Anda di halaman 1dari 31

LAPORAN KASUS

HERPES ZOOSTER

Disusun Oleh :
dr. Fahreza

Pendamping :
dr. Maria Inge Jammin

PROGRAM INTERNSIP DOKTER INDONESIA

KEMENTRIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA

PUSKESMAS KEBON HANDIL KOTA JAMBI

2023
LEMBAR PENGESAHAN
LAPORAN KASUS DOKTER INTERNSIP PUSKESMAS KEBON HANDIL

KOTA JAMBI PERIODE 2023-2024

Laporan kasus ini disusun sebagai tugas wajib untuk menyelesaikan Program

Internsip dalam forum ilmiah Puskesmas Kebon Handil.

Laporan kasus ini dipresentasikan oleh:

Nama : dr. Fahreza

Hari/Tanggal : September 2023

Waktu :

Kasus : Herpes Zooster

Pendamping : dr. Maria Inge Jammi

Jambi, September 2023

Mengetahui, Pendamping:

dr. Maria Inge Jammin

ii
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat
rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan laporan kasus ini tepat waktu.

Laporan kasus berjudul “Herpes Zooster” ini disusun dalam rangka mengikuti
Program Intership Dokter Indonesia (PIDI) angkatan II periode Mei 2023 – 2024.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih kepada semua pihak


yang telah banyak memberikan bimbingan kepada penulis:

1. dr. Maria Inge Jammin selaku pendamping di Puskesmas Kebon Handil.

2. dr. Palma dan dr. Putri selaku dokter organik di Puskesmas Kebon Handil
3. dr. Dini Rahayu Handayani selaku pendamping bagian RSUD H. Abdul Manap
4. dr. Sri Rosianti selaku pendamping bagian Puskesmas Paal X
5. Rekan-rekan dokter internsip
6. Pihak-pihak lain yang telah banyak membantu
Akhir kata penulis menyadari bahwa penulisan ini masih banyak kekurangan,
oleh karena itu kritik dan saran yang bersifat membangun sangat kami harapkan demi
kesempurnaan laporan kasus ini.

Semoga laporan kasus ini dapat memberi manfaat khususnya kepada penulis
dan kepada pembaca dalam menjalankan praktek sehari-hari sebagai dokter. Terima
kasih

Jambi, September 2023

Penulis

iii
Daftar Isi
Judul I
Lembar Pengesahan...............................................................................................................ii
Kata Pengantar......................................................................................................................iv
Daftar Isi................................................................................................................................v
BAB I: Pendahuluan..............................................................................................................6
BAB II: Laporan
Kasus..........................................................................................................7
BAB III: Tinjauan
Pustaka...................................................................................................12
3.1 Etiologi dan Epidemiologi TB
Paru...................................................................12
3.2 Patogenesis dan Patofisiologi
Tuberkulosis.......................................................12
3.3 Diagnosis TB Paru.............................................................................................15
3.4 Tatalaksana TB Paru..........................................................................................21
3.5 Efek Samping Pengobatan TB
Paru...................................................................26
3.6 Komplikasi dan Prognosis TB Paru...................................................................31
BAB IV:
Kesimpulan...........................................................................................................32
Daftar Pustaka......................................................................................................................33

iv
BAB I
PENDAHULUAN

Herpes zoster adalah radang kulit akut dan setempat ditandai adanya
rasa nyeri radikuler unilateral serta timbulnya lesi vesikuler yang terbatas
pada dermatom yang dipersarafi serabut spinal maupun ganglion serabut
saraf sensorik dari nervus kranialis. Infeksi ini merupakan reaktivasi virus
varisela zoster dari infeksi endogen yang menetap dalam bentuk laten setelah
infeksi primer oleh virus (1)
Herpes zoster terjadi secara sporadis sepanjang tahun tanpa
prevalensi musiman. Terjadinya herpes zoster tidak tergantung pada
prevalensi varisela, dan tidak ada bukti yang meyakinkan bahwa herpes
zoster dapat diperoleh oleh kontak dengan orang lain dengan varisela atau
herpes. Sebaliknya, kejadian herpes zoster ditentukan oleh faktor-faktor yang
mempengaruhi hubungan host-virus (2). Salah satu faktor risiko yang kuat
adalah usia lebih tua (2,3,4). Ada peningkatan insidens dari zoster pada anak
– anak normal yang terkena chicken pox ketika berusia kurang dari 2 tahun
(5). Faktor resiko utama adalah disfungsi imun selular. Pasien imunosupresif
memiliki resiko 20 sampai 100 kali lebih besar dari herpes zoster daripada
individu imunokompeten pada usia yang sama(2). Immunosupresif kondisi
yang berhubungan dengan risiko tinggi dari herpes zoster termasuk “human
immunodeficiency virus” (HIV), transplantasi sumsum tulang, leukimia dan
limfoma, penggunaan kemoterapi pada kanker, dan penggunaan
kortikosteroid (2).
Pasien dengan herpes zoster kurang menular dibandingkan pasien
dengan varisela. Virus dapat diisolasi dari vesikel dan pustula pada herpes
zoster tanpa komplikasi sampai 7 hari setelah munculnya ruam, dan untuk
waktu yang lebih lama pada individu immunocompromised. Pasien dengan
zoster tanpa komplikasi dermatomal muncul untuk menyebarkan infeksi
melalui kontak langsung dengan lesi mereka.2 Pasien dengan herpes zoster
dapat disebarluaskan, di samping itu, menularkan infeksi pada aerosol,

