Anda di halaman 1dari 45

LAPORAN KASUS

KEJANG DEMAM SEDERHANA

Oleh:
dr. Kadek Dwi Wira Sanjaya, S.Ked

Pembimbing:
dr. I Nyoman Sartika, M.Kes, Sp.A

Pendamping:
dr. Ni Made Murtini, MARS
dr. I Nyoman Darsana, M.Biomed, Sp.S

DALAM RANGKA MENGIKUTI PROGRAM INTERNSIP DOKTER


INDONESIA
RS BHAYANGKARA POLDA BALI
DENPASAR
2020
LAPORAN KASUS

KEJANG DEMAM SEDERHANA

Oleh:
dr. Kadek Dwi Wira Sanjaya, S.Ked

Pembimbing:
dr. I Nyoman Sartika, M.Kes, Sp.A

Pendamping:
dr. Ni Made Murtini, MARS
dr. I Nyoman Darsana, M.Biomed, Sp.S

DALAM RANGKA MENGIKUTI PROGRAM INTERNSIP DOKTER


INDONESIA
RS BHAYANGKARA POLDA BALI
DENPASAR
2020

i
PERSETUJUAN

LAPORAN KASUS

Judul:

KEJANG DEMAM SEDERHANA

Penyusun:
dr. Kadek Dwi Wira Sanjaya, S.Ked

Telah Disetujui oleh


Pembimbing

dr. I Nyoman Sartika, M.Kes, Sp.A

ii
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang
telah melimpahkan rahmat serta berkat0Nya, sehingga penulis dapat
menyelesaikan laporan kasus dengan judul “Kejang Demam Sederhana” tepat
pada waktunya. Laporan kasus ini disusun sebagai salah satu syarat mengikuti
Program Internsip Dokter Indonesia Angkatan III periode 2020-2021.
Dalam penyusunan laporan ini, penulis mendapatkan banyak bimbingan,
informasi, dan bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini
penulis menyampaikan ucapan terimakasih kepada:
1. dr. Ni Made Murtini, MARS selaku kepala Rumah Sakit Bhayangkara
Polda Bali Denpasar sekaligus pendamping wahana;
2. dr. I Nyoman Darsana, M.Biomed, Sp.S selaku pendamping wahana di
Rumah Sakit Bhayangkara Polda Bali Denpasar;
3. dr. Agus Eka Wiradiputra, M.Biomed, Sp.OT selaku komite medik Rumah
Sakit Bhayangkara Polda Bali Denpasar;
4. dr. I Nyoman Sartika, M.Kes, Sp.A selaku pembimbing dalam penyusunan
laporan kasus;
5. Teman-teman yang turut membantu penyelesaian makahal ini;
6. Serta pihak-pihak lain yang bersedia meluangkan waktunya untuk
membantu saya.
Karena terbatasnya pengetahuan yang dimiliki penulis, maka penulis
mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari semua pihak demi
perbaikan dari laporan ini. Akhir kata penulis ucapkan terimakasih.

Denpasar, 17 November 2020

Penulis

dr. Kadek Dwi Wira Sanjaya,


S.Ked

iii
DAFTAR ISI

HALAMAN DEPAN................................................................................................i
PERSETUJUAN LAPORAN KASUS....................................................................ii
KATA PENGANTAR............................................................................................iii
DAFTAR ISI...........................................................................................................iv
BAB I.......................................................................................................................1
BAB II......................................................................................................................3
2.1. Definisi......................................................................................................3
2.2. Epidemiologi.............................................................................................3
2.3. Etiologi......................................................................................................4
2.5. Patofisiologi...............................................................................................5
2.6. Diagnosis...................................................................................................8
2.7. Diagnosis Banding..................................................................................14
2.8. Penatalaksanaan.......................................................................................15
BAB III..................................................................................................................20
BAB IV..................................................................................................................35
BAB V....................................................................................................................37
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................38

iv
BAB I
PENDAHULUAN

Kejang demam adalah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu
tubuh (suhu rektal diatas 38oC) yang disebabkan oleh suatu proses ekstrakranial.
Kejang demam merupakan kelainan neurologis yang paling sering dijumpai pada
anak-anak, terutama pada golongan umur 3 bulan sampai 5 tahun. 1 Dari penelitian
didapatkan bahwa sekitar 2,2%-5% anak pernah mengalami kejang demam
sebelum mereka mencapai usia 5 tahun. Kejadian demam di berbagai negara
maju seperti Amerika Serikat dan Eropa Barat mencapai 2-45%. Kejadian kejang
demam di Asia lebih tinggi, kira-kira 20% kasus merupakan kejang demam
kompleks.1
Insiden terjadinya kejang demam terutama pada golongan anak umur 6
bulan sampai 4 tahun. Hampir 3% dari anak yang berumur di bawah 5 tahun
pernah menderita kejang demam.2 Kejang demam sangat tergantung kepada umur,
yaitu 85% kejang pertama sebelum umur 4 tahun, terbanyak diantara 17-23 bulan.
Hanya sedikit yang mengalami kejang demam pertama sebelum umur 5-6 bulan
atau setelah umur 5-8 tahun. Biasanya setelah berumur 6 tahun pasien tidak
kejang demam lagi, walaupun pada beberapa pasien masih dapat mengalami
sampai umur lebih dari 5-6 tahun.3
Kejang demam merupakan kelainan neurologis yang paling sering terjadi
pada anak, 1 dari 25 anak akan mengalami satu kali kejang demam. Hal ini
dikarenakan anak yang masih berusia di bawah 5 tahun sangat rentan terhadap
berbagai penyakit disebabkan sistem kekebalan tubuh belum terbangun secara
sempurna. Serangan kejang demam pada anak yang satu dengan yang lain tidak
sama, tergantung nilai ambang kejang masing-masing. Oleh karena itu, setiap
serangan kejang harus mendapat penanganan yang cepat dan tepat, apalagi kejang
yang berlangsung lama dan berulang. Keterlambatan dan kesalahan prosedur bisa
mengakibatkan gejala sisa pada anak, bahkan bisa menyebabkan kematian.4
Kejang demam pada anak dapat mengganggu kehidupan keluarga dan
kehidupan sosial orang tua khususnya ibu, karena ibu dibuat stress dan rasa cemas
yang luar biasa. Bahkan, ada yang mengira anaknya bisa meninggal karena

1
kejang. Beberapa ibu panik ketika anak mereka demam dan melakukan kesalahan
dalam mengatasi demam dan komplikasinya. Kesalahan yang dilakukan ibu salah
satunya disebabkan karena kurang pengetahuan dalam penanganan. Memberikan
informasi kepada ibu tentang hubungan demam dan kejang itu sendiri merupakan
hal yang penting untuk menghilangkan stress dan cemas mereka.1
Faktor genetika, komorbiditas (kelahiran prematur, retardasi pertumbuhan
janin), dan faktor risiko lingkungan (paparan nikotin dalam rahim) dapat
meningkatkan risiko kejang demam selain faktor usia.5

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi
Kejang demam merupakan tipe kejang yang paling sering terjadi pada masa
anak-anak. Kejang demam memiliki definisi yang berbeda-beda berdasarkan
National Institutes of Health (NIH), the International League against Epilepsy
(ILAE), dan the Amertican Academy of Pediatrics (AAP). Berdasarkan NIH
(1980), kejang demam didefinisikan sebagai kejang yang berkaitan dengan
demam, biasanya terjadi pada usia 3 bulang hingga 5 tahun, tanpa adanya infeksi
intracranial atau penyebab lain seperti gangguan metabolik. Sedangkan ILAE
(1993) mendefinisikan kejang demam sebagai kejang yang berkaitan dengan
demam, terjadi pada usia setelah 1 bulan, tanpa ada bukti infeksi intracranial dan
penyebab definitive lain, serta tidak adanya riwayat kejang neonatus atau kejang
tanpa demam sebelumnya. Definisi kejang demam terbaru diberikan oleh AAP
pada tahun 2008. Berdasarkan AAP, kejang demam adalah kejang yang terjadi
pada anak yang demam, terjadi antara usia 6 bulan hingga 5 tahun, tanpa adanya
bukti infeksi intracranial, gangguan metabolik, atau riwayat kejang tanpa demam
sebelumnya. Jika disimpulkan, maka kejang demam memiliki komponen berupa
terjadi pada rentang usia tertentu, sebagian besar anak yang mengalami kejang
demam memiliki perkembangan neurologis yang normal sebelum dan setelah
kejang demam, dan tidak berkaitan dengan anomaly pada perkembangan dan
pertumbuhan otak anak. Menurut IDAI (2016), kejang demam dibedakan menjadi
2 yaitu kejang demam sederhana dan kejang demam kompleks. Kejang demam
sederhana merupakan kejang yang berlangsung singkat (kurang dari 15 menit),
bentuk umum (tonik dan atau klonik) serta tidak berulang dalam waktu 24 jam.
Sedangkan kejang demam kompleks adalah kejang lama (berlangsung lebih dari
15 menit atau berulang lebih dari 2 kali dan diantara bangkitan anak tidak sadar),
bentuk fokal atau parsial atau kejang umum yang ditandai dengan kejang parsial,
serta berulang lebih dari 1 kali dalam 24 jam.

