Anda di halaman 1dari 22

Laporan Kasus

APPENDIKULAR INFILTRAT

Diajukan sebagai Salah Satu Syarat Kepaniteraan Klinik


di Departemen Ilmu Bedah RSUD H.M. Rabain Muara Enim

Oleh:
Frischa Trirosalia, S.Ked
04084821719172

Pembimbing:
dr. Yustina, SpB, MARS

DEPARTEMEN ILMU BEDAH


RSUD H.M. RABAIN MUARA ENIM
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA
2018
HALAMAN PENGESAHAN

Judul Laporan Kasus


Appendikular Infiltrat

Oleh:
Frischa Trirosalia, S.Ked
04084821719172

Referat ini diajukan untuk memenuhi salah satu tugas dalam mengikuti Kepaniteraan Klinik
Senior di Bagian Ilmu Bedah RSUD H.M. Rabain Muara Enim Fakultas Kedokteran
Universitas Sriwijaya periode 26 Maret 2018 – 04 Juni 2018

Muara Enim, Mei 2018

dr. Yustina, SpB, MARS

ii
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan
rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan laporan kasus dengan judul “Appendikular
Infiltrat”. Laporan kasus ini disusun sebagai salah satu tugas kepaniteraan klinik di
Departemen Ilmu Bedah RSUD H.M. Rabain Muara Enim Fakultas Kedokteran Universitas
Sriwijaya.
Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada dr. Yustina, SpB,
MARS selaku dokter pembimbing laporan yang telah membantu dalam penyelesaiannya.
Penulis menyadari bahwa laporan kasus ini masih jauh dari sempurna. oleh karena itu,
penulis mengharapkan bantuan dari dokter pembimbing dan rekan mahasiswa untuk memberi
saran dan kritik yang membangun. Akhir kata, semoga telaah ilmiah ini membawa manfaat
bagi kita semua.

Muara Enim, Mei 2018

Penulis

iii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ................................................................................................i


HALAMAN PENGESAHAN ................................................................................ii
KATA PENGANTAR ...........................................................................................iii
DAFTAR ISI ..........................................................................................................iv
BAB I PENDAHULUAN .......................................................................................1
BAB II LAPORAN KASUS ...................................................................................2
BAB III TINJAUAN PUSTAKA
3.1. Anatomi, Fisiologi, dan Histologi Appendiks ..................................................6
3.2. Appendikular Infiltrat
3.2.1. Definisi ..........................................................................................................8
3.2.2. Epidemiologi .................................................................................................8
3.2.3. Etiologi ..........................................................................................................8
3.2.4. Patofisiologi...................................................................................................8
3.2.5. Manifestasi klinis ........................................................................................10
3.2.6. Pemeriksaan fisik ........................................................................................11
3.2.7. Pemeriksaan penunjang ...............................................................................12
3.2.8. Diagnosis banding........................................................................................13
3.2.9. Tatalaksana ..................................................................................................14
3.2.10. Komplikasi ................................................................................................16
3.2.11. Prognosis ...................................................................................................16
BAB IV ANALISIS KASUS ................................................................................17
DAFTAR PUSTAKA ...........................................................................................18

iv
BAB I
PENDAHULUAN

Apendisitis adalah peradangan/inflamasi yang terjadi pada apendiks vermiformis. Hal


utama yang menjadi penyebabnya adalah obstruksi pada lumen apendiks dan infeksi.
Obstruksi tersebut umumnya disebabkan oleh fekalit, hiperplasia jaringan limfe, tumor
apendiks, atau cacing askaris.1
Periapendikular infiltrat adalah inflamasi di apendiks atau mikroperforasi yang
ditutupi atau di bungkus oleh omentum dan atau lekuk usus halus atau peritoneum sehingga
terbentuk suatu massa. Massa periapendikuler lebih sering terjadi pada pasien usia lima tahun
atau lebih karena daya tahan tubuh telah berkembang dengan baik dan omentum telah cukup
panjang dan tebal untuk membungkus proses radang.1
Insidens apendisitis akut lebih tinggi di negara maju. Hal ini diduga disebabkan oleh
pola diet di negara maju yang biasanya rendah akan serat. Insidens tertinggi pada kelompok
usia 20-30 tahun. Perbedaan jenis kelamin tidak memberikan perbedaan yang berarti, kecuali
pada usia dewasa muda, umumnya insidens lebih tinggi pada lelaki. Setiap tahun apendisitis
menyerang 10 juta penduduk Indonesia. Apendikular infiltrat dialami oleh 2-6% pasien yang
menderita apendisitis akut.3,4
Diagnosis apendisitis infiltrat ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik,
serta pemeriksaan penunjang. Pada anamnesis dapat ditemukan gejala-gejala khas apendisitis
akut sebelumnya, dari pemeriksaan fisik ditemukan massa yang teraba baik sesudah maupun
sebelum diberi anestesi, dan pada pemeriksaan penunjang melalui CT Scan dan USG
ditemukan massa inflamasi atau abses sirkumskripta.2,3
Apendektomi merupakan pilihan utama dalam tatalaksana apendisitis akut, tetapi pada
pasien dengan massa periapendikuler biasanya dilakukan terapi konservatif dengan antibiotik
terlebih dahulu sebelum dilakukan apendektomi elektif.2
Apendisitis infiltrat merupakan komplikasi tersering dari apendisitis akut. Apendiks
yang pernah meradang, meskipun telah terbentuk massa periapendikuler, tetap memiliki
kecenderungan untuk mengalami apendisitis eksaserbasi akut. Laporan kasus ini membahas
tentang apendisitis infiltrat serta cara mendiagnosis dan tatalaksana yang tepat sehingga dapat
menurunkan risiko terjadinya eksaserbasi akut yang selanjutnya dapat menyebabkan
komplikasi lain dari apendisitis.

