Anda di halaman 1dari 41

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Stunting merupakan kondisi yang ditunjukkan dengan nilai z-score tinggi
badan menurut usia (TB/U) kurang dari –2 standar deviasi (SD) berdasarkan
kurva standar World Health Organization (WHO, 2010). Balita stunting
merupakan masalah gizi kronik dengan pelbagai faktor yang mempengaruhi
seperti kondisi sosial ekonomi, gizi ibu saat hamil, kesakitan pada bayi, dan
kurangnya asupan gizi pada bayi (Riskesdas, 2018). Malnutrisi asupan zat gizi
yang kronis dan atau penyakit infeksi kronis maupun berulang merupakan
penyebab terjadinya Stunting (WHO, 2010). Stunting dapat terjadi mulai dari
janin masih dalam kandungan dan baru nampak saat anak berusia dua tahun.
Berdasarkan data WHO tahun 2016, prevalensi balita stunting di dunia
sebesar 22,9%, dimana keadaan gizi balita stunting menjadi penyebab 2,2 juta dari
seluruh penyebab kematian balita di seluruh dunia. Berdasarkan data Pemantauan
Status Gizi (PSG) tahun 2015, prevalensi balita stunting di Indonesia adalah 29%.
Prevalensi stunting menurun pada tahun 2016 menjadi 27,5%, namun meningkat
kembali menjadi 29,6% pada tahun 2017 (Riskesdas, 2018). Angka prevalensi
stunting di Provinsi Bali berdasarkan Buku Saku Nasional Pemantauan Status
Gizi Tahun 2017 didapatkan sebesar 13,6% (Direktorat Gizi Masyarakat, 2018).
Masih tingginya angka prevalensi stunting di Bali tentu menjadi perlu perhatian.
Telah diketahui bahwa stunting bersifat multifaktorial. Berbagai studi telah
menunjukan faktor-faktor yang berkaitan dengan kejadian stunting. Penelitian
Ramli, dkk. (2009) menunjukan prevalensi stunting dan severe stunting lebih
tinggi pada anak usia 24-59 bulan, yaitu sebesar 50% dan 24%, dibandingkan
anak-anak berusia 0-23 bulan. Temuan tersebut sejalan dengan penelitian di
Bangladesh, India dan Pakistan dimana anak-anak berusia 24 – 59 bulan memiliki
risiko tinggi stunting. (Ramli, dkk., 2009).
Selain itu, bayi dengan berat badan lahir rendah (BBLR) mempengaruhi
sekitar 20% dari terjadinya stunting. Faktor berupa asupan zat gizi pada balita
juga sangat penting dalam mendukung pertumbuhan sesuai dengan grafik.

1
Adapun faktor lainnya, seperti tingkat pengetahuan ibu, kondisi sosial ekonomi
dan sanitasi tempat tinggal juga terkait dengan stunting. Kondisi ekonomi erat
kaitannya dengan penyediaan asupan yang bergizi yang cukup dan pelayanan
kesehatan untuk ibu hamil dan balita. (Riskesdas, 2018). Faktor-faktor tersebut
sejalan dengan hasil penelitian oleh Mugianti, dkk. Yang menunjukkan faktor
penyebab stunting yaitu asupan energi rendah (93,5%), penyakit infeksi (80,6%),
jenis kelamin laki-laki (64,5%), pendidikan ibu rendah (48,4%), asupan protein
rendah (45,2%), Tidak Asi Ekslusif (32,3%), pendidikan ayah rendah (32,3%) dan
ibu bekerja (29%) (Mugianti, 2018).
Puskesmas sebagai pelayanan kesehatan tingkat primer di Indonesia harus
mampu mendeteksi kejadian stunting di wilayahnya masing-masing, serta
menelusuri faktor resiko yang berkaitan dengan stunting. UPT. Puskesmas I
Melaya merupakan salah satu puskesmas yang berada di Kecamatan Melaya,
Kabupaten Jembrana, Provinsi Bali. Berdasarkan laporan Pemantauan Status Gizi
di wilayah kerja Puskesmas I Melaya Bulan Juli 2019, salah satu desa yang
memiliki angka stunting tertinggi adalah Desa Melaya, dimana didapatkan
prevalensi stunting di Desa Melaya yaitu sebesar 19,5%. Namun data prevalensi
tersebut didapatkan dari pengukuran dengan alat ukur tidak terstandar yakni pita
ukur serta bukan dilakukan oleh petugas kesehatan terlatih sehingga perlu
pengukuran ulang. Tingginya angka prevalensi Stunting yang ditemukan menjadi
perhatian dari UPT. Puskesmas I Melaya (UKM Program Gizi, 2019). Namun,
saat ini UPT. Puskesmas I Melaya belum memiliki data mengenai faktor-faktor
risiko yang berhubungan dengan kejadian stunting tersebut. Berdasarkan latar
belakang tersebut, maka perlu dilakukan suatu penelitian untuk mengetahui
gambaran gambaran kejadian stunting pada balita di Desa Melaya.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan uraian di atas, permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini
adalah:
1.2.1 Bagaimana gambaran kejadian stunting berdasarkan karakteristik jenis
kelamin, usia, dan berat lahir pada balita di Desa Melaya?

2
1.2.2 Bagaimana gambaran kejadian stunting berdasarkan status pemberian
ASI Eksklusif dan imunisasi pada balita di Desa Melaya?
1.2.3 Bagaimana gambaran kejadian stunting berdasarkan karakteristik
pendidikan ibu dan sanitasi lingkungan pada pada balita di Desa
Melaya?

1.3 Tujuan Penelitian


1.3.1 Tujuan Umum
Untuk mengetahui gambaran kejadian stunting pada balita di Desa
Melaya.

1.3.2 Tujuan Khusus


1. Mengetahui gambaran kejadian stunting berdasarkan karakteristik
jenis kelamin, usia, dan berat lahir pada balita di Desa Melaya.
2. Mengetahui gambaran kejadian stunting berdasarkan status pemberian
ASI Eksklusif dan imunisasi pada balita di Desa Melaya.
3. Mengetahui gambaran kejadian stunting berdasarkan karakteristik
pendidikan ibu dan sanitasi lingkungan pada pada balita di Desa
Melaya.

1.4 Manfaat Penelitian


1.4.1.Manfaat untuk Pengembangan Keilmuan
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah khazanah ilmu
kedokteran sebagai bentuk pengembangan ilmu pengetahuan yang
berhubungan tentang faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian
stunting pada balita.

1.4.2.Manfaat untuk Puskesmas


Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai acuan bagi UPT
Puskesmas I Melaya dalam meningkatkan pelayanan kesehatan serta dapat
memberikan informasi tentang faktor-faktor yang berhubungan dengan

3
kejadian stunting pada balita sehingga dapat melakukan upaya-upaya
pencegahan untuk menurunkan prevalensi stunting pada balita.

1.4.3. Manfaat untuk Masyarakat


Dengan adanya penelitian ini diharapkan dapat menjadi dasar
informasi terkait upaya pencegahan stunting pada balita.

1.4.4. Manfaat untuk Mahasiswa


Dapat menambah pengalaman dalam mengaplikasikan ilmu
kedokteran untuk mengidentifikasi kasus stunting pada balita serta
mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan stunting pada balita.

4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Stunting pada Balita


Status gizi adalah salah satu indikator yang digunakan untuk mengetahui
status kesehatan masyarakat (Blum, 1992 dan Khaldun, 2008). Status gizi
adalah keadaan tubuh sebagai akibat konsumsi makanan dan penggunaan zat-zat
gizi (Almatsier, 2004). Status gizi anak adalah keadaan kesehatan anak yang
ditentukan oleh derajat kebutuhan fisik energi dan zat-zat gizi lain yang diperoleh
dari pangan dan makanan yang dampak fisiknya diukur secara antropometri
(Suharjo, 1996), dan dikategorikan berdasarkan standar baku WHO dengan indeks
BB/U, TB/U dan BB/TB. Masalah gizi anak secara garis besar merupakan
dampak dari ketidakseimbangan antara asupan dan keluaran zat gizi (nutritional
imbalance), yaitu asupan yang melebihi keluaran atau sebaliknya, di samping
kesalahan dalam memilih bahan makanan untuk disantap (Arisman, 2009).
Poin pertama Millenium Development Goals (MDGs) yang ditetapkan pada
tahun 2000, adalah memberantas kemiskinan dan kelaparan ekstrim, dalam hal ini
sasaran ketiganya (1c) adalah untuk "mengurangi setengah proporsi penduduk
yang menderita kelaparan" (pada tahun 2015 dibandingkan dengan 1990). Untuk
mencapai tujuan tersebut, memberantas malnutrisi pada anak adalah hal yang
krusial dalam melawan kemiskinan. Menurut Branca (2006), meskipun
pembangunan ekonomi yang besar dalam beberapa dekade terkahir, gizi anak
tetap menjadi tantangan besar bagi manusia. Malnutrisi merupakan bagian dari
kehidupan beberapa inidividu sejak masa konsepsi dan diteruskan dari satu
generasi ke generasi berikutnya. Negara-negara dengan pendapatan per kapita
yang rendah dan tingkat sosioekonomi yang buruk adalah yang terutama terkena
dan pada gilirannya malnutrisi menghambat perkembangan negara tersebut.
Malnutrisi merupakan masalah utama kesehatan masyarakat di seluruh bagian
dunia (Sedgh, dkk., 2000).
Menurut laporan The Lancet’s Series on Maternal and Child Undernutrition
Executive Summary, gizi harus menjadi prioritas di semua tingkat, baik sub-

