PENDAHULUAN
1
Adapun faktor lainnya, seperti tingkat pengetahuan ibu, kondisi sosial ekonomi
dan sanitasi tempat tinggal juga terkait dengan stunting. Kondisi ekonomi erat
kaitannya dengan penyediaan asupan yang bergizi yang cukup dan pelayanan
kesehatan untuk ibu hamil dan balita. (Riskesdas, 2018). Faktor-faktor tersebut
sejalan dengan hasil penelitian oleh Mugianti, dkk. Yang menunjukkan faktor
penyebab stunting yaitu asupan energi rendah (93,5%), penyakit infeksi (80,6%),
jenis kelamin laki-laki (64,5%), pendidikan ibu rendah (48,4%), asupan protein
rendah (45,2%), Tidak Asi Ekslusif (32,3%), pendidikan ayah rendah (32,3%) dan
ibu bekerja (29%) (Mugianti, 2018).
Puskesmas sebagai pelayanan kesehatan tingkat primer di Indonesia harus
mampu mendeteksi kejadian stunting di wilayahnya masing-masing, serta
menelusuri faktor resiko yang berkaitan dengan stunting. UPT. Puskesmas I
Melaya merupakan salah satu puskesmas yang berada di Kecamatan Melaya,
Kabupaten Jembrana, Provinsi Bali. Berdasarkan laporan Pemantauan Status Gizi
di wilayah kerja Puskesmas I Melaya Bulan Juli 2019, salah satu desa yang
memiliki angka stunting tertinggi adalah Desa Melaya, dimana didapatkan
prevalensi stunting di Desa Melaya yaitu sebesar 19,5%. Namun data prevalensi
tersebut didapatkan dari pengukuran dengan alat ukur tidak terstandar yakni pita
ukur serta bukan dilakukan oleh petugas kesehatan terlatih sehingga perlu
pengukuran ulang. Tingginya angka prevalensi Stunting yang ditemukan menjadi
perhatian dari UPT. Puskesmas I Melaya (UKM Program Gizi, 2019). Namun,
saat ini UPT. Puskesmas I Melaya belum memiliki data mengenai faktor-faktor
risiko yang berhubungan dengan kejadian stunting tersebut. Berdasarkan latar
belakang tersebut, maka perlu dilakukan suatu penelitian untuk mengetahui
gambaran gambaran kejadian stunting pada balita di Desa Melaya.
2
1.2.2 Bagaimana gambaran kejadian stunting berdasarkan status pemberian
ASI Eksklusif dan imunisasi pada balita di Desa Melaya?
1.2.3 Bagaimana gambaran kejadian stunting berdasarkan karakteristik
pendidikan ibu dan sanitasi lingkungan pada pada balita di Desa
Melaya?
3
kejadian stunting pada balita sehingga dapat melakukan upaya-upaya
pencegahan untuk menurunkan prevalensi stunting pada balita.
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
5
nasional, nasional maupun global karena merupakan komponen utama bagi
manusia, sosial, dan pembangunan ekonomi. Gizi merupakan faktor kunci dalam
perkembangan anak, kesehatan ibu, dan produktivitas. Pencegahan malnutrisi
pada gizi ibu dan anak adalah investasi jangka panjang yang akan menguntungkan
generasi sekarang dan anak-anak mereka. Berinvestasi pada kesehatan anak sama
halnya dengan berinvestasi pada kemajuan suatu negara (Hunt, 2001).
Stunting dan severe stunting adalah status gizi yang didasarkan pada indeks
Panjang Badan menurut Umur (PB/U) atau Tinggi Badan menurut Umur (TB/U)
yang merupakan istilah lain untuk stunted dan severely stunted (Kemenkes, 2011).
Stunting didefinisikan sebagai indeks tinggi badan menurut umur (TB/U) kurang
dari minus dua standar deviasi (-2 SD) atau dibawah rata-rata standar yang ada
dan severe stunting didefinisikan kurang dari -3 SD (ACC/SCN, 2000). Stunting
pada anak merupakan hasil jangka panjang konsumsi kronis diet berkualitas
rendah yang dikombinasikan dengan morbiditas, penyakit infeksi, dan masalah
lingkungan (Semba, dkk., 2008). Di negara berpendapatan menengah kebawah,
stunting merupakan masalah kesehatan masyarakat yang utama (The Lancet,
2008).
Stunting mengacu pada anak yang memiliki indeks TB/U rendah. Stunting
dapat mencerminkan baik variasi normal dalam pertumbuhan ataupun defisit
dalam pertumbuhan. Stunting yaitu pertumbuhan linear yang gagal mencapai
potensi genetik sebagai hasil dari kesehatan atau kondisi gizi suboptimal. Beaton
dkk. (1990) berpendapat bahwa pengerdilan adalah proxy populasi untuk
kekurangan yang beragam. Penelitian terbaru menemukan bahwa pertumbuhan
tulang linear terjadi dalam proses episodik seperti periode stasis dari satu hari atau
lebih dari tidak adanya pertumbuhan yang diselingi oleh perubahan harian
pertumbuhan (Lampl dkk., 1992). Penelitian menunjukkan bahwa stunting berasal
dari penurunan frekuensi waktu pertumbuhan, penurunan amplitudo pertumbuhan
ketika sebuah peristiwa terjadi, ataupun gabungan dari keduanya (ACC/SCN,
1997).