1
BAB II
LAPORAN KASUS

I. Identifikasi
Nama : Tn. A
Umur : 51 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Alamat : Muara Enim
Agama : Islam
MRS : 10 Mei 2018

II. Anamnesis
II.1. Keluhan Utama
Nyeri perut kanan bawah sejak 4 hari SMRS

II.2. Riwayat Perjalanan Penyakit


Sejak ±4 hari SMRS, pasien mengeluh nyeri di sekitar ulu hati. Nyeri
dirasakan terus menerus dan timbul mendadak. Keluhan juga disertai dengan
demam (+) tidak terlalu tinggi, mual (+), muntah (+) dengan frekuensi ±3 kali
dengan isi apa yang dimakan, nafsu makan menurun (+). Sejak ±2 hari SMRS,
nyeri berpindah ke perut kanan bawah. Nyeri dirasakan hilang timbul, bertambah
saat membungkuk ataupun duduk dan batuk, dan berkurang jika berbaring, dan dirasakan
menjalar sampai ke pinggang. Pasien mengeluh merasa lemas, BAB dan BAK tidak
ada kelainan.

II.3. Riwayat Penyakit Dahulu


Keluhan perut melilit dan mencret sebelumnya disangkal.
Riwayat penyakit yang sama sebelumnya disangkal.

II.4. Riwayat Penyakit Keluarga


Riwayat hipertensi (-) dan riwayat diabetes mellitus (-) pada keluarga.
Riwayat penyakit dengan keluhan yang sama dalam keluarga disangkal.

2
III. Pemeriksaan Fisik (17-1-2018)
III.1. Status Generalis
Keadaan umum : Tampak sakit ringan
Kesadaran : Compos Mentis (E4V5M6)
Tekanan darah : 120/80 mmHg
Nadi : 88x/menit
Laju pernafasan : 20x/menit
Suhu : 37,7˚C

III.2. Pemeriksaan Fisik Khusus


Kepala :
Normocephali, simetris, konjungtiva palpebra anemis (-), sklera ikterik (-), refleks
cahaya (+/+), pupil isokor (+/+) diameter 3 mm.

Leher :
Tidak ditemukan pembesaran kelenjar getah bening, JVP 5-2 cmH2O

Thorax :
- Paru
Inspeksi : Statis dan dinamis simetris kanan dan kiri, retraksi (-)
Palpasi : Stem fremitus simetris kiri = kanan, nyeri tekan (-)
Perkusi : Sonor kedua lapangan paru
Auskultasi : Vesikuler (+) normal, wheezing (-), ronkhi (-)
- Jantung
Inspeksi : Iktus kordis tidak terlihat
Palpasi : Iktus kordis tidak teraba
Perkusi : Batas jantung dalam batas normal
Auskultasi : Bunyi jantung I-II normal, murmur (-), gallop (-)

Abdomen :
- Inspeksi : Abdomen datar, darm contour dan darm steihfung (-)

3
- Palpasi : NT (+) epigastrium, nyeri tekan McBurney (+), defans
muskular (-), nyeri lepas (-), Rovsing sign (-), Obturator sign (+), hepar dan
lien tidak teraba.
- Perkusi : Timpani, nyeri ketok (-), shifting dullness (-)
- Auskultasi : Bising usus (+) normal

Ekstremitas :
Akral dingin (-), pucat (-), CRT <2 detik, tonus otot baik di keempat ekstremitas

Genitalia :
Tidak dilakukan pemeriksaan

IV. Pemeriksaan Penunjang


IV.1. Pemeriksaan Laboratorium (10 Mei 2018)

Jenis Pemeriksaan Hasil


Hemoglobin 13,9 gr/dL
Hematokrit 43 vol%
Leukosit 14.000 /mm3
Trombosit 170.000 /mm3
Diff count 1/0/2/89/6/2

IV.2. Pemeriksaan Ro Abdomen AP

4
IV.3. Skoring Diagnostik Alvarado
M: 0
A: 1
N: 1
T: 2
R: 0
E: 1
L: 2
S: 1
Total skor: 8

V. Diagnosis Banding
- Appendikular infiltrat
- Batu Ureter
- Tumor caecum

VI. Diagnosis Kerja


Appendikular Infiltrat

VII. Tatalaksana
Non-farmakologis:
- Diet Bubur Biasa
- Bed rest
Farmakologis:
- IVFD Asering gtt XX/menit
- Ceftriaxone 1 gram/12 jam IV
- Metronidazole 500 mg/8 jam IV