5
nasional, nasional maupun global karena merupakan komponen utama bagi
manusia, sosial, dan pembangunan ekonomi. Gizi merupakan faktor kunci dalam
perkembangan anak, kesehatan ibu, dan produktivitas. Pencegahan malnutrisi
pada gizi ibu dan anak adalah investasi jangka panjang yang akan menguntungkan
generasi sekarang dan anak-anak mereka. Berinvestasi pada kesehatan anak sama
halnya dengan berinvestasi pada kemajuan suatu negara (Hunt, 2001).
Stunting dan severe stunting adalah status gizi yang didasarkan pada indeks
Panjang Badan menurut Umur (PB/U) atau Tinggi Badan menurut Umur (TB/U)
yang merupakan istilah lain untuk stunted dan severely stunted (Kemenkes, 2011).
Stunting didefinisikan sebagai indeks tinggi badan menurut umur (TB/U) kurang
dari minus dua standar deviasi (-2 SD) atau dibawah rata-rata standar yang ada
dan severe stunting didefinisikan kurang dari -3 SD (ACC/SCN, 2000). Stunting
pada anak merupakan hasil jangka panjang konsumsi kronis diet berkualitas
rendah yang dikombinasikan dengan morbiditas, penyakit infeksi, dan masalah
lingkungan (Semba, dkk., 2008). Di negara berpendapatan menengah kebawah,
stunting merupakan masalah kesehatan masyarakat yang utama (The Lancet,
2008).
Stunting mengacu pada anak yang memiliki indeks TB/U rendah. Stunting
dapat mencerminkan baik variasi normal dalam pertumbuhan ataupun defisit
dalam pertumbuhan. Stunting yaitu pertumbuhan linear yang gagal mencapai
potensi genetik sebagai hasil dari kesehatan atau kondisi gizi suboptimal. Beaton
dkk. (1990) berpendapat bahwa pengerdilan adalah proxy populasi untuk
kekurangan yang beragam. Penelitian terbaru menemukan bahwa pertumbuhan
tulang linear terjadi dalam proses episodik seperti periode stasis dari satu hari atau
lebih dari tidak adanya pertumbuhan yang diselingi oleh perubahan harian
pertumbuhan (Lampl dkk., 1992). Penelitian menunjukkan bahwa stunting berasal
dari penurunan frekuensi waktu pertumbuhan, penurunan amplitudo pertumbuhan
ketika sebuah peristiwa terjadi, ataupun gabungan dari keduanya (ACC/SCN,
1997).
Stunting merupakan hasil dari kekurangan gizi kronis dan sering terjadi
antargenerasi ditambah dengan penyakit yang sering. Hal tersebut adalah ciri
khas endemik kemiskinan. Stunting terkait dengan lebih rendahnya perkembangan

6
kognitif dan produktivitas. Stunting adalah masalah kesehatan masyarakat utama
di hampir semua provinsi di Indonesia, dan peringatan telah diberikan oleh
Presiden RI, yang tertantang untuk mengurangi stunting di Indonesia (USAID,
2010).
Stunting pada anak merupakan indikator utama dalam menilai kualitas
modal sumber daya manusia di masa mendatang. Gangguan pertumbuhan yang
diderita anak pada awal kehidupan, pada hal ini stunting, dapat menyebabkan
kerusakan yang permanen. Keberhasilan perbaikan ekonomi yang berkelanjutan
dapat dinilai dengan berkurangnya kejadian stunting pada anak-anak usia dibawah
5 tahun (UNSCN, 2008).
Prevalensi stunting pada umumnya menurun di seluruh dunia. WHO
melaporkan bahwa antara tahun 1990 dan 2000, prevalensi global stunting pada
anak-anak turun dari 34% menjadi 29%. Namun, di Afrika Timur, jumlah anak
dengan stunting meningkat pada periode ini dari 40 juta menjadi 45 juta. Stunting
didefinisikan oleh WHO 2 standar deviasi di bawah nilai z untuk tinggi badan
menurut umur. Anak-anak yang underweight atau stunting mungkin tidak
menunjukkan catch-up growth di masa kecil, dengan demikian mereka membawa
risiko kesehatan yang buruk ke dalam kehidupan saat dewasa. Di beberapa
negara, Afrika Selatan misalnya, anak-anak yang stunting hidup berdampingan
dengan mereka yang overweight atau obesitas. Hal ini tentu saja memiliki
implikasi yang kompleks bagi para pembuat kebijakan (Branca, 2006).
Dalam komunitas yang sulit mendapatkan akses dan kontak dengan
perlayanan kesehatan, anak-anak lebih rentan terhadap kekurangan gizi sebagai
akibat dari pengobatan penyakit yang tidak memadai, tingkat imunisasi rendah,
dan perawatan kehamilan yang buruk. Sanitasi lingkungan yang buruk, termasuk
pasokan air bersih, juga menempatkan anak pada risiko infeksi yang
meningkatkan kerentanan terhadap kekurangan gizi. Pola asuh bayi dan anak,
bersama dengan ketahanan pangan rumah tangga, pelayanan kesehatan yang
memadai dan lingkungan yang sehat adalah prasyarat yang diperlukan untuk gizi
yang cukup (ACC/SCN, 1997).

7
2.2 Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Stunting pada Balita

2.2.1 Pemberian ASI Eksklusif

ASI merupakan bentuk makanan yang ideal untuk memenuhi gizi


anak, karena ASI sanggup memenuhi kebutuhan gizi bayi untuk hidup
selama 6 bulan pertama kehidupan. Meskipun setelah itu, makanan
tambahan yang dibutuhkan sudah mulai dikenalkan kepada bayi, ASI
merupakan sumber makanan yang penting bagi kesehatan bayi. Sebagian
besar bayi di negara yang berpenghasilan rendah, membutuhkan ASI untuk
pertumbuhan dan tak dipungkiri agar bayi dapat bertahan hidup, karena
merupakan sumber protein yang berkualitas baik dan mudah didapat. ASI
dapat memenuhi tiga perempat dari kebutuhan protein bayi usia 6 – 12
bulan, selain itu ASI juga mengandung semua asam amino essensial yang
dibutuhkan bayi (Berg, A. & Muscat, R. J., 1985)
ASI eksklusif adalah memberikan hanya ASI saja bagi bayi sejak lahir
sampai usia 6 bulan. Namun ada pengecualian, bayi diperbolehkan
mengonsumsi obat-obatan, vitamin, dan mineral tetes atas saran dokter.
Selama 6 bulan pertama pemberian ASI eksklusif, bayi tidak diberikan
makanan dan minuman lain (susu formula, jeruk, madu, air, teh, dan
makanan padat seperti pisang, pepaya, bubur susu, bubur nasi, biskuit, nasi
tim). Sedangkan ASI predominan adalah memberikan ASI kepada bayi,
tetapi pernah memberikan sedikit air atau minuman berbasis air, misalnya
teh, sebagai makanan/ minuman prelakteal sebelum ASI keluar (Kemenkes,
2010).
Pemberian ASI memiliki berbagai manfaat terhadap kesehatan,
terutama dalam hal perkembangan anak. Komposisi ASI banyak
mengandung asam lemak tak jenuh dengan rantai karbon panjang
(LCPUFA, long-chain polyunsaturated fatty acid) yang tidak hanya sebagai
sumber energi tapi juga penting untuk perkembangan otak karena molekul
yang dominan ditemukan dalam selubung myelin. ASI juga memiliki
manfaat lain yaitu meningkatkan imunitas anak terhadap penyakit,

8
berdasarkan penilitian pemberian ASI dapat menurunkan frekuensi diare,
konstipasi kronis, penyakit gastrointestinal, infeksi traktus respiratorius,
serta infeksi telinga. Secara tidak langsung, ASI juga memberikan efek
terhadap perkembangan psikomotor anak, karena anak yang sakit akan sulit
untuk mengeksplorasi dan belajar dari sekitarnya. Manfaat lain pemberian
ASI adalah pembentukan ikatan yang lebih kuat dalam interaksi ibu dan
anak, sehingga berefek positif bagi perkembangan dan perilaku anak
(Henningham & McGregor, 2008).
Risiko menjadi stunting 3,7 kali lebih tinggi pada balita yang tidak
diberi ASI Eksklusif (ASI < 6 bulan) dibandingkan dengan balita yang
diberi ASI Eksklusif (≥ 6 bulan) (Hien dan Kam, 2008). Penelitian yang
dilakukan oleh Teshome (2009) menunjukkan bahwa anak yang tidak
mendapatkan kolostrum lebih berisiko tinggi terhadap stunting. Hal ini
mungkin disebabkan karena kolostrum memberikan efek perlindungan pada
bayi baru lahir dan bayi yang tidak menerima kolostrum mungkin memiliki
insiden, durasi dan keparahan penyakit yang lebih tinggi seperti diare yang
berkontribusi terhadap kekurangan gizi. Penelitian lain juga menyebutkan
pemberian kolostrum pada bayi berhubungan dengan kejadian
stunting (Kumar, dkk., 2006). Selain itu, durasi pemberian ASI yang
berkepanjangan merupakan faktor risiko untuk stunting (Teshome, 2009).
Pemberian makanan tambahan yang terlalu dini secara signifikan
berkaitan dengan peningkatan risiko infeksi pernafasan dan insiden yang
lebih tinggi mordibitas malaria dan infesksi mata. Penelitian di Peru,
menunjukkan prevalensi diare secara signifikan lebih tinggi pada anak yang
disapih. Hal ini dapat disebabkan karena hilangnya kekebalan tubuh dari
konsumsi ASI yang tidak eksklusif dan juga pengenalan makanan
tambahan yang tidak higenis yang rentan terhadap penyakit infeksi.
Penelitian di negara maju menunjukkan bahwa menyusui dapat mengurangi
kejadian pneumonia dan gastroenteritis (Kalanda, Verhoeff & Brabin,
2006).
Di Indonesia, perilaku ibu dalam pemberian ASI ekslusif memiliki
hubungan yang bermakna dengan indeks PB/U, dimana 48 dari 51 anak

9
stunted tidak mendapatkan ASI eksklusif (Oktavia, 2011). Penelitian lain
yang dilakukan oleh Istiftiani (2011) menunjukan bahwa umur pertama
pemberian MP-ASI berhubungan signifikan dengan indeks status gizi PB/U
pada baduta.

