Anda di halaman 1dari 89

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Stunting merupakan ancaman utama terhadap kualitas Sumber Daya

Manusia (SDM) di Indonesia. Bahkan dampak stunting dapat mengancam

kemampuan daya saing anak bangsa. Terutama dapat mengancam hilangnya

generasi emas, jika permasalahan stunting itu tidak segera terselesaikan.

Proses pertumbuhan dan perkembangan pada anak terjadi sangat pesat. Pada

masa-masa ini anak membutuhkan asupan gizi yang cukup dan kualitas yang

lebih banyak karena umumnya mempunyai aktivitas fisik yang cukup tinggi

dan masih dalam proses belajar (Welassih & Wirjadmadi, 2012).

Gizi merupakan faktor utama yang mendukung proses metabolisme di

dalam tubuh. Kekurangan gizi dapat berdampak pada pertumbuhan dan

pematangan organ yang terlambat, serta ukuran tubuh jauh lebih pendek

(Fikawati, 2017). Salah satu masalah yang sering terjadi adalah Stunting.

1
2

Menurut Wold Health Organization (WHO) tahun 2010 stunting

didefinisikan sebagai tinggi badan menurut usia dibawah -2 standar deviasi

kurva pertumbuhan anak WHO. Stunting atau pendek merupakan salah satu

indikator status gizi kronis yang menggambarkan terhambatnya pertumbuhan

karena malnutrisi jangka panjang (Keputusan Menteri Kesehatan Republik

Indonesia Nomor 1995/MENKES/SK/XII/2010) tentang standar antropometri

penilaian status gizi pada anak. Stunting menggambarkan status gizi kurang

pada masa pertumbuhan dan perkembangan (WHO, 2010). Masalah stunting

atau anak pendek merupakan salah satu permasalahan kesehatan karena

berhubungan dengan resiko terjadinya kesakitan dan kematian, perkembangan

otak kurang optimal, sehingga perkembangan motorik terlambat dan

terhambatnya pertumbuhan mental. Pertumbuhan stunting menggambarkan

suatu kegagalan pertumbuhan linear potensial yang seharusnya dapat tercapai,

dan merupakan dampak dari buruknya kesehatan serta kondisi gizi seseorang.

Hal ini menjadi ancaman serius terhadap anak-anak sebagai penerus suatu

bangsa.
3

Di dunia, menurut United Nations Children’s Fund (UNICEF), (2013)

permasalahan gizi dengan angka kejadian 150,8 juta anak atau 22,2%. Saat ini

Indonesia merupakan salah satu Negara dengan prevalensi stunting yang

cukup tinggi. Prevalensi diperoleh dari hasil utama Riset Kesehatan Dasar

tahun 2018 yaitu 30,8 % atau 19,3 % balita pendek dan 11,5 % balita sangat

pendek). Maka dari itu, stunting menjadi program terencana pembangunan

kesehatan 2015-2019 di Indonesia (Kementerian Kesehatan Republik

Indonesia 2013; Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 2018).

Hasil Riset Kesehatan Dasar Tahun 2018 menunjukkan bahwa

provinsi Jawa Tengah memiliki prevalensi stunting 27,5 % dengan indikator

tinggi badan menurut umur (TB/U) yang merupakan istilah pendek dengan

kategori < - 3 SD dan sangat pendek dengan kategori > 3 SD sampai dengan <

- 2 SD. Berdasarkan hasil Pemantauan Status Gizi (PSG) pada tahun 2017

diketahui bahwa prevalensi stunting di Kota Semarang sebesar 21,1 %

(KEMENKES, 2017).

Stunting disebabkan oleh multifaktor yaitu faktor langsung yang

meliputi riwayat berat badan lahir rendah (BBLR), pemberian ASI eksklusif,

tidak menerima Makanan Pendamping Air Susu Ibu (MP-ASI), status

Imunisasi. Serta faktor tidak langsung yaitu pendidikan orang tua, sosial

ekonomi, dan pola asuh (Ramayulis, 2018).


4

Faktor pertama yang mempengaruhi stunting secara langsung salah

satunya yaitu bayi berat lahir rendah (BBLR). Menurut WHO bayi berat lahir

rendah (BBLR) adalah bayi yang lahir dengan berat kurang < 2500 gram

diukur pada saat lahir atau sampai hari ke tujuh setelah lahir (Putra, 2012).

Hasil penelitan Ernawati tahun 2019 yang berjudul permasalahan dan

penanganan stunting ditemukan 9,5% bayi dengan berat badan lahir rendah

dan 22% di antaranya mengalami stunting. Menurut Soekirman dan United

Nations Children’s Emergency Fund (UNICEF) tahun 2010 status gizi rendah

secara langsung dapat dipengaruhi oleh asupan zat gizi yang rendah maupun

keganasan penyakit infeksi. Jika tidak ditanggulangi, kondisi ini akan

berlanjut hingga anak tumbuh menjadi remaja. Berdasarkan permasalahan

tersebut, maka diperlukan kajian tentang hubungan antara riwayat berat badan

lahir dengan kejadian stunting pada anak.


5

Faktor yang kedua yaitu pemberian Air Susu Ibu (ASI) merupakan

pemberian makanan yang hanya berupa ASI tanpa pemberian makanan

pendamping ASI (MP-ASI) pada anak-anak berusia 0-6 bulan. ASI

merupakan asupan gizi terbaik dan paling ideal bagi bayi baru lahir.

Pemberian ASI diawali dengan proses inisiasi menyusu dini (IMD).

Pemberian ASI eksklusif di berikan selama enam bulan bayi. Kebutuhan

energi dan zat gizi lainnya untuk bayi dapat dipenuhi dari ASI. Pemberian

ASI eksklusif merupakan hak bayi yang berkaitan dengan komitmen ibu,

dukungan keluarga, dan lingkungan sekitar. Adanya faktor protektif dan zat

gizi yang sesuai dalam ASI menjamin status gizi bayi dapat optimal dan dapat

menurunkan kesakitan dan kematian anak (Koletzko, 2010).

Menurut penelitian Agus Hendra tahun 2010 yang berjudul kajian

stunting pada anak balita ditinjau dari pemberian ASI eksklusif, MP-ASI,

status imunisasi dan karakteristik keluarga di kota Banda Aceh tahun 2010.

Hasil penelitian menyimpulkan bahwa kejadian stunting pada anak balita di

Kota Banda Aceh tahun 2010 disebabkan oleh pemberian ASI yaitu 95%.

Artinya anak balita yang mengalami stunting resikonya 4 kali lebih besar

disebabkan oleh anak balita yang tidak mendapat ASI eksklusif dibandingkan

dengan yang mendapat ASI eksklusif di Kota Banda Aceh.


6

Faktor yang ketiga yaitu pemberian Makanan Pendamping Air Susu

Ibu (MP-ASI) yang merupakan proses transisi dari asupan yang hanya

berbasis susu menuju ke makanan yang semi padat, setelah masa pemberian

ASI selama enam bulan, bayi mulai diperkenalkan dengan makanan keluarga

yang sering disebut Makanan Pendamping Air Susu Ibu (MP-ASI). Periode

pemberian MP-ASI merupakan salah satu perubahan besar pada pola makan

bayi. Pilihan makanan beralih, dari sumber makanan tunggal menjadi sumber

makanan beragam, dengan komposisi gizi, rasa, dan tekstur yang berbeda

(Perng dan Oken, 2016). Pemberian MP-ASI pada usia yang cukup akan

meminimalisasi dampak negatif yang terjadi, pemberian MP-ASI yang

terlambat dapat menyebabkan keterlambatan perkembangan kemampuan

makan dan memicu terjadinya malnutrisi (Atmaka, 2019).


7

Hasil penelitian Mufida tahun 2015 yang berjudul permasalahan dan

penanganan stunting, menunjukkan hubungan antara pemberian MP-ASI dini

sebelum enam bulan beresiko 95% atau 3,6 kali lebih tinggi mengalami

stunting dibandingkan dengan anak yang diberikan MP-ASI tepat waktu.

Pemberian makanan tambahan terlalu dini kepada sering ditemukan di

masyarakat, seperti pisang, madu, air gula, susu formula, dan makanan lain

sebelum bayi berusia enam bulan (Mufida, 2015). Risiko pemberian MP-ASI

terlalu dini antara lain risiko jangka pendek dan risiko jangka panjang. Risiko

jangka pendek yang terjadi, seperti mengurangi keinginan bayi untuk

menyusui menyebabkan frekuensi dan kekuatan bayi menyusui berkurang

sehingga produksi ASI berkurang. Selain itu, pengenalan serealia dan sayur-

sayuran tertentu dapat mempengaruhi penyerapan zat besi dan ASI.

Pemberian makanan dini, seperti pisang dan nasi di daerah pedesaan di

Indonesia sering menyebabkan penyumbatan saluran cerna serta

meningkatkan risiko terkena infeksi dan gangguan saluran cerna. Risiko

jangka panjang, pemberian makanan yang terlalu banyak merupakan risiko

utama dari pemberian makanan yang terlalu dini pada bayi (Fahmida, 2014).
8

Dan faktor yang keempat adalah Imunisasi merupakan suatu program

yang dengan sengaja memasukkan antigen lemah agar merangsang antibodi

keluar sehingga tubuh dapat resisten terhadap penyakit tertentu dan

merupakan pencegahan primer terhadap penyakit infeksi yang paling

efektif dan murah. Imunisasi bukan saja dapat melindungi individu dari

penyakit yang serius namun dapat juga menghindari tersebarnya penyakit

menular (World Health Organization (WHO) dan UNICEF, 2010). Menurut

penelitian Nurhasanah tahun 2019 yang berjudul faktor-faktor yang

berhubungan dengan kejadian stunting pada balita di wilayah kerja Puskesmas

Pandan Kabupaten Sintang tahun 2019 diperoleh data bahwa status imunisasi

yang lengkap yaitu sebesar 61,8 %. Artinya tidak ada hubungan status

imunisasi dengan kejadian stunting pada balita di wilayah kerja Puskesmas

Pandan Kabupaten Sintang.


9

Faktor-faktor lain yang mempengaruhi stunting secara tidak langsung

adalah Pendidikan orang tua. Menurut Azyumardi Azra menyatakan bahwa

tingkat pendidikan merupakan suatu kegiatan seseorang dalam

mengembangkan kemampuan, sikap, dan bentuk tingkah lakunya, baik untuk

kehidupan masa kini dan sekaligus persiapan bagi kehidupan. Menurut

penelitian Nadhiroh tahun 2019 yang berjudul faktor yang berhubungan

dengan kejadian stunting pada balita diperoleh data sebesar 67,6 % ayah dan

ibu berpendidikan tinggi dan 32,4 % ayah dan ibu berpendidikan rendah.

Pendidikan orang tua bukan merupakan faktor resiko sebab tidak semua orang

tua berpendidikan rendah memiliki anak stunting, dan sebaliknya orang tua

yang berpendidikan tinggi tidak semuanya memiliki anak dengan status gizi

normal. Pendidikan orang tua merupakan penyebab dasar dari masalah kurang

gizi.

Pendidikan orang tua mempunyai pengaruh langsung terhadap pola

pengasuhan anak yang kemudian akan mempengaruhi asupan makan anak.

Orang tua dengan pendidikan yang lebih baik cenderung memiliki

pengetahuan dan kemampuan mengimplementasikan pengetahuan yang lebih

baik dibanding orang tua dengan pendidikan rendah. Penerapan pengetahuan

gizi dan pola asuh anak yang tepat akan mencegah terjadinya malnutrisi,

misalnya dalam pemberian makanan pendamping yang tepat usia (Kusuma,

2013).
10

Secara global sosial ekonomi berkaitan erat dengan stunting. Negara-

negara miskin dan menengah merupakan penyumbang masalah stunting

terbesar di dunia. Negara yang memiliki tingkat kemakmuran tinggi dan akses

pendidikan serta pelayanan kesehatan yang mudah dan sejahtera mempunyai

prevalensi stunting yang rendah (United Nations Development Programme,

2016). Menurut penelitian Khoirun Ni’mah tahun 2019 yang berjudul faktor

yang berhubungan dengan kejadian stunting pada balita. Hasil penelitian

menyimpulkan bahwa kejadian stunting pada anak disebabkan juga oleh sosial

ekonomi yang rendah yaitu 76,5 %. Artinya anak yang mengalami stunting

lebih besar disebabkan oleh pendapatan keluarga yang rendah dibandingkan

dengan keluarga yang berpendapatan tinggi yaitu 23,5 %.

Menurut Soedjadmiko (2018) tentang Pola asuh orang tua adalah gaya

pengasuhan yang diterapkan pada anak dan bersifat relatif konsisten dari

waktu ke waktu, Perlakuan orangtua terhadap anak, memberikan kontribusi

yang besar terhadap kompetensi sosial, emosional dan intelektual anak.

Menurut penelitian Dian Kusuma tahun 2016 yang berjudul hubungan

karakteristik ibu dan pola asuh gizi dengan kejadian balita stunting di desa

Hargorejo Kulonprogo DIY tahun 2016. Hasil penelitian diperoleh data 51,1

%. Artinya ibu memiliki pola asuh yang baik terhadap pemenuhan gizi.
11

Berdasarkan hasil wawancara dengan ahli gizi Puskesmas Lebdosari

Kota Semarang yang dilakukan pada tanggal 06 februari 2020 di wilayah

kerja Puskesmas Lebdosari Kota Semarang bahwa di wilayah kerja Puskemas

Lebdosari Kota Semarang ada kejadian stunting yang dilihat dari hasil

screening berdasarkan TB/U didapatkan data keseluruhan sebanyak 77 anak

yang mengalami stunting. Di wilayah kerja Puskesmas Lebdosari Kota

Semarang terdapat empat kelurahan yaitu, kelurahan Kalibanteng Kulon

sebanyak 11 anak. Kelurahan Gisikdrono sebanyak 37 anak, kelurahan

Kalibanteng Kidul sebanyak 26 anak, dan Kelurahan Tambakharjo sebanyak 3

anak yang mengalami stunting.

