Anda di halaman 1dari 36

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Status gizi merupakan status kesehatan dari suatu individu yang dipengaruhi
oleh asupan makanan dan penggunaan nutrien di dalam tubuh. Status gizi dapat
menjadi predictor suatu outcome penyakit dan juga dapat menjadi salah satu cara
pencegahan dini suatu penyakit. Salah satu metode dalam penentuan status gizi
adalah pengukuran antropometri. Untuk orang dewasa, penentuan status gizi
undernutrisi atau overnutrisi dilakukan dengan menghitung indeks massa tubuh
(IMT). Indeks massa tubuh dapat diperoleh dari hasil pengukuran berat badan dan
tinggi badan pada orang dewasa. (Rasyid & Agussalim Buchar, 2015).
Secara umum antropometri memiliki pengertian pengukuran tubuh manusia.
Antropometri berhubungan dengan berbagai macam pengukuran dimensi tubuh
dan komposisi tubuh untuk berbagai tingkat umur. Pada saat ini antropometri
sering digunakan untuk melakukan skrining kasus kurang gizi karena
penggunaannya relative mudah, murah dan praktis. Sekalipun terkesan mudah, ada
banyak hal yang harus diperhatikan agar mendapatkan hasil pengukuran
antropometri yang akurat. (Kp & Kp, 2016).
Kegunaan dan ruang lingkup antropometri sesungguhnya memiliki cakupan
yang luas. Di bidang gizi, antropometri berguna untuk melihat ketidakseimbangan
asupan protein dan energi. Ketidakseimbangan ini akan tercermin pada pola
pertumbuhan fisik dan proporsi jaringan tubuh seperti lemak, otot dan persentase
air dalam tubuh. Selain itu, antropometri dapat dipergunakan dalam bidang
antropologi ragawi sebagai sarana untuk mengidentifikasi perbedaan antar ras dan
tipetubuh. Antropometri sekarang sangat diperlukan dalam bidang ergonomic
untuk mendapatkan perlatan yang nyaman digunakan sesuai postur tubuh. (Kp &
Kp, 2016).
Antropometri merupakan cara penentuan status gizi yang mudah dan murah.
Indeks massa tubuh (IMT) direkomendasikan sebagai salah satu indikator yang
baik untuk menentukan status gizi remaja. Antropometri sebagai indikator status
gizi dapat dilakukan dengan mengukur beberapa parameter antara lain berat badan,
tinggi badan, lingkar pinggang, lingkar pinggul, dan tebal lemak di bawah kulit.
Remaja memiliki status antropometri yang beragam. Pada masa pertumbuhan
status antropometri pada remaja dapat mengalami perubahan dengan cepat.
(Yunieswati, 2014).
Dalam pemakaian untuk penilaian status gizi, antropometri disajikan dalam
bentuk indeks, misalnya berat badan menurut umur (BB/U), tinggi badan menurut
umur (TB/U) atau berat badan menurut tinggi badan(BB/TB), lingkar lengan atas
menurut umur (LLA/U) dan sebagainya. Karena antropometri sebagai indicator
penilaian status gizi yang paling mudah yang dapat dilakukan dengan mengukur
beberapa parameter, antara lain: umur, berat badan, tinggi badan, lingkar lengan
atas, lingkar kepala, lingkar dada, lingkar pinggul dan tebal lemak di bawah kulit.
Oleh karenaitu, untuk mengetahui status gizi seseorang, maka dilakukan
pengukuran antropometri ini (Wicaksono, Kridalukmana, & Windasari, 2016)
B. Tujuan
Adapun tujuan dari laporan ini agar mahasiswa mampu memahami, yaitu :
1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui status gizi antropometri pada mahasiswa kelas C kelompok I
2. Tujuan Kusus
a. Untuk mengetahui IMT
b. Untuk mengetahui Lila
c. Untuk mengetahui Obesitas Sentral
d. Untuk mengetahui WHR
e. Untuk mengetahui Persen Lemak Tubuh
C. Manfaat
Adapun manfaat dari laporan ini, yaitu agar mahasiswa dapat menambah
informasi tentang pengukuaran antropometri pada mahasiswa kelas C kelompok 1.
dapat lebih memahami hasil pengukuran, titik-titik pengukuran antropometri
Untuk menganalisis berbagai pengukuran dimensi tubuh, ini digunakan.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Indeks Masa Tubuh


Indeks antropometri adalah pengukuran dari beberapa parameter.
Indeksantropometri bisa merupakan rasio dari satu pengukuran terhadap satu
ataulebih pengukuran atau yang dihubungkan dengan umur dan tingkat gizi. Salahsatu contoh
dari indeks antropometri adalah Indeks Massa Tubuh (IMT) atauyang disebut dengan
Body Mass Index (Supariasa, 2002).
Indeks Massa Tubuh (IMT) merupakan alatatau cara yang sederhana untuk
menentukan status gizi orang dewasa,khususnya yang berkaitan dengan kekurangan dan
kelebihan berat badan.Berat badan kurang dapat meningkatkan risiko terhadap
penyakit infeksi,sedangkan berat badan berlebih akan meningkatkan risiko
terhadap penyakit degeneratif (Supariasa, 2002).
Berbagai macam metode antropometri dapat digunakan untuk mengetahui
terjadinya obesitas, metode-metode tersebut antara lain pengukuran indeks masa
tubuh (IMT), lingkar pinggang, lingkar pinggul, lingkar lengan, serta lingkar leher,
indeks masa tubuh merupakan indikator kegemukan yang banyak dilakukan untuk
memperkirakan komposisi lemak tubuh. Indeks masa tubuh (IMT) merupakan
salah satu indeks antropometri sederhana yang digunakan untuk memantau status
gizi orang dewasa 18 tahun ke atas dan berkaitan dengan kekurangan dan
kelebihan berat badan. IMT adalah rasio antara berat badan (kg) dan kuadrat tinggi
badan (m2) (Kumesan, Ticoalu, & Pasiak, 2016).
Indeks Massa Tubuh (IMT) adalah parameter yang ditetapkan oleh WHO
(Badan Kesehatan Dunia) sebagai perbandingan berat badan dengan kuadrat tinggi
badan (Sarwono S, 2001). IMT ditentukan dengan cara mengukur berat dan tinggi
badan secara terpisah kemudian nilai berat dan tinggi tersebut dibagikan untuk
mendapatkan nilai IMT dalam satuan kg/m2. Nilai IMT diberikan atas lima
kriteria yaitu: kurus berat (<17 kg/m2), kurus ringan (17,0 –18,4 kg/m2), normal
(18,5 - 25,0 kg/m2), gemuk ringan (25,1 – 27,0 kg/m2 ) dan gemuk berat ( > 27
kg/m2 ) (Situmorang, 2015).
Alat ukur paling umum yang digunakan untuk mendefinisikan status berat
badan pada anak, remaja, dan dewasa ialah Indeks Massa Tubuh (IMT). Terdapat
perbedaan kriteria perhitungan IMT pada dewasa dengan anak dan remaja dimana
kriteria IMT pada anak dan remaja spesifik terhadap umur dan jenis kelamin. The
Centers for Disease Control and Prevention (CDC) dan American Academy of
Pediatrics (AAP) merekomendasikan penggunaan IMT sebagai skrining untuk
overweight dan obesitas pada anak dari usia dua tahun. Menurut CDC (2015),
dikatakan obesitas bila keadaan indeks massa tubuh (IMT) anak berada di atas
persentil ke-95 dan dikatakan overweight bila keadaan IMT anak berada di atas
persentil ke-85 sampai ke-95 pada grafik tumbuh kembang anak sesuai usia dan
jenis kelaminnya (Kaligis, 2016).
Salah satu metode yang dapat digunakan untuk menentukan BB ideal yaitu
menggunakan rumus Indeks Massa Tubuh (IMT). IMT didapat dengan cara
membagi berat badan (kg) dengan kuadrat dari tinggi badan (meter). Nilai IMT
yang didapat tidak tergantung pada umur dan jenis kelamin. IMT dapat digunakan
untuk menentukan seberapa besar seseorang dapat terkena resiko penyakit tertentu
yang disebabkan karena berat badannya. Berdasarkan kategorinya, WHO membagi
IMT menjadi underweight, normal range, overweight, dan obese. Semakin tinggi
nilai Indeks Massa Tubuh merupakan faktor risiko utama terjadinya berbagai
macam penyakit (Heriansyah, 2014). Untuk mengetahui nilai IMT ini, dapat
dihitung dengan rumus berikut:
Berat badan (Kg)
IMT = Tinggi badan (m)x Tinggi badan (m)

