Anda di halaman 1dari 20

STUNTING

Stunting ini merupakan kondisi akan gagalnya tumbuh pada anak balita akibat dari kekurangan gizi
kronis yang membuat si anak tumbuh terlalu pendek untuk usianya. Tepatnya, kekurangan gizi itu terjadi
sejak bayi dalam kandungan dan pada masa awal setelah bayi lahir. Namun, baru nampak setelah bayi
berusia 2 tahun.
Parameter balita pendek (stunted) dan sangat pendek (severely stunted) ialah balita dengan panjang badan
(PB/U) atau tinggi badan (TB/U) menurut umurnya dibandingkan dengan standar baku dari WHO-MGRS
(Multicentre Growth Reference Study) 2006 (WHO Multicentre Growth Reference Study Group, 2006).
Sementara itu, definisi stunting versi dari Kementerian Kesehatan RI adalah kondisi anak balita dengan
nilai z-score-nya kurang dari -2 SD/standar deviasi (stunted) dan kurang dari -3 SD (severely stunted)
(Trihono et al., 2015).
Stunting ini disebabkan oleh faktor multi dimensi dan tidak semata-mata karena faktor gizi buruk yang
dialami ibu hamil maupun anak balita. Bila kita cermati dari data Riskesdas tahun 2010, prevalensi balita
pendek terus meningkat jelas pada kelompok umur 0-23 bulan. Dari angka 28,1% pada kelompok umur <
5 bulan, menjadi 32,1% pada kelompok umur 6-11 bulan, hingga menjadi 41,5% pada kelompok umur
12-23 bulan (RISKESDAS, 2013).
Padahal, kita tahu kondisi tinggi badan ini sangat berkaitan dengan produktivitas. Kondisi kurangnya
tinggi badan saat dewasa adalah akibat dari stunting masa kecil yang berhubungan dengan hilangnya
produktivitas sebesar 1,4%. Lebih jauh, stunting ini juga menurunkan tingkat kecerdasan (IQ) seseorang
dari 5-11 poin (World Bank) (The World Bank, 2007), (‘Nutritional failure in Ecuador: Causes,
consequences, and solutions’, 2007). Bahkan menurut Mendez, stunting yang terjadi pada usia terlalu dini
cenderung membuat kondisi stunting lebih parah (Mendez et al., 2015).
Untuk itu, masa antara kehamilan/janin hingga dua tahun pertama kehidupan anak adalah masa kritis,
disebabkan kebutuhan gizi pada kelompok ini paling tinggi padahal kelompok ini yang paling rawan
memperoleh pola asuh yang salah, akses pelayanan kesehatan yang tidak cukup dan pola pemberian
makan yang tidak tepat.
Stunting ini merupakan kondisi akan gagalnya tumbuh pada anak balita akibat dari kekurangan gizi
kronis yang membuat si anak tumbuh terlalu pendek untuk usianya. Tepatnya, kekurangan gizi itu terjadi
sejak bayi dalam kandungan dan pada masa awal setelah bayi lahir. Namun, baru nampak setelah bayi
berusia 2 tahun.
Parameter balita pendek (stunted) dan sangat pendek (severely stunted) ialah balita dengan panjang badan
(PB/U) atau tinggi badan (TB/U) menurut umurnya dibandingkan dengan standar baku dari WHO-MGRS
(Multicentre Growth Reference Study) 2006 (WHO Multicentre Growth Reference Study Group, 2006).
Sementara itu, definisi stunting versi dari Kementerian Kesehatan RI adalah kondisi anak balita dengan
nilai z-score-nya kurang dari -2 SD/standar deviasi (stunted) dan kurang dari -3 SD (severely stunted)
(Trihono et al., 2015).
Stunting ini disebabkan oleh faktor multi dimensi dan tidak semata-mata karena faktor gizi buruk yang
dialami ibu hamil maupun anak balita. Bila kita cermati dari data Riskesdas tahun 2010, prevalensi balita
pendek terus meningkat jelas pada kelompok umur 0-23 bulan. Dari angka 28,1% pada kelompok umur <
5 bulan, menjadi 32,1% pada kelompok umur 6-11 bulan, hingga menjadi 41,5% pada kelompok umur
12-23 bulan (RISKESDAS, 2013).
Padahal, kita tahu kondisi tinggi badan ini sangat berkaitan dengan produktivitas. Kondisi kurangnya
tinggi badan saat dewasa adalah akibat dari stunting masa kecil yang berhubungan dengan hilangnya
produktivitas sebesar 1,4%. Lebih jauh, stunting ini juga menurunkan tingkat kecerdasan (IQ) seseorang
dari 5-11 poin (World Bank) (The World Bank, 2007), (‘Nutritional failure in Ecuador: Causes,
consequences, and solutions’, 2007). Bahkan menurut Mendez, stunting yang terjadi pada usia terlalu dini
cenderung membuat kondisi stunting lebih parah (Mendez et al., 2015).
Untuk itu, masa antara kehamilan/janin hingga dua tahun pertama kehidupan anak adalah masa kritis,
disebabkan kebutuhan gizi pada kelompok ini paling tinggi padahal kelompok ini yang paling rawan
memperoleh pola asuh yang salah, akses pelayanan kesehatan yang tidak cukup dan pola pemberian
makan yang tidak tepat.
Empat Faktor Penyebab Stunting
Sementara itu, dalam laporan yang dikeluarkan Tim Nasional Percepatan Penanggulangan
Kemiskinan/TNP2K terkait prioritas untuk intervensi anak kerdil (stunting), disebutkan paling tidak ada
empat faktor yang menjadi penyebab stunting.(Kemiskinan/TNP2K, 2017) (Tim Nasional Percepatan
Penanggulangan Kemiskinan/TNP2K, 2018).
Pertama, praktek pengasuhan yang kurang baik. Yakni termasuk kurangnya pengetahuan ibu mengenai
kesehatan dan gizi sebelum dan pada masa kehamilan, serta setelah ibu melahirkan. Faktanya, 60% dari
anak usia 0-6 bulan tidak mendapatkan air susu ibu (ASI) secara ekslusif. Dan 2 dari 3 anak usia 0-24
bulan tidak menerima makanan pendamping air susu ibu (MP-ASI). Harusnya, MP-ASI ini diberikan
ketika balita berusia 6 bulan. Kita tahu, keberadaannya selain berfungsi untuk mengenalkan jenis
makanan baru pada bayi. MP-ASI juga dapat mencukupi kebutuhan nutrisi tubuh bayi yang tidak lagi
dapat disokong oleh ASI. Yang lebih penting, ia dapat membentuk daya tahan tubuh dan perkembangan
sistem imunologis anak terhadap makanan maupun minuman.
Kedua, masih terbatasnya layanan kesehatan termasuk layanan kesehatan untuk ibu selama masa
kehamilan, pasca melahirkan, dan pembelajaran dini yang berkualitas. Data Bank Dunia dan Kemenkes
selama ini menyatakan tingkat kehadiran anak di Posyandu semakin menurun dari 79% (2007) menjadi
64% (2013) dan anak belum mendapat akses yang memadai ke layanan imunisasi. Fakta menarik lainnya,
2 dari 3 ibu hamil belum mengkonsumsi suplemen zat besi yang memadai serta masih terbatasnya akses
ke layanan pembelajaran dini yang berkualitas. Yakni baru 1 dari 3 anak usia 3-6 tahun belum terdaftar di
layanan Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD).
Ketiga, masih kurangnya akses rumah tangga/keluarga ke makanan bergizi. Hal ini dikarenakan harga
makanan bergizi di Indonesia masih tergolong mahal. Menurut sumber Riskesdas 2013, SDKI 2012, dan
Susenas, komoditas makanan di Jakarta 94% lebih mahal dibanding dengan di New Delhi, India. Harga
buah dan sayuran di Indonesia lebih mahal dari Singapura. Kondisi terbatasnya akses makanan bergizi di
Indonesia ini telah berkontribusi pada 1 dari 3 ibu hamil mengalami anemia.
Keempat, kurangnya akses ke air bersih dan sanitasi. Fakta di lapangan saat ini, menunjukkan bahwa
masih ada 1 dari 5 rumah tangga di Indonesia perilaku buang air besar (BAB) di ruang terbuka, serta 1
dari 3 rumah tangga belum memiliki akses ke air minum bersih.
Peran Kesehatan Lingkungan Atasi Stunting
Beberapa penyebab di atas, berkontribusi pada masih tingginya prevalensi stunting di Indonesia. Lalu,
apa peran kesehatan lingkungan atasi stunting?
Untuk itu, perlu segera selamatkan pertumbuhan anak-anak Indonesia agar terhindar dari stunting. Sejak
tahun 2010, di dunia melakukan gerakan global untuk mengatasi stunting yang dikenal dengan Scaling-
Up Nutrition (SUN).
Prinsip dasar gerakan SUN adalah semua penduduk berhak untuk memperoleh akses ke makanan yang
cukup dan bergizi. Indonesia sendiri, sejak tahun 2012 bergabung dalam gerakan tersebut melalui dua
kerangka besar intervensi stunting (SUN Movement, 2011).
Untuk itu, kenali stunting agar pertumbuhan anak jadi penting. Berikut ini hal-hal untuk menyelamatkan
pertumbuhan anak, yaitu:
Pertama, intervensi gizi spesifik. Yaitu intervensi yang ditujukan kepada anak dalam 1.000 Hari Pertama
Kehidupan (HPK) dan berkontribusi pada 30% penurunan stunting. Kerangka kegiatan intervensi gizi
spesifik ini, umumnya dilakukan pada sektor kesehatan. Bentuk kegiatan yang masuk jangka pendek ini,
meliputi intervensi gizi spesifik dengan sasaran: ibu hamil; ibu menyusui dan anak usia 0-6 bulan; serta
ibu menyusui dan anak usia 7-23 bulan.
Kedua, intervensi gizi sensitif. Kerangka kegiatan ini, idealnya tentu dilakukan melalui berbagai kegiatan
pembangunan di luar sektor kesehatan dan berkontribusi pada 70% intervensi stunting.
Ketiga, peran kesehatan lingkungan (sumber air minum, sanitasi, dan pengelolaan sampah) dalam
mengurangi stunting anak di Indonesia. Menurut hasil penelitian (Irianti et al., 2019) bahwa faktor
lingkungan telah terbukti berhubungan dengan stunting sebagai penyebab tidak langsung. Namun, sejauh
mana faktor lingkungan menentukan beban pengerdilan di pedesaan Indonesia masih belum
diselidiki. Oleh karena itu, penelitian ini menyelidiki faktor lingkungan yang menentukan stunting pada
anak U-5 di pedesaan Indonesia.
Penelitian tersebut menggunakan data dari Survei Kehidupan Keluarga Indonesia 2014/2015 (IFLS5) dan
memilih ukuran sampel 2.571 anak balita yang tinggal di daerah pedesaan. Peneliti melakukan analisis
regresi logistik multivariabel dan memperkirakan “population attributable fraction” (PAF) air minum,
sanitasi, dan pengumpulan sampah pada stunting.
Hasil penelitian tersebut (Irianti et al., 2019), menunjukkan bahwa sumber air minum yang tidak memadai
dan pengumpulan sampah yang tidak tepat berhubungan dengan kemungkinan yang lebih tinggi dari
stunting pada anak. Fasilitas sanitasi yang tidak memadai, bagaimanapun, tidak ditemukan secara
signifikan mempengaruhi kemungkinan stunting.
Selain itu, kekayaan rumah tangga adalah pelindung dari risiko stunting. Selanjutnya, analisis PAF
menunjukkan bahwa 21,58% dari beban stunting di antara anak-anak U-5 yang tinggal di daerah pedesaan
dapat dicegah dengan menyediakan akses ke sumber air minum yang lebih baik dan pengelolaan limbah
padat rumah tangga yang lebih baik untuk mencegah infeksi berulang (Irianti et al., 2019).
Jadi, kegiatan ini daya ungkitnya cukup besar dan bisa melibatkan semua sektor. Sasaran intervensi gizi
spesifik ini ialah masyarakat secara umum dan tidak khusus ibu hamil dan balita pada 1.000 HPK. Bentuk
kegiatannya, bisa berupa menyediakan akses dan memastikan ketersediaan terhadap sanitasi maupun air
bersih; melakukan fortifikasi bahan pangan; memberikan pendidikan gizi masyarakat; memberikan
pelayanan PAUD; meningkatkan ketahanan pangan dan gizi; serta kegiatan lainnya yang menunjang
terpenuhinya gizi sensitif.

