdasarkan tinggi
lutut pada praktikan didapatkan hasil sebagai berikut:

Tabel 4.2 Penilaian Status Gizi Berdasarkan Tinggi Lutut


Mahasiswa Kelompok 3 Kelas C pada Tahun 2018
NO NAMA TL (cm) TB menurut TL
(cm)
1. Nur Pratami 49,57 157,09
2. Mitha Rahmila 47,5 153,8
3. Darwinda Khaerunnisa 47,43 153,68
4. Diah Puspitasari 50,23 158,8
5. Apsela Bunda Gladys 45,9 15,87
6. Ayuwidya Desriathi 47,4 153,62
7. Nurul Rida’ Ainun 44,63 148,55
8. Ayunita Chairunnisa 52,33 162,2
9. A. M. Fadel Ananta P 54 172,5
Sumber: Data Primer,2018
3. Waist to Hip Ratio (WHR)
Adapun hasil praktikum pengukuran Waist to Hip Ratio (WHR)
diperoleh ukuran Lingkar Pinggang (LPi) dan Lingkar Panggul (LPa) pada
praktikan dengan hasil sebagai berikut:
Tabel 4.3 Pengukuran Waist to Hip Ratio (WHR) Mahasiswa
Kelompok 3 Kelas C pada Tahun 2018.
N NAMA LPi LPa WHR KET.
O
1. Nur Pratami 64 75 0,85 Very High
2. Mitha Rahmila 68 76 0,89 Very High
3. Darwinda Khaerunnisa 80 92 0,87 Very High
4. Diah Puspitasari 71 82 0,87 Very High
5. Apsela Bunda Gladys 61 65 0,94 Very High
6. Ayuwidya Desrianthi 64 72 0,89 Very High
7. Nurul Rida’ Ainun 76 85 0,89 Very High
8. Ayunita Chaerunnisa 94 101,2 0,93 Very High
9. A. M. Fadel Ananta P 72 79,2 0,90 High
Sumber: Data Primer, 2018
4. Lingkar Perut
Adapun hasil praktikum pengukuran lingkar perut pada praktikan
adalah sebagai berikut:

Tabel 4.4 Pengukuran lingkar perut (LP) Mahasiswa Kelompok 3


Kelas C pada Tahun 2018.
NO NAMA LP (cm) KETERANGA
N
1. Nur Pratami 69,7 Normal
2. Mitha Rahmila 70 Normal
3. Darwinda Khaerunnisa 87 Tidak Normal
4. Diah Puspitasari 76 Normal
5. Apsela Bunda Gladys 62,5 Normal
6. Ayuwidya Desrianthi 67 Normal
7. Nurul Rida’ Ainun 85 Tidak Normal
8. Ayunita Chairunnisa 100 Tidak Normal
9. A. M. Fadel Ananta P 74,3 Normal
Sumber: Data Primer, 2018
5. Lingkar Lengan Atas (LiLA)
Adapun hasil praktikum pengukuran lingkar lengan atas (LiLA) pada
praktikan adalah sebagai berikut:
Tabel 4.5 Pengukuran lingkar lengan atas (LiLA) Mahasiswa
Kelompok 3 Kelas C pada Tahun 2018.
NO NAMA LiLA (cm) KETERANGAN
1. Nur Pratami 23,2 KEK
2. Mitha Rahmila 28 Normal
3. Darwinda Khaerunnisa 33 Normal
4. Diah Puspitasari 25,8 Normal
5. Apsela Bunda Gladys 20,6 KEK
6. Ayuwidya Desrianthi 22,5 KEK
7. Nurul Rida’ Ainun 29 Normal
8. Ayunita Chairunnisa 42,5 Normal
Sumber: Data Primer, 2018
6. Percent Body Fat (%BF)
Adapun hasil praktikum pengukuran Percent Body Fat (%BF)
diperoleh tebal Tricep (T.Trc) dan tebal Subscapular (T.Sbs) pada
praktikan adalah sebagai berikut:

