Anda di halaman 1dari 27

LAPORAN KASUS

Demam Thypoid

Disusun oleh:
dr. Aisyah Mariam Fadhilla

Pembimbing:
dr. M Darussalam. MARS

PROGRAM INTERNSHIP DOKTER INDONESIA


RUMAH SAKIT ISLAM HASANAH MUHAMMADIYAH
PERIODE AGUSTUS 2022-AGUSTUS 2023
LEMBAR PENGESAHAN

Demam Thypoid

Disusun Oleh:
dr. Aisyah Mariam Fadhilla

Mojokerto, Februari 2023

Pendamping:

dr. M. Darussalam., MARS

ii
BERITA ACARA

Pada hari............................. tanggal....................................telah dipresentasikan laporan


kasus oleh

Nama : dr. Aisyah Mariam Fadhilla

Judul/Topik : Demam Thypoid

Pendamping : dr. M. Darussalam., MARS

Nama Wahana : RSI Hasanah Muhammadiyah, Kota Mojokerto

No Nama Peserta Presentasi Tanda tangan

Berita acara ini ditulis dan disampaikan sesuai dengan yang sesungguhnya.

Mojokerto, Februari 2023

Pembimbing

dr. M. Darussalam., MARS

iii
KATA PENGANTAR

Segala puji syukur kepada Allah swt, karena atas berkat dan rahmat-Nya sehingga
penulis dapat menyelesaikan laporan kasus dengan topik “Demam Thypoid”. Di
kesempatan ini penulis juga mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada
dr. M. Darussalam. MARS selaku pembimbing yang telah membantu dalam
penyelesaian laporan kasus ini. Laporan kasus ini merupakan salah satu syarat untuk
memenuhi tugas Program Dokter Intersip Indonesia periode Agustus 2022 – Agustus
2023
Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada teman sejawat kelompok
internsip dan semua pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan laporan kasus
ini, sehingga laporan kasus ini dapat diselesaikan oleh penulis.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan laporan kasus ini masih banyak
terdapat kesalahan dan kekurangan. Oleh karena itu, segala saran dan kritik yang bersifat
membangun sangat penulis harapkan. Demikianlah penulisan laporan ini, semoga
bermanfaat, amin.

Mojokerto, Februari 2022

Penulis

iv
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ......................................................................................................... iv


DAFTAR ISI ........................................................................................................................ v
BAB I PENDAHULUAN ..................................................................................................... 6
BAB II LAPORAN KASUS ................................................................................................. 7
I. IDENTITAS PASIEN ..................................................................................................... 7
II. ANAMNESIS ............................................................................................................... 7
III. PEMERIKSAAN FISIK ............................................................................................... 8
IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG .................................................................................. 9
V. RESUME ...................................................................................................................... 9
VI. DAFTAR MASALAH ............................................................................................... 10
VII. DIAGNOSIS BANDING .......................................................................................... 10
VIII. DIAGNOSIS KERJA .............................................................................................. 10
IX. TATALAKSANA ...................................................................................................... 10
X. PROGNOSIS .............................................................................................................. 11
BAB III TINJAUAN PUSTAKA ....................................................................................... 12
2.1 Definisi ................................................................................................................ 12
2.2 Epidemiologi........................................................................................................ 12
2.3 Etiologi dan Faktor Risiko .................................................................................... 12
2.4 Manifestasi Klinis 7 ............................................................................................... 13
2.5 Patogenesis1 ......................................................................................................... 14
2.6 Diagnosis ............................................................................................................. 15
2.7 Diagnosis Banding ............................................................................................... 17
2.8 Tatalaksana .......................................................................................................... 19
2.9 Komplikasi........................................................................................................... 20
2.10 Prognosis ............................................................................................................. 21
BAB V KESIMPULAN...................................................................................................... 24
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................................... 25

v
6

BAB I
PENDAHULUAN

Demam tifoid adalah penyakit infeksi pada usus halus (small ntestine) yang
disebabkan oleh bakteri Salmonella typhi dan Salmonella paratyphi. Transmisi bakteri
ini secara fecal oral melalui makanan dan minuman yang terkontaminasi oleh feses atau
urin penderita atau carrier. Demam tifoid disebut juga demam enterik yang telah
menjadi masalah kesehatan masyarakat, terutama di negara berkembang.1

Orang yang tinggal di Asia Tenggara, Afrika, Amerika Tengah dan Selatan, serta
kepulauan Caribean memiliki risiko tinggi untuk terinfeksi. Masyarakat yang tinggal di
Negara berkembang memiliki risiko tinggi terinfeksi bakteri S. Typhi dan S. Paratyphi,
terutama di daerah di mana air keran tidak tersedia secara luas atau sanitasi lingkungan
yang buruk.2

Demam tifoid lebih sering terjadi pada anak-anak dan dewasa muda serta
berhubungan dengan daerah penghasilan rendah dengan sanitasi yang buruk. Pada tahun
2000, demam tifoid diperkirakan menyebabkan 21,7 juta penyakit dan 216.000
kematian secara global.3, 4

Demam tifoid memiliki manifestasi klinis beragam dan dapat menyerupai


beberapa penyakit menular lainnya. Sehingga diagnosis banding yang luas harus
dipertimbangkan dalam konteks klinis yang benar.1 Dalam menegakkan diagnosis
demam tifoid, harus ditemukan gejala klinis tifoid yang mendukung dengan minimal
salah satu pemeriksaan yaitu uji diagnostik yang sensitif dan spesifik seperti serologi
IgM, Immunoblotting (Typhi-dot), DNA probe, serta pemeriksaan PCR dan
pemeriksaan biakan Salmonella Typhi. Hal ini bertujuan agar pasien mendapat
tatalaksana yang tepat.3

Berdasarkan data diatas demam tifoid banyak dijumpai di kalangan masyarakat


terutama pada anak-anak dan masyarakat yang tingkat pengetahuannya kurang tentang
penyebab, pencegahan, dan pengobatan tifoid. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya
kasus penyakit tifoid yang berawal dari buruknya perilaku masyarakat tentang hidup
bersih.