Ada tujuh poin yang perlu diperhatikan dalam mengatasi permasalah stunting pertama, pola makan
dengan gizi seimbang perlu dibiasakan agar kecukupan nutrisi dan kesehatan balita terjamin.
Kedua, pola asuh dalam pemberian dan perawatan dari mulai kehamilan hingga balita. Bahkan idealnya
diberikan pendidikan sejak remaja putri.
Pemeriksaan kehamilan yang rutin, konsumsi makanan yang tepat saat hamil, merawat bayi, cara
memberi makan dan jenisnya, pemberian asi ekslusif termasuk menjaga kesehatan ibunya. Ketiga,
sanitasi lingkungan, akses air bersih yang sulit, kebiasaan mencuci tangan, buang air besar sembarangan
dapat menimbulkan masalah infeksi pada ibu dan bayinya.
Keempat, perilaku hidup bersih dan sehat. Kebiasaan mencuci tangan dengan sabun, prilaku membuang
sampah dan pengelolaanya, penggunaan alas kaki untuk mencegah kecacingan.
Kelima, mengurangi angka kemiskinan. Kemiskinan identik dengan daya beli yang rendah, lingkungan
yang kumuh serta akses terhadap pendidikan dan kesehatan menjadi rendah.
Keenam, regulasi pendukung berupa peraturan dan sanksi yang tegas untuk mendukung kebijakan yang
dibuat. Dalam setiap kebijakan perlu dibuat daya dorong dengan peraturan pendukung. Ketujuh,
meningkatkan akses pendidikan.
Pendidikan yang baik meningkatkan kualitas dan sosial ekonomi masyarakat. Melalui peningkatan
kualitas pendidikan mampu menunjang faktor lainnya.
Sanitasi lingkungan ternyata berperan besar dalam mencegah kejadian stunting ini. WHO pada 2018
mengumumkan bahwa Indonesia menduduki peringkat kedua sanitasi terburuk di dunia setelah India.
Kondisi ini mempengaruhi kejadian infeksi karena sanitasi yang buruk. Kejadian penyakit diare dan
kecacingan misalnya dapat menggangu proses penyerapan nutrisi makanan.
Hal ini dapat menyebabkan menurunya berat badan bayi dan balita. Apabila hal ini berlangsung lama dan
tidak disertai asupan makanan yang cukup maka dapat menyebabkan stunting.
Faktor air bersih, higiene dan sanitasi lingkungan ternyata berperan penting dalam mengurangi stunting di
indonesia. Penelitian yang dilakukan pada 1.366 anak berusia 0-35 bulan di Indonesia menemukan
prevalensi stunting meningkat pada ibu yang tidak tamat SD, rumah tidak sehat, tidak memiliki jamban
sehat, tidak mencuci tangan dengan sabun, air minum tidak diolah (Torlesse, Cronin, Sebayang, & Nandy,
2016). Sanitasi lingkungan dan akses terhadap air bersih kita memang perlu ditingkatkan.
Kita perlu meningkatkan akses air bersih dan air minum pada masyarakat karena ini adalah kebutuhan
dasar. Perilaku buang air besar sembarangan karena tidak memiliki jamban sehat perlu terus dikurangi
melalui program sanitasi total berbasis masyarakat dan open defecation free (ODF) dengan menjadikan
banyak desa ODF, kebiasaan tidak mencuci tangan dengan sabun dapat dipromosikan melalui program
cuci tangan pakai sabun ke sekolah-sekolah lewat UKS. Kebiasaan memakai alas kaki perlu ditingkatkan
khususnya yang di wilayah kumung dan kantung-kantung kemiskinan.
Prioritas kita jangan hanya intervensi gizi spesifik namun yang tidak kalah penting adalah intervensi gizi
sensitif seperti dalam stratnas pencegahan stunting. Pertama, peningkatan penyediaan air minum aman
dan sanitasi yang layak, Kedua peningkatan akses layanan gizi yang layak dan kesehatan melalui JKN,
KB, PKH.
Ketiga, perbaikan pola asuh dan gizi ibu serta anak melalui pendidikan PAUD, konseling kespro,
perlindungan anak. Keempat, peningkatan akses pangan bergizi melalui akses bantuan pangan non tunai,
fortifikasi bahan pangan utama, kegiatan kawasan rumah pangan lestari, regulasi label dan iklan pangan.