Berat badan menggambarkan jumlah dari protein, lemak, air, dan mineral
pada tulang. Pada remaja, lemak tubuh cenderung meningkat, dan protein otot
menurun. Pada orang yangedema dan asites terjadi penambahan cairan dalam
tubuh. Adanya tumor dapat menurunkan jaringan lemak dan otot, khususnya
terjadi pada orang kekurangan gizi. Pada masa bayi atau balita, berat badan dapat
dipergunakan untuk melihat laju pertumbuhan fisik maupun status gizi, kecuali
terdapat kelainan klinis (dehidrasi, asites, edema, atau adanya tumor). Dapat
digunakan sebagai dasar perhitungan dosis obat dan makanan. Berat badan
menggambarkan jumlah protein, lemak, air dan mineral pada tulang. Pada remaja,
lemak cenderung meningkat dan protein otot menurun. Pada klien edema dan
asites, terjadi penambahan cairan dalam tubuh. Adanya tumor dapat menurunkan
jaringan lemak dan otot, khususnya terjadi pada orang kekurangan gizi (Supariasa,
2002).
Berat badan (BB) menggambarkan masa tubuh (otot danlemak). Berat badan
menurut umur merupakan ukuran yang baik untuk mengetahui keadaan gizi anak–anak,
terutama anak golongan umur 0-5tahun (Balita). Ukuran ini juga memberi
gambaran yang baik tentang pertumbuhan anak (Sirajuddin, 2012).
Tinggi badan merupakan antropometri yang menggambarkan keadaan
pertumbuhan skeletal. Pada keadaan normal, tinggi badan tumbuh seiringdengan
pertambahan umur. Pertumbuhan tinggi badan tidak seperti berat badan, relatif
kurang sensitif terhadap masalah kekurangan gizi dalam waktuyang pendek.
Pengaruh defisiensi zat gizi terhadap tinggi badan akan nampak dalam waktu yang
relatif lama (Sirajuddin, 2012).
BB/TB merupakan indikator yang baik untuk indikator menyatakan status
gizi saat ini, terlebih bila data umur yang akurat sulit diperoleh. Oleh karena itu
Indeks BB/TB disebut juga indikator status gizi yang independent terhadap umur.
Karena Indeks BB/TB yang dapat memberikangambaran tentang proporsi berat
badan relatif terhadap tinggi badan, makadalam penggunaannya indeks ini
merupakan indikator kekurusan (Sirajuddin, 2012).
A. LILA
Lingkar lengan atas dewasa ini memang merupakan salah satu pilihan untu
penentuan status gizi, karena mudahdilakukan dan tidak memerlukan alat-alat
yang sulit diperoleh dengan hargayang lebih murah. Akan tetapi, ada beberapa hal
yang perlu diperhatikan,terutama jika digunakan sebagai pilihan tunggal untuk
indeks status gizi (Supariasa, 2002).
Pengukuran lingkar lengan atas untuk mengetahui kelompok yang beresiko
kekurangan energi kronik atau KEK maupun yang mengalami kelebihan distribusi
lemak di bagian lengan pada orang yang mengalami obesitas. Lingkar lengan atas
dewasa ini memang merupakan salah satu pilihan untuk menentukan gizi, karena
mudah dilakukan dan memerlukan alat-alat yang tidak sulit untuk diperoleh
(Kumesan et al., 2016).
Pengukuran LILA merupakan suatu cara untuk mengetahui resiko
Kekurangan Energi Protein (KEP) pada wanita usia subur (WUS). Pemantauan
LILA tidak dapat digunakan untuk memantau perubahan status gizi dalam jangka
pendek. Menurut Depkes RI (1994) pengukuran LILA pada kelompok WUS
adalah salah satu cara deteksi dini yang mudah untuk mengetahui resiko
Kekurangan Energi Kronis (KEK) (Sirajuddin, 2012).
Ambang batas LILA (Lingkar Lengan Atas) wanita usia subur
denganrisiko KEK di Indonesia adalah 23,5 cm. Apabila ukuran LILA kurang
dari23,5 cm atau di bagian merah pita LILA, artinya wanita tersebut
mempunyairisiko KEK, dan diperkirakan akan melahirkan berat bayi lahir rendah
(BBLR) (Sirajuddin, 2012).
Menurut Supariasa (2002), prosedur kerja pengukuran lingkar lengan atas
adalah sebagai berikut:
1. Tentukan titik mid point pada lengan dengan menekuk lengan subjek membentuk 90°,
dengan telapak tangan menghadap ke atas. Pengukur berdiri di belakang subjek
dan menetukan titik tengah antara tulang ataspada bahu kiri dan siku. Tandailah
titik tengah tersebut.
2. Ukurlah lingkar lengan atas pada posisi mid point dengan pita LILA menempel
pada kulit. Perhatikan jangan sampai pita menekan kulit atauada rongga antara
kulit dan pita.
3. Lingkar lengan atas dicatat pada skala 0,1 cm terdekat.
Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pengukuran LILA adalah
pengukuran dilakukan di bagian tengah antara bahu dan siku lengan kiri (kecuali
orang kidal diukur pada lengan kanan). Lengan harus dalam posisibebas, lengan
baju dan otot lengan dalam keadaan tidak tegang atau kencang. Alat pengukur
dalam keadaan baik dalam arti tidak kusut atau sudah dilipat-lipat sehingga
permukaannya sudah tidak rata (Sirajuddin, 2012).
Beberapa hal yang perlu mendapat perhatian pada pengukuran ini adalah :
1. Baku Lingkar Lengan Atas (LILA) yang sekarang digunakan belum mendapat pengujian
yang memadai untuk digunakan di Indonesia. Hal inididasarkan pada hasil-hasil
penelitian yang umumnya menunjukkanperbedaan angka prevalensi
Kekurangan Energi Protein (KEP) yang cukupberarti antar penggunaan LILA
di satu pihak dengan berat badan menurutumur atau berat badan menurut tinggi
badan maupun indeks-indeks lain dipihak lain, sekalipun dengan LILA.
2. Kesalahan pengukuran pada LILA (pada berbagai tingkat
keterampilanpengukur) relatif lebih besar dibandingkan dengan tinggi badan,
megingatbatas antara baku dengan gizi kurang, lebih sempit pada LILA dari
padatinggi badan. Ini berarti kesalahan yang sama besar jauh lebih berarti
padaLILA dibandingkan dengan tinggi badan.
3. Lingkar lengan atas sensitif untuk semua golongan tertentu (prasekolah)tetapi
kurang sensitif pada golongan lain terutama orang dewasa. Tidak demikian
halnya dengan berat badan.
B. Obesitas Sentral
Obesitas sentral didefinisikan sebagai penumpukan lemak dalam tubuh
bagian perut yang diakibatkan oleh jumlah lemak berlebih pada jaringan lemak
subkutan dan lemak viseral perut. Penumpukan lemak pada jaringan lemak
visceral merupakan bentuk dari tidak berfungsinya jaringan lemak subkutan dalam
menghadapi ketidakseimbangan energi pada tubuh. Resiko kesehatan pada tipe ini
lebih tinggi dibandingkan dengan tipe menyerupai perifer karena sel-sel lemak di
sekitar perut lebih siap melepaskan lemaknya ke dalam pembuluh darah
dibandingkan dengan sel-sel lemak ditempat lain (Putri, Udiyono, Adi, &
Saraswati, 2016).
Obesitas sentral merupakan salah satu penyebab terjadinya penyakit-
penyakit degeneratif, seperti diabetes melitus tipe 2, dislipidemia, penyakit
jantung, hipertensi, kanker, sleep apnea, dan sindrom metabolik. Sindroma
metabolik merupakan suatu kumpulan gangguan metabolic yang mencakup
intoleransi glukosa (diabetes melitus tipe 2, impaired glucose tolerance, atau