6
7

BAB II
LAPORAN KASUS

I. IDENTITAS PASIEN
a. Nama : Nn. AFM
b. Tanggal Lahir : 21 Mei 2004 (18 tahun)
c. No. Rekam Medis : 167377
d. Jenis Kelamin : Laki-laki
e. Berat Badan : 37 kg
f. Alamat : Jln. Betet No.12 Puskopad RT 05 RW 12 Sooko
g. Agama : Islam
h. Suku : Jawa
i. Pekerjaan : Pelajar
j. Tanggal Masuk : 6 Februari 2022

II. ANAMNESIS
A. RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG
Keluhan Utama: Demam
Pasien datang ke IGD RSI Hasanah Muhammadiyah Mojokerto dengan keluhan
demam sejak 4 hari SMRS. Pasien mengatakan demam terutama saat sore ke malam
hari, tidak diukur dengan termometer namun pasien mengatakan dahi teraba sangat
panas. Keluhan sempat membaik ketika pagi hari dan setelah pasien mengkonsumsi obat
penurun panas. Namun kembali demam pada saat sore hari.
Pasien juga mengatakan bahwa terdapat batuk dan pilek, mual, muntah tiap kali
makan dan minum. Pasien mengatakan bahwa ia belum BAB sejak awal sakit. Pasien
kehilangan nafsu makan dan minum akibat sering muntah. Pasien juga mengatakan
bahwa perutnya terkadang sakit. Orangtua pasien mengtakan anaknya sering jajan di
sekolah tanpa sepengetahuan orangtua.
Pasien menyangkal adanya nyeri sendi yang sangat hebat, mimisan, gusi berdarah,
BAB berdarah. Bepergian ke daerah Indonesia bagian timur juga disangkal. Buang air
kecil 3-4x sehari, nyeri saat buang air kecil, dan sensasi tidak puas setelah buang air
kecil disangkal. Orangtua pasien juga menyangkal adanya nyeri telinga, telinga

7
8

berdenging, telinga terasa penuh, penurunan pendengaran, dan ada benjolan belakang
telinga. Menyangkal adanya sesak, nyeri dada, dan riwayat tidak sadar.

B. RIWAYAT PENYAKIT DAHULU


Tidak ada riwayat penyakit sebelumnya pada pasien.

C. RIWAYAT PENYAKIT KELUARGA


Di keluarga pasien tidak ada yang memiliki riwayat penyakit keluarga yang serupa.

III. PEMERIKSAAN FISIK


Tanggal Pemeriksaan : 6 Februari 2023
Kesan Umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos mentis, GCS : 15 E4M5V6
Tanda Vital : TD : 120/80 mmHg
N :124 x/mnt, isi cukup, kuat, reguler, equal
RR : 22x/menit, regular, tipe abdominothoracal,
retraksi (-), PCH (-)
S : 39,6°C
SpO2 : 99% free air
Kepala : Normocephal, deformitas (-)
Rambut Hitam, tidak mudah rontok
Wajah Simetris, edema (-), deformitas (-)
Mata : Konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik,
pupil isokor 3 mm/3 mm, refleks kornea (+/+)
Telinga : Bentuk dan lokasi normal, simetris, sekret (-/-)
Hidung : Bentuk dan lokasi normal, pernapasan cuping
hidung (-),sekret (+/+), sedikit, deviasi septum (-),
hiperemis (-), epistaksis (-)
Mulut : Mukosa bibir lembab dan basah, perioral cyanosis
(-), Tonsil T1-T1 tenang, gusi hiperemis (-)
Leher : Simetris, tidak ada deviasi trakhea, tidak teraba
pembesaran kelenjar getah bening

8
9

Dada : Pulmo:
Inspeksi: Dinding dada simetris, pergerakan
simeteris, retraksi suprasternal (-) retraksi
epigastrium (-)
Palpasi: taktil fremitus kanan = kiri
Perkusi : Sonor di kedua lapang paru
Auskulatasi: VES ka=ki, rh (-/-), wh (-/-)
Cor
Inspeksi: Tidak tampak ictus cordis
Auskultasi: BJ I dan II reguler, Gallop (-),
Murmur(-)
Abdomen : Inspeksi: Cembung, retraksi epigastrium (-)
Auskultasi: Bising usus (+) normal
Palpasi: lembut, soefel, organomegali (-), nyeri
tekan epigastrik (+)
Perkusi: timpanik
Ekstremitas : Edema (-), sianosis (-), capillary refill <2 detik,
akral hangat (+)

IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG


Pada kasus ini dilakukan pemeriksaan darah rutin pada tanggal (7-02-2023 jam
19.30) sebagai petanda infeksi, dengan hasil yaitu: Hb 14,2 g/dL; ; Ht 42,1%; leukosit
3.090 /μL; trombosit 269.000/μL, IgM Salmonella positif (+4)

V. RESUME
Demam sejak keluhan demam sejak 7 hari SMRS. Orangtua pasien mengatakan
demam terutama saat sore ke malam hari, tidak diukur dengan termometer namun pasien
mengatakan dahi teraba sangat panas. Keluhan sempat membaik ketika pagi hari dan
setelah pasien mengkonsumsi obat penurun panas. Namun kembali demam pada saat
sore hari. batuk dan pilek, mual, muntah tiap kali makan dan minum. Orang tua pasien
mengatakan anaknya belum BAB sejak awal sakit. Pasien kehilangan nafsu makan dan
minum akibat sering muntah. Pasien juga mengatakan bahwa perutnya terkadang sakit.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan pasien tampak sakit sedang dengan tanda vital

