Anda di halaman 1dari 28

REFERAT

PENATALAKSANAAN AWAL ANAFILAKSIS

Pembimbing:

dr. Taufik Eko Nugroho, Sp.An

Penyusun:

Riyanti Devi Widia N

(406181066)

KEPANITERAAN BAGIAN ILMU ANESTESIOLOGI

RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KRMT WONGSONEGORO


SEMARANG

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TARUMANAGARA

PERIODE 9 SEPTEMBER 2019 – 13 OKTOBER 2019


KATA PENGANTAR

Puji syukur Penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena berkat rahmat dan
anugerah-Nya referat berjudul “Penatalaksanaan Awal Anafilaksis” ini dapat diselesaikan.
Adapun maksud penyusunan referat ini adalah dalam rangka memenuhi tugas kepaniteraan bagian
ilmu Anestesiologi di Rumah Sakit Umum Daerah KRMT Wongsonegoro Semarang periode 9
September 2019 – 13 Oktober2019.
Pada kesempatan ini pula, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada dr. Taufik Eko
Nugroho, Sp.An selaku pembimbing Kepaniteraan Bagian Ilmu Anestesiologi RSUD KRMT
Wongsonegoro Semarang.
Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan referat ini masih banyak terdapat kesalahan
dan kekurangan. Oleh sebab itu saran dan kritik sangat diharapkan untuk menyempurnakan referat
ini. Akhir kata semoga referat ini berguna baik bagi kami sendiri, rekan-rekan di tingkat klinik,
pembaca, Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara, serta semua pihak yang membutuhkan.

Semarang, September 2019

Penyusun

2
DAFTAR ISI

3
BAB 1

PENDAHULUAN

Obesitas merupakan kondisi dimana massa lemak tubuh berlebihan. Seringkali obesitas diukur
dengan metode IMT/BMI (Indeks massa tubuh/ Body mass index) yang berarti berat badan per
tinggi badan (kg/m2). IMT 25 – 30 kg/m2 dianggap berat badan lebih, namun masih dalam
risiko rendah komplikasi medis yang serius, tetapi IMT diatas 30, 35 atau 55 dikategorikan
sebagai obesitas, obesitas berat dan sangat berat. Meskipul IMT sering digunakan sebagai
penilaian beratnya obesitas, ini bukan merupakan predictor penyakit.

Populasi individu obesitas meningkat baik pada negara maju dan negara berkembang sehingga
bidang anestesi lebih sering menjumpai tantangan saat menangani pasien obesitas. Prevalensi
obesitas di dunia telah meningkat tiga kali lipat sejak 1975 – 2016. Pada tahun 2016, lebih dari
1.9 miliar orang dewasa berusia 18 tahun keatas memiliki status gizi berlebih, dimana lebih
dari 650 juta diantaranya merupakan dewasa yang obes. Sebanyak 39% dewasa berusia 18
tahun keatas (39% pria dan 40% wanita) menderita overweight dan 13% populasi dewasa di
dunia (11% pria dan 15% wanita) menderita obesitas.

Di Indonesia sendiri berdasarkan data Riskesdas 2018, tampak adanya peningkatan jumlah
populasi yang memiliki berat badan berlebih (overweight) dan obesitas dari tahun 2007, 2013
dan 2018 (8,6%  10,5%; 11,5%  14,8%; 13,6%  21,8% secara berurutan). Obesitas
sentral pada dewasa lebih dari sama dengan15 tahun juga terdata adanya peningkatan yakni
18,8% pada tahun 2007, 26,6% pada 2013 dan 31% pada tahun 2018.

Oleh karena itu, dengan memahami patofisiologi dan komplikasi terkait obesitas akan
memberikan manajemen anestesi yang lebih efektif untuk kelompok pasien ini. Asesmen
preoperative dan persiapan, pemilihan Teknik anestesi, posisi pasien dan penanganan serta
penanganan postoperative semuanya memerlukan pertimbangan khusus pada pasien ini.

4
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi Obesitas dan Klasifikasi Berat Badan

WHO (World Health Organization) mendefinisikan obesitas sebagai kondisi dimana lemak
tubuh berlebih sehingga kesehatan individu sangat terganggu. Jumlah jaringan adiposa yang
secara abnormal tinggi dibandingkan massa otot (massa bebas lemak) atau dianggap >=20%
berat badan ideal. Obesitas dikaitkan dengan meningkatnya morbiditas dan mortalitas yang
disebabkan oleh spektrum luas penyakit medis dan bedah. BMI/IMT (Body Mass Index/Indeks
Massa Tubuh) merupakan pembilang yang sering digunakan untuk obesitas meskipun tidak
mengukur kadar jaringan adiposa secara langsung. IMT dikalkulasi sebagai berat badan dalam
kilogram dibagi dengan tinggi badan yang dipangkatkan dua dalam satuan meter (IMT =
kg/m2). Rasio IMT digunakan karena merupakan perhitungan sederhana. Secara umum,
kalkulasi tersebut digunakan sebagai indicator kategori berat badan yang mungkin mengarah
ke masalah kesehatan. Disamping IMT sebagai indicator, WHO merekomendasikan untuk
diukurnya lingkar pinggang (LP) untuk menilai obesitas sentral dan komorbid obesitas dimana
indicator lingkar perut wanita >80 cm dan pria >90 cm..1

WHO (BMI) Asia-Pasifik (BMI)


Underweight <18.5 <18.5
Normal 18.5 – 24.9 18.5 – 22.9
Overweight 25 – 29.9 23 – 24.9
Obese >= 30 >=25

Tabel 1. Perbandingan WHO & Asia-Pacific BMI. https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC5571887/

5
2.2. Epidemiologi Obesitas

Estimasi global WHO (World Health Organization) menunjukkan bahwa pada tahun 2016,
lebih dari 1.9 miliar orang dewasa berusia 18 tahun keatas memiliki status gizi berlebih, dimana
lebih dari 650 juta diantaranya merupakan dewasa yang obes. Sebanyak 39% dewasa berusia
18 tahun keatas (39% pria dan 40% wanita) menderita overweight dan 13% populasi dewasa
di dunia (11% pria dan 15% wanita) menderita obesitas.

Prevalensi obesitas di dunia telah meningkat tiga kali lipat sejak 1975 – 2016. Berat badan
berlebih dan obesitas dikaitkan dengan angka kematian yang meningkat di dunia dibandingkan
dengan gizi kurang underweight. Secara global, lebih banyak orang yang obesitas disbanding
kurang gizi yang terjadi di semua daerah terkecuali bagian dari sub-Sahara dan Asia.2

Data Riskesdas tahun 2018 menunjukkan adanya peningkatan jumlah populasi yang memiliki
berat badan berlebih (overweight) dan obesitas dari tahun 2007, 2013 dan 2018 (8,6% 
10,5%; 11,5%  14,8%; 13,6%  21,8% secara berurutan). Obesitas sentral pada dewasa
>=15 tahun juga terdata adanya peningkatan yakni 18,8% pada tahun 2007, 26,6% pada 2013
dan 31% pada tahun 2018.3

2.3. Perubahan fisiologis pada obesitas4


Di luar dari peran balans energi dan beban mekanik, jaringan adiposa juga mempengaruhi
tubuh melalui sifat endokrin. Berat badan berlebih tejadi saat konsumsi kalori lebih tinggi
dibandingkan pengeluaran kalori. Balans energi positif ini mengakibatkan hipertrofi jaringan
lemak, rekrutmen makrofag dan perubahan adaptif yang kompleks dari adiposity, jaringan
penyokong, suplai darah dan imunologis. Seiring waktu, kematian sel adiposity dan hipoksia
jaringan kronik terjadi karena suplai nutrisi dan oksigen tidak mencukupi kebutuhan sel yang
hipertrofik. Diantara perubahan aktivtias jaringan adiposa yang dipicu obesitas, sekresi protein
signaling sel yang dikenal sebagai adipokine dan peningkatan produksi marker inflamasi
seperti TNF a dan IL-6 oleh makrofag. Mediator ini berinteraksi dengan sistem saraf simpatis,
renin-angiotensin-aldosteron, dan organ seperti pancreas dan liver untuk mengubah fisiologis
tubuh pada obesitas.