Stunting merupakan hasil dari kekurangan gizi kronis dan sering terjadi
antargenerasi ditambah dengan penyakit yang sering. Hal tersebut adalah ciri
khas endemik kemiskinan. Stunting terkait dengan lebih rendahnya perkembangan
6
kognitif dan produktivitas. Stunting adalah masalah kesehatan masyarakat utama
di hampir semua provinsi di Indonesia, dan peringatan telah diberikan oleh
Presiden RI, yang tertantang untuk mengurangi stunting di Indonesia (USAID,
2010).
Stunting pada anak merupakan indikator utama dalam menilai kualitas
modal sumber daya manusia di masa mendatang. Gangguan pertumbuhan yang
diderita anak pada awal kehidupan, pada hal ini stunting, dapat menyebabkan
kerusakan yang permanen. Keberhasilan perbaikan ekonomi yang berkelanjutan
dapat dinilai dengan berkurangnya kejadian stunting pada anak-anak usia dibawah
5 tahun (UNSCN, 2008).
Prevalensi stunting pada umumnya menurun di seluruh dunia. WHO
melaporkan bahwa antara tahun 1990 dan 2000, prevalensi global stunting pada
anak-anak turun dari 34% menjadi 29%. Namun, di Afrika Timur, jumlah anak
dengan stunting meningkat pada periode ini dari 40 juta menjadi 45 juta. Stunting
didefinisikan oleh WHO 2 standar deviasi di bawah nilai z untuk tinggi badan
menurut umur. Anak-anak yang underweight atau stunting mungkin tidak
menunjukkan catch-up growth di masa kecil, dengan demikian mereka membawa
risiko kesehatan yang buruk ke dalam kehidupan saat dewasa. Di beberapa
negara, Afrika Selatan misalnya, anak-anak yang stunting hidup berdampingan
dengan mereka yang overweight atau obesitas. Hal ini tentu saja memiliki
implikasi yang kompleks bagi para pembuat kebijakan (Branca, 2006).
Dalam komunitas yang sulit mendapatkan akses dan kontak dengan
perlayanan kesehatan, anak-anak lebih rentan terhadap kekurangan gizi sebagai
akibat dari pengobatan penyakit yang tidak memadai, tingkat imunisasi rendah,
dan perawatan kehamilan yang buruk. Sanitasi lingkungan yang buruk, termasuk
pasokan air bersih, juga menempatkan anak pada risiko infeksi yang
meningkatkan kerentanan terhadap kekurangan gizi. Pola asuh bayi dan anak,
bersama dengan ketahanan pangan rumah tangga, pelayanan kesehatan yang
memadai dan lingkungan yang sehat adalah prasyarat yang diperlukan untuk gizi
yang cukup (ACC/SCN, 1997).
7
2.2 Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Stunting pada Balita
8
berdasarkan penilitian pemberian ASI dapat menurunkan frekuensi diare,
konstipasi kronis, penyakit gastrointestinal, infeksi traktus respiratorius,
serta infeksi telinga. Secara tidak langsung, ASI juga memberikan efek
terhadap perkembangan psikomotor anak, karena anak yang sakit akan sulit
untuk mengeksplorasi dan belajar dari sekitarnya. Manfaat lain pemberian
ASI adalah pembentukan ikatan yang lebih kuat dalam interaksi ibu dan
anak, sehingga berefek positif bagi perkembangan dan perilaku anak
(Henningham & McGregor, 2008).
Risiko menjadi stunting 3,7 kali lebih tinggi pada balita yang tidak
diberi ASI Eksklusif (ASI < 6 bulan) dibandingkan dengan balita yang
diberi ASI Eksklusif (≥ 6 bulan) (Hien dan Kam, 2008). Penelitian yang
dilakukan oleh Teshome (2009) menunjukkan bahwa anak yang tidak
mendapatkan kolostrum lebih berisiko tinggi terhadap stunting. Hal ini
mungkin disebabkan karena kolostrum memberikan efek perlindungan pada
bayi baru lahir dan bayi yang tidak menerima kolostrum mungkin memiliki
insiden, durasi dan keparahan penyakit yang lebih tinggi seperti diare yang
berkontribusi terhadap kekurangan gizi. Penelitian lain juga menyebutkan
pemberian kolostrum pada bayi berhubungan dengan kejadian
stunting (Kumar, dkk., 2006). Selain itu, durasi pemberian ASI yang
berkepanjangan merupakan faktor risiko untuk stunting (Teshome, 2009).
Pemberian makanan tambahan yang terlalu dini secara signifikan
berkaitan dengan peningkatan risiko infeksi pernafasan dan insiden yang
lebih tinggi mordibitas malaria dan infesksi mata. Penelitian di Peru,
menunjukkan prevalensi diare secara signifikan lebih tinggi pada anak yang
disapih. Hal ini dapat disebabkan karena hilangnya kekebalan tubuh dari
konsumsi ASI yang tidak eksklusif dan juga pengenalan makanan
tambahan yang tidak higenis yang rentan terhadap penyakit infeksi.