Tabel 4.6 Pengukuran Percent Body Fat Mahasiswa Kelompok 3


Kelas C pada Tahun 2018
Percent Body Fat
N
Nama T.Trc T.Sbs
o. Hasil % Ket
(mm) (mm)
1. Nur Pratami 15 17 26,57% Healthy
Range
2. Mitha Rahmila 18 16 27,73% Healthy
Range
3. Darwinda 26 22 36% Overwe
Khaerunnisa ight
4. Diah Puspitasari 16 28 33,61% Overwe
ight
5. Apsela Bunda Gladys 14 8 20,8% Under
Fat
6. Ayuwidya Desrianthi 18 10 24,22% Healthy
Range
7. Nurul Rida’ Ainun 24 26 37,21% Overwe
ight
8. Ayunita Chairunnisa 20 30 37,21% Overwe
ight
9. A. M. Fadel Ananta P 11 11 38,36% Obese
Sumber: Data Primer, 2018
B. Pembahasan
1. Indeks Massa Tubuh (IMT)
Pada tabel 4.1 menunjukkan bahwa hasil pengukuran berat badan
praktikan atas nama Nurul Rida’ Ainun adalah 56,33 kg dan memiliki
ukuran tinggi badan 145,6 cm. Sehigga hasil perhitungan Indeks Massa
Tubuh (IMT) praktikan adalah 26,7. Maka, praktikan tergolong
overweight.
Indeks Massa Tubuh merupakan alat yang sederhaa untuk memantau
status gizi orang dewasa khususya yang berkaitan dengan kekurangan dan
kelebihan berat badan (Supariasa, dkk., 2016). Kategori amba batas IMT
untuk Indonesia berdasarkan Pedoman Praktis Pemantauan Status izi
Orang Dewasa oleh Depkes pada tahun 1994 membagi klasifikasi tubuh
menjadi kurus, normal, dan gemuk.
Tubuh kurus dibagi menjadi dua kategori yaitu kekurangan berat
badan tingkat berat yaitu IMT <17,0 dan kekurangan berat badan tingkat
rendah yaitu IMT 17,0-18,5. Klasifikasi tubuh normal berada pada range
IMT >18,5-25,0. Sedangkan klasifikasi tubuh gemuk dikategorikan
menjadi kelebihan berat badan tingkat ringan (overweight) dengan IMT
>25,0-27,0 dan kelebihan berat badan tingkat berat (obese) dengan IMT
>27,0.
Sebagian besar kasus kelebihan berat badan disebabkan oleh gaya
hidup yang tidak sehat. Pola makan yang cenderung mengkonsumsi
makanan junk food serta aktivitas fisik yang kurang menyebabkan
penimbunan lemak dalam tubuh. Kelebihan berat bada jua memicu
terjankitnya berbaai penyakit, seperti penyakit cardivaskuler, stroke,
diabetes dan penyakit degeneratif lainnya.
Overweight dapat diatasi dengan memperbaiki pola hidup.
Menghindari konsumsi junk food dan minuman soft drink. Mengurangi
makanan yang mengandung gula dan tepung tinggi seperti kue dan mie.
Rutin mengosumsi air putih. Melakukan aktifitas fisik serta olahraga
teratur. Upaya tersebut dapat dilakukan melalui penerapan Gerakan
Masyarakat Sehat (GERMAS) dan 10 Pesan Gizi Seimbang dalam
kehidupan sehari-hari.

2. Prediksi Tinggi Badan Berdasarkan Tinggi Lutut.


Pada tabel 4.2 menunjukkan bahwa hasil pengukuran tinggi lutut
praktikan atas nama Nurul Rida’ Ainun adalah 44,63 cm. Sehingga hasil
perhitungan prediksi tinggi badan berdasarkan tinggi lutut praktikan
adalah 148,55 cm. Rasio antara tinggi lutut praktikan dan prediksi tinggi
badan berdasarkan tinggi pada praktikan yaitu 2,95. Hasil tersebut
menunjukkan perbedaan yan tidak terlalu signifikan sehingga pengukuran
yang dilakukan cukup akurat.
Rasio antara hasil perhitungan tinggi lutut dan tinggi badan
menggunakan microtoice dalam memprediksi tinggi badan tidak boleh
lebih dari 5 cm. Seringkali terjadi kesalahan pengukuran pada prediksi ini.
Kesalahan pengukuran biasanya terjadi akibat kekeliruan petugas,
kesalahan alat, kesulitan pengukuran, perubahan hasil pengukuran baik
fisik maupun komposisi jaringan ataupun akibat analisis dan asumsi yang
keliru.
Agar kesalahan pengukuran dapat diminimalisir maka beberapa hal
perlu diperhatikan dalam melakukan pengukuran. Alat yang digunakan
seperti microtoice dan knemometer harus dalam keadaan baik. Praktikan
juga harus dalam posisi tegak dan tidak membungkuk, serta pengukur
harus benar-benar memperhatikan proses pengukuran.