2.2.2 Status Imunisasi

Imunisasi merupakan proses menginduksi imunitas secara buatan baik


dengan vaksinasi (imunisasi aktif) maupun dengan pemberian antibodi
(imunisasi pasif). Dalam hal ini, imunisasi aktif menstimulasi sistem imun
untuk membentuk antibodi dan respon imun seluler yang dapat melawan
agen penginfeksi. Lain halnya dengan imunisasi pasif, imunisasi ini
menyediakan proteksi sementara melalui pemberian antibodi yang
diproduksi secara eksogen maupun transmisi transplasenta dari ibu ke janin
(Peter, 2003 dalam Permata, 2009).
Pemberian imunisasi pada anak memiliki tujuan penting yaitu untuk
mengurangi risiko mordibitas (kesakitan) dan mortalitas (kematian) anak
akibat penyakit-penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi. Penyakit-
penyakit tersebut antara lain: TBC, difteri, tetanus, pertusis, polio, campak,
hepatitis B, dan sebagainya (Narendra, 2002). Status imunisasi pada anak
adalah salah satu indikator kontak dengan pelayanan kesehatan. Karena
diharapkan bahwa kontak dengan pelayanan kesehatan akan membantu
memperbaiki masalah gizi baru jadi, status imunisasi juga diharapkan akan
memberikan efek positif terhadap status gizi jangka panjang (Yimer, 2000).
Tabel 2.1 Jadwal Pemberian Lima Imunisasi Dasar
Jenis Imunisasi Umur Bayi
Hepatitis B (HB) 0 ≤7 hari
BCG, Polio 1 1 bulan
DPT/HB 1, Polio 2 2 bulan
DPT/HB 2, Polio 3 3 bulan
DPT/HB 3, Polio 4 4 bulan
Campak 9 bulan
Sumber: Depkes, 2009

Penelitian yang dilakukan Neldawati (2006) menunjukkan bahwa


status imunisasi memiliki hubungan signifikan terhadap indeks status gizi

10
TB/U. Milman, dkk. (2005), mengemukakan bahwa status imunisasi
menjadi underlying factor dalam kejadian stunting pada anak < 5 tahun.
Penelitian lain juga menunjukkan bahwa status imunisasi yang tidak
lengkap memiliki hubungan yang signifikan dalam kejadian stunting pada
anak usia < 5 tahun (Taguri, dkk., 2007).

2.2.3 Jenis Kelamin Balita


Studi kohort di Ethiopia menunjukkan bayi dengan jenis kelamin
laki-laki memiliki riskio dua kali lipat menjadi stunting dibandingkan bayi
perempuan pada usia 6 dan 12 bulan (Medhin, 2010). Anak laki-laki lebih
berisiko stunting dan atau underweight dibandingkan anak perempuan.
Beberapa penelitian di sub- Sahara Afrika menunjukkan bahwa anak laki-
laki prasekolah lebih berisiko stunting daripada rekan perempuannya.
Dalam hal ini, tidak diketahui apa alasannya (Lesiapeto, dkk., 2010).
Dalam dua penelitian yang dilakukan di tiga Negara berbeda, yaitu
Libya (Taguri dkk. 2008), serta Bangladesh dan Indonesia (Semba dkk.
2008), menunjukkan bahwa prevalensi stunting lebih besar pada anak laki-
laki dibandingkan dengan anak perempuan. Hasil penelitian lain
menunjukkan bahwa jenis kelamin anak adalah prediktor yang kuat dari
stunting dan severe stunting pada anak usia 0-23 bulan dan 0-59 bulan.
Anak perempuan memiliki risiko yang lebih rendah dibandingkan anak laki-
laki dalam hal ini. Selama masa bayi dan masa kanak-kanak, anak
perempuan cenderung lebih rendah kemungkinannya menjadi stunting dan
severe stunting daripada anak laki-laki, selain itu bayi perempuan dapat
bertahan hidup dalam jumlah lebih besar daripada bayi laki-laki di
kebanyakan negara berkembang termasuk Indonesia (Ramli, dkk., 2009).

2.2.4 Berat Lahir Balita

Berat lahir pada khususnya sangat terkait dengan kematian janin,


neonatal, dan postneonatal; mordibitas bayi dan anak; dan pertumbuhan dan
pengembangan jangka panjang. Bayi dengan berat lahir rendah (BBLR)
didefinisikan oleh WHO yaitu berat lahir yang kurang dari 2500 gr. BBLR

11
dapat disebabkan oleh durasi kehamilan dan laju pertumbuhan janin.
Maka dari itu, bayi dengan berat lahir <2500 gr bisa dikarenakan dia lahir
secara prematur atau karena terjadi retardasi pertumbuhan (Semba dan
Bloem, 2001).
Bukti epidemiologis menunjukkan bahwa berat badan lahir
berbanding terbalik dengan risiko terjadinya penyakit hipertensi, penyakit
kardiovaskular dan diabetes tipe 2 pada masa dewasa. Berat badan lahir
yang rendah, maupun pertambahan berat badan pasca lahir yang terlalu
cepat (MP-ASI dini), atau kombinasi keduanya, merupakan faktor
predisposisi penyakit-penyakit tersebut. Hal tersebut terangkum dalam
Hipotesa Barker/Fetal Origin Hypothesis (Khanna, dkk., 2007).
Di negara berkembang, bayi dengan berat lahir rendah (BBLR) lebih
cenderung mengalami retardasi pertumbuhan intrauteri yang terjadi karena
buruknya gizi ibu dan meningkatnya angka infeksi dibandingkan dengan
negara maju (Henningham & McGregor dalam Gibney, 2008). Dampak dari
bayi yang memiliki berat lahir rendah akan berlangsung antar generasi yang
satu ke generasi selanjutnya. Anak yang BBLR kedepannya akan memiliki
ukuran antropometri yang kurang di masa dewasa. Bagi perempuan yang
lahir dengan berat rendah, memiliki risiko besar untuk menjadi ibu yang
stunted sehingga akan cenderung melahirkan bayi dengan berat lahir rendah
seperti dirinya. Bayi yang dilahirkan oleh ibu yang stunted tersebut akan
menjadi perempuan dewasa yang stunted juga, dan akan membentuk siklus
sama seperti sebelumnya (Semba dan Bloem, 2001).
Semua kelompok lahir berisiko terhadap stunting hingga usia 12
bulan, dengan risiko terbesar pada kelompok anak IUGR (Intra Uterine
Growth Retardation) dan risiko terkecil pada kelompok anak normal. Pada
kelompok IUGR berkontribusi terhadap siklus intergenerasi yang
disebabkan oleh tingkat ekonomi rendah, penyakit, dan defisiensi zat gizi.
Hal tersebut menunjukan bahwa, ibu dengan gizi kurang sejak awal sampai
dengan akhir kehamilan akan melahirkan BBLR, yang kedepannya akan
menjadi anak stunting (Kusharisupeni, 2004).

12
Dalam penelitian lain, berat lahir rendah telah diketahui berkorelasi
dengan stunting. Dalam analisis multivariat tunggal variabel berat lahir
rendah dapat bertahan, hal ini menunjukkan bahwa berat lahir rendah
memiliki efek yang besar terhadap stunting. Seperti yang telah diketahui
sebelumnya, efek dari berat lahir rendah terhadap kesehatan anak adalah
faktor yang paling relevan untuk kelangsungan hidup anak (Taguri dkk.,
2007). Hasil penelitian yang dilakukan oleh Medhin (2010) juga
menunjukkan berat lahir merupakan prediktor yang signifikan dalam
kejadian stunting pada bayi usia 12 bulan. Pada penelitian lain juga
disebutkan bahwa berat lahir memiliki hubungan dengan kejadian
stunting (Lourenço dkk. 2012).

2.2.5 Pendidikan Orang Tua

Pada penelitian Astari, Nasoetion, dan Dwiriani (2005), tingkat


pendidikan ayah pada anak stunting lebih rendah dibandingkan dengan anak
normal. Hal ini menunjukan, pendidikan orang tua akan berpengaruh
terhadap pengasuhan anak, karena dengan pendidikan yang tinggi pada
orang tua akan memahami pentingnya peranan orangtua dalam
pertumbuhan anak. Selain itu, dengan pendidikan yang baik, diperkirakan
memliki pengetahuan gizi yang baik pula. Ibu dengan pengetahuan gizi
yang baik akan tahu bagaimana mengolah makanan, mengatur menu
makanan, serta menjaga mutu dan kebersihan makanan dengan baik.
Menurut penelitian yang dilakukan pada batita di Desa Mulya Harja,
diketahui bahwa lamanya pendidikan ibu berhubungan signifikan positif
dengan status gizi batita indeks TB/U (Masithah, Soekirman, dan Martianto,
2005).

Penelitian di Libya menunjukkan bahwa pendidikan ayah merupakan


faktor signifikan terkait dengan stunting pada anak usia dibawah 5 tahun.
(Taguri, dkk., 2007). Penelitian lain yang senada juga dikemukakan oleh
Semba dkk. (2009), bahwa pendidikan ayah berhubungan dengan kejadian
stunting pada anak di Bangladesh. Hal ini dikarenakan, wanita memiliki
status sosial yang rendah di Bangladesh dan memiliki pengaruh yang

13
terbatas dalam membuat keputusan dalam rumah tangga. Pendidikan tinggi
dapat mencerminkan pendapatan yang lebih tinggi dan ayah akan lebih
memperhatikan gizi anak. Suami yang lebih terdidik akan cenderung
memiliki istri yang juga berpendidikan. Ibu yang berpendidikan diketahui
lebih luas pengetahuannya tentang praktik perawatan anak.

