Anda di halaman 1dari 75

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Menurut WHO stunting adalah balita dengan status gizi yang

berdasarkan panjang atau tinggi badan menurut umurnya nilai z-scorenya

kurang dari -2 SD. Balita pendek (stunting) merupakan keadaan tubuh yang

pendek dan sangat pendek hingga melampaui defisit -2 SD dibawah median

panjang atau tinggi badan. Stunting dapat di ketahui bila seorang balita sudah

diukur panjang atau tinggi badannya lalu dibandingkan dengan standar World

Health Organization (WHO) dan hasilnya berada di bawah normal

(WHO,2016).

Kejadian balita pendek atau biasa di sebut dengan stunting merupakan

salah satu masalah gizi yang dialami oleh balita di dunia saat ini. Pada tahun

2017 22,2% atau sekitar 150,8 juta balita di dunia mengalami stunting.

Namun angka ini sudah mengalami penurunan jika dibandingkan dengan

angka stunting pada tahun 2000 yaitu 32,6%. Pada tahun 2017, lebih dari

setengah balita stunting di dunia berasal dari Asia (55%) sedangkan lebih dari

sepertiganya (39%) tinggal di Afrika. Dari 83,6 juta balita stunting di Asia,

proporsi terbanyak berasal dari Asia Selatan (58,7%) dan proporsi paling

sedikit di Asia Tengah (0,9%) (Kemenkes RI,2018).

Data prevalensi balita stunting yang di kumpulkan World Health

Organization (WHO), Indonesia termasuk ke dalam negara ketiga dengan

1
prevalensi tertinggi di regional Asia Tenggara/South-East Asia Regional

(SEAR). Rata-rata prevalensi balita stunting di indonesia tahun 2005-2017

adalah 36,4% (Kemenkes RI,2018).

Berdasarkan data Pemantauan Status Gizi (PSG) selama tiga tahun

terakhir, pendek memiliki prevalensi tertinggi dibandingkan dengan masalah

gizi lainnya seperti gizi kurang, kurus, dan gemuk. Prevalensi balita pendek

mengalami peningkatan dari tahun 2016 yaitu 27,5% menjadi 29,6% pada

tahun 2017. Prevalensi balita pendek di Indonesia cenderung statis.

(Kemenkes RI,2018)

Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007 menunjukkan

prevalensi balita pendek di Indonesia sebesar 35,8%. Pada tahun 2010, terjadi

sedikit penurunan menjadi 35,6%. Namun prevalensi balita pendek kembali

meningkat pada tahun 2013 yaitu menjadi 37,2%. Prevalensi balita pendek

selanjutnya akan diperoleh dari hasil Riskesdas tahun 2018 yang juga menjadi

ukuran keberhasilan program yang sudah di upayakan pemerintah (Riskesdas,

2018).

Berdasarkan hasil PSG tahun 2015, prevalensi balita pendek di

Indonesia adalah 29%. Angka ini mengalami penurunan pada tahun 2016

menjadi 27,5%. Namun prevalensi balita pendek kembali meningkat menjadi

29,6% pada tahun 2017. Prevalensi balita sangat pendek dan pendek pada

usia 0-59 bulan di Indonesia tahun 2017 adalah 9,8% dan 19,8%. Kondisi ini

meningkat dari tahun sebelumnya yaitu prevalensi balita sangat pendek

sebesar 8,5% dan balita pendek sebesar 19%. Provinsi dengan prevalensi

tertinggi balita sangat pendek dan pendek pada usia 0-59 bulan tahun 2017

2
adalah Nusa Tenggara Timur, sedangkan provinsi dengan prevalensi terendah

adalah Bali (Kemenkes RI,2018).

Menurut Data dan Informasi Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2018,

Provinsi Sumatera Barat data stunting menunjukkan peningkatan, yang mana

ditahun 2017 anak yang dikategorikan sangat pendek dengan persentase

9,30% dan pendek 21,30%. Sedangkan presentase stunting pada tahun 2018

mengalami peningkatan yaitu kategori anak sangat pendek sebesar 9,60% dan

anak pendek sebesar 20,30% (Profil Kesehatan Indonesia, 2018).

Salah satu provinsi yang memiliki prevalensi dengan kategori tinggi

yaitu provinsi Sumatera Barat sebesar 30,6 % (Riskesdas, 2018) dengan

kabupaten Pasaman sebagai penyumbang angka kejadian stunting tertinggi

pada tahun 2017 yaitu sebanyak 40,6%. Hal ini yang menjadi alasan

Kabupaten Pasaman merupakan salah satu dari 100 Kabupaten/kota prioritas

penanganan stunting di Indonesia pada tahun 2018 yang salah satu

wilayahnya adalah di kecamatan Duo Koto dengan prevalensi anak stunting

sebesar 22,5 %. (Dinas Kesehatan Kabupaten Pasaman, 2018).

Berdasarkan data yang diperoleh dari Dinas Kesehatan Kabupaten

Pasaman pada tahun 2019 mencatat terdapat 20,06% balita yang stunting dari

18.346 balita. Dari 16 Puskesmas di Kabupaten pasaman terdapat 3

Puskesmas yang memiliki angka stunting tertinggi yaitu, Puskesmas Ladang

Panjang sebanyak 505 balita mengalami stunting, Puskesmas Lansap Kadap

sebanyak 463 balita, dan Puskesmas Cubadak 429 balita (Dinas Kesehatan

Kabupaten Pasaman, 2019).

3
Permasalahan gizi, khususnya anak stunting merupakan indikator dari

status ekonomi rendah serta indikator dari kurang gizi kronis yang terjadi

dalam jangka waktu yang lama sehingga stunting pada anak balita khususnya

pada usia 2 – 5 tahun akan terlihat dengan jelas dan merupakan salah satu

indikator status gizi kronis yang dapat memberikan gambaran gangguan

secara keseluruhan di masa lampau (Nasir , 2010).

Faktor penyebab langsung terjadinya stunting adalah penyakit infeksi

dan tingkat asupan zat gizi. Kuantitas dan kualitas zat gizi yang terasup di

dalam makanan akan sangat menentukan pertumbuhan dan perkembangan

balita oleh karena itu makanan harus dapat memenuhi kebutuhan gizi balita

(Supariasa, 2012).

Faktor lainnya adalah pemberian ASI yang tidak Ekslusif ,

ketidaklengkapan imunisasi, dan kulitas MP-ASI yang tidak tepat diberikan

kepada balita. Selain itu masyarakat belum menyadari anak pendek

merupakan suatu masalah, karena anak pendek di masyarakat terlihat sebagai

anak-anak dengan aktivitas yang normal, tidak seperti anak kurus yang harus

segera ditanggulangi. Demikian pula halnya gizi ibu saat hamil, masyarakat

belum menyadari pentingnya gizi selama kehamilan berkontribusi terhadap

keadaan gizi bayi yang akan dilahirkannya kelak (Unicef Indonesia, 2013).

Faktor lain yang dapat mempengaruhi terjadinya stunting pada anak

yaitu pemberian ASI yang tidak Ekslusif . ASI Ekslusif memiliki peranan

yang penting agar terwujudnya pertumbuhan anak yang optimal. ASI Ekslusif

adalah penyebab tidak langsung dari kejadian stunting dan apabila tidak

dilaksanakan dengan baik dapat menjadi penyebab langsung dari kejadian

4
stunting, artinya ASI Ekslusif adalah faktor dominan sebagai penyebab

stunting (UNICEF, 2015).

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Yogi Subandra Dwitama

(2018) terdapat hubungan antara pemberian ASI ekslusif dengan balita

pendek atau stunting. Anak yang mendapat ASI ekslusif resiko kejadian

stuntingnya lebih rendah dibandingkan anak yang tidak mendapatkan ASI

ekslusif.

Penelitian yang dilakukan oleh Lidia Fitri (2017) menunjukkan bahwa

ada hubungan antara ASI ekslusif dengan stunting pada balita, ini sejalan

dengan penelitian Alrahmad (2010) di Banda Aceh yang menyatakan bahwa

resiko stunting 4 kali lebih tinggi pada balita yang tidak diberikan ASI

ekslusif (Alrahmad et al., 2016).

Secara sederhana penyebab langsung stunting adalah kurangnya asupan

zat gizi sejak saat janin dan terus berlanjut sampai bayi lahir dan memasuki

fase anak hingga remaja, pemberian makanan berhubungan dengan pola

konsumsi anak termasuk sulit makan sehingga asupan gizi sangat kurang hal

ini bertambah dengan situasi pola asuh anak dan kurang mendapat perhatian

dalam hal konsumsi makanan. Oleh karena itu ASI merupakan makanan yang

paling baik untuk bayi segera setelah lahir. Karena ASI merupakan sumber

protein yang berkualitas baik (Anugraheni & Kartasurya, 2012).

Selanjutnya hasil penelitian yang dilakukan oleh Nasrul (2015)

menyebutkan bahwa anak yang imunisasinya tidak lengkap lebih beresiko

mengalami stunting daripada anak yang lengkap imunisasinya. Hal ini sejalan

dengan penelitian Picauly di NTT menunjukkan bahwa jika anak tidak ada

5
memiliki riwayat imunisasi maka peningkatan stunting lebih tinggi

dibandingkan dengan anak yang imunisasi. Di Papua Barat, balita yang tidak

mendapatkan imunisasi dasar memiliki resiko stunting 2 kali lebih besar

dibandingkan dengan balita yang mendapatkan imunisasi dasar. Hal senada

juga dipaparkan oleh Milman et al, yang menyatakan bahwa

ketidaklengkapan imunisasi berkaitan dengan kejadian stunting.

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Yogi Subandra Dwitama (2018)

menyebutkankan bahwa ada hubungan antara pemberian MP-ASI terhadap

kejadian stunting. Karena kualitas makanan yang diberikan dan proteinnya

serta kandungnnya saat berperan penting dalam pertumbuhan dan

perkembangan tumbuh balita.

Berdasarkan survey awal yang dilakukan, pada umumnya masyarakat

wilayah kerja Puskesmas Cubadak berpendidikan SMP sampai SMA dan

hanya beberapa yang memiliki pendidikan Perguruan Tinggi. Perekonomian

masyarakat di wilayah ini rendah, karena sebagian masyarakat di daerah ini

bertani. Oleh sebab itu banyak masyarakat yang kurang tahu tentang makanan

yang baik untuk pertumbuhan balita dan kapan harus dilakukan, mereka

beranggapan asalkan bisa makan tanpa harus peduli kandungan gizinya tetapi

sebagian masyarakat yang bekerja terlalu membiarkan anaknya untuk jajan

cepat saji sehingga di rumah tidak merasa lapar dan tentunya gizinya tidak

tercukupi.

