Anda di halaman 1dari 23

BAB I

LAPORAN KASUS
A.

Anamnesis
1. Identitas Pasien
Nama

: An. N

Jenis Kelamin

: Perempuan

Usia

: 9 bulan

Alamat

: Boyolali

Masuk Poli

: 2 Juni 2016

Orang tua/Wali
Ayah
Nama

: Tn. B

Agama

:Islam

Suku

: Jawa

Pekerjaan

: Wiraswasta

Alamat Pekerjaan : Penghasilan

: 1.500.000/bulan

Ibu
Nama

: Ny. S

Agama

: Islam

Suku

: Jawa

Pekerjaan

: Ibu rumah tangga

Anamnesis dilakukan pada tanggal 2 Juni 2016, pukul 10.30, secara


Alloanamnesis.
2. Keluhan Utama : Batuk
3. Keluhan tambahan : sesak nafas, demam, dan ikterik
4. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien dibawa ke Balai Besar Kesehatan Paru Masyarakat (BBKPM)
Surakarta dengan keluhan batuk, sesak nafas, demam serta ikterik. Keluhan
tersebut dirasakan sejak 1 minggu yang lalu. Pasien sebelumnya telah
mengkonsumsi Obat Anti Tuberkulosis (OAT) selama 2 minggu setelah
dinyatakan positif terkena TB. Ikterik muncul setelah mengkonsumsi OAT 2
minggu.
5. Riwayat Penyakit Dahulu
Pada bulan Februari 2016, ibu pasien mengatakan demamnya sering
naik turun, ada batuk, kadang sesak, tidak pilek, tidak kejang, tidak muntah
dan mual. Sebelumnya membeli obat penurun panas di apotek dan demam
saat itu hilang.
6. Riwayat Kehamilan/Kelahiran :
KEHAMILAN
KEHAMILAN
KELAHIRAN

Morbiditas Kehamilan
Perawatan Antenatal
Tempat Kelahiran
Penolong Persalinan
Cara Persalinan
Masa Gest
Keadaan Bayi

Tidak ada
Teratur 1 bulan sekali
Rumah praktek bidan
Bidan
Spontan
Cukup Bulan
- Berat lahir: 3500 gr
- Panjang: 51 cm
- Ling.kepala: 34 cm
- Langsung Menangis

Nilai Apgar: tidak ada


Kelainan Bawaan: tidak ada

7. Riwayat Imunisasi
- BCG

: (+)

- DPT

: (+)

- Polio

: (+)

- Campak

: (+)

- Hepatitis

: (+)

8. Riwayat Pemberian Makanan


0-6 bulan

: ASI ekslusif

6 bulan 9 bulan : ASI ekslusif, bubur halus ( nasi tim yang dihaluskan
dengan sayur dan lauk tempe, tahu, ikan, dan ayam
jarang) 2 kali sehari, kadang dihabiskan kadang tidak.
9. Riwayat Penyakit Keluarga
Ayah sedang dalam pengobatan OAT

10. Pemeriksaan Fisik


- Keadaan Umum : Tampak sakit ringan
- Kesadaran
- Tanda vital

: Compos mentis

Nadi

: 116x/menit

RR

: 24x/menit, reguler

Suhu

: 37,1oC

- Status Gizi berdasarkan WHO NHCS yaitu indeks berat badan menurut
umur, anak usia 9 bulan adalah :
BB sekarang

: 8,6 kg

BB Ideal

: 6,3 10,0 kg

Status Gizi

: Gizi Baik

Kepala :
Bentuk dan ukuran

: Normocephali, ubun-ubun normal

Mata

: Palpebra tidak cekung, konjungtiva pucat,


sclera ikterik.

Telinga

: Normotia, tidak tampak serumen dan tidak


tampak sekret.