2.2. Epidemiologi

3
Kejadian kejang demam diperkirakan 2%–4% di Amerika Serikat, Amerika
Selatan dan Eropa Barat. Kira – kira 20% kasus merupakan kejang demam
kompleks. Umumnya kejang demam timbul pada tahun kedua kehidupan (17–23
bulan) kejang demam sedikit lebih sering pada laki – laki.6
Kejang demam terjadi pada 2–5% anak berusia 6 bulan–5 tahun dan
merupakan jenis kejang yang paling umum terjadi pada anak-anak berusia di
bawah 60 bulan. Secara umum, insiden kejang demam menurun drastis setelah
usia 4 tahun dan jarang terjadi pada anak berusia di atas 7 tahun.5
Insiden maupun prevalensi kejang demam umumnya hampir sama dari
berbagai laporan penelitian mengenai kejang demam yang sudah ada. Di Amerika
Serikat sendiri, hampir terjadi 1,5 juta kasus kejang demam dan sebagian besar
terjadi pada rentan usia 6-36 bulan dengan puncak 18 bulan. Dan prevalensi di
Asia dilaporkan lebih tinggi dimana 80-90% diantaranya adalah kejang demam
sederhana.6
Angka kejadian kejang demam di Indonesia sendiri mencapai 2–4% tahun
2008 dengan 80% disebabkan oleh infeksi saluran pernapasan. Angka kejadian di
wilayah Jawa Tengah sekitar 2–5% pada anak usia 6 bulan–5 tahun disetiap
tahunnya. 25–50% kejang demam akan mengalami bangkitan kejang demam
berulang.6
Laki-laki secara konsisten muncul memiliki frekuensi kejang demam yang
lebih tinggi (rasio laki-laki dan perempuan, 1.1: 1 hingga 2: 1). 2 Namun, beberapa
penelitian lain menunjukkan tidak ada perbedaan jenis kelamin yang signifikan.6

2.3. Etiologi
Hingga kini etiologi kejang demam belum diketahui dengan pasti, namun
kejang demam sering disebabkan oleh :7
1. Demam itu sendiri, demam yang disebabkan oleh infeksi saluran pernapasan,
otitis media, pneumonia, gastroentritis dan infeksi saluran kemih.
2. Efek produk toksik daripada mikroorganisme.
3. Respon alergik atau keadaan umum yang abnormal oleh infeksi.
4. Perubahan keseimbangan cairan dan elektrolit

4
Ada riwayat kejang demam pada keluarga tingkat pertama dan kedua
seperti pada saudara kandung dan orangtua, menunjukkan kecenderungan
terjadinya insiden kejang demam lebih tinggi.7

2.1. Klasifikasi
Klasifikasi kejang demam dibagi menjadi dua yaitu :
1. Kejang demam sederhana (simple febrile seizure)
 Lama kejang <15 menit.
 Kejang bersifat umum.
 Tidak berulang dalam 24 jam.
Kejang demam sederhana berlangsung singkat, kurang dari 15 menit dan
umumnya akan berhenti sendiri. Kejang berbentuk umum tonik dan/ atau klonik,
tanpa gerakan fokal serta kejang tidak  berulang dalam waktu 24 jam. Kejang
demam sederhana merupakan 80% di antara seluruh kejang demam. Kejang pada
kejang demam sederhana selalu berbentuk umum, biasanya bersifat tonik-
klonik seperti kejang grand mal, kadang-kadang hanya kaku umum atau mata
mendelik seketika. Kejang dapat juga berulang namun sebentar saja dan masih
dalam waktu 16 jam meningkatnya suhu di mana umumnya terjadi pada kenaikan
suhu yang mendadak
2. Kejang demam kompleks (complex febrile seizure)
 Kejang lama (>15 menit).
 Kejang fokal atau parsial satu sisi atau kejang umum didahului
kejang parsial.
 Berulang atau terjadi >1 kali dalam 24 jam.
Kejang lama adalah kejang yang berlangsung lebih dari 15 menit atau kejang
berulang lebih dari 2 kali dan di antara bangkitan kejang anak tidak sadar. Kejang
lama terjadi pada 8% kejang demam. Kejang fokal adalah kejang parsial satu sisi,
atau kejang umum yang didahului kejang parsial. Kejang berulang adalah kejang
2 kali atau lebih dalam 1 hari, dan di antara 2 bangkitan kejang anak sadar. Kejang
berulang terjadi pada 16% anak yang mengalami kejang demam.8

2.4. Patofisiologi

5
Kejang merupakan manifestasi klinik akibat terjadinya pelepasan muatan
listrik yang berlebihan di sel neuron otak karena gangguan fungsi pada neuron
tersebut baik berupa fisiologi, biokimiawi, maupun anatomi.5,9
Sel saraf, seperti juga sel hidup umumnya, mempunyai potensial membran.
Potensial membran yaitu selisih potensial antara intrasel dan ekstrasel. Potensial
intrasel lebih negatif dibandingkan dengan ekstrasel. Dalam keadaan istirahat
potensial membran berkisar antara 30-100 mV, selisih potensial membran ini akan
tetap sama selama sel tidak mendapatkan rangsangan. Potensial membran ini
terjadi akibat perbedaan letak dan jumlah ion ion terutama ion Na+, K+, dan Ca+2.
Pada kondisi istirahat, ion Na+ lebih banyak terdapat di ekstraseluler, sedangkan
ion K+ lebih banyak terdapat di intraseluler. Ion-ion ini tidak dapat bergerak
bebas melewati membran sel karena terhalang oleh permeabilitas membran.
Ketika mendapat stimulus, maka kanal ion Na+ yang terdapat di membran sel
menjadi terbuka, menyebabkan aliran masuk ion Na+ ke dalam sel. Muatan positif
yang dibawa oleh ion Na+ menyebabkan potensial membran sel menjadi lebih
positif, dan ketika sudah mencapai batas depolarisasi, maka terjadilah depolarisasi
pada sel tersebut. Setelah depolarisasi, kanal ion K+ terbuka yang dipicu oleh
potensial membran sel yang lebih positif saat depolarisasi. Kondisi ini
menyebabkan aliran keluar ion K+ sehingga potensial membran yang awalnya
positif bisa kembali menjadi negatif, dan mengalami repolarisasi. Keseimbangan
antara ion Na+ dan K+ intrasel dan ekstrasel yang mengalami perubahan selama
proses ini akan dikembalikan menggunakan pompa Na+/K+ ATPase yang
memompa tiga ion Na+ keluar dan dua ion K+ ke dalam sel.
Depolarisasi yang terjadi pada segmen tertentu pada sel akan menjalar ke
segmen selanjutnya. Ketika sudah mencapai ujung presinaps, gelombang
depolarisasi memicu terbukanya kanal ion Ca2+ sehingga menyebabkan
masuknya ion Ca2+ ke dalam sel. Ion Ca2+ yang masuk ke dalam sel akan
berikatan pada vakuola di ujung presinaps yang berisi neutransmitter, sehingga
memicu pelepasan neurotransmitter ke sinaps. Neurotransmitter ini akan
menempel pada ujung sel postsinaps, kemudian memicu terjadinya depolarisasi
dan potensial aksi pada sel tersebut. Neurotransmitter yang memicu terjadinya
potensial aksi di sel postsinaps disebut neurotransmitter eksitatorik, contohnya

6
adalah glutamate. Glutamate bisa memicu terjadinya depolarisasi pada sel
postsinaps dengan cara berikatan dengan reseptornya yang berlokasi di sel
postsinaps, kemudian memicu terbukanya kanal ion Na+. Sedangkan
neurotransmitter yang menyebabkan inhibisi pada sel postsinaps disebut
neurotransmitter inhibitorik. Salah satu contoh neurotransmitter inhibitorik adalah
GABA. GABA bisa mencegah terjadinya potensial aksi di sel postsinaps dengan
cara menempel pada reseptor GABA yang menyebabkan terbukanya kanal ion Cl-
dan memicu aliran masuk negatif Cl- ke dalam sel. Keseimbangan kedua jenis
neurotransmitter inilah yang berperan penting dalam eksitasi dan inhibisi sel otak.
Ketika terjadi ketidakseimbangan eksitasi dan inhibisi, maka terjadi gangguan
pada perjalaran impuls saraf.