VIII. Prognosis
Quo ad vitam : Bonam
Quo ad functionam : Bonam
Quo ad sanationam : Dubia

5
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1. Anatomi, Histologi, dan Fisiologi Appendiks


Appendiks adalah organ sempit, berbentuk tabung yang mempunyai otot dan
mengandung jaringan limfoid di dalam dindingnya. Appendiks melekat pada permukaan
posteromedial caecum, sekitar 2,5 cm di bawah junctura ileocaecalis. Appendiks diliputi
seluruhnya oleh peritoneum, yang melekat pada mesenterium intestinum tenue oleh
mesenteriumnya sendiri yang pendek, disebut mesoappendix. Mesoappendix berisi arteri
dan vena appendikularis dan nervus.5
Appendiks terletak di fossa iliaca dextra, dan dalam hubungannya dengan dinding
anterior abdomen, pangkalnya terletak sepertiga ke atas garis yang menghubungan spina
iliaca anterior superior dan umbilikus (titik McBurney). Di dalam abdomen, dasar
appendiks mudah ditemukan dengan mencari taenia coli caecum dan mengikutinya
sampai appendiks, di mana taenia ini bersatu membentuk tunica muskularis longitudinalis
yang lengkap.5

Gambar 1. Letak anatomis appendiks


Appendiks memiliki panjang rata-rata 6-9 cm, tetapi bervariasi dari <1 sampai >30
cm. Diameter luar bervariasi antara 3-8 mm, dimana diameter lumen bervariasi 1-3 mm.2
Appendiks mendapatkan suplai arteri dari cabang appendikular dari arteri ileocolic.
Arteri ini berasar dari posterior ileum terminal, memasuki mesoappendix mendekati dasar
dari appendiks.2 Drainase vena appendiks mengalirkan darahnya ke vena caecalis
posterior.5

6
Drainase limfatik dari appendiks mengalir ke kelenjar getah bening yang terletak di
sepanjang arteri ileocolic. Pembuluh limfe mengalirkan cairan limfe mesoappendiks dan
akhirnya bermuara ke nodi mesenterici superiores.2,5
Persarafan appendiks berasal dari elemen simpatis dari pleksus mesenterik superior
(T10-L1) dan elemen parasimpatis dari nervus vagus. 2 Serabut saraf aferen yang
menghantarkan rasa nyeri visceral dari appendiks berjalan bersama saraf simpatik dan
masuk ke medula spinalis setinggi vertebra thoracal X.5
Fitur histologi dari appendiks yaitu terdapat 3 lapisan: paling luar ada serosa, yang
merupakan pemanjangan dari peritoneum; lapisan muskularis, yang tidak terbentuk
sempurna dan tidak ada di beberapa lokasi; dan lapisan submukosa dan mukosa. Agregat
limfoid terdapat di lapisan submukosa dan dapat memanjang ke muskularis mukosa.
Mukosanya sama dengan usus besar, kecuali densitas dari folikel limfoid. Kriptanya
berukuran dan berbentuk iregular, berbeda dengan kripta di kolon yang lebih seragam.
Terdapat kompleks neuroendokrin yang disusun oleh sel ganglion, sel Schwann, serat
neural, dan sel neurosekretori yang tepat di bawah kripta.2

Gambar 2. Histologi appendiks


Appendiks merupakan organ imunologi yang secara aktif berpartisipasi dalam
sekresi immunoglobulin, terutama imunoglobulin A. Appendiks berfungsi sebagai
reservoir untuk merekolonisasi bakteri sehat ke kolon.2

7
3.2. Appendikular Infiltrat
3.2.1. Definisi
Appendikular infiltrat merupakan suatu kondisi dimana terjadi blokade (walling off) oleh
omentum, caecum, usus halus, dan dinding abdomen sehingga terjadi massa infiltrat dengan
pus yang tersebar di seluruh infiltrat.1 Umumnya massa apendiks terbentuk pada hari ke-4 sejak
peradangan mulai apabila tidak terjadi peritonitis umum. Massa apendiks lebih sering dijumpai
pada pasien berumur lima tahun atau lebih karena daya tahan tubuh telah berkembang dengan
baik dan omentum telah cukup panjang dan tebal untuk membungkus proses radang.1

3.2.2. Epidemiologi
Appendisitis merupakan salah satu kasus yang membutuhkan pembedahan darurat, dan
merupakan salah satu penyebab paling sering dari nyeri abdomen. Di Amerika Serikat, 7%
populasi mengalami appendisitis dengan insidensi 1,1 kasus tiap 1000 penduduk per tahun.
Kejadian appendisitis lebih rendah di negara dengan budaya mengkonsumsi makanan tinggi
serat. Makanan tinggi serat diperkirakan dapat mengurangi viskositas feses, mengurangi
waktu transit feset di usus, dan mengurangi formasi fekalit, yang menjadi predisposisi
obstruksi lumen appendiks. Kejadian pada laki-laki lebih tinggi 1,4 kali dibanding
perempuan, dan lebih tinggi pada remaja dibanding dewasa muda (3:2).3