Kebutuhan Harian Penting Masyarakat


Pada dasarnya, penyebab stunting terdiri dari tiga hal utama. Kurangnya asupan gizi, faktor pola asuh,
dan kurangnya akses air bersih dan sanitasi. Namun, beberapa pakar menyebut dari tiga hal tersebut, air
bersih dan sanitasilah yang menjadi faktor terbesar pada kondisi stunting di Indonesia. Faktor air bersih
mempunyai peran yang cukup tinggi, yakni 60% dalam tingkat penurunan stunting pada anak.
Pada kesempatan yang berbeda, Executive Director of Asia Pacific Centre for Ecohydrology (APCE) –
UNESCO C2C, Ignasius Sutapa juga memiliki pandangan terkait hal itu. Menurutnya, air bersih dan
sanitasi menjadi hal penting yang sangat erat pada kebutuhan masyarakat sehari-hari.

Masyarakat membutuhkan air bersih dalam berbagai aspek kehidupan. Mulai dari mandi dan cuci kakus
(MCK), mencuci perlengkapan makan dan dapur, hingga konsumsi. Untuk menyiapkan asupan gizi yang
baik pun, masyarakat membutuhkan air bersih dalam prosesnya.

Apabila faktor air bersih dan kebersihan tidak terpenuhi, maka diare akan terjadi dan akan meluruhkan
asupan makanan yang telah masuk ke tubuh. Karena mempunyai banyak fungsi, Ignasius menilai faktor
air bersih dan sanitasi pantas mendapatkan perhatian yang lebih besar.

“Karena adanya double impact di situ, sehingga kenapa porsinya lebih banyak soalnya kalau tidak
didukung itu (air bersih) apapun yang masuk ke dalam tubuh itu biasanya keluar lagi terjadi diare,”
ungkap Ignasius kepada Greeners.
Pakar ekohidrologi ini menambahkan, walaupun memiliki porsi yang berbeda-beda, ketiga faktor tersebut
merupakan satu kesatuan yang utuh. Ketiga hal tersebut memiliki fungsi yang saling terkait sehingga
tidak bisa terpenuhi hanya salah satunya saja.

“Tiga-tiganya harus tersentuh, tidak bisa hanya salah satu dari tiga aspek itu dan tidak bisa terpisahkan.
Misalnya asupannya bagus tapi air minum sanitasinya enggak beres, itu juga tidak mendukung
penurunan stunting, jadi itu searah,” imbuhnya.

Sebaran Air Bersih Belum Merata


Walaupun memiliki peranan penting dalam penurunan tingkat stunting di Indonesia, faktanya akses ke air
bersih dan sanitasi belum cukup merata. Ia mengungkapkan, tingkat air minum yang masyarakat
konsumsi saat ini terbagi menjadi dua, yaitu air minum yang aman dan air minum yang layak.
“Tingkat layanan air bersih atau air minum layak itu sekarang di posisi sekitar 60 sekian persen hampir
70%. Tetapi kalau kita bicara air minum yang aman itu baru 11,9%. Air minum aman itu air minum yang
langsung dikonsumsi dan tidak menimbulkan efek karena memenuhi standar semuanya,” papar Ignasius.

Air minum layak yang mencapai 70% terdiri dari 50% yang masyarakat dapatkan dari sumur gali, sumur
bor ataupun tadah hujan. Namun, pada proses ini tidak terdapat pemeriksaan air lebih lanjut sehingga
kebersihannya belum terjamin dengan baik dan rentan terhadap pencemaran. Sedangkan, 20% nya adalah
data masyarakat yang sudah mendapat pendistribusian melalui jalur perpipaan Perusahaan Daerah Air
Minum (PDAM).

Ignasius mengingatkan, dalam mengejar target penurunan stunting di Indonesia, maka peningkatan
layanan air minum dan air bersih harus pemerintah segerakan. Termasuk percepatan akses air bersih ke
berbagai desa.
“Harus ditingkatkan, bagaimana caranya untuk mengupayakan tingkat layanan air minum dan air bersih
serta sanitasinya untuk menurunkan stunting,” ucapnya
ISPA

Faktor geografi s dan kebiasaan


merokok
sembarangan merupakan faktor
penyebab yang
sangat berpengaruh terhadap
tingginya angka
kejadian ISPA pada balita di
wilayah binaan
Puskesmas Getasan. Serangkaian
strategi telah
dilakukan oleh tenaga kesehatan
dan kader dalam
menurunkan angka kejadian ISPA
pada balita di
wilayah binaan Puskesmas
Getasan antara lain;
pemantauan kesehatan balita oleh
balita baik di
Puskesmas, posyandu maupun
disetiap dusun,
pemberian penyuluhan yang
dilakukan tenaga
kesehatan dan kader, pengobatan
tradisional
oleh tenaga kesehatan, kader dan
ibu, serta
melakukan kerjasama antar sektor
dan program.
Dari serangkain strategi yang
diberikan, adanya
penurunan angka kejadian balita
ISPA di wilayah
Puskesmas Getasan
Faktor geografi s dan kebiasaan
merokok
sembarangan merupakan faktor
penyebab yang
sangat berpengaruh terhadap
tingginya angka
kejadian ISPA pada balita di
wilayah binaan
Puskesmas Getasan. Serangkaian
strategi telah
dilakukan oleh tenaga kesehatan
dan kader dalam
menurunkan angka kejadian ISPA
pada balita di
wilayah binaan Puskesmas
Getasan antara lain;
pemantauan kesehatan balita oleh
balita baik di
Puskesmas, posyandu maupun
disetiap dusun,
pemberian penyuluhan yang
dilakukan tenaga
kesehatan dan kader, pengobatan
tradisional
oleh tenaga kesehatan, kader dan
ibu, serta
melakukan kerjasama antar sektor
dan program.
Dari serangkain strategi yang
diberikan, adanya
penurunan angka kejadian balita
ISPA di wilayah
Puskesmas Getasan
Faktor geografi s dan kebiasaan
merokok
sembarangan merupakan faktor
penyebab yang
sangat berpengaruh terhadap
tingginya angka
kejadian ISPA pada balita di
wilayah binaan
Puskesmas Getasan. Serangkaian
strategi telah
dilakukan oleh tenaga kesehatan
dan kader dalam
menurunkan angka kejadian ISPA
pada balita di
wilayah binaan Puskesmas
Getasan antara lain;
pemantauan kesehatan balita oleh
balita baik di
Puskesmas, posyandu maupun
disetiap dusun,
pemberian penyuluhan yang
dilakukan tenaga
kesehatan dan kader, pengobatan
tradisional
oleh tenaga kesehatan, kader dan
ibu, serta
melakukan kerjasama antar sektor
dan program.
Dari serangkain strategi yang
diberikan, adanya
penurunan angka kejadian balita
ISPA di wilayah
Puskesmas Getasan.
Infeksi saluran pernapasan akut atau ISPA adalah infeksi yang terjadi di saluran pernapasan, baik
saluran pernapasan atas maupun bawah. Infeksi ini dapat menimbulkan gejala batuk, pilek, dan
demam. ISPA sangat mudah menular dan dapat dialami oleh siapa saja, terutama anak-anak dan lansia.
Sesuai dengan namanya, ISPA menimbulkan peradangan di saluran pernapasan, mulai dari hidung hingga
paru-paru. Pada sebagian besar kasus, ISPA disebabkan oleh virus dan dapat sembuh dengan sendirinya
tanpa pengobatan khusus.