 Kardiovaskular
Perubahan pada sistem kardiak terjadi sebagai hasil dari adaptasi kardiovaskular
terhadap massa tubuh yang berlebihan dan meningkatnya kebutuhan metabolik. 31%
individu dengan obesitas ekstrim mengalami perubahan struktur dan fungsi yang

6
menyebabkan kardiomiopati. Massa tubuh berlebih membutuhkan peningkatan volume
darah intravascular serta meningkatnya cardiac output. Seiring waktu, peningkatan
stroke volume akan menyebabkan meningkatnya beban ventrikel kiri, dilatasi dan
kompensasi ventrikel sebagai hipertrofi yang merupakan precursor dari gagal jantung.
Gangguan mekanis juga menyebabkan remodeling structural karena paparan terus
menerus terhadap efek kardiotoksik langsung (misalnya: resistensi insulin, steatosis,
dan lain-lain) serta hipoksia dan hiperkarbia berulang yang berhubungan dengan
obstruksi jalan nafas intermiten karena OSA (Obstructive sleep apnea). Hal tersebut
pada akhirnya dapat mencetuskan hipertensi pulmonal dan disfungsi biventrikel.
 Respirasi
Obesitas berdampak pada fungsi respirasi, secara signifikan apabila IMT melebihi 45.
o Obstructive Sleep Apnea (OSA)
Studi dengan MRI telah mengkonfirmasi adanya struktur faringeal (dari
nasofaring ke laringofaring) yang membesar ukurannya dengan deposisi
jaringan lemak. Dengan tambahan adanya reduksi pada caliber saluran
pernafasan (peningkatan resistensi jalan nafas) dengan meningkatnya berat
badan. PErubahan pada bentuk faringeal dihubungkan dengan gangguan
aktivitas dilatasi faring dan risiko kolaps saluran nafas. Obstruksi dapat terjadi
pada titik manapun di faring, dan paling sering pada retropalatal dan atau regio
retroglossal. OSA merupakan gangguan nafas terkait tidur, yang tampak pada
40 – 90% individu obes. OSA dicirikan oleh peurunan atau hilangnya secara
periodik (10 detik atau lebih) pernafasan karena penyempitan saluran nafas atas
saat tidur. Terlebih lagi, OSA sendiri akan berkontribusi terhadap bertambahnya
obesitas karena akan menurunkan level energi, motivasi, dan lain-lain. Protokol
untuk evaluasi pasien dengan risiko OSA merupakan komponen penting dalam
asesmen preoperative pasien obes. Pertanyaan mengenai mengorok, episode
apneu, sering terbangun saat tidur, nyeri kepala saat bangun pagi dan mengantuk
terus pada siang hari harus dilontarkan. Pemeriksaan fisik harus meliputi
evaluasi dari jalan nafas mulai dari leher, ukuran lidah, karakeristik nasofaring.
 Endokrin
o Pasien dengan BMI >= memiliki 7 kali kecenderungan untuk mengalami
diabetes dibandingkan berat badan normal. Kontrol glikemik pre operatif telah
menurunkan komplikasi postoperative dan remisi diabetes setelah bedah

7
bariatric. Pada suatu penelitian retrospektif, dilaporkan bawha pasien dengan
diabetes yang tidak terkontrol lebih sering mengalami infeksi pada luka operasi,
gagal ginjal akut dan kebocoran post operatif.
 Gastro-hepato- intestinal
o Penyakit liver
 Paralel terhadap meningkatnya obesitas, NAFLD/Non-alcoholic fatty
liver disease semakin sering ditemukan sebagai penyakit liver kronik di
seluruh dunia. Secara histologi ditemukan infiltrasi lemak (steatosis)
dan dapat progress menjadi NASH (Non-alcoholic steatohepatutus)
begitu perubahan inflamatorik terjadi. 15-20% pasien NASH akan
berlanjut menjadi sirosis sehingga pasien berisiko mengalami kanker
hepatoseluler, hipertensi porta, asites dan gagal liver.
o GERD (Gastroesophageal reflux disease)
 Walaupun pengosongan lambung pada pasien obes yang sehat normal,
perubahan mekanik dan hormonal mengakibatkan individu obes dalam
risiko yang lebih tinggi untuk GERD. Gejala GERD yang sering dapat
meningkatkan risiko Barrett’s Esophagus dan adenocarcinoma.
 Hematologi
o Tromboemboli vena
 Sebagai tambahan dari imobilisasi dan stasis vena yang merupakan
suatu ciri dari periode perioperative, inflamasi kronik terkait obesitas
dan fibrinolysis yang terganggu meningkatkan risiko kejadian
tromboemboli post operasi, yang merupakan penyebab tersering dari
mortalitas mengikuti pembedahan bariatric.
 Nutrisi
Terlepas dari intake kalori yang berlebihan, defisiensi nutrisi lain yang berat dikaitkan
dengan obesitas, dimana contributor yang berpotensi adalah intake yang tidak adekuat
dari makanan tinggi nutrisi, metabolism yang terganggu dan bioavailabilitas
mikronutrien.

8
2.4. Prinsip farmakologi pada obesitas

2.4.1. Komposisi tubuh5

Banyak istilah yang digunakan untuk mendeskripsikan berat badan seorang pasien. Terdapat
empat yang paling sering digunakan:

Total Body Weight (TBW) Berat badan sesungguhnya pasien


Ideal Body Weight (IBW) Berat badan pasien yang seharusnya dengan rasio normal
antara massa otot dan lemak. Bervariasi berdasarkan usia,
biasanya diperkirakan sesuai tinggi badan dan jenis kelamin:
IBW (kg) = TB (cm) – x
x= 105 (wanita); 100 (pria)
Lean Body Weight (LBW) Berat badan pasien tanpa lemak. (TBW – jar adiposa)
Laki2 = 1,10 x TBW – 0,0128 x BMI x TBW
Wanita = 1,07 x TBW – 0,0148 x BMI x TBW
Mengesampingkan TBW, LBW biasanya tidak melebihi 100
kg pada pria dan 70 kg pada wanita
Adjusted Body Weight Mempertimbangkan fakta bahwa individu obes memiliki
(ABW) peningkatan massa bebas lemak dan volume distribusi dari
obat. Dikalkuasi dengan menambahkan 40% dari berat badan
yang berlebih terhadap IBW
ABW (kg) = IBW + 0.4 (TBW – IBW)

Terdapat informasi yang terbatas mengenai efek dari obesitas terhadap farmakologi yang sering
digunakan pada anestesi. Kebanyakan dari berat badan lebih ini disebabkan oleh lemak, yang
relatif memiliki aliran darah yang rendah. Obat lipofilik akan memiliki volume distribusi yang
lebih besar dibandingkan yang hidrofilik, bukti dewasa ini mengindikasikan bahwa perubahan
pada volume distribusi pada obes adalah drug-spesific, maka, sulit digeneralisasikan. Untuk
sebagian besar obat anestesi, dosis untuk TBW jarang kali sesuai dan meningkat risiko
overdosis relative. Dengan kurangnya informasi, rekomendasi berdasarkan klinis dari beberapa
expert dalam anestesi bariatric, LBW atau ABW yang digunakan untuk mengkalkulasi dosis
awal obat anestesi dibandingkan TBW.