3.2.3. Etiologi
Appendisitis berkaitan dengan adanya bakteri dan virus yang bervariasi. Flora dari
appediks yang inflamasi berbeda dari flora normal appendix. Sekitar 60% aspirasi dari
appendiks yang inflamasi didapatkan bakteri anaerob dibandingkan dengan 25% aspirasi dari
appendiks normal. Spesimen jaringan dari dinding appendiks yang inflamasi ditemukan
pertumbuhan Eschericia coli dan Bacteroides. Fusobacterium nucleatum/necrophorum
ditemukan pada 62% appendiks yang inflamasi. Beberapa bakteri gram negatif juga
ditemukan. Pasien dengan appendisitis perforasi atau gangrenosa lebih banyak ditemukan
invasi jaringan oleh Bacteroides.2

3.2.4. Patofisiologi
Appendisitis biasanya disebabkan oleh penyumbatan lumen apendiks oleh hyperplasia
folikel limfoid, fekalit, benda asing, striktur karena fibrosis akibat peradangan sebelumnya,
atau neoplasma. Obstruksi lumen yang tertutup disebabkan oleh hambatan pada bagian

8
proksimalnya dan berlanjut pada peningkatan sekresi normal dari mukosa apendiks yang
distensi. Obstruksi tersebut menyebabkan mucus yang diproduksi mukosa mengalami
bendungan. Makin lama mucus tersebut makin banyak, namun elastisitas dinding appendiks
mempunyai keterbatasan sehingga menyebabkan peningkatan intralumen. Kapasitas lumen
apendiks normal hanya sekitar 0,1 ml. Jika sekresi sekitar 0,5 dapat meningkatkan tekanan
intalumen sekitar 60 cmH20. Manusia merupakan salah satu dari sedikit binatang yang dapat
mengkompensasi peningkatan sekresi yang cukup tinggi sehingga menjadi gangrene atau
terjadi perforasi.6

Tekanan yang meningkat tersebut akan menyebabkan apendiks mengalami hipoksia,


menghambat aliran limfe, terjadi ulserasi mukosa dan invasi bakteri. Infeksi
menyebabkan pembengkakan apendiks bertambah (edema) dan semakin iskemik karena
terjadi trombosis pembuluh darah intramural (dinding apendiks). Pada saat inilah terjadi
apendisitis akut fokal yang ditandai oleh nyeri epigastrium. Gangren dan perforasi khas dapat
terjadi dalam 24-36 jam, tapi waktu tersebut dapat berbeda-beda setiap pasien karena
ditentukan banyak faktor. Bila sekresi mukus terus berlanjut, tekanan akan terus meningkat.
Hal tersebut akan menyebabkan obstruksi vena, edema bertambah, dan bakteri akan
menembus dinding. Peradangan timbul meluas dan mengenai peritoneum setempat sehingga
menimbulkan nyeri didaerah kanan bawah. Keadaan ini disebut dengan apendisitis supuratif
akut. Bila kemudian arteri terganggu akan terjadi infark dinding apendiks yang diikuti dengan
gangrene. Stadium ini disebut dengan apendisitis gangrenosa. Bila dinding yang telah rapuh
itu pecah, akan terjadi apendisitis perforasi.6,13

Bila semua proses diatas berjalan lambat, omentum dan usus yang berdekatan akan
bergerak kearah apendiks hingga timbul suatu massa local yang disebut infiltrate
apendikularis. Peradangan apendiks tersebut dapat menjadi abses atau menghilang. 1 Infiltrat
apendikularis merupakan tahap patologi apendisitis yang dimulai dimukosa dan melibatkan
seluruh lapisan dinding apendiks dalam waktu 24 - 48 jam pertama, ini merupakan usaha
pertahanan tubuh dengan membatasi proses radang dengan menutup apendiks dengan
omentum, usus halus, atau adneksa sehingga terbentuk massa periapendikular. Didalamnya
dapat terjadi nekrosis jaringan berupa abses yang dapat mengalami perforasi. Jika tidak
terbentuk abses, apendisitis akan sembuh dan massa periapendikular akan menjadi tenang
untuk selanjutnya akan mengurai diri secara lambat.14

9
Pada anak-anak, karena omentum lebih pendek dan apendiks lebih panjang, dinding
apendiks lebih tipis. Keadaan tersebut ditambah dengan daya tahan tubuh yang masih kurang
memudahkan terjadinya perforasi. Sedangkan pada orang tua perforasi mudah terjadi karena
telah ada gangguan pembuluh darah.1 Kecepatan rentetan peristiwa tersebut tergantung
pada virulensi mikroorganisme, daya tahan tubuh, fibrosis pada dinding apendiks, omentum,
usus yang lain, peritoneum parietale dan juga organ lain seperti vesika urinaria, uterus
tuba, mencoba membatasi dan melokalisir proses peradangan ini. Bila proses melokalisir ini
belum selesai dan sudah terjadi perforasi maka akan timbul peritonitis. Walaupun proses
melokalisir sudah selesai tetapi masih belum cukup kuat menahan tahanan atau tegangan
dalam cavum abdominalis, oleh karena itu penderita harus benar- benar istirahat (bedrest).