impaired fasting glucose), resistensi insulin, obesitas sentral, dislipidemia dan
hipertensi, yang kesemuanya merupakan faktor risiko untuk penyakit
kardiovaskular (Putri et al., 2016).
Salah satu kelompok umur yang berisiko terjadinya gizi lebih adalah
kelompok umur usia remaja. Alasan mengapa remaja dikategorikan berisiko
adalah (1) Percepatan pertumbuhan dan perkembangan tubuh memerlukan energi
dan zat gizi yang banyak; (2) Perubahan gaya hidup dan kebiasaan pangan
menuntut penyesuaian masukan energi dan zat gizi; (3) Keikutsertaan dalam
olahraga, kecanduan alkohol, dan obat, tidak sedikit remaja yang makan secara
berlebihan dan akhirnya mengalami obesitas (Putri et al., 2016).
Obesitas sentral sering disebut juga tipe android atau viseral adalah suatu
keadaan dimana penimbunan lemak terjadi secara berlebihan dan jauh melebihi
normal di daerah abdomen. Jaringan lemak intra abdominal terdiri lemak viseral
atau intraperitoneal yang terutama terdiri dari lemak omental dan messenterial
serta massa lemak retroperitoneal yang terletak sepanjang perbatasan dorsal usus
dan bagian permukaan ventral ginjal (Sundari, Masdar, & Rosdianan, 2015).
Lingkar perut diukur dari titik tengah batas/margin tulang rusuk bawah dan
batas tulang Krista iliaka kanan dan kiri kemudian diukur secara horizontal dengan
dengan menggunakan pita pengukur. Pengukuran dilakukan dengan cara subjek
diminta dengan cara yang santun untuk membuka pakaian bagian atas untuk
menentukan titik pengukuran namun jika keberatan maka responden boleh
memakai pakaian yang tipis tidak terlalu tebal. Pengukuran lingkar perut
dilakukan oleh pengukur yang jenis kelaminnya sama dengan responden.
Responden tergolong obesitas abdominal berdasarkan kriteria WHO untuk orang
dewasa Asia yaitu jika lingkar perut responden laki-laki ≥ 90 cm dan wanita
adalah ≥ 80 cm sedangkan bukan tergolong obesitas abdominal jika lingkar perut
responden laki-laki <90 cm dan lingkar perut perempuan <80 cm (Septyaningrum
& Martini, 2014).
Menurut The US National Cholesterol Education Program (NCEP) Adult
Treatment Panel (ATP) III 2001 obesitas sentralis direpresentasikan sebagai
lingkar pinggang 102 cm atau 40 inchi (pria), 88 cm atau 36 inchi (wanita).
Menurut WHO 1999, obesitas digambarkan sebagai obesitas sentralis yang
direpresentasikan sebagai rasio lingkar pinggang pinggul > 0,90 (pria), > 0,85
(wanita), dan/atau IMT > 30 kg/m2.5 Menurut The European Group for the Study
of Insulin Resistance (EGIR) 1999, obesitas direpresentasikan sebagai obesitas
sentralis untuk ria lingkar pinggang 94 cm dan untuk wanita lingkar pinggang 80
cm.6 Menurut The International Diabetes Federation (IDF) 2006, obesitas
direpresentasikan sebagai obesitas sentralis yang didefinisikan sebagai lingkar
pinggang, dengan nilai yang disesuaikan dengan etnis, jika Indeks Massa Tubuh
(IMT) 30 kg/m2. maka obesitas sentral diasumsikan ada dan lingkar pinggang
tidak harus diukur. Baru-baru ini, IDF 2006 mengusulkan nilai titik potong yang
umum untuk semua populasi Asia termasuk Jepang, 90 cm untuk pria dan 80 cm
untuk para wanita (Bantas, Koesnanto, & Moelyono, 2013).
C. WHR
Waist to Hip Ratio (WHR) atau rasio lingkar pinggang dan panggul
diyakini sebagai prediktor yang baik untuk menilai risiko penyakit kardiovaskular
(Khaira, Sulastri, & Semiarty, 2005).
Rasio lingkar pinggang panggul diukur dari hasil perbandingan nilai
pengukuran lingkar pinggang atau lingkar perut terhadap lingkar panggul yang
diukur melalui tonjolan gluteus yang paling maksimal. Responden tergolong
mengalami obesitas abdominal berdasarkan ukuran rasio lingkar pinggang panggul
jika rasio lingkar pinggang panggul pada laki-laki > 0,9 dan pada wanita > 0,8 dan
tidak mengalami obesitas abdominal jika rasio lingkar pinggang panggul pada
laki-laki ≤ 0,9 dan pada perempuan ≤ 0,8 (Septyaningrum & Martini, 2014).
Berdasarkan distribusi lemak tubuh, dapat dilakukan pengukuran lingkar
pinggang (waist circumferrence) dan rasio lingkar pinggang panggul (waist hip
ratio). Dibandingkan dengan pengukuran IMT, pengukuran antropometri dari
obesitas abdominal, seperti lingkar pinggang dan rasio lingkar pinggang panggul
memiliki hubungan yang lebih kuat dengan faktor risiko metabolik dan penyakit
kardiovaskular (Mahmudah, Cahyati, & Wahyuningsih, 2013).
Banyaknya lemak dalam perut menunjukkan ada beberapa perubahan
metabolisme, termasuk terhadap insulin dan meningkatnya produksi asamlemak
bebas, dibanding dengan banyaknya lemak bawah kulit pada kaki dan tangan. Perubahan
metabolisme memberikan gambaran tentang pemeriksaanpenyakit yang
berhubungan dengan perbedaan distribusi lemak tubuh. Ukuran yang umum
digunakan adalah rasio lingkar pinggang-pinggul. Pengukuran lingkar pinggang
dan panggul harus dilakukan oleh tenaga terlatih dan posisi pengukuran harus
tepat, karena perbedaan posisi pengukuran memberikan hasil yang berbeda
(Esmaillzadeh, 2004).
Dari hasil penelitian Lawrence (2007) menyimpulkan hubungan antara
lingkar pinggang, lingkar pinggal-panggul dan rasio lingkar pinggang danpanggul
terhadap risiko kardiovaskuler. Obesitas yang diukur dengan lingkarpinggang dan
rasio lingkar pinggang-panggul secara signifikan berhubungan dengan risiko
kejadian insiden kardiovaskuler. Kenaikan 1 cm di lingkarpinggang dikaitkan
dengan peningkatan 2% risiko masa depan kardiovaskuler dan peningkatan 0,01 di
rasio lingkar pinggang-panggul dikaitkan dengan peningkatan 5% dalam risiko.
Hasil ini konsisten pada pria dan wanita (Sirajuddin, 2012).
Hasil penelitian yang dilakukan Esmaillzadeh (2004) yang dilakukan pada
pria dewasa di kota Tahrenian menyimpulkan bahwa semua indicator antropometrik
memiliki hubungan yang signifikan dengan faktor-faktor risiko kardiovaskular,
rasio pinggang-panggul memiliki koefisien korelasi tertinggi dibandingkan dengan
ukuran antropometri lainnya. Untuk semua faktor risikodi semua kategori usia,
kemungkinan tertinggi rasio yang tergolong rasio pinggang-panggul. Dari empat
indikator individu, rasio lingkar pinggang-panggul memiliki sensitivitas tertinggi,
spesifisitas dan akurasi untuk memprediksi faktor risiko kardiovaskular. Cutoff
poin untuk rasio lingkar pinggang-panggul terlihat memiliki persentase yang lebih
tinggi dari prediksi yang tepat dari BMI, lingkar pinggang dan rasio pinggang
terhadap tinggi disemua kategori usia (Esmaillzadeh, 2004).
WHR (Waist to Hip Ratio) merupakan salah satu pengukuran
untuk menentukan status gizi perorangan. WHR ini diperoleh dengan
membagiantara lingkar pinggang dan lingkar panggul. Rumus Waist to Hip Ratio
(WHR) :
Lingkar Pinggang (LPi)
WHR = Lingkar Panggul (LPa)