Dari wawancara yang dilakukan pada tanggal 28 februari 2020 di

Puskesmas Lebdosari Kota Semarang terhadap 5 petugas kesehatan secara

acak menyampaikan faktor yang mempengaruhi kejadian stunting yaitu

tingkat pengetahuan ibu karena ibu kurang mengetahui faktor tersebut,

pemberian ASI eksklusif, pemberian MP-ASI dilihat dari cara pemberian MP-

ASI sesuka hatinya dan pola asuh karena status ibu bekerja sehingga anak

dititipkan ke pengasuhnya yang kurang mengetahui tentang cara merawat dan

menjaga anak.

Dari hasil studi pendahuluan yang dilakukan oleh peneliti, maka

peneliti melakukan penelitian tentang “faktor-faktor yang mempengaruhi

kejadian stunting pada anak di wilayah kerja Puskesmas Lebdosari Kota

Semarang”.
12

A. Rumusan Masalah

Stunting merupakan ancaman utama terhadap kualitas Sumber Daya

Manusia (SDM) di Indonesia. Bahkan dampak stunting dapat mengancam

kemampuan daya saing anak bangsa. Terutama dapat mengancam hilangnya

generasi emas yang ada di Kota Semarang, jika permasalahan stunting itu

tidak segera terselesaikan. Berdasarkan fenomena tersebut maka rumusan

masalah dalam penelitian adalah “Faktor-faktor apakah yang mempengaruhi

kejadian stunting pada anak di wilayah kerja Puskesmas Lebdosari Kota

Semarang”

B. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian

stunting pada anak di Wilayah Kerja Puskesmas Lebdosari Kota

Semarang.

2. Tujuan Khusus

a. Mendeskripsikan tingkat pengetahuan ibu terhadap kejadian

stunting pada anak di wilayah kerja Puskesmas Lebdosari Kota

Semarang

b. Mendeskripsikan pemberian ASI eksklusif terhadap kejadian

stunting pada anak di wilayah kerja Puskesmas Lebdosari Kota

Semarang
13

c. Mendeskripsikan pola asuh terhadap kejadian stunting pada anak

di wilayah kerja Puskesmas Lebdosari Kota Semarang

d. Mendeskripsikan pemberian MP-ASI terhadap kejadian stunting

pada anak di wilayah kerja Puskesmas Lebdosari Kota Semarang

e. Mendeskripsikan status imunisasi terhadap kejadian stunting pada

anak di wilayah kerja Puskesmas Lebdosari Kota Semarang

f. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian stunting

pada anak di wilayah kerja Puskesmas Lebdosari Kota Semarang

C. Manfaat Penelitian

a. Bagi Peneliti

Hasil penelitian ini dapat menambah pengalaman dan

memperluas pengetahuan dan kemampuan penulis dalam penelitian

ilmiah di bidang kesehatan, khususnya mengenai stunting.

b. Bagi Masyarakat

Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai upaya

meningkatkan pengetahuan ibu dan masyarakat untuk mencegah

kejadian stunting dan menambah informasi tentang faktor apakah yang

mempengaruhi kejadian stunting, dan masyarakat dapat

mengantisipasi atau mencegah agar terhindar dari masalah stunting

tersebut.

c. Bagi Institusi
14

Hasil penelitian ini dapat menambah referensi pustaka dan

sebagai data untuk peneliti selanjutnya serta dapat dijadikan acuan

akademik dalam menerapkan ilmu yang digunakan sesuai dengan

penerapan yang ada di lapangan selama proses mengajar.

d. Bagi Profesi Keperawatan

Hasil penelitian ini dapat menambah wawasan bagi profesi

keperawatan dalam mengembangkan penelitian dalam ranah

keperawatan komunitas terkait faktor yang mempengaruhi kejadian

stunting pada anak.


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. KONSEP STUNTING

1. Pengertian

Stunting merupakan luaran status gizi yang terjadi apabila seorang

anak memiliki tinggi atau panjang badan kurang dari -2.0 standar deviasi

(SD) dibandingkan dengan rerata atau populasi. Status gizi stunting

dihitung dengan membandingkan tinggi atau panjang badan menurut umur

balita, sesuai dengan grafik z-score Badan Kesehatan Dunia (WHO)

(WHO, 2018).

Stunting adalah keadaan tinggi badan yang tidak sesuai dengan umur

anak akibat kekurangan gizi dalam waktu lama yang diawali sejak masa

janin hingga dua tahun pertama kehidupan. Sejak masa janin sampai usia

dua tahun pertama, anak akan mengalami fase pertumbuhan cepat (growth

spurt) sehingga fase ini merupakan periode kesempatan emas kehidupan

(window of opportunity) bagi anak (KEMENKES, 2010).

2. Penyebab Stunting

a. Kurangnya asupan gizi dalam jangka waktu yang lama sejak konsepsi

sampai anak usia dua tahun.

b. Anak sering sakit terutama diare, campak, TBC, dan penyakit infeksi

lainnya.

12
13

c. Keterbatasan air bersih dan sanitasi.

d. Ketersediaan pangan di tingkat rumah tangga rendah.

(Buku Saku Desa dalam Penanganan Stunting, 2018)

3. Dampak Stunting

Stunting dapat memberikan dampak bagi kelangsungan hidup anak.

Dampak yang diakibatkan oleh stunting dibagi menjadi dua yang terdiri

dari jangka pendek dan jangka panjang (Siti Helmyati dkk, 2019).

Dampak jangka pendek dari stunting adalah di bidang kesehatan, dapat

menyebabkan peningkatan mortalitas dan morbiditas, di bidang

perkembangan berupa penurunan perkembangan kognitif, motorik, dan

bahasa, dan di bidang ekonomi berupa peningkatan pengeluaran untuk

biaya kesehatan. Stunting juga dapat menyebabkan dampak jangka

panjang di bidang kesehatan berupa perawakan yang pendek, peningkatan

risiko untuk obesitas dan komorbiditasnya, dan penurunan kesehatan

reproduksi, di bidang perkembangan berupa penurunan prestasi dan

kapasitas belajar, dan di bidang ekonomi berupa penurunan kemampuam

dan kapsitas kerja (Wisnusanti, 2019).

4. Pencegahan dan Penanggulangan Stunting


14

Periode yang paling kritis dalam penanggulangan stunting dimulai

sejak janin dalam kandungan sampai anak berusia dua tahun yang disebut

periode emas (seribu hari pertama kehidupan). Oleh karena itu, perbaikan

gizi diprioritaskan pada usia seribu hari pertama kehidupan yaitu 270 hari

selama kehamilannya dan 730 hari pada kehidupan pertama bayi yang

dilahirkannya.

Pencegahan dan penanggulangan stunting yang paling efektif

dilakukan pada seribu hari pertama kehidupan yang meliputi :

a. Pada ibu hamil

1) Memperbaiki gizi dan kesehatan ibu hamil merupakan cara

terbaik dalam mengatasi stunting. Ibu hamil perlu mendapat

makanan yang baik. Apabila ibu hamil dalam keadaan sangat

kurus atau telah mengalami Kurang Energi Kronis (KEK),

maka perlu diberikan makanan tambahan kepada ibu hamil

tersebut.

2) Setiap ibu hamil perlu mendapat tablet tambah darah, minimal

90 tablet selama kehamilan

3) Kesehatan ibu harus tetap dijaga agar ibu tidak mengalami

sakit

b. Pada saat bayi lahir

1) Persalinan ditolong oleh bidan atau dokter terlatih dan begitu

bayi lahir melakukan IMD (Inisiasi Menyusu Dini).


15

2) Bayi sampai dengan usia 6 bulan diberi ASI saja (ASI

Eksklusif).

c. Bayi berusia 6 bulan sampai 2 tahun

1) Mulai usia 6 bulan, selain ASI bayi diberikan Makanan

Pendamping ASI (MP-ASI). Pemberian ASI terus dilakukan

sampai bayi berumur dua tahun atau lebih.

2) Bayi dan anak memperoleh kapsul vitamin A, taburia, dan

imunisasi dasar lengkap.

d. Memantau pertumbuhan balita di posyandu merupakan upaya yang

sangat strategis untuk mendeteksi dini terjadinya gangguan

pertumbuhan.

e. Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) harus diupayakan oleh

setiap rumah tangga termasuk meningkatkan akses terhadap air

bersih dan fasilitas sanitasi, serta menjaga kebersihan lingkungan.

PHBS menurunkan kejadian sakit terutama penyakit infeksi yang

dapat membuat energi untuk pertumbuhan terahlihkan kepada

perlawanan tubuh menghadapi infeksi, gizi sulit diserap oleh tubuh

dan terhambatnya pertumbuhan (Nurhasanah, 2019).

5. Faktor-faktor yang mempengaruhi stunting

a. Faktor yang mempengaruhi kejadian stunting secara langsung yaitu :

1) Riwayat berat badan lahir rendah (BBLR)


16

Menurut WHO bayi berat lahir rendah (BBLR) adalah bayi

yang lahir dengan berat < 2500 gram diukur pada saat lahir atau

sampai hari ke tujuh setelah lahir (Putra, 2012). Klasifikasi BBLR

menurut masa gestasinya :

1. Prematuritas murni

Yaitu kehamilan dengan masa gestasi kurang dari 37

minggu dan berat badan sesuai dengan berat badan untuk

masa gestasinya.

2. Dismaturitas

Yaitu bayi lahir dengan berat badan kurang dari berat

badan seharusnya untuk masa gestasinya. Berat bayi

mengalami gangguan pertumbuhan intrauterin dan

merupakan bayi yang kecil untuk masa kehamilannya

(KMK) (Ika, 2018).


17

Dalam sebuah artikel yang dipublikasikan pada tahun

2017, Aryastami dkk melakukan analisis terhadap data riset

kesehatan dasar (Riskesdas) pada tahun 2010 untuk

mengetahui hubungan berat badan lahir rendah dengan

kejadian stunting. Hasil analisis menyatakan bahwa bayi

yang memiliki berat badan lahir rendah berisiko 1, 74 kali

lebih tinggi untuk mengalami stunting dibandingkan

dengan bayi yang lahir dengan berat badan normal.

Berdasarkan data ini pula diketahui bahwa balita laki-laki

berisiko 1,27 kali lebih tinggi untuk mengalami stunting

dibandingkan dengan balita perempuan. Christian, (2013)

dalam artikelnya menyebutkan bahwa bayi BBLR berisiko

2.3-3.5 kali lebih tinggi mengalami wasting, stunting, dan

underweight (Atmaka, 2019).

2) Pemberian ASI eksklusif


18

ASI eksklusif adalah pemberian makanan hanya berupa ASI

tanpa pemberian makanan pendamping ASI (MP-ASI) pada anak-

anak berusia 0-6 bulan (Prasetyono, 2012). Pemberian ASI

eksklusif pada 6 bulan pertama dapat menghasilkan pertumbuhan

tinggi badan yang optimal. Durasi pemberian ASI yang tidak

cukup menjadi salah satu faktor resiko yang menyebabkan

defisiensi makronutrien maupun mikronutrien pada usia dini

(Nurhasanah, 2019).

Menurut Prasetyono (2012), ASI dibedakan menjadi tiga, yaitu

kolostrum, foremilk, dan hindmilk. Kolostrum adalah cairan yang

pertama kali disekresi oleh kelenjar mamae yang mengandung

tissue debris dan redual material, yang terdapat dalam alveoli dan

ductus dari kelenjar mamae sebelum dan sesudah melahirkan anak.

Foremilk adalah susu yang keluar pertama kali disebut susu

awal (foremilk). Air susu ini hanya mengandung sekitar 1-2%

lemak dan terlihat encer, serta tersimpan dalam saluran

penyimpanan. Air susu tersebut sangat banyak dan membantu

menghilangkan rasa haus pada bayi.


19

Hindmilk adalah setelah keluar foremilk habis, yakni saat

menyusui hamper selesai. Hindmilk sangat kaya, kental, dan penuh

lemak bervitamin, sebagaimana hidangan utama setelah sup

pembuka. Air susu ini memberikan sebagian besar energy yang

dibutuhkan oleh bayi.

3) Pemberian Makanan Pendamping Air Susu Ibu (MP-ASI)

MP-ASI merupakan proses transisi dari asupan yang hanya

berbasis susu menuju ke makanan yang semipadat (Helmyati,

2019). Pengenalan dan pemberian MP-ASI harus dilakukan secara

bertahap, baik bentuk maupun jumlahnya, sesuai dengan

kemampuan pencernaan anak. Pemberian MP-ASI yang tepat

diharapkan tidak hanya dapat memenuhi kebutuhan gizi anak,

tetapi juga merangsang keterampilan makan dan rasa percaya diri

pada anak. Tujuan pemberian MP-ASI adalah untuk menambah

energi dan zat-zat gizi yang diperlukan anak karena ASI tidak

dapat memenuhi kebutuhan anak secara terus-menerus. Makanan

tambahan diberikan untuk mengisi kesenjangan antara kebutuhan

nutrisi total pada anak dengan jumlah yang didapatkan dari ASI.