Keluarga yang berpendidikan hidup dalam rumah tangga yang


kecil, di rumah yang lebih layak, dapat menggunakan fasilitas pelayanan
kesehatan yang lebih baik, dan lebih mahir menjaga lingkungan yang bersih
(Taguri, dkk., 2007). Rendahnya pendidikan ibu merupakan penyebab
utama dari kejadian stunting pada anak sekolah dan remaja di Nigeria. Ibu
yang berpendidikan lebih mungkin untuk membuat keputusan yang akan
meningkatkan gizi dan kesehatan anak-anaknya.

Selain itu, Ibu yang berpendidikan cenderung menyekolahkan semua


anaknya sehingga memutus rantai kebodohan, serta akan lebih baik
menggunakan strategi demi kelangsungan hidup anaknya, seperti ASI yang
memadai, imunisasi, terapi rehidrasi oral, dan keluarga berencana. Maka
dari itu, mendidik wanita akan menjadi langkah yang berguna dalam
pengurangan prevalensi malnutrition, terutama stunting (Senbanjo, 2011).
Penelitian lain yang dilakukan oleh Semba dkk. (2008) pada anak-anak
di Indonesia menunjukkan hasil yang sama, bahwa dengan meningkatkan
pendidikan ibu dapat mengurangi kejadian stunting dibandingkan
dengan meningkatan pendidikan ayah.

Ibu umumnya pengasuh utama bagi anak anak, dan tingkat


pendidikan ibu yang diharapkan memiliki pengaruh kuat terhadap stunting
pada anak daripada ayah. Penelitian lain di Ethiopia juga menunjukkan
bahwa pendidikan ibu berhubungan memiliki efek yang signifikan terhadap
kejadian malnutrisi kronis (Yimer, 2000).

2.2.6 Status Sanitasi Lingkungan


Menurut WHO, sanitasi lingkungan (environmental sanitation) adalah
upaya pengendalian semua faktor lingkungan fisik manusia yang mungkin
menimbulkan atau dapat menimbulkan hal-hal yang merugikan bagi

14
perkembangan fisik, kesehatan dan daya tahan hidup manusia. Sanitasi
lingkungan dapat pula diartikan sebagai kegiatan yang ditujukan untuk
meningkatkan dan mempertahankan standar kondisi lingkungan yang
mendasar yang mempengaruhi kesejahteraan manusia. Kondisi tersebut
dapat mencakup pasokan air yang bersih dan aman dan pembuangan limbah
dari manusia (WHO sanitasi lingkungan). Berdsarkan penelitian Rahayu,
dkk. tahun 2019 menunjukan bahwa ada hubungan yang signifikan antara
sanitasi lingkungan dengan kejadian stunting pada balita. Hasil penelitian
tersebut sejalan dengan penelitian Oktavia (2016) yang menunjukkan bahwa
ada hubungan signifikan antara balita dengan sanitasi lingkungan tidak baik
dengan kejadian stunting. Berdasarkan data RISKESDAS tahun 2013,
didapatkan proporsi rumah tangga yang memiliki akses sumber air bersih
sebesar 66,8% dan proporsi rumah tangga yang memiliki fasilitas BAB
miliki sendiri sebsar 76,2%. Studi Checkley, dkk.. (2004) menemukan
bahwa kurangnya sistem pembuangan air limbah/kotoran yang cukup
berhubungan dengan defsitnya tinggi badan anak 0.9 cm (95%CI=0.2—1.7
cm) saat usia 24 bulan. Disamping itu, dalam penelitian yang sama
ditemukan bahwa anak dengan kondisi air dan sanitasi kurang baik 54%
lebih sering mengalami diare daripada anak yang kondisi air dan sanitasinya
paling baik. Hal tersebut dapat menyimpulkan bahwa sanitasi lingkungan
kurang baik meningkatkan berimplikasi buruk terhadap kemajuan
pertumbuhan anak.

15
BAB III
KERANGKA BERPIKIR DAN KONSEP

3.1 Kerangka Berpikir


Stunting atau kerdil adalah keadaan balita yang memiliki panjang badan atau
tinggi badan yang kurang terhadap umur. Kondisi ini terjadi jika hasil pengukuran
panjang badan atau tinggi badan terhadap umur kurang dari minus dua standar
deviasi median standar pertumbuhan anak berdasarkan World Health
Organization (WHO). Stunting merupakan salah satu kondisi malnutrisi pada
anak yang masih menjadi perhatian di Indonesia. Anak stunting atau kerdil dapat
meningkatkan risiko terkena penyakit dan kematian. Dalam jangka panjang, anak
stunting atau kerdil dapat mengalami penurunan kemampuan intelektual dan
produktivitas, memengaruhi perekonomian nasional serta meningkatkan
kemiskinan dan ketimpangan di masyarakat.
Telah diketahui bahwa stunting bersifat multifaktorial. Berbagai studi telah
menunjukan faktor-faktor yang berkaitan dengan kejadian stunting. Adapun
faktor-faktor yang berkaitan berupa jenis kelamin balita, berat badan lahir balita,
status pemberian ASI eksklusif, status imunisasi, pendidina terakhir ibu, dan
sanitasi lingkungan. Masalah stunting masih terdapat di wilayah kerja UPT
Puskesmas I Melaya, dimana salah satu desa dengan angka prevalensi stunting
tinggi yaitu Desa Melaya. Namun, saat ini UPT. Puskesmas I Melaya belum
memiliki data mengenai faktor-faktor risiko yang berhubungan dengan kejadian
stunting tersebut.

16
3.2 Kerangka Konsep

Status gizi balita:


 Pemberian ASI eksklusif

 Pemberian susu formula


 Pemberian makanan
pelengkap bayi
 Suplementasi vit A dan zat
besi

Status imunisasi Balita

Karakteristik Balita:
 Jenis kelamin
 Berat badan lahir Stunting
 Usia pada Balita

Karakteristik Lingkungan:
 Pendidikan ibu
 Sumber air
 Sanitasi BAB

Gambar 3.1 Kerangka konsep penelitian

diteliti

tidak diteliti

17
BAB IV
METODE PENELITIAN

4.1 Jenis Rancangan Penelitian


Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan Rancangan penelitian
yang digunakan adalah studi potong-lintang (cross-sectional). Rancangan
penelitian ini dapat menggambarkan gambaran kejadian stunting pada balita di
Desa Melaya.

4.2 Subyek Penelitian


4.2.1 Populasi penelitian
4.2.1.1 Populasi Target
Populasi target adalah seluruh anak berusia 0-59 bulan di
wilayah Desa Melaya.
4.2.1.2 Populasi Terjangkau
Populasi terjangkau adalah seluruh anak berusia 0-59 bulan di
wilayah Desa Melaya yang terdata pada register posyandu Bulan
September 2019.
4.2.2 Sampel Penelitian
4.2.2.1 Kriteria Sampel
Sampel penelitian adalah anak berusia 0-59 bulan di wilayah
Desa Melaya yang terdata pada Bulan September 2019 dan memenuhi
kriteria inklusi dan eksklusi:
a. Kriteria Inklusi
1. Anak yang terdata dan hadir pada pelaksanaan posyandu di
wilayah Desa Melaya pada Bulan September 2019
2. Responden merupukan orang tua atau pengantar balita ke
posyandu yang bersedia berpartisipasi dalam penelitian dan
menyetujui informed consent.
b. Kriteria Eksklusi
1. Responden yang tidak membawa buku kesehatan ibu dan anak
(KIA)

18
2. Data pada buku kesehatan ibu dan anak (KIA) yang tidak
tercatat dengan lengkap
4.2.2.2 Responden
Responden adalah orang tua dari anak yang terdata dan hadir
pada pelaksanaan posyandu di wilayah Desa Melaya pada Bulan
September 2019 serta bersedia berpartisipasi dalam penelitian dan
menyetujui informed consent.

4.2.2.3 Besar Sampel


Besar jumlah sampel diambil dengan menggunakan rumus studi
deskriptif potong lintang yaitu dengan proporsi binominal (Madiyono,
Moeslichan and Sastroasmoro, 2002) :
2
Z pq
n=
d2
n = jumlah sampel minimal yang diperlukan
Z = nilai baku normal dari derajat kepercayaan 0,05 yaitu 1,96
p = proporsi jumlah anak yang mengalami masalah gizi pada
penelitian sebelumnya
q = 1-p (proporsi jumlah anak normal pada penelitian sebelumnya)
d = nilai presisi absolut yaitu 0,1

Berdasarkan hasil Pemantauan Status Gizi di wilayah kerja UPT.


Puskesmas I Melaya pada Bulan Juli 2019, didapatkan prevalensi
stunting di Desa Melaya sebsar 19,6% maka dari itu jumlah sampel
yang didapatkan adalah:
2
1,96 × 0 ,1 96 × 0 ,8 04
n=
0,12
n=6 0 , 53 yang dibulatkan menjadi 61

4.2.2.4 Teknik Pengambilan Sampel


Sampel dipilih dengan menggunakan teknik consecutive
sampling, dimana sampel yang datang berurutan dan memenuhi

19
kriteria pemilihan dimasukkan dalam penelitian sampai jumlah subyek
yang diperlukan terpenuhi.

4.3 Variabel Penelitian


Variabel-variabel dalam penelitian ini adalah stunting, jenis kelamin
balita, usia balita, berat badan lahir balita, ASI eksklusif balita, status
imunisasi balita, pendidikan terakhir ibu, sumber air, dan sanitasi BAB.
Variabel dependen penelitian ini adalah stunting. Variabel kemudian akan
dikelompokkan menjadi dua, berdasarkan karakteristik balita (jenis kelamin
balita, usia balita, berat badan lahir balita, ASI eksklusif balita, status
imunisasi balita) dan karakteristik ibu (pendidikan terakhir ibu, sumber air,
dan sanitasi BAB).