Lingkar pinggang diukur dengan cara responden berdiri tegak, posisi


tangan di samping, dan kaki dirapatkan. Responden diminta untuk mengangkat
bajunya sedikit ke atas dan menghembuskan napas secara perlahan untuk
mencegah kontraksi otot abdomen saat menahan napas. Pita ukur tidak menekan
kulit dan nilai lingkar pinggang diambil dalam milimeter terdekat (Khaira et al.,
2005).
Posisi responden pada saat pengukuran lingkar panggul sama dengan
pengukuran lingkar pinggang akan tetapi pengukuran dilakukan pada lingkaran
terluas dari panggul responden dengan tetap memakai celana dan dinilai pada
milimeter terdekat (Khaira et al., 2005).
Ukuran lingkar pinggang orang Asia berdasarkan WHO dikatakan
mengalami peningkatan risiko terkena penyakit tidak menular jika mempunyai
lingkar pinggang >80 cm, sedangkan lingkar pinggang >88 cm dikatakan secara
substansial meningkatkan risiko penyakit degenerative. Berdasarkan WHO tahun
2004, maka IMT 23,00-27,49 setara dengan lingkar pinggang >80 cm yang berarti
terdapat peningkatan risiko terkena penyakit tidak menular, sedangkan lingkar
pinggang >88 cm setara dengan IMT ≥27,50 (resiko sangat tinggi) (Esmaillzadeh,
2004).
D. Persen Lemak Tubuh
Persen lemak tubuh adalah perbandingan berat lemak tubuh dibandingkan
dengan total berat penyusun tubuh lainnya (lemak, otot, tulang, air) (Amrinanto,
2016).
Persen lemak tubuh merupakan indikator paling tepat untuk
mengidentifikasi kegemukan namun memerlukan alat yang relatif mahal dan untuk
pengukuran tebal lemak bawah kulit memerlukan keterampilan pengukur yang
tinggi (Wirawan, 2016).
Pengukuran lemak tubuh menggunakan BIA sangat baik karena tidak
melukai bagian tubuh, lebih cepat digunakan, lebih mudah, lebih sederhana dan
murah dibandingkan alat ukur lainnya. Pengukuran lain yang direkomendasikan
untuk mengukur persen lemak tubuh adalah berat badan menurut tinggi badan atau
IMT sering digunakan sebagai alat untuk menentukan status gizi karena sederhana
dan murah untuk digunakan serta praktis untuk dibongkar dan dipasang di
lapangan (Sitoayu & Sudiarti, 2016).
Pengukuran lemak tubuh melalui pengukuran ketebalan lemak bawah kulit
(skinfold) dilakukan pada beberapa bagian tubuh, misal lengan atas (tricep dan
bicep), lengan bawah (forearm), tulang belikat (subscapular), ditengah garis ketiak
(midaxillary), sisi dada (pectoral), perut (abdominal),suprailiaka, paha, tempurung
lutut (suprapatellar), pertngahan tungkai bawah (medial calv) (Sirajuddin, 2012).
Lemak tubuh juga dapat diukur dengan menggunakan skinfold thickness.
Skinfold thickness memiliki korelasi kuat dengan berbagai macam hasil
pemeriksaan laboratorium terhadap lemak tubuh. Lingkar pinggang juga
merupakan salah satu pengukuran yang dapat digunakan untuk mengukur total
lemak tubuh danmemiliki korelasi yang kuat dibandingkan total lemak tubuh yang
diukur dengan densitometry (Sitoayu & Sudiarti, 2016).
BAB III
METODE PENELITIAN

A. Waktu dan Tempat Penelitian


Adapun waktu dan tempat penelitian penilaian status gizi, yaitu:
Hari/Tanggal : Rabu, 9 Mei 2018
Waktu : Pukul 13.00-15.00 WITA
Tempat : Ruang FKM 8 Universitas Tadulako
B. Alat
Adapun alat yang digunakan pada penelitian ini yaitu:
1. Timbangan Digital Seca
2. Microtoice
3. Pita LILA
4. Pita circumference
5. Skinfold caliper
C. Prosedur Kerja
Adapun prosedur kerja pada penelitian ini, yaitu:
1. Indeks Massa Tubuh (IMT)
a. Pengukuran Berat Badan
1) Responden mengenakan pakaian biasa (usahakan dengan pakaian yang
minimal).
2) Responden tidak menggunakan alas kaki.
3) Dipastikan timbangan berada pada penunjukan skala dengan angka 0,0.
4) Responden diminta naik ke alat timbang dengan berat badan tersebar
merata pada kedua kaki dan posisi kaki tepat di tengah alat timbang tetapi
tidak menutupi jendela baca.
5) Diperhatikan posisi kaki responden tepat di tengah alat timbang, usahakan
agar responden tetap tenang dan kepala tidak menunduk (memandang
lurus kedepan).
6) Angka di kaca jendela alat timbang akan muncul, dan ditunggu sampai
angka tidak berubah (statis).
7) Dibaca dan dicatat berat badan pada tampilan dengan skala 0.1 terdekat.
8) Responden diminta turun dari alat timbang.
b. Pengukuran Tinggi Badan
1) Responden tidak mengenakan alas kaki (sandal/sepatu), topi (penutup
kepala). Posisikan responden tepat di bawah microtoice.
2) Reponden diminta berdiri tegak, persis di bawah alat geser.
3) Posisi kepala dan bahu bagian belakang, lengan, pantat dan tumit
menempel pada dinding tempat microtoise di pasang.
4) Pandangan lurus ke depan, dan tangan dalam posisi tergantung bebas
dan menghadap paha.
5) Responden diminta menarik nafas panjang untuk membantu
menegakkan tulang rusuk. Usahakan badan tetap santai.
6) Gerakan alat geser sampai menyentuh bagian atas kepala responden.
Pastikan alat geser berada tepat di tengah kepala responden. Dalam
keadaan ini bagian belakang alat geser harus tetap menempel pada
dinding.
7) Dibaca angka tinggi badan pada jendela baca ke arah angka yang lebih
besar (ke bawah). Pembacaan dilakukan tepat di depan angka (skala)
pada garis merah, sejajar dengan mata petugas.
8) Apabila pengukur lebih rendah dari yang diukur, pengukur harus
berdiri di atas bangku agar hasil pembacaannya benar. Catat tinggi
badan pada skala 0,1 cm terdekat.
2. Pengukuran Lingkar Lengan Atas (LILA)
a. Penentuan Titik Mid Point Pada Lengan
1) Responden diminta berdiri tegak.
2) Responden diminta untuk membuka lengan pakaian yang menutup lengan
kiri atas (bagi yang kidal gunakan lengan kanan).
3) Tekukan tangan responden membentuk 900 dengan telapak tangan
menghadap ke atas. Pengukur berdiri dibelakang dan menentukan titik
tengah antara tulang rusuk atas pada bahu kiri dan siku.
4) Ditandai titik tengah tersebut dengan pena.
b. Mengukur Lingkar Lengan Atas (LILA)
1) Dengan tangan tergantung lepas dan siku lurus di samping badan, telapak
tangan menghadap ke bawah.
2) Diukur lingar lengan atas pada posisi mid point dengan pita LILA
menempel pada kulit dan dilingkarkan secara hotizontal pada lengan.
Perhatikan jangan sampai pita menekan kulit atau ada rongga antara kulit
dan pita.
3) Lingkar lengan atas dicatat pada skala 0,1 cm terdekat
3. Pengukuran Lingkar Perut
a. Mintalah dengan cara yang santun pada responden untuk membuka pakaian
bagian atas atau menyingkapkan pakaian bagian atas dan raba tulang rusuk
terakhir responden untuk menetapkan titik pengukuran.
b. Ditetapkan titik batas tepi tulang rusuk paling bawah.
c. Ditetapkan titik ujung lengkung tulang pangkal paha/panggul.
d. Ditetapkan titik tengah di antara di antara titik tulang rusuk terakhir titik
ujung lengkung tulang pangkal paha/panggul dan tandai titik tengah tersebut
dengan alat tulis.
e. Responden diminta untuk berdiri tegak dan bernafas dengan normal
(ekspirasi normal).
f. Dilakukan pengukuran lingkar perut dimulai/diambil dari titik tengah
kemudian secara sejajar horizontal melingkari pinggang dan perut kembali
menuju titik tengah diawal pengukuran.
g. Pengukuran juga dapat dilakukan pada bagian atas dari pusar lalu
meletekkan dan melingkarkan alat ukur secara horizontal
h. Apabila responden mempunyai perut yang gendut ke bawah, pengukuran
mengambil bagian yang paling buncit lalu berakhir pada titik tengah tersebut
lagi.
i. Pita pengukur tidak boleh melipat dan ukur lingkar pinggang mendekati
angka 0,1 cm.
4. Pengukuran Waist to Hip Rasio (WHR)
a. Pengukuran Lingkar Pinggang
1) Responden menggunakan pakaian yang longgar (tidak menekan)
sehingga alat ukur dapat diletakkan dengan sempurna. Sebaiknya pita
pengukur tidak berada di atas pakaian yang digunakan.
2) Responden berdiri tegak dengan perut dalam keadaan rileks.
3) Pengukur menghadap ke subjek dan meletakkan alat ukur melingkar
pinggang secara horizontal dimana merupakan bagian paling kecil dari
tubuh atau pada bagian tulang rusuk paling terakhir. Seorang pembantu
diperlukan untuk meletakkan alat ukur dengan tepat.
4) Pengukuran dilakukan di akhir dari ekspresi yang normal dan alat ukur
tidak menekan kulit.
5) Dibaca dengan teliti hasil pengukuran pada pita hingga 0,1 cm terdekat.
b. Pengukuran Lingkar Panggul
1) Responden mengenakan pakaian yang tidak terlaku menekan.
2) Responden berdiri tegak dengan kedua lengan berada pada kedua sisi
tubuh dan kaki rapat.
3) Pengukur jongkok di samping responden sehingga tingkat maksimal dari
penggul terlihat.
4) Alat pengukur dilingkarkan secara horizontal tanpa menekan kulit.
Seorang pembantu diperlukan untuk meletakkan alat ukur dengan tepat
5) Dibaca dengan teliti hasil pengukuran pada pita hingga 0,1 cm terdekat.
5. Penentuan Tebal Lipatan Kulit (Persen Lemak Tubuh)
a. Petunjuk Umum
1) Ibu jari dan jari telunjuk dari tangan kiri digunakan untuk mengangkat
kedua sisi kulit dan lemak subkutan kurang lebih 1 cm proximal dari
daerah yang diukur.
2) Lipatan kulit diangkat pada jarak kurang lebih 1 cm tegak lurus arah garis
kulit.
3) Lipatan kulit tetap diangkat sampai pengukuran selesai.
4) Caliper dipegang oleh tangan kanan.
5) Pengukuran dilakukan dalam 4 detik setelah penekanan kulit oleh caliper
dilepas.
b. Pengukuran TLK Pada Tricep
1) Responden berdiri tegak dengan kedua lengan tergantung bebas pada
kedua sisi tubuh.
2) Pengukuran dilakukan pada titik mid point (sama pada LILA).
3) Pengukur berdiri di belakang responden dan meletakkan telapak tangan
kirinya pada bagian lengan kearah tanda yang telah dibuat dimana ibu jari
dan telunjuk menghadap ke bawah. Tricep skinfold diambil dengan
menarik pada 1 cm dari proximal tanda titik tengah tadi.
4) Tricep skinfold diukur dengan mendekati 0,1 mm.
c. Pengukuran TLK Pada Subscapular
Responden berdiri tegak dengan kedua lengan tergantung bebas pada
kedua sisi tubuh.
1) Tangan diletakkan kiri ke belakang.
2) Untuk mendapatkan tempat pengukuran, pemeriksa meraba scapula
dan mencarinya ke arah bawah lateral sepanjang batas vertebrata sampai
menenetukan sudut bawah scapula.
3) Subscapular skinfold ditarik dalam arah diagonal (infero-lateral) kurang
lebih 450 ke arah horizontal garis kulit. Titik scapula terletak pada bagain
bawah sudut scapula.
4) Caliper diletakkan 1 cm infero-lateral dari ibu jari dan jari telunjuk yang
mengangkat kulit dan subkutan dan ketebalan kulit diukur mendekati 0,1
mm.
D. Standar
1. Indeks Massa Tubuh (IMT)
Untuk mengetahui nilai IMT ini, dapat dihitung dengan rumus berikut
(Sirajuddin, 2012):
𝐵𝑒𝑟𝑎𝑡 𝐵𝑎𝑑𝑎𝑛 (𝐾𝑔)
IMT = 𝑇𝑖𝑛𝑔𝑔𝑖 𝐵𝑎𝑑𝑎𝑛(𝑚)𝑥 𝑇𝑖𝑛𝑔𝑔𝑖 𝐵𝑎𝑑𝑎𝑛(𝑚)