3. Waist to Hip Ratio (WHR)


Pada tabel 4.3 menunjukkan bahwa hasil pengukuran lingkar
pinggang praktikan atas nama Nurul Rida’ Ainun adalah 76 cm dan
lingkar panggul yaitu 85 cm. Maka hasil perhitungan WHR menunjukkan
0,89 dan termasuk dalam kategori very high.
Apabila rasio antara lingkar pinggang dan lingkar pinggul yang
tergolong very high mengindikasikan jumlah lemak dalam perut yang
cukup tinggi. Banyaknya lemak dalam perut menunjukkan ada beberapa
perubahan metabolisme termasuk resistansi terhadap insulin dan
meningkatnya produksi asam lemak bebas, disbanding dengan banyaknya
lemak bawah kulit atau pada kaki dan tangan (Supariasa, dkk., 2016).
WHR dapat menjadi indikator risiko berbagai penyakit, oleh sebab itu
perlu untuk menjaga agar WHR tetap normal dengan mengonsumsi
makanan yang sehat dan diimbangi dengan aktivitas yang menunjang
kesehatan tubuh. Faktor risiko kardiovaskuler akan muncul apabila rasio
lingkar pinggang dan pinggul dengan nilai lebih dari ambang batas.
Dibandingkan dengan IMT pengukuran ini tiga kali lebih besar
merefleksikan keberadaan lemak berbahaya dalam dinding abdomen
(Cilik, 2010). Diperlukan usaha tertentu dalam mengurangi kuantitas
lemak disekitar pinggang seperti olahraga rutin dan pola makan sehat.

4. Lingkar Perut (LP)


Pada tabel 4.4 menunjukkan bahwa hasil pengukuran lingkar perut
praktikan atas nama Nurul Rida’ Ainun adalah 85 cm sehingga tergolong
tidak normal. Nilai ambang batas lingkar perut orang Indonesia pada
wanita yaitu tidak lebih dari 80 cm sedangkan bagi laki-laki 90 cm.
Pengukuran lingkar perut menentukan timbunan lemak di dalam
rongga perut (obesitas sentral) karena peningkatan timbunan lemak di
perut tercermin dari meningkatnya lingkar perut (Gotera, 2006).
Upaya yang dapat dilakukan untuk mengurangi jumlah lemak perut
dalam tubuh yaitu dengan mengonsumsi buah dan sayur untuk
melancarkan proses pencernaan, melakukan olahraga rutin seperti jogging
atau high interval training, membatasi konsumsi yang masuk (jangan
makan sebelum lapar dan berhenti makan sebelum kenyang), serta minum
air putih secara teratur sesuai kebutuhan.

5. Lingkar Lengan Atas (LiLA)


Pada tabel 4.5 menunjukkan bahwa hasil pengukuran lingkar lengan
atas praktikan atas nama Nurul Rida’ Ainun adalah 29 cm sehingga
praktikan tergolong normal.
Di Indonesia batas ambang LiLA dengan resiko KEK adalah 23,5 cm
hal ini berarti ibu hamil dengan resiko KEK diperkirakan akan melahirkan
bayi BBLR. Bila bayi lahir dengan Berat Badan Lahir Rendah (BBLR)
akan mempunyai resiko kematian, gizi kurang, gangguan pertumbuhan,
dan gangguan perkembangan anak. Untuk mencegah resiko KEK pada ibu
hamil sebelum kehamilan wanita usia subur sudah harus mempunyai gizi
yang baik, misalnya dengan LiLA tidak kurang dari 23,5 cm. Apabila
LiLA ibu sebelum hamil kurang dari angka tersebut, sebaiknya kehamilan
ditunda sehingga tidak beresiko melahirkan BBLR (Kristiyanasari, 2010).
Untuk mempertahankan status normal dalam pengukuran LiLA dapat
dilakukann dengan mempertahankan kondisi kesehatan, menerapkan pola
hidup sehat serta memeriksa kehamilan pada petugas kesehatan jika dalam
keadaan hamil.