Pemberian makanan tambahan bervariasi dan bertahap

konsistensinya, dari bentuk bubur cair ke bentuk bubur kental, sari

buah, buah segar, makanan lumat, makanan lembek, dan akhirnya

makanan padat (Wigati, 2019).


20

Pemberian MP-ASI diberikan pada anak yang berusia 6-24

bulan secara berangsur-angsur untuk mengembangkan kemampuan

mengunyah dan menelan serta menerima macam-macam makanan

dengan berbagai tekstur dan rasa. Memasuki usia enam bulan bayi

telah siap menerima makanan bukan cair, karena gigi sudah

tumbuh danlidah tidak lagi menolak makanan setengah padat. Di

samping itu lambung telah baik mencerna zat tepung. Menjelang

usia Sembilan bulan bayi telah pandai menggunakan tangan untuk

memasukkan benda ke dalam mulut. Karena itu jelaslah, bahwa

pada saat tersebut bayi siap mengonsumsi makanan setengah padat

(Wisnusanti, 2019).

4) Status Imunisasi
21

Imunisasi merupakan suatu program yang dengan sengaja

memasukan antigen lemah agar merangsang antibodi keluar

sehingga tubuh dapat resisten terhadap penyakit tertentu

(Proverawati, 2010). Pemberian imunisasi biasanya dalam bentuk

vaksin. Vaksin merangsang tubuh untuk membentuk sistem

kekebalan yang digunakan untuk melawan infeksi atau penyakit.

Ketika tubuh kita diberi vaksin atau imunisasi, tubuh akan terpajan

oleh virus atau bakteri yang sudah dilemahkan atau dimatikan

dalam jumlah yang sedikit dan aman. Kemudian sistem kekebalan

tubuh akan mengikat virus atau bakteri yang telah dimasukan dan

melawan infeksi yang disebabkan oleh virus atau bakteri ketika

menyerang tubuh kita di kemudian hari (Nurhasanah, 2019).

Menurut Proverawati (2010) jenis imunisasi ada dua macam

yaitu imunisasi aktif, merupakan pemberian suatu bibit penyakit

yang telah dilemahkan (vaksin) agar nantinya sistem imun tubuh

berespon spesifik dan memberikan suatu ingatan terhadap anti gen

ini, sehingga ketika terpapar lagi tubuh dapat mengenali dan

meresponnya.
22

Kemudian imunisasi pasif, merupakan suatu proses

peningkatan kekebalan tubuh dengan cara pemberian zat

immunoglobulin, yaitu zat yang dihasilkan melalui suatu proses

infeksi yang dapat berasal dari plasma manusia (kekebalan yang

didapat bayi dari ibu melalui placenta) yang digunakan untuk

mengatasi mikroba yang sudah masuk dalam tubuh yang

terinfeksi.

Imunisasi yang wajib diberikan pada anak dibawah 12 bulan

adalah BCG (bacillus Celmette-Guerin) yang dilakukan pada bayi

usia 0-2 bulan, akan tetapi biasanya diberikan pada bayi umur 2

atau 3 bulan. Imunisasi Hepatitis B diberikan tiga kali pada umur

0-11 bulan dan juga diberikan pada anak usia 12 tahun yang

dimasa kecilnya belum diberi vaksin hepatitis B. Imunisasi Polio

diberikan 4 kali (polio I, II, III, dan IV) dengan interval tidak

kurang dari 14 minggu. Imunisasi DPT (Difteri, Pertusis, dan

Tetanus) dilakukan tiga kali mulai bayi umur 2 bulan sampai 11

bulan dengan interval 4 minggu. Imunisasi Campak diberikan satu

kali dan dapat dilakukan pada umur 9-11 bulan. (Proverawati,

2010).
23

Imunisasi tambahan untuk anak adalah MMR (Meales,

Mumps, Rubela) pemberian vaksin tidak dianjurkan dilakukan

pada usia dibawah satu tahun, dan dapat dilakukan pada usia 15-18

bulan. Imunisasi Tipoid pada imunisasi awal diberikan sebanyak

dua kali dengan interval empat minggu, selanjutnya penguat

dilakukan setelah satu tahun. Imunisasi Pneumokokus diberikan

pada usia 2, 4, 6, 12 bulan. Imunisasi Varicella dapat diberikan

suntikan tunggal pada usia 12 tahun di daerah tropic dan bila diatas

13 tahun dapat diberikan dua kali suntikan dengan interval 4-8

minggu. Imunisasi Hepatitis A dilakukan saat usia diatas dua

tahun. Imunisasi Rotavirus diberikan untuk mencegah diare

akibat infeksi rotavirus. Vaksin rotavirus diberikan 3 kali, yaitu

saat bayi berusia 2, 4, dan 6 bulan. Imunisasi Influenza diberikan

pada bayi berumur 2, 3, dan 5 bulan. Imunisasi HPV  di berikan

kepada remaja perempuan untuk mencegah kanker serviks, yang

umumnya disebabkan oleh virus Human papillomavirus. Vaksin

HPV diberikan 2 atau 3 kali, mulai usia 10 hingga 18 tahun.

b. Faktor yang mempengaruhi kejadian stunting secara tidak langsung

yaitu :

1) Pendidikan orang tua


24

Pendidikan adalah proses perubahan sikap dan tata laku

seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan

manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan (Priyoto, 2014).

Sedangkan menurut UU RI No. 20 tahun 2003 tentang Sistem

Pendidikan Nasional, bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan

terencana untuk menyiapkan peserta didik melalui kegiatan

bimbingan, pengajaran dan atau latihan bagi peran dimasa yang

akan datang.

Dalam BAB UU tersebut menyebutkan tentang jalur, jenjang

dan jenis pendidikan formal yang terdiri dari pendidikan dasar,

pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi. Menurut Undang-

Undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003 tentang sistem

Pendidikan Nasional, pendidikan dasar merupakan jenjang

pendidikan yang melandasi menengah.

Tingkatan pendidikan ditinjau dari sudut tingkatan, jalur

pendidikan sekolah dibagi menjadi :

1) Pendidikan Dasar berbentuk sekolah dasar (SD) dan

Madrasah, Ibtida’ iyyah (MI) atau bentuk lain yang

sederajat, serta Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan

Madrasah Tsanawiyah (MTS) atau bentuk lain yang

sederajat.
25

2) Pendidikan Menengah, berdasarkan Undang-Undang

Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem

Pendidikan Nasional, pendidikan menengah merupakan

lanjutan pendidikan dasar. Pendidikan menengah terdiri

atas pendidikan menengah umum dan pendidikan

menengah kejuruan. Pendidikan menengah berbentuk

Sekolah Menengah Atas (SMA), Madrasah Aliyah (MA),

Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), dan Madrasah Aliyah

Keagamaan (MAK) atau bentuk lain yang sederajat.

3) Pendidikan Tinggi, berdasarkan Undang-Undang Republik

Indonesia Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan

Nasional, pendidikan tinggi merupakan jenjang pendidikan

setelah jenjang pendidikan menengah yang mencakup

program pendidikan diploma, sarjana, magister, spesialis,

dan doctor yang diselenggarakan oleh perguruan tinggi.

Pendidikan tinggi dapat berbentuk akademi, politeknik,

sekolah tinggi, institusi atau universitas.


26

Pendidikan ibu merupakan faktor yang sangat penting karena

tinggi rendahnya tingkat pendidikan ibu erat kaitannya dengan

tingkat pengetahuan terhadap perawatan kesehatan,kehamilan

hingga gizi anak-anak dan keluarganya. Tingkat pendidikan turut

menentukan mudah tidak nya seseorang menyerap dan memahami

pengetahuan gizi yang mereka peroleh. Tingkat pendidikan ibu

merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi status gizi balita.

Tingkat pendidikan ibu dan stimulus yang baik dirumah dapat

bertindak sebagai faktor bersifat protektif yang mempengaruhi

(Nurhasanah, 2019).

Gizi seimbang adalah susunan pangan sehari-hari yang

mengandung zat gizi dalam jenis dan jumlah yang sesuai dengan

kebutuhan tubuh, dengan memperhatikan prinsip keanekaragaman

pangan, aktivitas fisik, perilaku hidup bersih dan mempertahankan

berat badan normal untuk mencegah masalah gizi. Zat gizi

merupakan elemen yang terdapat dalam makanan yang dapat

untuk dimanfaatkan secara langsung dalam tubuh.


27

Macam-macam zat gizi dibagi menjadi 5 kelompok utama,

antara lain  karbohidrat, mineral, vitamin, lemak, protein. Kelima

zat tersebut sangat diperlukan untuk manusia guna proses

pertumbuhan dan lain sebagainya. Berbagai jenis zat gizi dapat

ditemukan dari makanan-makanan yang dikonsumsi setiap harinya

dan dengan takaran yang sudah ditentukan. Takaran yang

dimaksud tersebut ialah jumlah yang terkandung dalam masing-

masing zat gizi yang dikonsumsi supaya proses pencernaan yang

terjadi dalam tubuh dapat berjalan dengan baik, lancar, dan normal

(KEMENKES RI, 2014).

2) Sosial ekonomi

Sosial ekonomi adalah kedudukan seseorang atau keluarga di

masyarakat berdasarkan pendapatan per bulan. Sosial ekonomi

dapat dilihat dari pendapatan yang disesuaikan dengan harga

barang pokok (Putra, 2015). Faktor yang mempengaruhi sosial

ekonomi yaitu :

a) Pekerjaan

Pekerjaan adalah simbol status seseorang dimasyarakat.

Pekerjaan merupakan jembatan untuk memperoleh uang

dalam rangka memenuhi kebutuhan hidup dan untuk

mendapatkan tempat pelayanan kesehatan yang diinginkan.

b) Pendapatan
28

Pendapatan adalah hasil yang diperoleh dari kerja atau

usaha yang telah dilakukan. Pendapatan akan

mempengaruhi gaya hidup seseorang. Orang atau keluarga

yang mempunyai status ekonomi atau pendapatan tinggi

akan mempraktikkan gaya hidup yang mewah misalnya

lebih komsumtif karena mereka mampu untuk membeli

semua yang dibutuhkan bila dibandingkan dengan keluarga

yang kelas ekonominya kebawah.

c) Pendidikan

Pendidikan berarti bimbingan yang diberikan oleh

seseorang terhadap perkembangan orang lain menuju ke

arah suatu cita-cita tertentu. Semakin tinggi tingkat

pendidikan seseorang maka semakin mudah dalam

memperoleh pekerjaan, sehingga semakin banyak pula

penghasilan yang diperoleh. Sebaliknya pendidikan yang

kurang akan menghambat perkembangan sikap seseorang

terhadap nilai-nilai yang baru dikenal.

d) Latar belakang budaya


29

Cultur universal adalah unsur kebudayaan yang bersifat

universal, ada di dalam semua kebudayaan di dunia, seperti

pengetahuan bahasa dan khasanah dasar, cara pergaulan

sosial, adat-istiadat, penilaian umum. Tanpa disadari,

kebudayaan telah menanamkan garis pengaruh sikap

terhadap berbagai masalah. Kebudayaan telah mewarnai

sikap anggota masyarakatnya, karena kebudayaan pulalah

yang memberi corak pengalaman individu-individu yang

menjadi anggota kelompok masyarakat asuhannya. Hanya

kepercayaan individu yang telah mapan dan kuatlah yang

dapat memudarkan dominasi kebudayaan dalam

pembentukan sikap individual (Putra, 2015).

3) Pola asuh

Pola asuh merupakan proses interaksi antara orang tua dan

anak dalam mendukung perkembangan fisik, emosi, sosial,

intelektual, dan spiritual anak sejak dari dalam kandungan sampai

dewasa (Andriyani, 2019). Menurut Sutanto (2019) pola asuh

memiliki definisi sebagai cara orang tua memperlakukan anak,

mendidik, membimbing, dan mendisiplinkan serta melindungi

anak dalam mencapai proses kedewasaan, hingga kepada upaya

pembentukan norma-norma yang diharapkan oleh masyarakat pada

umumnya.
30

Pola asuh dikategorikan menjadi tiga macam yaitu :

1. Pola Asuh Otoriter

Dalam pola asuh otoriter, orang tua menentukan segala

jenis peraturan yang berlaku dalam keluarga. Dalam pola

asuh ini, anak harus menuruti dan mematuhi seluruh

peraturan yang ditentukan oleh orang tua tanpa terkecuali.

Pola asuh otoriter memiliki sistem di mana aturan orang tua

harus dikerjakan dan merupakan kewajiban untuk dipatuhi

anak. Dalam pola asuh otoriter, peraturan diberlakukan

sangat ketat dan sangat dijunjung tinggi di dakam keluaga.

2. Pola Asuh Permitif

Pola asuh permitif adalah sebuah pola asuh di mana

orang tua memberikan kebebasan sepenuhnya pada sang

anak. Orang tua dalam pola asuh ini bersikap pasif,

menerima keputusan anak, dan terkesan bermurah hati

dalam hal kedisiplinan. Dalam pola asuh ini, orang tua

kurang mengontrol perilaku anak dan membiarkan anak

begitu saja dengan bebas.