Pada kondisi kejang, terjadi eksitasi yang masif dan berlebihan pada
beberapa area otak secara bersamaan. Kondisi ini disebabkan karena kadar
eksitasi melebihi kadar inhibisi.
Patofisiologi demam yang bisa memicu kejang secara pasti belum diketahui,
tapi beberapa hipotesis telah dikemukakan berdasarkan percobaan terhadap hewan
7
coba. Pertama, peningkatan suhu tubuh, termasuk suhu otak, menyebabkan
perubahan berbagai fungsi neuron. Peningkatan suhu tubuh menyebabkan
terbukanya kanal ion tertentu yang bersifat thermosensitive. Kanal ion ini memicu
depolarisasi pada sel saraf otak. Hal ini menyebabkan munculnya potensial aksi
yang masif terjadi di otak, sehingga timbul kejang. Kedua, melalui sitokin pro-
inflamasi, terutama interleukin 1-beta. Saat terjadi proses inflamasi/infeksi, tubuh
melepaskan sitokin pro-inflamasi, salah satunya interleukin 1-beta. Interleukin 1-
beta berperan sebagai pirogen yang meningkatkan suhu tubuh. Peningkatan suhu
tubuh secara timbal balik positif juga meningkatkan produksi interleukin 1-beta.
Diketahui interleukin 1-beta merupakan sitokin yang juga bisa meningkatkan
eksitabilitas sel saraf di otak. Interleukin 1-beta akan berikatan di reseptor
NMDA, dan menyebabkan aliran masuk ion kalsium lebih masif sehingga
mempermudah terjadinya depolarisasi sel saraf. Eksitabilitas yang semakin
meningkat pada sel saraf akan mempermudah memicu terjadinya kejang. Ketiga,
pada kondisi demam, terjadi hiperventilasi yang menyebabkan alkalosis
respiratorik. Kondisi alkalosis memicu eksitabilitas neuron. Tapi hipotesis ini
kurang kuat karena berbagai kondisi yang menyebabkan hiperventilasi tidak
memicu kejang.
Kejang demam yang berlangsung singkat pada umunya tidak akan
meninggalkan gejala sisa. Pada kejang demam yang lama (lebih dari 15 menit)
biasanya diikuti dengan apneu, hipoksemia, (disebabkan oleh meningkamya
kebutuhan oksigen dan energi untuk kontraksi otot skelet), asidosis laktat
(disebabkan oleh metabolisme anaerobik), hiperkapnea, hipoksi arterial, dan
selanjutnya menyebabkan metabolisme otak meningkat. Rangkaian kejadian di
atas menyebabkan gangguan peredaran darah di otak, sehingga terjadi hipoksemia
dan edema otak, pada akhirnya terjadi kerusakan sel neuron.11

2.5. Diagnosis
Terjadinya bangkitan kejang demam pada bayi dan anak didahului oleh
kenaikan suhu badan yang tinggi (dapat mencapai 39oC atau lebih) dan cepat yang
disebabkan oleh proses infeksi di luar susunan saraf pusat. Serangan kejang
biasanya terjadi dalam 24 jam pertama sewaktu demam, berlangsung singkat
(berdurasi beberapa detik sampai 10 menit), dan dengan sifat bangkitan dapat

8
berbentuk tonik-klonik, tonik, klonik, fokal atau akinetik. Umumnya kejang
berhenti sendiri. Begitu kejang berhenti anak tidak memberi reaksi apapun untuk
sejenak, tetapi setelah beberapa detik atau menit anak akan terbangun dan sadar
kembali tanpa adanya kelainan saraf. Kejang demam dapat berlangsung lama
dan/atau parsial. Pada kejang yang unilateral kadang-kadang diikuti oleh
hemiplegi sementara yang berlangsung beberapa jam atau bebarapa hari. Kejang
unilateral yang lama dapat diikuti oleh kelainan saraf yang menetap.12
Pada pasien yang datang dengan keluhan kejang disertai demam, dokter
harus menentukan apakah pasien mengalami kejang demam atau tipe kejang lain.
Setelah itu, dokter harus menetukan tipe kejang demam anak, apakah sederhana
atau kompleks berdasarkan definisi dan klasifikasi kejang demam. Ketika demam
tidak lagi ada pada saat anak sampai di rumah sakit, tanggung jawab dokter yang
paling penting adalah menentukan penyebab demam dan menyingkirkan
kemungkinan meningitis pada anak.12
Anamnesis
Anamnesis adalah cara pemeriksaan yang dilakukan dengan wawancara
baik langsung pada pasien (autoanamnesis) atau kepada orang tua atau sumber
lain (aloanamnesis) misalnya wali atau pengantar. Dalam anamnesis khususnya
pada penyakit anak biasanya aloanamnesis diutamakan, namun keterangan anak
tidak boleh dikesampingkan begitu saja. Anamnesis pada saat kejang dilakukan
seperlunya saja agar tidak menunda pengobatan. Anamnesis lebih lengkap dapat
dilakukan kemudian saat kondisi anak lebih stabil.13 Dalam anamnesis dapat digali
data – data yang berhubungan dengan kejang demam meliputi :14
a. Identitas.
Identitas meliputi nama, umur, jenis kelamin, nama orang tua, alamat,
umur, pendidikan dan pekerjaan orang tua, agama dan suku bangsa.
Epidemiologi kejang demam lebih banyak terjadi pada anak laki-laki pada
usia 6 bulan sampai dengan 5 tahun.

b. Riwayat Penyakit.
Pada riwayat penyakit perlu ditanyakan keluhan utama dan riwayat
perjalanan penyakit. Keluhan utama adalah keluhan atau gejala yang

9
menyebabkan pasien dibawa berobat. Pada riwayat perjalanan penyakit
disusun cerita yang kronologis, terinci, dan jelas mengenai keadaan
kesehatan pasien sejak sebelum ada keluhan sampai anak dibawa berobat.
Bila pasien mendapat pengobatan sebelumnya, perlu ditanyakan kapan
berobat, kepada siapa, obat yang sudah diberikan, hasil dari pengobatan
tersebut, dan riwayat adanya reaksi alergi terhadap obat.
Pada kasus kejang demam, perlu digali informasi mengenai demam dan
kejang itu sendiri. Pada setiap keluhan demam perlu ditanyakan berapa
lama demam berlangsung; karakteristik demam apakah timbul mendadak,
remitten, intermitten, kontinyu, dsb. Hal lain yang menyertai demam juga
perlu ditanyakan misalnya menggigil, kejang, kesadaran menurun,
merancau, mengigau, mencret, muntah, sesak nafas, adanya manifestasi
perdarahan, dsb. Dari anamnesa diharapkan kita bisa mengarahkan
kecurigaan terhadap penyebab demam itu sendiri.
Pada anamnesa kejang perlu digali informasi mengenai kapan kejang
terjadi; apakah didahului adanya demam, berapa jarak antara demam
dengan onset kejang; apakah kejang ini baru pertama kalinya atau sudah
pernah sebelumnya (bila sudah pernah berapa kali (frekuensi per tahun),
saat anak umur berapa mulai muncul kejang pertama); dan apakah terjadi
kejang ulangan dalam 24 jam. Tipe kejang harus ditanyakan secara teliti
apakah kejang bersifat klonik, tonik, umum, atau fokal. Bila anak berumur
kurang dari 6 bulan atau lebih dari 5 tahun mengalami kejang didahului
demam, pikirkan kemungkinan lain misalnya infeksi SSP, atau epilepsy
yang kebetulan terjadi bersama demam.
Ditanyakan pula lamanya serangan kejang, interval antara dua serangan,
kesadaran pada saat kejang dan setelah kejang. Gejala lain yang menyertai
juga penting termasuk panas, muntah, adanya kelumpuhan, penurunan
kesadaran, dan apakah ada kemunduran kepandaian anak.

c. Riwayat Kehamilan Ibu.


Perlu ditanyakan kesehatan ibu selama hamil, ada atau tidaknya penyakit,
serta upaya apa yang dilakukan untuk mengatasi penyakit. Riwayat

10
mengonsumsi obat-obatan tertentu, merokok, minuman keras, konsumsi
makanan ibu selama hamil.

d. Riwayat Persalinan.
Perlu ditanyakan kapan tanggal lahir pasien, tempat kelahiran, siapa yang
menolong, cara persalinan, keadaan bayi setelah lahir, berat badan dan
panjang badan bayi saat lahir, dan hari-hari pertama setelah lahir. Perlu
juga ditanyakan masa kehamilan apakah cukup bulan atau kurang bulan
atau lewat bulan. Dengan mengetahui informasi yang lengkap tentang
keadaan ibu saat hamil dan riwayat persalinan anak dapat disimpulkan
beberapa hal penting termasuk terdapatnya asfiksia, trauma lahir, infeksi
intrapartum,dsb yang mungkin berhubungan dengan riwayat penyakit
sekarang.

e. Riwayat Pertumbuhan dan Perkembangan.


Perlu digali bagaimana status pertumbuhan anak yang dapat ditelaah dari
kurva berat badan terhadap umur dan panjang badan terhadap umur. Status
perkembangan pasien perlu ditelaah secara rinci untuk mengetahui ada
tidaknya penyimpangan. Pada anak balita perlu ditanyakan perkembangan
motorik kasar, motorik halus, sosial-personal, dan bahasa.
f. Riwayat Imunisasi.