Penyebab ISPA
ISPA disebabkan oleh infeksi virus atau bakteri di saluran pernapasan. Saluran pernapasan yang dapat
terserang infeksi bisa saluran pernapasan atas atau bawah. Meski demikian, ISPA paling sering
disebabkan oleh infeksi virus dan paling sering terjadi di saluran pernapasan bagian atas.
Beberapa jenis virus yang sering menyebabkan ISPA adalah:

 Rhinovirus
 Respiratory syntical viruses (RSVs)
 Adenovirus
 Parainfluenza virus
 Virus influenza
 Virus Corona
Sementara itu, beberapa jenis bakteri yang juga bisa menyebabkan ISPA adalah:

 Streptococcus
 Haemophilus
 Staphylococcus aureus
 Klebsiella pneumoniae
 Mycoplasma pneumoniae
 Chlamydia

Adapun beberapa penyakit yang termasuk ke dalam ISPA adalah:

 Batuk pilek (common cold)


 Sinusitis
 Radang tenggorokan akut (faringitis akut)
 Laringitis akut
 Pneumonia
 COVID-19

Penularan virus atau bakteri penyebab ISPA dapat terjadi melalui kontak dengan percikan air liur orang
yang terinfeksi. Virus atau bakteri dalam percikan liur akan menyebar melalui udara kemudian masuk ke
hidung atau mulut orang lain.
Selain kontak langsung dengan percikan liur penderita, virus juga dapat menyebar melalui sentuhan
dengan benda yang terkontaminasi atau berjabat tangan dengan penderita.

Faktor risiko ISPA


Walaupun penyebarannya mudah, ada beberapa kelompok orang yang lebih rentan tertular ISPA, yaitu:

1. Anak-anak dan lansia


Anak-anak dan lansia memiliki sistem kekebalan tubuh yang rendah sehingga rentan terhadap berbagai
infeksi. Selain itu, penyebaran virus atau bakteri ISPA di kalangan anak-anak dapat terjadi sangat cepat,
karena anak-anak sering berinteraksi dan melakukan kontak dengan anak-anak yang lain.

2. Orang dengan daya tahan tubuh yang lemah


Sistem kekebalan tubuh sangat berpengaruh dalam melawan infeksi virus atau bakteri. Ketika daya tubuh
menurun, misalnya karena menderita AIDS atau kanker, maka risiko terinfeksi akan makin meningkat.

3. Penderita gangguan jantung dan paru-paru


ISPA lebih sering terjadi pada seseorang yang sudah memiliki penyakit jantung atau gangguan pada paru-
paru sebelumnya.

4. Perokok aktif
Perokok lebih berisiko mengalami gangguan fungsi paru dan saluran pernapasan. Hal ini mengakibatkan
perokok juga rentan mengalami ISPA dan cenderung lebih sulit untuk pulih.

Gejala ISPA
Gejala ISPA berlangsung antara 1–2 minggu. Pada sebagian besar kasus, penderita gejala akan mereda
setelah minggu pertama.
Gejala infeksi saluran pernapasan akut di saluran pernapasan atas dan bawah bisa berbeda. Pada penderita
ISPA yang terjadi di saluran pernapasan atas, gejala yang dapat timbul adalah:

 Batuk
 Bersin
 Hidung tersumbat
 Pilek
 Demam
 Mudah lelah
 Sakit kepala
 Nyeri menelan
 Mengi
 Pembesaran kelenjar getah bening

Sementara itu, gejala ISPA yang terjadi di saluran pernapasan bawah antara lain:

 Batuk berdahak
 Sesak napas
 Demam

Kapan harus ke dokter


Lakukan pemeriksaan ke dokter jika Anda mengalami gejala di atas, terutama jika gejala makin
memburuk dan telah berlangsung selama lebih dari 3 minggu.
Periksakan diri ke dokter jika Anda mengalami gejala di bawah ini:

 Demam di atas 39˚C atau menggigil


 Sulit bernapas
 Batuk darah
 Penurunan kesadaran

Segera bawa anak ke dokter bila ia mengalami ISPA dan disertai dengan gejala berikut:

 Sulit bernapas, yang dapat dilihat dari tulang iga yang nampak jelas saat bernapas
 Muntah-muntah
 Malas bermain
 Lebih diam daripada biasanya
 Napas berbunyi

Diagnosis ISPA
Diagnosis ISPA dilakukan dengan menanyakan gejala dan riwayat kesehatan yang dialami pasien.
Selanjutnya, dokter akan melakukan pemeriksaan fisik, termasuk pemeriksaan di telinga, hidung, dan
tenggorokan, untuk mendeteksi kemungkinan infeksi.
Dokter juga akan memeriksa suara napas pasien dengan stetoskop, untuk memantau apakah terjadi
penumpukan cairan atau peradangan di paru-paru. Jika pasien mengalami sesak napas, dokter akan
memeriksa kadar (saturasi) oksigen dalam tubuh dengan alat pulse oxymetry.
Bila ISPA disebabkan oleh virus, dokter tidak akan melakukan pemeriksaan lebih lanjut, karena dapat
sembuh dengan sendirinya setelah beberapa minggu. Meski begitu, perbaikan atau perburukan gejala
perlu tetap dipantau.
Bila dicurigai ISPA disebabkan oleh kuman yang spesifik, dokter akan melakukan beberapa pemeriksaan
berikut:

 Pengambilan sampel dahak atau usap tenggorokan, mengetahui jenis virus atau bakteri yang
menyebabkan ISPA
 Foto Rontgen dada atau CT scan, untuk memeriksa kondisi paru-paru

Diagnosis ISPA di masa pandemi


Pada masa pandemi, gejala ISPA perlu dicurigai sebagai COVID-19. Untuk mendiagnosisnya, dapat
dilakukan pemeriksaan sebagai berikut:

 Rapid test antibodi, untuk mendeteksi antibodi SARS-CoV-2 dalam darah


 Rapid test antigen, untuk mendeteksi antigen virus
 Tes PCR (polymerase chain reaction), untuk mendeteksi virus Corona di lapisan hidung dan
tenggorokan

Pengobatan ISPA
Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, ISPA paling sering disebabkan oleh virus. Oleh karena itu,
pasien tidak memerlukan pengobatan khusus. Meski begitu, ada upaya yang dapat dilakukan secara
mandiri di rumah untuk meredakan gejala, yaitu:
 Memperbanyak istirahat dan konsumsi air putih untuk mengencerkan dahak agar lebih mudah
untuk dikeluarkan
 Mengonsumsi minuman lemon hangat atau madu, untuk meredakan batuk
 Berkumur dengan air hangat yang diberi garam jika mengalami sakit tenggorokan
 Menghirup uap dari semangkuk air panas yang telah dicampur dengan minyak kayu putih atau
mentol, untuk meredakan hidung tersumbat
 Memosisikan kepala lebih tinggi ketika tidur dengan menggunakan bantal, untuk melancarkan
pernapasan

Jika gejala yang dialami tidak membaik, pasien perlu menemui dokter. Dokter dapat memberikan obat-
obatan untuk meredakan gejala, seperti:

 Ibuprofen atau paracetamol, untuk meredakan demam dan nyeri otot


 Diphenhydramine dan pseudoephedrine, untuk mengatasi pilek dan hidung tersumbat
 Guaifinesin, untuk meredakan batuk
 Antibiotik, untuk mengatasi ISPA yang disebabkan oleh bakteri

Komplikasi ISPA
Jika infeksi terjadi di paru-paru dan tidak ditangani dengan baik, penderita dapat mengalami komplikasi
serius yang dapat berakibat fatal, seperti:

 Gagal napas, akibat paru-paru berhenti berfungsi


 Peningkatan kadar karbondioksida dalam darah
 Gagal jantung
 Penumpukan nanah di rongga selaput paru (empiema)
 Kumpulan nanah (abses) pada paru-paru
 Kerusakan kantong udara paru-paru (emfisema)
 Bronkitis kronis
 Infeksi lain, seperti mastoiditis, osteomielitis, dan selulitis
 Sepsis

Pencegahan ISPA
Pencegahan utama ISPA adalah dengan menerapkan perilaku hidup bersih dan sehat. Beberapa cara yang
dapat dilakukan, yaitu:

 Cuci tangan secara teratur, terutama setelah beraktivitas di tempat umum.