Penelitian di negara maju menunjukkan bahwa menyusui dapat mengurangi
kejadian pneumonia dan gastroenteritis (Kalanda, Verhoeff & Brabin,
2006).
Di Indonesia, perilaku ibu dalam pemberian ASI ekslusif memiliki
hubungan yang bermakna dengan indeks PB/U, dimana 48 dari 51 anak
9
stunted tidak mendapatkan ASI eksklusif (Oktavia, 2011). Penelitian lain
yang dilakukan oleh Istiftiani (2011) menunjukan bahwa umur pertama
pemberian MP-ASI berhubungan signifikan dengan indeks status gizi PB/U
pada baduta.
10
TB/U. Milman, dkk. (2005), mengemukakan bahwa status imunisasi
menjadi underlying factor dalam kejadian stunting pada anak < 5 tahun.
Penelitian lain juga menunjukkan bahwa status imunisasi yang tidak
lengkap memiliki hubungan yang signifikan dalam kejadian stunting pada
anak usia < 5 tahun (Taguri, dkk., 2007).
11
dapat disebabkan oleh durasi kehamilan dan laju pertumbuhan janin.
Maka dari itu, bayi dengan berat lahir <2500 gr bisa dikarenakan dia lahir
secara prematur atau karena terjadi retardasi pertumbuhan (Semba dan
Bloem, 2001).
Bukti epidemiologis menunjukkan bahwa berat badan lahir
berbanding terbalik dengan risiko terjadinya penyakit hipertensi, penyakit
kardiovaskular dan diabetes tipe 2 pada masa dewasa. Berat badan lahir
yang rendah, maupun pertambahan berat badan pasca lahir yang terlalu
cepat (MP-ASI dini), atau kombinasi keduanya, merupakan faktor
predisposisi penyakit-penyakit tersebut. Hal tersebut terangkum dalam
Hipotesa Barker/Fetal Origin Hypothesis (Khanna, dkk., 2007).
Di negara berkembang, bayi dengan berat lahir rendah (BBLR) lebih
cenderung mengalami retardasi pertumbuhan intrauteri yang terjadi karena
buruknya gizi ibu dan meningkatnya angka infeksi dibandingkan dengan
negara maju (Henningham & McGregor dalam Gibney, 2008). Dampak dari
bayi yang memiliki berat lahir rendah akan berlangsung antar generasi yang
satu ke generasi selanjutnya. Anak yang BBLR kedepannya akan memiliki
ukuran antropometri yang kurang di masa dewasa. Bagi perempuan yang
lahir dengan berat rendah, memiliki risiko besar untuk menjadi ibu yang
stunted sehingga akan cenderung melahirkan bayi dengan berat lahir rendah
seperti dirinya. Bayi yang dilahirkan oleh ibu yang stunted tersebut akan
menjadi perempuan dewasa yang stunted juga, dan akan membentuk siklus
sama seperti sebelumnya (Semba dan Bloem, 2001).
Semua kelompok lahir berisiko terhadap stunting hingga usia 12
bulan, dengan risiko terbesar pada kelompok anak IUGR (Intra Uterine
Growth Retardation) dan risiko terkecil pada kelompok anak normal. Pada
kelompok IUGR berkontribusi terhadap siklus intergenerasi yang
disebabkan oleh tingkat ekonomi rendah, penyakit, dan defisiensi zat gizi.
Hal tersebut menunjukan bahwa, ibu dengan gizi kurang sejak awal sampai
dengan akhir kehamilan akan melahirkan BBLR, yang kedepannya akan
menjadi anak stunting (Kusharisupeni, 2004).
12
Dalam penelitian lain, berat lahir rendah telah diketahui berkorelasi
dengan stunting. Dalam analisis multivariat tunggal variabel berat lahir
rendah dapat bertahan, hal ini menunjukkan bahwa berat lahir rendah
memiliki efek yang besar terhadap stunting. Seperti yang telah diketahui
sebelumnya, efek dari berat lahir rendah terhadap kesehatan anak adalah
faktor yang paling relevan untuk kelangsungan hidup anak (Taguri dkk.,
2007). Hasil penelitian yang dilakukan oleh Medhin (2010) juga
menunjukkan berat lahir merupakan prediktor yang signifikan dalam
kejadian stunting pada bayi usia 12 bulan. Pada penelitian lain juga
disebutkan bahwa berat lahir memiliki hubungan dengan kejadian
stunting (Lourenço dkk. 2012).
13
terbatas dalam membuat keputusan dalam rumah tangga. Pendidikan tinggi
dapat mencerminkan pendapatan yang lebih tinggi dan ayah akan lebih
memperhatikan gizi anak. Suami yang lebih terdidik akan cenderung
memiliki istri yang juga berpendidikan. Ibu yang berpendidikan diketahui
lebih luas pengetahuannya tentang praktik perawatan anak.