Dalam Riskesdas (2007) dibedakan kategori ambang batas IMT


untuk Indonesia seperti Tabel berikut
2. Lingkar Lengan Atas (LILA)
Di Indonesia nilai cut-off point LILA yang digunakan saat ini adalah 23,5
cm. Berdasarkan nilai cut-off pointnya, hasil pengukuran LILA terdiri dari 2
kategori yaitu, kurang dari 23,5 cm dan lebih atau sama dengan 23,5 cm
(Depkes RI, 1994).
Ambang batas LILA (Lingkar Lengan Atas) wanita usia subur
denganrisiko KEK di Indonesia adalah 23,5 cm. Apabila ukuran LILA kurang
dari23,5 cm atau di bagian merah pita LILA, artinya wanita tersebut
mempunyairisiko KEK, dan diperkirakan akan melahirkan berat bayi lahir
rendah (BBLR) (Supriasa, 2002).
3. Obesitas Sentral
Orang Asia dikatakan obesitas jika memiliki LP ≥ 90 cm pada laki-laki
dan LP ≥ 80 cm pada perempuan (Susilawati, Muljati, & Bantas, 2015).

4. Waist to Hip Rasio (WHO)


Lingkar pinggang adalah ukuran antropometri yang dapat digunakan
untuk menentukan obesitas sentral, dan kriteria untuk Asia Pasifik yaitu ≥ 90
cm untuk pria, dan ≥ 80 cm untuk wanita (Yunieswati, 2014)
Data lingkar pinggang dibagi dengan data lingkar pinggul untu
mendapatkan data RLPP dan pada pria dikategorikan menjadi normal <0,90
cm dan beresiko ≥ 0.90 cm, sementara wanita dikategorikan menjadi normal
<0,85 dan beresiko ≥ 0.85 cm (WHO, 2008).
Rumus Waist to Hip Ratio (WHR) dalam Sirajuddin (2012), yaitu:

5. Persen Lemak Tubuh


Data persen lemak tubuh pada pria dikategorikan berdasarkan alat
Omron Body Fat Monitor HBF-306 sebagai rendah 4-8%, dan tinggi 18-24%,
dan sangat tinggi >24%, sedangkan pada wanita dikategorikan sebagai rendah
4-20%, normal 20-29%, tinggi 29-36%, dan sangat tinggi >36% (Yunieswati,
2014)
5
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil
1. Tabel Hasil Pengukuran Antropometri

No BB TB Subsca Lingkar Lingkar Lingkar


Nama LILA Bisep
(kg) (cm) pular Perut Pinggang Panggul
1 Moh. Rizaldi 76.2 174.5 29.5 12 20 90 81 102
2 Anggreani 57.6 158.5 28 18 22 77 86.5 95.5
3 Mariana 48 150 26.4 12 18 71 80 89
4 Nurul Hidayah 58.7 151 27.8 14 30 76 94 102
5 Sriwinda 52.1 146 25 12 23 73 81.3 97
6 Sri Utami 49.2 159 24 9 20 66 79 93
7 Zainal 58.2 161 26.4 10 17 79 68 99
8 Galuh Nurul 53.4 157 26 10 22 74 88 92
9 Hajri Wahyuni 33.4 140 20 10 13 58 69 78
10 Tia Septi I. 38.7 152.5 21 10 18 73.5 60.5 87.8
11 Shinta 54.2 143 27.5 20 30 83.9 89 100
12 Ester Varida 54.3 153.5 28 12 18 74 80 96
13 Muh. Irfan 68 169 28.5 12 16 88 81 99
14 Khaerunisa 43.9 147 25 4 18 69 74 88
15 Taqbiranda 76,6 162.5 35 21 18 86 90 112
16 Stevi A. 61.1 160 30 17 30 84 88 93
17 Fauziah R. 42.2 157.5 22.5 9 17 64 70 86
18 Komariyah 35 145 20.5 21.5 19 63 70.5 82.5
19 Moh. Yusril 46.4 163 24 9 16 68 59 70

