HERPES ZOOSTER
Disusun oleh:
dr. Aisyah Mariam Fadhilla
Pembimbing:
dr. Hesty Mustika Dewi
HERPES ZOOSTER
Disusun Oleh:
dr. Aisyah Mariam Fadhilla
Pendamping:
ii
BERITA ACARA
Berita acara ini ditulis dan disampaikan sesuai dengan yang sesungguhnya.
Pembimbing
iii
KATA PENGANTAR
Segala puji syukur kepada Allah swt, karena atas berkat dan rahmat-Nya sehingga
penulis dapat menyelesaikan laporan kasus dengan topik “Herpes Zooster”. Di
kesempatan ini penulis juga mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada
dr. Hesty Mustika Dewi selaku pembimbing yang telah membantu dalam penyelesaian
laporan kasus ini. Laporan kasus ini merupakan salah satu syarat untuk memenuhi tugas
Program Dokter Intersip Indonesia periode Agustus 2022 – Agustus 2023
Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada teman sejawat kelompok
internsip dan semua pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan laporan kasus
ini, sehingga laporan kasus ini dapat diselesaikan oleh penulis.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan laporan kasus ini masih banyak
terdapat kesalahan dan kekurangan. Oleh karena itu, segala saran dan kritik yang bersifat
membangun sangat penulis harapkan. Demikianlah penulisan laporan ini, semoga
bermanfaat, amin.
Penulis
iv
DAFTAR ISI
v
6
BAB I
PENDAHULUAN
Herpes zoster (HZ), yang disebut juga shingles, adalah penyakit infeksi yang
disebabkan oleh reaktivasi dari infeksi laten virus varicella-zoster (VVZ). Shingles
berasal dari Bahasa Latin “cingulum” yang artinya girdle atau korset, karena manifestasi
HZ sesuai dermatomal, sedangkan zoster berasal dari Bahasa Yunani kuno yang berarti
ikat pinggang pejuang Yunani.2 Angka kejadian herpes zoster meningkat seiring dengan
bertambahnya usia akibat penurunan imunitas selular. Pada kelompok individu dengan
usia 85 tahun, 50% akan mengalami herpes zoster. Sedangkan pada kelompok individu
dengan usia 45 tahun, insidensnya kurang dari 1 per 1000 orang. Studi di Eropa dan
Amerika Utara menunjukkan angka kejadian HZ sebesar 1,5-3 per 1000 orang/tahun
(semua usia) dan 6-8 per 1000 orang/tahun (usia > 60 tahun), serta 8- 12 per 1000 orang/
tahun (usia > 80 tahun).1,3 Berdasarkan data di poliklinik Kulit dan Kelamin Rumah
Sakit Umum Pusat Sanglah Denpasar pada tahun 2015 terdapat 99 kasus herpes zoster
baru dari total 2953 kunjungan pasien baru atau sebanyak 3,3%.
6
7
BAB II
LAPORAN KASUS
I. IDENTITAS PASIEN
a. Nama : Ny. S
b. Usia : 65 tahun
c. No. Rekam Medis : 51001295
d. Jenis Kelamin : Perempuan
e. Alamat : Mentikan
f. Agama : Islam
g. Suku : Jawa
h. Tanggal Masuk : 25 Junis 2023
II. ANAMNESIS
A. RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG
Keluhan Utama: Bercak-bercak hitam kemerahan
Pasien datang ke Puskesmas Mentikan dengan keluhan bercak-bercak hitam
kemerahan dengan bruntus yang berisi cairan dan terasa perih dan panas dibawah
payudara kiri dan punggung kiri. Pasien mengatakan keluhan dirasakan sejak 5 hari
yang lalu, muncul secara tiba-tiba dan menetap. Pasien juga mengeluhkan bercak-
bercak tersebut terasa perih, nyeri, dan panas.
Beberapa hari sebelum keluhan muncul, pasien mengalami nyeri kepala, pusing dan
demam. Keluhan tersebut muncul sekitar 7 hari yang lalu. Beberapa hari setelahnya,
muncul bintik kemerahan padat yang diikuti dengan munculnya bruntus berisi cairan
yang terasa perih, nyeri, dan panas di bawah payudara sebelah kiri yang kemudian
menjalar ke daerah punggung kiri. Keluhan yang dirasakan menyebabkan tidur
terganggu. Pasien juga mengeluhkan nyeri tulang, pegal, dan nyeri otot di bagian yang
ada bintik kemerahan.