9
10

TD 120/80 mmHg, N 124 x/mnt, isi cukup, kuat, reguler, RR 22x/menit, suhu 39,6°C,
SpO2 99% free air. Nyeri tekan epigastrik (+). Dan hasil laboratorium didaptakan IgM
Salmonella positif (+4)

VI. DAFTAR MASALAH


1) Demam
2) Mual
3) Muntah
4) Batuk pilek
5) Nyeri perut

VII. DIAGNOSIS BANDING


1) Demam Thypoid
2) Demam Dengue

VIII. DIAGNOSIS KERJA


Demam Thypoid

IX. TATALAKSANA
A. Pemeriksaan Anjuran
Pemeriksaan tes darah rutin.

B. Non-farmakologis
Bed rest, makan yang banyak.

C. Farmakologis
IGD :
- Infus RL 1 flash lanjut 20 tpm
- Inj Antrain 3x1 amp bila demam >38°C
- Inj Ranitidin 2x1 amp
E. Edukasi
- Bila pasien demam, beri obat penurun panas sesuai dosis yang dianjurakan
dokter.
- Tambah pemberian multivitamin untuk meningkatkan napsu makan.

10
11

- Istirahat yang cukup, tidak terlalu banyak aktivitas terlebih dahulu.


- Konsumsi makanan yang lembut, bersih dan hygenis terlebih dahulu

X. PROGNOSIS
Quo ad vitam : ad bonam
Quo ad functionam : ad bonam

11
12

BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Demam tifoid merupakan penyakit infeksi pada usus halus (small ntestine) yang
disebabkan oleh bakteri Salmonella typhi dan Salmonella paratyphi. Demam tifoid
disebut juga demam enterik yang telah menjadi masalah kesehatan masyarakat, terutama
di negara berkembang.1

2.2 Epidemiologi
Demam tifoid lebih sering terjadi pada anak-anak dan dewasa muda serta
berhubungan dengan daerah penghasilan rendah dengan sanitasi yang buruk. Pada tahun
2000, demam tifoid diperkirakan menyebabkan 21,7 juta penyakit dan 216.000
kematian secara global. institut Vaksin Internasional memperkirakan bahwa terdapat
11,9 juta kasus demam tifoid dan 129.000 kematian pada negara-negara berpenghasilan
rendah hingga menengah pada tahun 2010. namun, kemungkinan besar penyebabnya
merupakan representasi yang kurang dibandingkan beban penyakit yang sebenarnya
dikarenakan pasien dengan demam tifoid sebagian besar diterapi dengan rawat jalan dan
tidak mendapatkan penanganan khusus. pada daerah pra-antibiotik, angka kematian
15% atau lebih, namun angka kematian menurun kurang dari 1% dengan pengenalan
antibiotik.3, 4

2.3 Etiologi dan Faktor Risiko


2.3.1 Etiologi

Penyebab demam tifoid adalah bakteri Salmonella typhi dan Salmonella


paratyphi yang merupakan famili enterobacteriaceae. Transmisi bakteri ini
secara fecal oral melalui makanan dan minuman yang terkontaminasi oleh feses
atau urin penderita atau carrier. Demam tifoid hanya ditularkan dari orang yang
terinfeksi atau carrier ke orang lain, karena satu-satunya inang bakteri ini adalah
manusia. Sumber utama salmonella ditemukan pada unggas, telur, dan kura-
kura.1 Kerang, buah-buahan, dan sayuran semuanya mungkin terkontaminasi
13

dan menjadi vektor infeksius. Selain itu, lalat dapat menyebarkan bakteri dalam
makanan dan menjadi salah satu jalur penularan.5

Di antara lebih dari 2600 serovar Salmonella enterica yang terkait erat,
Salmonella enterica serovar Typhi dan Paratyphi A, B, dan C (S. Typhi dan S.
Paratyphi A, B, dan C) yang merupakan penyebab demam enterik. S. Typhi dan
S. Paratyphi dicirikan oleh satu set berbeda dari antigen permukaannya yaitu
lipopolisakarida O (somatik), flagel H, dan virulensi-kapsul (Vi).1

2.3.2 Faktor Risiko

Orang yang tinggal di Asia Tenggara, Afrika, Amerika Tengah dan


Selatan, serta kepulauan Caribean memiliki risiko tinggi untuk terinfeksi.
Masyarakat yang tinggal di Negara berkembang memiliki risiko tinggi terinfeksi
bakteri S. Typhi dan S. Paratyphi, terutama di daerah di mana air keran tidak
tersedia secara luas atau sanitasi lingkungan yang buruk.2 Dalam beberapa tahun
terakhir, jumlah kasus tifoid dan paratifoid di negara maju telah berkurang secara
drastis karena perbaikan sanitasi.5

Demam tifoid lebih parah pada pasien yang lemah dan


immunocompromised seperti mereka dengan HIV (terutama paratyphi), mereka
yang menggunakan terapi glukokortikoid, dan mereka dengan gangguan fungsi
fagosit yaitu pasien dengan malaria dan anemia sel sabit. 6