9
The Fifth National Audit (NAP5) terhadap accidental awareness under anesthesia (AAGA)
meliputi jumlah pasien obes yang disporposional yang menderita AAGA. Setengah dari insiden
terjadi pada saat induksi anestesi dan pemberian obat neuromuscular blok (93% kasus). Prinsip
farmakokinetik secara umum dengan jelas menyatakan bahwa dosis obat yang diberikan harus
mempertimbangkan volume distribusi untuk pemberian dosis loading, dan klirens untuk dosis
maintenance.

2.4.2. Farmakokinetik dari obat anestesi

Perubahan fisiologis terkait obesitas dapat menyebabkan perubahan pada distribusi, ikatan dan
eliminasi banyak obat. Volume distribusi pada individu obes dapat dipengaruhi banyak factor
termasuk volume darah dan cardiac output, penurunan total cairan tubuh (lemak mengandung
sedikit cairan disbanding jaringan lain), perubahan pada ikatan protein obat, solubilitas lipid
dari obat yang diberikan. Oleh karena itu dibutuhkan dosis yang lebih tinggi untuk loading
inisial pada pasien obes. Disamping adanya disfungsi liver pada pasien tertentu, klirens hepar
obat biasanya tidak berubah. Gagal jantung dan menurunnya aliran darah hepar dapat
memperlambat eliminasi obat yang sangat dependen terhadap klirens hepatic. Klirens renal
dapat meningkat pada individu obes karena meningkatnya aliran darah renal dan laju filtrasi
glomerulus.

Dampak dari obesitas terhadap dosis obat injeksi sulit diprediksi. Total volume darah biasanya
meningkat, dan cenderung menurunkan konsentrasi plasma injeksi obat intravena. Namun,
lemak memiliki aliran darah yang relative rendah, maka peningkatan dosis obat dikalkulasi
berdasarkan TBW dapat menyebabkan konsentrasi obat yang berlebihan pada plasma. Cardiac
output meningkat pada pasien obes, yang mempengaruhi distribusi dan dilusi pada menit
pertama setelah administrasi obat. Karena kedua volume plasma dan cardiac output meningkat,
dosis obat inisial yang lebih tinggi mungkin dibutuhkan untuk loading untuk mencapai
konsentrasi puncak plasma. Pada pasien yang sangat obesitas, LBW meningkat dan mengisi
sebanyak 20-40% berat badan yang berlebih. Berat badan ideal tidak termasuk dalam
meningkatnya LBW pada pasien obes berat. Dosis lanjutan obat berdasarkan respon
farmakologis dosis inisial. Injeksi yang berulang dari obat dapat menyebabkan efek akumulasi
obat dan respon yang memanjang, merefleksikan penyimpanan obat pada lemak dan
pelepasannya dari depot inaktif ke sirkulasi sistemik saat konsentrasi obat dalam plasma
menurun. Penting untuk mengingat bahwa absorpsi oral dari obat tidak terpengaruh oleh
obesitas.

10
Meningkatnya insidens NASH pada pasien obes memerlukan waspada saat memilih obat yang
terkait dengan disfungsi liver post-operasi. Membangunkan pasien obes lebih cepat setelah
paparan terhadap desflurane atau sevoflurane dibandingkan dengan isoflurane atau propofol.

Maintenance dari anesthesia paling baik dengan obat yang memiliki potensi akumulasi pada
jaringan adiposa yang minimal. Propofol, benzodiazepine, atracurium, cisatracurium dan
narkotika seperti sufentanil dan fentanyl sangat lipofilik dan berakumulasi pada jaringan lemak
saat diberikan infus dalam waktu yang lama. Biasanya, obat yang sangat lipofilik menunjukkan
peningkatan yang signifikan pada volume distribusi pada pasien obes, dan tampaknya dosis
obat harus sesuai dengan TBW. Namun, karena mayoritas obat ini memiliki potensi untuk
berakumulasi pada jaringan adiposa seiring waktu, efek yang lebih lama dapat terlihat.
Terkecuali remifentanil yang juga sangat lipofilik tetapi sangat cepat di metabolism oleh
plasma esterase, potensi penumpukan pada jaringan lemak terbatas. Maka lebih dianjurkan
pada pasien dibandingkan narkotik lain untuk analgesi intraoperative. Ketamin dan
dexmedetomidine juga merupakan tambahan anestetik yang dapat digunakan untuk pasien
yang rentan terinduksi depresi pernafasan.

Substansi hidrofilik seperti muscle relaxant harus sesuai dengan LBW, karena kadar plasma
puncak independent dari volume distribusi, dimana sangat meningkat pada pasien obes.
Volume distribusi yang besar karena rasio yang tinggi dari cairan ekstrasel ke intrasel, karena
isi cairan jaringan adiposa hampir seluruhnya ekstraseluler. Karena efek peningkatan cairan
ekstrasel pada blockade neuromuscular tidak jelas, direkomendasikan bahwa neuromuscular
blockers dosisnya berdasarkan LBW.

Farmakokinetik dari succinylcholine sangat unik. Karena kadar pseudocholinesterase plasma


dan volume distribusi meningkat, pasien dengan obes yang berat biasanya memiliki kebutuhan
succinylcholine absolut yang lebih besar dibandingkan pasien dengan berat normal. Oleh
karena itu, untuk mencapai blockade neuromuscular dan memfasilitasi intubasi, administrasi
succinylcholine harus berdasarkan TBW dibandingkan LBW.

Penelitian dewasa ini menyarankan sugammadex mungkin merupakan agen yang lebih baik
dibandingkan neostigime dalam reverse neuromuscular blok pada pasien obes karena memiliki
kemampuan yang lebih baik untuk mencegah rekurarisasi postoperasi dibandingkan
neostigmine.1

11
Tabel scalar dosis inisial untuk obat anestesi pada dewasa obes yang sehat5

Hines RL, Marschall KE. Stoelting’s Anesthesia and Co-existing Disease, 7th edition. Philadelphia: Elsevier; 2018.p.385

2.5. Pemilihan Teknik anestesi pada Obesitas6

Pasien obes memiliki insidensi yang lebih tinggi untuk mengalami hipoksia dan kejadian
respiratorik lainnya disbanding orang dengan IMT normal karena pasien obes lebih cepat
mengalami periode apneu dan desaturasi. Antisipasi untuk manajemen masalah respirasi
sangatlah penting. Manajemen jalan nafas yang sulit dan hiperkapnia yang dapat terjadi pada
pasien dengan obesitas atau OSA atau hipoventilasi harus dipikirkan dengan matang apabila
memilih tipe anesthesia yang akan diberikan. Anestesi regional, jika memungkinkan,
merupakan pilihan terbaik untuk pasien obesitas. Penggunaan anestesi regional pada pasien
obes menurunkan risiko intubasi yang sulit dan aspirasi asam serta memberikan analgesia yang
lebih aman dan efektif post pembedahan. Persiapan anestesi umum dan intubasi sulit termasuk
pemilihan laryngeal mask airways, laringoskop dan bronkoskopi. Masalah teknis yang
berhubungan dengan anestesi regional pada pasien obes adalah menentukan landmark atau
patokan anatomis.