Hidung

: Tidak ada deformitas, septum deviasi (-),


sekret (-)

Leher

: KGB (+)

Thoraks:
Dinding toraks

: Bentuk normal, retraksi sela iga (-), iga vertikal,


simetris dalam keadaan statis dan dinamis

Paru

Inspeksi

: Simetris dalam keadaan statis dan dinamis

Palpasi

: Vocal fremitus simetris, dan teraba sama keras di


kedua lapang paru

Perkusi

: Sonor pada paru kedua lapang paru

Auskultasi

: Suara nafas vesikuler di kedua lapang paru, ronkhi


+/+, wheezing -/-

Jantung

Inspeksi

: Ictus cordis tidak tampak

Palpasi

: Ictus cordis tidak teraba pada ICS V 1 cm medial garis


midclavicularis sinistra, tidak teraba thrill

Auskultasi

: BJ I normal, BJ II normal, regular, tidak ada suara


tambahan

Abdomen:

Inspeksi

: Dalam batas normal

Palpasi

: Tidak ada nyeri tekan, hepar dan lien tidak teraba

Perkusi

: Timpani

Auskultasi

: bising usus (+) normal

Ekstremitas

: Akral hangat, oedema (-)

11. Pemeriksaan Penunjang


Rontgen Thorax

Cor

: Normal

Pulmo : Corakan vaskuler kasar.


Infiltrat diparakardial kanan
Hilus kanan menebal
Diafragma dan sinus normal.

SISTEM SKORING DIAGNOSIS TUBERKULOSIS ANAK


Parameter
Kontak TB

Tidak jelas

Laporan keluarga

Kavitas (+)

BTA (-)

BTA tidak jelas

3
BTA (+)

Tidak tahu
Uji Tuberkulin

Negative

Positif ( 10mm
atau 5mm
padkeadaan
imunosupresi)

Berat badan /
keadaan gizi

BB/TB <90%
BB/U <80%

Klinis gizi
buruk
BB/TB <70%
BB/U <60%

Demam tanpa
sebab jelas

2 minggu

Batuk

3 minggu

Pembesaran
KGB colli,
axilla, inguinal

1 cm
Jumlah >1
Tidak nyeri

Pembengkakan
tulang/sendi
panggul, lutut,
falang
Foto rontgen

Ada
pembengkakan

N / tidak
jelas

Infiltrat
Kalsifikasi
Pembesaran KGB
+ infiltrat
Konsolidasi
segmental/lobar Pembesaran
KGB +
Atelektasis
infiltrat

Riwayat kontak
:3
Uji Tuberkulin
:3
BB/Gizi
:0
Demam
:1
Batuk
:1
Pembesaran kelenjar : 1

Pembengkakan tulang/ sendi : 0


Foto rontgen
:1

Skoring total 10

Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan
Hematologi

Hasil
Nilai normal
Tanggal 3 Juni 2013 jam 10.30 WIB

lengkap
Bilirubin direct
Bilirubin Indirect
SGOT
SGPT
Bilirubin total

3,62
5,46
94
40
9,08

0,1-0,4
0,3-1,1
L: <33 m/LP <27
L<50 m/LP <34
<1.5

Satuan

mg/dl
mg/dl
mLp
mL
Mg/dl

Tes tuberculin
Tes tuberculin cara mantoux tanggal 13 Mei 2016 dibaca tanggal 16 Mei 2016
menunjukkan hasil positif yaitu 10 mm.