Pendidikan kesehatan sangat penting bagi orang tua untuk mengenal

stunting lebih dalam lagi agar dapat memberikan pencegahan terhadap

stunting. Berdasarkan beberapa fenomena diatas, peneliti merasa tertarik

6
untuk melakukan penelitian tentang “Hubungan Pemberian ASI ekslusif, Pola

Kelengkapan Imunisasi dan Pemberian MP-ASI Terhadap Kejadian Stunting

Pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Cubadak Kabupaten Pasaman

Tahun 2020”

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas maka peniliti

ingin mengetahui ”Hubungan Pemberian ASI ekslusif , Kelengkapan

Imunisasi dan Pemberian MP-ASI Terhadap Kejadian Stunting Pada Balita di

Wilayah Kerja Puskesmas Cubadak Kabupaten Pasaman Tahun 2020.

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui “Hubungan Pemberian

ASI ekslusif, Kelengkapan Imunisasi Dan Pemberian MP-ASI Terhadap

Kejadian Stunting Pada Balita Di Wilayah Kerja Puskesmas Cubadak

Kabupaten Pasaman 2020.

2. Tujuan Khusus

a. Untuk mengetahui Hubungan Pemberian ASI ekslusif Terhadap

Kejadian Stunting Pada Balita Di Wilayah Kerja Puskesmas Cubadak

Kabupaten Pasaman 2020.

b. Untuk mengetahui Hubungan Kelengkapan Imunisasi Terhadap

Kejadian Stunting Pada Balita Di Wilayah Kerja Puskesmas Cubadak

Kabupaten Pasaman 2020.

7
c. Untuk mengetahui Hubungan Pemberian MP-ASI Terhadap Kejadian

Stunting Pada Balita Di Wilayah Kerja Puskesmas Cubadak

Kabupaten Pasaman 2020.

d. Untuk mengetahui data stunting di Kabupaten Pasaman dan di

wilayah kerja Puskesmas Cubadak

e. Untuk mengetahui data presentase bayi yang mendapatkan ASI

Ekslusif di wilayah kerja Puskesmas Cubadak

f. Untuk mengetahui data presentase balita yang mendapatkan imunisasi

dasr lengkap di wilayah kerja Puskesmas Cubadak

g. Untuk mengetahui data presentase balita yang mendapatkan MP-ASI

di wilayah kerja Puskesmas Cubadak

D. Manfaat Penelitian

1. Bagi Masyarakat

Diharapkan hasil penelitian ini menjadi tambahan pengetahuan bagi

masyarakat terutama mengenai Hubungan Pemberian ASI Ekslusif,

Kelengkapan Imunisasi dan Pemberian MP-ASI Terhadap Kejadian

Stunting Pada Balita Di Wilayah Kerja Puskesmas Cubadak Kabupaten

Pasaman 2020.

2. Bagi Institusi Pendidik

Diharapkan hasil penelitian ini menjadi tambahan kepustakaan

untuk memperkaya pustaka yang sudah ada sehingga dapat dimanfaatkan

oleh peserta didik berikutnya dalam pendidikan kesehatan . dapat

8
dijadikan bahan bacaan untuk peningkatan ilmu pengetahuan dan

teknologi dalam bidang kesehatan.

3. Bagi Peneliti

Diharapkan dapat menambah pengetahuan tentang metedologi

penelitian beserta aplikasinya dalam penelitian sehingga dapat digunakan

dalam memantau keberhasilan suatu pekerjaan/program.

4. Bagi Instasi Kesehatan

Hasil penelitian ini diharapkan sebagai wacana dalam menyusun

kebijakan dan srategi pelayanan kesehatan masyarakat yang berkaitan

dengan stunting di wilayah kerja puskesmas cubadak.

E. Ruang Lingkup

Ruang lingkup dari penelitian ini membahas tentang “Hubungan

Pemberian ASI ekslusif, Kelengkapan Imunisasi, dan Pemberian MP-ASI

terhadap Kejadian Stunting pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas

Cubadak Kabupaten Pasaman Tahun 2020”. Penelitian ini dilakukan di

wilayah kerja puskesmas cubadak pada bulan Februari 2020. Variabel

penelitian ini meliputi Stunting sebagai variabel independen dan

pemberian ASI ekslusif, Kelengkapan Imunusasi dan Pemberian MP-ASI

sebagai variabel dependen. Jenis penelitian ini adalah kuantitatif dengan

rancangan penelitian cros-sectional. Populasi pada penelitian ini adalah

balita sebanyak 1038 dengan teknik pengambilan sampel simple random

sampling maka di dapat sampel 92 Balita. Analisis data Univariat dan

Bivariat dengan cara uji chi-square. Instrument yang digunakan adalah

kuesioner.

9
BAB II

PEMBAHASAN

A. Stunting

1. Pengertian Stunting

Stunting adalah masalah kurang gizi yang disebabkan oleh asupan

gizi yang kurang dalam waktu cukup lama akibat pemberian makanan

yang tidak sesuai kebutuhan gizi. Stunting terjadi mulai dari janin masih

dalam kandungan dan baru Nampak saat anak berusia dua tahun.

Kekurangan gizi pada usia dini meningkatkan angka kematian bayi dan

anak, menyebabkan penderitanya mudah sakit dan memiliki postur tubuh

tidak maksimal saat dewasa (MCA Indonesia, 2014).

Stunting/pendek merupakan kondisi kronis yang menggambarkan

terlambatnya pertumbuhan karena malnutrisi dalam jangka waktu yang

lama. Menurut keputusan Mentri Kesehatan Nomor

1995/MENKES/SK/XII/2010 tentang Standar Antropometri Penilaian

Status Gizi Anak, pengertian pendek dan sangat adalah status gizi yang

didasarkan para indeks Panjang Badan menurut Umur (PB/U) atau

Tinggi Badan menurut Umur (TB/U) yang merupakan istilah stunted

(pendek) dan severely stunted (sangat pendek). Balita pendek adalah

balita status gizi berdasarkan panjang atau tinggi badan menurut umur

bila dibandingkan dengan standar baku WHO, nilai Z-scorenya kurang

dari -2SD dan dikategorikan sangat pendek jika nilai Z-scorenya kurang

dari -3SD ( Kemenkes, RI 2016). Stunting pada anak merupakan

10
indikator utama dalam menilai kualitas modal sumber daya manusia di

masa datang. Gangguan pertumbuhan yang diderita anak pada awal

kehidupan, dapat menyebabkan kerusakan yang permanen (Anisa, 2012).

2. Diagnosis dan Klasifikasi

Balita pendek (stunting) dapat diketahui bila seorang balita sudah

diukur panjang dan tingginya, lalu dibandingkan dengan standard dan

hasilnya berada dibawah normal. Secara fisik balita akan lebih pendek

dibandingkan balita seumurnya (Kemenkes, RI 2016). Kependekan

mengacu pada anak yang memiliki indeks TB/U rendah. Pendek dapat

mencerminkan baik variasi normal dalam pertumbuhan ataupun defisit

dalam pertumbuhan. Stunting adalah pertumbuhan linear yang gagal

mencapai potensi genetik sebagai hasil dari kesehatan atau kondisi gizi

yang suboptimal (Anisa, 2012).

Berikut Klasifikasi status gizi stunting berdasarkan tinggi

badan/panjang badan menurut umur ditunjukkan dalam tabel 1.

Tabel 2.1 Kategori dan Ambang Batas Status Gizi Berdasarkan Indeks (PB/U)

(TB/U)

Indeks Kategori Status Gizi Ambang Batas (Z-Score)


Panjang Badan Menurut Sangat Pendek <-3SD
Pendek -3SD sampai dengan <-2
Umur (PB/U) atau
Normal SD
Tinggi Badan menurut
Tinggi -2SD sampai dengan
Umur (TB/U) Anak
2SD >2SD
Umur 0-60 Bulan

Sumber : Standar Antropometri Penilaian Status Gizi Anak (Kemenkes RI, 2016)

11
3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kejadian Stunting

WHO (2013) membagi penyebab terjadinta stunting pada anak

menjadi 4 kategori besar yaitu faktor keluarga dan rumah tangga,

makanan tambahan dan komplementer yang tidak adekuat, menyusui dan

infeksi.

a. Faktor Keluarga dan Rumah Tangga

Faktor keluarga dibagi lagi menjadi menjadi faktor maternal dan

faktor lingkungan rumah. Faktor maternal berupa nutrisi yang

kurang pada saat prekonsepsi, kehamilan dan laktasi, tinggi badan

ibu yang rendah, infeksi, kehamilan pada usia remaja, kesehatan

mental, jarak kehamilan yang pendek dan hipertensi. Faktor

lingkungan rumah berupa stimulasi dan aktivitas anak yang tidak

adekuat, perawatan yang kurang, sanitasi dan pasokan air yang tidak

adekuat, akses dan ketersediaan pangan yang kurang, alokasi dalam

rumah tangga yang tidak sesuai dengan edukasi pengasuh yang

rendah.

b. Faktor Makanan Komplementer yang Tidak Adekuat

Faktor penyebab stunting yang kedua adalah makanan

komplementer yang tidak adekuat, dan dibagi menjadi tiga yaitu,

kualitas makanan yang rendah, cara pemberian yang tidak tepat dan

keamanan makanan dan minuman. Kualitas makanan yang rendah

dapat berupa kualitas mikronutrien yang rendah, keragaman jenis

makanan yang dikonsumsi dan sumber makanan hewani yang rendah,

makanan yang tidak mengandung nutrisi dan makanan komplementer

12
yang mengandung energi rendah. Cara pemberian yang tidak tepat

berupa frekuensi pemberian makanan yang rendah, pemberian

makanan yang tepat ketika sakit setelah sakit, konsistensi makanan

yang terlalu halus dan pemberian makanan yang rendah dalam

kuantitas. Keamanan makanan dan minuman dapat berupa makanan

dan minuman yang terkontaminasi, kebersihan yang rendah,

penyimpanan dan persiapan makanan yang tidak aman. Penelitian

Meilyasari (2013) menyatakan bahwa MP-ASI terlalu dini

meningkatkan resiko penyakit infeksi seperti diare, karena MP-ASI

yang diberikan tidak sebersih dan mudah dicerna seperti ASI.

c. Faktor ASI Ekslusif

ASI mengandung unsur-unsur gizi yang dibutuhkan oleh bayi untuk

pertumbuhan dan perkembangan yang optimal. ASI adalah

perlindungan dari Tuhan agar bayi tidak mudah jatuh sakit. Bayi yang

diberi ASI terbukti lebih kebal terhadap berbagai penyakit infeksi,

seperti diare, pneumonia, ISPA, dan otitis media (infeksi telinga)

(Kemenkes RI, 2014). ASI Ekslusif memiliki kontribusi yang besar

terhadap tumbuh kembang dan daya tahan tubuh anak. Anak yang

diberi ASI Ekslusif akan tumbuh dan berkembang secara optimal

karena ASI mampu mencukupi kebutuhan gizi bayi sejak lahir sampai

umur 24 bulan. ASI diperlukan untuk pertumbuhan, perkembangan dan

kelangsungan hidup bayi (Kemenkes RI , 2014)

d. Faktor Infeksi

13
Gizi buruk atau infeksi menghambat reaksi imunologis yang normal

dengan menghabiskan sumber di tubuh. Adapun penyebab utama gizi

buruk yakni penyakit infeksi pada anak seperti ISPA, diare, campak

dan rendahnya asupan gizi akibat kurangnya ketersediaan pangan di

tingkat rumah tangga atau karena pola asuh yang salah (Putra, 2015).