Pasien menyangkal riwayat trauma pada daerah yang terkena, pasien lupa mengenai
riwayat varicella pada masa kanak-kanak. Faktor pencetus lain seperti radiasi, konsumsi
obat-obatan tertentu, keadaan immunocompromised (HIV, transplantasi sunsum tulang
belakang, leukeumia, limfoma, dan kemoterapi) tidak ditanyakan.
7
8
8
9
9
10
V. RESUME
Pasien datang ke Puskesmas Mentikan dengan keluhan bercak-bercak hitam
kemerahan dengan bruntus yang berisi cairan dan terasa perih dan panas dibawah
payudara kiri dan punggung kiri. Pasien mengatakan keluhan dirasakan sejak 5 hari
yang lalu, muncul secara tiba-tiba dan menetap. Pasien juga mengeluhkan bercak-
bercak tersebut terasa perih, nyeri, dan panas.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan pasien tampak sakit sedang dengan tanda vital
N 103 x/mnt, isi cukup, kuat, reguler, RR 24x/menit, suhu 39,9°C, SpO2 99% free air.
Nyeri tekan epigastrik (+), turgor sedikit melambat.
IX. TATALAKSANA
A. Pemeriksaan Anjuran
Pemeriksaan TZanck, ELISA Antigen dan Antibodi
B. Non-farmakologis
10
11
Jangan digaruk
C. Farmakologis
- Acyclovir cream tube No. II
- Acyclovir 800mg 5x 1 tab
- CTM 2x1 tab
E. Edukasi
• Bullae dan vesikel jangan dipecahkan karena dapat memperburuk gejala
dan memperluas wilayah lesi. Biarkan mengecil sendiri
• Jangan terkena air
• Beritahu tentang komplikasi penyakit: sikatrik, infeksi sekunder, dapat
menularkan kepada orang lain
X. PROGNOSIS
Quo ad vitam : ad bonam
Quo ad functionam : ad bonam
11
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Herpes zoster disebabkan oleh reaktivasi varicella zoster virus (VZV) laten dari
saraf tepi dan saraf pusat. varicella zoster virus merupakan patogen utama terhadap
dua infeksi klinis utama pada manusia yaitu varicella atau chickenpox (cacar air)
dan herpes zoster (cacar ular). Varicella merupakan infeksi primer yang terjadi pada
individu yang terpapar dengan varicella zoster virus. Pada 3-5 dari 1000 individu,
varicella zoster virus mengalami reaktivasi, menyebabkan infeksi reaktivasi yang
dikenal dengan nama Herpes zoster atau Shingles. (Amnil A., 2010) Herpes zoster
adalah infeksi virus akut yang memiliki karakteristik unilateral, sebelum timbul
manifestasi klinis pada kulit wajah dan mukosa mulut biasanya akan didahului oleh
gejala odontalgia. Timbulnya gejala odontalgia pada Herpes zoster belum
sepenuhnya diketahui.
2.2 Etiologi
Varicella zoster virus (VZV) adalah virus yang menyebabkan cacar air
(chicken pox) dan herpes zoster (shingles). VZV memiliki klasifikasi taksonomi
sebagai berikut (Ann M, 1996). :
Famili : Herpesviridae
Upafamili : Alphaherpesvirinae
Genus : Varicellovirus
Varicella zoster adalah virus yang hanya dapat hidup di manusia dan primata
(simian). Pertikel virus (virion) varicella zoster memiliki ukuran 120-300 nm. Virus
ini memiliki 69 daerah yang mengkodekan gen tertentu sedangkan genom virus ini
berukuran 125 kb (kilo-basa). Komposisi virion adalah berupa kapsid, selubung
virus, dan nukleokapsid yang berfungsi untuk melindungi inti berisi DNA double
stranded genom. Nukleokapsid memiliki bentuk ikosahedral, memiliki diameter
12
100-110 nm, dan terdiri dari 162 protein yang dikenal dengan istilah kapsomer.
Virus ini akan mengalami inaktivasi pada suhu 56-60 °C dan menjadi tidak
berbahaya apabila bagian amplop virus ini rusak. Penyebaran virus ini dapat terjadi
melalui pernapasan dan melalui vesikel pada kulit pada penderita.
2.3 Epidemiologi
Terdapat 1 juta kasus herpes zoster yang terjadi di Amerika Serikat setiap
tahun, dengan insiden 1,2 sampai 4,8 kasus per 1000 orang per tahun. Herpes zoster
biasanya muncul pada orang berkulit putih (35% lebih tinggi dibandingkan orang
kulit gelap) dan insiden meningkat 3 sampai 7 kali lebih tinggi pada orang lanjut usia.