12. Daftar Masalah


Batuk, demam, nafsu makan menurun.
13. Diagnosis
Diagnosis

: TB

Diagnosis Banding : 1. Pneumonia


2. Abses paru
3. Kanker paru
4. Bronkiektasis
5. Pneumonia aspirasi
14.

Penatalaksanaan

Berat badan (kg)

2 bulan

4 bulan

RHZ (75/50/150 mg)

RH (5/50 mg)

59

1 tablet

1 tablet

10 19

2 tablet

2 tablet

20 32

4 tablet

4 tablet

Prinsip dasar pengobatan TBC :


Minimal 2 macam obat dan diberikan dalam waktu relatif lama 6-12 bulan.
Pengobatan TBC dibagi dalam 2 fase yaitu:

Fase intensif ( 2 bulan pertama) : Rifampisin, INH dan Pirazinamid


untuk menghancurkan populasi BTA yang membelah cepat.
Fase lanjutan : diberikan Rifampisin dan INH. Untuk eliminasi sisa

BTA yang dormant


Berbeda dengan orang dewasa pada anak-anak OAT diberikan setiap hari bukan 2
atau 3 kali dalam seminggu. Hal ini bertujuan mengurangi ketidak teraturan minum
obat yang lebih sering terjadi jika obat tidak diminum setiap hari.
15. Prognosis
Dubia ad malam

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A.

Definisi

Tuberkulosis

merupakan infeksi yang disebabkan oleh kuman TB

(Mycobacterium Tuberculosis), yang disebut juga basil tahan asam. Sebagian besar
kuman TB menyerang paru, tetapi dapat juga mengenai organ tubuh lainnya.
B.

Gejala Klinis
Gejala dan tanda umum atau nonspesifik :
1. Berat badan turun selama 3 bulan berturut-turut tanpa sebab yang jelas
2. Nafsu makan tidak ada(anoreksia) dengan gagal tumbuh dan berat badan tidak naik
(failure to thrive) dengan adekuat
3. Demam lama/berulang tanpa sebab yang jelas. (subfebris kadang-kadang 40-41
derajat celcius)
4. Pembesaran kelenjar limfe superfisialis yang tidak sakit. Biasanya multiple.
5. Gejala-gejala dari saluran nafas, misalnya batuk berdahak, batuk kering, sesak nafas,
batuk darah, batuk lama lebih dari 30 hari , nyeri dada.
6. Gejala-gejala dari saluran cerna, misalnya diare berulang yang tidak sembuh dengan
pengobatan diare.
7. Keringat malam, meriang dan nyeri otot.
Gejala dan tanda spesifik sesuai organ yang terkena:
1. TB kulit / skrofuloderma
2. TB tulang dan sendi
- Tulang punggung (spondilitis) : gibbus
- Tulang panggul (koksitis) : pincang
- Tulang lutut : pincang dan / bengkak
3. Dengan gejala pembengkakan sendi, gibbus, pincang, sulit membungkuk
4. TB otak dan saraf
- Meningitis : iritabel, kaku kuduk, muntah muntah dan kesadaran
menurun.
5. TB mata
- Conjunctivitis phlyctenularis
- Tuberkel koroid (hanya terlihat dengan funduskopi)

C.

Epidemiologi
Laporan mengenai TB anak jarang didapatkan. Diperkirakan jumlah kasus TB
anak per tahun adalah 5-6% dari total kasus TB. Berdasarkan laporan tahun1985, dari
1261 kasus TB anak berusia <15 tahun, 63% di antaranya berusia <5tahun. Pada
survey nasionai di Inggris dan Wales selama setahun pada tahun1983, didapatkan
bahwa 452 anak berusia <15 tahun menderita TB (MRCT-CDU,1988). diperkirakan
kasus TB naik 58% dari tahun 1990, 90% di antaranya terjadi di negara berkembang.
Di Amerika Serikat dan Kanada, peningkatan TB pada anak berusia 0-4 tahun adalah
19%, scdangkan pada usia 5-15 tahun adalah 40%. Di AsiaTenggara, selama 10
tahun, diperkirakan bahwa jumlah kasus baru adalah 35,1 juta, 8% di antaranya (2,8
juta) disertai infeksi HIV. Menurut WHO (1994), Indonesia menduduki peringkat
ketiga dalam jumlah kasus baru TB (0,4 juta kasus baru), setelah India (2,1 juta
kasus) dan Cina (1,1 juta kasus). Sebanyak 10% dari seluruh kasus terjadi pada anak
berusia < 15 tahun.