4. Dampak Stunting

Stunting mengakibatkan otak seorang anak kurang berkembang. Ini

berarti 1 dari 3 anak Indonesia akan kehilangan peluang lebih baik dalam

hal pendidikan dan pekerjaan dalam sisa hidup mereka. Stunting bukan

pada ukuran fisik pendek, tetapi lebih pada konsep proses terjadinya

stunting bersamaan dengan proses terjadinya hambatan pertumbuhan dan

perkembangan organ lainnya, termasuk otak (Achadi, 2016).

Dampak buruk dari stunting dalam jangka pendek bisa menyebabkan

terganggunya otak, kecerdasan, gangguan pertumbuhan fisik, dan gangguan

metabolisme dalam tubuh. Sedangkan dalam jangka panjang akibat buruk

yang dapat ditimbulkan adalah menurunnya kemampuan kognitif dan

prestasi belajar, menurunnya kekebalan tubuh sehingga mudah sakit, resiko

tinggi munculnya penyakit diabetes, kegemukan, penyakit jantungdan

pembuluh darah, kanker, stroke dan disabilitas pada usia tua, sera kualitas

kerja yang tidak komperantif yang berakibat pada rendahnya produktifitas

ekonomi (Kemenkes RI, 2016).

5. Upaya Pencegahan Stunting

14
Intervensi gizi saja belum cukup untuk mengatasi stunting, diperlukan

intervensi dari berbagai sector, antara lain :

a. Memperbaiki gizi dan kesehatan ibu hamil merupakan cara yang

terbaik dalam mengatasi stunting. Ibu hamil perlu mendapat makanan

yang baik, sehingga apabila mengalami Kurang Energi Protein (KEK),

perlu diberikan makanan tambahan bagi ibu hamil tersebut.

b. Pencehagan stunting pada saat bayi lahir yaitu melakukan IMD setelah

bayi lahir dan pemberian ASI Ekslusif

c. Memberikan makanan pendamping ASI dan ASI dilanjutkan sampai 2

tahun dan juga bayi memperoleh vitamin A dan imunisasi lengkap.

d. Memantau pertumbuhan balita di posyandu

e. Perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) harus diupayakan di rumah

tangga termasuk akses terhadap air bersih dan fasilitas sanitasi.

B. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Stunting

1. ASI Ekslusif

a. Pengertian ASI Ekslusif

World Health Organization (WHO) menganjurkan bayi

diberikan ASI Ekslusif selama 6 bulan pertama, dan pemberian ASI

dilanjutkan dengan didampingi makanan pendamping ASI selama 2

tahun pertama. Pemerintah Indonesia sendiri telah mencanangkan

anjuran WHO sejak tahun 2004 melalui dikeluarkannya Kemenkes

No.450/MENKES/IV/2004 tentang pemberian ASI Ekslusif pada

bayi di Indonesia dan undang-undang (UU) No. 36 pasal 128 tahun

2009 tentang kesehatan (Departemen Kesehatan RI, 2012). ASI

15
adalah makanan pertama, utama dan terbaik bagi bayi yang bersifat

alamiah, dan mengandung berbagai zat gizi yang dibutuhkan dalam

proses pertumbuhan dan perkembangan bayi (Prasetyo, 2008).

ASI Ekslusif adalah pemberian ASI pada bayi tampa tambahan

cairan lain, seperti susu formula, jeruk, madu, air teh, air putih dan

tanpa tambahan makanan padat, misalnya pisang, papaya, bubur

susu, biskuit, bubur nasi, tim atau makanan selain ASI

(Nurkhasanah, 2011). ASI merupakan makanan bayi yang paling

sempurna, praktis, murah dan bersih karena langsung diminum dari

payudara ibu (Walyani, 2015). Data Riset Kesehatan Dasar

(Riskesdas) tahun 2010, menyatakan bayi yang mendapatkan ASI

ekslusif di Indonesia hanya 15,3%. Masalah utama rendahnya

pemberian ASI di Indonesia adalah faktor sosial budaya dan

kurangnya pengetahuan ibu, keluarga dan masyarakat (Saleh, 2011).

Pemberian ASI ekslusif sangat berperan dalam menurunkan angka

kesakitan dan kematian pada anak dikarenakan dalam ASI terdapat

zat antibodi yang tinggi untuk anak (Munir, 2006).

World Health Organization (WHO) membagi pola menyusui

menjadi tiga kategori , yaitu menyusui ekslusif, menyusui

predominan dan menyusui parsial. Menyusui parsial adalah

menyusui bayi serta diberikan makanan buatan selain ASI, baik

susu formula, bubur atau makanan lainnya sebelum bayi berumur

enam bulan, baik diberikan secara kontinyu maupun diberikan

sebagai makanan prelakteal. Jumlah ibu yang menyusui secara

16
parsial 83,2%, predominan 1,5% dan ekslusif sebanyak 15,3%

(Depkes RI, 2010).

b. Tujuan Pemberian ASI Ekslusif

Tujuan pemberian ASI ekslusif selama enam bulan berperan

dalam pencapaian tujuan Millenium Development Goals (MDGs)

tahun 2015 (Rahmawati, 2017). Tujuan dari MDGs tersebut adalah :

1) Membantu mengurangi kemiskinan

Jika seluruh bayi yang lahir di Indonesia disusui ASI secara

ekslusif 6 bulan maka akan mengurangi pengeluaran biaya

akibat pembelian susu formula.

2) Membantu mengurangi kelaparan

Pemberian ASI ekslusif membantu mengurangi angka

kejadian kurang gizi dan pertumbuhan yang terhenti yang

umumnya terjadi sampai usia 2 tahun.

3) Membantu mengurangi angka kematian anak balita

Berdasarkan penelitian WHO (2000) di enam Negara

berkembang, resiko kematian bayi antara 9-12 bulan meningkat

40% jika bayi tersebut tidak disusui.

c. Manfaat ASI Ekslusif

1) Manfaat ASI bagi Bayi

ASI merupakan makanan ilmiah yang baik untuk bayi,

praktis, ekonomidan psikologis yang mudah dicernadan diserap

oleh usus bayi. ASI mengandung protein yang spesifik untuk

17
melindungi bayi dari alergi, kadar selenium yang melindungi

gigi dari kerusakan (Anik, 2009).

Berikut manfaat ASI yang diperoleh bayi menurut Nisman

(2011) : ASI mudah dicerna dan diserap oleh pencernaan bayi

yang belum sempurna, ASI termasuk kolostrum yang

mengandung zat kekebalan tubuh, meliputi immunoglobulin,

lactoferin, enzyme, macrofag, lymphosit, ASI juga menghindari

dari diare karena saluran pencernaan bayi yang mendapatkan

ASI mengandung lactobacilli dan bifidobabateria (bakteri baik)

yang membantu membentuk feses bayi yang pH-nya rendah

sehingga dapat menghambat pertumbuhan bakteri jahat

penyebab diare dan masalah pencernaan lainny, mengisap ASI

membuat bayi mudah mengoordinasi saraf menelan, mengisap,

dan bernapas menjadi lebih sempurna dan bayi menjadi lebih

aktif dan ceria, bayi yang diberi ASI akan lebih sehat

dibandingkan bayi yang diberi susu formula, mengisap ASI

dengan payudara akan membuat rahang dan gigi menjadi lebih

baik dibandingkan dengan mengisap susu formula dengan dot.

2) Manfaat Menyusui bagi Ibu

Pada saat memberikan ASI, otomatis resiko pendarahan

pasca bersalin berkurang. Naiknya kadar oksitosis selama

menyusui akan menyebabkan semua otot polos akan mengalami

kontraksi. Kondisi inilah yang menyebabkan uterus mengecil

sekaligus menghentikan pendarahan (Anik, 2009). Pemberian

18
ASI secara ekslusif dapat berfungsi sebagai alat kontrasepsi

sampai 6 bulan setelah kelahiran karena isapan bayi meransang

hormone prolaktin yang menghambat terjadinya ovulasi

sehingga menunda kesuburan. ASI juga dapat mencegah kanker

payudara, kanker ovarium dan anemia defisiensi zat besi (Sitti,

2009)

d. Komposisi ASI

ASI mengandung banyak nutrisi, anatara lain albumin, lemak,

karbohidrat, vitamin, mineral, faktor pertumbuhan, hormone, enzim,

zat kekebalan, dan sel darah putih, dengan porsi yang tepat dan

seimbang. Komposisi ASI bersifat spesifik pada tiap ibu, berubah

dan berbeda dari waktu ke waktuyang disesuaikan dengan

kebutuhan bayi saat itu (Roesli, 2005 : Rahmawati, 2017).

1) Kolostrum

Cairan pertama yang diperoleh bayi dari ibunya adalah

kolestrum, yang mengandung campuran kaya akan protein,

mineral, dan antibodi daripada ASI yang telah matang. ASI

mulai ada kira-kira pada hari ke-3 dan hari ke-4. Kolostrum

berubah menjadi ASI yang matang kira-kira 15 hari sesudah

bayi lahir. Bila ibu menyusui sesudah bayi lahir dan bayi sering

menyusui, maka proses adanya ASI akan meningkat (Dewi,

2011).

19
2) ASI transisi/peralihan

ASI peralihan adalah ASI yang keluar setelah kolostrum

sampai sebelum ASI matang, yaitu sejak hari ke-4 sampai hari

ke-10. Selama dua minggu , volume air susu bertambah banyak

dan berubah warna, serta komposisinya. Kadar imunoglobin dan

protein menurun, sedangkan lemak dan laktosa meningkat

(Dewi, 2009).

3) ASI matur

ASI matur disekresi pada hari ke-10 dan seterusnya. ASI

matur tampak berwarna putih . kandungan ASI matur relatife

konstan, tidak menggumpal di panaskan. Air susu yang mengalir

pertama kali atau saat lima menit pertama disebut foremilk.