1
sehingga tindakan pencegahan udara, serta pencegahan kontak diperlukan
untuk pasien tersebut (6).
Manifestasi dari herpes zoster biasanya ditandai dengan rasa sakit
yang sangat dan pruritus selama beberapa hari sebelum mengembangkan
karakteristik erupsi kulit dari vesikel berkelompok pada dasar yang
eritematosa.
Gejala prodormal biasanya nyeri, disestesia, parestesia, nyeri tekan
intermiten atau terus menerus, nyeri dapat dangkal atau dalam terlokalisir,
beberapa dermatom atau difus.1 Nyeri prodormal tidak lazim terjadi pada
penderita imunokompeten kurang dari usia 30 tahun, tetapi muncul pada
penderita mayoritas diatas usia 60 tahun.4 Nyeri prodormal : lamanya kira –
kira 2 – 3 hari, namun dapat lebih lama (5).
Tujuan dari pengobatan adalah menekan inflamasi, nyeri dan infeksi.
(7) Pengobatan zoster akut mempercepat penyembuhan, mengkontrol sakit,
dan mengurangi resiko komplikasi (7). Obat yang biasa digunakan ialah
asiklovir dan modifikasinya,

2
LAPORAN KASUS
HERPES ZOSTER

I. IDENTITAS PASIEN
 Nama : Tn. O H
 Usia : 54 Tahun
 Jenis Kelamin : Laki-laki
 Agama : Kristen
 Pekerjaan : Mekanik
 Alamat : RT 24 Kebun Handil
 Tanggal Berobat : 26 Juni 2023

II. ANAMNESA (AUTOANAMNESA)


A. Keluhan Utama
Terdapat bentol-bentol di perut bagian kiri sejak 3 hari yang lalu
B. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien mengeluhkan muncul bentol-bentol sejak 3 hari yang lalu,
bentol-bentol awalnya kecil dan muncuk di bagian dada atas kiri lalu
setelah 2 hari menyebar hingga ke perut bagian kiri pasien. Pasien
turut mengeluhkan adanya demam (+), demam dirasakan sepanjang
hari dan tidak terlalu panas, mual dan muntah tidak ada. Bentol-bentol
disertai rasa sakit, nyeri, dan panas/hangat terutama saat bergesekan
dengan pakaian pasien. Riwayat pengobatan pasien hanya minum
paracetamol, setelah diminum demam dan rasa nyeri berkurang tetap
tidak terlalu signifikan.
C. Riwayat Penyakit Dahulu

3
Di Keluarga tidak ada yang memiliki keluhan yang sama dengan
pasien
D. Riwayat Penyakit Keluarga
Tidak ada yang seperti pasien
E. Riwayat sosial ekonomi :

Pasien seorang mekanik disalah satu bengkel

III. PEMERIKSAAN FISIK


A. STATUS GENERALIS
Keadaan Umum : Tampak Sakit Ringan
Kesadaran : Compos Mentis
BB : 69 Kg
TB : 178cm
Tanda-tanda vital : - Nadi :106 x/i
- Respirasi : 20 x/i
- Suhu : 36,7 C
- Tekanan Darah :137/102

Kepala : Normocephali

Mata : Conjungtiva anemis -/-, sklera ikterik -/-, reflek cahaya


+/+, pupil isokor

THT : Dalam batas normal

Leher : Pembesaran KGB (-), struma (-)

Thorak :

Inspeksi : Simetris kiri dan kanan, tidak ada retraksi

Palpasi : Vokal fremitus teraba normal, tidak melemah

Perkusi : Batas paru dalam batas normal

4
Auskultasi : Bunyi nafas bronkovesikuler, Rhonki -/-, Wheezing -/-

Cor :

Inspeksi : Iktus cordis tidak terlihat

Palpasi : Iktus cordis teraba

Perkusi : Batas jantung dalam batas normal

Auskultasi : Bunyi jantung I/II Reguler, bising jantung tidak ada

Abdomen :

Inspeksi : Tampak datar, benjolan (-)

Auskultasi : Peristaltik (+), dalam batas normal

Palpasi : Supel, nyeri tekan (-), massa (-), hepar dan lien tidak
teraba.