14
perkembangan fisik, kesehatan dan daya tahan hidup manusia. Sanitasi
lingkungan dapat pula diartikan sebagai kegiatan yang ditujukan untuk
meningkatkan dan mempertahankan standar kondisi lingkungan yang
mendasar yang mempengaruhi kesejahteraan manusia. Kondisi tersebut
dapat mencakup pasokan air yang bersih dan aman dan pembuangan limbah
dari manusia (WHO sanitasi lingkungan). Berdsarkan penelitian Rahayu,
dkk. tahun 2019 menunjukan bahwa ada hubungan yang signifikan antara
sanitasi lingkungan dengan kejadian stunting pada balita. Hasil penelitian
tersebut sejalan dengan penelitian Oktavia (2016) yang menunjukkan bahwa
ada hubungan signifikan antara balita dengan sanitasi lingkungan tidak baik
dengan kejadian stunting. Berdasarkan data RISKESDAS tahun 2013,
didapatkan proporsi rumah tangga yang memiliki akses sumber air bersih
sebesar 66,8% dan proporsi rumah tangga yang memiliki fasilitas BAB
miliki sendiri sebsar 76,2%. Studi Checkley, dkk.. (2004) menemukan
bahwa kurangnya sistem pembuangan air limbah/kotoran yang cukup
berhubungan dengan defsitnya tinggi badan anak 0.9 cm (95%CI=0.2—1.7
cm) saat usia 24 bulan. Disamping itu, dalam penelitian yang sama
ditemukan bahwa anak dengan kondisi air dan sanitasi kurang baik 54%
lebih sering mengalami diare daripada anak yang kondisi air dan sanitasinya
paling baik. Hal tersebut dapat menyimpulkan bahwa sanitasi lingkungan
kurang baik meningkatkan berimplikasi buruk terhadap kemajuan
pertumbuhan anak.
15
BAB III
KERANGKA BERPIKIR DAN KONSEP
16
3.2 Kerangka Konsep
Karakteristik Balita:
Jenis kelamin
Berat badan lahir Stunting
Usia pada Balita
Karakteristik Lingkungan:
Pendidikan ibu
Sumber air
Sanitasi BAB
diteliti
tidak diteliti
17
BAB IV
METODE PENELITIAN
18
2. Data pada buku kesehatan ibu dan anak (KIA) yang tidak
tercatat dengan lengkap
4.2.2.2 Responden
Responden adalah orang tua dari anak yang terdata dan hadir
pada pelaksanaan posyandu di wilayah Desa Melaya pada Bulan
September 2019 serta bersedia berpartisipasi dalam penelitian dan
menyetujui informed consent.
19
kriteria pemilihan dimasukkan dalam penelitian sampai jumlah subyek
yang diperlukan terpenuhi.
20
dengan umurnya yang
tercatat pada buku KIA.
6. Usia anak Selisih tanggal bulan Kuesioner Nominal 1 = 0-23 bulan
tahun pemeriksaan 2 = 24-59 bulan
dengan tanggal bulan
tahun lahir anak yang
tercatat pada buku KIA.
7. Pendidikan Jenjang pendidikan Kuesioner Nominal 1 = Tingkat
Ibu formal terakhir yang pendidikan rendah (SD,
SMP)
dicapai oleh ibu 2 = Tingkat
pendidikan tinggi (SMA,
PT)
8. Sumber air Gambaran sumber air Kuesioner Nominal 1 = Sungai
yang digunakan sehari- 2 = Pancoran
3 = Sumur
hari 4 = PAM
5 = Sumber lainnya
9. Sanitasi Gambaran penggunaan Kuesioner Nominal 1 = Kloset/WC
BAB saranan untuk BAB 2 = Kebun/Teba
3 = Sungai
4 = Sembarang
tempat
5 = Sarana lainnya
21
kegiatan posyandu berlangsung terhadap ibu dan anak yang datang, serta
melihat buku KIA milik responden. Selain itu juga dilakukan kegiatan
pengukuran tinggi badan anak. Setelah didapatkan sampel yang memenuhi
kriteria inklusi dan eksklusi, maka dilanjutkan dengan teknik analisis data.
4.5.4 Instrumen Penelitian
Instrumen dalam penelitian ini berupa kuesioner terstruktur, alat tulis,
papan ukur atau microtoise. Alat tulis adalah alat yang digunakan untuk
mencatat dan melaporkan hasil penelitian berupa: pulpen, kertas, dan laptop.
22
BAB V
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pada penelitian ini didapatkan jenis kelamin anak memiliki proporsi 60%
untuk laki-laki dan 40% untuk perempuan. Beda rentangan tinggi anak hampir
mendekati 75 cm. Mayoritas anak berada pada rentangan usia 24 – 59 bulan.