2.4 Manifestasi Klinis7

Masa inkubasi Salmonella typhi adalah 10-14 hari. Fase invasi ditandai dengan
demam ringan, naik secara bertahap, terkadang suhu malam lebih tinggi dibandingkan
pagi hari. Gejala lainnya ialah nyeri kepala, rasa tidak nyaman pada saluran cerna, mual,
14

muntah, sakit perut, batuk, lemas, konstipasi. di akhir minggu pertama, demam telah
mencapai suhu tertinggi dan akan konstan tinggi selama minggu kedua. tanda lainnya
adalah bradikardi relatif, pulsasi dikrotik, hepatomegali, splenomegali, lidah tifoid (di
bagian tengah kotor, di tepi hiperemis), serta diare dan konstipasi. Stadium evolusi
ditandai dengan demam yang mulai turun perlahan, tetapi dalam waktu yang cukup
lama. Dapat terjadi komplikasi perforasi usus. pada sebagian kasus, bakteri masih ada
dalam jumlah minimal (menjadi karier kronis).7

2.5 Patogenesis1

Patogenesis demam tifoid tergantung pada sejumlah faktor seperti spesies


infeksius, virulensi, kekebalan inang, dan dosis infeksi. Semakin besar dosis infeksi,
semakin pendek masa inkubasi, dan semakin tinggi tingkat serangan. Salmonella adalah
bakteri yang peka terhadap asam kecuali untuk beberapa strain yang resisten, jadi
biasanya bakteri ini dihancurkan di lambung oleh asam lambung kecuali jika tertelan
dalam dosis besar. Pada pasien dengan achlorhydria, maupun karena asupan antasida
dan antihistamin, kolonisasi Salmonella dapat terjadi bahkan dengan dosis yang lebih
kecil. Makanan dan minuman juga bertindak sebagai buffer terhadap asam lambung
yang memfasilitasi bakteri mencapai usus kecil.

Virulensi Salmonella ditentukan oleh toksin tifoid, Vi antigen (kapsul


polisakarida), antigen liposakarida O, dan antigen flagellar H. Strain positif untuk Vi
antigen memiliki tingkat serangan dua kali lipat dari strain negatif Vi, bahkan dengan
dosis mikroorganisme yang sama. Salah satu perbedaan utama antara Salmonella typhi
dan non-tifoid salmonella (NTS) adalah adanya Vi antigen di Salmonella typhi tetapi
pada NTS tidak ada. Peran utama antigen Vi adalah bertindak sebagai agen antifagosit
yang mencegah kerja makrofag, sehingga melindungi antigen O dari antibodi yang
memberikan serum resistensi. Antigen H flagellar memberikan mobilitas bakteri dan
perlekatan pada mukosa dinding usus.

Invasi dinding usus dibantu oleh flagela, dan sistem sekresi tipe III mampu
mentransfer protein bakteri ke dalam enterosit dan sel M (sel epitel khusus yang
berfungsi sebagai sel penyaji antigen di mukosa usus atau jaringan limfoid) atau dengan
penetrasi langsung mukosa. Bakteri yang melekat pada sel M diserap oleh sitoplasma
yang mengandung bakteri dan diekstrusi ke dalam ruang luminal. Dalam proses ini, sel
15

M mengalami kerusakan, dan lamina basal terbuka. Hal ini memberikan akses mudah
pada patogen untuk invasi, sehingga memperburuk kondisi.

Cystic fibrosis transmembrane conductance regulator (CFTR) dikatakan penting


dalam penyerapan Salmonella; jadi, pasien dengan protein CFTR abnormal resisten
terhadap tifoid. Protein yang ditransfer mengaktifkan sel inang Rho GTPase, yang
memicu penataan ulang aktin sehingga penyerapan protein bakteri terjadi di
phagosomes tempat bakteri dapat tumbuh. Karakteristik khusus dari bakteri ini
membantu mereka untuk tetap hidup dalam kumpulan kekebalan inang. Salmonella juga
menghasilkan molekul yang merangsang pelepasan epitel dari chemoattractant
eicosanoid, yang mengasingkan neutrofil ke dalam lumen dan memungkinkan terjadi
kerusakan mukosa.

Bakteri menginduksi proliferasi patch payer melalui perekrutan limfosit dan sel
mononuklear dan menginduksi terjadinya nekrosis, akhirnya terjadi ulserasi yang
memperburuk gejala. Patogen mencapai sistem retikuloendotelial melalui sistem
limfatik dan aliran darah, termasuk beberapa organ lainnya, paling sering kandung
empedu di hampir semua kasus. Fase bakteremia awal (24 jam sampai 72 jam) tidak
menunjukkan gejala dan sementara karena bakteri ini difagositosis oleh makrofag dan
monosit dalam sistem retikuloendotelial yang disebut bakteremia primer. Kapasitas
patogen untuk tumbuh dalam sel imun ini membuatnya menjadi khas, dan multiplikasi
intraseluler bakteri dalam sistem retikuloendotelial memaksa mereka untuk masuk
kembali ke aliran darah menyebabkan bakteremia terus menerus selama beberapa hari
dan minggu yang dikenal sebagai bakteremia sekunder. Bakteremia sekunder adalah
fase di mana penyakit memiliki gejala bermanifestasi. Seperti pada bakteri gram negatif
lainnya, endotoksin memiliki peran penting dalam patogenesis. Lipopolisakarida
menginduksi reaksi seperti syok dan endotoksemia menyebabkan hiperaktivitas
vaskular dan pelepasan katekolamin, yang menyebabkan nekrosis fokal dan perdarahan.