Foremilk lebih encer, serta mempunyai kandungan rendah

lemah, tinggi laktosa , gula, protein, mineral dan air.

e. Kandungan Zat Gizi dalam ASI

1) Protein

Keistimewaan protein dalam ASI dapat dilihat dari rasio

protein whey : kasein = 60 : 40, dibandingkan dengan air susu

sapi yang rasionya = 20 : 80. ASI mengandung alfa-laktabumin,

sedangkan air susu sapi mengandung beta-laktoglubin dan

bovine serum albumin. ASI mengandung asam amino esensial

taurin yang tinggi (Dewi, 2011).

20
2) Karbohidrat

ASI mengandung karbohidrat lebih tinggi dari air susu sapi

(6,5-7 gram). Karbohidrat yang utama adalah laktosa (Dewi,

2011).

3) Lemak

Bentuk emulsi lebih sempurna. Kadar lemak tak jenuh

dalam ASI 7-8 kali lebih besar dari air susu sapi. Asam lemak

rantai panjang berperan dalam perkembangan otak. Kolesterol

yang diperlukan untuk mielinisasi susunan saraf pusat dan

diperkirakan juga berfungsi dalam perkembangan pembentukan

enzim (Dewi, 2011).

4) Mineral

ASI mengandung mineral lengkap. Total mineral selama

laktasi adalah konstan. Fa dan Ca paling stabil , tidak

terpengaruh diet ibu. Bayi yang diberi ASI tidak akan menerima

pemasukan suatu muatan garam yang berlebihan sehingga tidak

memerlukan air tambahan dibawah kondisi tertentu (Dewi,

2011).

5) Air

Kira-kira 88% ASI terdiri atas air yang berguna melarutkan

zat-zat yang terdapat di dalamnya sekaligus juga dapat

meredakan rangsangan haus dari bayi (Dewi, 2011).

21
6) Vitamin

Kandungan vitamin dalam ASI adalah lengkap, vitamin A, D

dan C cukup. Sementara itu, golongan vitamin B kecuali

ribiflatin dan asam penthothenik lebih kurang (Dewi, 2011).

f. Faktor-faktor yang mempengaruhi ASI Ekslusif

Beragam faktor yang menjadi kendala ketika menyusui

dibedakan menjadi dua yaitu internal dan eksternal (Prasetyono,

2012).

1) Faktor Internal

Faktor internal sangat mempengaruhi keberhasilan

menyusui bayi. Diantaranya adalah kurangnya pengetahuan

yang terkait penyusuan. Karena tidak mempunyai pengetahuan

yang memadai ibu tidak mengerti cara menyusui bayi yang

tepat, manfaat ASI, berbagai dampak yang akan ditemui bila ibu

tidak menyusui bayinya, dan lain sebagainya (Prasetyono,

2012).

a) Pengetahuan

Pengetahuan merupakan perilaku paling sederhana dalam

urutan perilaku kognitif. Seseorang dapat mendapatkan

pengetahuan dari fakta atau informasi baru dan dapat

diingat. Selain itu pengetahuan juga diperoleh dari

pengalaman hidup yang dapat dipengaruhi perilaku

seseorang dalam mempelajari informasi yang penting

(Potter & Perri, 2005). Pengetahuan dalah kesan di dalam

22
pemikiran manusia sebagai hasil penggunaan panca

inderanya. Yang berbeda sekali dengan kepercayaan

(beliefes), takhayul (superstision) dan penerangan-

penerangan yang keliru (misinformation) (Soekanto, 2003).

b) Kondisi kesehatan

Model kontinio sehat-sakit Neuman (1990) dalam

rahmawati (2017) mendefenisikan sehat sebagai sebuah

keadaan dinamis yang berubah secara terus-menerus sesuai

dengan adaptasi seseorang terhadap berbagai perubahan

yang ada dilingkungan internal dan eksternalnya. Adaptasi

penting dilakukan untuk menghindari terjadinya perubahan

dan penurunan dibanding kondisi sebelumnya. Adaptasi

terjadi untuk mempertahankan kondisi fisik, emosional,

intelektual, sosial, perkembangan dan spiritual yang sehat

(Pertiwi, 2012).

Ibu yang menderita penyakit jantung sebaiknya tidak

menyusui bayinya yang apabila menyusui dapat terjadi

gagal jantung. Selain itu pemberian ASI juga terjadi

kontraindikasi bagi bayi yang menderita galaktosemia yaitu

keadaan kongenital dimana dalam hal ini bayi tidak

mempunyai enzim galaktase sehinggagalaktosa tidak pecah

menjadi glukosa dan akan berpengaruh pada perkembangan

bayi (Kosim, Yunanto, Dewi, Sarosa, Usman, 2010)

23
Kondisi kesehatan bayi juga mempengaruhi pemberian

ASI Ekslusif. Ada beberapa kondisi bayi yang membuatnya

sulit menyusu kepada ibunya antara lain bayi yang lahir

premature, kelainan pada bibir bayi dan penyakit kuning

pada bayi yang baru lahir (Prasetyono, 2012). Bayi diare

tiap kali mendapat ASI, misalnya jika menderita penyakit

bawaan tidak dapat menerima laktosa, gula yang terdapat

dalam jumlah besar dalam ASI (Pudjiadi, 2001). Faktor

psikologis dimana bayi menjadi rewel atau sering menangis

baik sebelum maupun sesudah menyusui juga

mempengaruhi pemberian ASI Ekslusif (Harahap, 2010).

c) Persepsi

Menurut Prasetyono (2009) menyebutkan bahwa 98

ribu dari 100 ribu ibu yang menyatakan bahwa produksi

ASI-nya kurang, sebenarnya mempunyai cukup ASI tetapi

kurang mendapatkan informasi tentang manajemen laktasi

yang benar dan posisi menyusui yang tepat. Kondisi

emosional juga perlu dipertahankan agar ibu tidak

mengalami perubahan perilaku dalam memberikan ASI

Ekslusif.

Salah satu masalah emosi yang paling umum dialami

oleh ibu adalah stress. Wagner (2012) menyatakan stress

dapat terjadi pada ibu menyusui akibat bayi cepat marah

dan sering mencari susu ibu. Selain itu stress memiliki

24
pengaruh terhadap produksi ASI (Pertiwi, 2012). Rukiyah

(2011) mengatakan bahwa ibu yang dalam keadaan stress

maka akan memiliki kemungkinan untuk mengalami

kegagalan dalam pemberian ASI.

d) Faktor Fisik Ibu

Alasan ibu yang sering muncul untuk tidak menyusui

anaknya adalah karena ibu sakit, baik sebentar maupun

lama. Sebenarnya jarang sekali ada penyakit yang

mengharuskan ibu untuk berhenti menyusui. Lebih jauh

berbahaya untuk mulai memberi bayi berupa makanan

buatan daripada membiarkan bayi menyusu dari ibunya

yang sakit ( Rusli, 2008).

e) Faktor psikologis

Takut kehilangan daya tarik sebagai seorang wanita

(estetika), adanya anggapan para ibu bahwa menyusui akan

merusak penampilan dan kelihatan lebih tua, ada sebagian

kecil ibu mengalami tekanan batin di saat menyusui bayi

sehingga dapat mendesak ibu untuk mengurangi frekuensi

dan lama menyusui bayinya, bahkan mengurangi menyusu

(Rusli, 2008).

2) Faktor Eksternal

Faktor eksternal terkait segala sesuatu yang tidak akan

terjadi bila faktor internal dapat dipenuhi oleh ibu. Faktor

eksternal yang mempengaruhi pemberian ASI Ekslusif :

25
a) Dukungan Suami

Menurut Ruesli (2008) dalam Turoso (2016), dari

semua dukungan bagi ibu menyusui dukungan suami adalah

dukungan yang paling berarti bagi ibu. Suami dapat

berperan aktif dalam keberhasilan pemberian ASI

khususnya ASI Ekslusif dengan cara memberikan

dukungan emosional dan bantuan-bantuan yang praktis.

Kondisi ibu yang sehat dan suasana yang menyenangkan

akan meningkatkan kestabilan fisik ibu sehingga produksi

ASI lebih baik. Lebih lanjut ayah juga ingin berdekatan

dengan bayinya dan berpartisipasi dalam perawatan

bayinya, walau waktu yang dimilikinya terbatas (Roesli,

2008 dalam Turoso 2016).

b) Perubahan Sosial Budaya

Pekerjaan terkadang mempengaruhi keterlambatan

untuk memberikan ASI Ekslusif. Secara teknis hal ini

dikarebakan karena kesibukan ibu sehingga tidak cukup

untuk memperhatikan kebutuhan ASI. Pada hakekatnya

pekerjaan tidak boleh dijadikan alasan ibu untuk tidak

memberikan ASI ekslusif kepada bayinya.

Secara ideal tempat kerja yang mempekerjakan

perempuan hendaknya memiliki tempat penitipan

bayi/anak. Dengan demikian ibu dapat membawa bayinya

ke tempat kerja dan menyusui setiap beberapa jam. Namun

26
kondisi bila tidak memungkinkan maka ASI perah/pompa

adalah pilihan yang paling tepat. Tempat kerja yang

memungkinkan karyawatinya berhasil menyusui bayinya

secara ekslusif dinamakan Tempat Kerja Sayang Ibu

(Roesli, 2008 dalam Turoso, 2016). Selain itu meniru

teman, tetanggan atau orang terkemuka yang memberikan

susu botol.

Persepsi masyarakat akan gaya hidup mewah,

membawa dampak terhadap ketersediaan ibu untuk

menyusui. Bahkan adanya pandangan bagi kalangan

tertentu, bahwa susu botol sangat cocok buat bayi yang

merupakan makanan yang terbaik. Hal ini dipengaruhi oleh

gaya hidup yang selalu berkeinginan meniru orang lain, atau

prestise (Roesli, 2008 dalam Turoso, 2016).

c) Faktor Kurangnya Petugas Kesehatan

Kurangnya petugas kesehatan didalam memberikan

informasi kesehatan, menyebabkan masyarakat kurang

mendapatkan informasi atau dorongan tentang manfaat

pemberian ASI. Penyuluhan kepada masyarakat mengenai

manfaat dan cara pemanfaatannya (Roesli, 2008 dalam

Turoso 2016).

27
d) Meningkatnya Promosi Susu Kaleng Sebagai Pengganti

ASI

Peningkatan sarana komunikasi dan transportasi yang

memudahkan periklanan distribusi susu buatan

menimbulkan pergeseran perilaku dari pemberian ASI ke

pemberian susu formula baik di desa maupun perkotaan.

Banyak iklan yang tidak baik mempromosikan bahwa susu

suatu pabrik sama baiknya dengan ASI, sering

menggoyahkan keyakinan ibu, sehingga tertarik untuk

mencoba menggunakan susu instan untuk makanan bayi.