Apakah penderita mendapat imunisasi secara lengkap, rutin, sesuai jadwal


yang diberikan. Perlu juga ditanyakan adanya kejadian ikutan pasca
imunisasi.
g. Riwayat Makanan.

Makanan dinilai dari segi kualitas dan kuantitasnya.

h. Riwayat Penyakit Yang Pernah Diderita


Pada kejang demam perlu ditanyakan apakah sebelumnya pernah
mengalami kejang dengan atau tanpa demam, apakah pernah mengalami
penyakit saraf sebelumnya.

11
i. Riwayat Keluarga
Biasanya didapatkan riwayat kejang demam pada keluarga lainnya (ayah,
ibu, atau saudara kandung), oleh sebab itu perlu ditanyakan riwayat
familial penderita.
Pemeriksaan Fisis15
Pemeriksaan fisis dibagi menjadi 2 yakni pemeriksaan umum dan
pemeriksaan sistematis. Penilaian keadaan umum pasien antara lain meliputi
kesan keadaan sakit pasien (tampak sakit ringan, sedang, atau berat); tanda –
tanda vital pasien (kesadaran pasien, nadi, tekanan darah, pernafasan, dan suhu
tubuh); status gizi pasien; serta data antropometrik (panjang badan, berat badan,
lingkar kepala, lingkar dada).
Selanjutnya dilanjutkan dengan pemeriksaan sistematik organ dari ujung
rambut sampai ujung kuku untuk mengarahkan ke suatu diagnosis. Pada
pemerikasaan kasus kejang demam perlu diperiksa faktor faktor yang berkaitan
dengan terjadinya kejang dan demam itu sendiri. Demam merupakan salah satu
keluhan dan gejala yang paling sering terjadi pada anak. Pada pemeriksaan fisik,
pasien diukur suhunya baik aksila maupun rektal. Perlu dicari adanya sumber
terjadinya demam, apakah ada kecurigaan yang mengarah pada infeksi baik virus,
bakteri maupun jamur; ada tidaknya fokus infeksi; atau adanya proses non infeksi
seperti misalnya kelainan darah yang biasanya ditandai dengan dengan pucat,
panas, atau perdarahan.
Pemeriksaaan kejang sendiri lebih diarahkan untuk membedakan apakah
kejang disebabkan oleh proses ekstra atau intrakranial. Jika kita mendapatkan
pasien dalam keadaan kejang, perlu diamati dengan teliti apakah kejang bersifat
klonik, tonik, umum, atau fokal. Amati pula kesadaran pasien pada saat dan
setelah kejang. Perlu diperiksa keadaan pupil, adanya tanda-tanda lateralisasi,
rangsangan meningeal (kaku kuduk, Kernig sign, Brudzinski I, II), adanya paresis,
paralisis,atau spastisitas, serta nilai reflek patologis dan fisiologis anak.

Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang terdiri dari :
a. Pemeriksaan Laboratorium

12
Pemeriksaan laboratorium dilakukan untuk mengevaluasi sumber infeksi,
mencari penyebab demam, atau penyakit lain yang menyertai. Dalam hal ini
dapat diperiksa darah tepi, elektrolit, dan gula darah.16
b. Pemeriksaan Cairan Serebrospinal (CSS)
Pemeriksaan cairan serebrospinal dilakukan untuk menegakkan atau
menyingkirkan kemungkinan meningitis. Pada tahun 1966, AAP memberikan
rekomendasi dilakukan pungsi lumbal untuk mengetahui ada tidaknya
meningitis pada anak yang mengalami kejang demam jika:
1. Usia <12 bulan, sangat direkomendasikan karena tanda dan gejala
meningitis minimal bahkan tidak tampak pada usia tersebut
2. Usia 12-18 bulan, pungsi lumbal perlu dipertimbangkan karena tanda
dan gejala meningitis belum terlalu jelas
3. Usia >18 bulan, pungsi lumbal tidak direkomendasikan kecuali
terdapat gejala rangsang meningeal
4. Anak yang mengalami kejang demam yang sudah diberikan terapi
antibiotic, karena antibiotic bisa memudarkan tanda dan gejala
meningitis
Namun, dengan adanya program vaksinasi regular terhadap HiB dan
S.Pneumonia, diketahui prevalensi meningitis menjadi sangat jarang pada
anak usia > 6 bulan. Berdasarkan bukti-bukti terbaru tersebut, saat ini
pemeriksaan pungsi lumbal tidak dilakukan secara rutin pada anak berusia
<12 bulan yang mengalami kejang demam sederhana dengan keadaan umum
baik. Indikasi pungsi lumbal dengan rekomendasi AAP terbaru adalah:
1. Terdapat tanda dan gejala rangsang meningeal
2. Terdapat kecurigaan adanya infeksi SSP berdasarkan anamnesis dan
pemeriksaan klinis
3. Anak usia 6-12 bulan yang belum mendapat vaksin HiB atau
S.pneumonia
4. Dipertimbangkan pada anak dengan kejang disertai demam yang
sebelumnya telah mendapat antibiotik dan pemberian antibiotik
tersebut dapat mengaburkan tanda dan gejala meningitis.8
c. Pemeriksaan Elektroensefalografi (EEG)

13
Pemeriksaan EEG tidak dapat memprediksi berulangnya kejang atau
memperkirakan kemungkinan kejadian epilepsi pada pasien kejang demam
meskipun hasilnya abnormal, oleh sebab itu tidak direkomendasikan pada
kejang demam.7EEG masih dapat dilakukan apabila bangkitan kejang bersifat
fokal dan KDK pada usia > 5 tahun. Pemeriksaan EEG pada kejang fokal
bertujuan untuk menentukan adanya fokus kejang di otak yang membutuhkan
evaluasi lebih lanjut.8
d. Pemeriksaan Radiologi
Pencitraan kepala seperti CT scan atau MRI tidak rutin dilakukan pada kejang
demam sederhana. Pemeriksaan tersebut hanya dikerjakan atas indikasi
seperti:
1. Kelainan neurologik fokal yang menetap (misal hemiparesis)
2. Paresis nervus kranialis
3. Papiledema
MRI diketahui memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang lebih tinggi
dibandingkan CT scan, namun belum tersedia secara luas.17

2.6. Diagnosis Banding


Infeksi susunan saraf pusat dapat disingkirkan dengan pemeriksaan klinis
dan cairan cerebrospinal. Kejang demam yang berlangsung lama kadang-kadang
diikuti hemiperesis sehingga sukar dibedakan dengan kejang karena proses
intrakranial. Sinkop juga dapat diprovokasi oleh demam, dan sukar dibedakan
dengan kejang demam. Meningitis, ensefalitis, anak dengan demam tinggi dapat
mengalami delirium, menggigil, pucat dan sianosis sehingga menyerupai kejang
demam.18

Tabel 1. Diagnosis Banding Kejang Demam


19
Intrakranial Ekstrakranial
Meningitis Hipoglikemia
Ensefalitis Defisiensi vitamin B6

14
Infeksi subdura dan epidura Gangguan elektrolit (hiponatremia,
hipokalsemia, porfiria)
Abses otak Keracunan
Trauma kepala
Stroke dan AVM
Cytomegalic inclusion disease
Epilepsi

2.7. Penatalaksanaan
Pada umumnya kejang berlangsung singkat (rerata 4 menit) dan pada waktu
pasien datang, kejang sudah berhenti. Jika pasien datang dalam keadaan kejang,
hal pertama yang dilakukan adalah penilaian Airway, Breathing, and Circulation.
Penilaian ABC dilakukan simultan dengan pemberian obat anti kejang. Jalan napas
harus dipertahankan pada pasien kejang, bisa dengan cara sederhana seperti posisi
kepala dimiringkan, atau menggunakan alat yang dianjurkan yaitu NPA.
Pemberian suplementasi oksigen dilakukan untuk pasien yang masih dalam
kondisi kejang, terutama kejang yang berlangsung lama. Anjuran pemberian
suplementasi oksigen menggunakan NRM dengan oksigen 15 lpm. Jika pasien
sudah tidak kejang, maka indikasi pemberian suplementasi oksigen apabila
saturasi oksigen dibawah 95%. Penilaian sirkulasi dilakukan sebisa mungkin,
seperti nadi, tekanan darah, termasuk mencari jalur intavena.
Apabila saat pasien datang dalam keadaan kejang, obat yang paling cepat
untuk menghentikan kejang adalah diazepam intravena. Dosis diazepam intravena
adalah 0,2-0,5 mg/kg perlahan-lahan dengan kecepatan 2 mg/menit atau dalam
waktu 3-5 menit, dengan dosis maksimal 10 mg. Secara umum, penatalaksanaan
kejang akut mengikuti algoritma kejang pada umumnya.
Obat yang praktis dan dapat diberikan oleh orangtua di rumah (prehospital)
adalah diazepam rektal. Ketika rute intravena tidak tersedia atau tidak dapat
diakses, diazepam diberikan secara rektal (0,5 mg/kg), secara bukal (0,5 mg/kg),
atau intranasal (0,2 mg/kg) dan midazolam diberikan secara bukal (0,2 mg/kg)
atau intranasal (0,2 mg/kg) adalah alternatif yang aman dan efektif. Dosis
diazepam rektal adalah 0,5-0,75 mg/kg atau diazepam rektal 5 mg untuk anak