2.6 Diagnosis

Diagnosis demam tifoid ditegakkan apabila ditemukan gejala klinis tifoid yang
mendukung dengan minimal salah satu pemeriksaan yaitu : (1) uji diagnostik yang
16

sensitif dan spesifik seperti serologi IgM, Immunoblotting (Typhi-dot), DNA probe,
serta pemeriksaan PCR, (2) biakan Salmonella Typhi. 3

2.6.1 Tanda dan Gejala3, 8

Minggu pertama :

- fase prodromal : malaise, nyeri kepala, batuk, nyeri tenggorokan


- demam step ladder atau kontinyu hingga >7 hari ditandai dengan
naik pada malam hari, turun pada pagi hari tetapi tidak pernah
mencapai suhu normal
- nyeri perut yang ditandai dengan adanya konstipasi atau diare yang
terjadi secara bergantian
- mual muntah, anoreksia
- coated tongue (lidah tengahnya kotor, pinggirnya merah, dan
tremor)
Minggu kedua :

- Organomegali : hepatosplenomegali
- Bradikardi relatif yang ditandai dengan kenaikan suhu yang tidak
disertai dengan kenaikan denyut jantung
- Rose spot
Minggu ketiga :

- Typhoid state : apatis, delirium, disorientasi, koma


- Perforasi usus

2.6.2
Pemeriksaan Penunjang9
Pemeriksaan Laboratorium
-
Leukopenia atau leukositosis
-
Trombositopenia
-
Anemia ringan
-
LED tinggi
-
SGOT, SGPT meningkat
-
Enzim transaminase meningkat
17

Widal Test10

Tes widal dilakukan pada akhir minggu pertama hari ke-7, minggu
ke 2, minggu ke 3, dan minggu ke 4 untuk mendeteksi antibodi dari
Salmonella. Bermakna apabila terdapat kenaikan titer 4 kali lipat dari awal
dalam 2 minggu, atau titer O > 1/320 atau titer H > 1/640 dengan nilai
normal 1/80

Gold Standard11

- Kultur sumsum tulang pada minggu ke-1


- Kultur darah pada minggu ke-1
- Kultur feses pada minggu ke-3
- Kultur urine pada minggu ke-4

Radiologis9

- Rontgen thorax apabila diduga terjadi komplikasi pneumonia.


- Rontgen abdomen apabila dicurigai terjadi komplikasi intestinal
(peritonitis, perforasi usus atau perdarahan saluran cerna).

2.7 Diagnosis Banding

Demam tifoid memiliki manifestasi klinis beragam. Hal ini mungkin


menyerupai beberapa penyakit menular dengan presentasi klinis yang serupa. Sehingga
diagnosis banding yang luas harus dipertimbangkan. Penyakit dengan gejala dan tanda
seperti diare, disentri, distensi abdomen, demam, splenomegali, dan syok, harus
dipertimbangkan dalam konteks klinis yang benar. Berikut diagnosis banding demam
tifoid1:

1. Demam Dengue1
Dengue adalah demam berdarah disebabkan oleh virus dengue yang
ditularkan melalui vektor nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus
dengan gejala non-spesifik seperti demam mendadak tinggi, kemudian suhu
18

turun ketika hari ke 4, dinamakan pola demam pelana kuda. Selain itu,
terdapat keluhan sakit kepala, mialgia, dan syok, yang dapat disalah artikan
dengan demam tifoid. Demam dengue juga dikenal sebagai "breakbone
fever" karena keluhan artralgia yang parah. Pada hasil pemeriksaan
laboratorium darah lengkap, dapat ditemukan trombositopenia, peningkatan
hematokrit, dan leukopenia.

2. Gastroenteritis12
Gastroenteritis adalah penyakit diare yang ditandai dengan
peningkatan frekuensi buang air besar dengan atau tanpa demam, mual,
muntah, dan nyeri perut. Peningkatan frekuensi buang air besar
didefinisikan oleh tiga atau lebih buang air besar encer atau longgar dalam
24 jam atau setidaknya 200 gram tinja per hari. Penyebab Gastroenteritis
dapat berupa bakteri, virus, jamur, dan parasit.

3. Leptospirosis1
Leptospirosis merupakan salah satu penyakit zoonosis yang paling
umum. Penyebabnya adalah bakteri leptospira. Bakteri ini masuk ke tubuh
melalui selaput lendir, mata, hidung, kulit lecet, dan makanan. Vektor
pembawa meliputi binatang pengerat seperti tikus. Biasa terjadi pada
wilayah yang mengalami banjir dan sanitasi yang buruk. Gejala yang
muncul meliputi demam, ikterik, myalgia, sakit kepala, dan konjungtiva
suffusion. Organisme menyebar ke seluruh tubuh setelah bakteremia
singkat. Gejala seperti batuk, diare, meningitis, cedera ginjal akut,
perdarahan, dan ruam makula dapat terjadi, namun sangat jarang.

4. Malaria1
Malaria disebabkan oleh parasit Plasmodium sp. melalui vektor
nyamuk Anopheles. Malaria memiliki gambaran klinis yang tidak spesifik
seperti demam, sakit kepala, mialgia, diare, mual, muntah, dan anemia.
Keterlibatan banyak organ mungkin membuat sulit untuk membedakannya
19

dari demam tifoid secara klinis. Tetapi tidak seperti demam tifoid, penyakit
kuning sering terjadi pada malaria. Pada pemeriksaan fisik juga ditemukan
hepatomegali. Pengujian laboratorium harus menyingkirkan malaria dalam
kasus demam di atau setelah perjalanan ke daerah endemik.

2.8 Tatalaksana
2.8.1 Non- Medikamentosa13

- Tirah baring
- Isolasi memadai
- Kebutuhan cairan dan kalori yang adekuat
- Diet makanan lunak agar mudah dicerna
- Diet makanan bersih dan rendah serat

2.8.2
Medikamentosa14, 15, 16
Antibiotik
Lini I
-
Kloramfenikol 100 mg/kgBB/hari per-oral atau intravena dibagi dalam 4
dosis, selama 10-14 hari atau sampai 5-7 hari setelah demam turun.
Kloramfenikol tidak diberikan apabila Hb rendah dan Leukosit <2000/ℳL.
-
Amoxicillin 100 mg/kgBB/hari per-oral atau intravena selama 10 hari.
-
Kotrimoksazol (Sulfamethoxazole/TMP) 6-8 mg/kgBB/hari 3 bulan 7 hari
dibagi 2 dosis.