Perkusi : Timpani, nyeri ketuk (-)

Ekstremitas : Akral hangat, sianosis -/-, edema -/-

B. STATUS DERMATOLOGIS

Vesikel dan nodul tersebar di regio abdomen dengan tepi eritema

5
Lokasi : Regio Abdomen (Hipocondrium Sinistra,
Umbilical)
Distribusi : Unilateral, Regional
Bentuk : Tidak Teratur
Susunan : Hepertiformis
Batas : Tidak Tegas
Ukuran : Lentikuler, numular
IV. DIAGNOSIS BANDING
1. Herpes Simpleks
2. Varisela
V. DIAGNOSIS KERJA
Herpes Zooster setinggi dermatom Thoracal 8-9 sinistra
VI. USULAN PEMERIKSAAN
Pemeriksaan Tzanc Test
VII. PENGOBATAN
Papul
a. Umum Eritema
pustul

 Istirahat

 Usahakan agar lesi tidak terkena air

 Tidak menggaruk-garuk bila gatal

b. Medikamentosa

 Topikal

Salisil talk 2%

 Oral

Antiviral : Asiklovir 5 x 800 mg / hari selama 7 hari

- Ibuprofen 2 x 400 mg

- Vit. B6 3 x 1

6
IX. PROGNOSIS
- Qua ad Vitam : ad Bonam
- Qua ad Fungtionam : ad Bonam
- Qua ad Sanationam : ad Bonam
- Qua ad Cosmetikan : ad Bonam

BAB II
TINJUAN PUSTKA

2.1 Definisi

Herpes zooster adalah infeksi viral kutaneus pada umumnya melibatkan


kulit dengan dermatom tunggal atau yang berdekatan. 2 Herpes zooster merupakan
hasil dari reaktivasi virus varisela zooster yang memasuki saraf kutaneus selama
episode awal chicken pox.2 Shingles adalah nama lain dari herpes zoster 2,3,5,6,7

Virus ini tidak hilang tuntas dari tubuh setelah infeksi primernya dalam bentuk
varisela melainkan dorman pada sel ganglion dorsalis sistem saraf sensoris yang
kemudian pada saat tertentu mengalami reaktivasi dan bermanifestasi sebagai
herpes zoster.1

7
Gambar 2.1

http://www.medicinenet.com/shingles/article.htm

2.2 Epidemiologi

Herpes zooster terjadi secara sporadis sepanjang tahun tanpa prevalensi


musiman. Terjadinya herpes zooster tidak tergantung pada prevalensi varisela, dan
tidak ada bukti yang meyakinkan bahwa herpes zoster dapat diperoleh oleh kontak
dengan orang lain dengan varisela atau herpes. 4 Sebaliknya, kejadian herpes
zooster ditentukan oleh faktor-faktor yang mempengaruhi hubungan host-virus.4

Faktor resiko utama adalah disfungsi imun selular. Pasien imunosupresif


memiliki resiko 20 sampai 100 kali lebih besar dari herpes zoster daripada
individu imunokompeten pada usia yang sama.4 Immunosupresif kondisi yang
berhubungan dengan risiko tinggi dari herpes zoster termasuk “Human
Immunodeficiency Virus” (HIV), transplantasi sumsum tulang, leukimia dan
limfoma, penggunaan kemoterapi pada kanker, dan penggunaan kortikosteroid.4
Herpes zoster adalah infeksi oportunistik terkemuka dan awal pada orang yang
terinfeksi dengan HIV, dimana awalnya sering ditandai dengan defisiensi imun.4
Zooster mungkin merupakan tanda paling awal dari perkembangan penyakit

8
AIDS pada individual dengan resiko tinggi. 8 Dengan demikian, infeksi HIV harus
dipertimbangkan pada individu yang terkena herpes zooster.4

Faktor lain melaporkan meningkatnya resiko herpes zooster termasuk jenis


kelamin perempuan, trauma fisik pada dermatom yang terkena, gen interleukin 10
polimorfisme, dan ras hitam, tapi konfirmasi diperlukan. 2 Paparan dari anak dan
kontak dengan kasus varisela telah dilaporkan untuk memberikan perlindungan
terhadap penyakit herpes zooster.2 Episode kedua dari herpes zooster jarang
terjadi pada orang imunokompeten, dan serangan ketiga sangat jarang. 2 Orang
yang menderita lebih dari satu episode mungkin immunocompromised.2 Pasien
imunokompeten menderita beberapa episode seperti penyakit herpes zoster yang
mungkin menderita infeksi virus herpes simpleks zosteriform (HSV) yang
berulang.2

Pasien dengan herpes zooster kurang menular dibandingkan pasien dengan


varisela. Virus dapat diisolasi dari vesikel dan pustula pada herpes zooster tanpa
komplikasi sampai 7 hari setelah munculnya ruam, dan untuk waktu yang lebih
lama pada individu immunocompromised.2 Pasien dengan herpes zooster tanpa
komplikasi dermatomal muncul untuk menyebarkan infeksi melalui kontak
langsung dengan lesi mereka.2 Pasien dengan herpes zooster dapat disebarluaskan,
di samping itu, menularkan infeksi pada aerosol, sehingga tindakan pencegahan
udara, serta pencegahan kontak diperlukan untuk pasien tersebut.2

2.3 Patogenesis

Varisela sangat menular dan biasanya menyebar melalui droplet


respiratori.3 Virus Varicella Zooster bereplikasi dan menyebar ke seluruh tubuh
selama kurang lebih 2 minggu sebelum perkembangan kulit yang erupsi.3 Pasien
infeksius sampai semua lesi dari kulit menjadi krusta.3 Selama terjadi kulit yang
erupsi, VVZ menyebar dan menyerang saraf secara retrograde untuk melibatkan
ganglion akar dorsalis di mana ia menjadi laten.1,2,3,5,6,7,8 Virus berjalan sepanjang
saraf sensorik ke area kulit yang dipersarafinya dan menimbulkan vesikel dengan
cara yang sama dengan cacar air.8 Zoster terjadi dari reaktivasi dan replikasi VVZ