 Hindari menyentuh wajah, terutama bagian mulut, hidung, dan mata.
 Gunakan sapu tangan atau tisu untuk menutup mulut ketika bersin atau batuk, agar penyakit tidak
menyebar ke orang lain.
 Perbanyak konsumsi makanan kaya vitamin, terutama vitamin C, untuk meningkatkan daya tahan
tubuh.
 Bersihkan rumah dan lingkungan sekitar secara rutin.
 Lakukan olahraga secara rutin.
 Hentikan kebiasaan merokok.
 Dapatkan vaksinasi, baik vaksin MMR, influenza, maupun pneumonia, dan diskusikan dengan
dokter mengenai keperluan, manfaat, dan risiko dari vaksinasi ini.

Edukasi Masyarakat Melalui Protokol Kesehatan Pencegahan

1. Memeriksa kualitas udara melalui aplikasi atau situs web


Mengimbau masyarakat menggunakan aplikasi atau situs web yang menyediakan
informasi mengenai kualitas udara di wilayah mereka.

2. Mengurangi aktivitas luar ruangan dan menutup ventilasi rumah


Saat kualitas udara buruk, Anda sebaiknya menghindari aktivitas di luar ruangan dan
menutup ventilasi rumah, kantor, sekolah, atau tempat umum.
3. Menggunakan penjernih udara dalam ruangan
Penggunaan penjernih udara dapat membantu menyaring partikel-partikel berbahaya
dalam udara di dalam ruangan.

4. Menghindari sumber polusi dan asap rokok


Hindari faktor-faktor yang dapat meningkatkan polusi udara di dalam ruangan, termasuk
merokok dan sumber-sumber polusi lainnya.

5. Menggunakan masker saat polusi udara tinggi


Penggunaan masker dapat membantu melindungi saluran pernapasan saat kualitas
udara sangat buruk.

6. Melaksanakan perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS)


Menjaga kebersihan diri dan lingkungan juga berkontribusi dalam mengurangi dampak
kesehatan dari polusi udara

7. Konsultasi dengan tenaga kesehatan


Jika muncul gejala gangguan pernapasan, segera konsultasikan dengan tenaga
kesehatan baik secara daring maupun luring.

Dengan adanya langkah-langkah tersebut, sektor kesehatan berperan penting


membantu masyarakat mengatasi masalah polusi udara dan menjaga kesehatan
mereka dari dampak buruknya.