2. Tabel Hasil Pengukuran Indeks Massa Tubuh

NO Nama BB (kg) TB (cm) IMT KETERANGAN


1 Moh. Rizaldi 76.2 175 24.88 NORMAL
2 Anggreani 57.6 158.5 22.93 NORMAL
3 Mariana 48 150 21.33 NORMAL
4 Nurul Hidayah 58.7 151 25.74 NORMAL
5 Sriwinda 52.1 146 24.44 NORMAL
6 Sri Utami Lamalaka 49.2 159 19.46 NORMAL
7 Zainal 58.2 161 22.45 NORMAL
8 Galuh Nurul Fatimah 53.4 157 21.66 NORMAL
9 Hajri Wahyuni 33.4 140 17.04 UNDERWEIGHT
10 Tia Septi Inggriani 38.7 152.5 16.64 UNDERWEIGHT
11 Shinta 54.2 143 26.50 OVERWEIGHT
12 Ester Varida 54.3 153.5 23.05 NORMAL
13 Muh. Irfan 68 169 23.81 NORMAL
14 Khaerunisa 43.9 147 20.32 NORMAL
15 Taqbirandda Sekar 76.69 162.5 29.04 OVERWEIGHT
16 Stevi A. 61.1 160 23.87 NORMAL
17 Fauziah 42.2 157.5 17.01 UNDERWEIGHT
18 Komariyah 35 145 16.65 UNDERWEIGHT
19 Mohammad Yusril 46.4 163 17.46 UNDERWEIGHT

3. Tabel Hasil Pengukuran LILA

NO Nama JK LILA KETERANGAN


1 Moh. Rizaldi L 29.5 TIDAK KEK
2 Anggreani P 28 TIDAK KEK
3 Mariana P 26.4 TIDAK KEK
4 Nurul Hidayah P 27.8 TIDAK KEK
5 Sriwinda P 25 TIDAK KEK
6 Sri Utami Lamalaka P 24 TIDAK KEK
7 Zainal L 26.4 TIDAK KEK
8 Galuh Nurul Fatimah P 26 TIDAK KEK
9 Hajri Wahyuni P 20 KEK
10 Tia Septi Inggriani P 21 KEK
11 Shinta P 27.5 TIDAK KEK
12 Ester P 28 TIDAK KEK
13 Muh. Irfan L 28.5 TIDAK KEK
14 Khaerunisa P 25 TIDAK KEK
15 Taqbirandda Sekar P 35 TIDAK KEK
16 Stevi P 30 TIDAK KEK
17 Fauziah R. P 22.5 KEK
18 Komariyah P 20.5 KEK
19 Mohammad Yusril L 24 TIDAK KEK
4. Tabel Hasil Pengukuran Lingkar Perut

LINGKAR
NO Nama JK KETERANGAN
PERUT
1 Moh. Rizaldi L 90 NORMAL
2 Anggreani P 77 NORMAL
3 Mariana P 71 NORMAL
4 Nurul Hidayah P 76 NORMAL
5 Sriwinda P 73 NORMAL
6 Sri Utami Lamalaka P 66 NORMAL
7 Zainal L 79 NORMAL
8 Galuh Nurul Fatimah P 74 NORMAL
9 Hajri Wahyuni P 58 NORMAL
10 Tia Septi Inggriani P 73.5 NORMAL
11 Shinta P 83.9 OBESITAS SENTRAL
12 Ester P 74 NORMAL
13 Muh. Irfan L 88 NORMAL
14 Khaerunisa P 69 NORMAL
15 Taqbirandda Sekar P 86 OBESITAS SENTRAL
16 Stevi A P 84 OBESITAS SENTRAL
17 Fauziah R P 64 NORMAL
18 Komariyah P 63 NORMAL
19 Mohammad Yusril L 68 NORMAL

5. Tabel Hasil Pengukuran Persen Lemak Tubuh


SUBSCA %
No Nama JK UMUR BISEP Db Keterangan
PULAR Lemak
1 Moh. Rizaldi L 20 12 20 1.05 19.46 Overweight
2 Anggreani P 21 18 22 1.04 31.24 Normal
3 Mariana P 21 12 18 1.05 25.42 Normal
Nurul
4
Hidayah P 21 14 30 1.03 33.61 Overweight
5 Sriwinda P 21 12 23 1.04 28.31 Normal
6 Sri Utami P 20 9 20 1.05 24.85 Normal
7 Zainal L 21 10 17 1.06 16.88 Normal
8 Galuh Nurul P 21 10 22 1.05 26.57 Normal
Hajri
9
Wahyuni P 21 10 13 1.06 21.43 Normal
10 Tia Septi I P 21 10 18 1.05 24.27 Normal
11 Shinta P 21 20 30 1.02 37.21 Overweight
12 Ester P 21 12 18 1.05 25.42 NORMAL
13 Muh. Irfan L 21 12 16 1.05 24.27 NORMAL
14 Khaerunisa P 21 4 18 1.06 20.87 UNDERFAT
Taqbirandda
15 21 18
Sekar Adhani P 21 1.04 30.65 NORMAL
16 Stevi P 25 17 30 1.03 35.40 OVERWEIGHT
17 Cici P 21 9 17 1.06 23.13 NORMAL
18 Komariyah P 21 21.5 19 1.04 31.53 NORMAL
Mohammad
19 9 16
Yusril L 21 1.06 15.85 NORMAL