4.4 Definisi Operasional Variabel


Adapun definisi dari masing-masing variabel dapat dijelaskan sebagai
berikut:

No Variabel Definisi Alat Ukur Skala Hasil Ukur


. Operasional Ukur
1. Stunting Tinggi balita menurut umur Papan ukur atau Nominal 1 = stunting (< -2 SD
(TB/U) kurang dari -2 SD Microtoise HAZ)
sehingga lebih pendek 0 = Normal (≥ -2 SD
daripada tinggi yang HAZ) (WHO, 2005)
seharusnya.
2. Pemberian ASI eksklusif adalah Kuesioner Nominal 1 = ASI eksklusif
ASI memberikan hanya ASI saja 0 = Tidak ASI
eksklusif
eksklusif untuk bayi sejak lahir sampai (Kemenkes, 2010)
usia 6 bulan.
3. Jenis Penampilan fisik anak Kuesioner Nominal 1 = Laki-laki
kelamin balita yang membedakan 2 = Perempuan
balita
antara laki-laki dan
perempuan.
4. Berat badan Berat badan balita pada Kuesioner Nominal 1 = BBLR (BBL <
lahir balita saat dilahirkan yang 2500
gram)
diukur dengan 0 = Normal (BBL ≥
menggunakan timbangan. 2500 gram)
(Depkes RI, 2005)
5. Status Kelengkapan imunisasi Kuesioner Nominal 1 = Lengkap
imunisasi dasar dan lanjutan yang 0 = Tidak lengkap
anak
didapat balita sesuai

20
dengan umurnya yang
tercatat pada buku KIA.
6. Usia anak Selisih tanggal bulan Kuesioner Nominal 1 = 0-23 bulan
tahun pemeriksaan 2 = 24-59 bulan
dengan tanggal bulan
tahun lahir anak yang
tercatat pada buku KIA.
7. Pendidikan Jenjang pendidikan Kuesioner Nominal 1 = Tingkat
Ibu formal terakhir yang pendidikan rendah (SD,
SMP)
dicapai oleh ibu 2 = Tingkat
pendidikan tinggi (SMA,
PT)
8. Sumber air Gambaran sumber air Kuesioner Nominal 1 = Sungai
yang digunakan sehari- 2 = Pancoran
3 = Sumur
hari 4 = PAM
5 = Sumber lainnya
9. Sanitasi Gambaran penggunaan Kuesioner Nominal 1 = Kloset/WC
BAB saranan untuk BAB 2 = Kebun/Teba
3 = Sungai
4 = Sembarang
tempat
5 = Sarana lainnya

4.5 Prosedur Pengumpulan Data


4.5.1 Jenis Data
Penelitian ini menggunakan data primer berupa hasil wawancara
dengan kuesioner terhadap ibu, pengukuran tinggi badan anak usia 0-59
bulan saat pelaksanaan posyandu di Desa Melaya pada Bulan September
2019, dan data sekunder dari buku Kesehatan Ibu dan Anak milik
responden.
4.5.2 Sumber Data
Data primer bersumber langsung dari responden melalui pengisian
kuisioner mengenai jenis kelamin anak, pendidikan terakhir ibu, riwayat
ASI eksklusif, sumber air, dan sanitasi BAB serta pengukuran langsung
terhadap panjang/tinggi anak. Data sekunder bersumber dari buku
Kesehatan Ibu dan Anak milik responden yang meliputi tanggal lahir anak,
berat badan lahir anak, dan status imunisasi anak.
4.5.3 Cara Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan melalui wawancara dengan
menggunakan kuesioner terstruktur. Wawancara dilakukan pada saat

21
kegiatan posyandu berlangsung terhadap ibu dan anak yang datang, serta
melihat buku KIA milik responden. Selain itu juga dilakukan kegiatan
pengukuran tinggi badan anak. Setelah didapatkan sampel yang memenuhi
kriteria inklusi dan eksklusi, maka dilanjutkan dengan teknik analisis data.
4.5.4 Instrumen Penelitian
Instrumen dalam penelitian ini berupa kuesioner terstruktur, alat tulis,
papan ukur atau microtoise. Alat tulis adalah alat yang digunakan untuk
mencatat dan melaporkan hasil penelitian berupa: pulpen, kertas, dan laptop.

4.6 Cara Pengolahan dan Analisis Data


4.6.1 Pengolahan Data
Data yang didapatkan diolah menggunakan SPSS sehingga dihasilkan
informasi untuk menjawab tujuan penelitian. Proses pengolahan data
meliputi editing, coding, entry, dan cleaning.
1. Editing
Data yang telah dikumpulkan dicek kembali dan diperbaiki apabila
terdapat informasi yang tidak lengkap atau tidak jelas. Apabila terdapat
kejanggalan dapat kembali ditelusuri pada register.
2. Coding
Setelah data lengkap dan jelas, dilakukan pemberian kode (coding)
menjadi bentuk angka serta nomor atau kode tiap variabel agar dapat
mempermudah entry data.
3. Entry
Memasukkan data yang sudah diedit dan dicoding ke dalam software
SPSS.
4. Cleaning
Menggolongkan, mengurutkan, serta menyerderhanakan data sehingga
mudah dibaca dan diinterpretasikan. Apabila terdapat kesalahan kode,
atau ketidaklengkapan data, dapat dilakukan pembetulan.
4.6.2 Analisis Data
Data yang diperoleh dalam penelitian ini diolah dengan software komputer.
Semua data yang diperoleh dimasukkan dalam program SPSS (sebuah program
statistik) untuk dianalisis. Analisis data dilakukan secara univariat.

22
BAB V
HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Hasil Penelitian


Penelitian ini telah dilakukan dengan melakukan pengukuran tinggi
badan pada anak saat pelaksannan posyandu di wilayah Dea Malaya pada
bulan September 2019 dengan didapatkan jumlah sampel adalah 148 sampel
yang telah memenuhi syarat-syarat penelitian, berupa data hasil pengukuran
tinggi badan dan hasil wawancara dengan ibu anak untuk menilai faktor
risiko. Sebelum dilakukan wawancara dijelaskan terlebih dahulu mengenai
penelitian tersebut serta responden mengisi persetujuan setelah penjelasan
(informed consent).
Berdasarkan hasil wawancara dengan ibu anak, data kemudian dicatat
dan dibuat kelompok karakteristik dari ibu dan anak untuk mengetahui
faktor risiko yang mungkin terkait dengan keadaan status gizi anak. Data
tinggi badan disesuaikan berdasarkan tabel tinggi badan berdasarkan umur
dari WHO untuk mengetahui kejadian stunting pada anak.

5.1.1 Karakteristik Responden

Pada penelitian ini didapatkan jenis kelamin anak memiliki proporsi 60%
untuk laki-laki dan 40% untuk perempuan. Beda rentangan tinggi anak hampir
mendekati 75 cm. Mayoritas anak berada pada rentangan usia 24 – 59 bulan.
Berdasarkan tingkat pendidikan ibu, mayoritas ibu-ibu di Desa Melaya memiliki
tingkat pendidikan menengah (SMP dan SMA). Hampir seluruh bayi yang lahir di
Desa Melaya memiliki berat badan lahir normal. (Tabel 5.1)

23
Tabel 5.1 Distribusi Karakteristik Sampel (n=148 balita)
Karakteristik Jumlah Proporsi (%)
Jenis kelamin anak
Laki-laki 90 60.8
Perempuan 58 39.2
Tinggi badan anak
Rentangan (cm) 56– 109
Rata-rata  SD (cm) 80.27  13.22
Usia anak
0-23 bulan 82 55.4
24-59 bulan 66 44.6
Pendidikan terakhir ibu
Tidak Sekolah 1 0.7
Tamat SD 27 18.2
Tamat SMP 42 28.4
Tamat SMA 65 43.9
Tamat perguruan tinggi 13 8.8
Berat badan bayi lahir
BBLR 5 3.4
Normal 143 96.6
ASI eksklusif
Ya 123 83.1
Tidak 25 16.9
Imunisasi
Lengkap 147 99.3
Tidak Lengkap 1 0.7
Sumber air
Sumur 84 56.8
PAM 32 21.6
Mata air 32 21.6
Sanitasi BAB
Kloset/WC 144 97.3
Tidak ada Kloset/WC 4 2.7

5.1.2 Prevalensi Stunting pada Balita di Desa Melaya


Hasil pengukuran yang dilakukan saat pelaksanaan posyandu di Desa
Melaya didapatkan rentang tinggi badan anak antara 52,5 – 109 cm. Data tersebut
kemudian dikelompokkan berdasarkan usia dan berdasarkan jenis kelamin
kemudian dicari z score masing-masing untuk tabel tinggi badan berdasarkan
umur dari Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization). Hasil
interpretasi z score dari tinggi badan berdasarkan umur adalah dibawah -2 SD
untuk Stunting, dan nilai yang lainnya adalah normal.

24
Tabel 5.2 Prevalensi Stunting pada Balita di Desa Melaya (n=148 balita)
Status TB/U Jumlah (n) Proporsi
Normal 107 72.3
Stunting 41 27.7
Total 148 100

5.1.3 Proporsi Stunting berdasarkan Karakteristik Balita di Desa Melaya


Hasil penelitian menunjukan bahwa proporsi stunting lebih besar pada laki-
laki dibandingkan perempuan (Tabel 5.3), dengan proporsi stunting 27% pada
laki-laki dan 14% pada perempuan. Proporsi stunting lebih tinggi pada balita
yang tidak mendapatkan ASI eksklusif dibandingkan dengan yang mendapatkan
ASI eksklusif (Tabel 5.3). Proporsi stunting lebih tinggi pada balita dengan
riwayat berat badan lahir rendah dibandingkan dengan yang memiliki berat badan
lahir normal (Tabel 5.3). Proporsi stunting lebih tinggi pada balita dengan rentang
usia 24 – 59 bulan dibandingkan dengan rentang usia 0 – 23 bulan (Tabel 5.3).