Semakin cepat memberikan tambahan susu pada bayi,

menyebabkan daya hisap berkurang, karena bayi mudah

kenyang, maka bayi akan malas untuk menghisap puting

susu, dan akhirnya produksi prolaktin dan oksitosin akan

berkurang (Roesli, 2008 dalam Turoso 2016).

e) Faktor Pengelolaan Laktasi di Ruang Bersalin (Praktik

IMD)

Untuk menunjang keberhasilan laktasi, bayi hendaknya

disusui segera atau sedini mungkin setelah lahir. Namun

tidak semua persalinan berjalan normal dan tidak semua

dapat dilaksanakan menyusui dini. IMD disebut early

initation atau permulaan menyusui dini, yaitu bayi mulai

menyusui sendiri segera setelah lahir. Keberhasilan praktik

IMD, dapat membantu agar proses pemberian ASI Ekslusif

28
berhasil, sebaliknya jika IMD gagal dilakukan akan menjadi

penyebab pula terhadap gagalnya pemberian ASI Ekslusif

(Roesli, 2008 dalam Turoso, 2016).

g. Mengapa ASI Eklusif 6 bulan?

1) Sistem imun bayi berusia kurang dari 6 bulan belum sempurna.

MP-ASI dini sama saja membuka pintu gerbang masuknya

berbagai jenis kuman terutama bila makanan disajikan tidak

higienis (Dr. Sandra Fikawati, 2017). Hasil penelitian di

Indonesia (Pertiwi dkk, 2006) menunjukkan bahwa bayi yang

mendapatkan MP-ASI sebelum berumur 6 bulan lebih banyak

terserang diare, sembelit, batuk-pilek, dan panas dibandingkan

bayi yang hanya mendapatkan ASI ekslusif.

2) Pada 6 bulan pertama kehidupan organ pencernaan bayi masih

belum matang sehingga membutuhkan asupan gizi yang mudah

untuk dicerna. Saat bayi berumur 6 bulan keatas , sistem

pencernaannya sudah relative sempurna dan siap menerima MP-

ASI. Beberapa enzim pemecah protein seperti pepsin, lipase,

enzim amylase, dan sebagainya baru akan diproduksi sempurna

saat ia berumur 6 bulan.

3) Mengurangi resiko terkena alergi. Saat bayi berumur kurang dari

6 bulan sel-sel disekitar usus belum siap untuk kandungan dari

makanan sehingga makanan yang masuk dapat menyebabkan

reaksi imun dan terjadi alergi.

29
4) Menunda pemberian MP-ASI hingga 6 bulan melindungi bayi

dari obesitas di kemudian hari akibat proses pemecahan sari-sari

makanan yang belum sempurna.

5) Masa kehamilan hingga bayi berusia 2 tahun merupakan periode

pertumbuhan otak paling cepat. Periode ini disebut periode

lompatan pertumbuhan otak yang cepat .

6) Apabila bayi diberikan ASI ekslusif selama 6 bulan, bayi akan

sering berada dalam dekapan ibu. Bayi akan mendengar detak

jantung ibunya yang telah ia kenak sejak dalam kandungan.

Perasaan terlindung dan disayangi inilah yang menjadi dasar

perkembangan emosi bayi dan membentuk kepribadian yang

percaya diri dan dasar spiritual yang baik.

h. Pemberian ASI di Perkotaan dan Perdesaan

1) Situasi di pedesaan

Status gizi ibu dipedesaan umumnya lebih rendah

dibandingkan perkotaan (Riskesdas tahun 2007 dan 2010).

Status gizi ibu yang rendah akan berakibat pada kemampuan

menyusui yang juga lebih rendah (prentice, 1994; Irawati, 2004;

dan Achadi dkk, 2008). Pertumbuhan bayi yang diberikan ASI

ekslusif oleh ibu dengan status gizi kurang tidak optimal.

Penelitian Soi (2005) di Kupang dan Agam et al, (2003) di

Bangladesh menunjukkan bahwa ibu beresiko KEK memiliki

kemampuan untuk memberikan ASI selam 6 bulan, namun

pertumbuhan BB bayinya lebih rendah dari ibu yang tinggal di

30
perkotaan, jika ibu tidak mengkonsumsi energi dan zat gizi yang

sesuai dengan kebutuhan akan berdampak pada status gizi ibu

yang semakin buruk. berkaitan dengan hal ini hasil penelitian

Irawati (2004) menunjukkan ibu menuyusui dengan status gizi

kurus semakin semakin meningkat jumlahnya setelah 4 bulan

menyusui (3,4% menjadi 16,1%).

Meskipun kemampuan menyusui ibu dengan status gizi

kurang lebih rendah, bayi yang diberikan ASI ekslusif maupun

ASI predominan dipedesaan lebih baik daripada bayi yang

memperoleh MP-ASI sebelum berumur 4-6 bulan (Irawati,

2004). Terbatasnya akses terhadap pelayanan kesehatan dan

kondisi higiene sanitasi yang kurang baik di pedesaan

menyebabkan bayi yang tidak meendapatkan ASI akan

mengkomsumsi MPASI yang kandungan gizi dan higienitasnya

tidak terjamin sehingga mudah terkena penyakit infeksi. Selain

itu,bayi yang diberi ASI ekslusif atau predominan berkurang

kejadian infeksinya karena kondisi daya tahan tubuhnyalebih

baik. Sehingga di pedesaan bayi yang mengkonsumsi dari ASI

parsial maupun non-ASI.

2) Situasi di Perkotaan

Hal berbeda ditemukan pada pemberian ASI predominan di

daerah perkotaan. ESPGHAN Committee on Nutrition (2009)

menyebutkan bahwa hanya 6 negara di Eropa yang proporsi ASI

selama 6 bulannya >50%. Sampai saat ini tidak ada fakta ilmiah

31
yang dapat membuktikan bahwa Negara maju mengenalkan

MPASI lebih cepat (antara 4-6 bulan) akan berdampak lebih

buruk dibandingkan mengenalkan MPASI setelah 6 bulan.

Penelitian Baker et al, (2004) dan Kramer et al. (2000)

melaporkan pertumbuhan bayi yang diberikan ASI ekslusif

dengan durasi yang lebih singkat dari Balarusia dan Denmark

lebih baik.

Perbedaan ini dikarenakan beberapa hal, hasil diskusi pakar

bidang gizi (2000) menyebutkan bahwa MPASI yang dibuat di

rumah oleh ibu yang tinggal di daerah pedesaan atau ibu dengan

status sosioekonomi rendah tidak dapat mencukupi kebutuhan

gizi, terutama zat gizi mikro, sedangkan ibu didaerah perkotaan

memiliki status sosioekonomi yang baik dan mampu

memberikan susu foemula yang kandungan gizinya telah dibuat

menyerupai ASI. Namun, meta-analisis Dewey (1999)

menyimpulkan pertumbuhan bayi yang diberikan ASI dan susu

formula tidak berbeda. Dengan kata lain, peran ASI terlihat

lebih penting bagi Negara berkembang (yang tingkat

sosioekonominya kurang) dibandingkan dengan Negara maju.

Maka, kondisi suatu daerah akan membedakan peranan

pemberian ASI kepada bayi (ESPGHAN Committee on

Nutrition, 2009).

Meski pemberian ASI di daerah perkotaan dan perdesaan

memberikan efek yang berbeda, ASI tetap makanan yang terbaik

32
yang aman bagi bayi pada 6 bulan pertama kehidupan. Namun,

ibu juga perlu memperhatikan status gizi dan konsumsinya pada

laktasi, sehingga bayi dapat mendapatkan ASI yang cukup

sehingga tumbuh optimal dan ibu memiliki status gizi yang

normal.

2. Imunisasi

a. Pengertian Imunisasi

Imunisasi berasal dari kata “imun” yang berarti kebal atau

resisten. Imunisasi merupakan pemberian kekebalan tubuh terhadap

suatu penyakit dengan memasukkan sesuatu ke dalam tubuh agar

tubuh tahan terhadap penyakit yang sedang mewabah atau

berbahaya bagi seseorang (Lisnawati, 2011). Anak kebal atau

resisten terhadap suatu penyakit. Tetapi belum tentu kebal terhadap

penyakit yang lain (Notoatmodjo, 2003).Imunisasi adalah suatu

upaya untuk menimbulkan/meningkatkan kekebalan seseorang

secara aktif terhadap suatu penyakit, sehingga bila suatu saat

terpajan dengan penyakit tersebut tidak akan sakit atau hanya

mengalami sakit ringan (Kemenkes RI, 2013).

Imunisasi merupakan usaha memberikan kekebalan pada bayi

dan anak dengan memasukkan vaksin kedalam tubuh agar tubuh

membuat zat anti untuk mencegah terhadap penyakit tertentu.

Sedangkan yang dimaksud dengan vaksin adalah bahan yang

dipakai untuk merangsang pembentukan zat anti yang dimasukkan

33
kedalam tubuh melalui suntikan (misalnya vaksin BCG, DPT, dan

Campak) dan melalui mulut (misalnya vaksin polio) (Hidayat,

2008). Imunisasi dan vaksinasi seringkali diartikan sama. Imunisasi

adalah suatu pemindahan atau transfer antibody secara pasif,

sedangkan istilah vaksinasi dimaksudkan sebagai pemberian vaksin

(antigen) yang dapat merangsang pembentukan imunitas (antibody)

dari system imun di dalam tubuh. Imunitas secara pasif dapat

diperoleh dari pemberian dua macam bentuk, yaitu immunoglobulin

yang non spesifik atau gamaglobulin dan immunoglobulin yang

spesifik yang berasal dari plasma donor yang sudah sembuh dari

penyakit tertentu atau baru saja mendapatkan vaksinasi penyakit

tertentu (Ranuh, 2008).

Imunisasi adalah suatu cara untuk meningkatkan kekebalan

seseorang secara aktif terhadap suatu antigen, sehingga bila kelak ia

terpajan pada antigen yang serupa, tidak terjadi penyakit (Ranuh

dkk, 2008). Imunisasi adalah cara untuk meningkatkan kekebalan

seseorang terhadap suatu penyakit, sehingga bila kelak terpajan

pada penyakit tersebut ia tidak menjadi sakit. Kekebalan yang

diperoleh dari imunisasi dapat berupa kekebalan pasif maupun aktif

(Ranuh et.al, 2011).

b. Tujuan Imunisasi

Tujuan imunisasi adalah untuk mencegah terjadinya penyakit

tertentu pada seseorang, dan menghilangkan penyakit tersebut pada

sekelompok masyarakat (populasi), atau bahkan menghilangkannya

34
dari dunia seperti yang kita lihat pada keberhasilan imunisasi cacar

variola (Ranuh et.al, 2011). Tujuan dalam pemberian imunisasi,

antara lain :

1) Mencegah terjadinya penyakit tertentu pada seseorang dan

menghilangkan penyakit tertentu di dunia,

2) Melindungi dan mencegah penyakit-penyakit menular yang

sangat berbahaya bagi bayi dan anak,

3) Menurunkan angka morbiditas dan mortalitas serta dapat

mengurangi kecacatan akibat penyakit tertentu,

4) Menurunkan morbiditas, mortalitas dan cacat serta bila mungkin

didapat eradikasi sesuatu penyakit dari suatu daerah atau negeri,

5) Mengurangi angka penderita suatu penyakit yang sangat

membahayakan kesehatan bahkan bisa menyebabkan kematian

pada penderitanya. Beberapa penyakit yang dapat dihindari

dengan imunisasi yaitu seperti campak, polio, difteri, tetanus,

batuk rejan, hepatitis B, gondongan, cacar air, TBC, dan lain

sebagainya,

6) Mencegah terjadinya penyakit tetentu pada seseorang, dan

menghilangkan penyakit pada sekelompok masyarakat

(populasi) atau bahkan menghilangkan penyakit tertentu dari

dunia seperti pada imunisasi cacar (Maryunani, 2010).

c. Manfaat Imunisasi

Menurut Proverawati dan Andhini (2010) manfaat imunisasi

tidak hanya dirasakan oleh pemerintah dengan menurunnya angka

35
kesakitan dan kematian akibat penyakit yang dapat dicegah dengan

imunisasi, tetapi juga dirasakan oleh :

1) Untuk Anak

Mencegah penderitaan yang disebabkan oleh penyakit, dan

kemungkinan cacat atau kematian.