Pada pasien immunocompromised memiliki risiko 20 kali lebih tinggi dibandingkan
pasien immunocompetent. Beberapa studi melaporkan insiden pada wanita lebih
tinggi dibandingkan laki-laki (3,8 kasus per 1000 penduduk per tahun pada wanita
dan 2,6 kasus per 1000 penduduk per tahun) (Weinberg dkk., 2007).
Varicella zoster virus (VZV) memiliki level infektifitas yang tinggi dan
memiliki prevalensi yang terjadi di seluruh dunia. Herpes zoster tidak memiliki
kaitan dengan musim dan tidak terjadi epidemik. Hubungan yang kuat terdapat pada
peningkatan usia, yaitu 1,2 sampai 3,4 per 1000 penduduk per tahun pada orang sehat
berusia muda, dan meningkat menjadi 3,9 sampai dengan 11,8 per 1000 penduduk
pada usia di atas 65 tahun (Long MD dkk., 2013). Tidak terdapat bukti yang kuat
untuk menunjukan adanya hubungan genetik dengan penyakit herpes zoster. Suatu
studi pada tahun 1994 di California, Amerika Serikat menunjukan adanya komplikasi
pada 26% kasus herpes zoster, insiden 2,1 per 100.000 penduduk per tahun dan
meningkat menjadi 9,3 per 100.000 penduduk per tahun pada usia 60 tahun ke atas
(Weinberg dkk., 2007). Menurut Data Depkes pada tahun 2011-2013 Didapatkan
prevalensi herpes zoster dari 13 rumah sakit pendidikan di Indonesia sepanjang 2011
hingga 2013 mencapai 2.232 kasus. Puncak kasus terjadi pada penderita berusia 45-
64 tahun dengan jumlah 851 kasus atau 37,95 persen dari total kasus herpes zoster.
(depkes, 2014).
Gejala awal herpes zoster yang tidak spesifik meliputi sakit kepala, demam,
dan malaise. Gejala-gejala tersebut lalu diikuti oleh sensasi nyeri terbakar, gatal,
13
hyperesthesia atau paresthesia pada dermatum yang terkena. Gejala yang timbul ini
bisa berkembang menjadi ringan maupun berat. Gejala herpes zoster pada anakanak
lebih sering tidak menimbulkan rasa nyeri, sedangkan pada usia lanjut cenderung
lebih nyeri dan berkembang menjadi lebih parah. Sensasi yang sering dirasakan pada
dermatum dapat berupa rasa tersengat, tertusuk, nyeri, mati rasa, maupun rasa seperti
tertimpa beban berat (Fitzpatrick, 2012).
Pada kebanyakan kasus, setelah satu sampai dua hari tetapi pada beberapa
kasus bisa sampai bermingu-minggu setelah gejala tersebut muncul akan diikuti oleh
munculnya tanda berupa lesi pada kulit. Rasa nyeri dan lesi pada kulit biasanya
muncul pada ekstrimitas, tetapi dapat juga muncul pada wajah, mata, maupun bagian
tubuh lain. Lesi awal terlihat mirip dengan lesi yang tampak pada cacar air, namun
lesi pada herpes zoster terbatas bada dermatum, yang biasanya akan tampak seperti
ikat pinggang atau berupa garis yang terletak unilateral dan tidak melewati garis
tengah tubuh. Lesi yang muncul bilateral biasanya terjadi pada kasus
immunocompromised. Zoster sine herpete (zoster tanpa herpes) adalah pasien yang
memiliki semua gejala herpes zoster tanpa penampakan lesi (Long MD dkk., 2013).
Selanjutnya, lesi berubah menjadi vesikel yang membentuk blister kecil yang
dipenuhi oleh eksudat serous, pada fase ini gejala berupa demam dan malaise masih
berlanjut. Pada akhirnya lesi berubah menjadi lebih gelap karena terisi darah, dan
menjadi krusta setelah 7-10 hari. Biasanya krusta akan lepas dengan sendirinya dan
penampakan kulit kembali normal. Namun pada beberapa kasus, setelah proses
blisterring yang lama, akan meninggalkan bekas berupa scar dan perubahan warna
kulit menjadi lebih gelap pada dermatum yang terkena (Kumano Y, 1995). Hari
pertama Hari kedua Hari kelima Hari keenam Gambar 2.1 Perkembangan lesi herpes
zoster (Kumano Y, 1995).