Perbandingan anestesi umum vs regional pada pasien obesitas menurut studi kasus pasien
wanita yang memerlukan dua kali prosedur bedah yakni ureterorenoscopy dan litotripsi dengan
IMT 57 kg/m2 dengan diabetes melitus tipe 2 selama 4 tahun, asma 12 tahun, dan hipertensi
selama 20 tahun, hipotiroid setelah 5 tahun tiroidektomi. Pasien memiliki riwayat
kolesistektomi dan appendektomi sudah lama. Tidak ada komplikasi apapun selama anestesi
sebelumnya kecuali pada tahun 2011 dimana terjadi bronkospasme setelah anestesi umum.
Operasi yang pertama pada bulan Mei 2017 dengan GA dan sempat mengalami bronkospasme
selama operasi berlangsung, operasi yang kedua pada Juli 2017 dengan anestesi spinal, dimana

12
SaO2 sedikit menurun pada posisi litotomi. Dari kedua operasi tersebut, diambil kesimpulan
pada tabel di bawah membandingkan hasil post operasi pasien.7

OP 1 (GA) OP FURS-Flexible Ureteroscopy for


• Preop: Renal Stone 2 (RA-Spinal)
• spirometry baik • Gejala pulmo (-)
• (x) eksaserbasi asma, • Premed sama seperti OP 1
• shortness of breath (-) • 25G needle L3/L4  (+) 1,5 ml
• auskultasi normal, wheezing (-). 0,5% Levobupivacaine
• Toleransi Posisi supinasi (+) (Chirocaine), 5 mcg sufentanyl,
• Premed 0,6% 40% glukosa intratekal
• 40 mg Metilprednisolone (SoluMedrol) IV • Spinal space ditemukan setelah 3
• Pemasangan CVC pd V. Jugulasris interna, kali percobaan
• Dalteparin/LMWH (Fragmin) 7500 ij sc • Di posisikan supinasi 15 menit
• Midazolam (Dormicum) 7,5 mg PO 1 jam pre untuk fiksasi blok
OP • Op mulai 20 menit setelah spinal
• Preoksigenasi 10 menit  max SaO2 96% block
• Induksi  Propofol + Sufentanyl + Rocuronium • Tdk ada nyeri/ketidaknyamanan
(Esmeron)  Sevoflurane • SaO2 turun 96%  92% setelah
• ET 7,5 mm posisi litotomi  (+) O2 nasal
• Setelah induksi saturasi << 92 – 93%  FiO2 di >> canul  stabil 97% sepanjang OP
100% • OP selesai 30 menit setelahnya 
• 30 menit saat OP setelah 10 menit posisi Langsung pindah ruangan
Trendelenburg  bronchospasme • Post op: Ketonal 100 mg 1 jam post
• Stop & reverse = + 260 mg Aminophilinum op  tidak butuh analgesic
IV + inhalasi Ventolin tambahan
• Op selesai 30 menit kemudian • Pulang keesokan hari setelah
• Selama OP SaO2 dipertahankan 92% pencabutan CVC
• Ekstubasi lancar  ICU krn wheezing (+) pd
auskultasi
• Recovery 24 jam setelahnya  pindah ruangan 
pulang
• Setelah operasi diberi Ketoprofen (Ketonal) 100 mg,
Paracetamol (Perfalgan) 1 g, Tramadol 100 mg
• Post op rawat inap 48 jam

Umum Spinal
Kepuasan pasien <<< >>>
Postoperative >>> (48 jam) <<< (28 jam)
Postop ICU Ya Tidak
Komplikasi respiratorik Ya Tidak
Analgesia post operatif Ya Tidak
Perlunya analgesia opioid post operasi Ya Ya
Full recovery Ya Ya

13
2.6. Anatomi8

Korda spinalis menyambung dengan medulla oblongata secara proksimal dan berakhir di distal
pada conus medullaris sebagai filum terminale (ekstensi fibrosa) dan cauda equina (ekstensi
neural). Terminasi distal ini bervariasi dari L3 pada bayi, hingga batas bawah L1 pada dewasa.
Korda spinalis terletak diantara tulang-tulang kolumna vertebralis, dikelilingi tiga membrane:
dari yang paling dalam: pia mater, arachnoid mater, dan dura mater. CSF/LCS berada dalam
ruang subaraknoid (intratekal) antara pia mater dan arachnoid mater. Pia mater merupakan
membrane yang sangat kaya vaskularisasi yang secara dekat menyuplai otak dan korda spinalis.
Arachnoid mater merupakan lapisan yang halus, membrane nonvascular yang berfungsi
sebagai barrier utama terhadap obat yang menyebrang kedalam (atau keluar) dari CSF. Dura
merupakan membrane fibroelastic yang keras.

Sekeliling dura merupakan ruangan epidural, yang meluas dari foramen magnum ke hiatus
sacralis. Ruangan ini dibatasi pada anterior dengan ligamentum longitudinalis, dan di lateral
oleh pedicle dan foramina intervertebralis, dan di posterior oleh ligamentum flavum. Isi dari
ruangan ini mencakup: radiks nervus, lemak, jaringan areolar, limfatik dan pembuluh darah.

Ligamentum flavum (disebut yellow ligament) juga meluas dari foramen magnum ke hiatus
sacralis. Meskipun secara kasat terlihat sebagai satu ligament, sebenarnya ligamentum flavum
terdiri dari ligamentum flava kanan dan kiri, yang bersatu membentuk sudut akut midline
dengan bukaan ventral. Ketebalan ligamentum flavum, jarak ke dura, kulit ke dura bervariasi
dengan area kanalis vertebralis. Kanalis vertebralis merupakan area terbesar berbentuk segitiga
pada area lumbar, dan berbentuk sirkuler dan kecil pada area thoracica. Pada posterior langsung
dari ligamentum flavum adalah lamina corpus vertebra atau ligamentum interspinosus (yang
menhubungkan prosesus). Akhirnya, terdapat ligamentum supraspinosus yang meluas dari
protuberansia oksipitalis eksterna ke coccyges dan melekat dengan spina dari vertebrae.

Terdapat tujuh cervicalis, 12 thoracalis, dan 5 vertebrae lumbalis dan 1 sakrum. Arcus
vertebralis, prosesus spinosus, pedikulus, dan lamina membentuk elemen posterior dari
vertebra, dan corpus vertebra membentuk elemen anterior. Vertebrae saling berhubungan di
anterior oleh sendi fibrokartilaginosa dengan diskus sentral mengandung nucleus pulposus, dan
di posterior oleh sendi facet/zygapophyseal. Prosesus spinosus thoracica membentuk angulasi
dan lebih curam di area kaudalnya dibandingkan angulasi yang hamper horizontal pada
prosesus spinosus di lumbal. Perbedaan ini yang sangat penting secara klinis untuk masuknya
jarum spinal.

14
Kanalis sakralis mengandung porsi terminal dari sakus dura, yang biasanya berakhir pada S2
pada dewasa dan lebih rendah pada anak-anak. Kanalis sakralis juga mengandung plexus
venosus.

Nervus Spinalis. Radiks dorsalis (aferen) dan ventral (eferen) bergabung di distal dibelakang
ganglion radiks membentuk nervus spinalsi. Terdapat 31 pasang nervus spinalis (8 cervical, 12
throacica, 4 lumbar, 5 sacral, 1 coccygeal). Nervus ini melewati foramen intervertebralis,
kemudian dilapisi oleh dura, araknoid dan pia, menjadi epineurium dan perineurium, serta
endoneurium (secara berurutan). Serat simpatetik preganglion berasal di kolumna abu
intermediolateral antara T1 dan L2 dan melewati via radiks nervus ventral ke ganglia
paravertebralis dan pleksus yang lebih jauh lainnya.