Apendiks yang pernah meradang tidak akan sembuh sempurna, tetapi akan membentuk
jaringan parut yang menyebabkan perlengketan dengan jaringan sekitarnya. Perlengketan ini
dapat menimbulkan keluhan berulang diperut kanan bawah. Pada suatu ketika organ ini dapat
meradang akut lagi dan dinyatakan mengalami eksaserbasi akut.

3.2.5. Manifestasi klinis


Proses inflamasi dari appendiks dipresentasikan sebagai nyeri, yang awalnya merupakan
nyeri tipe visceral dan difus dan menjadi lebih terlokalisir saat peritoneum teriritasi. Proses ini
terjadi sekitar 8 jam dari awal keluhan nyeri. 1,2 Nyeri biasanya berawal dari periumbilikal dan
nyeri difus yang akan berpindah ke kuadran kanan bawah. Walaupun nyeri pada kuadran
kanan bawah merupakan salah satu tanda sensitif dari appendisitis, nyeri pada lokasi atipikal
atau nyeri minimal dapat menjadi manifestasi awal. Variasi dari lokasi anatomi dari appendiks
dapat menimbulkan manifestasi nyeri yang berbeda.2

10
Gambar 3. Variasi anatomis appendiks
Appendisitis berkaitan dengan gejala gastrointestinal seperti mual, muntah, dan
anoreksia. Gejala gastrointestinal yang muncul sebelum onset nyeri merupakan etiologi yang
berbeda seperti gastroenteritis. Beberapa pasien mengeluh adanya sensasi obstipasi akibat dari
nyeri dan merasa defekasi dapat menghilangkan nyeri abdomen. Diare dapat terjadi dan
berkaitan dengan perforasi, terutama pada anak.2
Mayoritas pasien yang memiliki gejala massa appendikular muncul pada hari ke 5-6,
dengan beberapa penelitian mengatakan 3-4 hari.4

3.2.6. Pemeriksaan fisik


Pada awal progres penyakit, tanda vital terganggu secara minimal. Temperatur dan nadi
dapat normal atau sedikit meningkat. Pada pemeriksaan fisik ditemukan adanya iritasi
peritoneal dan dipengaruhi oleh apakah organ telah ruptur ketika pasien diperiksa. Pasien
dengan appendisitis akan bergerak lambat dan lebih suka untuk berbaring supinasi karena
iritasi peritoneal. Pada palpasi abdomen, terdapat nyeri tekan dengan maksimum pada atau
dekat titik McBurney. Pada palpasi dalam, terkadang akan terasa adanya resisten dari otot
(guarding) pada fossa iliak kanan, yang lebih terasa ketika dibandingkan dengan sisi kiri.
Pada saat pemeriksaan, ketika tangan pemeriksa dilepas, pasien akan merasakan nyeri tiba-
tiba, yang dinamakan rebound tenderness/nyeri lepas (Blumberg’s sign).7 Indirect tenderness
(Rovsing’s sign) dan nyeri lepas tidak langsung (nyeri pada kuadran kanan bawah ketika
kuadran kiri bawah dipalpasi) merupakan indikator kuat iritasi peritoneal. Nyeri lepas
11
merupakan nyeri yang tajam dan sangat tidak nyaman bagi pasien. Sehingga
direkomendasikan untuk memeriksa nyeri lepas tidak langsung dan nyeri perkusi.2
Variasi anatomis dari posisi appendiks yang inflamasi menyebabkan deviasi dari
pemeriksaan fisik biasanya. Pada appendiks retrocekal, nyeri akan lebih terasa di bagian flank.
Pada appendiks yang tergantung ke pelvis, tanda-tanda di abdomen mungkin tidak ditemukan,
tetapi pada rectal touche akan terasa nyeri terutama pada jam 10-11 ke arah kanan atas.1 Nyeri
pada ekstensi dari kaki kanan (psoas sign) mengindikasikan adanya fokus iritasi di dekat otot
psoas kanan. Peregangan dari obturator internus melalui rotasi internal dari fleksi paha
(obturator sign) menandakan adanya inflamasi dekat otot. Pada laki-laki, dapat dilakukan
tern horn sign, yaitu penderita akan terasa nyeri ketika testis kanan ditarik ke bawah. Pada
appendikular infiltrat, akan teraba massa di perut kanan bawah dengan batas tidak tegas dan
nyeri tekan.2,7