PERAN TENAGA KESEHATAN DI PUSKESMAS

Puskesmas itu merupakan unit teknis pelayanan dari dinas kesehatan kabupaten/kota di suatu daerah.
Keberadaan puskesmas ini bertanggung jawab untuk menyelenggarakan pembangunan kesehatan di satu
atau sebagaian wilayah kecamatan.
Adapun puskesmas ini mempunyai fungsi sebagai pusat pembangunan kesehatan masyarakat, pusat
pemberdayaan masyarakat, dan pusat pelayanan kesehatan tingkat pertama. Keberadaan puskesmas ini,
tentu menjadi garda terdepan dalam rangka pencapaian keberhasilan fungsi puskesmas sebagai ujung
tombak pembangunan bidang kesehatan di sutu daerah.
Menurut Alamsyah & Muliawati (2013), fungsi puskesmas dalam melaksanakan tugasnya, tidak lain
untuk mewujudkan empat misi pembangunan kesehatan. Keempat misi itu meliputi: menggerakkan
pembangunan kecamatan yang berwawasan pembangunan; mendorong kemandirian masyarakat dan
keluarga untuk hidup sehat; memelihara dan meningkatkan pelayanan kesehatan yang bermutu, merata
dan terjangkau; serta memelihara dan meningkatkan kesehatan individu, kelompok dan masyarakat
beserta lingkungannya.
Sementara itu, penentuan wilayah kerja puskesmas ini meliputi satu kecamatan atau sebagaian dari
kecamatan. Adapun faktor yang menjadi dasarnya, diantaranya: kepadatan penduduk, luas daerah,
keadaan geografis dan keadaan infrastuktur lainnya.
Dalam bahasa lain, puskesmas ini merupakan perangkat pemerintah daerah kebupaten/kota. Untuk itu,
pola pembagian wilayah kerja puskesmas ditetapkan oleh bupati/walikota, dengan dasar saran teknis dari
dinas kesehatan kabupaten/kota yang telah disetujui oleh kepala dinas kesehatan provinsi.
Pelayanan Kesehatan Lingkungan
Pada dasarnya, upaya pelayanan kesehatan itu adalah setiap upaya yang diselenggarakan sendiri atau
secara bersama-sama dalam suatu organisasi untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan, mencegah
dan menyembuhkan penyakit serta memulihkan kesehatan perorangan, keluarga, kelompok dan atau
masyarakat.
Kehadiran unsur pelayanan di puskesmas tersebut, memiliki peranan yang penting untuk meningkatkan
kesehatan masyarakat. Bahkan tidak hanya itu saja, pelayanan kesehatan itu menyangkut juga upaya
untuk mencegah penyakit dengan sasaran utamanya adalah masyarakat.
Upaya pencegahan ini, harus dikedepankan agar masyarakat tidak sampai menjadi sakit atau tertular
penyakit. Untuk itu, ruang lingkup pelayanan kesehatan lingkungan yang bergerak dalam upaya
pencegahan penyakit tidak dipandang sebelah mata oleh pihak manajemen puskesmas.
Apalagi, dewasa ini dengan perubahan lingkungan dan iklim menimbulkan banyak penyakit menular
yang bisa menyebar di masyarakat. Inilah pentingnya upaya pelayanan kesehatan lingkungan di
puskesmas, yang merupakan garda terdepan berhubungan dengan masyarakat.
Pada konteks ini, sesuai aturan pemerintah perlu adanya upaya pelayanan kesehatan lingkungan untuk
pencegahan penyakit atau gangguan kesehatan dari faktor risiko lingkungan. Menurut Permenkes RI No.
13 Tahun 2015 tentang Penyelenggaraan Pelayanan Kesehatan Lingkungan di Puskesmas, disebutkan
kalau pelayanan kesehatan lingkungan adalah kegiatan atau serangkaian kegiatan yang ditunjukan untuk
mewujudkan kualitas lingkungan yang sehat, baik dari aspek fisik, kimia, biologi, maupun sosial guna
mencegah penyakit dan/atau gangguan kesehatan yang diakibatkan oleh faktor risiko lingkungan.
Alur Kegiatan Pelayanan Kesehatan Lingkungan
Berikut ini, alur kegiatan pelayanan kesehatan lingkungan yang ada di puskesmas. Alur kegiatan ini
menjadi pegangan teman-teman Sanitarian yang bertugas di puskesmas.
1. Pelayanan pasien yang menderita penyakit atau gangguan kesehatan yang diakibatkan oleh faktor
risiko lingkungan, alurnya yaitu:
Pasien mendaftar di ruang pendaftaran
Petugas pendaftaran mencatat/mengisi kartu status
Petugas pendaftaran mengantarkan kartu status tersebut ke patugas pemeriksaan umum
Petugas di ruang pemeriksaan umum puskesmas (dokter, bidan, perawat) melakukan pemeriksaan
terhadap pasien
Pasien selanjutnya menuju ruang promosi kesehatan untuk mendapatkan pelayanan konseling
Untuk melaksanakan konseling tersebut, tenaga kesehatan lingkungan mengacu pada contoh bagan dan
daftar petanyaan konseling
Hasil konseling dicatat dalam formulir pencatatan status kesehatan lingkungan dan selanjutnya tenaga
kesehatan lingkungan memberikan lembar saran/tindak lanjut dan formulir tindak lanjut konseling kepada
pasien
Pasien diminta untuk mengisi dan menandatangani formulir tindak lanjut konseling
Dalam hal diperlukan berdasarkan hasil konseling atau hasil surveilans kesehatan menunjukkan
kecenderungan berkembang atau meluasnya penyakit atau kejadian kesakitan akibat faktor risko
lingkungan, tenaga kesehatan lingkungan membuat janji inspeksi kesehatan lingkungan
Setelah konseling di ruang promosi kesehatan, pasien dapat mengambil obat di ruang farmasi dan
selanjutnya pasien pulang.
2. Pelayanan pasien yang datang untuk berkonsultasi masalah kesehatan lingkungan (klien),
alurnya yaitu:
Pasien mendaftar di ruang pendaftaran
Petugas pendaftaran memberikan kartu pengantar dan meminta pasien menuju ke ruang promosi
kesehatan
Pasien melakukan konsultasi terkait masalah kesehatan lingkungan atau penyakit atau gangguan
kesehatan yang diakibatkan oleh faktor risiko lingkungan
Tenaga kesehatan lingkungan mencatat hasil konseling dalam formulir pencatatan status kesehatan
lingkungan, dan selanjutnya memberikan lembar saran atau rekomendasi dan formulir tindak lanjut
konseling untuk ditindaklanjuti oleh pasien
Pasien diminta untuk mengisi dan menandatangani formulir tindak lanjut konseling
Dalam hal diperlukan berdasarkan hasil konseling atau kecenderungan berkembang atau meluasnya
penyakit atau kejadian kesakitan akibat faktor risiko lingkungan, tenaga kesehatan lingkungan membuat
janji dengan pasien untuk dilakukan inspeksi kesehatan lingkungan dan selanjutnya pasien dapat pulang.
3. Luar Gedung Puskesmas
Menurut aturan yang dikeluarkan Kementerian Kesehatan RI, kegiatan luar gedung ini dilakukan sebagai
tindak lanjut dari hasil wawancara/konseling di dalam gedung (puskesmas). Tujuan kunjungan lapangan
pada dasarnya untuk lebih memastikan faktor lingkungan dan perilaku yang sebelumnya diduga kuat
sebagai faktor yang mempengaruhi kejadian penyakit.
Adapun langkah yang dilakukan petugas Sanitarian, diantaranya berupa:
Melakukan pengamatan dan pemeriksaan langsung di masyarakat sasaran. Dalam melakukan kunjungan
rumah, petugas sanitasi seyogyanya memberitahukan kunjungan kepada perangkat desa/kelurahan (kepala
desa/lurah, sekretaris, kepala dusun atau ketua RT/RW) atau tokoh masyarakat setempat.
Petugas Sanitarian sedapat mungkin mengikutsertakan kader kesehatan lingkungan dan petugas kesehatan
di desa/kelurahan. Hal ini dilakukan, di samping untuk keterpaduan kegiatan, keterlibatan petugas
kesehatan di desa/kelurahan bermanfaat untuk tindak lanjut keadaan penyakit penderita ke depannya.
Tenaga kesehatan lingkungan ini bisa mengambil keputusan dan menyimpulkan permasalahan lingkungan
dan perilaku yang berkaitan dengan kejadian penyakit atau masalah yang dihadapi klien.
Petugas Sanitarian, bahkan tidak saja memberi kesimpulan hasil pengamatannya. Ia juga memberikan
saran tindak lanjut terhadap penyelesaian permasalahan lingkungan dan perilaku yang dihadapi
masyarakat.
Jangan lupa petugas Sanitarian memberikan bimbingan teknis kepada masyarakat yang membutuhkan.
Pada akhirnya, bila hasil temuan terkait permasalahan kesehatan lingkungan tersebut menyangkut
sekelompok keluarga atau kampung, maka hasil temuan tersebut harus disampaikan kepada perangkat
desa (kepala desa/lurah, sekretaris, kepala dusun atau ketua RT/RW), tokoh masyarakat, dan kader
kesehatan lingkungan. Hal ini dilakukan sebagai upaya untuk membangun masyarakat yang berperan
aktif menyelesaikan permasalahan kesehatan lingkungan yang dirasakan masyarakat.
Bahkan, pada konteks yang lebih luas, petugas klinik sanitasi (Sanitarian) dapat membawa permasalahan
tersebut ke forum masyarakat yang lebih besar. Misalnya, pada pertemuan masyarakat desa dan
pertemuan lintas sektor di tingkat kecamatan.
Hal tersebut dilakukan, tidak lain dalam upaya untuk mendapatkan dukungan penyelesaian masalah
kesehatan lingkungan dari para pimpinan di level kecamatan. Tepatnya, dukungan anggaran bidang
kesehatan lingkungan dan membangun peran serta masyarakat dan sektor terkait.