2) Untuk Keluarga

Menghilangkan kecemasan dan psikologi pengobatan bila

anak sakit. Mendorong pembentukan keluarga apabila orang tua

yakin akan menjalani masa kanak-kanak yang nyaman. Hal ini

mendorong penyiapan keluarga yang terencana, agar sehat dan

berkualitas.

3) Untuk Negara

Dan manfaat untuk Negara adalah untuk memperbaiki tingkat

kesehatan, menciptakan bangsa yang kuat dan berakal untuk

melanjutkan pembangunan Negara (Proverawati & Andhini,

2010).

d. Macam-macam Imunisasi

Imunitas atau kekebalan, dibagi dalam dua hal, yaitu aktif dan

pasif. Aktif adalah bila tubuh anak ikut menyelenggarakan

terbentuknya imunitas, sedangkan pasif adalah apabila tubuh anak

tidak bekerja membentuk kekebalan, tetapi hanya menerimanya saja

(Hidayat, 2008).

36
1) Imunisasi Aktif

Imunisasi aktif adalah pemberian kuman atau racun kuman

yang sudah dilemahkan atau dimatikan dengan tujuan untuk

merangsang tubuh memproduksi antibodi sendiri. Imunisasi

aktif merupakan pemberian zat sebagai antigen yang diharapkan

akan terjadi suatu proses infeksi buatan sehingga tubuh

mengalami reaksi imunologi spesifik yang akan menghasilkan

respon seluler dan humoral serta dihasilkannya sel memori,

sehingga apabila benar-benar terjadi infeksi maka tubuh secara

cepat dapat merespon (Maryunani, 2010).

Imunisasi aktif adalah pemberian kuman atau racun kuman

yang sudah dilemahkan atau dimatikan dengan tujuan untuk

merangsang tubuh memproduksi antibodi sendiri. Contonya :

imunisasi polio atau campak. Imunisasi aktif ini dilakukan

dengan vaksin yang mengandung : (a) Kuman-kuman mati

(misalnya : vaksin cholera – typhoid / typhus abdomi nalis –

paratyphus ABC, vaksin vertusis batuk rejan), (b) Kuman-

kuman hidup diperlemah (misalnya : vaksin BCG terhadap

tuberkulosis), (c) Virus-virus hidup diperlemah (misalnya : bibit

cacar, vaksin poliomyelitis), (d) Toxoid (= toksin = racun dari

pada kuman yang dinetralisasi: toxoid difteri, toxoid tetanus)

(Hidayat, 2008).

Vaksin diberikan dengan cara disuntikkan atau per-oral

melalui mulut. maka pada pemberin vaksin tersebut tubuh akan

37
membuat zat-zat anti terhadap penyakit yang bersangkutan, oleh

karena itu dinamakan imunisasi aktif, kadar zat-zat dapat diukur

dengan pemeriksaan darah, dan oleh sebab itu menjadi imun

(kebal) terhadap penyakit tersebut. Pemberian vaksin akan

merangsang tubuh membentuk antibodi. Untuk itu dalam

imunisasi aktif terdapat empat macam kandungan yang terdapat

dalam setiap vaksinnya, antara lain : (a) Antigen merupakan

bagian dari vaksin yang berfungsi sebagai zat atau mikroba guna

terjadinya semacam infeksi buatan, yang dapat berupa poli

sakarida, toxoid, atau virus yang dilemahkan atau bakteriyang

dimatikan, (b) Pelarut dapat berupa air steril atau berupa cairan

kultur jaringan, (c) Preservatif, stabiliser, dan antibiotic yang

berguna untuk mencegah tumbuhnya mikroba sekaligus untuk

stabilisasi antigen, (d) Adjuvans yang terdiri atas garam

aluminium yang berfungsi untuk imunogenitas antigen (Hidayat,

2008).

Keuntungan imunisasi aktif yaitu : (a) Pertahanan tubuh

yang terbentuk akan dibawa seumur hidup, (b) Murah dan

efektif, (c) Tidak berbahaya, reaksi yang serius jarang terjadi

(Hidayat, 2008).

2) Imunisasi Pasif

Imunisasi pasif merupakan pemberian zat (imunoglobulin),

yaitu suatu zat yang dihasilkan melalui suatu proses infeksi yang

dapat berasal dari plasma manusia atau binatang yang digunakan

38
untuk mengatasi mikroba yang diduga sudah masuk dalam

tubuh yang terinfeksi (Hidayat, 2008). Transfer imunitas pasif

didapat terjadi saat seseorang menerima plasma atau serum yang

mengandung antibodi tertentu untuk menunjang kekebalan

tubuhnya (Ranuh et.al, 2011). Imunisasi pasif dimana zat

antinya didapat dari luar tubuh, misalnya dengan suntik bahan

atau serum yang mengandung zat anti. Zat anti ini didapat oleh

anak dari luar dan hanya berlangsung pendek , yaitu 2-3 minggu

karena zat anti seperti ini akan dikeluarkan kembali dari tubuh

anak (Maryunani, 2010).

e. Jenis-jenis Imunisasi Dasar

Imunisasi dasar adalah imunisasi pertama yang perlu diberikan

pada semua orang, terutama bayi dan anak sejak lahir untuk

melindungi tubuhnya dari penyakit-penyakit yang berbahaya

(Maryunani, 2010).

1) Imunisasi BSG

Imunisasi BCG adalah imunisasi yang diberikan untuk

menimbulkan kekebalan aktif terhadap penyakit tuberkulosis

(TBC), yaitu penyakit paru-paru yang sangat menular

(Maryunani, 2010). Frekuensi pemberian imunisasi BCG adalah

satu kali dan tidak perlu diulang (boster). Sebab, vaksin BCG

berisi kuman hidup sehingga antibodi yang dihasilkannya tinggi

terus. Berbeda dengan vaksin berisi kuman mati, hingga

memerlukan pengulangan (Maryunani, 2010).

39
Usia pemberian imunisasi Sedini mungkin atau secepatnya,

tetapi pada umumnya di bawah 2 bulan. Jika diberikan setelah

usia 2 bulan, disarankan dilakukan tes Mantoux (tuberkulin)

terlebih dahulu untuk mengetahui apakah bayi sudah kemasukan

kuman Mycobacterium Tuberculosis atau belum. Vaksinasi

dilakukan bila hasil tes-nya negative. Jika ada penderita TB

yang tinggal serumah atau sering bertandang kerumah, segera

setelah lahir bayi di imunisasi BCG (Maryunani, 2010).

Pemberian imunisasi BCG dilakukan secara Intra Cutan

(IC) dengan dosis 0.05 cc menggunakan jarum pendek yang

sangat halus (10 mm,ukuran 26).Sebaiknya dilakukan ketika

bayi baru lahir sampai berumur 12 bulan, tetapi sebaiknya pada

umur 0-2 bulan. Hasil yang memuaskan trlihat apabila diberikan

menjelang umur 2 bulan. BCG dilakukan dilengan kanan atas

atau paha kanan atas (Depkes RI,2005).

Tanda Keberhasilan Imunisasi Timbul indurasi (benjolan)

kecil dan eritema (merah) di daerah bekas suntikan setelah satu

atau dua minggu kemudian,yang berubah menjadi pustule,

kemudian pecah menjadi ulkus (luka). Tidak menimbulkan nyeri

dan tidak diiringi panas (demam). Luka ini akan sembuh sendiri

dan meninggalkan tanda parut. Jikapun indurasi (benjolan) tidak

timbul, hal ini tidak perlu dikhawatirkan. Karena kemungkinan

cara penyuntikan yang salah, mengingat cara menyuntikkannya

perlu keahlian khusus karena vaksin harus masuk kedalam kulit.

40
Jadi, meskipun benjolan tidak timbul, antibodi tetap terbentuk,

hanya saja dalam kadar rendah. Imunsasi tidak perlu diulang,

karena di daerah endemi TB, infeksi alamiah akan selalu ada.

Dengan kata lain akan mendapat vaksinasi alamiah (Maryunani,

2010).

2) Imunisasi DPT (diphtheria, pertusis, tetanus)

Imunuisasi DPT merupakan imunisasi yang diberikan untuk

menimbulkan kekebalan aktif terhadap beberapa penyakit

berikut ini: (a) Penyakit difteri, yaitu radang tenggorokan yang

sangat berbahaya karena menimbulkan tenggorokan tersumbat

dan kerusakan jantung yang menyebabkan kematian dalam

beberapa hari saja. (b) Penyakit pertusis, yaitu radang paru

(pernapasan), yang disebut juga batuk rejan atau batuk 100 hari.

Karena sakitnya bisa mencapai 100 hari atau 3 bulan lebih.

Gejalanya sangat khas, yaitu batuk yang bertahap, panjang dan

lama disertai bunyi “whoop”/ berbunyi dan diakhiri dengan

muntah, mata dapat bengkak atau penderita dapat meninggal

karena kesulitan bernapas. (c) Penyakit tetanus, yaitu penyakit

kejang otot seluruh tubuh dengan mulut terkunci / terkancing

sehingga mulut tidak bisa membuka atau dibuka (Maryunani,

2010).

Pemberian imunisasi 3 kali (paling sering dilakukan), yaitu

pada usia 2 bulan, 4 bulan dan 6 bulan. Namun, bisa juga

ditambahkan 2 kali lagi, yaitu 1 kali di usia 18 bulan dan 1 kali

41
di usia 5 tahun. Selanjutnya di usia 12 tahun, diberikan

imunisasi TT (Maryunani, 2010).