6. Tabel Hasil Pengukuran Weist Hip To Ratio (WHR)

NO Nama JK LINGKAR LINGKAR WHR KETERANGAN


PINGGANG PANGGUL
1 Moh. Rizaldi L 81 102 0.79 RENDAH
2 Anggreani P 86.5 95.5 0.91 TINGGI
3 Mariana P 80 89 0.90 TINGGI
4 Nurul Hidayah P 94 102 0.92 TINGGI
5 Sriwinda P 81.3 97 0.84 SEDANG
6 Sri Utami P 79 93 0.85 SEDANG
7 Zainal L 68 99 0.69 RENDAH
8 Galuh Nurul P 88 92 0.96 TINGGI
9 Hajri Wahyuni P 69 78 0.88 TINGGI
10 Tia Septi I. P 60.5 87.8 0.69 RENDAH
11 Shinta P 89 100 0.89 TINGGI
12 Ester P 80 96 0.83 SEDANG
13 Muh. Irfan L 81 99 0.82 RENDAH
14 Khaerunisa P 74 88 0.84 SEDANG
15 STaqbirandda P 90 112 0.80 RENDAH
16 Stevi P 88 93 0.95 TINGGI
17 Fauziah R P 70 86 0.81 RENDAH
18 Komariyah P 70.5 82.5 0.85 SEDANG
19 Moh. Yusril L 59 70 0.84 SEDANG
B. Pembahsan
1. Indeks Massa Tubuh (IMT)
Berdasarkan hasil analisis dengan pengukuran Berat Badan (BB) dan
Tinggi Badan (TB) pada 19 mahasiswa Fakultas Kesehatan Masyarakat kelas
C diperoleh nilai Indeks Massa Tubuh (IMT), sebagian besar responden
memiliki IMT normal berkisar 18,5-24,99 yaitu sebanyak 12 orang. Dengan
status gizi yang normal, diharapkan kepada responden untuk tetap menjaga
intake gizi sehingga terhindar dari berbagai penyakit.
Penelitian ini sejalan dengan penelitian Setiowati (2014), menunjukkan
bahwa dari 10 responden sebagian besar responden memiliki IMT normal.
Selain itu, penelitian ini sejalan dengan penelitian Yunieswati, (2014),
menunjukkan bahwa menunjukkan mahasiswa laki-laki sebagian besar
memiliki IMT normal (75%), dan pada responden perempuan sebagian besar
juga memiliki IMT normat sebasar (83,2%). status gizi yang baik akan
berpengaruh terhadap kesehatan.
Penelitian ini juga sejalan dengan penelitian yang dilakukan Pangestika,
Kartini and Kartasurya (2015), pada 19 siswa SMP Negeri 1 Sumber,
menunjukkan bahwa Sebagian besar responden termasuk kedalam kategori
healhty. Total responden yang termasuk overweight dan obese sebanyak 20
orang. Rerata dan standar deviasi IMT responden adalah sebesar 20,8±4,27
kg/m2. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian (Mantik, 2015), Status gizi
normal memiliki distribusi tertinggi pada penelitian ini yaitu 48,9% dan
disusul status gizi overweight 28,9%.
Hasil penelitian ini sama dengan hasil penelitian yang dilakukan Yuniar
R dan Fitrah E (2010) pada anak remaja SMP di Bogor yang menunjukan
bahwa sebagian besar responden memiliki status gizi normal yaitu 83%. Hal
ini sejalan dengan penelitian Sitoayu et al. (2016), diperoleh hasil sebanyak 15
siswa (13,50%) gemuk dan 17 siswa (15,30%) obesitas. Siswa dengan status
gizi normal sebanyak 75 siswa (67,60%).
Namun, penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian Kumesan, Ticoalu
and Pasiak (2016), menunjukkkan bahwa sebagian besar responden laki-laki
dan perempuan memiliki IMT dalam kategori Overwight. Juga terdapat
perbedaan dengan pada penelitian yang dilakukan Sorongan CI (2010) pada
SMP Katolik Frater Don Bosco Manado pada tahun 2012 yang menunjukan
tidak adanya responden dengan status gizi kurang maupun sangat kurang.
Penelitian Novianingsih (2012), juga menemukan kejadian gizi lebih (kategori
kelebihan berat badan dan obesitas) sebanyak 28,1% berdasarkan IMT ≥ 23
kg/m2. Penelitian Fikri (2015), mendapatkan hasil bahwa sebagian besar subjek
memiliki status gizi lebih dimana sebanyak 30% mengalami overweight dan
26% mengalami obesitas.
2. LILA
Lingkar lengan atas merupakan indikator yang baik untuk menilai resiko
KEP pada kelompok WUS. Rentang usia subjek masuk dalam kategori WUS,
sehingga menjadi penting untuk mengetahui status LiLAnya. Subjek lebih
banyak memiliki LiLA yang beresiko (LiLA < 23.5 cm).
Adapun hasil analisis Kekurangan Energi Kronis (KEK) dengan
pengukuran Lingkar Lengan Atas (LILA) pada 19 responden, sebagian besar
responden memiliki ukuran LILA diatas 23 yang menunjukkan tidak
mengalami Kekurangan Energi Kronis yaitu sebanyak 15 responden. Hasil ini
sejalan dengan penelitian Agustin (2016), menunjukkan bahwa Hasil
pengukuran status gizi menggunakan lila, sebagian besar remaja putri
digolongkan normal sejumlah 32 orang, Hasil penelitian ini memberikan
gambaran bahwa remaja putri sebagian besar tidak mengalami KEK.
Penelitian ini juga sejalan dengan penelitian Kumesan dkk (2016),
menunjukkkan sebagian besar responden memiliki LILA normal dan tidak
mengalami KEK dengan rata rata LILA pada responden wanita 25-37,15 dan
rata rata LILA pada responden pria 25,04 – 37,2. Sesuai dengan penelitian
Arista et al. (2017), menunjukkan bahwa dari 46 remaja putri terdapat 21
orang (45,70%) yang KEK dengan nilai tengah ukuran LILA yang yaitu 23,55
cm. Dari hasil penelitian Umisah and Puspitasari (2017), menunjukkan bahwa
sebagian besar responden berumur 17 tahun yaitu sebanyak 30
responden, yang terdiri dari 16 responden KEK dan 14 responden tidak
KEK. Hal ini sejalan dengan penelitian Wigunantiningsih et al. (2016),
sebagian besar responden yaitu sebanyak 30 responden (55,6%) mempunyai
ukuran LILA normal, dan sebanyak 24 responden (44,4%) mempunyai ukuran
LILA kurang dari normal (menderita KEK).
Namun, penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian menurut Zaki, Sari
and Farida (2017), Status LiLA subjek sebagian besar berada dalam kategori
beresiko KEK, hal ini dikarenakan sebagian besar responden memiliki asupan
gizi makro energi, protein, lemak dan karbohidrat dalam kategori defisit berat.
Penelitian ini juga sejalan dengan penelitian Pangestika dkk (2015) pada 65
orang siswi SMP Negeri 1 Sumber, menunjukkan bahwa sebagian besar
responden memiliki LILA normal/tidak mengalami KEK. Penelitian Ariyani
dkk (2012), menunjukkan bahwa Berdasarkan ukuran LiLA, sekitar 12,4%
wanita usia 20 – 45 tahun di Indonesia berisiko KEK (LiLA < 23,5 cm). Hasil
penelitian ini menunjukkan remaja mempunyai kekurangan dalam pemenuhan
nutrisi.
Menurut Handajani dalam Sulistyoningsih (2012) pola makan adalah
berbagai informasi yang memberikan gambaran mengenai macam dan jumlah
bahan makanan yang dimakan dalam setiap oleh seseorang dan merupakan ciri
khas untuk suatu kelompok masyarakat tertentu. Gadis remaja sering terjebak
dengan polamakan tak sehat, remaja menginginkan penurunan berat badan
secara drastis dengan melakukan diet ketat bahkan sampai gangguan pola
makan (Putri et al., 2016).
3. Obesitas Sentral
Pada hasil analisis obesitas sentral dengan pengukuran Lingkar Perut
(LP) berdasarkan jenis kelamin pada 4 responden laki-laki dan 15 responden
perempuan, semua responden yang berjenis kelamin laki-laki memiliki LP
normal/tidak mengalami obesitas sentral, dan sebagian besar responden
perempuan juga normal/tidak mengalami obesitas sentral yaitu sebanyak 12
responden.
Penelitian ini sejalan dengan penelitian menurut (Todingan, Moningka
and Danes (2016), menunjukkan dari 25 sampel mahasiswa fakultas
kedokteran UNSRAT sebanyak 72% tidak termasuk dalam obsesitas sentral.
Namun terdapat 28% sampel termasuk dalam obesitas sentral dengan ukuran
lingkar perut lebih dari 90 cm. Hasil yang sama ditemukan oleh Fikri (2015),
Rata-rata lingkar perut subjek yaitu 90,76 ± 11,29 cm dengan rentang 68-114
cm. Sebanyak 48% subjek mengalami obesitas sentral. Angka tersebut sedikit
lebih rendah jika dibandingkan dengan jumlah subjek yang memiliki lingkar
perut normal sebesar 52%.
Selain itu, penelitian ini sejalan dengan penelitian menurut Ra Pati
Tiala, Tanudjaja and Kalangi (2013), menunjukkan terdapat 61 responden
(38,125%) yang berlingkar pinggang termasuk dalam kelompok obesitas
sentral sedangkan yang tidak termasuk dalam kelompok obesitas sentral
sebanyak 99 responden (61,875%) dari total 160 responden. Penelitian ini juga
sejalan dengan penelitian yang dilakukan Pengestika dkk (2015) pada 65 siswi
SMP Negeri 1 Sumber, menunjukkan bahwa, Sebagian besar responden
memiliki lingkar perut normal yaitu < 75 cm dan standar deviasi lingkar perut
responden adalah sebesar 69,1 ± 8,71 cm.
Hal ini berbeda dengan hasil penelitian Septyaningrum and Martini
(2014), keseluruhan responden yang mengalami obesitas sentral berdasarkan
lingkar perut (lingkar perut laki-laki ≥ 90 cm dan lingkar perut perempuan ≥ 80
cm) yaitu sebanyak 45(75 %).
Berdasarkan tabel hasil pengukuran lingkar perut, diketahui bahwa
terdapat 3 responden mengalami obesitas sentral, dan ketiganya adalah
perempuan. Hasil penelitian yang dilakukan sesuai dengan penelitian oleh