Klinik sanitasi, kata positif penuh inovatif. Klinik sanitasi ini merupakan upaya yang mengintegrasikan
pelayanan kesehatan promotif, preventif dan kuratif yang difokuskan pada penduduk yang beresiko
tinggi. Usaha ini dimaksudkan untuk mengatasi masalah penyakit berbasis lingkungan pemukiman yang
dilaksanakan oleh petugas kesehatan bersma-sama dengan masyarakat.
Dengan kata lain, klinik sanitasi merupakan inovatif program promosi kesehatan yang berbasis kesehatan
lingkungan. Klinik sanitasi ini bermanfaat untuk menanggulangi penyakit berbasis lingkungan. Kegiatan
klinik sanitasi, bisa berupa konseling, kunjungan rumah (home care) dan intervensi kesehatan yang
didasarkan atas analisis kesehatan lingkungan.
Inilah usaha pengembangan pelayanan kesehatan yang sangat sesuai dengan Program Indonesia Sehat
dengan Pendekatan Keluarga (PIS-PK). Program ini merupakan suatu pendekatan pelayanan kesehatan
yang menggali faktor resiko terjadinya penyakit dalam suatu keluarga dan menilai status kesehatan
kelurga. Pada ujungnya, usaha ini diwujudkan dalam bentuk Indeks Keluarga Sehat (IKS).
Pelayanan Kesehatan Lingkungan
Pelayanan kesehatan lingkungan merupakan wahana masyarakat untuk mengatasi masalah kesehatan
lingkungan dan masalah penyakit berbasis lingkungan. Langkah yang diambil dengan bimbingan,
penyuluhan, dan bantuan teknis dari petugas pelayanan kesehatan lingkungan di puskesmas.
Kegiatan pelayanan kesehatan lingkungan di puskesmas, yaitu melakukan monitoring berupa Inspeksi
Sanitasi/Inspeksi Kesehatan Lingkungan (IS/IKL) pada rumah yang terindikasi tidak memenuhi syarat
kesehatan di wilayah kerja puskesmas dalam kurun waktu tertentu. Tepatnya, kegiatan pelayanan
kesehatan lingkungan itu, berupa:
Konseling
Inspeksi kesehatan lingkungan
Intervensi/tindakan kesehatan lingkungan.
Pada konteks ini, pelayanan kesehatan lingkungan bila dikaitkan dengan klinik sanitasi ini dapat
dilakukan lewat aktivitas wawancara mendalam dan penyuluhan. Tujuan pelayanan seperti ini, tidak lain
untuk mengenal masalah lebih rinci yang ada di masyarakat.
Atas dasar data tersebut, lalu diupayakan dan dilakukan oleh petugas kesehatan lingkungan yang
mencakup, antara lain: penyediaan/penyehatan air bersih dan sanitasi dalam rangka
pencegahan/penanggulangan penyakit ( diare, cacingan, kulit, kusta, frambusia, dll.); penyehatan
perumahan dalam rangka pencegahan penyakit ISPA (TB Paru); penyehatan lingkungan pemukiman
dalam rangka pencegahan penyakit demam berdarah dengue, malaria, dan filariasis.
Upaya lainnya, berupa penyehatan lingkungan tempat kerja dalam rangka pencegahan dan
penanggulangan penyakit yang berhubungan dengan lingkungan akibat kerja; penyehatan
makanan/minuman dalam rangka pencegahan dan penanggulangan penyakit saluran
pencernaan/keracunan. Ada juga kegiatan terkait pengamanan pestisida dalam rangka pencegahan dan
penanggulangan keracunan pestisida, dan penyakit atau gangguan kesehatan lainnya yang berhubungan
dengan lingkungan.
Langkah Klinik Sanitasi
Keberadaan kegiatan klinik sanitasi berupa inspeksi kesehatan lingkungan ini memiliki peranan yang
sangat penting dalam kesusksesan program di puskesmas. Yang mana inspeksi kesehatan lingkungan itu
merupakan kegiatan pemeriksaan dan pengamatan secara langsung terhadap media lingkungan.
Proses pengawasan tersebut dilakukan berdasarkan atas standar, norma, dan baku mutu yang berlaku
untuk meningkatkan kualitas lingkungan yang sehat. Sungguh keberadaan klinik sanitasi ini sangat
menunjang dalam kesuksesan program puskesmas dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat.
Bahkan, semua program yang ada di puskesmas dapat dintegrasikan dengan keberadaan klinik sanitasi
ini. Sehingga hasilnya akan luar biasa yang dirasakan masyarakat dan pihak puskesmas.
Pasalnya, bila hal itu dilakukan oleh setiap puskesmas akan didapatkan data analisis yang integral terkait
kondisi kesehatan masyarakat yang dikaitkan dengan kondisi tempat aktivitas dan tempat tinggalnya.
Artinya, kebijakan program puskesmas didasarkan data real kondisi kesehatan masyarakat yang ada di
wilayah kerjanya.
Berikut ini, beberapa langkah klinik sanitasi yang dapat dintegrasikan dari program lainnya, yaitu:
Petugas klinik sanitasi menerima kartu rujukan status pasien dari petugas poliklinik di puskesmas.
Petugas menyalin dan mencatat berdasarkan wawancara mendalam dalam buku register yang sudah
disiapkan untuk bahan proses analisis kesehatan lingkungan lebih lanjut.
Membuat simpulan atas permasalahan lingkungan dan faktor perilaku yang memungkinkan menjadi
faktor risiko dan pencetus atas masalah yang terjadi pada seorang pasien tersebut.
Berdasarkan analisis dan diskusi dengan pasien itu, selanjutnya bila diperlukan bisa membuat
kesepatakan lebih lanjut untuk program kunjungan ke lokasi rumahnya (hal ini bisa sekalian dengan
integrasi evaluasi program PIS-PK).
Bahkan, petugas klinik sanitasi secara mendalam bisa mempelajari dari hasil wawancara di dalam gedung
dan analisis pengamatan di lapangan untuk memberikan kesimpulan dan solusi yang integral berdasarkan
data dan fakta yang ada atas permaslahan yang dihadapai oleh pasien yang berkunjung ke klinik sanitasi.
Dalam bahasa yang sederhana, langkah-langkah kegiatan klinik sanitasi itu berupa: mencatat semua
kegiatan yang masuk; mengolah data; menyajikan data; melaporkan (desiminasi); pemantauan pada lokasi
di masyarakat; dan melakukan evalusi dengan lintas program dan lintas lembaga.
Sasaran Klinik Sanitasi
Secara demikian, yang jadi sasaran dari keberadan klinik sanitasi ini, tidak lain meliputi:
Penderita (pasien) yang memiliki penyakit berbasis lingkungan.
Masyarakat umum (klien) yang mempunyai masalah terkait dengan kesehatan lingkungan.
Kondisi lingkungan yang menjadi penyebab atas terjadinya masalah bagi pasien maupun klien dan
masyarakat sekitar yang kemungkinan terkena dampaknya.
Adapaun upaya strategi operasional dari klinik sanitasi ini, bisa dilakukan dengan melakukan langkah-
langkah berikut ini:
Melakukan inventarisasi masalah kesehatan lingkungan dan penyakit berbasis lingkungan yang dihadapi
masyarakat.
Mengintegrasikan intervensi kesehatan lingkungan dengan program terkait di puskesmas.
Menentukan skala prioritas penyusunan perencanaan dan pelaksanaan maslahan kesehatan lingkungan
yang dihadapi.
Menumbuhkembangkan peran serta masyarakat dan kelembagaan yang sudah ada di masyarakat.
Membentuk dan memperkuat jaringan kerjasama dengan stakeholder yang ada di wilayah puskesmas.
Menciptakan inovasi dalam rangka perunbahan dan peningkatan perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS),
serta membangun kemandirian masyarakat dalam bidang kesehatan.
Memetakan dan memaksimalkan daya dukung sumber dana dan daya masyarakat yang ada di wilayah
puskesmas.
Demikian, artikel terkait klinik sanitasi dan kesehatan lingkungan ini. Semoga informasi yang saya
sampaikan ini memberi inspirasi dan pencerahan dalam melahirkan program inovasi kesehatan
lingkungan di puskesmas di seluruh Indonesia.

MASALAH-MASALAH KESEHATAN LINGKUNGAN DI INDONESIA

1. Air Bersih
Air bersih adalah air yang digunakan untuk keperluan sehari-hari yang kualitasnya memenuhi
syarat kesehatan dan dapat diminum apabila telah dimasak. Air minum adalah air yang
kualitasnya memenuhi syarat kesehatan dan dapat langsung diminum.

Syarat-syarat Kualitas Air Bersih diantaranya adalah sebagai berikut :

 Syarat Fisik : Tidak berbau, tidak berasa, dan tidak berwarna


 Syarat Kimia : Kadar Besi : maksimum yang diperbolehkan 0,3 mg/l, Kesadahan (maks
500 mg/l)
 Syarat Mikrobiologis : Koliform tinja/total koliform (maks 0 per 100 ml air)

2. Pembuangan Kotoran/Tinja
Metode pembuangan tinja yang baik yaitu dengan jamban dengan syarat sebagai berikut:

 Tanah permukaan tidak boleh terjadi kontaminasi


 Tidak boleh terjadi kontaminasi pada air tanah yang mungkin memasuki mata air atau
sumur
 Tidak boleh terkontaminasi air permukaan
 Tinja tidak boleh terjangkau oleh lalat dan hewan lain
 Tidak boleh terjadi penanganan tinja segar ; atau, bila memang benar-benar diperlukan,
harus dibatasi seminimal mungkin jamban harus babas dari bau atau kondisi yang tidak
sedap dipandang
 Metode pembuatan dan pengoperasian harus sederhana dan tidak mahal.

3. Kesehatan Pemukiman
Secara umum rumah dapat dikatakan sehat apabila memenuhi kriteria sebagai berikut:

 Memenuhi kebutuhan fisiologis, yaitu : pencahayaan, penghawaan dan ruang gerak yang
cukup, terhindar dari kebisingan yang mengganggu
 Memenuhi kebutuhan psikologis, yaitu : privacy yang cukup, komunikasi yang sehat
antar anggota keluarga dan penghuni rumah
 Memenuhi persyaratan pencegahan penularan penyakit antarpenghuni rumah dengan
penyediaan air bersih, pengelolaan tinja dan limbah rumah tangga, bebas vektor penyakit
dan tikus, kepadatan hunian yang tidak berlebihan, cukup sinar matahari pagi,
terlindungnya makanan dan minuman dari pencemaran, disamping pencahayaan dan
penghawaan yang cukup
 Memenuhi persyaratan pencegahan terjadinya kecelakaan baik yang timbul karena
keadaan luar maupun dalam rumah antara lain persyaratan garis sempadan jalan,
konstruksi yang tidak mudah roboh, tidak mudah terbakar, dan tidak cenderung membuat
penghuninya jatuh tergelincir.