Suplai perdarahan. Dua arteri spinalis posterior menyuplai 1/3 posterior dari korda spinalis,
dimana 2/3 anterior dari korda spinalis disuplai oleh arteri spinalis anterior tunggal. Salah satu
anastomosis arteri yang menyuplai arteri ke sistem anterior adalah arteri Adamkiewicz, yang
muncul dari aorta dan masuk ke foramen intervertebralis antara T7 dan L4 di sebelah kiri.
Iskemi dari sistem anterior menyebabkan sindrom arteri spinalis anterior yang
dimanifestasikan sebagai kerusakan neuron motoric kornu anterior disertai terganggunya
sensasi nyeri dan suhu dibawah tingkat yang terkena. Iskemi dapat disebabkan oleh satu atau
kombinasi dari hipotensi, obstruksi mekanik, vaskulopati atau perdarahan.

Vena longitudinalis anterior dan posterior vena terhubung dengan vena radikularis anterior
posterior sebelum mengalir kembali ke pleksus venosus vertebralis interna di komponen lateral
dan medial dari ruang epidural. Darah mengalir kembali ke sistem azygous.

2.7. Anestesi Neuraxial/Regional8,9,10

Central neuraxial blocks merupakan istilah teknik anestesi yang meliputi: anestesi spinal, dan
epidural. Terdapat perbedaan secara teknik, fisiologik dan farmakologis diantara teknik
tersebut, meskipun akan menghasilkan kombinasi blockade simpatetik, sensorik dan motorik.

Anestesi epidural (ekstradural) adalah pemberian obat anestesi local ke dalam ronggal potensial
di luar duramater. Rongga di mulai dari Batasan kranioservikal C1 hingga membrana
sakrokoksigea dimana secara teori anestesi epidural dapat dilakukan di setiap daerah ini. Dalam
prakik, sering dilakukan pada tempat di dekat akar saraf yang menginervasi daerah
pembedahan; misalnya epidural lumbal untuk daerah pelvis dan ekstremitas bawah, epidural

15
thoracal untuk daerah abdomen atas. Injeksi obat anestesi local dapat bolus tinggal atau via
kateter injeksi intermiten atau kontinyu.

Anestesi spinal (intratekal) didapatkan dengan menyuntikkan obat anestesi local secara
langsung ke dalam cairan serebrospinalis di dalam ruang subaraknoid. Jarum spinal hanya
dapat diinsersikan di bawah lumbal 2 dan diatas sakralis 1; karena adanya ujung medulla
spinalis (cauda equina) dan batas bawah karena penyatuan vertebrae sakralis yang tidak
mungkin diinsersi.8

Neuraxial blockade sangat luas digunakan dalam bedah, obstetrik, manjemen nyeri akut post
operasi, dan menangani nyeri kronik. Injeksi tunggal anestesi spinal atau epidural paling sering
digunakan untuk pembedahan abdomen bawah, organ pelvis (misalnya: prostat), dan tungkai
bawah dan kelahiran secara cesar. Infus kontinu dengan kateter secara epidural digunakan
dalam analgesia pada saat melahirkan dan memberikan penurunan rasa nyeri postoperasi
setelah beberapa hari setelah pembedahan mayor (seperti thorax, abdomen, tungkai bawah).
Analgesia neuraxial dapat menurunkan morbiditas pulmonal dan kemungkinan kardiak,
meskipun keuntungan secara mortalitas minimal.

Terdapat dua pendekatan atau cara penyuntikan anesthesia neuraxial berdasarkan jaringan yang
dilewati:

 Midline approach

Kulit  jaringan subkutan  ligamentum supra & interspinosus  ligamentum flavum


 ruangan epidural  dura mater  ruang subdural  arachnoid mater  ruang
arachnoid

 Paramedian approach

Insersi jarum 1 – 2 cm lateral dari midline, tidak melewati ligamentum supra dan
interspinosus dan processus spinosus; sangat membantu untuk pasien dengan ruang
intervertebralis yang menyempit, kalsifikasi ligament, epidural thoracic anesthesia
(menyudut/angled, overlapping spinous processes).

Efek fisiologis yang disebabkan anestesi neuraksial:

 Neurologis:
Berdasarkan urutan blockade saraf:

16
C fiber (simpatetik)  Ad fiber (sensorik)  AB fiber (proprioceptive & taktil)  Aa
fiber (motoric). Blokade dari serabut simpatetik ganglionic lebih besar dibandingkan
sensorik pada spinal dibandingkan epidural.
 Kardiovaskular
Simpatektomi (lebih menonjol pada spinal > epidural) menyebabkan hilangnya tonus
vaskularisasi dan terjadi hipotensi dan reflex takikardia. Block pada tingkat diatas T4
akan melumpuhkan serabut cardioaccelerator (T1-T4) dan terjadi bradikardia
paradoksikal sehingga memicu penurunan cardiac output dan hipotensi; karena volume
yang lebih besar dari anestetik local digunakan untuk epidural, absorpsi sistemik lebih
besar dan menyebabkan efek depressant kardiak langsung.
 Pulmonal
Refleks batuk terganggu, dapat juga menurunkan penggunaan dari otot nafas tambahan
(Interkostal) sehingga harus berhati-hati jika menggunakan anestesi neuraxial pada
pasien dengan reserve pulmonal yang terbatas. Fungsi inspiratorik masih baik, kecuali
pusat respirasi di C3-C5 diblok. Pulmonary Function Test/Uji fungsi paru akan
menunjukkan penurunan atau vital capacity yang normal, penurunan expiratory
reserved volume dan penurunan dari expiratory flow rate.
 Gastrointestinal
Simpatektomi: sehingga terjadi hyperperistalsis
 Genitourinaria
Blokade sacral dapat menyebabkan atonic bladder (pertimbangkan penggunaan
kateter). Aliran darah renal biasanya tidak terganggu.

Kontraindikasi anestesi Neuraxial terdiri dari kontraindikasi absolut, yakni penolakan atau
tidak terdapat kooperasi dari pasien, infeksi local, koagulopati, hypovolemia ebrat, sepsis,
penyakit jantung berat (stenosis katup aorta/mitral), peningkatan tekanan intracranial.
Kontraindikasi relative dari anestesi neuraksial adalah pembedahan pada daerah punggung
sebelumnya, penyakit neurologis, infeksi pada distal dari tempat penyuntikkan.

Posisi pasien dalam anestesi bertujuan untuk melebarkan ruang intervertebralis. Oleh sebab itu,
biasanya pasien diposisikan dalam lutut yang fleksi mengarah ke abdomen, dagu menunduk ke
dada, dan bahu relaksasi. Pada posisi duduk, lebih mudah untuk mengidentifikasi midline.
Posisi lainnya yakni lateral decubitus, digunakkan apabila pasien tidak dapat duduk. Posisi
jackknife juga dapat digunakan terutama baik pada pembedahan perirectal.

17
Komplikasi anestesi neuraxial (baik spinal atau epidural) yang sering adalah nyeri punggung,
pruritus, hipotensi, retensi urin, kerusakan saraf, infeksi, hematoma. Komplinasi spinal lainnya
antara lain TNS/Transient neurologic symptoms yakni onset yang terlambat dari nyeri radikuler
pada punggung bawah, bokong dan paha di bagian posterior dan dapat berlangsung selama 7
hari. Selain itu dapat juga terjadi Cauda equina syndrome apabila anestesi local yang berulang
diberikan dengan gejala yang muncul seperti inkontinensia dan atau gangguan neurologis.
Nyeri kepala post spinal, High/total spinal dimana terjadi blockade dari supracervical yang
menyebabkan kolapsnya kardiovaskular, apneu, hilangnya kesadaran dan dibutuhkan terapi
suportif dan intubasi.