9
pada ganglion akar dorsal saraf sensorik.1,2,3,4,5,8 Latensi adalah tanda utama virus
Varisela zooster dan tidak diragukan lagi peranannya dalam patogenitas. 1 Sifat
latensi ini menandakan virus dapat bertahan seumur hidup hospes dan pada suatu
saat masuk dalam fase reaktivasi yang mampu sebagai media transmisi penularan
kepada seseorang yang rentan.1

Gambar 2.2 Persebaran Dermatom

http://www.moondragon.org/health/disorders/eyesshingles.html

Reaktivasi mungkin karena stres, sakit immunosupresi, atau mungkin


terjadi secara spontan.3 Virus kemudian menyebar ke saraf sensorik
menyebabkan gejala prodormal dan erupsi kutaneus dengan karakteristik
yang dermatomal.3 Infeksi primer VVZ memicu imunitas humoral dan
seluler, namun dalam mempertahankan latensi, imunitas seluler lebih penting
pada herpes zooster.1 Keadaan ini terbukti dengan insidensi herpes zooster
meningkat pada pasien HIV dengan jumlah CD4 menurun, dibandingkan
dengan orang normal.1

10
Gambar 2.3 Virus Varicella Dorman di Medulla Spinalis

http://www.herpes.com/herpes-zoster.html

11
Gambar 2.4

http://www.pyroenergen.com/articles08/herpes-zoster-shingles.htm

Penyebab reaktivasi tidak diketahui pasti tetapi biasanya muncul pada keadaan
imunosupresi.1 Insidensi herpes zooster berhubungan dengan menurunnya
imunitas terhadap VZV spesifik.1

Pada masa reaktivasi virus bereplikasi kemudian merusak dan terjadi


peradangan ganglion sensoris.1 Virus menyebar ke sumsum tulang belakang dan
batang otak, dari saraf sensoris menuju kulit dan menimbulkan erupsi kulit
vesikuler yang khas.1 Pada daerah dengan lesi terbanyak mengalami keadaan laten
dan merupakan daerah terbesar kemungkinannya mengalami herpes zoster.1

Selama proses varisela berlangsung, VZV lewat dari lesi pada kulit dan
permukaan mukosa ke ujung saraf sensorik menular dan dikirim secara
sentripetal, naik ke serabut sensoris ke ganglia sensoris.4 Di ganglion, virus
membentuk infeksi laten yang menetap selama kehidupan. 4 Herpes zoster terjadi
paling sering pada dermatom dimana ruam dari varisela mencapai densitas
tertinggi yang diinervasi oleh bagian (oftalmik) pertama dari saraf trigeminal
ganglion sensoris dan tulang belakang dari T1 sampai L2.4

Depresi imunitas selular akibat usia lanjut, penyakit, atau obat-obatan


mempermudah reaktivasi. Herpes zoster pada anak kecil sehat mungkin
berhubungan dengan perkembangan imunitas selular yang kurang efisien pada
saat terjadi infeksi VZV primer baik in utero maupun pascalahir.8

12
Gambar 2.5

http://en.wikipedia.org/wiki/Herpes_zoster#Pathophysiology

Gambaran perkembangan rash pada herpes zoster diawali dengan:

( seperti terlihat pada gambar di atas )

1. Munculnya lenting-lenting kecil yang berkelompok.


2. Lenting-lenting tersebut berubah menjadi bula-bula.
3. Bula-bula terisi dengan cairan limfe, bisa pecah.
4. Terbentuknya krusta (akibat bula-bula yang pecah).
5. Lesi menghilang.

Gambar 2.6 sekelompok vesikel – vesikel dalam bentuk bervariasi

http://hardinmd.lib.uiowa.edu/dermnet/shingles72.html

13
Gambar 2.7 vesikel berumbilikasi dan membentuk krusta

http://hardinmd.lib.uiowa.edu/dermnet/shingles91.html

Gambar 2.8 sekelompok vesikel – vesikel berkonfluens pada kasus inflamasi


berat

http://hardinmd.lib.uiowa.edu/dermnet/shingles90.html

Gambar 2.9 vesikel pecah menjadi krusta dan mungkin dapat menjadi
“scar” jika inflamasi berat

http://hardinmd.lib.uiowa.edu/dermnet/shingles95.html

14
2.4 Gejala Klinis

Varisela biasanya dimulai dengan demam prodromal virus, nyeri otot, dan
kelelahan selama 1 sampai 2 hari sebelum erupsi kulit.3 Inisial lesi kutaneus
sangat gatal, makula dan papula eritematosa pruritus yang dimulai pada wajah dan
menyebar ke bawah.3 Papula ini kemudian berkembang cepat menjadi vesikel
kecil yang dikelilingi oleh halo eritematosa, yang dikenal sebagai “tetesan embun
pada kelopak mawar” (“dew drop on rose petal”).3 Setelah vesikel matang, pecah
membentuk krusta.3 Lesi pada beberapa tahapan evolusi merupakan karakteristik
dari varisela.3