15
dengan berat badan kurang dari 12 kg dan 10 mg untuk berat badan lebih dari 12
kg. Bila setelah pemberian diazepam rektal kejang belum berhenti, dapat diulang
lagi dengan cara dan dosis yang sama dengan interval waktu 5 menit. Bila setelah
2 kali pemberian diazepam rektal masih tetap kejang, dianjurkan ke rumah sakit.
Di rumah sakit dapat diberikan diazepam intravena. Jika kejang masih berlanjut,
lihat algoritme tatalaksana status epileptikus. Bila kejang telah berhenti,
pemberian obat selanjutnya tergantung dari indikasi terapi antikonvulsan
profilaksis.19,20

Pemberian obat pada saat demam


Antipiretik
Tidak ditemukan bukti bahwa penggunaan antipiretik mengurangi risiko
terjadinya kejang demam. Meskipun demikian, dokter neurologi anak di Indonesia
sepakat bahwa antipiretik tetap dapat diberikan. Dosis parasetamol yang
digunakan adalah 10-15 mg/kg/kali diberikan tiap 4-6 jam. Dosis ibuprofen 5-10
mg/kg/kali, 3-4 kali sehari.19

Antikonvulsan
Pemberian obat antikonvulsan intermiten

16
Yang dimaksud dengan obat antikonvulsan intermiten adalah obat
antikonvulsan yang diberikan hanya pada saat demam. Profilaksis intermiten
diberikan pada kejang demam dengan salah satu faktor risiko di bawah ini :19
• Kelainan neurologis berat, misalnya palsi serebral
• Berulang 4 kali atau lebih dalam setahun
• Usia <6 bulan
• Bila kejang terjadi pada suhu tubuh kurang dari 39 derajat Celsius
Obat yang digunakan adalah diazepam oral 0,3 mg/kg/kali per oral atau
rektal 0,5 mg/kg/kali (5 mg untuk berat badan <12 kg dan 10 mg untuk berat
badan >12 kg), sebanyak 3 kali sehari, dengan dosis maksimum diazepam 7,5
mg/kali. Diazepam intermiten diberikan selama 48 jam pertama demam. Dosis ini
merupakan dosis tinggi yang dapat menyebabkan ataksia, iritabilitas, serta
sedasi.Tanda-tanda vital seperti suhu, denyut jantung, laju pernapasan, dan
tekanan darah harus dipantau selama kejang. Anak-anak yang dirawat di rumah
sakit harus dipantau dengan oksimeter kontinu. Anak hipoksia harus diberikan
oksigen tambahan melalui kanula nasal atau face mask untuk mempertahankan
SaO2> 92%. 19,20

Pemberian obat antikonvulsan rumat


Berdasarkan bukti ilmiah bahwa kejang demam tidak berbahaya dan
penggunaan obat dapat menyebabkan efek samping yang tidak diinginkan, maka
pengobatan rumat hanya diberikan terhadap kasus selektif dan dalam jangka
pendek.19
Indikasi pengobatan rumat :
• Kejang fokal
• Kejang lama >15 menit
• Terdapat kelainan neurologis yang nyata sebelum atau sesudah kejang,
misalnya palsi serebral, hidrosefalus, hemiparesis.
Keterangan :
• Kelainan neurologis tidak nyata, misalnya keterlambatan perkembangan,
bukan merupakan indikasi pengobatan rumat.
• Kejang fokal atau fokal menjadi umum menunjukkan bahwa anak
mempunyai fokus organik yang bersifat fokal.

17
• Pada anak dengan kelainan neurologis berat dapat diberikan edukasi untuk
pemberian terapi profilaksis intermiten terlebih dahulu, jika tidak
berhasil/orangtua khawatir dapat diberikan terapi antikonvulsan rumat.
Jenis antikonvulsan untuk pengobatan rumat :
Pemberian obat fenobarbital atau asam valproat setiap hari efektif dalam
menurunkan risiko berulangnya kejang. Pemakaian fenobarbital setiap hari dapat
menimbulkan gangguan perilaku dan kesulitan belajar pada 40-50% kasus. Obat
pilihan saat ini adalah asam valproat. Pada sebagian kecil kasus, terutama yang
berumur kurang dari 2 tahun, asam valproat dapat menyebabkan gangguan fungsi
hati. Dosis asam valproat adalah 15-40 mg/kg/hari dibagi dalam 2 dosis, dan
fenobarbital 3-4 mg/kg/hari dalam 1-2 dosis.19
Lama pengobatan rumat :
Pengobatan diberikan selama 1 tahun, penghentian pengobatan rumat untuk
kejang demam tidak membutuhkan tapering off, namun dilakukan pada saat anak
tidak sedang demam.

2.2. Prognosis
Kecacatan atau kelainan neurologis
Prognosis kejang demam secara umum sangat baik. Kejadian kecacatan
sebagai komplikasi kejang demam tidak pernah dilaporkan. Perkembangan mental
dan neurologis umumnya tetap normal pada pasien yang sebelumnya normal.
Kelainan neurologis dapat terjadi pada kasus kejang lama atau kejang berulang,
baik umum maupun fokal. Suatu studi melaporkan terdapat gangguan recognition
memory pada anak yang mengalami kejang lama. Hal tersebut menegaskan
pentingnya terminasi kejang demam yang berpotensi menjadi kejang lama.19,20

Kemungkinan berulangnya kejang demam


Kejang demam akan berulang kembali pada sebagian kasus. Faktor risiko
berulangnya kejang demam, yaitu :
• Riwayat kejang demam atau epilepsi dalam keluarga
• Usia kurang dari 12 bulan
• Suhu tubuh kurang dari 39 derajat Celsius saat kejang

18
• Interval waktu yang singkat antara awitan demam dengan terjadinya
kejang.
• Apabila kejang demam pertama merupakan kejang demam kompleks.
Bila seluruh faktor tersebut di atas ada, kemungkinan berulangnya kejang
demam adalah 80%, sedangkan bila tidak terdapat faktor tersebut kemungkinan
berulangnya kejang demam hanya 10-15%. Kemungkinan berulangnya kejang
demam paling besar pada tahun pertama. Biasanya, anak-anak menjadi lebih baik
dengan usia 6 tahun. Sekitar, sepertiga dari anak-anak yang mengalami kejang
demam akan mengalami kekambuhan selama masa kanak-kanak, tetapi kurang
dari 10% akan memiliki ≥tiga kekambuhan. Jika kekambuhan akan terjadi, sekitar
75% dari kekambuhan akan terjadi dalam 1 tahun dan 90% akan terjadi dalam 2
tahun.19,20

Faktor risiko terjadinya epilepsi


Faktor risiko menjadi epilepsi di kemudian hari, yaitu :
• Terdapat kelainan neurologis atau perkembangan yang jelas sebelum
kejang demam pertama
• Kejang demam kompleks
• Riwayat epilepsi pada orangtua atau saudara kandung
• Kejang demam sederhana yang berulang 4 episode atau lebih dalam satu
tahun.
Masing-masing faktor risiko meningkatkan kemungkinan kejadian epilepsi
sampai 4-6%, kombinasi dari faktor risiko tersebut akan meningkatkan
kemungkinan epilepsi menjadi 10-49%. Kemungkinan menjadi epilepsi tidak
dapat dicegah dengan pemberian obat rumatan pada kejang demam.19,20

19
BAB III
LAPORAN KASUS

3.1 Identitas
Nama : An. GKBP
Usia : 2 tahun 11 bulan 24 hari
Tanggal Lahir : 4 November 2017
Jenis Kelamin : Laki-laki
Agama : Hindu
Alamat : Jalan Ratna, Denpasar
Kebangsaan : Indonesia
No RM : 80.06.xx
Ruangan : PRG Lantai 1, Ruangan 102
Tanggal MRS : 25 Oktober 2020 (Pukul 20.05 WITA)

3.2 Identitas Orang Tua


AYAH IBU
Nama Bp. BPR Ibu NLPS
Usia 28 tahun 28 tahun
Pendidikan Terakhir Diploma SMA
Pekerjaan Wiraswasta Wiraswasta

3.3 Anamnesis
Keluhan Utama
Riwayat kejang di rumah

Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien datang ke IGD RS Bhayangkara Denpasar diantar oleh ibu dan


neneknya pada tanggal 25 Oktober 2020 pukul 20.05 WITA karena
mengalami kejang di rumah + 30 menit SMRS. Kejang dikatakan terjadi
tiba-tiba, berupa mata melirik ke atas dan tubuh kaku, tanpa disertai
kelonjotan pada tangan kaki. Anak dikatakan tidak merespon ketika
dipanggil. Awal kejang dikatakan langsung terjadi di seluruh tubuh, jadi

20
tidak berawal dari salah satu bagian tubuh. Durasi kejang sekitar 5 menit,
dan kejang terjadi 1 kali dalam 24 jam. Setelah kejang anak dikatakan
langsung sadar tapi tidak merespon setelah dipanggil dan terlihat lemas.
Setelah sekitar <5 menit akhirnya anak sadar penuh. Saat kejang anak
sempat mengompol 1 kali.