4. Pembuangan Sampah
Teknik pengelolaan sampah yang baik dan benar harus memperhatikan faktor-faktor /unsur,
berikut:

 Penimbulan sampah. Faktor-faktor yang mempengaruhi produksi sampah adalah jumlah


penduduk dan kepadatanya, tingkat aktivitas, pola kehidupan/tk sosial ekonomi, letak
geografis, iklim, musim, dan kemajuan teknologi
 Penyimpanan sampah
 Pengumpulan, pengolahan dan pemanfaatan kembali
 Pengangkutan
 Pembuangan

Dengan mengetahui unsur-unsur pengelolaan sampah, kita dapat mengetahui hubungan dan
urgensinya masing-masing unsur tersebut agar kita dapat memecahkan masalah-masalah ini
secara efisien.

5. Serangga dan Binatang Pengganggu

Serangga sebagai reservoir (habitat dan suvival) bibit penyakit yang kemudian disebut sebagai
vektor misalnya : pinjal tikus untuk penyakit pes/sampar, Nyamuk Anopheles sp untuk penyakit
Malaria, Nyamuk Aedes sp untuk Demam Berdarah Dengue (DBD), Nyamuk Culex sp untuk
Penyakit Kaki Gajah/Filariasis.

Penanggulangan/pencegahan dari penyakit tersebut diantaranya dengan merancang


rumah/tempat pengelolaan makanan dengan rat proff (rapat tikus), Kelambu yang dicelupkan
dengan pestisida untuk mencegah gigitan Nyamuk Anopheles sp, Gerakan 3 M (menguras
mengubur dan menutup) tempat penampungan air untuk mencegah penyakit DBD, Penggunaan
kasa pada lubang angin di rumah atau dengan pestisida untuk mencegah penyakit kaki gajah dan
usaha-usaha sanitasi.

Binatang pengganggu yang dapat menularkan penyakit misalnya anjing dapat menularkan
penyakit rabies/anjing gila. Kecoa dan lalat dapat menjadi perantara perpindahan bibit penyakit
ke makanan sehingga menimbulakan diare. Tikus dapat menyebabkan Leptospirosis dari kencing
yang dikeluarkannya yang telah terinfeksi bakteri penyebab.
6. Makanan dan Minuman

Sasaran higene sanitasi makanan dan minuman adalah restoran, rumah makan, jasa boga dan
makanan jajanan (diolah oleh pengrajin makanan di tempat penjualan dan atau disajikan sebagai
makanan siap santap untuk dijual bagi umum selain yang disajikan jasa boga, rumah
makan/restoran, dan hotel).

Persyaratan hygiene sanitasi makanan dan minuman tempat pengelolaan makanan meliputi 8
cara:

 Persyaratan lokasi dan bangunan


 Persyaratan fasilitas sanitasi
 Persyaratan dapur, ruang makan dan gudang makanan
 Persyaratan bahan makanan dan makanan jadi
 Persyaratan pengolahan makanan
 Persyaratan penyimpanan bahan makanan dan makanan jadi
 Persyaratan peralatan yang digunakan
 Pencemaran Lingkungan

Pencemaran lingkungan diantaranya pencemaran air, pencemaran tanah, pencemaran udara.


Pencemaran udara dapat dibagi lagi menjadi indoor air pollution dan out door air pollution.
Indoor air pollution merupakan problem perumahan/pemukiman serta gedung umum, bis kereta
api, dll. Masalah ini lebih berpotensi menjadi masalah kesehatan yang sesungguhnya, mengingat
manusia cenderung berada di dalam ruangan ketimbang berada di jalanan.

Diduga akibat pembakaran kayu bakar, bahan bakar rumah tangga lainnya merupakan salah satu
faktor resiko timbulnya infeksi saluran pernafasan bagi anak balita. Mengenai masalah out door
pollution atau pencemaran udara di luar rumah, berbagai analisis data menunjukkan bahwa ada
kecenderungan peningkatan.

Beberapa penelitian menunjukkan adanya perbedaan resiko dampak pencemaran pada beberapa
kelompok resiko tinggi penduduk kota dibanding pedesaan. Besar resiko relatif tersebut adalah
12,5 kali lebih besar. Keadaan ini, bagi jenis pencemar yang akumulatif, tentu akan lebih buruk
di masa mendatang.

Pembakaran hutan untuk dibuat lahan pertanian atau sekedar diambil kayunya ternyata
membawa dampak serius, misalnya infeksi saluran pernafasan akut, iritasi pada mata,
terganggunya jadual penerbangan, terganggunya ekologi hutan.

STBM

Sanitasi Total Berbasis Masyarakat yang selanjutnya disingkat STBM adalah program
pemerintah pendekatan untuk mengubah perilaku higienis dan saniter melalui pemberdayaan
masyarakat melalui pendekatan menyentuh perasaan, pola pikir, perilaku, dan kebiasaan individu
atau masyarakat.

Tujuan dan Manfaat :


Penyelenggaraan STBM bertujuan untuk mewujudkan perilaku masyarakat yang higienis dan
saniter secara mandiri dalam rangka meningkatkan derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-
tingginya. Pelaksanaan STBM dalam jangka panjang dipercaya dapat menurunkan angka
kesakitan dan kematian yang diakibatkan oleh sanitasi yang kurang baik, dan dapat mendorong
tewujudnya masyarakat sehat yang mandiri dan berkeadilan.

Pelaksanaan Sanitasi Total Berbasis Masyarakat (STBM) dengan lima pilar akan mempermudah
upaya meningkatkan akses sanitasi masyarakat yang lebih baik serta mengubah dan
mempertahankan keberlanjutan budaya hidup bersih dan sehat. Pelaksanaan STBM dalam jangka
panjang dapat menurunkan angka kesakitan dan kematian yang diakibatkan oleh sanitasi yang
kurang baik, dan dapat mendorong tewujudnya masyarakat sehat yang mandiri dan berkeadilan.
Lima Pilar Sanitasi Total Berbasis Masyarakat (STBM) tersebut; adalah :

1. Stop Buang Air Besar Sembarangan; adalah kondisi ketika setiap individu dalam suatu
komunitas tidak lagi melakukan perilaku buang air besar sembarangan yang berpotensi
menyebarkan penyakit.
2. Cuci Tangan Pakai Sabun; adalah perilaku cuci tangan dengan menggunakan air bersih
yang mengalir dan sabun.
3. Pengelolaan Air Minum dan Makanan Rumah Tangga; adalah melakukan kegiatan
mengelola air minum dan makanan di rumah tangga untuk memperbaiki dan menjaga
kualitas air dari sumber air yang akan digunakan untuk air minum, serta untuk
menerapkan prinsip higiene sanitasi pangan dalam proses pengelolaan makanan di rumah
tangga.
4. Pengamanan Sampah Rumah Tangga; adalah melakukan kegiatan pengolahan sampah
di rumah tangga dengan mengedepankan prinsip mengurangi, memakai ulang, dan
mendaur ulang.
5. Pengamanan Limbah Cair Rumah Tangga; adalah melakukan kegiatan pengolahan
limbah cair di rumah tangga yang berasal dari sisa kegiatan mencuci, kamar mandi dan
dapur yang memenuhi standarbaku mutu kesehatan lingkungan dan persyaratan
kesehatan yang mampu memutus mata rantai penularan penyakit.

Anda mungkin juga menyukai