14
spesifik yang hanya muncul ketika seseorang mengalami cacar air atau herpes zoster
dan tidak muncul ketika virus dalam keadaan laten. Pada pemeriksaan lebih canggih,
dapat dilakukan dengan pemeriksaan DNA virus yang menggunakan mikroskop
elektron untuk partikel virus.
2.5 Patofisiologi
Herpes zoster adalah penyakit yang disebabkan oleh virus varicella zoster
(VZV). Virus DNA ini adalah virus yang menyebabkan penyakit cacar air (chicken
pox) yang merupakan infeksi awal sebelum sesorang mengalami herpes zoster. Jadi
herpes zoster hanya dapat muncul pada seseorang yang telah mengalami cacar air
sebelumnya. Setelah episode cacar air telah sembuh, varicella zoster akan bersifat
laten di dalam badan sel saraf kemudia varicella menyebar secara sentripetal ke
sensori fiber dan sensori ganglia. Virus tesebut dorman dan tanpa menimbulkan
gejala. (Fitzpatrick, 2012).
Virus dapat menyebar dari satu atau lebih ganglion mengikuti dermatum
saraf (daerah pada kulit yang disarafi oleh satu spinal nerve) yang menimbulkan
tanda dan gejala pada kulit berupa cluster atau gerombolan benjolan yang kecil
yang kemudian menjadi blister. Blister-blister tersebut akan terisi cairan limfa dan
kemudian pecah lalu menjadi krusta dan menghilang (Fitzpatrick, 2012).
Postherpatic neuralgia terkadang terjadi dikarenakan kerusakan pada saraf. Sistem
imun akan mengeliminasi sebagian besar virus sehingga seseorang dapat dikatakan
sembuh. Meskipun tanda dan gejala telah tidak ada, namun virus akan tetap bersifat
laten pada ganglion saraf (ganglion dorsal root maupun ganglion gasseri) pada dasar
tengkorak. Apabila sistem imun menurun virus akan mengalami multiplikasi dan
menyebar sepanjang ganglion menyebabkan nekrosis di neuron yang ditandai oleh
neulagia (Fitzpatrick, 2012).
2.6 Komplikasi1
Presentase komplikasi yang timbul dari kasus herpes zoster adalah 7,9%
postherpetic neuralgia. 2,3% infeksi bakteri, 1,6% komplikasi okular (herpes zoster
opthalmicus), 0,9% motor neuropati, dan 0,5% neuropati motorik, 0,5% meningitis,
dan 0,2% herpes zoster oticus.
15
a) Postherpetic Neuralgia
Komplikasi yang paling sering terjadi pada kasus herpes zoster adalah postherpetic
neuralgia. Lima puluh persen kasus tersebut berumur lebih dari 60 tahun.
Postherpatic neuralgia adalah nyeri yang diakibatkan kerusakan saraf oleh virus
varicella zoster, yang menghasilkan sinyal elektrik ke otak. Pasien mengalami rasa
nyeri lebih dari 4 bulan dari onset awal munculnya lesi herpes zoster. Gejala
sensoris pada dermatum yang terkena berupa nyeri, mati rasa, dysesthesias dan
allodynia (nyeri yang dikarenakan gerakan). Gejala ini berlangsung atau muncul
kembali dalam jangka waktu bulanan, tahunan, ataupun seumur hidup (Pasqualucci
dkk., 2000). Pada beberapa kasus yang cukup jarang, pasien dapat mengalami
kelemahan otot, tremor, atau paralisis jika saraf yang terkena memiliki peranan
dalam mengontrol pergerakan otot. Tanda yang muncul dapat berupa cutaneous
scar pada area herpes zoster yang telah terkena sebelumnya.
Herpes zoster dapat menimbulkan gejala tambahan pada beberapa kasus, tergantung
letak dermatum yang terkena. Herpes zoster opthalmicus terjadi pada orbit mata
dan terjadi pada 10% sampai 25% kasus. Hal ini terjadi karena reaktifasi virus pada
saraf trigeminal bagian optalmikus. Pada beberapa pasien, gejala berupa
konjungtivitis, keratitis, uveitis, dan kelemahan sarap optikus yang terkadang
menyebabkan inflamasi okular, nyeri pada daerah mata bahkan kehilangan 79
kemampuan penglihatan. Lesi vesikular pada hidung memiliki risiko tinggi herpes
zoster opthalmicus atau disebut dengan Hutchinson's sign.