Berdasarkan tingkat pendidikan ibu, mayoritas ibu-ibu di Desa Melaya memiliki
tingkat pendidikan menengah (SMP dan SMA). Hampir seluruh bayi yang lahir di
Desa Melaya memiliki berat badan lahir normal. (Tabel 5.1)
23
Tabel 5.1 Distribusi Karakteristik Sampel (n=148 balita)
Karakteristik Jumlah Proporsi (%)
Jenis kelamin anak
Laki-laki 90 60.8
Perempuan 58 39.2
Tinggi badan anak
Rentangan (cm) 56– 109
Rata-rata SD (cm) 80.27 13.22
Usia anak
0-23 bulan 82 55.4
24-59 bulan 66 44.6
Pendidikan terakhir ibu
Tidak Sekolah 1 0.7
Tamat SD 27 18.2
Tamat SMP 42 28.4
Tamat SMA 65 43.9
Tamat perguruan tinggi 13 8.8
Berat badan bayi lahir
BBLR 5 3.4
Normal 143 96.6
ASI eksklusif
Ya 123 83.1
Tidak 25 16.9
Imunisasi
Lengkap 147 99.3
Tidak Lengkap 1 0.7
Sumber air
Sumur 84 56.8
PAM 32 21.6
Mata air 32 21.6
Sanitasi BAB
Kloset/WC 144 97.3
Tidak ada Kloset/WC 4 2.7
24
Tabel 5.2 Prevalensi Stunting pada Balita di Desa Melaya (n=148 balita)
Status TB/U Jumlah (n) Proporsi
Normal 107 72.3
Stunting 41 27.7
Total 148 100
Tabel 5.3 Proporsi Stunting berdasarkan Karakteristik Balita (Jenis kelamin, Usia,
pemberian ASI ekslusif, Status Imunisasi dan Berat Lahir) di Desa Melaya
Status Gizi berdasarkan
TB/U Total
Variabel
Stunting Normal N(%)
N(%) N (%)
Jenis Kelamin
Laki-laki 27 (30) 63 (72.5) 90 (100)
Perempuan 14 (24.1) 44 (72.2) 58 (100)
Berat Badan
Lahir Anak
BBLR 2 (40) 3 (60) 5 (100)
Normal 39 (27.3) 104 (72.7) 143 (100)
ASI Eksklusif
Ya 31 (25) 88 (71.5) 119 (100)
Tidak 10 (34) 19 (76) 29 (100)
Status
Imunisasi
Lengkap 41 (27.9) 106 (72.1) 147 (100)
Tidak Lengkap 0 (0) 1 (100) 1 (100)
Usia Anak
0 – 23 bulan 16 (19.5) 66 (80.5) 82 (100)
24 – 59 bulan 25 (37.9) 41 (62.1) 66 (100)
25
5.1.4 Proporsi Stunting berdasarkan Karakteristik Ibu Balita di Desa Melaya
Proporsi stunting lebih tinggi pada balita dengan ibu yang memiliki tingkat
pendidikan rendah dibandingkan dengan ibu yang memiliki tingkat pendidikan
tinggi (Tabel 5.4). Berdasarkan sumber air, proporsi stunting lebih tinggi pada
sumber air yang non-PAM dibandingkan dengan PAM. Berdasarkan sanitasi
BAB, proporsi stunting sedikit lebih tinggi pada jamban dinbandingkan dengan
jamban.
26
Desa Melaya berada di bawah prevalensi nasional (Riskesdas, 2018). Perbedaam
nilai prevalensi selain dipengaruhi karakteristik faktor-faktor resiko stunting di
Desa Melaya, dapat juga dipengaruhi oleh metode pengambilan sampel, dimana
data dari RISKESDAS didapatkan dari clustered sampling secara acak, sedangkan
pada penelitian ini menggunakan consecutive sampling pada acara posyandu Desa
Melaya, sehingga dapat terpengaruhi oleh ibu-ibu yang tidak hadir dalam acara
posyandu. Ibu-ibu yang tidak hadir kemungkinan memiliki sifat lebih tidak peduli
terhadap kesehatan anaknya.
Proporsi stunting lebih besar pada laki-laki dibandingkan perempuan (Tabel
5.3). Hal ini sejalan dengan penelitian Semba, dkk. (2008) yang menunjukan
bahwa prevalensi stunting lebih besar pada anak laki-laki dibandingkan dengan
anak perempuan. Hasil penelitian lain menunjukkan bahwa jenis kelamin anak
adalah prediktor yang kuat dari stunting dan severe stunting pada anak usia 0-23
bulan dan 0-59 bulan. Anak perempuan memiliki risiko yang lebih rendah
dibandingkan anak laki-laki dalam hal ini. Selama masa bayi dan masa kanak-
kanak, anak perempuan cenderung lebih rendah kemungkinannya menjadi
stunting dan severe stunting daripada anak laki-laki, selain itu bayi perempuan
dapat bertahan hidup dalam jumlah lebih besar daripada bayi laki-laki di
kebanyakan negara berkembang termasuk Indonesia (Ramli, dkk., 2009).
Proporsi stunting lebih tinggi pada balita yang tidak mendapatkan ASI
eksklusif dibandingkan dengan yang mendapatkan ASI eksklusif (Tabel 5.3).
Temuan ini sejalan dengan penelitian Hien dan Kam (2008) yang menemukan
bahwa risiko menjadi stunting 3,7 kali lebih tinggi pada balita yang tidak diberi
ASI Eksklusif (ASI < 6 bulan) dibandingkan dengan balita yang diberi ASI
Eksklusif (≥ 6 bulan) (Hien dan Kam, 2008). Menurut Henningham & McGregor
dalam Gibney (2008), ASI juga memiliki manfaat lain, yaitu meningkatkan
imunitas anak terhadap penyakit, berdasarkan penelitian pemberian ASI dapat
menurunkan frekuensi diare, konstipasi kronis, penyakit gastrointestinal, infeksi
traktus respiratorius, serta infeksi telinga. Secara tidak langsung, ASI juga
memberikan efek terhadap status gizi anak.