Manifestasi dari herpes zooster biasanya ditandai dengan rasa sakit yang
sangat dan pruritus selama beberapa hari sebelum mengembangkan karakteristik
erupsi kulit dari vesikel berkelompok pada dasar yang eritematosa.3

Gejala prodormal biasanya nyeri, disestesia, parestesia, nyeri tekan


intermiten atau terus menerus, nyeri dapat dangkal atau dalam terlokalisir,
beberapa dermatom atau difus.1 Nyeri prodormal tidak lazim terjadi pada
penderita imunokompeten kurang dari usia 30 tahun, tetapi muncul pada penderita
mayoritas diatas usia 60 tahun.4 Nyeri prodormal : lamanya kira –kira 2 – 3 hari,
namun dapat lebih lama.8

Gejala lain dapat berupa rasa terbakar dangkal 1,7, malaise, demam, nyeri
kepala, dan limfadenopati, gatal1,7, tingling.1 Lebih dari 80% pasien biasanya
diawali dengan prodormal, gejala tersebut umumnya berlangsung beberapa hari
sampai 3 minggu sebelum muncul lesi kulit.1

Nyeri preeruptif dari herpes zooster (preherpetic neuralgia) 7 dapat


menstimulasi migrain6, nyeri pleura4,6, infark miokardial4,6, ulkus duodenum,
kolesistitis, kolik renal dan bilier, apendisitis4,6, prolaps diskus intervertebral, atau
glaucoma dini, dan mungkin mengacu pada intervensi misdiagnosis yang serius.4

15
Lesi kulit yang paling sering dijumpai adalah vesikel dengan eritema di
sekitarnya8 herpetiformis berkelompok dengan distribusi segmental unilateral. 1
Erupsi diawali dengan plak eritematosa terlokalisir atau difus kemudian
makulopapuler muncul secara dermatomal.1

Lesi baru timbul selama 3-5 hari. 8 Bentuk vesikel dalam waktu 12 sampai
24 jam dan berubah menjadi pustule pada hari ketiga. 4 Pecahnya vesikel serta
pemisahan terjadi dalam 2 – 4 minggu. 8 Krusta yang mongering pada 7 sampai 10
hari.4 Pada umumnya krusta bertahan dari 2 sampai 3 minggu. 4 Pada orang yang
normal, lesi – lesi baru bermunculan pada 1 sampai 4 hari ( biasanya sampai
selama 7 hari).4 Rash lebih berat dan bertahan lama pada orang yang lebih tua.,
dan lebih ringan dan berdurasi pendek pada anak – anak.4

Dermatom yang terlibat : biasanya tunggal dermatom dorsolumbal


merupakan lokasi yang paling sering terlibat (50%), diikuti oleh trigeminal
oftalmika, kemudian servikal dan sakral.8 Ekstremitas merupakan lokasi yang
paling jarang terkena.8

Keterlibatan saraf kranial ke 5 berhubungan dengan kornea.3 Pasien


seperti ini harus dievaluasi oleh optalmologi.3 Varian lain adalah herpes zoster
yang melibatkan telinga atau mangkuk konkhal – sindrom Ramsay-Hunt.3
Sindrom ini harus dipertimbangkan pada pasien dengan kelumpuhan nervus
fasialis, hilangnya rasa pengecapan, dan mulut kering dan sebagai tambahan lesi
zosteriform di telinga.3 Secara klasik, erupsi terlokalisir ke dermatom tunggal,
namun keterlibatan dermatom yang berdekatan dapat terjadi, seperti lesi meluas
dalam kasus zoster-diseminata.3 Zooster bilateral jarang terjadi, dan harus
meningkatkan kecurigaan pada imunodefisiensi seperti HIV / AIDS.3

Menurut lokasi lesinya, herpes zoster dibagi menjadi:


1. Herpes zooster oftalmikus
Herpes zooster oftalmikus merupakan infeksi virus herpes zoster yang
mengenai bagian ganglion gasseri yang menerima serabut saraf dari
cabang ophtalmicus saraf trigeminus (N.V), ditandai erupsi herpetik

16
unilateral pada kulit.
Infeksi diawali dengan nyeri kulit pada satu sisi kepala dan wajah
disertai gejala konstitusi seperti lesu, demam ringan. Gejala prodromal
berlangsug 1 sampai 4 hari sebelum kelainan kulit timbul. Fotofobia,
banyak kelar air mata, kelopak mata bengkak dan sukar dibuka.

Gambar 2.10 Herpes zoster oftalmikus sinistra.

2. Herpes zooster fasialis


Herpes zooster fasialis merupakan infeksi virus herpes zoster yang
mengenai bagian ganglion gasseri yang menerima serabut saraf fasialis
(N.VII), ditandai erupsi herpetik unilateral pada kulit.

Gambar 2.11 Herpes zoster fasialis dekstra.