2.7.1. Anestesi Spinal

Teknik anestesi yang cepat dengan onset yang terpercaya untuk anesthesia tubuh bagian bawah
dengan menginjeksi anestesi local ke ruang intrathecal. Anestesi spinal akan menyebabkan
blockade pada serabut korda spinalis dan radikula. Biasanya suntikan tunggal digunakan,
meskipun kateter kontinu dapat juga digunakan. Volume loading yang biasanya digunakan
adalah 500-1000 mL cairan untuk mencegah efek simpatektomi yang cepat. Jarum yang
digunakan untuk spinal bervariasi, dapat menggunakan gauge kecil (24G), pencil point needles,
atau yang besar 22G dengan cutting needles yang biasanya digunakan untuk spinal yang lebih
sulit seperti ligamentum yang sudah fibrosis atau kalsifikasi. Digunakan introducer yang lebih
besar untuk penetrasi jaringan yang superfisial. Jarum disuntikkan (menggunakan Teknik
midline atau paramedian) pada L2- L5 interspaces sampai terasa dural “pop” atau LCS
mengalir bebas saat stylet dibuka. Pendekatan Taylor: masukkan jarum 1 cm medial dan kaudal
dari Spina Iliaca Posterior Superior dan langsung menuju cephalomedial pada midline di L5 –
S1.

Faktor yang mempengaruhi penyebaran dari anestesi pada ruang intratechal antara lain:

 Baricity: densitas kelarutan local terhadap LCS; mencampurkan obat dengan dekstrosa
atau air steril akan menghasilkan larutan yang hiper atau hipobarik (secara berurutan)
a. Isobarik (densitas sama dengan LCS)  blockade pada tingkat dimana obat
diinjeksi
b. Hiperbarik (densitas lebih besar dibandingkan LCS)  penyebaran obat sesuai
gravitasi pada ruang intrathecal
c. Hipobarik (densitas lebih kecil dibandingkan LCS)  penyebaran obat
melawan gravitasi pada ruang intrathecal

18
 Posisi pasien: gravitasi membantu penyebaran obat dalam ruang intrathecal
 Kurvatura spinalis: kifosis thoracalis pada T4 menghambat migrasi dari spinal ke regio
cervical
 Faktor lain: dosis, volume, suhu obat saat diinjeksi, peningkatan tekanan abdomen,
usia, kehamilan, arah penyuntikkan.

Durasi dari anestesi spinal tergantung dari tipe dan dosis anestetik local yang digunakan. Durasi
dapat diperlama dengan pemberian vasokonstriktor (phenylephrine/epinephrine).

Karateristik dari anestetik local untuk anestesi spinal:10

Anestesi lokal Konsentrasi (%) Durasi block (menit)


Plain (+) vasokonstriktor
Procaine 10 30 – 50 50 – 75
Lidocaine 1-2 45 – 60 75 – 90
Mepivacaine 2 50 – 70 80 – 120
Bupivacaine 0.5 – 0.75 90 – 120 140
Tetracaine 0.5 90 - 150 180 – 130

19
Tingkat blockade sensorik untuk prosedur pembedahan:

Tingkat sensorik Jenis pembedahan Anestesi local dan dosis


T4 (nipple) Upper abdominal Tetracaine
C-section Bupivacaine
Ropivacaine
8-16 mg
T6-7 (xiphoid) Lower abdominal Lidocaine 75 – 100 mg
Appendectomy Bupivacaine atau
Herniorraphy ropivacaine 10 -14 mg
T10 (umbilicus) Hip surgery Lidocaine 50 -75 mg
TURP Tetracaine 6 – 10 mg
Vaginal delivery Bupivacaine atau
ropivacaine 8 – 12 mg
L1 ( Inguinal ligament) Lower extremity Tetracaine, bupivacaine,
ropivacaine 6 mg
L2 – 3 (knee) Foot surgery Tetracaine, bupivacaine,
ropivacaine 6 mg
S2 -5 Hemorrhoidectomy Lidocaine 30 -50 mg

2.8. Evaluasi pre-operatif pada pasien obesitas5

Mayoritas pasien obes yang akan menjalani pembedahan yang biasanya sehat dan risiko peri-
operatif menyerupai pasien dengan berat badan normal. Pasien dengan risiko tinggi komplikasi
peri-operatif adalah yang memiliki obesitas sentral dan sindrom metabolik. Perhatian khusus
harus fokus terhadap skrining pasien dengan gangguan nafas saat tidur dan yang risiko tinggi
tromboembolisme vena.

Obesity Surgery Mortality Risk Stratification Score (OS-MRS) telah divalidasi untuk pasien
yang akan menjalani gastric bypass untuk mengidentifikasi factor risiko berhubungan dengan
mortalitas. Skoring termasuk fitur dari sindrom metabolik dan gangguan pernafasan saat tidur.
Meskipun divalidasi untuk pasien bedah bariatric, juga dapat diaplikasikan pada pasien
obesitas yang menjalani bedah non-bariatrik. Pasien dengan skor 4 -5 pada OS-MRS lebih
cenderung untuk mendapatkan monitoring post operatif yang lebih ketat.

20
Semua pasien harus diketahui berat dan tinggi badan serta dihitung IMTnya, juga dihitung
LBW dan ABW untuk kalkukasi dosis obat yang dibutuhkan. Pemeriksaan diagnostic
tambahan harus dilakukan sesuai dengan keperluan evaluasi komorbitas.

Pemeriksaan respirasi. Evaluasi klinis dari sistem pernafasan dan toleransi latihan (exercise
tolerance) harus mengidentifikasi batas fungsi pernafasan dan pemeriksaan lanjut. Sangat
berguna untuk menilai saturasi pasien pada pre-assesment. Spirometri juga dapat membantu.

Ciri dibawah ini dapat mengindikasikan adanya kelainan respiratorik yang medasari dan
membutuhkan pertimbangan Analisa gas darah atau spirometry pre-operatif:

 Saturasi arteri <95%


 Forced vital capacity <3 L atau Forced expiratory volume dalam 1 detik <1,5 L
 Wheezing pada saat istirahat
 Konsentrasi serum bikarbonat >27 mmol/L

PCO2 arteri >6 kPa mengindikasikan kegagalan nafas dan meningkatnya risiko anestetik.
Penting untuk skrining gangguan nafas saat tidur. Dari beberapa cara skrining yang tersedia,
kuesioner STOP-BANG yang paling baik dan tervalidasi untuk pasien obesitas. Mudah
dikalkulasi dan menunjukkan korelasi yang baik dengan beratnya apneu post operasi. STOP-
BANG score >=5 mengindikasikan kemungkinan gangguan nafas tidur yang signifikan dan

21
harus dirujuk jika ada waktu. Meskipun nilai STOP-BANG kecil, riwayat dyspnea, nyeri
kepala pagi hari, bukti EKG adanya hipertrofi atrium kanan dapat mengindikasikan gangguan
nafas tidur dan butuh merujuk.

Penilaian jalan nafas. Obesitas terkait dengan 30% kemungkinan yang lebih besar untuk
intubasi sulit, meskipun predictor untuk laringoskopi yang sulit sama dengan yang non-obes.
Lingkar leher besar merupakan indicator tambahan yang sangat membantu dan setelah >60 cm,
berhubungan dengan 35% probabilitas laringoskopi sulit.

Ventilasi bag-mask juga sulit dilakukan pada orang obesitas. Terutama pasien berjanggut yang
seringkali didapatkan pada pasien laki-laki. Direkomendasikan bahwa rambut wajah
dibersihkan pre-operasi, setidaknya dipendekkan.

Penilaian kardiovaskular. Pasien obes harus dinilai sama seperti kelompok pasien lainnya.
Ciri sindrom metabolik harus secara aktif diidentifikasi karena adanya hubungan kuat dengan
morbiditas kardiak. Penilaian toleransi latihan dapat merupakan alat yang bermanfaat.