Cara pemberian imunisasi DPT adalah melalui injeksi

Intramuskular. Suntikan diberikan di paha tengah luar atau

subkutan dalam dengan dosis 0,5 cc. Pemberian vaksin DPT

diberikan tiga kali mulai bayi berumur 2 bulan sampai 11 bulan

dengan interval 4 minggu.(Depkes RI,2005).

Efek samping imunisasi biasanya, hanya gejala-gejala

ringan, seperti sedikit demam (sumeng) saja dan rewel selama 1-

2 hari, kemerahan, pembengkakan, agak nyeri atau pegalpegal

pada tempat suntikan, yang akan hilang sendiri dalam beberapa

hari, atau bila masih demam dapat diberikan obat penurun panas

bayi. Atau bisa juga dengan memberikan minum cairan lebih

banyak dan tidak memakaikan pakaian terlalu banyak

(Maryunani, 2010).

3) Imunisasi Polio

Imunisasi Polio adalah imunisasi yang diberikan untuk

menimbulkan kekebalan terhadap penyakit poliomyelitis, yaitu

penyakit radang yang menyerang saraf dan dapat mengakibatkan

lumpuh kaki. - Imunisasi Polio adalah imunisasi yang digunakan

untuk mencegah terjadinya penyakit poliomyelitis yang dapat

menyebabkan kelumpuhan pada anak. (Kandungan vaksin polio

adalah virus yang dilemahkan) (Maryunani, 2010).

42
Waktu pemberian polio adalah pada umur bayi 0-11 bulan

atau saat lahir (0 bulan), dan berikutnya pada usia bayi 2 bulan,

4 bulan, dan 6 bulan. Kecuali saat lahir, pemberian vaksin polio

selalu dibarengi dengan vaksin DPT (Maryunani, 2010).

Cara pemberian imunisasi di Indonesia dipakai vaksin sabin

yang diberikan melalui mulut. Imunisasi dasar diberikan sejak

anak baru lahir atau berumur beberapa hari, dan selanjutnya

setiap 4-6 minggu. Vaksin ini diberikan sebanyak 2 tetes ( 0,1

ml) langsung ke mulut anak atau dengan sendok yang

menggunakan larutan gula.Setiap membuka vial baru harus

menggunakan penetes( dopper) yang baru (Depkes RI,2005).

Pada imunisasi polio hampir tidak ada efek samping. Bila ada,

mungkin berupa kelumpuhan anggota gerak seperti pada

penyakit polio sebenarnya (Atikah,2009).

4) Imunisasi Campak

Imunisasi campak adalah imunisasi yang diberikan untuk

menimbulkan kekebalan aktif terhadap penyakit campak

(morbili/measles). Kandungan vaksin campak ini adalah virus

yang dilemahkan. Sebenarnya, bayi sudah mendapat kekebalan

campak dari ibunya. Namun seiring bertambahnya usia, antibodi

dari ibunya semakin menurun sehingga butuh antibodi tambahan

lewat pemberian vaksin campak. Penyakit campak mudah

menular, dan anak yang daya tahan tubuhnya lemah gampang

sekali terserang penyakit yang disebabkan virus morbili ini.

43
Namun, untungnya campak hanya diderita sekali seumur hidup.

Jadi sekali terkena campak, setelah itu biasanya tidak akan

terkena lagi (Maryunani, 2010).

Frekuensi pemberian imunisasi campak adalah satu kali

(Maryunani,2010). Imunisasi campak diberikan 1 kali pada usia

9 bulan, dan dianjurkan pemberiannya sesuai jadwal. Selain

karena antibodi dari ibu sudah menurun di usia bayi 9 bulan,

penyakit campak umumnya menyerang anak usia balita. Jika

sampai usia 12 bulan anak belum mendapatkan imunisasi

campak, maka pada usia 12 bulan ini anak harus diimunisasi

MMR (Measles Mumps Rubella) (Maryunani, 2010). Cara

pemberian imunisasi sebelum di suntikan vaksin campak

terlebih dahulu dilarutkan dengan pelarut.Kemudian disuntikan

lengan kiri atas secara subkutan (Depkes RI,2005).

5) Imunisasi Hepatitis B

Imunisasi Hepatitis B adalah imunisasi yang diberikan

untuk menimbulkan kekebalan aktif terhadap penyakit hepatitis

B, yaitu penyakit infeksi yang dapat merusak hati. Imunisasi

Hepatitis B adalah imunisasi yang digunakan untuk mencegah

terjadinya penyakit hepatitis, yang kandungannya adalah HbsAg

dalam bentuk cair (Maryunani, 2010). Frekuensi pemberian

imunisasi hepatitis B adalah 3 kali ) (Maryunani, 2010).

Usia pemberian imunisasi sebaiknya diberikan 12 jam

setelah lahir. Dengan syarat kondisi bayi dalam keadaan stabil,

44
tidak ada gangguan pada paru-paru dan jantung. Kemudian

dilanjutkan pada saat bayi berusia 1 bulan, dan usia antara 3 – 6

bulan. Khusus bayi yang lahir dari ibu pengidap hepatitis B,

selain imunisasi yang diberikan kurang dari 12 jam setelah lahir,

juga diberikan imunisasi tambahan dengan immunoglobulin anti

hepatitis B dalam waktu sebelum usia 24 jam ) (Maryunani,

2010).

Cara pemberian imunisasi hepatitis B adalah dengan cara

intramuskuler (I.M atau i.m) di lengan deltoid atau paha

anterolateral bayi (antero : otot-otot dibagian depan, lateral : otot

bagian luar). Penyuntikan dibokong tidak dianjurkan karena bisa

mengurangi efektivitas vaksin ) (Maryunani, 2010).

Reaksi imunisasi yang terjadi biasanya berupa nyeri pada

tempat suntikan, yang mungkin disertai dengan timbulnya rasa

panas atau pembengkakan. Reaksi ini kan menghilang dalam

waktu 2 hari. Reaksi lain yang mungkin terjadi ialah demam

ringan (Atikah,2009).

3. MP-ASI

a. Pengertian MP-ASI

Makanan pendamping ASI (MP-ASI) adalah makanan tambahan

yang diberikan kepada bayi setelah bayi berusia 6 bulan sampai bayi

berusia 24 bulan. Jadi selain Makanan Pendamping ASI, ASI-pun

harus tetap diberikan kepada bayi, paling tidak sampai usia 24 bulan,

peranan makanan pendamping ASI sama sekali bukan untuk

45
menggantikan ASI melainkan hanya untuk melengkapi ASI jadi dalam

hal ini makanan pendamping ASI berbeda dengan makanan sapihan

diberikan ketika bayi tidak lagi mengkonsumsi ASI (Diah Krisnatuti,

2008). Makanan Pendamping ASI (MP-ASI) merupakan proses

perubahan dari asupan susu menuju ke makanan semi padat. Hal ini

dilakukan karena bayi membutuhkan lebih banyak gizi. Bayi juga

ingin berkembang dari refleks menghisap menjadi menelan makanan

yang berbentuk cairan semi padat dengan memindahkan makanan dari

lidah bagian depan ke belakang (Indiarti and Eka Sukaca Bertiani,

2015).

Makanan pendamping ASI merupakan makanan bayi kedua yang

menyertai dengan pemberian ASI. Makanan Pendamping ASI

diberikan pada bayi yang telah berusia 6 bulan atau lebih karena ASI

tidak lagi memenuhi gizi bayi. Pemberian makanan pendamping ASI

harus bertahap dan bervariasi dari mulai bentuk sari buah, buah segar,

bubur kental, makanan lumat, makanan lembek, dan akhirnya

makanan padat. Alasan pemberian MP-ASI pada usia 6 bulan karena

umumnya bayi telah siap dengan makanan padat pada usai ini

(Chomaria, 2013). Pengenalan dan pemberian MP-ASI harus

dilakukan secara bertahap baik bentuk maupun jumlahnya, sesuai

dengan kemampuan pencernaan bayi/anak. ASI hanya memenuhi

kebutuhan gizi bayi sebanyak 60% pada bayi usia 6-12 bulan. Sisanya

harus dipenuhi dengan makanan lain yang cukup jumlahnya dan baik

gizinya . Oleh sebab itu pada usia enam bulan keatas bayi

46
membutuhkan tambahan gizi lain yang berasal dari MP-ASI (Mufida,

Widyaningsih and Maligan, 2015).

Tujuan pemberian makanan bayi menurut (Budiastuti, 2009)

dibedakan menjadi 2 macam yaitu tujuan mikro dan tujuan makro.

Tujuan mikro berkaitan langsung dengan kepentingan individu

pasangan ibu-bayi, dalam ruang lingkup keluarga, yang mencakup 3

macam aspek:

1) Aspek fisiologis yaitu memenuhi kebutuhan gizi dalam keadaan

sehat maupun sakit untuk kelangsungan hidup, aktivitas dan

tumbuh kembang.

2) Aspek edukatif yaitu mendidik bayi agar terampil dalam

mengkonsumsi makanan pendamping ASI.

3) Aspek psikologis yaitu untuk memberi kepuasan pada bayi dengan

menghilangkan rasa tidak enak karena lapar dan haus. Disamping

itu memberikan kepuasan pada orang tua karena telah melakukan

tugasnya.

4) Sedangkan tujuan makro merupakan permasalahan gizi masyarakat

luas dan kesehatan masyarakat.

Pemberian makanan pendamping ASI bagi bayi bertujuan untuk

menambah energi dan zat-zat gizi yang diperlukan bayi karena ASI

sudah tidak dapat memenuhi kebutuhan bayi secara terus menerus

(Diah Krisnatuti, 2008) selain itu pemberian makanan pendamping

ASI membantu bayi dalam proses belajar makan dan kesempatan

47
untuk menanamkan kebiasaan makan yang baik serta mengenalkan

berbagai jenis dan rasa makanan.

b. Bentuk Makanan Pendamping ASI

1) Makanan lumat, yaitu jenis makanan yang dihancurkan atau disaring

tampak kurang rata dimana konsistensinya paling halus. Biasanya

makanan lumat terdiri dari satu jenis makanan (makanan tunggal)

Contoh: pepaya dihaluskan dengan sendok, pisang dikerik dengan

sendok, nasi tim saring, bubur kacang ijo saring, kentang rebus.

2) Makanan lembek, yaitu makanan yang dimasak dengan banyak air dan

tampak berair namun biasanya konsistensinya lebih padat daripada

makanan lumat. Makanan lembik ini merupakan makanan peralihan

antara makanan lumat menuju ke makanan padat.. Contoh: bubur nasi,

bubur ayam, bubur kacang ijo, bubur manado.