Tabel 5.3 Proporsi Stunting berdasarkan Karakteristik Balita (Jenis kelamin, Usia,
pemberian ASI ekslusif, Status Imunisasi dan Berat Lahir) di Desa Melaya
Status Gizi berdasarkan
TB/U Total
Variabel
Stunting Normal N(%)
N(%) N (%)
Jenis Kelamin
Laki-laki 27 (30) 63 (72.5) 90 (100)
Perempuan 14 (24.1) 44 (72.2) 58 (100)
Berat Badan
Lahir Anak
BBLR 2 (40) 3 (60) 5 (100)
Normal 39 (27.3) 104 (72.7) 143 (100)
ASI Eksklusif
Ya 31 (25) 88 (71.5) 119 (100)
Tidak 10 (34) 19 (76) 29 (100)
Status
Imunisasi
Lengkap 41 (27.9) 106 (72.1) 147 (100)
Tidak Lengkap 0 (0) 1 (100) 1 (100)
Usia Anak
0 – 23 bulan 16 (19.5) 66 (80.5) 82 (100)
24 – 59 bulan 25 (37.9) 41 (62.1) 66 (100)

25
5.1.4 Proporsi Stunting berdasarkan Karakteristik Ibu Balita di Desa Melaya
Proporsi stunting lebih tinggi pada balita dengan ibu yang memiliki tingkat
pendidikan rendah dibandingkan dengan ibu yang memiliki tingkat pendidikan
tinggi (Tabel 5.4). Berdasarkan sumber air, proporsi stunting lebih tinggi pada
sumber air yang non-PAM dibandingkan dengan PAM. Berdasarkan sanitasi
BAB, proporsi stunting sedikit lebih tinggi pada jamban dinbandingkan dengan
jamban.

Tabel 5.4 Proporsi Stunting berdasarkan Karakteristik Ibu Balita


(Pendidikan Ibu , Sumber air dan Sanitasi Lingkungan) di Desa Melaya
Status Gizi berdasarkan
Total
Variabel TB/U ((n(%))
N(%)
Stunting Normal
Tingkat Pendidikan Ibu
Tingkat Pendidikan Rendah 27 (31,8) 43 (68,2) 70 (100)
(SD & SMP)
Tingkat Pendidikan Tinggi 14 (17.9) 64 (82) 78 (100)
(SMA & PT)
Sumber Air
PAM 6 (18.75) 26 (81.25) 32 (100)
Non PAM (sumur, mata air) 35 (30.2) 81 (69.8) 116 (100)
Sanitasi BAB
Jamban 40 (27.8) 104 (72.2) 144 (100)
Non Jamban 1 (25) 3 (75) 4 (100)
5.2 Pembahasan Penelitian
RISKESDAS tahun 2013 menyebutkan bahwa proporsi rumah tangga
secara nasional yang memiliki sumber air bersih baik sebesar 82,2%, sedangkan
proporsi rumah tangga yang BAB di jamban sebesar 81,9%. Pada penelitian ini
didapatkan bahwa hanya sebagian penduduk di Desa Melaya telah terjangkau
dengan sumber air bersih (PAM). Sebagian besar penduduk Desa Melaya
mendapatkan sumber airnya dari sumur, dengan presentasi 56.8%. Berkaitan
dengan sanitasi BAB didapatkan bahwa seluruh masyarakat di Desa Melaya telah
memiliki fasilitas milik sendiri untuk BAB. Hal ini menunjukan bahwa kondisi
sanitasi BAB Desa Melaya dalam kondisi baik.
Prevalensi stunting di Desa Melaya adalah 27.7 % (Tabel 5.2).
Dibandingkan dengan data Riskesdas pada tahun 2017 dimana disebutkan
prevalensi balita stunting secara nasional adalah 30,8%, prevalensi stunting di

26
Desa Melaya berada di bawah prevalensi nasional (Riskesdas, 2018). Perbedaam
nilai prevalensi selain dipengaruhi karakteristik faktor-faktor resiko stunting di
Desa Melaya, dapat juga dipengaruhi oleh metode pengambilan sampel, dimana
data dari RISKESDAS didapatkan dari clustered sampling secara acak, sedangkan
pada penelitian ini menggunakan consecutive sampling pada acara posyandu Desa
Melaya, sehingga dapat terpengaruhi oleh ibu-ibu yang tidak hadir dalam acara
posyandu. Ibu-ibu yang tidak hadir kemungkinan memiliki sifat lebih tidak peduli
terhadap kesehatan anaknya.
Proporsi stunting lebih besar pada laki-laki dibandingkan perempuan (Tabel
5.3). Hal ini sejalan dengan penelitian Semba, dkk. (2008) yang menunjukan
bahwa prevalensi stunting lebih besar pada anak laki-laki dibandingkan dengan
anak perempuan. Hasil penelitian lain menunjukkan bahwa jenis kelamin anak
adalah prediktor yang kuat dari stunting dan severe stunting pada anak usia 0-23
bulan dan 0-59 bulan. Anak perempuan memiliki risiko yang lebih rendah
dibandingkan anak laki-laki dalam hal ini. Selama masa bayi dan masa kanak-
kanak, anak perempuan cenderung lebih rendah kemungkinannya menjadi
stunting dan severe stunting daripada anak laki-laki, selain itu bayi perempuan
dapat bertahan hidup dalam jumlah lebih besar daripada bayi laki-laki di
kebanyakan negara berkembang termasuk Indonesia (Ramli, dkk., 2009).
Proporsi stunting lebih tinggi pada balita yang tidak mendapatkan ASI
eksklusif dibandingkan dengan yang mendapatkan ASI eksklusif (Tabel 5.3).
Temuan ini sejalan dengan penelitian Hien dan Kam (2008) yang menemukan
bahwa risiko menjadi stunting 3,7 kali lebih tinggi pada balita yang tidak diberi
ASI Eksklusif (ASI < 6 bulan) dibandingkan dengan balita yang diberi ASI
Eksklusif (≥ 6 bulan) (Hien dan Kam, 2008). Menurut Henningham & McGregor
dalam Gibney (2008), ASI juga memiliki manfaat lain, yaitu meningkatkan
imunitas anak terhadap penyakit, berdasarkan penelitian pemberian ASI dapat
menurunkan frekuensi diare, konstipasi kronis, penyakit gastrointestinal, infeksi
traktus respiratorius, serta infeksi telinga. Secara tidak langsung, ASI juga
memberikan efek terhadap status gizi anak.
Penelitian Neldawati (2006) menunjukkan bahwa status imunisasi
memiliki hubungan signifikan terhadap indeks status gizi TB/U. Milman, dkk.

27
(2005), juga mengemukakan bahwa status imunisasi menjadi underlying factor
dalam kejadian stunting pada anak <5 tahun. Penelitian lain juga menunjukkan
bahwa status imunisasi yang tidak lengkap memiliki hubungan yang signifikan
dalam kejadian stunting pada anak usia <5 tahun (Taguri, dkk., 2007). Namun
pada penelitian ini kami tidak memiliki cukup data anak yang tidak terimunisasi,
kemungkinan akibat cakupan imunisasi di Desa Melaya yang sudah luas.
Proporsi stunting lebih tinggi pada balita dengan riwayat berat badan lahir
rendah dibandingkan dengan yang memiliki berat badan lahir normal (Tabel 5.3).
Hasil penelitian ini menyatakan bahwa kejadian stunting cenderung ditemukan
pada balita dengan berat badan lahir rendah (BBLR). Temuan tersebut sejalan
dengan hasil penelitian tentang faktor resiko stunting pada balita 24-59 bulan yang
dilakukan di Sumatera pada tahun 2013 yang menyebutkan bahwa balita yang
memiliki berat lahir kurang mempunyai risiko 1.31 kali mengalami stunting
dibandingkan dengan balita berat lahir normal (Oktarina, 2013). Berat lahir
merupakan prediktor kuat terhadap penentuan ukuran tubuh di kemudian hari,
karena pada umumnya bayi yang mengalami Intra Uterine Growth Retardation
(IUGR) tidak dapat mengejar pertumbuhan ke bentuk normal selama masa kanak-
kanak (Barker, 2008).
Proporsi stunting lebih tinggi pada balita dengan rentang usia 24 – 59
bulan dibandingkan dengan rentang usia 0 – 23 bulan (Tabel 5.3). Hal ini sejalan
dengan Ramli, dkk. (2009) menunjukan prevalensi stunting dan severe stunting
lebih tinggi pada anak usia 24-59 bulan, yaitu sebesar 50% dan 24%,
dibandingkan anak-anak berusia 0-23 bulan. Temuan tersebut sejalan dengan
penelitian di Bangladesh, India dan Pakistan dimana anak-anak berusia 24 – 59
bulan memiliki risiko tinggi stunting. (Ramli, dkk., 2009).
Proporsi stunting lebih tinggi pada balita dengan ibu yang memiliki tingkat
pendidikan rendah dibandingkan dengan ibu yang memiliki tingkat pendidikan
tinggi (Tabel 5.4). Hasil penelitian ini serupa dengan penelitian oleh Khoirun dkk
tahun 2015, pendidikan ibu berhubungan dengan kejadian stunting pada balita,
dilihat dari distribusi data yang menunjukkan bahwa lebih dari separuh ibu balita
stunting memiliki tingkat pendidikan yang rendah (61,8%). Secara biologis ibu
adalah sumber hidup anak. Tingkat pendidikan ibu banyak menentukan sikap dan