D.

Klasifikasi
Penentuan klasifikasi dan tipe kasus TB pada anak tergantung dari hal berikut:
Lokasi atau organ tubuh yang terkena:
a. Tuberkulosis Paru. Tuberkulosis paru adalah tuberkulosis yang menyerang jaringan
(parenkim) paru, tidak termasuk pleura (selaput paru) dan kelenjar pada hilus.
b. Tuberkulosis Ekstra Paru. Tuberkulosis yang menyerang organ tubuh lain selain
paru, misalnya pleura, selaput otak, selaput jantung (pericardium), kelenjar lymfe,
tulang, persendian, kulit, usus, ginjal, saluran kencing, alat kelamin, dan lain-lain.
Anak dengan gejala hanya pembesaran kelenjar tidak selalu menderita TB Ekstra
Paru. Pasien TB paru dengan atau tanpa TB ekstra paru diklasifikasikan sebagai TB
paru
Riwayat pengobatan sebelumnya:
a. Baru

Kasus TB anak yang belum pernah mendapat pengobatan dengan OAT atau sudah
pernah menelan OAT kurang dari satu bulan ( 28 dosis) dengan hasil pemeriksaan
bakteriologis sesuai definisi di atas, lokasi penyakit bisa paru atau ekstra paru.
b. Pengobatan ulang
Kasus TB Anak yang pernah mendapat pengobatan dengan OAT lebih dari 1 bulan
( 28 dosis) dengan hasil pemeriksaan bakteriologis sesuai definisi di atas, lokasi
penyakit bisa paru atau ekstra paru. Berdasarkan hasil pengobatan sebelumnya, anak
dapat diklasifikasikan sebagai kambuh, gagal atau pasien yang diobati kembali
setelah putus berobat (lost to follow-up).
Berat dan ringannya penyakit
a. TB ringan: tidak berisiko menimbulkan kecacatan berat atau kematian, misalnya
TB primer tanpa komplikasi, TB kulit, TB kelenjar dll
b. TB berat: TB pada anak yang berisiko menimbulkan kecacatan berat atau
kematian, misalnya TB meningitis, TB milier, TB tulang dan sendi, TB abdomen,
termasuk TB hepar, TB usus, TB paru BTA positif, TB resisten obat, TB HIV.
E.

Faktor Risiko
1. Umur
Sebagian besar penderita TB paru adalah usia produktif (15-55 tahun)
2. Pendidikan
Resiko kejadian kasus baru TB Paru pada keluarga penderita TB Paru BTA (+) yang
berpendidikan rendah lebih tinggi.
3. Lama kontak keluarga dengan penderita TB paru
Kontak jangka panjang dengan penderita TB Paru menyebabkan resiko tertular.
4. Status Ekonomi
WHO mengatakan bahwa 90% penderita TB paru di seluruh dunia menyerang
kelompok sosial ekonomi lemah.
5. Kepadatan Hunian
Semakin banyak jumlah penghuni maka akan semakin cepat udara di dalam rumah
mengalami pencemaran. Maka penularan penyakit TB Paru mudah terjadi pada
rumah yang terlalu padat penghuninya.
6. Kebiasaan Merokok
Paparan terhadap tembakau, baik secara aktif maupun pasif, meningkatkan resiko
timbulnya penyakit TB Paru.

F.

Patofisiologi

Sumber penularan TB Paru adalah penderita TB BTA positif. Pada waktu


batuk/bersin, penderita menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk droplet (percikan
dahak). Droplet yang mengandung kuman dapat bertahan hidup di udara pada suhu
kamar selama beberapa jam. Orang dapat terinfeksi kalaudroplet tersebut terhirup ke
dalam saluran pernafasan kemudian menyebar dari paru ke bagian tubuh lainnya
melalui sistem peredaran darah, sistem saluran limfe, saluran nafas atau penyebaran
langsung kebagian tubuh lain
G.