Penelitian Neldawati (2006) menunjukkan bahwa status imunisasi
memiliki hubungan signifikan terhadap indeks status gizi TB/U. Milman, dkk.
27
(2005), juga mengemukakan bahwa status imunisasi menjadi underlying factor
dalam kejadian stunting pada anak <5 tahun. Penelitian lain juga menunjukkan
bahwa status imunisasi yang tidak lengkap memiliki hubungan yang signifikan
dalam kejadian stunting pada anak usia <5 tahun (Taguri, dkk., 2007). Namun
pada penelitian ini kami tidak memiliki cukup data anak yang tidak terimunisasi,
kemungkinan akibat cakupan imunisasi di Desa Melaya yang sudah luas.
Proporsi stunting lebih tinggi pada balita dengan riwayat berat badan lahir
rendah dibandingkan dengan yang memiliki berat badan lahir normal (Tabel 5.3).
Hasil penelitian ini menyatakan bahwa kejadian stunting cenderung ditemukan
pada balita dengan berat badan lahir rendah (BBLR). Temuan tersebut sejalan
dengan hasil penelitian tentang faktor resiko stunting pada balita 24-59 bulan yang
dilakukan di Sumatera pada tahun 2013 yang menyebutkan bahwa balita yang
memiliki berat lahir kurang mempunyai risiko 1.31 kali mengalami stunting
dibandingkan dengan balita berat lahir normal (Oktarina, 2013). Berat lahir
merupakan prediktor kuat terhadap penentuan ukuran tubuh di kemudian hari,
karena pada umumnya bayi yang mengalami Intra Uterine Growth Retardation
(IUGR) tidak dapat mengejar pertumbuhan ke bentuk normal selama masa kanak-
kanak (Barker, 2008).
Proporsi stunting lebih tinggi pada balita dengan rentang usia 24 – 59
bulan dibandingkan dengan rentang usia 0 – 23 bulan (Tabel 5.3). Hal ini sejalan
dengan Ramli, dkk. (2009) menunjukan prevalensi stunting dan severe stunting
lebih tinggi pada anak usia 24-59 bulan, yaitu sebesar 50% dan 24%,
dibandingkan anak-anak berusia 0-23 bulan. Temuan tersebut sejalan dengan
penelitian di Bangladesh, India dan Pakistan dimana anak-anak berusia 24 – 59
bulan memiliki risiko tinggi stunting. (Ramli, dkk., 2009).
Proporsi stunting lebih tinggi pada balita dengan ibu yang memiliki tingkat
pendidikan rendah dibandingkan dengan ibu yang memiliki tingkat pendidikan
tinggi (Tabel 5.4). Hasil penelitian ini serupa dengan penelitian oleh Khoirun dkk
tahun 2015, pendidikan ibu berhubungan dengan kejadian stunting pada balita,
dilihat dari distribusi data yang menunjukkan bahwa lebih dari separuh ibu balita
stunting memiliki tingkat pendidikan yang rendah (61,8%). Secara biologis ibu
adalah sumber hidup anak. Tingkat pendidikan ibu banyak menentukan sikap dan
28
menghadapi berbagai masalah, misalnya mencari vaksinasi untuk anaknya dan
memberikan oralit saat diare. Anak-anak dari ibu yang mempunyai latar
pendidikan lebih tinggi akan mendapat kesempatan hidup serta tumbuh lebih baik.
Tinggi rendahnya tingkat pendidikan ibu erat kaitannya dengan tingkat
pengetahuan terhadap perawatan kesehatan, kehamilan dan pasca persalinan.
Disamping itu pendidikan berpengaruh pula pada faktor sosial ekonomi lainya
seperti pendapatan, pekerjaan, kebiasaan hidup, makanan, perumahan dan tempat
tinggal. (Suhardjo, 2003).
Tingkat pendidikan ibu turut pula menentukan mudah tidaknya seorang ibu
dalam menyerap dan memahami pengetahuan gizi yang didapatkan, sehingga
nantinya ibu dapat memilih makanan dengan bijak dan tepat, dapat menjadi lebih
tanggap terhadap masalah gizi di dalam keluarga dan diharapkan bisa menangani
dengan tepat sesegera mungkin. (Khoirun, 2015). Didukung oleh penelitian oleh
Semba dkk pada tahun 2008, bahwa tingkat pendidikan ibu secara signifikan
berkaitan dengan status gizi anak. Ibu yang memiliki pendidikan tinggi akan
berdampak pada pola asuh yang diberikan kepada anak. Peningkatan pendidikan
ibu secara signifikan berkaitan dengan penurunan kejadian stunting pada anak
balita.
Hasil mengenai sanitasi lingkungan berkaitan dengan sumber air pada
penelitian ini sejalan dengan penelitian Checkley, dkk. (2004) dimana ditemukan
bahwa anak dengan kondisi air yang kurang baik 54% lebih sering mengalami
diare daripada anak yang kondisi air dan sanitasinya paling baik dan signifikan
terhadap pertumbuhan tinggi anak tersebut. . Hasil penelitian Oktavia (2016)
menunjukkan bahwa ada hubungan signifikan antara balita dengan sanitasi
lingkungan tidak baik dengan kejadian stunting. Selain itu, studi Checkley, dkk.