3.2.7. Pemeriksaan penunjang


Pada pemeriksaan laboratorium, appendisitis berkaitan dengan respon inflamasi yang
berkaitan erat dengan derajat penyakit. Leukositosis ringan dapat ditemukan pada pasien
dengan appendisitis akut dan tidak ada komplikasi, dan lebih banyak ditemukan sel
polimorfonuklear. Jarang terjadi kadar leukosit >18.000/mm3 pada appendisitis tanpa
komplikasi. Leukosit di atas rentang tersebut memungkinkan telah terjadi perforasi appendiks
dengan atau tanpa abses. Peningkatan C-reactive protein (CRP) merupakan indikator kuat
appendisitis, terutama pada appendisitis komplikasi.2
Sel darah putih dapat rendah karena limfopenia atau reaksi sepsis, tetapi pada situasi ini
karena proporsi neutrofil sangat tinggi. Respon inflamasi pada appendisits akut merupakan
proses yang dinamis. Pada progresi awal penyakit respon inflamasi lemah. Elevasi CRP
terutama dapat meningkat setelah 12 jam. Respon inflamasi yang menurun menandakan
adanya resolusi spontan.2
Urinalisis dapat berguna untuk menyingkirkan infeksi saluran kemih; tetapi beberapa sel
darah putih atau merah dapat muncul akibat iritasi dari ureter atau kandung kemih.2
Diagnosis klinis dari appendisitis merupakan estimasi subjektif dari kemungkinan
appendisitis berdasarkan variabel multipel yang secara individual merupakan diskriminator
lemah, tetapi jika digunakan bersama memiliki nilai prediktif yang tinggi. Skor Alvarado
merupakan sistem skoring yang digunakan untuk mendiagnosis appendisitis akut.2

12
Gambar 4. Skoring diagnostik appendisitis
Pemeriksaan imaging dengan foto polos abdomen dapat menunjukkan adanya fekalit
dan fecal loading pada caecum yang berkaitan dengan appendisitis, tetapi jarang membantu
dalam mendiagnosis appendisitis akut. Radiografi dada dapat menyingkirkan nyeri jalar
akibat proses dari pneumonia pada lobus kanan bawah.2
Ultrasonografi (USG) dan CT scan merupakan pemeriksaan imaging dengan nyeri
abdomen. USG merupakan pemeriksaan yang dapat dilakukan secara cepat, tanpa kontras,
dan dapat digunakan pada pasien yang hamil. Secara sonografi, appendiks diidentifikasi
sebagai blind-ending, nonperistaltic bowel loop yang berasal dari caecum. Dengan kompresi
maksimal, diameter dari appendiks dapat diukur pada arah anterior-posterior. Penebalan dari
dinding appendiks dan adanya cairan periappendiks dapat diperkirakan appendisitis.2
Pada pemeriksaan CT scan, appendiks yang inflamasi akan tampak dilatasi (>5 mm),
dengan dinding yang menebal. Beberapa gambaran inflamasi yaitu adanya periappendiceal
fat stranding, mesoappendiks yang menebal, periappendiceal phlegmon, dan cairan bebas.
Fekalit terkadang dapat ditemukan, tetapi tidak patognomonik untuk appendisitis.2

3.2.8. Diagnosis banding


Pada keadaan tertentu, beberapa penyakit perlu dipertimbangkan sebagai diagnosis
banding. Inflamasi dari diverticulum Meckel’s jarang ditemukan, namun penyakit ini memiliki
pathogenesis dan perjalanan penyakit yang menyerupai appendicitis.

Apabila gejala-gejala gastrointestinal seperti mual dan muntah lebih dominan, perlu
dipertimbangkan gastroenteritis sebagai diagnosis banding, terutama apabila gejala-gejala
gastrointestinal tersebut mendahului gejala nyeri perut, namun nyeri perut lebih ringan dan

13
tidak berbatas tegas. Hiperperistaltik lebih sering ditemukan. Demam dan leukositosis kurang
menonjol dibandingkan apendisitis akut.

Urolitiasis pielum atau ureter kanan (batu ureter atau batu ginjal kanan). Adanya riwayat
kolik dari pinggang ke perut menjalar ke inguinal kanan merupakan gambaran yang khas.
Eritrosituria sering ditemukan. Foto polos abdomen atau urografi intravena dapat memastikan
penyakit tersebut. Pielonefritis sering disertai dengan demam tinggi, menggigil, nyeri
costovertebral di sebelah kanan dan pyuria.

Kasus-kasus keganasan juga harus menjadi bahan pertimbangan. Karsinoma dengan


perforasi ke dalam sekum maupun kolon ascendens akan memberikan gejala nyeri yang akut
disertai tanda-tanda perangsangan peritoneum. Pada kasus yang jarang ditemui, dapat terjadi
apendisitis sekunder akibat obstruksi lumen sekum oleh karena karsinoma. Limfoma pada
ileum terminal juga dapat memberikan gejala-gejala yang menyerupai appendicitis. Secara
umum pada kasus-kasus keganasan abdominal dapat ditemukan tinja dengan test guaiac yang
positif, anemia, riwayat penurunan berat badan, perubahan kronisdari pola defekasi.