2.9. Anestesi neuraxial pada pasien obesitas11

Premedikasi seperti antacid dan analgesic diberikan untuk persiapan pasien. Jika
memungkinkan, anestesi regional lebih dianjurkan dibandingkan anestesi umum, walaupun
rencana untuk manajemen jalan nafas tetap wajib dikerjakan. Anestesi neuraxial dapat
menyebabkan perubahan serius pada sistem kardiopulmonal pada pasien obesitas yang
menjalankan pembedahan. Karena pernafasan/pulmonal secara mekanis, volume paru,
kapasitas residu fungsional, oksigenasi dan ventilasi terganggu pada individu obes, posisi
supinasi dan Trendelenburg pada saat anestesi neuraxial dapat menyebabkan
deteriorasi/perburukan volume paru dan semakin menurunkannya kapasitas residu fungsional

22
yang dapat menyebabkan kolaps saluran nafas, atelectasis, ketidakpaduan ventilasi-perfusi, dan
hipoksia, terutama saat posisi yang disebutkan di atas. Seringkali sangat membantu untuk
mengukur saturasi oksigen pada posisi duduk dan supinasi untuk menunjukkan derajat reserve
pulmonal sebelum memulai anesthesia neuraxial. Sebagai tambahan dari perhatian terhadap
sistem pulmonal, terdapat perubahan kardiovaskular yang juga dibutuhkan monitoring yang
ketat. Berat yang berlebihan pada dinding abdomen dapat menekean vena cava, menyebabkan
penurunan dari preload jantung, reflex takikardi dan menurunkan cardiac output. Pada banyak
pasien obes yang menjalankan pembedahan non-obstetrik yang mendapatkan anestesi secara
spinal, lebih dari sepertiga terjadi hipotensi. Tiga dari 1000 pasien tersebut juga mengalami
henti jantung (cardiac arrest). Terdapat laporan lain dari henti jantung yang terjadi setelah
posisi supinasi pada obesitas berat. Perubahan ke posisi supinasi berkontribusi terhadap
perubahan sirkulasi pada pasien yang menyebabkan henti jantung.

Disamping pertimbangan penting diatas, Teknik neuraxial dapat memberikan keuntungan yang
signifikan dibandingkan pemberian anestesi umum sendiri. Pemberian opioid parenteral dapat
berbahaya pada pasien karena meningkatnya sensitivitas opioid, risiko hipoksemia dan
peningkatan insidensi OSA (Obstructive Sleep Apnea), dan meningkatnya insidensi efek
samping respiratorik setelah pembedahan. ASA (American Society of Anesthesiologists) telah
mempublikasikan panduan untuk pasien dengan OSA dan merekomendasikan bahwa Teknik
anestesi regional harus mempertimbangkan diturunkannya atau eliminasi penggunaan opioid
sistemik pada pasien.

Posisi dan penempatan. Posisi merupakan tahap yang penting dalam kesuksesan anestesi
neuraxial. Posisi duduk membantu memudahkan identifikasi garis tengah tubuh/midline.
Punggung pasien harus parallel terhadap ujung tempat tidur untuk mecegah deviasi lateral
jarum dari garis tengah. Deviasi lateral dari garis tengah tubuh akan menambah kedalaman ke
ruang epidural atau spinal dan menyebabkan kegagalan blok dan meningkatkan risiko konversi
intraoperative menjadi anestesi umum. Batas anatomik biasanya hilang atau tidak tampak pada
pasien yang obes. Apabila prosesus spinalis tidak dapat ditentukan dengan palpasi yang dalam,
dapat diambil garis dari processus spinalis vertebrae cervical ke bagian paling atas belahan
gluteal. Garis ini memperkirakan midline dari pasien. Pencitraan ultrasound juga dapat
membantu dalam mengidentifikasi prosesus spinalis dan telah menunjukkan penurunan yang
signifikan dari penyuntikan jarum yang terlalu dalam pada pasien obes yang menjalankan
pembedahan seperti laporan kasus oleh Y.Morimoto et al yang berhasil menjalankan anestesi
spinal terhadap pasien wanita 28 tahun dengan BMI 50 (BB 110 kg, TB 148 cm) untuk reseksi

23
kista pilonidal pada ujung coccyges menggunakan bantuan ultrasound dengan probe kurva
yang membantu menunjukkan struktur spinal dibawah lapisan lemak yang tebal.12

Krista iliaca pasien juga sulit ditentukan, lipat kulit pasien dapat digunakan untuk menggambar
garis yang tegak lurus dari garis vertical sehingga dapat terlihat titik interseksi yang dapat
menjadi tuntunan untuk masuknya jarum spinal atau epidural.

Penempatan anestesi neuraxial dapat menjadi sangat sulit, terutama apabila batas tulang tidak
dapat dipalpasi, fleksi punggung yang terbatas, dan terdapat resistensi palsu akibat deposisi
lemak. Seringkali sulit diprediksi kedalaman dari ruang epidural, meskipun secara umum
berhubungan dengan IMT. Suatu penelitian mengusulkan bahwa ultrasonografi prepungsi
dapat membantu memfasilitasi penempatan epidural pada pasien obes untuk memprediksi
kedalaman ruang epidural. Namun, terdapat keterbatasan dari ultrasound pada populasi pasien
ini karena kualitas gambar dapat menjadi buruk karena lemak yang menimpa ruang epidural
dan jarak ke ruang epidural inakurat jika jaringan subkutan terkompresi. Pada beberapa kasus,
jarum panjang 25-gauge dapat digunakan untuk infiltrasi anestesi local, serta untuk
mengidentifikasi prosesus spinosus. Banyak kasus menunjukkan bahwa jarum neuraxial
standar (9 – 10 cm) sudah cukup apabila penempatannya tepat pada midline. Namun, jarum
yang lebih panjang (16 cm) terkadang diperlukan pada pasien parturient yang obes.

Anestesi Spinal. Injeksi tunggal pada anestesi spinal merupakan Teknik neuraxial yang sangat
popular tetapi terdapat beberapa perhatian tentang kesulitan teknis, penyebaran dari anestetik
local, hipotensi dan inabilitas untuk memperpanjang blok, terutama pada pasien obesitas.
Anestesi spinal layak digunakan apabila pemeriksaan airway normal, tidak ada penyakit
kardiopulmonal, dan pembedahan diperkirakan kurang dari 90 menit. Lebih mudah untuk
memasukkan jarum spinal dengan menggunakan gauge epidural yang besar dan kaku sebagai
penuntun jarum spinal yang lebih kecil dan fleksibel.

Penurunan volume likuor serebrospinal (LCS/CSF) telah dikonfirmasi pada pasien obes
dengan menggunakan MRI (Magnetic Resonance Imaging). Penurunan volume LCS
disebabkan karena adanya perpindahan/displacement dari LCS oleh pergerakan jaringan lunak
ke foramen intervertebralis yang disebabkan peningkatan tekanan abdomen.13

Ini menghasilkan korelasi positif langsung antara tingginya blocking dan derajat obesitas saat
pasien menerima volume dan dosis bupivacaine spinal yang sama dalam posisi duduk. Blok
neuraxial akan lebih luas karena kurangnya dilusi anestesi & penyebaran lebih tinggi karena
tekanan intra abdomen meningkat sehingga risiko hipotensi & kesulitan nafas meningkat.