28
menghadapi berbagai masalah, misalnya mencari vaksinasi untuk anaknya dan
memberikan oralit saat diare. Anak-anak dari ibu yang mempunyai latar
pendidikan lebih tinggi akan mendapat kesempatan hidup serta tumbuh lebih baik.
Tinggi rendahnya tingkat pendidikan ibu erat kaitannya dengan tingkat
pengetahuan terhadap perawatan kesehatan, kehamilan dan pasca persalinan.
Disamping itu pendidikan berpengaruh pula pada faktor sosial ekonomi lainya
seperti pendapatan, pekerjaan, kebiasaan hidup, makanan, perumahan dan tempat
tinggal. (Suhardjo, 2003).
Tingkat pendidikan ibu turut pula menentukan mudah tidaknya seorang ibu
dalam menyerap dan memahami pengetahuan gizi yang didapatkan, sehingga
nantinya ibu dapat memilih makanan dengan bijak dan tepat, dapat menjadi lebih
tanggap terhadap masalah gizi di dalam keluarga dan diharapkan bisa menangani
dengan tepat sesegera mungkin. (Khoirun, 2015). Didukung oleh penelitian oleh
Semba dkk pada tahun 2008, bahwa tingkat pendidikan ibu secara signifikan
berkaitan dengan status gizi anak. Ibu yang memiliki pendidikan tinggi akan
berdampak pada pola asuh yang diberikan kepada anak. Peningkatan pendidikan
ibu secara signifikan berkaitan dengan penurunan kejadian stunting pada anak
balita.
Hasil mengenai sanitasi lingkungan berkaitan dengan sumber air pada
penelitian ini sejalan dengan penelitian Checkley, dkk. (2004) dimana ditemukan
bahwa anak dengan kondisi air yang kurang baik 54% lebih sering mengalami
diare daripada anak yang kondisi air dan sanitasinya paling baik dan signifikan
terhadap pertumbuhan tinggi anak tersebut. . Hasil penelitian Oktavia (2016)
menunjukkan bahwa ada hubungan signifikan antara balita dengan sanitasi
lingkungan tidak baik dengan kejadian stunting. Selain itu, studi Checkley, dkk.
(2004) menemukan bahwa kurangnya sistem pembuangan air limbah/kotoran
yang cukup berhubungan dengan defisitnya tinggi badan anak 0.9 cm (95%CI=0.2
—1.7 cm) saat usia 24 bulan. Namun, berkaitan dengan sanitasi BAB sangat
bertolak belakang dengan hasil penelitian lainnya terkait stunting dan sanitasi
BAB. Perbedaan hasil penelitian ini dengan penelitian oleh Checkley, dkk (2004)
kemungkinan diakibatkan oleh metode pengumpulan sampel, dimana pada
penelitian Checkley, dkk (2004) melakukan survey langsung ke rumah tangga

29
sampel sehingga penentuan sanitasi baik atau buruk dapat lebih seragam
ditentukan, sedangkan pada penelitian ini menggunakan metode wawancara
sehingga dapat terjadi perbedaan persepsi sanitasi baik atau buruk dari
pewawancara dan responden Hal ini menyimpulkan bahwa kejadian stunting di
Desa Melaya cenderung disebabkan oleh sumber air yang kurang baik.

5.3 Kelemahan Penelitian


Kelemahan penelitian ini adalah menggunakan 2 alat ukur yang memiliki
keakuratan yang berbeda. Kelemahan lain juga terletak pada alat pengukuran
yang digunakan dalam penelitian ini, yakni microtoise dan papan ukur. Alat ini
memiliki ketelitian hingga 0,1 cm, namun juga memiliki kelemahan, yaitu
keakuratan hasil pengukuran dapat dipengaruhi oleh penglihatan pengukur. Selain
itu pada saat penelitian berlangsung juga tidak dilakukan kalibrasi (menggunakan
tongkat satu meter untuk memastikan ukuran 1meter memang benar 1 meter) dan
pada saat pemeriksaan panjang badan dengan papan ukur seringkali anak tidak
dalam kondisi tenang sehingga pengukuran dilakukan dengan tergesa-gesa.
Variabel ASI ekslusif memiliki kelemahan pada anak yang berusia kurang dari 6
bulan, dimana jika balita kurang dari 6 bulan hanya mendapatkan ASI saja maka
balita tersebut dianggap kedalam kategori ASI ekslusif. Penelitian ini juga tidak
memiliki distribusi sampel yang rata terutama pada kategori imunisasi serta
sanitasi BAB

30
BAB VI
SIMPULAN DAN SARAN

6.1 Simpulan
1. Proporsi stunting di Desa Melaya sebesar 27.7%
2. Proporsi kejadian stunting berdasarkan karakteristik balita didapatkan
lebih tinggi pada balita laki-laki, balita dengan rentang usia 24 – 59
bulan, tanpa asi eksklusif, memiliki status imunisasi yang tidak lengkap
dan balita dengan berat badan lahir rendah (BBLR).
3. Proporsi kejadian stunting berdasarkan karakteristik ibu didapatkan
lebih tinggi pada balita dengan ibu yang memiliki tingkat pengetahuan
rendah, balita dengan sumber air non PAM, dan dengan sanitasi BAB
berupa jamban.

6.2 Saran
Saran dari penelitian ini adalah :
1. Perlu dilakukan intervensi seperti pelaksaan penyuluhan tentang
perbaikan gizi, stunting dan sanitasi lingkungan di Desa Melaya
mengingat tingginya proporsi kejadian stunting di Desa Melaya.
2. Perlu dilakukan optimalisasi pemantauan gizi balita pada pelaksanaan
posyandu di Desa Melaya
3.

31
DAFTAR PUSTAKA

ACC/SCN. 1997. 3rd Report on The World Nutrition Situation. Geneva. Diakses
pada 22 September 2019 dari www.unscn.org

Almatsier, Sunita (ed). 2005. Penuntun Diet edisi baru. Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama.

Anisa, P. (2012). Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Stunting


pada Balita Usia 25-60 Bulan di Keluharan Kalibaru Depok Tahun 2012.
Depok.

Arisman. 2009. Buku Ajar Ilmu Gizi: Gizi dalam Daur Kehidupan. Jakarta: EGC.
Arora, Chandralekha. 2009. Child Nutrition. Jaipur: ABD Publishers.

Astari, L. D., A. Nasoetion, dan C. M. Dwiriani. 2005. Hubungan Karakteristik


Keluarga, Pola Pengasuhan, dan Kejadian Stunting Anak Usia 6-12 Bulan.
Media Gizi dan Keluarga 29 (2): 40-46. Diakses pada 15 September 2019
dari www.repository.ipb.ac.id

Berg A. dan Muscat R. J. 1985. Faktor Gizi (Di-Indonesiakan oleh Achmad


Djaeni Sediaoetama). Jakarta: Bhratara Karya Aksara

Branca, Francesco. 2006. Nutritional Solutions to Major Health Problems of


Preschool Children: How to Optimise Growth and Development. Journal of
Pediatric Gastroenterology and Nutrition 43:S4–S7. Diakses pada 15
September 2019 dari www.ncbi.nlm.nih.gov

Checkley W, Gilman RH, Black RE, Epstein LD, Cabrera L, Sterling CR, &
Moulton LH. 2004. Effect of water and sanitation on childhood health in a
poor Peruvian Peri-urban Community. Lancet, 363, 112—18.

Direktorat Gizi Masyarakat. 2018. Buku Saku Pemantauan Status Gizi Tahun
2017. Jakarta: Kementerian Kesehatan.

Henningham & McGregor. 2008. Public Health Nutrition editor M.J. Gibney, dkk
(alih bahasa: Andry Hartono). Jakarta: EGC.

32
Hien, N. N. dan S.Kam. 2008. Nutritional Status and the Characteristics Related
to Malnutrition in Children Under Five Years of Age in Nghean, Vietnam. J
Prev Med Public Health, 41(4): 232-240. Diakses pada 18 September 2019
dari www.ncbi.nlm.nih.gov

Istiftiani, Nourmatania. 2011. Hubungan Pemberian Makanan Pendamping ASI


dan Faktor Lain dengan Status Gizi Naduta di Kelurahan Depok
Kecamatan Pancoran Mas Kota Depok Tahun 2011 (Skripsi). Depok: FKM
UI.

Kalanda, BF, FH Verhoeff, dan BJ Brabin. 2006. Breast and Complementary


Feeding Practices In Relation to Morbidity and Growth In Malawian
Infants. European Journal of Clinical Nutrition 60, 401–407. Diakses pada
18 September 2019 dari www.ncbi.nlm.nih.gov.

Kementerian Kesehatan. 2010. Laporan Hasil Riset Kesehatan Dasar Indonesia


Tahun 2010. Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.

Kementrian Kesehatan. 2011. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia


No.: 1995/Menkes/SK/XII/2010. Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik
Indonesia.