3. Herpes zooster brakialis


Herpes zoster brakialis merupakan infeksi virus herpes zoster yang
mengenai pleksus brakialis yang ditandai erupsi herpetik unilateral
pada kulit.

Gambar 2.12. Herpes zoster brakialis sinistra.

1. Herpes zooster torakalis

Herpes zoster torakalis merupakan infeksi virus herpes zoster yang


mengenai pleksus torakalis yang ditandai erupsi herpetik unilateral
pada kulit.

17
Gambar 2.13 Herpes zoster torakalis sinistra.
5. Herpes zooster lumbalis
Herpes zoster lumbalis merupakan infeksi virus herpes zoster yang
mengenai pleksus lumbalis yang ditandai erupsi herpetik unilateral
pada kulit.
6. Herpes zooster sakralis
Herpes zoster sakralis merupakan infeksi virus herpes zoster yang
mengenai pleksus sakralis yang ditandai erupsi herpetik unilateral
pada kulit.

Gambar 2.14 Herpes zooster sakralis dekstra.

2.5 Diagnosis

Diagnosis herpes zooster pada anamnesis didapatkan keluhan


berupa neuralgia beberapa hari sebelum atau bersama-sama dengan
timbulnya kelainan kulit.3 Adakalanya sebelum timbul kelainan kulit
didahului gejala prodromal seperti demam, pusing dan malaise. 9 Kelainan
kulit tersebut mula-mula berupa eritema kemudian berkembang menjadi
papula dan vesikula yang dengan cepat membesar dan menyatu sehingga
terbentuk bula. Isi vesikel mula-mula jernih, setelah beberapa hari menjadi
keruh dan dapat pula bercampur darah. Jika absorbsi terjadi, vesikel dan
bula dapat menjadi krusta.

18
Dalam stadium pra erupsi, penyakit ini sering dirancukan dengan
penyebab rasa nyeri lainnya, misalnya pleuritis, infark miokard,
kolesistitis, apendisitis, kolik renal, dan sebagainya.4 Namun bila erupsi
sudah terlihat, diagnosis mudah ditegakkan. Karakteristik dari erupsi kulit
pada herpes zooster terdiri atas vesikel-vesikel berkelompok, dengan dasar
eritematosa, unilateral, dan mengenai satu dermatom.

Secara laboratorium, pemeriksaan sediaan apus tes Tzanck


membantu menegakkan diagnosis dengan menemukan sel datia berinti
banyak. Demikian pula pemeriksaan cairan vesikula atau material biopsi
dengan mikroskop elektron, serta tes serologik.4,9 Pada pemeriksaan
histopatologi ditemukan sebukan sel limfosit yang mencolok, nekrosis sel
dan serabut saraf, proliferasi endotel pembuluh darah kecil, hemoragi
fokal dan inflamasi bungkus ganglion. Partikel virus dapat dilihat dengan
mikroskop elektron dan antigen virus herpes zoster dapat dilihat secara
imunofluoresensi.

Apabila gejala klinis sangat jelas tidaklah sulit untuk menegakkan


diagnosis. Akan tetapi pada keadaan yang meragukan diperlukan
pemeriksaan penunjang antara lain:

1. Isolasi virus dengan kultur jaringan dan identifikasi


morfologi dengan mikroskop elektron.

2. Pemeriksaan antigen dengan imunofluoresen

3. Test serologi dengan mengukur imunoglobulin spesifik.

2.6 Dianosis Banding

 Herpes simpleks zoosteriform1,3,4,10 : karena herpes zooster dapat


muncul di daerah genital.
 Selulitis.1
 Erisipelas.1
 Infeksi mikobakterium diseminata.1

19
 Dermatitis kontak.3
 Pemphigus dan bulosa lainnya yang melepuh tapi tidak ada
distribusi dermatomal klasik.10
 Molluscum contagiosum dengan papul putih atau kuning dengan
umbilikasi sentral yang disebabkan oleh pox virus. Lesinya lebih
lunak dan tidak ada dasar eritem seperti zoster. 10
 Scabies dapat muncul dengan rash pustul yang tidak tebatas pada
dermatom dan mengikuti jaringan laba – laba.4,10
 Gigitan serangga (Insect bite).4,10
2.7 Komplikasi

1. Neuralgia paska herpetic


Neuralgia paska herpetik adalah rasa nyeri yang timbul pada daerah bekas
penyembuhan. Neuralgia ini dapat berlangsung selama berbulan-bulan
sampai beberapa tahun. Keadaan ini cenderung timbul pada umur diatas 40
tahun, persentasenya 10 - 15 % dengan gradasi nyeri yang bervariasi.
Semakin tua umur penderita maka semakin tinggi persentasenya.
2. Infeksi sekunder