3. Pola Asuh Demokratis atau Authoritative


31

Pola asuh demokratis merupakan sebuah pola asuh

yang menjadikan orang tua sebagai penentu aturan. Orang

tua berhak untuk membuat sejumlah peraturan yang

diberlakukan bagi anggota keluarga, termasuk untuk

dipatuhi sang anak. Meskipun peraturan sepenuhnya dibuat

oleh orang tua, anak masih berkesempatan bertanya

mengenai alasan pembuatan aturan tersebut (Sutanto,

2019).
32

B. Kerangka Teori

Penyebab Stunting

1. Kurangnya asupan gizi dalam jangka waktu yang


lama
2. Anak sering sakit terutama diare, campak, TBC, dan
penyakit infeksi lainnya
3. Keterbatasan air bersih dan sanitasi
4. Ketersediaan pangan di tingkat rumah tangga rendah.

Pencegahan dan
Faktor yang Penangglangan
mempengaruhi stunting Stunting :
secara langsung 1. Pada ibu hamil
1. Riwayat BBLR 2. Pada saat bayi
Kejadian Stunting lahir
2. Pemberian
ASI eksklusif 3. Bayi berusia 6
3. Pemberian bulan sampai 2
MP-ASI tahun
4. Status 4. Memantau
Imunisasi Dampak Stunting : tumbuh
kembang anak
Secara tidak langsung 1. Dampak jangka 5. PHBS
pendek
1. Tingkat 2. Dampak jangka
pengetahuan panjang
ibu
2. Sosial Ekonomi
3. Pola Asuh

Gambar 2.1 Kerangka Teori


33

Sumber : Anshori (2013), Allen & Gillespie (2001), Sudirman (2008), Kemenkes
(2010), WHO (2010), Prawirohartono et al (2009), Zakiyah (2012), Purnawati (2010)
,Nurhasanah (2019)
BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Kerangka Konsep

Kerangka konsep penelitian merupakan kerangka hubungan antara

konsep-konsep yang akan diukur atau diamati melalui penelitian yang akan

dilakukan. Kerangka konsep tidak dapat langsung diamati maka konsep

dapat diukur melalui variabel. Diagram dalam kerangka konsep harus

menunjukkan hubungan antara variabel-variabel yang akan diteliti,

kerangka konsep yang baik dapat memberikan informasi yang jelas kepada

peneliti dalam memilih desain penelitian (Riyanto, 2017).

Berdasarkan konsep teori yang telah dijelaskan diatas, maka dapat

dibuat kerangka konsep sebagai berikut :

Variabel Independen

Tingkat Pengetahuan Ibu variabel Dependen

Pemberian ASI eksklusif

Kejadian Stunting
Pola asuh

Pemberian MP-ASI

Status Imunisasi

Gambar 3.1 Kerangka Konsep

34
35

B. Hipotesis Penelitian

Hipotesis merupakan jawaban sementara atas pertanyaan penelitian

yang telah di rumuskan (Notoatmodjo, 2010).

Dalam penelitian ini hipotesisnya adalah :

1. Ha : Ada hubungan tingkat pengetahuan ibu terhadap kejadian

stunting pada anak di wilayah kerja Puskesmas Lebdosari Kota

Semarang

Ho : Tidak ada hubungan tingkat pengetahuan ibu terhadap

kejadian stunting pada anak di wilayah kerja Puskesmas

Lebdosari Kota Semarang

2. Ha : Ada hubungan pemberian ASI eksklusif terhadap kejadian

stunting pada anak di wilayah kerja Puskesmas Lebdosari Kota

Semarang

Ho : Tidak ada hubungan pemberian ASI eksklusif terhadap

kejadian stunting pada anak di wilayah kerja Puskesmas

Lebdosari Kota Semarang

3. Ha : Ada hubungan pola asuh terhadap kejadian stunting pada

anak di wilayah kerja Puskesmas Lebdosari Kota Semarang

Ho : Tidak ada hubungan pola asuh terhadap kejadian stunting

pada anak di wilayah kerja Puskesmas Lebdosari Kota

Semarang
36

4. Ha : Ada hubungan pemberian MP-ASI terhadap kejadian

stunting pada anak di wilayah kerja Puskesmas Lebdosari Kota

Semarang

Ho : Tidak ada hubungan pemberian MP-ASI terhadap kejadian

stunting pada anak di wilayah kerja Puskesmas Lebdosari Kota

Semarang

5. Ha : Ada hubungan status imunisasi terhadap kejadian stunting

pada anak di wilayah kerja Puskesmas Lebdosari Kota

Semarang

Ho : Tidak ada hubungan status imunisasi terhadap kejadian

stunting pada anak di wilayah kerja Puskesmas Lebdosari Kota

Semarang

C. Jenis Dan Rancangan Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian kuantitatif yaitu

memilih sampel representatif dari populasi dan menentukan jumlah sampel

sebelum mengumpulkan data (Notoatmodjo, 2010).


37

Rancangan penelitian ini menggunakan pendekatan secara cross

sectional yaitu merupakan suatu penelitian yang mempelajari hubungan

antara faktor resiko (independen) dengan faktor efek (dependen), dimana

melakukan observasi atau pengukuran variabel sekali dan sekaligus pada

waktu yang sama. Artinya dalam penelitian ini setiap responden hanya

diobservasi satu kali saja dan pengukuran variabel responden dilakukan

pada saat pemeriksaan tersebut, kemudian peneliti tidak melakukan tindak

lanjut (Riyanto, 2017).

D. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di wilayah kerja Puskesmas Lebdosari

Kota Semarang pada bulan Mei 2020 sesuaikan lagi dengan pelaksanaan

ya

E. Populasi Dan Sampel Penelitian

1. Populasi

Populasi merupakan seluruh subjek yang akan diteliti dan

memenuhi karakteristik yang ditentukan (Riyanto, 2017). Populasi

penelitian ini adalah seluruh anak yang mengalami stunting di wilayah

kerja Puskesmas Lebdosari Kota Semarang yaitu sebanyak 77 anak.

2. Sampel
38

Sampel merupakan sebagian dari populasi yang diharapkan dapat

mewakili atau representatif populasi (Riyanto, 2017). Sampel adalah

objek yang diteliti dan dianggap mewakili seluruh populasi

(Notoatmodjo, 2010). Besar sampel dalam penelitian ini dihitung

dengan menggunakan rumus Slovin yaitu :

N
n=
1+ N e 2

Keterangan :

n : ukuran sampel

N : ukuran populasi

e : kelonggaran ketidak telitian karena pengambilan sampel yang

ditolerir 5%

Dalam penelitian ini jumlah populasi (n) adalah 77 anak, maka jumlah

sampel dalam penelitian ini adalah :

77
n=
1+77 ¿ ¿

77
n=
1+77 ( 0,0025 )

77
n=
1+0,1925

77
n=
1,1925

n=64,57

n=65
39

Adapun kriteria inklusi dan eksklusi pada penelitian ini adalah sebagai

berikut :

1. Kriteria Inklusi

Kriteria inklusi adalah kriteria atau ciri-ciri yang perlu

dipenuhi oleh setiap anggota populasi yang dapat diambil sebagai

sampel (Notoatmodjo, 2010).

Kriteria inklusi pada penelitian ini adalah :

1) Ibu yang memiliki anak dengan mengalami stunting di

wilayah kerja Puskesmas Lebdosari Kota Semarang.

2) Bersedia menjadi responden

2. Kriteria Eksklusi

Kriteria eksklusi adalah ciri-ciri anggota populasi yang

tidak dapat diambil sebagai sampel (Notoatmodjo, 2010).

1) Tidak dapat ditemui pada saat penelitian

2) Ibu yang memiliki anak stunting dengan komplikasi


40

3. Teknik sampling

Teknik sampling merupakan teknik pengambilan sampel.

Untuk menentukan sampel yang akan digunakan dalam penelitian

(Riyanto, 2017). Teknik sampling yang akan digunakan pada

penelitian ini adalah cluster random sampling yaitu tehnik

pengambilan sampel secara kelompok atau gugus, sampel bukan

terdiri dari individu, tetapi terdiri dari kelompok atau gugusan.

Teknik pengambilan sampel dalam cluster random sampling

mendaftar banyaknya kelompok, kemudian mengambil sampel

berdasarkan kelompok yang ada didalam populasi tersebut

(Riyanto, 2017).

Adapun rumus dalam penentuan cluster random sampling

adalah :

Keterangan :

Fi : Sample pecahan cluster

Ni: Banyaknya Individu yang ada dalam cluster

N : Banyak populasi seluruhnya

Kelurahan Kalibanteng Kidul

Fi = Ni
N
65 = 26
77
65 = 0.337
= 0.337 x 65
41

= 21.905
= 22
Kelurahan Kalibanteng Kulon

Fi = Ni
N
65 = 11
77
65 = 0.142
= 0.142 x 65
= 9.23
=9
Kelurahan Gisikdrono

Fi = Ni
N
65 = 37
77
65 = 0.480
= 0.480 x 65
= 31.2
= 31
Kelurahan Tambakharjo

Fi = Ni
N
65 =3
77
65 = 0.038
= 0.038 x 65
= 2.47
=3
Table 3.1
Jumlah perhitungan sample Masing-masing Kelurahan
di wilayah Kerja Puskesmas Lebdosari Kota Semarang

No Kelurahan Populasi Sample


1 Kalibanteng Kulon 26 22
2 Kalibanteng Kidul 11 9
3 Gisikdrono 37 31
4 Tambakharjo 3 3
Jumla 77 65
42

h
Sumber : Puskesmas Lebdosari Kota Semarang dalam
angka
F. Definisi Operasional

1. Variabel Bebas

Variabel bebas merupakan variabel yang mempengaruhi atau yang

menjadi sebab perubahan atau timbulnya variabel terikat (Sugiyono,

2010). Variabel bebas dalam penelitian ini yaitu faktor Tingkat

pengetahuan ibu, Pemberian ASI eksklusif, Pola asuh, Pemberian MP-

ASI, dan Status imunisasi.

2. Variabel Terikat

Variabel terikat merupakan variabel yang dipengaruhi atau yang

menjadi akibat, karena adanya variabel bebas (Sugiyono, 2010).

Variabel terikat dalam penelitian ini adalah kejadian stunting.

3. Definisi Opeasional

Definisi operasional adalah uraian tentang batasan variabel yang

dapat diukur atau tentang apa yang diukur oleh variabel yang

bersangkutan (Notoatmodjo, 2010).

Table 3.2 Definisi Operasional

Variabel Definisi Alat Ukur Hasil Ukur Skala


Operasional Pengukuran
Variabel Bebas
Tingkat Hal-hal yang Kuesioner 1. Baik jika Ordinal
Pengetahuan diketahui menggunakan nilai 23-
responden skala likert 30
berkaitan dengan yang terdiri 2. Kurang
kemampuan dari 15 item baik jika
responden pertanyaan, 14 nilai 15-
43

menjawab pertanyaan 22
pertanyaan favourable
pengertian,dampak, (1,2,4,5,6,7,8,
penyebab, dan 9,10,11,12,13,
pencegahan serta 14,15) dan 1
faktor-faktor yang pertanyaan
mempengaruhi unfavourable
stunting (3) dengan
(Nurhasanah, skor :
2019). 1 : salah
2 : benar
nilai tertinggi
30 dan nilai
terendah 15
Pemberian ASI Pemberian Kuesioner 1. ASI Nominal
eksklusif makanan hanya menggunakan parsial
berupa ASI tanpa skala guttman 2. ASI
pemberian dengan 5 item eksklusif
makanan pertanyaan, 1
pendamping ASI pertanyaan
(MP-ASI) pada favourable (2)
saat anak berusia 0- dan 4
6 bulan. pertanyaan
unfavourable
(1,3,4,5)
dengan skor :
1 : tidak
2 : ya
nilai tertinggi
10 dan nilai
terendah 5
Dikatakan ASI
eksklusif
apabila
pemberian
ASI selama 6
bulan tanpa
menambahkan
makanan
tambahan.
Pola Asuh Proses interaksi Kuesioner 1. Kurang Ordinal
antara orang tua menggunakan baik jika
dan anak dalam skala guttman nilai 9-13
mendukung dengan 9 item 2. Baik jika
perkembangan pertanyaan. nilai 14-
44

fisik, emosi, social, Pola asuh 18


intelektual, dan otoriter 3
spiritual anak sejak pertanyaan
dari dalam unfavourable
kandungan sampai (1,2,3). Pola
dewasa. asuh permisif
3 pertanyaan
favourable
(1,2,3), dan
pola asuh
demokratis 3
pertanyaan
favourable
(1,2,3).
Dengan skor :
1 : tidak
2 : ya
nilai tertinggi
18 dan nilai
terendah 9
Pemberian Proses transisi dari Kuesioner 1. Sesuai Nominal
MP-ASI asupan yang hanya menggunakan 2. Tidak
berbasis susu skala guttman sesuai
menuju ke dengan 3 item
makanan yang pertanyaan
semipadat (Siti, unfavourable
2019). (1) dengan
skor :
1 : tidak
2 : ya
nilai tertinggi
6 dan nilai
terendah 3
Status Kelengkapan jenis Kuesioner 1. Lengkap Nominal
Imunisasi lima imunisasi menggunakan 2. Tidak
yang diwajibkan skala guttman lengkap
untuk anak atau dengan 1 item
biasa disebut Lima pertanyaan,
Imunisasi Dasar skor :
Lengkap (L-I-L) 1 : tidak
yaitu BCG, DPT, 2 : ya
Polio, Hepatitis B, nilai tertinggi
dan Campak. 12 dan nilai
terendah 6
45

Variabel
Terikat
Kejadian Kondisi dimana Table Z-Score 1. Pendek : Ordinal
Stunting tinggi badan anak -3 s/d <-
tidak memenuhi -3 s/d <- 2 2 SD
tinggi badan SD : pendek 2. Sangat
normal menurut <-3 SD : pendek :
umumnya. Dengan sangat pendek <-3 SD
standar defisiensi
-2SD maupun -3SD
(WHO dalam
Kepmenkes no :
1995/MENKES/SK
/XII/2010)
46

G. Instrumen Penelitian dan Cara Pengumpulan Data

1. Instrumen Penelitian

Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuesioner.