(2004) menemukan bahwa kurangnya sistem pembuangan air limbah/kotoran
yang cukup berhubungan dengan defisitnya tinggi badan anak 0.9 cm (95%CI=0.2
—1.7 cm) saat usia 24 bulan. Namun, berkaitan dengan sanitasi BAB sangat
bertolak belakang dengan hasil penelitian lainnya terkait stunting dan sanitasi
BAB. Perbedaan hasil penelitian ini dengan penelitian oleh Checkley, dkk (2004)
kemungkinan diakibatkan oleh metode pengumpulan sampel, dimana pada
penelitian Checkley, dkk (2004) melakukan survey langsung ke rumah tangga
29
sampel sehingga penentuan sanitasi baik atau buruk dapat lebih seragam
ditentukan, sedangkan pada penelitian ini menggunakan metode wawancara
sehingga dapat terjadi perbedaan persepsi sanitasi baik atau buruk dari
pewawancara dan responden Hal ini menyimpulkan bahwa kejadian stunting di
Desa Melaya cenderung disebabkan oleh sumber air yang kurang baik.
30
BAB VI
SIMPULAN DAN SARAN
6.1 Simpulan
1. Proporsi stunting di Desa Melaya sebesar 27.7%
2. Proporsi kejadian stunting berdasarkan karakteristik balita didapatkan
lebih tinggi pada balita laki-laki, balita dengan rentang usia 24 – 59
bulan, tanpa asi eksklusif, memiliki status imunisasi yang tidak lengkap
dan balita dengan berat badan lahir rendah (BBLR).
3. Proporsi kejadian stunting berdasarkan karakteristik ibu didapatkan
lebih tinggi pada balita dengan ibu yang memiliki tingkat pengetahuan
rendah, balita dengan sumber air non PAM, dan dengan sanitasi BAB
berupa jamban.
6.2 Saran
Saran dari penelitian ini adalah :
1. Perlu dilakukan intervensi seperti pelaksaan penyuluhan tentang
perbaikan gizi, stunting dan sanitasi lingkungan di Desa Melaya
mengingat tingginya proporsi kejadian stunting di Desa Melaya.
2. Perlu dilakukan optimalisasi pemantauan gizi balita pada pelaksanaan
posyandu di Desa Melaya
3.
31
DAFTAR PUSTAKA
ACC/SCN. 1997. 3rd Report on The World Nutrition Situation. Geneva. Diakses
pada 22 September 2019 dari www.unscn.org
Almatsier, Sunita (ed). 2005. Penuntun Diet edisi baru. Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama.
Arisman. 2009. Buku Ajar Ilmu Gizi: Gizi dalam Daur Kehidupan. Jakarta: EGC.
Arora, Chandralekha. 2009. Child Nutrition. Jaipur: ABD Publishers.
Checkley W, Gilman RH, Black RE, Epstein LD, Cabrera L, Sterling CR, &
Moulton LH. 2004. Effect of water and sanitation on childhood health in a
poor Peruvian Peri-urban Community. Lancet, 363, 112—18.
Direktorat Gizi Masyarakat. 2018. Buku Saku Pemantauan Status Gizi Tahun
2017. Jakarta: Kementerian Kesehatan.
Henningham & McGregor. 2008. Public Health Nutrition editor M.J. Gibney, dkk
(alih bahasa: Andry Hartono). Jakarta: EGC.
32
Hien, N. N. dan S.Kam. 2008. Nutritional Status and the Characteristics Related
to Malnutrition in Children Under Five Years of Age in Nghean, Vietnam. J
Prev Med Public Health, 41(4): 232-240. Diakses pada 18 September 2019
dari www.ncbi.nlm.nih.gov
Khaldun, Syamsu. 2008. Z-Skor Status Gizi Balita Di Provinsi Sulawesi Selatan
2007. J. Sains & Teknologi, Vol. 8 No. 2: 112 – 125. Diakses pada 18
September 2019 dari www.pasca.unhas.ac.id
Khanna, S. B., dkk. 2007. Fetal Origin of Adult Disease. JK Science Vol. 9 No. 4.
Diakses pada 18 September 2019 dari www.jkscience.org
33
Lesiapeto, dkk. 2010. Risk Factors of Poor Anthropometric Status In Children
Under Five Years of Age Living In Rural Districts of The Eastern Cape And
Kwazulu-Natal Provinces, South Africa. S Afr J Clin Nutr, 23(4): 202-207.
Diakses pada 18 September 2019 dari www.sajcn.co.za
Masithah T., Soekirman, dan D. Martianto. 2005. Hubungan Pola Asuh Makan
Dan Kesehatan Dengan Status Gizi Anak Batita Di Desa Mulya Harja.
Media Gizi Keluarga, 29 (2): 29-39. Diakses pada 13 September 2019 dari
www.repository.ipb.ac.id
Mugianti, S. Mulyadi, A. Anam, A.K. Najah, Z.N. 2018. Faktor penyebab anak
Stunting usia 25-60 bulan di Kecamatan Sukorejo Kota Blitar. Blitar: Jurnal
Ners dan Kebidanan.