Penegakan Diagnosis
Diagnosis TBC tidak dapat ditegakkan hanya dari anamnesis, pemeriksaan
fisis atau pemeriksaan penunjang tunggal misalnya hanya dari pemeriksaan
radiologis. Karena sulitnya menegakkan diagnosis TBC pada anak, banyak usaha
membuat pedoman diagnosis dengan sistem skoring dan alur diagnostik..
Petunjuk WHO untuk diagnosis TBC pada anak:
1. Dicurigai TBC ( suspected TBC)
Anak sakit dengan riwayat kontak penderita TBC dengan BTA positif ;
keadaan klinis tidak membaik setelah menderita campak atau batuk rejan
berat badan menurun tanpa sebab yang jelas, batuk dan mengi yang tidak
membaik dengan pengobatan antibiotika untuk penyakit pernafasan
pembesaran kelenjar superfisial yang tidak sakit
2. Mungkin TBC ( probable TBC )
Uji tuberculin positif ( 10 mm atau lebih )
Foto roentgen paru sugestif TBC
Pemeriksaan histopatologis biopsy sugestif TBC
Respon yang baik pada pengobatan dengan OAT

3. Pasti TBC ( confirmed TBC )


Ditemukan basil TBC pada pemeriksaan langsung atau biakan.
H.

I.

Diagnosis Banding
1. Pneumonia
2. Abses paru
3. Kanker paru
4. Bronkiektasis
5. Pneumonia aspirasi
Penatalaksanaan
Tatalaksana TBC pada anak merupakan suatu kesatuan yang tidak terpisahkan
antara pemberian medikamentosa, penataan gizi, dan lingkungan sekitarnya.
Pemberian medikamentosa tidak terlepas dari penyuluhan kesehatan kepada
masyarakat atau kepada orang tua penderita tentang pentingnya minum obat secara
teratur dalam jangka waktu yang cukup lama, serta pengawasan terhadap jadwal
pemberian obat.
1

MEDIKAMENTOSA
Isoniazid (INH)
INH adalah obat anti TBC yang paling efektif saat ini , bersifat
bakterisid, dan sangat efektif terhadap kuman dalam keadaan metabolik aktif
yaitu kuman yang sedang berkembang dan bersifat bakteriostatik terhadap
kuman yang diam. Obat ini efektif pada intrasel dan ekstrasel kuman, dapat
berdifusi ke dalam seluruh jaringan dan cairan tubuh termasuk cairan
serebrospinal, cairan pleura, cairan ascites, jaringan kaseosa. Selain itu, angka
timbulnya reaksi simpang sangat rendah. Dosis harian yang biasa diberikan
5-15 mg/kg/hari (dosis maksimal 300 mg/hari), diberikan satu kali
pemberian.
INH mempunyai dua efek toksik utama hepatotoksik dan neuritis
perifer, jarang terjadi pada anak tetapi frekuensinya meningkat sejalan dengan