Kuesioner adalah daftar pertanyaan yang disusun secara tertulis dalam

rangka pengumpulan data suatu penelitian. Kuesioner terdiri atas :

a. Kuesioner digunakan untuk mencatat identitas responden

(nama, jenis kelamin, usia, tinggi badan)

b. Kuesioner A digunakan untuk mengukur tingkat pengetahuan

ibu yang terdiri dari 14 item pertanyaan favourable dan 1

pertanyaan unfavourable dengan skor jawaban Salah bernilai =

1 dan jawaban Benar bernilai = 2

c. Kuesioner B digunakan untuk mengukur faktor pemberian ASI

eksklusif yang terdiri dari 1 item pertanyaan unfavourable

dengan skor jawaban Tidak bernilai = 1 dan jawaban Ya

bernilai = 2

d. Kuesioner C digunakan untuk mengukur faktor pola asuh yang

terdiri dari Pola asuh otoriter 3 item pertanyaan unfavourable,

Pola asuh permisif 3 item pertanyaan favourable dan pola asuh

demokratis 3 item pertanyaan favourable dengan skor jawaban

Tidak bernilai = 1 dan jawaban Ya bernilai = 2


47

e. Kuesioner D digunakan untuk mengukur faktor pemberian MP-

ASI yang terdiri dari 1 item pertanyaan unfavourable dengan

skor jawaban Tidak bernilai = 1 dan jawaban Ya bernilai = 2

f. Kuesioner E digunakan untuk mengukur faktor status imunisasi

yang terdiri dari 1 item pertanyaan dengan skor jawaban Tidak

bernilai = 1 dan jawaban Ya bernilai = 2

g. Kuesioner F digunakan untuk mengukur faktor kejadian

stunting dan menggunakan Table Z-Score dengan jawaban -3

s/d <- 2 SD = pendek dan <-3 SD = sangat pendek

2. Uji Validitas dan Reliabilitas

a. Uji Validitas

Setelah instrumen yang digunakan berupa kuesioner sebagai

alat ukur penelitian selesai disusun, kemudian dilakukan uji

validitas dan reliabilitas karena suatu kuesioner dikatakan valid jika

kuesioner tersebut mengungkapkan sesuatu yang akan diukur oleh

kuesioner tersebut (Riyanto, 2017).

Uji validitas digunakan untuk mengukur relevan tidaknya

pengukuran dan pengamatan yang dilakukan pada penelitian

(Notoatmodjo, 2010). Untuk menguji validitas maka dilakukan

dengan menghitung korelasi antar masing-masing pertanyaan

dengan skor total menggunakan rumus korelasi product moment,

yang rumusnya sebagai berikut :

N . ∑ X .Y −∑ X . ∑ Y
rₓᵧ=
√¿¿¿
48

Keterangan :

rxy = koefisiensi kolerasi tiap item

N = banyaknya subyek uji coba

∑X = jumlah skor item

∑Y = jumlah skor total

∑ x 2 = jumlah kuadrat skor item

∑Y2 = jumlah kuadrat skor

∑XY = jumlah perkalian skor item dan skor total

Hasil perhitungan tiap-tiap item dibandingkan dengan tabel

nilai product moment. Bila hasil r hitung lebih besar dibandingkan

dengan r tabel 0,444 dengan taraf signifikasi 0,05 maka kuesioner

dikatakan valid dan dapat digunakan untuk meneliti. Namun,

sebaliknya apabila r hitung lebih kecil dari r tabel 0,444 maka

pernyataan tersebut tidak valid dan tidak bisa digunakan untuk

penelitian.

1) Kuesioner A

Dari 15 item kuesioner tingkat pengetahuan yang

diujikan di Puskesmas Manyaran Kota Semarang

kepada 20 responden, di dapatkan hasil r hitung 0,527-

0,790 yang lebih besar dari r tabel (0,444) maka

dinyatakan valid.

2) Kuesioner B
49

Dari 5 item kuesioner pemberian ASI eksklusif yang

diujikan di Puskesmas Manyaran Kota Semarang

kepada 20 responden, di dapatkan hasil r hitung 0,652-

0,789 yang lebih besar dari r tabel (0,444) maka

dinyatakan valid.

3) Kuesioner C

Dari 9 item kuesioner pola asuh yang diujikan di

Puskesmas Manyaran Kota Semarang kepada 20

responden, di dapatkan hasil r hitung 0,821-0,955 yang

lebih besar dari r tabel (0,444) maka dinyatakan valid.

4) Kuesioner D

Dari 3 item kuesioner pemberian MP-ASI yang diujikan

di Puskesmas Manyaran Kota Semarang kepada 20

responden, di dapatkan hasil r hitung 0,815-0,949 yang

lebih besar dari r tabel (0,444) maka dinyatakan valid.

5) Kuesioner E

Dari 6 item kuesioner pemberian status imunisasi yang

diujikan di Puskesmas Manyaran Kota Semarang

kepada 20 responden, di dapatkan hasil r hitung 0,619-

0,762 yang lebih besar dari r tabel (0,444) maka

dinyatakan valid.

b. Uji Reliabilitas
50

Reliabilitas adalah indeks yang menunjukkan sejauh mana

suatu alat pengukur dapat dipercaya atau dapat diandalkan. Hal ini

berarti menunjukkan sejauh mana hasil pengukuran itu tetap

konsisten atau tetap asas (ajeg) bila dilakukan pengukuran dua kali

atau lebih terhadap gejala yang sama, dengan menggunakan alat

ukur yang sama (Notoatmodjo, 2010).

Pengujian reliabilitas dalam penelitian ini dengan one shot

yaitu melalui uji coba instrumen sekali saja kemudian hasil yang

diperoleh dianalisa dengan metode Alpha Cronbach, yang

rumusnya sebagai berikut :

∑ pi . q
r ii = [ ][
k
k −1
. 1−
S 2t
i

]
Keterangan:

r ii = rabilitas instrumen

∑ pi . q =
i
jumlah varian skor tiap-tiap item

S2t = varians skor total

K = banyak item soal

Uji reliabilitas dilakukan di wilayah kerja Puskesmas

Bandarharjo, dengan jumlah responden 20. Sehingga hasil nilai

Cronbach’s Alpha > konstanta (0,6), maka pertanyaan reliabel. Bila

nilai Cronbach’s Alpha < konstanta (0,6), maka pertanyaan tidak

reliable (Riyanto, 2017).

1) Kuesioner A
51

Dari uji kuesioner tingkat pengetahuan yang telah valid

dinyatakan reliable dengan α hitung 0,904 yang lebih

besar dari Cronbach’s α (0,6).

2) Kuesioner B

Dari uji kuesioner tingkat pengetahuan yang telah valid

dinyatakan reliable dengan α hitung 0,764 yang lebih

besar dari Cronbach’s α (0,6).

3) Kuesioner C

Dari uji kuesioner tingkat pengetahuan yang telah valid

dinyatakan reliable dengan α hitung 0,680 yang lebih

besar dari Cronbach’s α (0,6).

4) Kuesioner D

Dari uji kuesioner tingkat pengetahuan yang telah valid

dinyatakan reliable dengan α hitung 0,885 yang lebih

besar dari Cronbach’s α (0,6).

5) Kuesioner E

Dari uji kuesioner tingkat pengetahuan yang telah valid

dinyatakan reliable dengan α hitung 0,828 yang lebih

besar dari Cronbach’s α (0,6).


52

3. Cara pengumpulan data

Pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini

menggunakan alat ukur kuesioner yang telah dibuat oleh peneliti.

Sebelum diberikan kepada responden, kuesioner tersebut dilakukan uji

validitas oleh peneliti. Pengumpulan data dilakukan dengan cara :

1) Meminta surat izin dari kampus untuk melaksanakan studi

pendahuluan dengan tujuan untuk mencari jumlah kejadian

stunting.

2) Meminta surat izin penelitian kepada ketua STIKES Widya

Husada, yang sebelumnya telah disetujui oleh ketua program

studi jurusan ilmu keperawatan untuk melakukan penelitian di

wilayah kerja Puskesmas Lebdosari Kota Semarang.

3) Setelah mendapat izin dari Puskesmas Lebdosari Kota

Semarang maka peneliti langsung melakukan penelitian

tersebut.

4) Setelah responden bersedia maka responden diberi kuesioner

yang harus diisi oleh responden dalam waktu 30 menit yang

sebelumnya telah dijelaskan cara pengisiannya oleh peneliti.

5) Selanjutnya peneliti mengumpulkan data dan memeriksa

kelengkapannya. Bila masih ada yang kurang maka dimohon

untuk melengkapinya.

6) Ceritakan proses pengambilan data kemarin

H. Teknik Pengolahan dan Analisis Data


53

1. Teknik Pengolahan Data

Pengolahan data dilakukan dengan tahap-tahap sebagai berikut :

a. Editing

Editing adalah tindakan mengecek dan memperbaiki isian

formulir pertanyaan, sebagai upaya peneliti dalam memeriksa

kembali kebenaran data yang diperoleh atau dikumpulkan. Pada

penelitian ini peneliti melakukan pengecekan kuesioner setelah

kuesioner diisi oleh responden, sehingga ketika ada informasi yang

terlewatkan peneliti langsung mengkonfirmasikannya kepada

responden yang bersangkutan.

b. Coding

Coding adalah mengubah data berbentuk kalimat atau huruf

menjadi data angka atau bilangan. Pada penelitian ini peneliti

memberikan kode pada setiap item di kuesioner sesuai dengan

jawaban responden.
54

Pemberian coding disesuaikan dengan kategori yang telah

ditentukan. Misalnya usia menggunakan coding 1 0-11 bulan, 2

untuk 12-24 bulan, 3 untuk 25-36 bulan, 4 untuk 37-48 bulan, 5

untuk 49-59 bulan. Jenis kelamin menggunakan coding 1 laki-laki,

coding 2 perempuan. Faktor tingkat pengetahuan menggunakan

coding 1 untuk baik, 2 untuk kurang baik. Faktor pemberian ASI

menggunakan coding 1 untuk ASI parsial, 2 untuk ASI eksklusif.

Faktor pola asuh menggunakan coding 1 untuk kurang baik, 2

untuk baik. Faktor pemberian MP-ASI menggunakan coding 1

sesuai, 2 untuk tidak sesuai. Faktor status imunisasi menggunakan

coding 1 untuk lengkap, 2 untuk tidak lengkap

c. Tabulating

Tabulating adalah pekerjaan membuat tabel, jawaban-

jawaban yang telah diberi kode kemudian dimasukkan kedalam

tabel. Pada tabulasi data, peneliti memasukkan data yang telah

diberi kode untuk dimasukkan kedalam tabel yang akan dianalisis.

d. Entry Data

Entry data adalah jawaban dari responden yang dalam

bentuk kode yakni angka atau huruf dimasukkan kedalam program

atau software computer yaitu paket program SPSS. Dalam

penelitian ini peneliti menggunakan program SPSS 20 dengan

memasukkan jawaban responden yang sudah dilakukan coding

sebelumnya oleh peneliti.


55

I. Analisa Data

Setelah data diolah, kemudian dilanjutkan dengan melakukan

analisis data yang meliputi :

a. Analisis Univariate

Analisis univariate yaitu bertujuan untuk menjelaskan atau

mendiskripsikan karakteristik setiap variabel penelitian,

(Notoatmodjo, 2010). Analisa univariate ini digunakan untuk

mengetahui proporsi dari masing-masing variabel penelitian

yaitu variabel bebas (faktor tingkat pengetahuan, faktor

pemberian ASI eksklusif, faktor pola asuh, faktor pemberian

MP-ASI, dan faktor status imunisasi) dan variabel terikat

(kejadian stunting). Analisis univariat untuk data kategorik

ditampilkan dalam bentuk distribusi frekuensi.

b. Analisis Bivariat

Analisis bivariat adalah analisa yang dilakukan dalam dua

variable yang diduga berhubungan atau berkolerasi

(Notoatmodjo, 2010), dalam penelitian ini, analisis bivariat

dilakukan dengan Uji Korelasi Chi – Square karena datanya

kategorik dengan skala data nominal dan ordinal, yaitu :

( fo−fe)²
x ²=∑
fe

Keterangan :

X2 = Chi kuadrat

f0 = Frekuensi yang dobservasi


56

fh = Frekuensi yang diharapkan

Aturan yang berlaku untuk interpretasi uji chi square pada

analisis menggunakan komputer adalah sebagai berikut :

1. Jika pada tabel silang 2x2 dijumpai expected count kurang

dari 5 lebih dari 20% jumlah sel, maka uji hipotesis yang

digunakan adalah uji alternatif Chi- Square, yaitu uji fisher.

Hasil yang dibaca pada bagian Fisher,s Exact Test.

2. Pada tabel selain 2x2 atau 2xk maka dilakukan

penggabungan sel, kemudian ulangi kembali analisis

dengan uji Chi- Square.

3. Jika pada tabel silang 2x2 tidak dijumpai Expected Count

kurang dari 5 atau dijumpai tetapi tidak lebih dari 20%

jumlah sel maka hipotesis yang digunakan adalah uji Chi-

Square. Hasil yang dibaca pada bagian Continuity

correction.