24
Lainnya mendemonstrasikan adanya tingkat sensorik yang lebih tinggi dari anestesi spinal pada
pasien obes dan diperlukan volume yang lebih kecil dari bupivacaine pada individu yang
obesitas untuk mencapai kadar sensorik yang serupa. Sebagai tambahan dari factor-faktor
tersebut, gluteus/bokong yang relative besar pada pasien obes dapat menyebabkan posisi
kolumna vertebralis ke posisi Trendelenburg, sehingga penyebaran cephalad dari anestesi
spinal dapat terjadi. Untuk mencegah high block saat bupivacaine digunakan, suatu sanggahan
(ramp) dapat diletakkan dibawah dada pasien untuk mengelevasi vertebrae cervical dan
thoracic untuk mencegah posisi Trendelenburg yang disebabkan ukuran bokong pasien.
Meskipun penelitian lain melaporkan tidak adanya perbedaan secara klinis pada anestesi spinal
pasien obes dan non-obes, anestesi spinal harus dilakukan dengan hati-hati karena konsekuensi
blockade yang ekstensif, pembedahan yang lama, dan bahaya induksi intraoperative dari
antstesi umum.

2.10. Penanganan Postoperatif pasien obesitas5

Monitoring penuh harus diawasi pada Post-anesthesia Care Unite (PACU). Pasien harus
diposisikan duduk atau kepala ditinggikan 450. Terapi oksigen harus diberikan untuk menjaga
kadar pre-operatif dari saturasi oksigen arterial dan harus dilanjutkan hingga pasien dapat
mobil post-operasi. Sebelum dipulangkan dari PACU, semua pasien obes harus diobservasi
sementara untuk tanda hipoventilasi, terutama episode apnea atau hypopnea dengan desaturasi
oksigen, yang menandakan perlunya periode monitoring yang lebih lama di PACU. Pasien
akan aman untuk dikembalikan ke ruangan hanya apabila:

 Kriteria pemulangan rutin sudah tercapai


 Laju respirasi normal dan tidak ada periode hypopnea atau apnea untuk setidaknya
satu jam
 Saturasi oksigen kembali ke nilai pre-operatif dengan atau tanpa suplementasi
oksigen

Penanganan di ruangan dan analgesia

Mobilisasi dini sangat penting dan kebanyakan pasien harus beranjak dari tempat tidur
secepatnya setelah pembedahan. Jika memungkinkan, hindari penggunaan kateter urin, dan alat
yang menghambat mobilisasi. Rute administrasi obat intramuskuler harus dihindari karena
tidak dapat diprediksi farmakokinetiknya. Penggunaan PCA/Patient Controlled Analgesia
harus dipertimbangka karena adanya risiko depresi pernafasan yang meningkat pada pasien

25
yang tidak terdiangosa gangguan pernafasan saat tidur. Bloking subarachnoid menggunakan
tambahan opioid merupakan cara yang berguna untuk menurunkan kebutuhan opioid
postoperasi. Dalam ruangan, terapi oksigen harus dilanjutkan sampai target saturasi oksigen
tercapai, dan pulse oximetry harus tetap terpasang sampai saturasi oksigen tetap pada target
tanpa suplementasi oksigen dan opioid parenteral tidak lagi dibutuhkan. Takikardi post operasi
mungkin merupakan satu-satunya tanda komplikasi post operasi dan tidak boleh diabaikan.

Trombofilaksis. Obesitas merupakan factor risiko untuk VTE dan direkomendasikan bahwa
semua pasien obes, yang menjalankan pembedahan minor harus mendapatkan profilaksis VTE.
Strategi untuk menurunkan risiko VTE termasuk: mobilisasi dini post operasi, alat kompresi
mekanik, stocking tromboembolik (TED), obat antikoagulan. Pilihan utama profilaksis VTE
pada obesitas adalah secara farmakologis, dengan kriteria profilaksi farmakologis termasuk:
imobilisasi yang lama, total waktu operasi >90 menit, usia >60 tahun, IMT >30 kg/m2, kanker,
dehidrasi dan riwayat keluarga VTE.

Obat oral seperti rivaroxaban dan dabigatran sudah valid digunakan untuk profilaskis post
bedah ortopedi, tetapi terdapat bukti yang terbatas untuk penggunaannya pada pasien obesitas.
Untuk saat ini penggunaan pada pasien obesitas belum direkomendasikan. Obat yang dapat
diberikan pada pasien antara lain LMWH.

Rhabdomiolisis. Komplikasi yang jarang tetapi serius pada pasien obes. Faktor predisposisi
lainnya termasuk: hipotensi, imobilitas, prosedur operasi yang lama, dehidrasi. Harus dicurigai
apabila apsien memiliki nyeri pada jaringan yang dalam, terutama pada bokong. Konsentrasi
kreatinin kinase serum harus diukur, jika meningkat, resusitasi cairan yang agresif, diuretic
harus diberikan untuk mecegah gagal ginjal akut.

26
BAB 3
KESIMPULAN

Perubahan inflamatorik dan fisiologis terkait obesitas dapat menghasilkan kondisi medis yang
buruk seperti hipertensi, dyslipidemia, diabetes mellitus tipe 2, penyakit jantung coroner,
stroke, OA, OSA dan lainnya. Anestesiologis dapat mengoptimalkan kemungkinan hasil yang
baik dengan mengidentifikasi dan mengintervensi factor yang dapat meningkatkan risiko
komplikasi perioperative. Pemahanan mengenai patofisiologi dan komplikasi yang
berhubungan dengan obesitas memberikan manajemen efektif pada pasien dan anestesi
regional, apabila memungkinkan lebih dianjurkan dibandingkan anestesi umum.

27
DAFTAR PUSTAKA

1. Hines RL, Marschall KE. Stoelting’s Anesthesia and Co-existing Disease, 7th edition.
Philadelphia: Elsevier; 2018.p.385
2. WHO. Obesity and overweight [internet]. February 2018. Available from:
https://www.who.int/news-room/fact-sheets/detail/obesity-and-overweight
3. Kementerian Kesehatan Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. HASIL UTAMA
RISKESDAS 2018 [internet]. 2018. Available from:
http://www.depkes.go.id/resources/download/info-
terkini/materi_rakorpop_2018/Hasil%20Riskesdas%202018.pdf
4. Ortiz VE, Kwo J. Obesity: physiologic changes and implications for preoperative
management. BMC Anesthesiology (2015) 15:97.
5. Society for Obesity and Bariatric Anaesthesia. Perioperative management of the obese
surgical patient. John Wiley & Sons Ltd ; March 2015.
6. Bansal T, Hooda S. Obesity: Anaesthetic implications and considerations-a review. India:
Cumhuriyet Med J; 2014; 36: 409-414.
7. Pesic M, Ivanovski I, Jaic KK, Kovac PJ, Vucic DC. Comparison of General and Regional
Anesthesia in Morbidly Obese Patient: Case Report 4. Croatia: Int J Diabetes Metab
Disord; 2018.
8. Soenarjo, Jatmiko HD (editor). Anestesiologi. Semarang: Undip/RSUP Dr. Kariadi;
2010.p352
9. Pardo MC, Miller RD. Basics of Anesthesia, 7th edition. Philadephia: Elsevier; 2018.
10. Urman RD. Ehrenfeld JM. Pocket Anesthesia: Pocket Notebook. Philadephia: Lippincott
Williams & Wilkins, Wolters Kluwer, 2009
11. Barash PG, Cullen BF, Stoetling RK. Cahalan MK, Stock MC, Ortega R, et al. Clinical
Anesthesia, Eight edition. Philadelphia: Wolters Kluwer; 2017
12. Morimoto Y, et al. Use of Ultrasound for spinal anesthesia in a super morbidly obese
patient. Journal of Clinical Anesthesia; 2017. 36 pp.88-89
13. Shen LH, Liu P, Feng F, Chen L, Wang S, Wang R, et al. A prospective study on the
association between spinal anesthesia and obesity. Tropical Journal of Pharmaceutical
Research April 2018; 17 (4): 695-700 - 5

28

Anda mungkin juga menyukai