bertambahnya usia. Hepatotoksik akan meningkat apabila INH diberikan


bersama rifampisin dan PZA. Neuritis perifer timbul sebagai akibat inhibisi
kompetitif pada metabolisme piridoksin. Kadar piridoksin berkurang pada
anak yang menggunakan INH, tetapi manifestasi klinisnya jarang sehingga
tidak diperlukan piridoksin tambahan. Manifestasi klinis neuritis perifer yang
sering terjadi adalah mati rasa atau kesemutan pada tangan dan kaki.
Piridoksin diberikan satu kali sehari 25-50 mg atau 10 mg piridoksin setiap
100 gram INH.
Rifampisin
Merupakan antibiotika spektrum luas yang dipakai untuk berbagai
infeksi pada anak-anak. Bersifat bakterisid pada intrasel dan ekstrasel , dapat
memasuki semua jaringan, dapat membunuh kuman semi dorman yang tidak
dapat dibunuh oleh INH. Diabsorpsi baik melalui saluran gastrointestinal pada
saat perut kosong (karena makanan menghambat bioavabilitas rifampisin) dan
kadar puncak serum tercapai pada 2 jam. Diberikan dalam bentuk oral dengan
dosis 10-20 mg/kgBB/ hari (dosis maksimal 600 mg/hari), dengan dosis satu
kali pemberian perhari. Jika menghendaki memberikan Rifampisin bersama
dengan INH, maka salah satu dosis dari obat diatas harus dikurangi menjadi
dosis agar tidak mengganggu fungsi hepar (hepatotoksik).
Rifampisin didistribusikan secara luas ke dalam jaringan tubuh
termasuk cairan serebrospinal dan diekskresi melalui traktus biliaris. Efek
yang kurang menyenangkan pada pasien adalah perubahan warna urin, ludah,
keringat, sputum dan air mata menjadi oranye kemerahan.
Efek samping yang umum terjadi adalah nyeri kepala, mengantuk,
fatigue, rasa gatal dikulit (dengan atau tanpa rash), gangguan gastrointestinal
(muntah dan mual), anoreksia, diare, hiperbilirubinemia, dan hepatotoksisitas
(ikterus/ hepatitis) yang biasanya ditandai oleh peningkatan kadar

transaminase serum yang asimtomatik. Selain itu, rifampisin juga dapat


membuat kontrasepsi oral tidak efektif dan dapat berinteraksi dengan
beberapa obat termasuk kuinidin, siklosporin, teofilin, kloramfenikol,
kortikosteroid, dll.

Pirazinamid
Kerja dari pirazinamid adalah membunuh M. tuberculosis secara
intraseluler pada suasana asam. Pirazinamid tidak mempunyai efek pada basil
tuberkulosis di ekstraseluler. Penetrasi baik terhadap jaringan dan cairan tubuh
termasuk sistem saraf pusat, cairan serebrospinal. Hepatotoksisitas dapat
terjadi pada pemakaian dosis tinggi tetapi jarang pada dosis normal.
Pirazinamid dapat mengakibatkan meningkatnya asam urat serum.
Diberikan secara oral, dosis 15-30 mg/kgBB/hari (dosis maksimal 2
gram/hari).
Etambutol
Jarang diberikan pada anak karena potensi toksisitas pada mata seperti
neuritis perifer dan buta warna merah-hijau. Namun dapat digunakan pada
anak dengan TBC berat dan kecurigaan TBC resisten obat jika obat-obat
lainnya tidak tersedia atau tidak dapat digunakan. Hal ini dikarenakan
berdasarkan pengalaman, etambutol dapat mencegah resistensi terhadap obatobat lain.
Etambutol memiliki aktivitas bakteriostatik dan bakterisid. Selain itu,
etambutol tidak berpenetrasi baik pada SSP, demikian juga pada keadaan
meningitis. Dosisnya 15-20 mg/kgBB/hari (maksimum 2,5 g/hari dengan

dosistunggal).

Streptomisin
Bersifat bakterisid dan bakteriostatik kuman ektraseluler pada keadaan
basal

atau netral, jadi tidak efektif membunuh kuman intraseluler.

Saat ini streptomisin jarang digunakan dalam pengobatan TBC , tetapi


penggunaannya penting dalam pengobatan TBC yang resisten obat.
Dapat

diberikan secara

intramuskular 15-40

mg/kgBB/hari,

maksimal
1 gr/hari. Sangat baik melewati selaput otak yang meradang, tetapi tidak
dapat melewati selaput otak yang tidak meradang. Berdifusi baik pada
jaringan dan cairan pleura, dieksresi melalui ginjal. Toksisitas utama pada
nervus kranial VIII yang mengganggu keseimbangan dan pendengaran berupa
telinga

berdenging

dan

pusing.Dapat

menembus

plasenta

sehingga

kontraindikasi pemberiannya pada wanita hamil karena dapat merusak saraf


pendengaran janin.
Prinsip dasar pengobatan TBC :
Minimal 2 macam obat dan diberikan dalam waktu relatif lama 6-12 bulan.
Pengobatan TBC dibagi dalam 2 fase yaitu:

Fase intensif ( 2 bulan pertama) : Rifampisin, INH dan Pirazinamid


untuk menghancurkan populasi BTA yang membelah cepat.