4. Jika tabel silang selain 2x2 tidak dijumpai Expected Count

kurang dari 5 atau dijumpai tetapi tidak lebih dari 20%

jumlah sel, maka uji hipotesis yang digunakan adalah uji

Chi-Square,Hasil yang dibaca pada bagian Pearson Chi-

Square

untuk memutuskan apakah terdapat hubungan antara variabel

bebas dengan variabel terikat, digunakan p-value yang

dibandingkan dengan tingkat kesalahan (alpha) yang


57

digunakan yaitu 5%. Apabila p-value > 0,05 maka Ho diterima

dan Ha ditolak yang artinya tidak ada hubungan faktor tingkat

pengetahuan, faktor pemberian ASI eksklusif, faktor pola asuh,

faktor pemberian MP-ASI, dan faktor status imunisasi terhadap

kejadia stunting di wilayah kerja Puskesmas Lebdosari Kota

Semarang, sedangkan apabila p-value ≤ 0,05 maka Ho ditolak

dan Ha diterima yang artinya ada hubungan factor tingkat

pengetahuan, factor pemberian ASI eksklusif, factor pola asuh,

factor pemberian MP-ASI, dan factor status imunisasi terhadap

kejadian stunting di wilayah kerja Puskesmas Lebdosari Kota

Semarang (Sugiyono, 2010).

J. Etika Penelitian

Penelitian yang dilakukan harus sesuai dengan etika penelitian

yang meliputi :

1. Informed Consent

Informed consent merupakan proses pemberian informasi

yang cukup dapat di mengerti kepada responden mengenai

partisipasinya dalam suatu penelitian. Sebelumnya peneliti

meminta persetujuan kepada responden untuk kesanggupannya

mengisi kesioner, setelah itu saat pengambilan sampel terlebih

dahulu peneliti memberikan penjelasan mengenai judul, tujuan

penelitian, dan cara pengisian kuesioner.

2. Anonymity (Tanpa nama)


58

Anonymity merupakan masalah etika dalam penelitian

dengan cara tidak memberikan nama responden pada lembar

alat ukur, hanya membutuhkan kode pada lembar pengumpulan

data. Peneliti menginformasikan kepada responden untuk dapat

menuliskan nama inisial kedalam kuesioner.

3. Confidentiality (Kerahasiaan)

Confidentiality merupakan masalah etika dengan menjamin

kerahasiaan hasil penelitian baik informasi maupun masalah –

masalah lainnya, semua informasi yang telah dikumpulkan

dijamin kerahasiaan oleh peneliti, hanya kelompok data tertentu

yang akan dilaporkan pada hasil riset. Peneliti menyimpan

kuesioner yang telah diisi di tempat yang tidak diketahui oleh

orang lain dan melindungi semua informasi yang ada

didalamnya.

K. Jadwal Penelitian

Jadwal penelitian terlampir


BAB IV

HASIL PENELITIAN

A. Gambaran Lokasi Penelitian

Puskesmas Lebdosari Kota Semarang merupakan salah satu

dari 37 Puskesmas di Kota Semarang, dengan wilayah kerja Puskesmas

Lebdosari Kota Semarang terdiri dari Kelurahan Kalibanteng Kulon,

Kelurahan Kalibanteng Kidul, Kelurahan Gisikdrono, dan Kelurahan

Tambakharjo.

Puskesmas sebagai pusat layanan kesehatan yang memiliki

standar sendiri termsuk dalam menangani anak-anak. Puskesmas Lebdosari

Kota Semarang buka setiap hari senin-kamis pukul 07.00-17.00 wib, hari

jum’at pukul 07.00-15.00 wib dan hari sabtu pukul 07.00-12.00 wib.

Puskesmas Lebdosari Kota Semarang ini melayani :

1. Pemeriksaan umum klinik IMS/PDP IGD

2. KIA dan KB

3. IVA-PKPR

4. Imunisasi

5. Konsultasi Gizi

6. Pemeriksaan Sanitasi

7. Pemeriksaan Gigi

8. Laboratorium

9. Farmasi

59
60

B. Karakteristik Responden Anak yang Mengalami Stunting

Responden dalam penelitian ini adalah ibu yang memiliki anak

dengan mengalami stunting di wilayah kerja Puskesmas Lebdosasri

Kota Semarang yaitu 65 anak, dengan gambaran umum seperti

dibawah ini :

1. Karakteristik Responden Berdasarkan Usia anak yang mengalami

stunting.

Tabel 4.1
Karakteristik Responden Berdasarkan Usia Anak Yang Mengalami
Stunting Di Wilayah Kerja Puskesmas Lebdosari Kota Semarang
Agustus 2020
n = 65
Usia Anak Frekuensi Presentase
(n) (%)
0-11 bulan 7 10,8
12-24 bulan 24 36,9
25-36 bulan 17 26,2
37-48 bulan 11 16,9
49-59 bulan 6 9,2
Total 65 100

Berdasarkan Tabel 4.1 karakteristik responden berdasarkan usia

anak yang mengalami stunting dapat diketahui bahwa usia anak

yang mengalami stunting terbesar berada pada usia 12-24 bulan

sebanyak 24 anak (36,9%). (pengelompokkan usia ini berdasarkan

apa ya mbak? Cek lagi

2. Karakteristik Responden Berdasarkan Jenis Kelamin anak yang

mengalami stunting.

Tabel 4.2
Karakteristik Responden Berdasarkan Jenis Kelamin Anak
Yang Mengalami Stunting Di Wilayah Kerja Puskesmas
Lebdosari Kota Semarang
61

Agustus 2020
n = 65
Usia Anak Frekuensi (n) Presentase
(%)
Laki-Laki 25 38,5
Perempuan 40 61,5
Total 65 100

Berdasarkan Tabel 4.2 karakteristik responden berdasarkan jenis

kelamin anak yang mengalami stunting dapat diketahui bahwa jenis

kelamin anak yang mengalami stunting terbesar yaitu jenis kelamin

perempuan sebanyak 40 anak (61,5%).

C. Faktor yang Mempengaruhi Kejadian Stunting Pada Anak

1. Tingkat Pengetahuan Ibu

Tabel 4.3
Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Tingkat
Pengetahuan Ibu Di Wilayah Kerja Puskesmas Lebdosari Kota
Semarang
Agustus 2020
n = 65

Tingkat Pengetahuan Ibu Frekuensi Presentase (%)


(n)
Baik 37 56,9
Kurang Baik 28 43,1
Total 65 100

Berdasarkan Tabel 4.3 distribusi frekuensi responden berdasarkan

tingkat pengetahuan ibu dapat diketahui bahwa tingkat pengetahuan


62

baik sebanyak 37 responden (56,9%) dan tingkat pengetahuan ibu

kurang baik sebanyak 28 responden (43,1%).

2. Pemberian ASI Eksklusif

Tabel 4.4
Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Pemberian ASI
Eksklusif Di Wilayah Kerja Puskesmas Lebdosari Kota Semarang
Agustus 2020
n = 65

Pemberian ASI Frekuensi Presentase (%)


(n)
ASI Eksklusif 39 60,0
ASI Parsial 26 40,0
Total 65 100

Berdasarkan Tabel 4.4 distribusi frekuensi responden berdasarkan

Pemberian ASI dapat diketahui bahwa pemberian ASI Eksklusif

sebanyak 39 responden (60,0%) dan pemberian ASI Parsial sebanyak

26 responden (40,0%).

3. Pola Asuh

Tabel 4.5
Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Pola Asuh Di
Wilayah Kerja Puskesmas Lebdosari Kota Semarang
Agustus 2020
n = 65

Pola Asuh Frekuensi Presentase (%)


(n)
Baik 34 52,3
Kurang Baik 31 47,7
Total 65 100
63

Berdasarkan Tabel 4.5 distribusi frekuensi responden berdasarkan pola

asuh dapat diketahui bahwa tingkat pola asuh baik sebanyak 34

responden (52,3%) dan pola asuh kurang baik sebanyak 31 responden

(47,7%).

4. Pemberian MP-ASI

Tabel 4.6
Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Pemberian MP-ASI
Di Wilayah Kerja Puskesmas Lebdosari Kota Semarang
Agustus 2020
n = 65

Pemberian MP-ASI Frekuensi Presentase (%)


(n)
Sesuai 36 55,4
Tidak Sesuai 29 44,6
Total 65 100

Berdasarkan Tabel 4.6 distribusi frekuensi responden berdasarkan

pemberian MP-ASI dapat diketahui bahwa pemberian MP-ASI

sesuai sebanyak 36 responden (55,4%) dan pemberian MP-ASI tidak

sesuai sebanyak 29 responden (44,6%).

5. Status Imunisasi

Tabel 4.7
Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Status Imunisasi Di
Wilayah Kerja Puskesmas Lebdosari Kota Semarang
Agustus 2020
n = 65

Status Imunisasi Frekuensi Presentase (%)


64

(n)
Lengkap 38 58,5
Tidak Lengkap 27 41,5
Total 65 100

Berdasarkan Tabel 4.7 distribusi frekuensi responden berdasarkan

status imunisasi dapat diketahui bahwa status imunisasi lengkap

sebanyak 38 responden (58,5%) dan status imunisasi tidak lengkap

sebanyak 27 responden (41,5%).

6. Kejadian Stunting

Tabel 4.8
Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Kejadian Stunting
Di Wilayah Kerja Puskesmas Lebdosari Kota Semarang
Agustus 2020
n = 65

Kejadian Stunting Frekuensi Presentase (%)


(n)
Pendek 30 46,2
Sangat Pendek 35 53,8
Total 65 100

Berdasarkan Tabel 4.8 distribusi frekuensi responden berdasarkan

status imunisasi dapat diketahui bahwa kejadian stunting kategori

pendek sebanyak 30 anak (46,2%) dan kategori sangat pendek

sebanyak 35 anak (53,8%).

D. Hubungan Antar Faktor yang Mempengaruhi Kejadian Stunting Pada

Anak
65

1. Faktor Tingkat Pengetahuan Ibu Dengan Kejadian Stunting Pada Anak

Tabel 4.9
Hubungan Faktor Tingkat Pengetahuan Ibu Dengan Kejadian
Stunting Pada Anak Di Wilayah Kerja Puskesmas Lebdosari Kota
Semarang Bulan Agustus 2020
n = 65

Kejadian Stunting
Tingkat Sangat Total
Pendek
Pengetahuan Ibu Pendek
N % N % N %
Baik 23 35,4 14 21,5 37 56,9
Kurang Baik 7 12,9 21 32,3 28 43,1
Total 30 48,3 35 53,8 65 100
Pvalue
0,006

Berdasarkan tabel 4.9 hubungan faktor tingkat pengetahuan ibu

dengan kejadian stunting pada anak, didapatkan hasil ibu yang

memiliki tingkat pengetahuan kurang baik yang memiliki anak dengan

kategori pendek sejumlah 7 orang (12,9%), ibu yang memiliki tingkat

pengetahuan kurang baik yang memiliki anak dengan kategori sangat

pendek sejumlah 21 orang (32,3%), sedangkan ibu yang memiliki

tingkat pengetahuan baik yang memiliki anak dengan kategori pendek

sejumlah 23 orang (35,4%) dan ibu yang memiliki tingkat

pengetahuan baik yang memiliki anak dengan kategori sangat pendek

sejumlah 14 orang (21,5%).

Berdasasrkan uji korelasi Chi – Square didapatkan hasil p value yang

lebih kecil dari tingkat kesalahan (p-value 0,006 < 0,05) maka Ho

ditolak Ha diterima, artinya ada hubungan antara faktor tingkat


66

pengetahuan ibu dengan kejadian stunting pada anak di wilayah kerja

Puskesmas Lebdosari Kota Semarang.

2. Faktor Pemberian ASI Eksklusif Dengan Kejadian Stunting Pada Anak

Tabel 4.10
Hubungan Faktor Pemberian ASI Eksklusif Dengan Kejadian
Stunting Pada Anak Di Wilayah Kerja Puskesmas Lebdosari Kota
Semarang Bulan Agustus 2020
n = 65

Kejadian Stunting
Sangat Total
Pemberian ASI Pendek
Pendek
n % n % N %
ASI Eksklusif 26 40,0 13 20,0 39 60,0
ASI Parsial 4 6,2 22 33,8 26 40,0
Total 30 46,2 35 53,8 65 100
Pvalue
0,000

Berdasarkan tabel 4.10 hubungan faktor pemberian ASI dengan

kejadian stunting pada anak, didapatkan hasil ibu yang memberikan

ASI parsial yang memiliki anak dengan kategori pendek sejumlah 4

orang (6,2%), ibu yang memberikan ASI parsial yang memiliki anak

dengan kategori sangat pendek sejumlah 22 orang (33,8%), sedangkan

ibu yang memberikan ASI Eksklusif yang memiliki anak dengan

kategori pendek sejumlah 26 orang (40,0%) dan ibu yang memberikan

ASI Eksklusif yang memiliki anak dengan kategori sangat pendek

sejumlah 13 orang (20,0%).

Berdasasrkan uji korelasi Chi – Square didapatkan hasil p value yang

lebih kecil dari tingkat kesalahan (p-value 0,000 < 0,05) maka Ho
67

ditolak Ha diterima, artinya ada hubungan antara faktor pemberian

ASI dengan kejadian stunting pada anak di wilayah kerja Puskesmas

Lebdosari Kota Semarang.