Pada wanita usia muda, penyebab dari nyeri perut kanan bawah termasuk yang telah
disebutkan diatas dan ditambah dengan kelainan-kelainan seperti: rupture dari kista maupun
folikel ovarii, torsio ovarii, kehamilan ektopik, juga salpingitis akut. Pada wanita usia
premenopause, endometriosis merupakan salah satu penyebab dari nyeri perut bawah kronik,
yang pada keadaan akut sering menyerupai apendisitis. Mengingat bahwa terdapat berbagai
kelainan ginekologis yang dapat menyerupaiapendisitis maka perlu ditanyakan riwayat
ginekologis pasien dan pola siklus menstruasinya.

3.2.9. Tatalaksana
Appendikular infiltrat adalah salah satu komplikasi dari appendisitis akut karena adanya
mikroperforasi dan menyebabkan usus dan omentum sekitarnya adhesi ke appendiks yang
inflamasi. Gejalanya berupa adanya peritonitis lokal di kuadran kanan bawah. Tatalaksana
non-operatif pada kasus ini lebih superior dibandingkan dengan tatalaksana operatif.
Tatalaksana non-operatif dapat berupa rehidrasi cairan intravena, meminimalisir stimulasi
gastrointestinal, antibiotik parenteral, drainase perkutaneous apabila dibutuhkan. Morbiditas
dari tatalaksana operatif dibandingkan dengan konservatif yaitu 36,5% dan 11%. Dari semua
pasien dengan tatalaksana konservatif, 7,6% pasien gagal konservatif dan dilakukan
pembedahan. Rekurensi dari tatalaksana konservatif yaitu 7,4%. Tatalaksana konservatif juga

14
berkaitan dengan lebih sedikit komplikasi dibanding pembedahan. Tetapi penelitian pada
pasien pediatri menunjukkan bahwa tatalaksana pembedahan lebih superior dibandingkan
tatalaksana konservatif yang diikuti dengan appendektomi interval.2
Appendektomi interval merupakan tindakan appendektomi setelah tindakan nonoperatif
yang berhasil diterapkan pada pasien tanpa gejala lainnya. Tujuannya untuk mencegah
serangan appendisitis akut atau untuk mengidentifikasi penyakit lain, seperti keganasan
appendiks. Sebagian besar pasien menjalani appendektomi interval 2-4 bulan setelah
manifestasi akut.2
Beberapa pendekatan dalam tatalaksana massa appendikular menurut Garba dan Ahmed
yaitu: tatalaksana konservatif diikuti appendektomi interval 6-8 minggu kemudian;
appendektomi setelah resolusi massa inflamasi; dan tatalaksana konservatif tanpa
appendektomi.8
Terapi konservatif pada periapendikular infiltrat :9,10

1. Total bed rest posisi fawler agar pus terkumpul di cavum douglassi.
2. Diet lunak bubur saring
3. Antibiotika parenteral dalam dosis tinggi, antibiotik kombinasi yang aktif terhadap
kuman aerob dan anaerob.

Gambar 5. Logaritma pendekatan tatalaksana massa appendikular

3.2.10. Komplikasi
15
Komplikasi yang paling sering ditemukan adalah perforasi, baik berupa perforasi bebas
maupun perforasi pada apendiks yang telah mengalami pendindingan berupa massa yang
terdiri atas kumpulan apendiks, sekum, dan lekuk usus halus.11

Perforasi dapat menyebabkan timbulnya abses lokal ataupun suatu peritonitis


generalisata.

Tanda-tanda terjadinya suatu perforasi adalah :

- Nyeri lokal pada fossa iliaka kanan berganti menjadi nyeri abdomen menyeluruh
- Suhu tubuh naik tinggi sekali.
- Nadi semakin cepat.
- Defance Muskular yang menyeluruh
- Bising usus berkurang
- Perut distended
 Akibat lebih jauh dari peritonitis generalisata adalah terbentuknya :

1. Pelvic Abscess

2. Subphrenic absess

3. Intra peritoneal abses lokal.

Peritonitis merupakan infeksi yang berbahaya karena bakteri masuk kerongga abdomen,
dapat menyebabkan kegagalan organ dan kematian.12

3.2.11. Prognosis
Mortalitas dari appendisitis akut hanya 0,2-0,8% yang berkaitan dengan komplikasi
dibandingkan dengan intervensi pembedahan. Komplikasi terjadi 1-5% pasien dengan
appendisitis, dan infeksi luka pasca-operasi menempati sepertiga dari morbiditas terkait. Pada
kasus yang telah berhasil dengan tatalaksana konservatif, 8,8% mengalami appendisitis
rekuren dengan median follow-up 35 bulan. Insidens dari appendisitis dengan komplikasi
yang rekurens hanya 2,4%.3,4