Sekitar 30 menit sebelum kejang, anak dikatakan tiba-tiba demam oleh


neneknya. Suhu tubuh tidak diukur, dan hanya diberikan air minum. Setelah
beberapa saat, anak mengalami kejang dan langsung dibawa ke RS. Anak
disangkal mengalami keluhan lain seperti batuk pilek, nyeri tenggorokan,
keluar cairan dari telinga, mual muntah, sesak dan bunyi ‘grok’ saat
bernapas, nyeri perut, sulit BAB, BAB cair, nyeri dan anyang-anyangan saat
BAK. Keluhan muncul bercak merah di kulit, gusi berdarah, BAB berdarah
juga disangkal. Sehari-hari anak makan dan minum sendiri menggunakan
piring, sendok, dan gelas khusus untuk anak. Anak juga tidak menggunakan
popok di rumah, dan sudah bisa ke toilet sendiri. Sehari-hari anak BAB 2
kali sehari, konsistensi normal. Tidak ada riwayat bepergian.

Riwayat Penyakit Terdahulu

Sebelumnya anak dikatakan tidak pernah mengalami kejang maupun kejang


didahului dengan demam. Beberapa kali anak mengalami demam, membaik
setelah diberikan penurun panas dan antibiotic dari dokter, tidak pernah
dirawat inap. Anak memiliki riwayat alergi sefiksim dengan reaksi bentol
dan gatal di tubuh.

Riwayat Penyakit Keluarga

Riwayat kejang demam pernah terjadi pada Ayah saat masih kecil

Riwayat Kelahiran

Pasien merupakan anak pertama. Selama kehamilan, ibu melakukan ANC


rutin di Australia sebanyak 6 kali dan selalu dilakukan USG dengan hasil
normal. Selama hamil ibu mengonsumsi vitamin penambah darah. Anak
lahir secara normal dengan BBL 2900 gram dan PB 53 cm, cukup bulan,

21
dan langsung menangis. Setelah lahir, anak tidak pernah mengalami sakit
kuning maupun dirawat di rumah sakit.

Riwayat Pemberian Makan

Anak diberikan ASI eksklusif selama 6 bulan. Setelah 6 bulan, anak mulai
diberikan MPASI. ASI diberikan hingga usia 2 tahun. Saat ini anak
diberikan makan dengan menu sama seperti keluarga tapi tidak pedas dan
bumbu dikurangi. Anak juga diberikan susu fullcream. Tidak ada pemberian
makanan jenis baru ke anak akhir-akhir ini.

Riwayat Perkembangan dan Pertumbuhan

Tidak ada riwayat keterlambatan perkembangan pada anak. Untuk motoric


kasar, saat ini anak sudah bisa berlari kencang, melompat, dan menendang
bola. Untuk motoric halus saat ini anak sudah bisa mencoret-coret kertas
dan menggambar garis. Untuk bahasa anak sudah bisa berbicara beberapa
kata, mengerti bagian tubuh. Untuk social anak sudah bisa makan dan
minum menggunakan sendok dan gelas, dan bermain dengan keluarga.

Untuk pertumbuhan, dikatakan berat badan dan tinggi badan anak selalu
naik, dan tidak pernah ada riwayat penurunan berat badan yang signifikan.

Status Imunisasi

Selama imunisasi, anak tidak pernah mengalami KIPI

22
3.4 Pemeriksaan Fisik (25 Oktober 2020 di IGD)
1. Status Present
Keadaan Umum : CM, tampak lemas

GCS : E4V5M6

Tekanan Darah : tidak diperiksa

Nadi : 94 x/menit

Respirasi : 22 x/ menit

Suhu Aksila : 39,5 o C

2. Status Gizi

23
Berat Badan: 15 kg
Tinggi Badan: 100 cm

24
3. Status General
Kepala : Normocephali
25
Mata : anemis (-/-), ikterik (-/-), cowong (-/-), pupil isokor
3mm/3mm, reflex pupil normal

Telinga : discharge (-), eritem (-)

Hidung : discharge (-)

Tenggorokan : hiperemis (-), eksudat (-), tonsil T1-T1

Leher : perbesaran limfonodi (-), kaku kuduk (-)

Paru :

Inspeksi : Pergerakan dinding dada simetris kanan-


kiri

Palpasi : Vokal fremitus simetris

Perkusi : Sonor-sonor

Auskultasi : vesikuler, ronkhi (-/-), wheezing (-/-)

Jantung :

Inspeksi : Tidak terdapat vena-vena yang melebar,


ictus cordis tidak tampak

Palpasi : ictus cordis teraba 1 jari di SIC 5 LMCS

Perkusi : batas jantung normal

Auskultasi : Bunyi jantung I dan II reguler, murmur (-),


gallop (-)

Abdomen :

Inspeksi : Perut tampak datar, distensi (-)

Auskultasi : Bising usus (+) normal

Perkusi : timpani

Palpasi : supel, tampak sakit/menangis saat ditekan


(-), turgor < 2 detik

26
Ekstrimitas : akreal hangat, CRT < 2 detik, edema tungkai (-)

Integumen : petekie (-), rumple leed tidak diperiksa (anak tidak


kooperatif)

Status Neuro :

Kaku kuduk : Negatif


Brudzinzki I : Negatif
Brudzinski II : Negatif

Kernig Sign : Negatif


Refleks fisiologis : Normal pada keempat ekstremitas

Refleks patologis Babinski dan varian: Negatif

3.5 Diagnosis Kerja


 Kejang Demam Sederhana
 Hiperpireksia H-1 ec susp Dengue Fever dd ISK
 Gizi Baik

3.6 Pemeriksaan Laboratorium


Darah lengkap (25/10/2020)

PARAMETER HASIL KET SATUAN RUJUKAN

WBC 4.3 L 10*9/L 5-10

LYM 1.4 10*9/L 1.1-3.6

LYM% 33.4 % 15-50

MID 0.2 10*9/L 0.1-1.5

MID% 5 % 2-15

GRAN 2.7 10*9/L 1.2-8

GRAN% 61.6 % 35-80

27
RBC 4.56 10*12/L 4-5.3

HGB 12.4 L gr/dL 12.5-16

HCT 33.8 L % 35-45

MCV 74 L fL 78-96

MCH 27.1 pg 27-31

MCHC 36.6 H gr/dL 31.6-36.7

PLT 134 L 10*9/L 150-400

Kesimpulan: leukopenia, trombositopenia, anemia ringan (index eritrosit


tidak bisa diinterpretasikan)

3.7 Diagnosis
 Kejang demam sederhana
 Hiperpireksia hari ke-1 ec dengue fever
 Gizi baik

3.8 Penatalaksanaan
Terapi :

 Dumin (Paracetamol) Suppositoria 250 mg


 MRS
 IVFD Tridex 27B 16 tpm macrodrip
 Injeksi Cefotaxim 3x500 mg
 Infus Paracetamol Flush 150mg/8 jam selang seling dengan
paracetamol oral 1.5 cth
 Bolus dexamethasone 1 ampul dilanjutkan 3x2 mg
 Stesolid (diazepam) suppositoria bila kejang
 Rencana DL 2 hari kemudian

Monitoring :

28
 Kejang
 Kondisi umum
 Tanda vital (terutama demam)
 Cairan masuk dan keluar

3.9 KIE
 Menjelaskan kepada orang tua pasien mengenai penyakit yang dialami
oleh pasien, perjalanan penyakit, diagnosis, tindakan, rencana tatalaksana
pasien, serta prognosis.
 Menjelaskan kepada orang tua pasien mengenai risiko
rekurensi/kekambuhan.
 Memberitahu kepada orang tua pasien agar waspada apabila pasien
mengalami demam dan memberikan kompres terlebih dahulu, apabila
demam tidak juga turun segera memeriksakan anaknya ke dokter atau
rumah sakit.
 Memberitahu petunjuk penanganan kejang dalam keadaan akut. Beberapa
hal yang harus dikerjakan saat kejang yaitu tetap tenang dan tidak panik ;
ukur suhu, observasi, catat lama dan bentuk kejang serta segera membawa
ke dokter atau rumah sakit bila pasien kejang