Lini II

-
Seftriakson 80 mg/kgBB/hari intravena atau intramuskular, sekali sehari,
selama 5 hari.
-
Sefiksim 10 mg/kgBB/hari per-oral, dibagi dalam 2 dosis selama 10 hari
-
kortikosteroid diberikan pada kasus berat dengan penurunan kesadaran,
Dexamethasone 1-3 mg/kgBB/hari intravena, dibagi 3 dosis, hingga
kesadaran membaik.
-
pertimbangkan transfusi darah pada kasus perdarahan saluran cerna.
20

Pembedahan17

Tindakan bedah diperlukan apabila terjadi perforasi usus

2.9 Komplikasi
Komplikasi pada usus yang disebabkan oleh Salmonella sudah tidak
mengherankan lagi, karena tempat utama invasi Salmonella adalah saluran
gastrointestinal (GI). Iritasi gastrointestinal menyebabkan diare, dan hipertrofi patch
payer menyebabkan obstruksi lumen dan konstipasi. Dalam kasus yang parah, nekrosis
patch Payer menyebabkan ulserasi dan perdarahan. Konsekuensi ulserasi adalah
perforasi ileum terminal. Diare biasanya tidak berdarah dan encer. Namun, tinja berair
dalam jumlah besar, tinja berdarah, dan gejala disentri dapat terjadi. Suhu dapat turun
menjadi suhu normal atau subnormal karena perdarahan usus. 18

Sementara bakteri dapat berada di hampir setiap sistem organ, namun jarang
terlihat komplikasi di luar saluran gastrointestinal (GI). Penyebaran bakteri yang luas
menyebabkan kegagalan multi organ karena septikemia. 18

Hepatitis dan ensefalopati dapat terjadi pada 5% hingga 7% pasien. Infeksi


intraabdominal menyebabkan abses hati dan limpa. Pneumonia lebih jarang terjadi.
Komplikasi pada paru meliputi abses paru, empiema, dan pembentukan fistula
bronkopleural, meskipun sebagian besar kasus terjadi pada pasien dengan kanker paru,
penggunaan glukokortikoid, dan penyakit paru struktural lainnya. 19

Ensefalopati tifoid dapat terjadi pada 17% pasien dengan mortalitas setinggi
55%. Keluhan sakit kepala, gejala neurologis seperti ketidakteraturan tidur, psikosis
akut, mielitis, meningitis, kekakuan otot, dan defisit neurologis fokal sering dilaporkan.
Miokarditis dan nefritis adalah konsekuensi dari toxic phenomena. Infeksi tulang dan
sendi lebih sering terjadi pada anak-anak dengan anemia sel sabit, hemoglobinopati, dan
penyakit tulang yang sudah ada sebelumnya dan paling sering mempengaruhi tulang
panjang, terutama tulang femur, tibia, dan humerus. 20

Komplikasi demam typhoid yang melibatkan sendi yaitu septik artritis . Pasien
dengan antigen HLA-B27 memiliki kemungkinan artritis reaktif yang lebih tinggi.
21

Organ yang sebelumnya rusak, seperti infark dan aneurisma aorta, adalah tempat paling
sering terjadinya abses metastatik. Komplikasi meningkat dengan durasi penyakit yang
berkepanjangan sebelum rawat inap, durasi rawat inap yang lama, teknik terapi
antibiotik, dan respon kekebalan pada pasien lemah dengan penyakit kronis seperti
kanker, TB, dan HIV. Hampir 3% dari pasien yang tidak dirawat dengan baik menjadi
karier kronis. Pasien dengan tifoid yang tidak diobati secara memadai akan terus
mengeluarkan bakteri dan dianggap sebagai karier kronis. Bakteri pada tahap tifoid
kronis akan menjajah kantong empedu, dan jika tidak diobati, dapat menjadi kanker
kandung empedu.1, 21

2.10 Prognosis

Demam tifoid menyebabkan mortalitas dan morbiditas di seluruh dunia, namun


masalah yang paling menonjol terjadi di negara-negara Asia Selatan dan Afrika. tingkat
kematian secara keseluruhan berkurang menjadi kurang dari 1% akibat dari kemajuan
modalitas pengobatan dan pembuatan antibiotik dibandingkan dengan pengobatan
simptomatik dan suportif. Diagnosis dan terapi sejak dini dapat menghindari terjadinya
komplikasi. Prognosis pada pasien dengan demam tifoid bergantung pada seberapa
cepat diagnosis ditegakkan dan seberapa cepat pemberian antibiotik dimulai. tingkat
kematian rata-rata kurang dari 1% di seluruh dunia, namun bervariasi tergantung pada
daerah wilayahnya. sekitar 1% sampai 5% pasien akan menjadi pembawa krisis
Salmonella enterica serotype typhi walaupun sudah mendapatkan terapi antibiotika
yang memadai.22

2.11 Pencegahan

Tindakan pencegahan dapat diterapkan pada penyimpanan makanan dan air


yang aman dari kontaminasi bakteri. Selain itu, dianjurkan sering mencuci tangan
terutama sebelum makan, hal ini penting dalam mencegah demam tifoid dan paratifoid.
Masyarakat harus terus memperhatikan kebersihan yang baik dan berhati-hati untuk
menghindari paparan penyakit. Demam tifoid merupakan masalah kesehatan
masyarakat global. Pendidikan kesehatan pada masyarakat tentang cara penularan,
sanitasi, pencegahan, tanda dan gejala, pentingnya pengobatan dini, tidak hanya akan
mengurangi prevalensi penyakit tetapi juga menurunkan beban kerja tenaga kesehatan.
22