16
BAB IV
ANALISIS KASUS

Tn. A, 51 tahun, laki-laki, datang dengan nyeri perut sekitar ulu hati sejak ±4 hari
SMRS. Nyeri dirasakan terus menerus, dan timbul mendadak. Keluhan disertai demam, mual,
muntah, dan tidak nafsu makan. Sejak ±2 hari SMRS, nyeri berpindah ke perut kanan bawah.
Nyeri dirasakan terus menerus.
Keluhan ini menunjukkan gejala apendisitis akut. Obstruksi appendiks pada bagian
proksimal lumen menyebabkan terjadinya closed-loop obstruction, ditambah dengan sekresi
normal appendiks terus berlanjut dan adanya multiplikasi dari bakteri sehingga menyebabkan
distensi dari appendiks. Distensi ini menstimulasi ujung saraf aferen pada peritoneum visceral
yang menimbulkan adanya nyeri yang tumpul di bagian ulu hati dan terangsangnya refleks
mual dan muntah. Distensi appendiks menyebabkan tekanan vena appendiks terlampaui,
sehingga menyebabkan edema. Edema dapat menyebabkan epitel dari mukosa appendiks
meregang sehingga terjadilah translokasi kuman. Translokasi kuman ini menyebabkan terjadi
distensi lebih lanjut dan menyebabkan oklusi dari arteri appendiks. Proses inflamasi yang
berlanjut akan melibatkan serosa dari appendiks sehingga mengiritasi dari peritoneum parietal
menyebabkan adanya perpindahan nyeri ke perut kanan bawah.
Dari pemeriksaan fisik didapatkan NT (+) epigastrium, nyeri tekan titik Mac Burney
(+), nyeri lepas (-), obturator sign (+), Rovsing sign (-).
Dari laboratorium didapatkan peningkatan leukosit, dan neutrofil segmen (shift to the
left). Dari anamnesa, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang dapat dihitung skor
Alvarado, yaitu sebesar 8 sehingga diagnosisnya adalah appendicitis infiltrate.
Penatalaksanaan pada penderita ini pasien di bedrest total untuk merelaksasikan otot
abdomen dan mengurangi tekanan intra-abdomen. Antibiotik diberikan spectrum luas dan
dapat melawan bakteri anaerob. Pasien diperbolehkan pulang apabila gejala klinis membaik
dan hitung leukositnya telah normal.

17
DAFTAR PUSTAKA

1. Marijata. Appendisitis Akut. Dalam: Nyeri Abdomen Akut. Jogjakarta: Sub Bagian Bedah
Digestif Bagian Ilmu Bedah Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada; 2009
2. Liang MK, Andersson RE, Jaffe BE, dan Berger DH. The Appendix. Dalam: Schwartz’s
Principles of Surgery, Tenth Edition. New York: McGraw-Hill Education; 2015
3. Craig S. “Appendicitis”. 2017. (https://emedicine.medscape.com/article/773895-
overview, diakses pada 26 Januari 2018)
4. Koirala A, Thakur D, Agrawal S, Pathak KR, Bhattarai M, dan Sharma A. “Appendicular
Mass: A Conservative Approach”. Journal of Nobel Medical College. 2016; 5(2): 47-50
5. Snell RS. Dinding Abdomen, Cavitas Peritonealis, Spatium Retroperitoneale, dan
Tractus Digestivus. Dalam: Anatomi Klinis Berdasarkan Sistem. Jakarta: EGC; 2012
6. Malik AM dan Shaikh NA. “Recent Trends in the Treatment of the Appendicular Mass”.
Appendicitis – A Collection of Essays from Around the World. 2012: 87-94
7. Ishikawa H. “Diagnosis and Treatment of Acute Appendicitis”. JMAJ. 2003; 46(5): 217-
221
8. Garba ES dan Ahmed A. “Management of Appendiceal Mass”. Annals of African
Medicine. 2008; 7(4): 200-204
9. Jaffe BM, Berger DH. The Appendix. In: Schwartz’s Principles of Surgery Volume 2. 8th
edition. Ed: Brunicardi FC, Andersen DK, Billiar TR, Dunn DL, Hunter JG, Pollock RE.
New York: McGraw Hill Companies Inc. 2005:1119-34
10. Ellis H, Nathanson LK. Appendix and Appendectomy. In : Maingot’s Abdominal
Operations Vol II. 10th edition. Ed: Zinner Mj, Schwartz SI, Ellis H, Ashley SW,
McFadden DW. Singapore: McGraw Hill Co. 2001: 1191-222
11. De Jong,.W., Sjamsuhidajat, R., 2004. Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi 2. EGC. Jakarta.
12. Anonim, 2004. Appendicitis. U.S. Department Of Health and Human Services.
NationalInstitute of Health. NIH Publication No. 04±4547.June 2004
www.digestive.niddk.nih.gov
13. Mansjoer,A., dkk. 2000. Kapita Selekta Kedokteran Edisi Ketiga Jilid Kedua. Penerbit
MediaAesculapius Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta.
14. Itskowiz, M.S., Jones, S.M., 2004. Appendicitis. Emerg Med 36 (10): 10-
15.www.emedmag.com

18

Anda mungkin juga menyukai