3.10 Prognosis
 Ad vitam : bonam.
 Ad fungsionam : bonam.
 Ad sanationam : bonam

3.11 Follow Up
Senin, 26 Oktober 2020

S : kejang (-), demam (-), makan minum baik, BAB (+) BAK (+). Dikatakan
timbul ruam kemerahan saat pagi hari beberapa menit setelah dimasukkan

29
obat. Saat pemeriksaan ruam sudah tidak ada. Cairan masuk 1100cc dan
cairan keluar 500cc

O:

KU : CM, baik

TD : 110/60 mmHg

HR : 107x/menit

TAX : 36°C

RR : 24x/ menit

St. General :

Kepala : Normocephali

Mata : anemis (-/-), ikterik (-/-), cowong (-/-), pupil isokor


3mm/3mm, reflex pupil normal

Telinga : discharge (-), eritem (-)

Hidung : discharge (-)

Tenggorokan : hiperemis (-), eksudat (-), tonsil T1-T1

Leher : perbesaran limfonodi (-), kaku kuduk (-)

Paru :

Inspeksi : Pergerakan dinding dada simetris kanan-


kiri

Palpasi : Vokal fremitus simetris

Perkusi : Sonor-sonor

Auskultasi : vesikuler, ronkhi (-/-), wheezing (-/-)

Jantung :

Inspeksi : Tidak terdapat vena-vena yang melebar,


ictus cordis tidak tampak
30
Palpasi : ictus cordis teraba 1 jari di SIC 5 LMCS

Perkusi : batas jantung normal

Auskultasi : Bunyi jantung I dan II reguler, murmur (-),


gallop (-)

Abdomen :

Inspeksi : Perut tampak datar, distensi (-)

Auskultasi : Bising usus (+) normal

Perkusi : timpani

Palpasi : supel, tampak sakit/menangis saat ditekan


(-), turgor < 2 detik

Ekstrimitas : akreal hangat, CRT < 2 detik, edema tungkai (-)

Integumen : petekie (-), rumple leed tidak diperiksa (anak tidak


kooperatif)

A:

o Kejang demam sederhana (perbaikan)


o Hiperpireksia H-2 ec dengue fever (perbaikan)
o Simple drug eruption (perbaikan)
o Gizi baik

P:

 IVFD Tridex 27B 16 tpm macrodrip


 Injeksi Cefotaxim 3x500 mg  stop
 Infus Paracetamol Flush 150mg/8 jam selang seling dengan
paracetamol oral 1.5 cth
 Bolus dexamethasone 1 ampul dilanjutkan 3x2 mg
 Stesolid (diazepam) suppositoria bila kejang
 Rencana DL 1 hari kemudian

31
 Darah lengkap (27/10/2020)

PARAMETER HASIL KET SATUAN RUJUKAN

WBC 3.9 L 10*9/L 5-10

LYM 1.3 10*9/L 1.1-3.6

LYM% 33 % 15-50

MID 0.1 10*9/L 0.1-1.5

MID% 3.7 % 2-15

GRAN 2.5 10*9/L 0.2-1.2

GRAN% 63.6 % 35-80

RBC 4.55 10*12/L 4-5.3

HGB 12.1 L gr/dL 12.5-16

HCT 34.3 L % 35-45

MCV 75.5 L fL 78-96

MCH 26.7 L pg 27-31

MCHC 35.3 gr/dL 31.6-36.7

PLT 225 10*9/L 150-400

Kesimpulan: leukopenia, anemia ringan (index eritrosit tidak bisa


diinterpretasikan)

Selasa, 27 Oktober 2020

S : kejang (-), demam (-), makan minum baik, BAB (+) BAK (+). Cairan
masuk 1300cc dan cairan keluar 600cc

O:

KU : CM, baik
32
TD : 110/70 mmHg

HR : 90x/menit

TAX : 36,5°C

RR : 26x/ menit

St. General :

Kepala : Normocephali

Mata : anemis (-/-), ikterik (-/-), cowong (-/-), pupil isokor


3mm/3mm, reflex pupil normal

Telinga : discharge (-), eritem (-)

Hidung : discharge (-)

Tenggorokan : hiperemis (-), eksudat (-), tonsil T1-T1

Leher : perbesaran limfonodi (-), kaku kuduk (-)

Paru :

Inspeksi : Pergerakan dinding dada simetris kanan-


kiri

Palpasi : Vokal fremitus simetris

Perkusi : Sonor-sonor

Auskultasi : vesikuler, ronkhi (-/-), wheezing (-/-)

Jantung :

Inspeksi : Tidak terdapat vena-vena yang melebar,


ictus cordis tidak tampak

Palpasi : ictus cordis teraba 1 jari di SIC 5 LMCS

Perkusi : batas jantung normal

Auskultasi : Bunyi jantung I dan II reguler, murmur (-),


gallop (-)
33
Abdomen :

Inspeksi : Perut tampak datar, distensi (-)

Auskultasi : Bising usus (+) normal

Perkusi : timpani

Palpasi : supel, tampak sakit/menangis saat ditekan


(-), turgor < 2 detik

Ekstrimitas : akreal hangat, CRT < 2 detik, edema tungkai (-)

Integumen : petekie (-), rumple leed tidak diperiksa (anak tidak


kooperatif)

A:

o Kejang demam sederhana (perbaikan)


o Hiperpireksia H-2 ec dengue fever (perbaikan)
o Simple drug eruption (perbaikan)
o Gizi baik

P:

 IVFD Tridex 27B 16 tpm macrodrip


 Injeksi Cefotaxim 3x500 mg  stop
 Infus Paracetamol Flush 150mg/8 jam selang seling dengan
paracetamol oral 1.5 cth
 Bolus dexamethasone 1 ampul dilanjutkan 3x2 mg
 Stesolid (diazepam) suppositoria bila kejang
 BPL  KIE

34
BAB IV
PEMBAHASAN

Kejang demam adalah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu
tubuh (suhu rektal diatas 38oC) yang disebabkan oleh suatu proses ekstrakranial.
Kejang demam merupakan kelainan neurologis yang paling sering dijumpai pada
anak-anak. Hal ini dikarenakan anak yang masih berusia dibawah 5 tahun sangat
rentan terhadap berbagai penyakit disebabkan sistem kekebalan tubuh belum
terbangun secara sempurna. Tidak semua anak yang mengalami demam akan
mengalami kejang demam, tergantung nilai ambang kejang masing-masing. Oleh
karena itu, setiap serangan kejang harus mendapat penanganan yang cepat dan
tepat, apalagi kejang yang berlangsung lama dan berulang. Keterlambatan dan
kesalahan prosedur bisa mengakibatkan gejala sisa pada anak, bahkan bisa
menyebabkan kematian.
Pada pasien ini, diagnosis kejang demam ditegakkan berdasarkan
anamnesis, kemudian pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang juga
dilakukan untuk mencari focus infeksi yang menyebabkan terjadinya kejang
demam. Berdasarkan hasil anamnesis, diketahui anak mengalami demam 30 menit
sebelum kejang. Hal ini menjadi poin penting karena kriteria kejang demam
terpenuhi, yaitu kejang yang didahului oleh demam. Kemudian diketahui bahwa
kejang terjadi selama 5 menit, dengan mata anak melihat ke atas dan bagian tubuh
terlihat kaku, serta kejang tidak berulang dalam 24 jam. Kriteria yang disebutkan
sesuai dengan diagnosis kejang demam sederhana, yaitu kejang yang berlangsung
kurang dari 15 menit, kejang general, dan tidak berulang dalam 24 jam. Faktor
risiko berupa riwayat ayah yang sering mengalami kejang demam saat masih kecil
juga berperan terhadap kejadian kejang demam pada pasien ini.
Pada pasien yang mengalami kejang disertai demam, harus dipastikan
terlebih dahulu bahwa focus infeksi bukan berasal dari intracranial. Pemeriksaan
fisik berperan penting untuk mengeksklusi proses intracranial sebagai penyebab
kejang dan demam. Pemeriksaan fisik yang dilakukan berupa evaluasi tingkat
kesadaran, tanda vital, dan pemeriksaan fisik neurologis. Pada pasien ini, setelah