Konseling pasien tentang modalitas pengobatan dan efek samping merupakan bagian
penting dari pendidikan kesehatan untuk pasien. 1

Meskipun vaksin direkomendasikan untuk mencegah demam tifoid, vaksin


tersebut tidak 100% efektif, dan kekebalan yang diinduksi oleh vaksin dapat dikalahkan
oleh inokulum bakteri yang besar. oleh karena itu, bahkan wisatawan yang divaksinasi
harus mengikuti tindakan pencegahan dari makanan dan minuman yang telah
direkomendasikan. Untuk demam paratifoid, pencegahan dari makanan dan air
merupakan satu-satunya metode pencegahan, karena tidak ada vaksin yang tersedia.23

Vaksin tifoid sudah tersedia dan memiliki efektifitas 50% hingga 80% dalam
mencegah penyakit.1 Dua jenis vaksin tifoid yang tersedia secara luas, yaitu Ty21a (oral
attenuated live virus) dan Vi polisakarida (parenteral). 24 Vaksin tersebut
direkomendasikan FDA untuk individu dengan paparan rumah tangga terhadap karier
Salmonella Typhi kronis atau bekerja di laboratorium dengan spesimen yang berpotensi
terkontaminasi. Vaksin hidup yang dilemahkan secara oral tidak boleh digunakan pada
individu dengan gangguan kekebalan termasuk mereka yang mengidap HIV/AIDS,
mereka yang menggunakan steroid selama lebih dari dua minggu, atau siapa saja yang
menderita kanker, menjalani pengobatan kanker, maupun sedang radioterapi. Tidak ada
vaksin yang diindikasikan untuk anak di bawah usia dua tahun. Vaksin oral tidak boleh
digunakan pada anak di bawah enam tahun. Vaksinasi diindikasikan untuk individu
yang pernah mengalami infeksi Salmonella Typhi sebelumnya jika mereka tinggal di
daerah non-endemik atau bepergian ke daerah endemik. Vaksinasi harus diselesaikan
dua minggu sebelum perjalanan untuk vaksin yang disuntikkan dan satu minggu
sebelum mereka melakukan perjalanan untuk vaksin oral. FDA tidak
merekomendasikan vaksin tifoid untuk imunisasi rutin individu di Amerika Serikat.25

Efek samping vaksin TY21a oral mungkin termasuk sakit perut (6,4%), mual
(5,8%), sakit kepala (4,8%), demam (3,3%), diare (2,9%), muntah (1,5%), dan ruam
kulit (1,0%) ). Tingkat efek samping serupa pada kelompok kontrol plasebo kecuali
mual. Efek samping vaksin Vi suntik antara lain malaise (15%), sakit kepala (14%),
mual (2%), dan diare (2%). Para peneliti juga mencatat reaksi di tempat suntikan dalam
penelitian, termasuk nyeri tekan (13%) dan nyeri (7%), tetapi mereka mengamati tidak
ada reaksi merugikan yang serius dalam uji klinis. 25
23

Oral TY21a adalah vaksin hidup, sehingga tidak boleh diberikan pada wanita
hamil atau pasien dengan gangguan sistem imunitas. Vaksin kapsul polisakarida Vi
yang dapat disuntikkan dikontraindikasikan pada siapa saja yang pernah mengalami
reaksi alergi terhadap komponen apa pun. Belum ada penelitian yang dilakukan pada
pasien hamil, dan vaksinasi hanya dianjurkan jika benar-benar diperlukan. Penundaan
hingga trimester kedua kehamilan dirasa perlu dilakukan. Tidak ada data manusia
tentang menerima vaksin suntik saat menyusui, tetapi kemungkinan aman berdasarkan
sifat vaksin. Penggunaannya pada pasien yang menerima interferon-gamma 1b harus
dihindari.25
BAB V
KESIMPULAN

Demam tifoid merupakan penyakit infeksi pada usus halus (small ntestine) yang
disebabkan oleh bakteri Salmonella typhi dan Salmonella paratyphi. Demam tifoid
disebut juga demam enterik yang telah menjadi masalah kesehatan masyarakat, terutama
di negara berkembang.1 Demam tifoid lebih sering terjadi pada anak-anak dan dewasa
muda serta berhubungan dengan daerah penghasilan rendah dengan sanitasi yang buruk.

Dalam menegakkan diagnosis dan memberikan pengobatan yang tepat,


pemahaman mengenai perjalanan infeksi bakteri Salmonella typhi dan Salmonella
paratyphi harus dikuasai dengan baik. Pemantauan klinis dan laboratoris berkala
merupakan kunci tatalaksana Demam thypoid. Akhirnya dalam menegakkan diagnosis
dan terapi sejak dini dapat menghindari terjadinya komplikasi. Prognosis pada pasien
dengan demam tifoid bergantung pada seberapa cepat diagnosis ditegakkan dan
seberapa cepat pemberian antibiotik dimulai.