Herpes zoster oticus atau disebut juga sindroma Ramsay Hunt tipe II melibatkan
telinga bagian dalam, tengah, atau luar. Sindroma ini terjadi karena keterlibatan
saraf fasialis dan vestibulokoklearis yang menyebabkan gejala berupa kehilangan
pendengaran dan vertigo (Sweeney, 2001). Manifestasi herpes zoster oticus berupa
ostalgia berat dan berhubungan dengan erupsi vesikular kutaneus pada eksternal
cannal dan pinna. Apabila berkaitan dengan paralisis pada wajah, infeksi ini disebut
dengan Ramsay Hunt syndrome. Ramsay Hunt syndrome menempati 12% facial
paralysis dan sebagian besar memiliki prognosis dan gejala yang lebih berat
dibandingkan bell palsy.
16
d) Superinfeksi Bakteri
Komplikasi lain juga dapat berupa superinfeksi bakteri pada kulit yang
menyebabkan lamanya proses penyembuhan dan komplikasi lainnya. Superinfeksi
disebabkan oleh karena rendahnya imunitas pasien dan ketika terdapat lesi terbuka.
Bakteri yang sering menyerang adalah bakteri Streptococcus dan Staphylococcus.
Pemberian antibiotik spektrum luas diperlukan untuk pengobatan awal untuk
mencegah terjadinya komplikasi lebih lanjut. Virus herpes zoster dan superinfeksi
bakteri dapat menyerang tidak hanya terbatas pada saraf spinalis, namun juga bisa
menyebar ke bagian saraf sentralis, yang menyebabkan inflamasi meningeal dan
meningitis. Terkadang reaktifasi VZV dapat mengenai neuron motorik pada spinal
cord yang menyebabkan neuropati motorik. Pasien dengan satu atau lebih
komplikasi lebih sering terjadi pada pasien dengan komorbiditas contohnya
diabetes, kanker, HIV, dan pasien transplantasi.
2.7 Penatalaksanaan
Episode herpes zoster sebagian besar adalah self-limited dan dapat sembuh tanpa
intervensi. Namun penyakit ini menyebabkan kesakitan yang cukup tinggi dan dapat
menyebabkan komplikasi, oleh karena itu diperlukan penanganan yang tepat. Penyakit
ini cenderung memberikan gejala yang lebih ringan pada anak-anak dibandingkan
orang dewasa (Camila, 2010). Terapi antiviral untuk herpes zoster dapat mengurangi
waktu pembentukan vesikel baru, jumlah hari yang diperlukan untuk menjadi krusta,
dan perasaan tidak nyaman atau nyeri akut. Semakin awal antiviral diberikan, semakin
efektif untuk mencegah postherpetic neuralgia. Idealnya, terapi dimulai dalam jangka
waktu 72 jam setelah onset, selama 7-10 hari.
Penelitian non randomised placebo controlled triali untuk pengobatan nyeri akut
herpes zoster menunjukan adanya pengaruh signifikan pemberian kombinasi antiviral
dan analgesik dalam jangka waktu 2-3 minggu onset untuk mencegah komplikasi
17
postherpetic neuralgia. Pengobatan primer untuk nyeri akut herpes zoster adalah:
2) NSAIDs
3) Opioid Analgesic
4) Antikonvulsan
2) Pesien imunocompressive
7) Keterlibatan optalmikus
8) Keterlibatan meningoensepalitis
2.8 Pencegahan
Herpes zoster adalah penyakit yang dapat menular melalui cairan di dalam
vesikel. Vesikel pada pasien mudah pecah dan virus ini mudah tertular melalui udara
ataupun kontak langsung. Beberapa Institut Kesehatan di Inggris merekomendasikan
untuk meliburkan penderita herpes zoster pada perusahaan, sekolah, dan tempat umum
lainnya sampai keadaan krusta kering (Elston dkk., 2010). Setiap orang memiliki
kesempatan yang berbeda-beda untuk tertular penyakit herpes zoster. Semakin rendah
keadaan imunitas seseorang, semakin besar kesempatan untuk tertular. Di Amerika
Serikat, pemberian vaksin direkomendasikan sebagai pencegahan primer kepada ibu
hamil, infan yang lahir prematur, infan yang memiliki berat lahir rendah, dan pasien
dengan keadaan immunocompromised, dan pada lanjut usia >60 tahun. Vaksin herpes
18
zoster yang telah mendapatkan lisensi di Amerika Serikat adalah zostavax, varivax,
dan proquad. Vaksin ini diberikan secara intramuskular dan memiliki efikasi selama 3
tahun
19
BAB V
KESIMPULAN
Herpes zoster disebabkan oleh reaktivasi varicella zoster virus (VZV) laten
dari saraf tepi dan saraf pusat. varicella zoster virus merupakan patogen utama
terhadap dua infeksi klinis utama pada manusia yaitu varicella atau chickenpox
(cacar air) dan herpes zoster (cacar ular). Varicella merupakan infeksi primer yang
terjadi pada individu yang terpapar dengan varicella zoster virus. Presentase
komplikasi yang timbul dari kasus herpes zoster adalah 7,9% postherpetic
neuralgia. 2,3% infeksi bakteri, 1,6% komplikasi okular (herpes zoster
opthalmicus), 0,9% motor neuropati, dan 0,5% neuropati motorik, 0,5% meningitis,
dan 0,2% herpes zoster oticus.