35
mengalami kejang, anak langsung sadar penuh, dengan tanda vital dalam batas
normal, serta tidak ada kelainan neurologis yang ditemukan.
Setelah eksklusi proses intracranial bisa dilakukan, maka harus dicari
lokasi infeksi yang menjadi pemicu kejang demam. Dari pemeriksaan fisik, hanya
ditemukan demam dengan suhu 39.5oC. Pemeriksaan fisik lain dalam batas
normal. Pemeriksaan fisik berupa tes rumple leed bisa dilakukan untuk
mengetahui adanya kerapuhan pada pembuluh darah, tapi pada pasien ini tidak
dilakukan karena anak tidak kooperatif.
Pemeriksaan penunjang dapat digunakan sebagai pemandu dalam
mengetahui proses infeksi yang terjadi. Pada pasien ini dilakukan pemeriksaan
darah lengkap, dan diperoleh hasil leukopenia dan trombositopenia. Hasil
pemeriksaan penunjang yang diperoleh mengarahkan infeksi virus sebagai
penyebab kejang demam. DDx … Pemeriksaan penunjang lain seperti EEG dan
lumbal pungsi tidak dianjurkan pada pasien karena tidak memberikan keuntungan
baik dari segi diagnosis, tatalaksana, maupun prognosis.
Saat sampai di IGD, pasien sudah tidak mengalami kejang. Oleh karena
itu, tatalaksana yang dilakukan di IGD adalah menurunkan suhu tubuh anak
dengan pemberian paracetamol suppositoria 250 mg. Setelah dievaluasi, suhu
tubuh anak turun dari 39.5oC menjadi 38oC. Setelah itu, anak dirawat inap dan
diberikan tatalaksana berupa infus tridex 27B, injeksi cefotaxim 3x500mg, flush
paracetamol 3x150mg selang-seling dengan paracetamol oral 1.5 cth, bolus
dexamethasone 1 ampul dilanjutkan 3x2mg, diazepam suppositoria bila kejang,
dan pengawasan tanda vital serta kejang.
Edukasi kepada keluarga sangat penting pada kasus kejang demam.
Edukasi yang dapat diberikan berupa penjelasan mengenai kondisi yang terjadi,
rencana tatalaksana yang akan diberikan, serta prognosis. Penjelasan mengenai
risiko kekambuhan juga penting agar orang tua tetap waspada untuk mencegah
kondisi yang berulang.
Prognosis dari kejang demam sederhana adalah baik. Kejang demam
sederhana tidak menyebabkan kematian, kemudian bisa sembuh tanpa
menyebabkan kelainan neurologis, serta tidak menyebabkan gangguan dalam
aktifitas di kemudian hari.

36
BAB V
SIMPULAN

Kejang demam adalah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu
tubuh (suhu rektal diatas 38oC) yang disebabkan oleh suatu proses ekstrakranial.
Kejang demam merupakan kelainan neurologis yang paling sering dijumpai pada
anak-anak, terutama pada golongan umur 3 bulan sampai 5 tahun. Hal ini
dikarenakan anak yang masih berusia dibawah 5 tahun sangat rentan terhadap
berbagai penyakit disebabkan sistem kekebalan tubuh belum terbangun secara
sempurna. Serangan kejang demam pada anak yang satu dengan yang lain tidak
sama, tergantung nilai ambang kejang masing-masing. Kejang demam
diklasifikasikan menjadi kejang demam sederhana dan kejang demam kompleks,
yang memiliki evaluasi, tatalaksana, dan prognosis yang berbeda. Penatalaksanaan
kejang demam difokuskan pada penghentian kejang apabila kejang masih terjadi
untuk memutus rangkaian demam yang bisa berdampak negatif apabila dibiarkan.
Apabila kejang sudah berhenti, penatalaksanaan ditujukan kepada penyebab
demam.
Kejang demam merupakan kondisi yang sangat mengkhawatirkan bagi
orang tua meskipun memiliki luaran yang baik. Oleh karena itu penting untuk
memberikan edukasi terkait kejang demam, cara diagnosis, pemeriksaan yang
perlu dilakukan, tatalaksana, dan prognosis di kemudian hari.

37
DAFTAR PUSTAKA

1. Fadly, R. Penatalaksanaan kejang demam pada anak. Sari pediatri. 2015.


4(2), p.59
2. Pellock JM., Seinfield S. Recent Research on Febrile Seizures. J Neurol
and Neurophysiol. Virginia Commonwealth University:USA. 2013. Vol 4.
Issue 4.
3. Kakalang JP., Masloman N., Manoppo JI. Profil Kejang Demam di Bagian
Ilmu Kesehatan Anak RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou Manado periode
Januari 2014 - Juni 2016. Jurnal e-clinic ;4(2).
4. Verity CM. Febrile Convulsion - A Practical Guide. Child Development
Center of Addenbrooke’s Hospital. Cambridge; 2015.
5. Irdawati. Kejang demam dan penatalaksanaannya. Berita ilmu
keperawatan ISSN 1979-2697. 2009:8(2):143-6
6. Ismael S., Soetomenggolo TS., Pusponegoro HD., et al. Rekomendasi
Penatalaksanaan Kejang Demam. Unit Kerja Kooordinasi Neurologi
Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2016
7. American Academy of Pediatrics. Clinical practise guideline-febrile
seizures: guideline for the neurodiagnostic evaluation of the child with a
simple febrile seizure. Pediatrics. Feb 201:127(2).
8. Shellass R., Engel J. Febrile seizures. University of Michigan. 2014.
9. Suwarba IGNM., Mahalini DS., Kari IK. Kejang demam. Pedoman
Pelayanan Medis Ilmu Kesehatan Anak RSUP Sanglah Denpasar. 2010
10. Mahmood KT., Fareed T., Tabbasum R. Management of febrile seizures in
children. J Biomed Sci and Res. Vol 3 (1). 2011, 353-7
11. Soetomenggolo. Kejang Demam Dalam: Soetomenggolo, Ismael, Buku
Ajar Neurologi Anak. 2000. Jakarta: Balai Penerbit IDAI, 244-252
12. Nelson. Text Book of Pediatrics. 2000. EGC. Jakarta
13. Lyons, S. 2012. Febrile seizures. Nucleus Medical Media, Inc.
http://www.med.nyu.edu/content?chunkIID=102822.
14. Konsensus penatalaksanaan kejang demam. Hardiono DP, Widodo DP,
Ismael S, Edotpr.UKK neurologi anak, IDAI, Jakarta. 2006

38
15. Saharso, D. Et al. Kejang Demam dalam : Pedoman Pelayanan Medis.
Ikatan Dokter Indonesia (IDAI). 2009: 150-153
16. Well ML, Tuomanen E, Rust R, Menkes JH. Infection of the nervous
system. Dalam:Menkes JH, Sarnat HB, Penyunting. Child Neurology.
Edisi ke-6. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins;2000/h/467-626
17. Behrman RE and Vaughhan VC. Nelson textbook of pediatrics, 12 th ed.
Philadelphia, London, Toronto, Mexico city, Rio de Janeiro, Sidney,
Tokyo: WB Saunders, 1983:626-631
18. Cohen BH. Andresfky JC. Altered state of consciousness. Dalam: Maria
BL, penyunting. Current management in child neurology. Edisi ke-3,
Hamilton: BC decker inc, 2005.h. 551-62
19. Wong V, Rosman NP. HK J Pediatri 2002;7:143-51
20. Tan JS, File TM, Salata RA, Tian MJ. Expert guide to infectious diseases.
2nd Ed. 2008. 365-86p
21. Pelayanan Medis Kesehatan Anak. Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Anak
Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, Rumah Sakit Umum Pusat
Sanglah Denpasar. 2011
22. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Pedoman Pelayanan Medis. Jakarta; 2009
p. 58.
23. SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUP Sanglah. Pedoman Pelayanan Medis.
Denpasar; 2010.
24. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. Survei Demografi dan
Kesehatan Indonesia 2012. Jakarta; 2013.
25. World Gastroenterology Organisation. Acute diarrhea in adults and
children: a global perspective. 2012.
26. Agtini MD, Soenarto S. Situasi Diare di Indonesia. Buletin Jendela Data
dan Informasi Kesehatan Volume 2, Triwulan 2. Kementerian Kesehatan
Republik Indonesia 2011 Volume 2, Triwulan 2.
27. Craven L, Editor. Pediatric Gastrointestinal Disease. Edisi Ke-Dua Jilid 1.
Missouri: Mosby; 2009. h. 251-260.

39
28. Walker A, Durie PR, Hamilton JR, Walker-Smith JA, Watkins JB.
Pediatric Gastrointestinal Disease. Edisi Ke-Tiga. Canada:BC
Decker;2008. h. 28-36.
29. Juffrie M, Soenarto SY, Oswari H, dkk. Buku Ajar Gastroenterologi-
Hepatologi. Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2010 h. 87-120
30. Soenarto, Sri Suparyati. Vaksin Rotavirus untuk Pencegahan Diare.
Buletin Jendela Data dan Informasi Kesehatan Volume 2, Triwulan 2.
2011.
31. Batubara J. 2010. Buku Ajar Endokrinologi Anak. UKK Endokrinologi
Anakdan Remaja IDAI. Jakarta
32. Windarti W. 2014. Etiologi Hipotiroid Kongenital Primer.
FakultasKedokteran Universitas Indonesia. Jakarta
33. Galley R: Medical management of the adult patient with Down syndrome.
34. JAAPA 2005;18:45. [PMID: 15859488] Baliff JP et al: New
developments in prenatal screening for Down syndrome. Am J Clin Pathol
2003;120(Suppl):S14. [PMID: 15298140]
35. Cincinnati Children's Hospital Medical Center, 2006, Heart-Related
Syndromes Down Syndrome (Trisomy 21), viewed on 11 April 2009

40

Anda mungkin juga menyukai