Khaldun, Syamsu. 2008. Z-Skor Status Gizi Balita Di Provinsi Sulawesi Selatan
2007. J. Sains & Teknologi, Vol. 8 No. 2: 112 – 125. Diakses pada 18
September 2019 dari www.pasca.unhas.ac.id

Khanna, S. B., dkk. 2007. Fetal Origin of Adult Disease. JK Science Vol. 9 No. 4.
Diakses pada 18 September 2019 dari www.jkscience.org

Kumar, Dinesh, dkk. 2006. Influence of Infant-feeding Practices on Nutritional


Status of Under-five Children. Indian J Pediatr, 73 (5): 417-421. Diakses
pada 18 September 2019 dari www.ncbi.nlm.nih.gov

Kusharisupeni. 2004. Peran Status Kelahiran Terhadap Stunting pada Bayi :


Sebuah Studi Prospektif. J Kedokter Trisakti, Vol.23 No.3. Diakses pada 18
September 2019 dari www.univmed.org

33
Lesiapeto, dkk. 2010. Risk Factors of Poor Anthropometric Status In Children
Under Five Years of Age Living In Rural Districts of The Eastern Cape And
Kwazulu-Natal Provinces, South Africa. S Afr J Clin Nutr, 23(4): 202-207.
Diakses pada 18 September 2019 dari www.sajcn.co.za

Masithah T., Soekirman, dan D. Martianto. 2005. Hubungan Pola Asuh Makan
Dan Kesehatan Dengan Status Gizi Anak Batita Di Desa Mulya Harja.
Media Gizi Keluarga, 29 (2): 29-39. Diakses pada 13 September 2019 dari
www.repository.ipb.ac.id

Medhin, Girma dkk. 2010. Prevalence and Predictors Of Undernutrition Among


Infants Aged Six and Twelve Months In Butajira, Ethiopia: The P-MaMiE
Birth Cohort. Medhin dkk. BMC Public Health, 10:27. Diakses pada 13
September 2019 dari www.biomedcentral.com

Mugianti, S. Mulyadi, A. Anam, A.K. Najah, Z.N. 2018. Faktor penyebab anak
Stunting usia 25-60 bulan di Kecamatan Sukorejo Kota Blitar. Blitar: Jurnal
Ners dan Kebidanan.
Narendra, M. B., dkk. 2002. Tumbuh Kembang Anak dan Remaja. Jakarta:
Sagung Seto.

Neldawati. 2006. Hubungan Pola Pemberian Makan pada Anak dan


Karakteristik Lain dengan Status Gizi Balita 6-59 Bulan di Laboratorium
Gizi Masyarakat Puslitbang Gizi dan Makanan (P3GM) (Analisis Data
Sekunder Data Balita Gizi Buruk Tahun 2005) (Skripsi). Depok: FKM UI.

Oktavia, Herni. 2016. Hubungan Pengetahuan Gizi dan Perilaku Higiene Sanitasi
Terhadap Kejadian Stunting pada Balita Usia 7-24 Bulan di Desa Hargorejo
Kulon Progo. Skripsi. Surakarta: Universitas Muhammadiyah Surakarta

Oktavia, Rita. 2011. Hubungan Pengetahuan Sikap dan Perilaku Ibu dalam
Pemberian ASI Eksklusif dengan Status Gizi Baduta di Puskesmas Biaro
Kecamatan Ampek Angkek Kabupaten Agam Tahun 2011 (Skripsi). Depok:
FKM UI.

34
Permata, Y. L. 2009. Kelengkapan Imunisasi Dasar Anak Balita dan Faktor-
faktor yang Berhubungan di Rumah Sakit Mary Cileungsi Hijau Bogor,
Maret 2008 (Skripsi). Jakarta: FK UI.

Pfister, AM. 1999. Environmental Sanitation. WHO. Diakses 25 september 2019.


https://www.who.int/docstore/water_sanitation_health/Environmental_sanit/
envindex.htm.

Rahayu, B., Darmawan, S. 2019. Hubungan Karakteristik Balita, Orang Tua,


Higiene dan Sanitasi Lingkungan terhadap Stunting pada Balita. Jurnal
Binawan, vol. 1, no. 1, hh 22 - 27.

Ramli, dkk. 2009. Prevalence and Risk Factors For Stunting and Severe Stunting
Among Under-Fives in North Maluku Province of Indonesia. BMC
Pediatrics 9: 64. Diakses pada 13 September 2019 dari
www.biomedcentral.com

Riskesdas. 2013. Riset Kesehatan Dasar 2013. Badan Penelitian dan


Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI.

Riskesdas. 2018. Riset Kesehatan Dasar 2018. Badan Penelitian dan


Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI.
Sedgh, Gilda, dkk. 2000. Dietary Vitamin A Intake and Nondietary Factors Are
Associated with Reversal of Stunting in Children. The Journal of Nutrition,
130: 2520-2525. Diakses pada 13 September 2019 dari
www.jn.nutrition.org

Semba, R. D. dan M. W. Bloem. 2001. Nutrition and Health in Developing


Countries. New Jersey: Humana Press.

Semba, R. D., dkk. 2008. Effect of Parental Formal Education on Risk of Child
Stunting in Indonesia and Bangladesh: A Cross Sectional Study. The Lancet
Article, 371: 322–328. Diakses pada 13 September 2019 dari
www.lancet.com

Senbanjo, I. O., dkk. 2011. Prevalence of and Risk factors for Stunting mong
School Children and Adolescents in Abeokuta, Southwest Nigeria. J Health

35
Popul Nutr, 29(4): 364-370. Diakses pada 13 September 2019 dari
www.bioline.org

Suhardjo. 1989. Sosio Budaya Gizi. Bogor: IPB PAU Pangan & Gizi.

Suhardjo. 1992. Pemberian Makanan pada Bayi dan Anak. Yogyakarta: Kanisius.
Supriasa, I. D. Y. 2002. Penilaian Status Gizi. Jakarta: EGC.

Suharjo. 1996. Gizi dan Pangan. Yogyakarta: Kanisius.

Taguri, A. E., dkk. 2008. Risk Factor For Stunting Among Under Five in Libya.
Public Health Nutrition, 12 (8), 1141-1149. Diakses pada 13 September
2019 dari www.ncbi.nlm.nih.gov

Tehsome, Beka, dkk. 2009. Magnitude and Determinants of Stunting In Children


Underfive Years of Age In Food Surplus Region of Ethiopia: The Case Of
West Gojam Zone. Ethiop. J. Health Dev., 23(2): 98-106. Diakses pada 13
September 2019 dari www.ejhd.uib.no

The Lancet. 2008. The Lancet’s Series on Maternal and Child Undernutrition
Executive Summary. Diakses pada 13 September 2019 dari
www.thelancet.com

UNSCN. 2008. 6th Report on The World Nutrition Situation, Progress in


Nutrition. Diakses pada 13 September 2019 dari www.unscn.org

WHO. 2010. Nutrition Landscape Information System (NLIS) Country Profile


Indicators: Interpretation Guide. Switzerland:WHO press.
Wiyogowati, C. Kejadian Stunting pada Anak Berumur di Bawah Lima Tahun 0-
59 Bulan di Provinsi Papua Barat Tahun 2010 (Analisis Data Riskesdas
2010). Fakultas Kesehatan Marsyarakat, Universitas Indonesia. Jakarta.
2012.
Yimer, G. 2000. Malnutrition Among Children in Southern Ethiopia: Levels and
Risk Factors. Ethiop. J. Health Dev, 14(3): 283-292. Diakses pada 13
September 2019 dari www.ejhd.uib.no

36
37
LAMPIRAN

Lampiran 1. Informed Consent No. Informed Consent: P / _____

Informed Consent
Informasi Penelitian
Judul: “Gambaran Kejadian Stunting pada Balita di Desa Melaya Kabupaten Jembrana
Tahun 2019”

Bapak/Ibu yang terhormat


Kami dari Mahasiswa Pendidikan Profesi Dokter, Fakultas Kedokteran Universitas
Udayana memohon partisipasi anak Bapak/Ibu untuk penelitian ini.
Penelitian ini adalah upaya kami untuk mengetahui prevalensi dan faktor risiko kejadian
stunting pada balita di Desa Melaya. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan
tinjauan dalam perumusan kebijakan terkait upaya-upaya penanggulangan gizi di wilayah
kerja UPT. Puskesmas I Melaya dan di Bali pada umumnya. Segala sumber data akan
dirahasiakan oleh peneliti.

Pernyataan Persetujuan
“Dengan ini saya bersedia mengijinkan/tidak mengijinkan* anak saya untuk
berpartisipasi dalam penelitian yang berjudul “Gambaran Kejadian Stunting pada Balita
di Desa Melaya Kabupaten Jembrana Tahun 2019” tanpa paksaan dari siapapun. Segala
isi dari persetujuan yang saya kemukakan adalah bersumber dari diri saya pribadi dan
saya bertanggung jawab atas persetujuan yang saya berikan”
Nama :
Umur :
Hormat saya

(_________________________)

*coret yang tidak perlu

38
Lampiran 2. Kuesioner Penelitian Kalau > 6 bulan: Apakah minum
ASI sampai usia 6 bulan? (Niki
No. Kuesioner: P / __________
adik ne nginum ASI kanti 6
C. Data Balita bulan?)
Umur : a. Ya b. Tidak
Jenis Kelamin : 4. Apakah imunisasi adiknya
Tinggi Badan : lengkap? (Sampun jangkep
Berat Badan : imunisasi adik ne?)
a. Ya
Lingkarilah (O) pilihan yang b. Tidak
dipiih! 5. Dimana Ibu mendapatkan sumber
II. Faktor Risiko air? (Ring dije biasane Ibu
1. Apa tingkat Pendidikan terakhir ngerereh toya?)
Ibu? (Ibu naanin antuk a. Sungai
masekolah? Nganteg kelas b. Pancoran
kude?) c. Sumur
a. Tidak pernah sekolah/tidak d. Air PAM
tamat SD e. Lainnya, _________
b. SD 6. Dimana biasanya anggota
c. SMP keluarga Ibu BAB? (Ring dije
d. SMA biasane anggota keluarga Ibu
e. Perguruan Tinggi mekoratan (BAB)?)
2. Berapa berat badan lahir a. Kloset/WC
adiknya? (Kude baat adik ne pas b. Kebun/Teba
lekad?) c. Sungai
_______________ kg d. Disembarang tempat
a. ≥ 2500 gr e. Lainnya, __________
b. < 2500 gr
3. Kalau ≤ 6 bulan: Apakah adiknya
masih minum ASI saja? (Niki
adik ne kari nginum ASI
manten?)

39
LAMPIRAN 3. Buku KIA: Catatan Imunisasi Anak

40
LAMPIRAN 4. Buku KIA : Kartu Menuju Sehat

41

Anda mungkin juga menyukai