Pada penderita tanpa disertai defisiensi imunitas biasanya tanpa


komplikasi. Sebaliknya pada yang disertai defisiensi imunitas, infeksi
H.I.V., keganasan, atau berusia lanjut dapat disertai komplikasi. Vesikel
sering manjadi ulkus dengan jaringan nekrotik.
3. Zooster trigeminalis

 herpes zooster bisa menyerang setiap bagian dari saraf trigeminus,


tetapi paling sering terkena adalah bagian oftalmika. 11,15 Gangguan
mata seperti konjungitvitis, keratitis, dan/atau iridosiklitis bisa terjadi
bila cabang nasosiliaris dari bagian oftalmika terkena (ditunjukkan
oleh adanya vesikel –vesikel di sisi hidung), dan pasien dengan zoster
oftalmika hendaknya diperiksa oleh oftalmolog.11

 herpes keratokonjungtivitis : termasuk HZO, dalam waktu 3 minggu

20
selama rash, terdapat ulkus kornea, keratitis punctata.15

Gambar 2.15 Herpes Trigeminalis

http://www.thachers.org/dermatology.htm

Gambar 2.16

http://www.entusa.com/oral_pictures_htm/
shingles_herpes_zoster.htm

 Infeksi pada bagian maksila dari saraf trigeminus menimbulkan vesikel


– vesikel unilateral pada pipi dan pada palatum11.

4. Sindrom Ramsay Hunt


Sindrom Ramsay Hunt terjadi karena gangguan pada nervus fasialis dan
otikus, sehingga memberikan gejala paralisis otot muka (paralisis Bell),
kelainan kulit yang sesuai dengan tingkat persarafan, tinitus, vertigo,
gangguan pendengaran, nistagmus, nausea, dan gangguan pengecapan.

21
5. Paralisis motorik
Paralisis motorik dapat terjadi pada 1-5% kasus, yang terjadi akibat
perjalanan virus secara kontinuitatum dari ganglion sensorik ke sistem
saraf yang berdekatan. Paralisis ini biasanya muncul dalam 2 minggu sejak
munculnya lesi. Berbagai paralisis dapat terjadi seperti: di wajah,
diafragma, batang tubuh, ekstremitas, vesika urinaria dan anus. Umumnya
akan sembuh spontan.

2.8 Penatalaksanaan

1. Pengobatan Umum
Selama fase akut, pasien dianjurkan tidak keluar rumah, karena dapat
menularkan kepada orang lain yang belum pernah terinfeksi varisela dan
orang dengan defisiensi imun.
Usahakan agar vesikel tidak pecah, misalnya jangan digaruk dan pakai
baju yang longgar. Untuk mencegah infeksi sekunder jaga kebersihan
badan.
2. Pengobatan Khusus
A. Sistemik
A.1. Obat Antivirus
Obat yang biasa digunakan ialah asiklovir dan modifikasinya,
misalnya valasiklovir dan famsiklovir. Asiklovir bekerja sebagai
inhibitor DNA polimerase pada virus. Asiklovir dapat diberikan
peroral ataupun intravena. Asiklovir Sebaiknya pada 3 hari pertama
sejak lesi muncul. Dosis asiklovir peroral yang dianjurkan adalah
5×800 mg/hari selama 7 hari, sedangkan melalui intravena
biasanya hanya digunakan pada pasien yang imunokompromise
atau penderita yang tidak bisa minum obat. Obat lain yang dapat
digunakan sebagai terapi herpes zoster adalah valasiklovir.
Valasiklovir diberikan 3×1000 mg/hari selama 7 hari, karena
konsentrasi dalam plasma tinggi. Selain itu famsiklovir juga dapat
dipakai. Famsiklovir juga bekerja sebagai inhibitor DNA

22
polimerase. Famsiklovir diberikan 3×200 mg/hari selama 7 hari.
A.2. Analgetik
Analgetik diberikan untuk mengurangi neuralgia yang ditimbulkan
oleh virus herpes zoster. Obat yang biasa digunakan adalah asam
mefenamat. Dosis asam mefenamat adalah 1500 mg/hari diberikan
sebanyak 3 kali, atau dapat juga dipakai seperlunya ketika nyeri
muncul.
A.3. Kortikosteroid
Indikasi pemberian kortikostreroid ialah untuk Sindrom Ramsay
Hunt. Pemberian harus sedini mungkin untuk mencegah terjadinya
paralisis. Yang biasa diberikan ialah prednison dengan dosis 3×20
mg/hari, setelah seminggu dosis diturunkan secara bertahap.
Dengan dosis prednison setinggi itu imunitas akan tertekan
sehingga lebih baik digabung dengan obat antivirus.

B. Pengobatan topikal

Terapi topikal seperti krim EMLA, lidokain patches, dan krim


capsaicin dapat digunakan untuk neuralgia paska herpes.3,7 Solutio Burrow
dapat digunakan untuk kompres basah.7 Kompres diletakkan selama 20
menit beberapa kali sehari, untuk maserasi dari vesikel, membersihkan
serum dan krusta, dan menekan pertumbuhan bakteri.7 Solutio Povidone-
iodine sangat membantu membersihkan krusta dan serum yang muncul
pada erupsi berat dari orang tua. 7 Acyclovir topikal ointment diberikan 4
kali sehari selama 10 hari untuk pasien imunokompromised yang
memerlukan waktu penyembuhan jangka pendek.7

2.9 Prognosis

Infeksi primer herpes virus merupakan penyakit yang dapat sembuh


spontan,biasanya berlangsung selama 1-2 minggu. Kematian dapat terjadi
pada masa neonates, anakdengan malnutrisi berat, kasus meningo-
ensefalitis, dan eksema herpetikum yang berat,diluar keadaan ini biasanya

23
prognosis baik. Mungkin sering ditemukan serangan berulang,tetapi
serangan ulang tersebut jarang berat, kecuali serangan ulang pada mata
yang dapatmenyebabkan timbulnya jaringan parut pada kornea dan
menimbulkan kebutaan.