3. Faktor Pola Asuh Dengan Kejadian Stunting Pada Anak

Tabel 4.11
Hubungan Faktor Pola Asuh Dengan Kejadian Stunting Pada
Anak Di Wilayah Kerja Puskesmas Lebdosari Kota Semarang
Bulan Agustus 2020
n = 65
Kejadian Stunting
Sangat Total
Pola Asuh Pendek
Pendek
N % n % N %
Baik 24 36,9 10 15,4 34 52,3
Kurang Baik 6 14,3 25 38,5 31 47,7
Total 30 51,2 35 53,8 65 100
Pvalue
0,000

Berdasarkan tabel 4.11 hubungan faktor pola asuh dengan kejadian

stunting pada anak, didapatkan hasil ibu yang memiliki pola asuh

kurang baik yang memiliki anak dengan kategori pendek sejumlah 6

orang (14,3%), ibu yang memiliki pola asuh kurang baik yang

memiliki anak dengan kategori sangat pendek sejumlah 25 orang

(38,5%), sedangkan ibu yang memiliki pola asuh baik yang memiliki

anak dengan kategori pendek sejumlah 24 orang (36,9%) dan ibu yang

memiliki pola asuh baik yang memiliki anak dengan kategori sangat

pendek sejumlah 10 orang (15,4%).

Berdasasrkan uji korelasi Chi – Square didapatkan hasil p value yang

lebih kecil dari tingkat kesalahan (p-value 0,000 < 0,05) maka Ho
68

ditolak Ha diterima, artinya ada hubungan antara faktor pola asuh

dengan kejadian stunting pada anak di wilayah kerja Puskesmas

Lebdosari Kota Semarang.

4. Faktor Pemberian MP-ASI Dengan Kejadian Stunting Pada Anak

Tabel 4.12
Hubungan Faktor Pemberian MP-ASI Dengan Kejadian Stunting
Pada Anak Di Wilayah Kerja Puskesmas Lebdosari Kota
Semarang Bulan Agustus 2020
n = 65
Kejadian Stunting
Sangat Total
Pemberian MP-ASI Pendek
Pendek
n % n % n %
Sesuai 23 35,4 13 20,0 36 55,4
Tidak Sesuai 7 10,8 22 33,8 29 44,6
Total 30 46,2 35 53,8 65 100
Pvalue
0,003

Berdasarkan table 4.12 hubungan faktor pemberian MP-ASI dengan

kejadian stunting pada anak, didapatkan hasil ibu yang memberikan

MP-ASI tidak sesuai yang memiliki anak dengan kategori pendek

sejumlah 7 orang (10,8%), ibu yang memberikan MP-ASI tidak sesuai

yang memiliki anak dengan kategori sangat pendek sejumlah 22 orang

(33,8%), sedangkan ibu yang memberikan MP-ASI sesuai yang

memiliki anak dengan kategori pendek sejumlah 23 orang (35,4%) dan

ibu yang memberikan MP-ASI sesuai yang memiliki anak dengan

kategori sangat pendek sejumlah 13 orang (20,0%).

Berdasasrkan uji korelasi Chi – Square didapatkan hasil p value yang

lebih kecil dari tingkat kesalahan (p-value 0,003 < 0,05) maka Ho
69

ditolak Ha diterima, artinya ada hubungan antara faktor pemberian

MP-ASI dengan kejadian stunting pada anak di wilayah kerja

Puskesmas Lebdosari Kota Semarang.

5. Faktor Status Imunisasi Dengan Kejadian Stunting Pada Anak

Tabel 4.13
Hubungan Faktor Status Imunisasi Dengan Kejadian Stunting
Pada Anak Di Wilayah Kerja Puskesmas Lebdosari Kota
Semarang Bulan Agustus 2020
n = 65
Kejadian Stunting
Sangat Total
Status Imunisasi Pendek
Pendek
N % n % N %
Lengkap 29 44,6 9 13,8 38 58,5
Tidak Lengkap 1 1,5 26 40,0 27 41,5
Total 30 46,1 35 53,8 65 100
Pvalue
0,000

Berdasarkan table 4.13 hubungan faktor status imunisasi dengan

kejadian stunting pada anak, didapatkan hasil ibu yang memiliki status

imunisasi tidak lengkap yang memiliki anak dengan kategori pendek

sejumlah 1 orang (1,5%), ibu yang memiliki status imunisasi tidak

lengkap yang memiliki anak dengan kategori sangat pendek sejumlah

26 orang (40,0%), sedangkan ibu yang memiliki status imunsasi

lengkap yang memiliki anak dengan kategori pendek sejumlah 29

orang (44,6%) dan ibu yang memiliki status imunisasi lengkap yang

memiliki anak dengan kategori sangat pendek sejumlah 9 orang

(13,8%).
70

Berdasasrkan uji korelasi Chi – Square didapatkan hasil p value yang

lebih kecil dari tingkat kesalahan (p-value 0,000 < 0,05) maka Ho

ditolak Ha diterima, artinya ada hubungan antara faktor status

imunisasi dengan kejadian stunting pada anak di wilayah kerja

Puskesmas Lebdosari Kota Semarang.


BAB V

PEMBAHASAN

A. Analisis Univariat

1. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Usia Anak yang

Mengalami Stunting

Usia balita merupakan masa dimana proses pertumbuhan dan

perkembangan yang terjadi sangat pesat. Pada masa-masa ini balita

membutuhkan asupan gizi yang cukup dan kualitas yang lebih banyak

karena umumnya mempunyai aktivitas fisik yang cukup tinggi dan

masih dalam proses belajar (Welassih & Wirjadmadi, 2012).

Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Nurhasanah dengan

judul factor-faktor yang berhubungan dengan kejadian stunting pada

balita di wilayah kerja Puskesmas Pandan Kabupaten Sintang dengan

hasil sebagian besar responden berusia 25-36 bulan sebanyak 34,6% dan

sebagian kecil responden berusia 49-59 bulan sebanyak 10,3%.

Berdasarkan hasil penelitian dengan jumlah sampel 65 responden

ibu yang memiliki anak dengan stunting diketahui anak yang berusia 0-

11 bulan sebanyak 7 anak (10,8%), usia 12-24 bulan sebanyak 24 anak

(36,9%), usia 25-36 bulan sebanyak 17 anak (26,2%), usia 37-48 bulan

sebanyak 11 anak (16,9%), dan usia 49-59 bulan sebanyak 6 anak

(9,2%). Hal ini menunjukkan bahwa mayoritas anak berusia 12-24

bulan.

71
72

2. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Jenis Kelamin Anak yang

Mengalami Stunting

Jenis kelamin (seks) adalah perbedaan antara perempuan dengan

laki-laki secara biologis sejak seseorang lahir. Seks berkaitan dengan

tubuh laki-laki dan perempuan, dimana laki-laki memproduksikan

sperma, sementara perempuan menghasilkan sel telur dan secara

biologis mampu untuk menstruasi, hamil dan menyusui. Perbedaan

biologis dan fungsi biologis laki-laki dan perempuan tidak dapat

dipertukarkan diantara keduanya, dan fungsinya tetap dengan laki-laki

dan perempuan pada segala ras yang ada di muka bumi (Hungu, 2010).

Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Nurhasanah dengan

judul faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian stunting pada

balita di wilayah kerja Puskesmas Pandan Kabupaten Sintang dengan

hasil diketahui bahwa sebagian besar dari responden mempunyai anak

balita berjenis kelamin laki-laki yaitu sebesar 57,7% dan sebagian

kecilnya berjenis kelamin perempuan yaitu sebesar 42,3%.

Berdasarkan hasil penelitian dengan jumlah sampel 65 responden

ibu yang memiliki anak dengan stunting diketahui anak yang berjenis

kelamin laki-laki sebanyak 25 anak (38,5%), dan anak yang berjenis

kelamin perempuan sebanyak 40 anak (61,5%). Hal ini menunjukkan

bahwa mayoritas anak yang berjenis kelamin perempuan.


73

Semua pembahasan ;

Sajikan hasil – ambil nilai yg signifikan (terbesar) atau yg menonjol – dimaknai

hasil tersebut. Kaitkan dg teori yang mendukung – rujuk hasil penelitian yg lain –

asumsi peneliti berdasarkan catatan lapangan atau kuesioner. Kemudian lanjutkan

jg dengan hasil penelitian yang lain.

3. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Tingkat Pengetahuan Ibu

Pendidikan ibu merupakan faktor yang sangat penting karena tinggi

rendahnya tingkat pendidikan ibu erat kaitannya dengan tingkat

pengetahuan terhadap perawatan kesehatan,kehamilan hingga gizi

anak-anak dan keluarganya. Tingkat pendidikan turut menentukan

mudah tidak nya seseorang menyerap dan memahami pengetahuan gizi

yang mereka peroleh. Tingkat pendidikan ibu merupakan salah satu

faktor yang mempengaruhi status gizi balita. Tingkat pendidikan ibu

dan stimulus yang baik dirumah dapat bertindak sebagai faktor bersifat

protektif yang mempengaruhi (Nurhasanah, 2019).

Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Nadhiroh tahun 2019

yang berjudul faktor yang berhubungan dengan kejadian stunting pada

balita diperoleh data sebesar 67,6 % ayah dan ibu berpendidikan tinggi

dan 32,4 % ayah dan ibu berpendidikan rendah.

Berdasarkan hasil penelitian dengan jumlah sampel 65 responden

diketahui ibu yang memiliki tingkat pengetahuan kurang baik sebanyak

28 responden (43,1%) dan ibu yang memiliki tingkat pengetahuan baik


74

sebanyak 37 responden (56,9%). Hal ini menunjukkan bahwa

mayoritas responden memiliki tingkat pengetahuan yang baik.

4. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Pemberian ASI Eksklusif

Pemberian Air Susu Ibu (ASI) merupakan pemberian makanan

yang hanya berupa ASI tanpa pemberian makanan pendamping ASI

(MP-ASI) pada anak-anak berusia 0-6 bulan. ASI merupakan asupan

gizi terbaik dan paling ideal bagi bayi baru lahir. Pemberian ASI

diawali dengan proses inisiasi menyusu dini (IMD). Pemberian ASI

eksklusif di berikan selama enam bulan bayi. Kebutuhan energi dan zat

gizi lainnya untuk bayi dapat dipenuhi dari ASI. Pemberian ASI

eksklusif merupakan hak bayi yang berkaitan dengan komitmen ibu,

dukungan keluarga, dan lingkungan sekitar. Adanya faktor protektif

dan zat gizi yang sesuai dalam ASI menjamin status gizi bayi dapat

optimal dan dapat menurunkan kesakitan dan kematian anak

(Koletzko, 2010).

Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Agus Hendra tahun

2010 yang berjudul kajian stunting pada anak balita ditinjau dari

pemberian ASI eksklusif, MP-ASI, status imunisasi dan karakteristik

keluarga di kota Banda Aceh tahun 2010. Hasil penelitian

menyimpulkan bahwa kejadian stunting pada anak balita di Kota

Banda Aceh tahun 2010 disebabkan oleh pemberian ASI yaitu 95%.

Artinya anak balita yang mengalami stunting resikonya 4 kali lebih

besar disebabkan oleh anak balita yang tidak mendapat ASI eksklusif
75

dibandingkan dengan yang mendapat ASI eksklusif di Kota Banda

Aceh.

Berdasarkan hasil penelitian dengan jumlah sampel 65 responden

diketahui ibu yang memberikan ASI parsial sebanyak 26 responden

(40,0%) dan ibu yang memberikan ASI eksklusif sebanyak 39

responden (60,0%). Hal ini menunjukkan bahwa mayoritas responden

meberikan ASI eksklusif.

5. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Pola Asuh

Pola asuh orang tua adalah gaya pengasuhan yang diterapkan pada

anak dan bersifat relatif konsisten dari waktu ke waktu, Perlakuan

orangtua terhadap anak, memberikan kontribusi yang besar terhadap

kompetensi sosial, emosional dan intelektual anak (Soedjadmiko,

2018).

Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Dian Kusuma tahun

2016 yang berjudul hubungan karakteristik ibu dan pola asuh gizi

dengan kejadian balita stunting di desa Hargorejo Kulonprogo DIY

tahun 2016. Hasil penelitian diperoleh data 51,1 %. Artinya ibu

memiliki pola asuh yang baik terhadap pemenuhan gizi.

Berdasarkan hasil penelitian dengan jumlah sampel 65 responden

diketahui pola asuh kurang baik sebanyak 31 responden (47,7%) dan

pola asuh yang baik sebanyak 34 responden (52,3%). Hal ini

menunjukkan bahwa mayoritas responden memiliki pola asuh yang

baik.
76

6. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Pemberian MP-ASI

Pemberian Makanan Pendamping Air Susu Ibu (MP-ASI) yang

merupakan proses transisi dari asupan yang hanya berbasis susu

menuju ke makanan yang semi padat, setelah masa pemberian ASI

selama enam bulan, bayi mulai diperkenalkan dengan makanan

keluarga yang sering disebut Makanan Pendamping Air Susu Ibu (MP-

ASI). Periode pemberian MP-ASI merupakan salah satu perubahan

besar pada pola makan bayi. Pilihan makanan beralih, dari sumber

makanan tunggal menjadi sumber makanan beragam, dengan

komposisi gizi, rasa, dan tekstur yang berbeda (Perng dan Oken, 2016).

Pemberian MP-ASI pada usia yang cukup akan meminimalisasi

dampak negatif yang terjadi, pemberian MP-ASI yang terlambat dapat

menyebabkan keterlambatan perkembangan kemampuan makan dan

memicu terjadinya malnutrisi (Atmaka, 2019).

Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Mufida tahun 2015

yang berjudul permasalahan dan penanganan stunting, menunjukkan

hubungan antara pemberian MP-ASI dini sebelum enam bulan beresiko

95% atau 3,6 kali lebih tinggi mengalami stunting dibandingkan

dengan anak yang diberikan MP-ASI tepat waktu.

Berdasarkan hasil penelitian dengan jumlah sampel 65 responden

diketahui ibu yang memberikan MP-ASI yang tidak sesuai sebanyak

29 responden (44,6%) dan ibu yang memberikan MP-ASI sesuai


77

sebanyak 36 responden (55,4%). Hal ini menunjukkan bahwa

mayoritas responden meberikan MP-ASI yang sesuai.

7. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Status Imunisasi

Imunisasi merupakan suatu program yang dengan sengaja

memasukan antigen lemah agar merangsang antibodi keluar sehingga

tubuh dapat resisten terhadap penyakit tertentu (Proverawati, 2010).

Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Nurhasanah tahun

2019 yang berjudul faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian

stunting pada balita di wilayah kerja Puskesmas Pandan Kabupaten

Sintang tahun 2019 diperoleh data bahwa status imunisasi yang

lengkap yaitu sebesar 61,8 %.

Berdasarkan hasil penelitian dengan jumlah sampel 65 responden

diketahui status imunisasi tidak lengkap sebanyak 27 responden

(41,5%) dan status imunisasi yang lengkap sebanyak 38 responden

(58,5%). Hal ini menunjukkan bahwa mayoritas anak mendapatkan

status imunisasi yang lengkap.

B. Analisis Bivariat

1. Hubungan Antara Faktor Tingkat Pengetahuan Ibu dengan Kejadian

Stunting Pada Anak

Pendidikan adalah proses perubahan sikap dan tata laku seseorang

atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui

upaya pengajaran dan pelatihan (Priyoto, 2014). Pendidikan ibu

merupakan faktor yang sangat penting karena tinggi rendahnya tingkat


78

pendidikan ibu erat kaitannya dengan tingkat pengetahuan terhadap

perawatan kesehatan, kehamilan hingga gizi anak-anak dan

keluarganya. Tingkat pendidikan turut menentukan mudah tidak nya

seseorang menyerap dan memahami pengetahuan gizi yang mereka

peroleh. Tingkat pendidikan ibu merupakan salah satu faktor yang

mempengaruhi status gizi balita. Tingkat pendidikan ibu dan stimulus

yang baik dirumah dapat bertindak sebagai faktor bersifat protektif

yang mempengaruhi (Nurhasanah, 2019).

Penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan Nadhiroh

(2019) tentang faktor yang berhubungan dengan kejadian stunting pada

balita dengan hasil p-value 0,000 < 0,05 menyimpulkan bahwa ada

hubungan antara tingkat pengetahuan ibu dengan kejadian stunting

pada anak.

Berdasarkan uji korelasi Chi – Square di dapatkan hasil p-value

0,006 < 0,05 maka Ho ditolak Ha diterima, artinya ada hubungan

antara faktor tingkat pengetahuan ibu dengan kejadian stunting pada

anak di wilayah kerja Puskesmas Lebdosari Kota Semarang.

2. Hubungan Antara Faktor Pemberian ASI Eksklusif dengan Kejadian

Stunting Pada Anak

ASI eksklusif adalah pemberian makanan hanya berupa ASI tanpa

pemberian makanan pendamping ASI (MP-ASI) pada anak-anak

berusia 0-6 bulan (Prasetyono, 2012). Pemberian ASI eksklusif pada 6

bulan pertama dapat menghasilkan pertumbuhan tinggi badan yang


79

optimal. Durasi pemberian ASI yang tidak cukup menjadi salah satu

faktor resiko yang menyebabkan defisiensi makronutrien maupun

mikronutrien pada usia dini (Nurhasanah, 2019).

Penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan Agus

Hendra (2010) tentang kajian stunting pada anak balita ditinjau dari

pemberian ASI eksklusif, MP-ASI, status imunisasi dan karakteristik

keluarga di kota Banda Aceh tahun 2010 dengan hasil p-value 0,002 <

0,05 menyimpulkan bahwa ada hubungan antara pemberian ASI

Eksklusif dengan kejadian stunting pada balita.

Berdasarkan uji korelasi Chi – Square di dapatkan hasil p-value

0,000 < 0,05 maka Ho ditolak Ha diterima, artinya ada hubungan

antara faktor pemberian ASI Eksklusif dengan kejadian stunting pada

anak di wilayah kerja Puskesmas Lebdosari Kota Semarang.

3. Hubungan Antara Faktor Pola Asuh dengan Kejadian Stunting Pada

Anak

Pola asuh merupakan proses interaksi antara orang tua dan anak

dalam mendukung perkembangan fisik, emosi, social, intelektual, dan

spiritual anak sejak dari dalam kandungan sampai dewasa (Andriyani,

2019). Menurut Sutanto (2019) pola asuh memiliki definisi sebagai

cara orang tua memperlakukan anak, mendidik, membimbing, dan

mendisiplinkan serta melindungi anak dalam mencapai proses

kedewasaan, hingga kepada upaya pembentukan norma-norma yang

diharapkan oleh masyarakat pada umumnya.


80

Penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan Dian

Kusuma (2016) tentang hubungan karakteristik ibu dan pola asuh gizi

dengan kejadian balita stunting di desa Hargorejo Kulonprogo DIY

tahun 2016 dengan hasil p-value 0,000 < 0,05 menyimpulkan bahwa

ada hubungan antara pola asuh dengan kejadian stunting pada balita

Berdasarkan uji korelasi Chi – Square di dapatkan hasil p-value

0,000 < 0,05 maka Ho ditolak Ha diterima, artinya ada hubungan

antara faktor pola asuh dengan kejadian stunting pada anak di wilayah

kerja Puskesmas Lebdosari Kota Semarang.

4. Hubungan Antara Faktor Pemberian MP-ASI dengan Kejadian

Stunting Pada Anak

MP-ASI merupakan proses transisi dari asupan yang hanya

berbasis susu menuju ke makanan yang semipadat (Helmyati, 2019).

Pengenalan dan pemberian MP-ASI harus dilakukan secara bertahap,

baik bentuk maupun jumlahnya, sesuai dengan kemampuan pencernaan

anak. Pemberian MP-ASI yang tepat diharapkan tidak hanya dapat

memenuhi kebutuhan gizi anak, tetapi juga merangsang keterampilan

makan dan rasa percaya diri pada anak. Tujuan pemberian MP-ASI

adalah untuk menambah energi dan zat-zat gizi yang diperlukan anak

karena ASI tidak dapat memenuhi kebutuhan anak secara terus-

menerus. Makanan tambahan diberikan untuk mengisi kesenjangan

antara kebutuhan nutrisi total pada anak dengan jumlah yang


81

didapatkan dari ASI. Pemberian makanan tambahan bervariasi dan

bertahap konsistensinya, dari bentuk bubur cair ke bentuk bubur kental,

sari buah, buah segar, makanan lumat, makanan lembek, dan akhirnya

makanan padat (Wigati, 2019).

Penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan Mufida

(2015) tentang permasalahan dan penanganan stunting, menunjukkan

hubungan antara pemberian MP-ASI dini sebelum enam bulan dengan

hasil p-value 0,001 < 0,05 menyimpulkan bahwa ada hubungan antara

pemberian MP-ASI dengan kejadian stunting pada anak.

Berdasarkan uji korelasi Chi – Square di dapatkan hasil p-value

0,003 < 0,05 maka Ho ditolak Ha diterima, artinya ada hubungan

antara faktor pemberian MP-ASI dengan kejadian stunting pada anak

di wilayah kerja Puskesmas Lebdosari Kota Semarang.

5. Hubungan Antara Faktor Status Imunisasi dengan Kejadian Stunting

Pada Anak

Imunisasi merupakan suatu program yang dengan sengaja

memasukan antigen lemah agar merangsang antibodi keluar sehingga

tubuh dapat resisten terhadap penyakit tertentu (Proverawati, 2010).

Pemberian imunisasi biasanya dalam bentuk vaksin. Vaksin

merangsang tubuh untuk membentuk sistem kekebalan yang digunakan

untuk melawan infeksi atau penyakit. Ketika tubuh kita diberi vaksin

atau imunisasi, tubuh akan terpajan oleh virus atau bakteri yang sudah

dilemahkan atau dimatikan dalam jumlah yang sedikit dan aman.


82

Kemudian sistem kekebalan tubuh akan mengikat virus atau bakteri

yang telah dimasukan dan melawan infeksi yang disebabkan oleh virus

atau bakteri ketika menyerang tubuh kita di kemudian hari

(Nurhasanah, 2019).

Pendapat yang berbeda dikemukakan oleh Nurhasanah (2019)

dalam penelitiannya faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian

stunting pada balita di wilayah kerja Puskesmas Pandan Kabupaten

Sintang dengan hasil p-value 0,315 < 0,05 menyimpulkan bahwa status

imuisasi tidak memiliki hubungan dengan kejadian stunting pada balita

di wilayah kerja Puskesmas Pandan Kabupaten Sintang.

Berdasarkan uji korelasi Chi – Square di dapatkan hasil p-value

0,000 < 0,05 maka Ho ditolak Ha diterima, artinya ada hubungan

antara faktor status imunisasi dengan kejadian stunting pada anak di

wilayah kerja Puskesmas Lebdosari Kota Semarang.

C. Keterbatasan Penelitian

1. Penelitian ini mengalami kendala dalam proses pengambilan data

dikarenakan masa pandemi COVID-19

2. Pengumpulan data yang dilakukan oleh peneliti kurang efisien, karena


pada saat pengumpulan data peneliti harus door to door ke responden.
spasi
83
84

BAB VI

KESIMPULAN DAN SARAN

A. KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian tentang faktor-faktor yang mempengaruhi

kejadian stunting pada anak di Wilayah Kerja Puskesmas Lebdosari Kota

Semarang, maka dapat disimpulkan sebagai berikut :

1. Semua responden memiliki tingkat pengetahuan terhadap kejadian

stunting pada anak yaitu sebanyak 37 responden (56,9%) maksudnya?

2. Pemberian ASI yang diberikan kepada anak dalam kategori ASI Parsial

sebanyak 26 anak (40,0%) sedangkan ASI Eksklusif sebanyak 39 anak

(60,0%).

3. Semua responden yang memiliki pola asuh kurang baik sebanyak 31

responden (47,7%) sedangkan pola asuh baik sebanyak 34 anak (52,3%).

4. Pemberian MP-ASI yang diberikan kepada anak dalam kategori tidak

sesuai sebanyak 29 anak (44,6%) sedangkan pemberian MP-ASI yang

sesuai sebanyak 36 anak (55,4%).

5. Semua anak yang mendapat kan status imunisasi tidak lengkap sebanyak

27 anak (41,5%) sedangkan yang mendapatkan status imunisasi lengkap

sebanyak 38 anak (58,5%).

6. Berdasarkan uji korelasi Chi – Square di dapatkan hasil p-value 0,006 <

0,05 maka Ho ditolak Ha diterima, artinya ada hubungan antara faktor


85

tingkat pengetahuan ibu dengan kejadian stunting pada anak di wilayah

kerja Puskesmas Lebdosari Kota Semarang. Menurut saya, sebaiknya

dibalik, maksudnya kesimpulan dl baru uji dan p value

7. Berdasarkan uji korelasi Chi – Square di dapatkan hasil p-value 0,000 <

0,05 maka Ho ditolak Ha diterima, artinya ada hubungan antara faktor

pemberian ASI Eksklusif dengan kejadian stunting pada anak di wilayah

kerja Puskesmas Lebdosari Kota Semarang.

8. Berdasarkan uji korelasi Chi – Square di dapatkan hasil p-value 0,000 <

0,05 maka Ho ditolak Ha diterima, artinya ada hubungan antara faktor

pola asuh dengan kejadian stunting pada anak di wilayah kerja Puskesmas

Lebdosari Kota Semarang.

9. Berdasarkan uji korelasi Chi – Square di dapatkan hasil p-value 0,003 <

0,05 maka Ho ditolak Ha diterima, artinya ada hubungan antara faktor

pemberian MP-ASI dengan kejadian stunting pada anak di wilayah kerja

Puskesmas Lebdosari Kota Semarang.

10. Berdasarkan uji korelasi Chi – Square di dapatkan hasil p-value 0,000 <

0,05 maka Ho ditolak Ha diterima, artinya ada hubungan antara faktor

status imunisasi dengan kejadian stunting pada anak di wilayah kerja

Puskesmas Lebdosari Kota Semarang.

B. SARAN

Berdasarkan kesimpulan hasil penelitian tersebut diatas yang dapat

diberikan adalah :
86

1. Bagi Institusi (Universitas Widya Husada Semarang)

Diharapkan bagi pihak kampus merencanakan upaya

memberikan sosialisasi kepada seluruh elemen masyarakat tentang

faktor2 kejadian stunting pada anak.

2. Bagi Profesi Keperawatan

Diharapkan dapat meningkatkan peran serta masyarakat dalam

penyuluhan dan sosialisasi tentang kejadian stunting pada anak

pada masyarakat.

3. Bagi Peneliti Selanjutnya

Bagi peneliti lain diharapkan dapat melakukan penelitian

kuantitatif agar dapat menggali lebih dalam sebab-sebab sebaiknya

diganti fktor2 yang mempengaruhi kejadian stunting pada anak.

Anda mungkin juga menyukai