24
DAFTAR PUSTAKA

1. Bhandari J, Thada PK, DeVos E. Typhoid Fever. [Updated 2022 May 8]. In:
StatPearls [Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2022 Jan-.
Available from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK557513/
2. Basnyat B., Qamar F.N., Rupali P., Ahmed T., Parry C.M. Department of
Paediatrics and Child Healt h Division of Woman and Child Health. BMJ.
2021;372:n437. doi: 10.1136/bmj.n437
3. Crump JA, Sjölund-Karlsson M, Gordon MA, Parry CM. Epidemiology, Clinical
Presentation, Laboratory Diagnosis, Antimicrobial Resistance, and Antimicrobial
Management of Invasive Salmonella Infections. Clin Microbiol Rev. 2015
Oct;28(4):901-37.
4. John VA, Justina T, Blair W. Salmonella Typhi. 2022, Aug 8. Stat Pearls
[Internet] Cite: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK519002/
5. Lin FH, Chen BC, Chou YC, Hsieh CJ, Yu CP. Incidence and Risk Factors for
Notifiable Typhoid and Paratyphoid in Taiwan during the Period 2011-2020.
Healthcare (Basel). 2021 Oct 1;9(10):1316. doi: 10.3390/healthcare9101316.
PMID: 34682996; PMCID: PMC8544365.
6. Lianou A, Nychas GE, Koutsoumanis KP. Variability in the adaptive acid
tolerance response phenotype of Salmonella enterica strains. Food Microbiol.
2017 Apr;62:99-105
7. Getahun Strobel A, Parry CM, Crump JA, Rosa V, Jenney A, Naidu R,
Mulholland K, Strugnell RA. A retrospective study of patients with blood culture-
confirmed typhoid fever in Fiji during 2014-2015: epidemiology, clinical features,
treatment and outcome. Trans R Soc Trop Med Hyg. 2019 Dec 01;113(12):764-
770.
8. IDAI. 2008. Buku Ajar Infeksi Tropis
9. Jenish B, Pawan KT, Elizabeth DV. Typhoid Fever. 2022, Aug 10. Stat Pearls
[Internet] Cite: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK557513/.
10. Mawazo A, Bwire GM, Matee MIN. Performance of Widal test and stool culture
in the diagnosis of typhoid fever among suspected patients in Dar es Salaam,
Tanzania. BMC Res Notes. 2019 Jun 05;12(1):316.
11. Näsström E, Jonsson P, Johansson A, Dongol S, Karkey A, Basnyat B, Tran Vu
Thieu N, Trinh Van T, Thwaites GE, Antti H, Baker S. Diagnostic metabolite

25
biomarkers of chronic typhoid carriage. PLoS Negl Trop Dis. 2018
Jan;12(1):e0006215.
12. Sattar SBA, Singh S. Bacterial Gastroenteritis. [Updated 2022 Jul 6]. In:
StatPearls [Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2022 Jan-.
Available from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK513295/
13. PPK tifoid
14. Balaji V, Agila KP, Yamuna DB, Ravikar R. Typhoid Fever: Issues in Laboratory
Detection, Treatment Options & Concerns in Management in Developing
Countries. Future Sci OA. 2018 Jul; 4(6): FSO312. DOI: 10.4155/fsoa-2018-0003
15. Zulfiqar AB, Husein LD. Current Concepts in The Diagnosis and Treatment of
Typhoid Fever. BMJ. 2006 Jul 8; 333(7558): 78-82. DOI:
10.1136/bmj.333.7558.78
16. Wen SC, Best E, Nourse C. Non-typhoidal Salmonella infections in children:
Review of literature and recommendations for management. J Paediatr Child
Health. 2017 Oct;53(10):936-941.
17. Kambire JL, Ouedraogo S, Ouedraogo S, Ouangre E, Traore SS. [Results after
surgical management of ileal perforation due to typhoid fever, about 29 cases in
Ouahigouya (Burkina Faso)]. Bull Soc Pathol Exot. 2017 Dec;110(5):298-299.
18. Kumwenda M, Iroh Tam PY. An adolescent with multi-organ involvement from
typhoid fever. Malawi Med J. 2019 Jun;31(2):159-160
19. Esmailpour N, Rasoolinejad M, Abdolbaghi MH. Cardiopulmonary
manifestations of typhoid fever: a prospective analysis of 65 cases in Iran. Trop
Doct. 2006 Apr;36(2):118-9
20. Rohilla R, Bhatia M, Gupta P, Singh A, Shankar R, Omar BJ. Salmonella
osteomyelitis: A rare extraintestinal manifestation of an endemic pathogen. J Lab
Physicians. 2019 Apr-Jun;11(2):164-170.
21. Koshiol J, Wozniak A, Cook P, Adaniel C, Acevedo J, Azócar L, Hsing AW, Roa
JC, Pasetti MF, Miquel JF, Levine MM, Ferreccio C., Gallbladder Cancer Chile
Working Group. Salmonella enterica serovar Typhi and gallbladder cancer: a
case-control study and meta-analysis. Cancer Med. 2016 Nov;5(11):3310-3235
22. Waddington CS, Darton TC, Woodward WE, Angus B, Levine MM, Pollard AJ.
Advancing the management and control of typhoid fever: a review of the historical
role of human challenge studies. J Infect. 2014 May;68(5):405-18.

26
23. Typhoid & Paratyphoid Fever - Chapter 4 - 2020 Yellow Book | Travelers' Health
| CDC https://wwwnc.cdc.gov/travel/yellowbook/2020/travel-related-infectious-
diseases/typhoid-and-paratyphoid-fever
24. Milligan R, Paul M, Richardson M, Neuberger A. Vaccines for preventing typhoid
fever. Cochrane Database Syst Rev. 2018 May 31;5(5):CD001261. doi:
10.1002/14651858.CD001261.pub4. PMID: 29851031; PMCID: PMC6494485.
25. Van Camp RO, Shorman M. Typhoid Vaccine. [Updated 2022 May 9]. In:
StatPearls [Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2022 Jan-.
Available from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK470571/

27

Anda mungkin juga menyukai