Fase lanjutan : diberikan Rifampisin dan INH. Untuk eliminasi sisa


BTA yang dormant

Berbeda dengan orang dewasa pada anak-anak OAT diberikan setiap hari bukan 2
atau 3 kali dalam seminggu. Hal ini bertujuan mengurangi ketidak teraturan minum

obat yang lebih sering terjadi jika obat tidak diminum setiap hari.

Fixed Dose Combinations For Child


Berat badan (kg)

2 bulan

4 bulan

RHZ (75/50/150 mg)

RH (5/50 mg)

59

1 tablet

1 tablet

10 19

2 tablet

2 tablet

20 32

4 tablet

4 tablet

Catatan :
Bila BB 33 kg dosis sesuai tabel yang sebelumnya.
Bila BB < 5 kg sebaiknya dirujuk ke RS.
Obat harus diberikan secara utuh (tidak boleh dibelah).

Kortikosteroid
Pada keadaan meningitis TBC, milier TBC, penyebaran bronkogen,
pleuritis TBC dengan keadaan umum jelek, dapat ditambahkan kortikosteroid.
Obat ini bekerja sebagai anti fagostik dan adjuvan. Yang umum dipakai adalah

prednison dengan dosis : 1-2 mg/kgBB/hr (dosis maksimal 60 mg/hr). Untuk


TB milier dan efusi pleura TB selama 2 minggu kemudian penurunan dosis
( tapering off ) selama 2 minggu sehingga pemberian prednison tidak lebih
dari 1 bulan. Pada penderita meningitis TB diberikan prednison selama 4
minggu kemudian penurunan dosis

( tapering off ) selama 4 minggu

sehingga pemberian prednison keseluruhan tidak lebih dari 2 bulan.


Multi Drug Resistent (MDR -TBC)
MDR TBC adalah isolat M. tuberculosis yang resisten terhadap dua atau lebih
OAT lini pertama, biasanya isoniazid dan rifampisin. Manajemen TBC menjadi
semakin sulit dengan meningkatnya resistensi terhadap obat anti TBC yang biasa
dipakai. Ada beberapa penyebab terjadinya resistensi terhadap OAT yaitu pemakaian
tunggal, penggunaan paduan obat yang tidak memadai termasuk pencampuran obat
yang tidak dilakukan dengan benar, kurangnya kepatuhan minum obat. Kejadian
MDR-TBC sulit ditentukan karena kultur sputum dan uji kepekaan obat tidak rutin
dilaksanakan di tempat-tempat dengan prevalensi TBC tinggi. Namun diakui bahwa
MDR-TBC merupakan masalah besar yang terus meningkat.
2. NON MEDIKAMENTOSA
Pendekatan DOTS
Hal yang paling penting pada tatalaksana TBC adalah keteraturan
minum obat. Pasien TBC biasanya telah menunjukkan perbaikan beberapa
minggu setelah pengobatan sehingga merasa sembuh dan tidak melanjutkan
pengobatan. Lingkungan sosial dan pengertian yang kurang mengenai TBC
dari pasien serta keluarganya tidak menunjang keteraturan pasien untuk
minum obat.
Kepatuhan pasien dikatakan baik jika pasien meminum obat sesuai
dengan dosis yang ditentukan dalam panduan pengobatan. Kepatuhan pasien