6. Percent Body Fat (%BF)


Pada tabel 4.6 menunjukkan bahwa hasil pengukuran tricep (T.Trc)
atas praktikan atas nama Nurul Rida’ Ainun adalah 24 cm dan subscapula
(T.Sbs) adalah 26. Hasil perhitungan %BF adalah 37,21% sehingga
praktikan tergolong overweight.
Pada wanita usia 20-40 tahun %BF golongan underfat yaitu < 21%,
healthy range 21-33%, overweight 33-39%, dan obese > 39%. Pengukuran
tebal lipatan kulit merupakan salah satu metode penting untuk menentukan
komposisi tubuh serta persentase lemak tubuh dan untuk menentukan
status gizi cara antropometrik.
Upaya yang dapat dilakukan untuk mengurangi %BF adalah dengan
mengonsumsi buah dan sayur. Buah dan sayur banyak mengandung serat
untuk melancarkan metabolisme, mengurangi konsumsi kalori serta
mengontrol lemak, aktifitas fisik pun perlu ditingkatkan.
BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan
Sesuai dengan tujuan praktikum, maka hasil dari pembahasan hasil
praktikum dapat ditarik kesimpulan:
1. Indeks Massa Tubuh (IMT) praktikan atas nama Nurul Rida’ Ainun,
yaitu 26,57. Pengukuran ini berdasarkan hasil pengukuran tinggi
badan 145,6 cm dan berat badan 56,33 cm. Hasil tersebut tergolong
overweight.
2. Prediksi tinggi badan berdasarkan tinggi lutut praktikan atas nama
Nurul Rida’ Ainun yaitu 148,55 cm dengan tinggi lutut 44,63 cm.
Rasio pengukuran dengan tinggi badan menggunakan microtoice
adalah 2,9 sehingga perhitungan dinyatakan akurat.
3. Hasil perhitungan WHR (Rasio lingkar pinggang dan panggul) dari
praktikan atas nama Nurul Rida’ Ainun yaitu 0,89 dengan lingkar
pinggang (LPi) adalah 76 cm dan lingkar panggul (LPa) adalah 85
cm, sehingga status WHR praktikan termasuk very high.
4. Hasil pengukuran Lingkar perut (LP) dari praktikan atas nama Nurul
Rida’ Ainun adalah 85 cm, maka digolongkan tidak normal.
5. Hasil pengukuran Lingkar Lengan Atas (LiLA) praktikan atas nama
Nurul Rida’ Ainun adalah 29 cm, maka termasuk dalam kateori
normal.
6. Hasil perhitungan Percent body fat praktikan atas nama Nurul Rida’
Ainun adalah 37,21% dengan pengukuran trisep adalah 24 mm dan
pengukuran subscapula adalah 26 mm. Maka praktikan dikateorikan
overweight.

B. Saran
1. Untuk Dosen
Dosen sebaiknya ikut hadir dan mendampingi selama proses
praktikum berlangsung.
2. Untuk Asisten
Asisten sebaiknya tetap membimbing praktikan dengan baik agar
kegiatan praktikum dapat berjalan dengan lancar dan praktikan bisa
mendapatkan manfaat yang maksimal.
3. Untuk Laboratorium
Laboratorium sudah memiliki fasilitas cukup lengkap namun
memiliki ruangan yang terbilang sempit sehingga tidak terlalu
nyaman digunakan untuk banyak orang.
4. Untuk Praktikum
Kegiatan praktikum sebaiknya dilakukan tepat waktu dan sesuai
prosedur.

Anda mungkin juga menyukai