24
BAB III
KESIMPULAN

Herpes zoster adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi virus


varisela-zoster yang menyerang kulit dan mukosa, infeksi ini merupakan
reaktivasi virus yang terjadi setelah infeksi primer.
Berdasarkan lokasi lesi, herpes zoster dibagi atas: herpes zoster
oftalmikus, fasialis, brakialis, torakalis, lumbalis, dan sakralis. Manifestasi
klinis herpes zoster dapat berupa kelompok-kelompok vesikel sampai bula di
atas daerah yang eritematosa. Lesi yang khas bersifat unilateral pada dermatom
yang sesuai dengan letak syaraf yang terinfeksi virus.
Diagnosa herpes zoster dapat ditegakkan dengan mudah melalui
anamnesis dan pemeriksaan fisik. Jika diperlukan dapat dilakukan pemeriksaan
laboratorium sederhana, yaitu tes Tzanck dengan menemukan sel datia berinti
banyak.
Pada umumnya penyakit herpes zoster dapat sembuh sendiri (self
limiting disease), tetapi pada beberapa kasus dapat timbul komplikasi. Semakin
lanjut usia, semakin tinggi frekuensi timbulnya komplikasi.

25
BAB IV
DAFTAR PUSTAKA

1. Daili SF, B Indriatmi W. Infeksi Virus Herpes. Jakarta : Fakultas


Kedokteran Universitas Indonesia. 2002.

2. Habif, T.P. Viral Infection. In : Skin Disease Diagnosis and Treatment. 3rd
ed. Philadelphia : Elseiver Saunders. 2011 .p. 235 -239.

3. Schalock C.P, Hsu T.S, Arndt, K.A. Viral Infection of the Skin. In :
Lippincott’s Primary Care Dermatology. Philadelphia : Walter Kluwer
Health. 2011 .p. 148 -151.

4. Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffel DJ.
Varicella and Herpes Zoster. In : Fitzpatrick. Dermatology in General
Medicine. 7 thed. New York : McGraw Hill Company.2008.p. 1885-1898.

5. James, W.D. Viral Diseases. In : Andrew’s Disease of the Skin Clinical


Dermatology. 11th ed. USA : Elseiver Saunder. 2011 .p. 372 – 376.

6. Marks James G Jr, Miller Jeffrey. Herpes Zoster. In: J Lookingbill and
Marks’ Principles of Dermatology. 4th ed. Philadelphia : Elseiver Saunders.
2006 .p.145-148.

7. Habif P.Thomas. Warts, Herpes Simplex, and Other Viral Infection. In :


Clinical Dermatology. 5 thed. United States of America : Elseiver Saunders.
2010.p. 479 – 490.

8. Mandal BK, dkk. Lecture Notes :Penyakit Infeksi.6th ed. Jakarta : Erlangga
Medical Series. 2008 : 115 – 119.

9. Sehgal, V.N. Herpes Zoster. In : Textbook of Clinical Dermatology. 4th ed.


New Delhi : Jaypee Brothers Medical Publishers. 2006.p. 83 – 84.

10. Mayeaux EJ. Viral Infection. In : The Color Atlas of Family Medicine.
United State of America : Mc Graw-Hill Companies, 2009 : 493 – 502.

26
11. Brown, R.G. Lecture Notes Dermatology: Penyakit Infeksi.8th ed. Jakarta :
Erlangga Medical Series. 2005 : 29 – 31.

12. Brown, R.G.Dermatology Fundamentals of Practice. Philadelphia : Mosby


Elseiver. 2008.p. 212-214.

13. Chang Sung Eun, Bae Gee Young, Moon Kee Chan, Do Sang Hwan, Lim
Young Jin. Subcutaneous granuloma annulare following herpes zoster. In :
International Journal of Dermatology. Vol. 43. Number 4. 2004.p. 298 –
299.

14. The International Society of Dermatology.Herpes zoster and pruritus. In :


International Journal of Dermatology. Vol. 43. Number 4. 2004.p. 779 -780.

15. Ali Asra. Varicella zoster virus (VZV). In : Dermatology a Pictorial Review.
New York : Mc Graw Hill Companies. 2007.p. 22 -23.

16. Handoko RP. Penyakit Virus. In : Djuanda Adhi, Mochtar H, Siti A, eds.
Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. 5th ed. Cetakan V, Jakarta : Penerbit
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2010 : 110-112.

17. Martodihardjo S. Penanganan Herpes Zoster dan Herpes Progenitalis. Ilmu


Penyakit kulit dan Kelamin. Surabaya: Airlangga University Press, 2001.

18. Hartadi, Sumaryo S. Infeksi Virus. Ilmu Penyakit Kulit. Jakarta: Hipokrates,
2000; 92-4.

27

Anda mungkin juga menyukai