Episode herpes zoster sebagian besar adalah self-limited dan dapat sembuh
tanpa intervensi. Namun penyakit ini menyebabkan kesakitan yang cukup tinggi
dan dapat menyebabkan komplikasi, oleh karena itu diperlukan penanganan yang
tepat. Penyakit ini cenderung memberikan gejala yang lebih ringan pada anak-anak
dibandingkan orang dewasa.
20
DAFTAR PU STAKA
1. Schmader KE, Oxman MN. Varicella and Herpes Zoster. Fitzpatrick’s Dermatology
in General Medicine. 8th ed. New York: McGraw Hill; 2012. p.2392-2400.
2. Deshmukh R, Raut A, Sonone S, Pawar Sachin, Bharude N, Umarkar A, Laddha G,
Shimpi R. Herpes Zoster: A Fatal Viral Disease: A Comprehensive Review. IJPCBS.
2012; 2(2):138-145.
3. Kawai K, Gebremeskel BG, Acosta CJ. Systematic Review of Incidence and
Complications of Herpes Zoster: Towards a Global Perspective. BMJ Open.
2014;4:e004833
4. Wehrhahn, M.C., Herpes Zoster: Epidemiology, Clinical Features, Treatment and
Prevention. Available at: www.australianprescriber.com. Aust Prescr 2012; 35: 143-
7.
5. Buku Register Kunjungan Poliklinik Kulit dan Kelamin Rumah Sakit Umum Pusat
Sanglah Denpasar 2015.
6. Cohen JI. Herpes Zoster. N Engl J Med. 2013; 369:255-63.
7. James, W.D., Berger , T.G., Elson, D.M. Viral Diseases. In: Andrew’s diseases of
the skin clinical dermatology, 10th edition. Canada: Elsevier; 2000. p. 376-84.
8. Gnann, J.W., Whitley, R.J. Herpes Zoster. N. Engl. J. Med; 2002: 347(5): 340-6.
9. Anonim. Varicella: Epidemiology and Prevention of Vaccine-Preventable Disease.
The Pink Book: course Textbook. 12thed. 2012. Available from: www.cdc.gov
10. Anonim. Shingles (Herpes Zoster). Greenbook chapter 28a. 2014:1-15. Available
from: www.gov.uk/goverment/uploads/system/uploads/attachment_data/fila/357
155/Green_Book_Chapter_28a_v0_5.pdf
11. Jacoeb Tjut, N.A. Herpes zoster pada pasien imunokompoten. Dalam: Daili, S.F.,
Makes, W.I.B. Infeksi Virus Herpes. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2002. Hal 190-
9.
12. Dworkin, R.H., Johnson, R.W., Brever J., Gnaann, J.W., Bevin, M.J.
Reccomendations for the Management of Herpes Zoster. CID. 2007; 44(1): 1-21.
13. Singh, B.S, and Scholand, S.J. Herpes Zoster: a clinical review. J. Infect Di
Antimicrob Agents. 2011; 28 (3): 211-21.
14. Sterling, J.C. Virus Infections. In: Burns, T., Breathnach, S., Cox, N., Griffiths, C.
Editors. Rook’s textbook of dermatology, 8 th edition. United Kingdom: Willey-
Blackwell Ltd; 2010. p. 3314-36.
21
15. Chyen LH., Wee CM. Disseminated Cutaneous Zoster can Occur on Healthy
Individual: a Case Series. The Singapore Family Physician. 2011;374:52-4.
16. Anonim. Bone Sarcoma and Subtype. Sarcoma Alliance. 2016. Available from:
http://sarcomaalliance.org
22
LAMPIRAN
23