Widhy Bodhy dan Aaltje A. Manampiring pada remaja di Kota Tomohon yaitu
dari 35% siswa yang menjadi responden yang mengalami obesitas sentral,
persentase siswa laki-laki sebesar 11,7% dan siswa perempuan 24,2%. Hal
yang sama juga ditemukan pada penelitian Sundari, Masdar and Rosdianan
(2015), dimana prevalensi obesitas sentral lebih tinggi pada perempuan
daripada laki-laki. Hal ini diduga karena cadangan lemak tubuh lebih banyak
terdapat pada perempuan.
Namun hasil penelitian ini berbeda dengan Penelitian sebelumnya yang
dilakukan Laoh dkk, pada mahasiswa kedokteran Unsrat yang aktif kuliah
pada tahun 2013 didapatkan jumlah keseluruhan mahasiswa yang mengalami
obesitas sebanyak 111 orang yang terdiri dari 73 orang laki-laki dan 38 orang
perempuan. Hal ini sejalan dengan Kumesan (2016), didapatkan jumlah
keseluruhan mahasiswa yang mengalami obesitas sebanyak 63 orang yang
terdiri dari 35 orang laki-laki dan 28 orang perempuan.
Obesitas menyebabkan meningkatnya risiko terhadap berbagai penyakit
sehingga dapat diketahui bahwa sebagian besar responden dalam penelitian
tergolong memiliki risiko tinggi terhadap berbagai penyakit. Susilawati,
Muljati and Bantas (2015), menunjukkan bahwa obesitas sentral berisiko DM
2,26 kali lebih tinggi dari pada non obesitas.
4. Persen Lemak Tubuh
Berdasarkan hasil analisis Persen Lemak Tubuh dengan pengukuran
Bisep dan Subscapular dengan mempertimbangkan jenis kelamin dan umur
pada 19 responden, sebagian besar responden memiliki persen lemak tubuh
yang normal yaitu 14 responden, dan sebagian kecil responden memiliki
persen lemak Underfat yaitu 1 responden.
Penelitian ini sejalan dengan penelitian Yunieswati dan Briawan
(2014) menunjukkan bahwa Subjek laki-laki sebagian besar memiliki persen
lemak tubuh normal sebanyak 37,5%, dengan rata-rata persen lemak tubuh
20,35±7,43% yang dikategorikan tinggi. Sementara itu, sebagian besar
mahasiswa perempuan memiliki persen lemak tubuh normal (56,0%) dengan
rata-rata persen lemak tubuh 26,32±5,60% yang dikategorikan normal.
Hasil yang sama juga didapatkan pada penelitian yang dilakukan oleh
Pangesti dkk (2015) pada 65 siswi SMP Negeri 1 Sumber, menunjukkan
bahwa sebagian besar responden termasuk ke dalam kategori healthy, yaitu
memiliki persen lemak tubuh sebesar 15%-28%. Menurut hasil penelitian
Setiaputri (2017), menunjukkan bahwa persentase lemak tubuh pada atlet
renang tergolong normal sebanyak 66,7% responden dengan rata-rata
persentase lemak tubuh 22%. Hal ini sejalan dengan penelitian Siswianti
(2012), dengan persen lemak rata-rata responden yaitu 27,6%.
Namun, penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian Setiowati Anies
(2014), menunjukkan bahwa dari 10 responden sebagian besar responden
memiliki persen lemak tubuh yang berlebih. Hal ini sejalan dengan hasil
penelitian Wirawan (2016), Persen lemak tubuh wanita yang didapatkan adalah
34,9% dan angka ini sangat tinggi (obesitas). Penelitian Kusumawati (2016),
menemukan hasil serupa kategori persentase lemak tubuh responden yaitu
kategori tingi dan obese. Persentase kategori obese ditemukan lebih tingi yaitu
sebesar 57,1%.
Hal ini sejalan dengan Fakhidah and Putri (2016), Diperoleh
persentase persen lemak tubuh tertinggi responden adalah obesitas (32%).
Sama halnya dengan hasil penelitian Faruq (2015), menyatakan Rata-rata
persen lemak tubuh atlet renang laki-laki 17,8 ± 6,7% dan atlet renang
perempuan 24,1 ± 7,3%. Hal ini menunjukkan bahwa lemak tubuh atlet renang
di Sidoarjo Aquatik Club melebihi standar lemak tubuh atlet renang. Pada
penelitian Arraniri (2016), hasil yang ditemukan pun sejalan, yaitu terdapat
48,33% responden yang memiliki lemak tubuh berlebih dengan persentase
lemak tubuh diatas 25%. Berarti hampir setengah jumlah responden termasuk
kategori lemak berlebih.
5. Waist to Hip Rasio
Rasio Lingkar Pinggang dan Pinggul (RLPP) menggambarkan proporsi
lemak yang ada di daerah pinggang-pinggul. Sebagian besar ukuran rata-rata
RLPP pada wanita muda berada pada kisaran 0,75-0,80 dan meningkat seiring
meningkatnya usia. Sementara itu, RLPP pada pria biasanya lebih tinggi
daripada perempuan sekitar 0,10-0,15 (Yunieswati, 2014).
Berdasarkan hasil analisis, diketahui bahwa sebagian besar responden
memiliki nilai RLPP yang tidak beresiko yaitu sebanyak 12 orang. Hal ini
sejalan dengan penelitian Yunieswati (2014), Sebagian besar mahasiswa laki-
laki maupun perempuan memiliki rasio lingkar pinggang dan pinggul yang
dikategorikan tidak berisiko yaitu 93,8% dan 95%. Hasil penelitian Dienasari
(2016), serupa dengan hasil sebagian besar penari remaja memiliki RLPP
dalam kategori normal (94.74%).
Hal ini berbeda dengan hasil penelitian Septyaningrum (2014), jumlah
keseluruhan responden yang mengalami obesitas berdasarkan rasio lingkar
pinggang panggul (laki-laki>0,9 dan perempuan >0,9) yaitu sebanyak 49
(81,7%). Sejalan dengan penelitian Mulyani and Rita (2016), bahwa sebagian
besar responden memiliki RLPP yang tidak normal yaitu 56 orang atau sebesar
93,3% pegawai. Ini memberi gambaran bahwa sebagian besar responder
berisiko terhadap peningkatan obesitas. Hasil yang sama didapatkan pada
penelitian Hasanah (2013), bahwa dari 120 responden, 67,5% mempunya
RLPP dengan kategori obesitas. Sejalan dengan hasil penelitian Rahmawati
2016, rasio lingkar pinggang panggul responden sebagian besar
responden memiliki RLPP yang tinggi yaitu 78,8% (26 orang) dan
sebanyak 21,2% (7 orang) memiliki RLPP yang normal.
Adapun responden yang beresiko yaitu sebanyak 7 orang, yang 100%
berjenis kelamin perempuan. Hal ini sejalan dengan penelitian Wirawan
(2016), bahwa rasio lingkar pinggang panggul (RLPP) wanita yang didapatkan
adalah 0,83. Berdasarkan RLPP maka rata-ratanya sudah termasuk dalam
kategori peningkatan risiko mengalami penyakit tidak menular (>0,81). Sesuai
dengan hasil penelitian Fadhilah et al. (2011), jenis kelamin dan RLPP
memiliki hubungan dengan P value 0,006, dengan nilai OR 0,15, maka resiko
perempuan untuk memiliki RLPP beresiko lebih besar 6,67 kali dibanding
laki-laki.
Salah satu penyakit tidak menular adalah jantung koroner. Berdasarkan
hasil penelitian Maryani, (2013), diketahui bahwa nilai Rasio Prevalen (RP)
sebesar 1,760 artinya pasien yang dirawat di RSUD Kabupaten Sukoharjo
dengan rasio pinggang pinggul yang tidak normal memiliki risiko 1,760 kali
lebih besar untuk menderita penyakit jantung koroner dibandingkan pasien
yang mempunyai rasio pinggang pinggul yang normal.
Lingkar pinggang dan rasio lingkar pinggang panggul merupakan
metode pengukuran yang dapat digunakan untuk mengetahui distribusi lemak
tubuh, dapat menggambarkan obesitas sentral, dan lebih baik dalam
memprediksi risiko penyakit kardiovaskular dibandingkan dengan IMT. Hasil
penelitian Wahyuni (2013), menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang
signifikan antara lingkar pinggang (r=0,552, p=0,002) dan rasio lingkar
pinggang panggul (r=0,396, p=0,020) dengan kadar serum hsCRP pada remaja
obesitas.
BAB V
PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Indeks antropometri adalah pengukuran dari beberapa parameter. Indeks
antropometri bisa merupakan rasio dari satu pengukuran terhadap satu atau
lebih pengukuran atau yang dihubungkan dengan umur dan tingkat gizi.
2. Lingkar lengan atas dewasa ini memang merupakan salah satu pilihan untu penentuan
status gizi, karena mudah dilakukan dan tidak memerlukan alat-alat yang sulit
diperoleh dengan harga yang lebih murah. Akan tetapi, ada beberapa hal yang perlu
diperhatikan, terutama jika digunakan sebagai pilihan tunggal untuk indeks status
gizi.
3. Obesitas sentral didefinisikan sebagai penumpukan lemak dalam tubuh bagian perut
yang diakibatkan oleh jumlah lemak berlebih pada jaringan lemak subkutan dan
lemak viseral perut.
4. Waist to Hip Ratio (WHR) atau rasio lingkar pinggang dan panggul diyakini sebagai
prediktor yang baik untuk menilai risiko penyakit kardiovaskular
5. Persen lemak tubuh adalah perbandingan berat lemak tubuh dibandingkan
dengan total berat penyusun tubuh lainnya (lemak, otot, tulang, air)
B. Saran
Adapun saran dalam penelitian ini adalah waktu yang terlalu singkat dalam
melakukan penelitian antropimetri serta metode penelitian yang masih kurang
efektif dan semoga laporan ini dapat bermanfaat serta menambah pengetahuan
terkait pengukuran antropemetri

Anda mungkin juga menyukai