Narendra, M. B., dkk. 2002. Tumbuh Kembang Anak dan Remaja. Jakarta:
Sagung Seto.
Oktavia, Herni. 2016. Hubungan Pengetahuan Gizi dan Perilaku Higiene Sanitasi
Terhadap Kejadian Stunting pada Balita Usia 7-24 Bulan di Desa Hargorejo
Kulon Progo. Skripsi. Surakarta: Universitas Muhammadiyah Surakarta
Oktavia, Rita. 2011. Hubungan Pengetahuan Sikap dan Perilaku Ibu dalam
Pemberian ASI Eksklusif dengan Status Gizi Baduta di Puskesmas Biaro
Kecamatan Ampek Angkek Kabupaten Agam Tahun 2011 (Skripsi). Depok:
FKM UI.
34
Permata, Y. L. 2009. Kelengkapan Imunisasi Dasar Anak Balita dan Faktor-
faktor yang Berhubungan di Rumah Sakit Mary Cileungsi Hijau Bogor,
Maret 2008 (Skripsi). Jakarta: FK UI.
Ramli, dkk. 2009. Prevalence and Risk Factors For Stunting and Severe Stunting
Among Under-Fives in North Maluku Province of Indonesia. BMC
Pediatrics 9: 64. Diakses pada 13 September 2019 dari
www.biomedcentral.com
Semba, R. D., dkk. 2008. Effect of Parental Formal Education on Risk of Child
Stunting in Indonesia and Bangladesh: A Cross Sectional Study. The Lancet
Article, 371: 322–328. Diakses pada 13 September 2019 dari
www.lancet.com
Senbanjo, I. O., dkk. 2011. Prevalence of and Risk factors for Stunting mong
School Children and Adolescents in Abeokuta, Southwest Nigeria. J Health
35
Popul Nutr, 29(4): 364-370. Diakses pada 13 September 2019 dari
www.bioline.org
Suhardjo. 1989. Sosio Budaya Gizi. Bogor: IPB PAU Pangan & Gizi.
Suhardjo. 1992. Pemberian Makanan pada Bayi dan Anak. Yogyakarta: Kanisius.
Supriasa, I. D. Y. 2002. Penilaian Status Gizi. Jakarta: EGC.
Taguri, A. E., dkk. 2008. Risk Factor For Stunting Among Under Five in Libya.
Public Health Nutrition, 12 (8), 1141-1149. Diakses pada 13 September
2019 dari www.ncbi.nlm.nih.gov
The Lancet. 2008. The Lancet’s Series on Maternal and Child Undernutrition
Executive Summary. Diakses pada 13 September 2019 dari
www.thelancet.com
36
37
LAMPIRAN
Informed Consent
Informasi Penelitian
Judul: “Gambaran Kejadian Stunting pada Balita di Desa Melaya Kabupaten Jembrana
Tahun 2019”
Pernyataan Persetujuan
“Dengan ini saya bersedia mengijinkan/tidak mengijinkan* anak saya untuk
berpartisipasi dalam penelitian yang berjudul “Gambaran Kejadian Stunting pada Balita
di Desa Melaya Kabupaten Jembrana Tahun 2019” tanpa paksaan dari siapapun. Segala
isi dari persetujuan yang saya kemukakan adalah bersumber dari diri saya pribadi dan
saya bertanggung jawab atas persetujuan yang saya berikan”
Nama :
Umur :
Hormat saya
(_________________________)
38
Lampiran 2. Kuesioner Penelitian Kalau > 6 bulan: Apakah minum
ASI sampai usia 6 bulan? (Niki
No. Kuesioner: P / __________
adik ne nginum ASI kanti 6
C. Data Balita bulan?)
Umur : a. Ya b. Tidak
Jenis Kelamin : 4. Apakah imunisasi adiknya
Tinggi Badan : lengkap? (Sampun jangkep
Berat Badan : imunisasi adik ne?)
a. Ya
Lingkarilah (O) pilihan yang b. Tidak
dipiih! 5. Dimana Ibu mendapatkan sumber
II. Faktor Risiko air? (Ring dije biasane Ibu
1. Apa tingkat Pendidikan terakhir ngerereh toya?)
Ibu? (Ibu naanin antuk a. Sungai
masekolah? Nganteg kelas b. Pancoran
kude?) c. Sumur
a. Tidak pernah sekolah/tidak d. Air PAM
tamat SD e. Lainnya, _________
b. SD 6. Dimana biasanya anggota
c. SMP keluarga Ibu BAB? (Ring dije
d. SMA biasane anggota keluarga Ibu
e. Perguruan Tinggi mekoratan (BAB)?)
2. Berapa berat badan lahir a. Kloset/WC
adiknya? (Kude baat adik ne pas b. Kebun/Teba
lekad?) c. Sungai
_______________ kg d. Disembarang tempat
a. ≥ 2500 gr e. Lainnya, __________
b. < 2500 gr
3. Kalau ≤ 6 bulan: Apakah adiknya
masih minum ASI saja? (Niki
adik ne kari nginum ASI
manten?)
39
LAMPIRAN 3. Buku KIA: Catatan Imunisasi Anak
40
LAMPIRAN 4. Buku KIA : Kartu Menuju Sehat
41