ini menjamin keberhasilan pengobatan dan mencegah resistensi. Salah satu


upaya untuk meningkatkan kepatuhan pasien adalah dengan melakukan
pengawasan langsung terhadap pengobatan.
DOTS ( Directly Observed Treatment Shortcourse) adalah strategi
yang telah direkomendasi oleh WHO dalam pelaksanaan program
penanggulangan TBC. Penanggulangan dengan strategi DOTS dapat
memberikan angka kesembuhan yang tinggi.
Strategi DOTS terdiri atas 5 komponen, yaitu sebagai berikut.
1. Komitmen politis dari para pengambil keputusan, terpasuk dukungan dana.
2. Diagnosis TBC dengan pemeriksaan dahak secara mikroskopis.
3. Pengobatan dengan paduan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) jangka pendek
dengan pengawasan langsung oleh Pengawas Menelan Obat (PMO).
4. Kesinambungan persediaan OAT jangka pendek dengan mutu terjamin.
5. Pencatatan dan pelaporan secara baku untuk memudahkan pemantauan dan
evaluasi program penanggulangan TBC.
Sumber Penularan dan Case finding
Apabila kita menemukan seorang anak dengan TBC, maka harus
dicari sumber penularan yang menyebabkan anak tersebut tertular TBC.
Sumber penularan adalah orang dewasa yang menderita TBC aktif dan
melakukan kontak erat dengan anak tersebut. Pelacakan dilakukan dengan
cara pemeriksaan radiologis dan BTA sputum (pelacakan sentripetal).
Selain itu perlu dicari pula anak lain di sekitarnya yang mungkin
tertular dengan cara uji tuberkulin. Sebaliknya jika ditemukan pasien TBC
dewasa aktif maka anak di sekitarnya atau yang kontak erat harus ditelusuri

ada atau tidaknya infeksi tuberkulosis (pelacakan sentrifugal). Pelacakan


tersebut dilakukan dengan cara anamnestik, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang yaitu uji tuberkulin.
Aspek Sosial Ekonomi
Pengobatan tuberkulosis tidak terlepas dari masalah sosio-ekonomik.
Karena pengobatan TBC memerlukan kesinambungan pengobatan dalam
jangka waktu yang cukup lama maka memerlukan biaya yang cukup besar.
Selain itu diperlukan penanganan gizi yang baik. Edukasi ditujukan kepada
pasien dan keluarganya agar mengetahui tentang tuberkulosis. Pasien TBC
anak tidak perlu diisolasi karena sebagian besar TBC pada anak tidak
menularkan kepada anak yang lain. Aktifitas fisik pasien TBC anak tidak
perlu dibatasi, kecuali pada TBC berat. Meskipun bagi penderitanya sendiri
terdapat kemungkinan terjadinya penyakit yang berat yang bisa fatal atau
mengakibatkan cacat.
J.

Komplikasi

K.

TB Milier
Meningitis TB
Efusi pleura
Pneumotoraks
Bronkiektasis
Atelektasis

Prognosis
Dipengaruhi oleh banyak faktor seperti umur anak, lamanya mendapat infeksi,
keadaan gizi, keadaan sosial ekonomi keluarga, diagnosis dini, pengobatan adekuat
dan adanya infeksi lain seperti morbili, pertusis, diare yang berulang.

DAFTAR PUSTAKA
Alatas, Dr. Husein et al : Ilmu Kesehatan Anak , edisi ke 7, buku 2, Jakarta;Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia 1997, hal 573 761.
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI). (TB Pada Anak), pedoman praktis
diagnosis dan penatalaksanaan di Indonesia; 2011
WHO. Global Tuberculosis Report (serial online). WHO; 2012 (Semarang 2013
Februari ). Available from : HIPERLINK
Shrestha S., DKK. Clinical Profil ofTuberculosis in Children. Nepal Med coll J
2011; 13 (2): 119-122

Anda mungkin juga menyukai