3) Makanan keluarga, yaitu makanan padat yang biasanya disediakan di

keluarga dimana tekstur dari makanan keluarga yaitu makanan padat

Contoh: lontong, nasi tim, kentang rebus, biskuit (Argentina dan

Yunita, 2014).

c. Prinsip Pemberian MP-ASI

Berikut ini merupakan beberapa prinsip pedoman pemberian MP-ASI

pada bayi minum ASI menurut Ria Riksani :

1) Lanjutkan pemberian ASI sesuai keinginan bayi (on demand) sampai

bayi berusia 2 tahun atau lebih.

2) Lakukan, yaitu dengan menerapkan prinsip asuhan psikososial.

Sebaiknya, ibu memberikan makanan secara pelan dan sabar, berikan

48
dorongan agar bayi mau makan, tetapi jangan memaksakannya untuk

makan, tetapi jangan memaksanya untuk makan, ajak bayi untuk

bicara, dan pertahankan kontak mata. Pada awal- awal pemberian

makanan pendamping, bayi membutuhkan waktu untuk beradaptasi

dengan jenis makanan baru yang bayi temui.

3) Jagalah kebersihan dalam setiap makanan yang disajikan. Terapkan

pula penanganan makanan yang tepat.

4) Memulai pemberian makanan pendamping setelah bayi berusia 6

bulan dalam jumlah sedikit. Secara bertahap, ibu bisa menambah

jumlahnya sesuai usia bayi.

5) Sebaiknya, variasi makanan secara bertahap ditambah agar bayi bisa

merasakan segala macam citarasa.

6) Frekuensi makanan ditambah secara bertahap sesuai pertambahan

usianya, yaitu 2-3 kali sehari pada usia 6-8 bulan dan 3-4 kali sehari

pada usia 9-24 bulan dengan tambahan makanan selingan 1-2 kali bila

diperlukan.

7) Pilihlah variasi makanan yang kaya akan zat gizi.

8) Usahakan untuk membuat sendiri makanan yang akan diberikan

kepada bayi dan hindari makanan instan. Jika terpaksa memberikan

makanan instan, sebaiknya ibu bijak dalam melihat komposisi nutrisi

yang terkandung di dalamnya.

9) Saat anak anda terlihat mengalami sakit, tambahkan asupan cairan

(terutama berikanlah air susu lebih sering ) dan dorong anak untuk

makan makanan lunak yang anak senangi (Raksani Ria, 2013).

49
d. Jenis-Jenis Makanan Pendamping ASI

Secara umum terdapat dua jenis MP-ASI yaitu hasil olahan pabrik

Menurut Depkes RI (2006) jenis MP-ASI adalah sebagai berikut:

a). Makanan tambahan pendamping ASI lokal (MP-ASI Lokal) adalah

makanan tambahan yang diolah dirumah tangga atau di Posyandu, terbuat

dari bahan makanan yang tersedia ditempat, mudah diperoleh dengan

harga terjangkau oleh masyarakat, dan memerlukan pengolahan sebelum

dikonsumsi oleh bayi.

b). Makanan tambahan pendamping ASI pabrikan (MP-ASI pabrikan)

adalah makanan yang disediakan dengan olahan dan bersifat instan dan

beredar dipasaran untuk menambah energI dan zat-zat gizi esensial pada

bayi. Jadwal Pemberian Makanan Pendamping ASI

e. Jadwal Pemberian MP-ASI

Pemberian MP-ASI yang tepat yaitu memenuhi kebutuhan gizinya.

MP- ASI harus di sesuaikan dengan usia bayi dimana ketepatan pemberian

MP-ASI meliputi jenis, tekstur, frekuensi maupun porsi makan harus

disesuaikan dengan tahap perkembangan dan pertumbuhan bayi sebagai

berikut : Kebutuhan energy dari makanan adalah sekitar 200 kkal/hari

untuk bayi usia 6-8 bulan, 300 kkal/hari untuk bayi usia 9-11 bulan dan

550 kkal/hari untuk bayi 12 bulan (1 tahun), Usia 6-8 bulan, kenalkan MP-

ASI dalam bentuk lumat dimulai dari bubur susu sampai dengan nasi tim

lunak, 2 kali sehari. Setiap kali makan diberikan sebanyak:

1) 6 bulan : 6 sendok makan

50
2) 7 bulan : 7 sendok makan

3) 8 bulan : 8 sendok makan

Untuk usia 9-12 bulan, berikan MP-ASI dimulai dari bubur nasi

sampai nasi tim sebanyak 3 kali sehari. Setiap kali makan berikan

sebanyak :

1) 9 bulan : 9 sendok makan

2) 10 bulan : 10 sendok makan

3) 11 bulan : 11 sendok makan

Pada usia 12 bulan, berikan nasi lembek 3 kali sehari. Berikan ASI

terlebih dahulu, kemudian MP-ASI. Pada MP-ASI, tambahkan telur /ayam

/ikan /tahu /tempe /daging sapi /wortel /bayam /kacang hijau/santan

/minyak pada bubur nasi atau nasi lembek. Bila menggunakan makanan

pendamping ASI dari pabrik, baca cara menyiapkannya,batas usia, dan

tanggal kadarluarsa. Berikan makanan selingan 2 kali sehari di antara

waktu makan, seperti bubur kacang hijau, biskuit, pisang, nagasari dan

sebagainya. Berikan buah-buahan atau sari buah, seperti air jeruk manis

dan air tomat saring. Bayi mulai diajarkan makan dan minum sendiri

menggunakan gelas dan sendok (Susilowati dan Kuspriyanto, 2016).

f. Alasan MP-ASI di Berikan Usia 6 Bulan

Menurut (Chomaria, 2013) MP-ASI harus diberikan pada saat bayi

usia 6 bulan karena:

1) Bayi mengalami growth spurt (percepatan pertumbuhan) pada usia 3-4

bulan, bayi mengalami peningkatan nafsu makan, tetapi bukan berarti

pada saat usia tersebut bayi siap untuk menerima makanan padat .

51
2) 0-6 bulan, kebutuhan bayi bisa dipenuhi hanya dengan mengkonsumsi

ASI.

3) Umumnya bayi telah siap dengan makanan padat pada usia 6 bulan

karena pada usia ini, ASI hanya memenuhi 60-70% kebutuhan gizi

bayi.

4) Tidak dianjurkan untuk memperkenalkan makanan semi padat atau

padat pada bayi berusia 4-6 bulan karena sistem pencernaan mereka

belum siap menerima makanan ini.

5) Pemberian makanan sebelum usia 6 bulan, meningkatkan risiko alergi,

obesitas, mengurangi minat terhadap ASI.

6) Masih aktifnya reflex extrusion yaitu bayi akan mengeluarkan makanan

yang ibu sodorkan kemulutnya , ini meningkatkan risiko tersedak jika

diberikan makanan padat telalu dini.

g. MP-ASI yang Dibutuhkan Berdasarkan Usia

Tabel 2.2 MP-ASI yang di butuhkan berdasarkan Usia

Jumlah makanan
Usia Energi dari yang biasanya
(bulan MPASI/hari Tekstur Frekuensi diasup
) (kalori) bayi/waktu
makan
6-8 200 Mulai dengan 2-3 2-3 sendok
bubur yang kali/hari makan,
kental dan tambahkan
makanan yang hingga 125 ml
dihaluskan. atau ½ dari gelas
Lanjutkan
dengan

52
makanan
keluarga yang
dihaluskan.
9-11 300 Makanan yang 3-4 125 ml atau ½
dicincang atau kali/hari dari gelas
dihaluskan Snack 1-2
sehingga bayi kali, atau
dapat bergantung
megambilnya pada nafsu
mkan bayi
11-23 550 Makanan 3-4 150-250 ml atau
keluarga, dapat kali/hari 3/4 hingga 1
dicincang bila Snack 1-2 gelas penuh
perlu kali, atau
bergantung
pada nafsu
makan
bayi

h. Akibat Pemberian MP-ASI yang Salah

Ada dua kategori pemberian MP-ASI yang salah menurut (Monika,

2014) yaitu : Dampak pemberian MP-ASI terlalu dini dan kerugian

menunda pemberian MP- ASI. Berikut penjelasannya :

1) Dampak dari Pemberian MP-ASI terlalu Dini

Banyak Ibu (umumnya, bila bayi adalah anak pertama) sangat

bersemangat untuk segera meberikan MP-ASI karena dalam diri

mereka ada perasaan bangga dan bahagia telah membuat pencapaian

besar. Hal ini dapat memicu orangtua memberikan MP-ASI dini.

Berikut dampak dari pemberian MP- ASI terlalu dini :

2) Bayi lebih rentan terkena berbagai penyakit.

53
3) Saat bayi menerima asupan lain selain ASI, imunitas/kekebalan

yang diterima bayi akan berkurang. Pemberian MP-ASI dini

berisiko membuka pintu gerbang masuknya berbagai jenis kuman,

apalagi bila MP-ASI tidak disiapkan secara higienis.

4) Berbagai reaksi muncul akibat sistem pencernaan bayi belum siap.

5) Bila MP-ASI diberikan sebelum sistem pencernaan bayi siap untuk

menerimanya, makanan tersebut tidak dapat dicerna dengan baik

dan bisa menimbulkan berbagai reaksi, seperti diare,

sembelit/konstipasi, dan perut kembung atau bergas. Tubuh bayi

belum memiliki protein pencernaan yang lengkap. Berbagai enzim

seperti amylase (enzim pencerna karbohidrat) yang diproduksi

pancreas belum cukup tersedia ketika bayi belum berusia 6 bulan.

Begitu pula dengan enzim pencerna karbohidrat lainnya (seperi

maltase dan sukrase) dan pencerna lemak (lipase).

6) Bayi berisiko menderita alergi makanan.

Memperpanjang pemberian ASI eksklusif menurunkan angka

terjadinya alergi makanan. Pada usia 4-6 bulan kondisi usus bayi

masih “terbuka”. Saat itu antibody dari ASI masih bekerja melapisi

organ pencernaan bayi dan memberikan kekebalan pasif,

mengurangi terjadinya penyakit dan reaksi alergi sebelum

penutupan usus terjadi. Produksi antibody dan tubuh bayi sendiri

dan penutupan usus terjadi saat bayi berusia 6 bulan.

7) Bayi berisiko mengalami obesitas/kegemukan.

54
Pemberian MP-ASI dini sering dihubungkan dengan

peningkatan berat badan dan kandungan lemak di tubuh anak pada

masa datang.

8) Produksi ASI dapat berkurang.

Makin banyak makanan padat yang diterima bayi makin tinggi

potensi bayi mengurangi permintaan menyusu. Bila ibu tidak

mengimitasi frekuensi bayi menyusu dengan memerah, produksi

ASI dapat menurun. Bayi yang mengonsumsi makanan padat pada

usia yang lebih muda cenderung lebih cepat disapih.

9) Persentase keberhasilan pengatur jarak kehamilan alami menurun.

Pemberian ASI eksklusif cenderung sangat efektif dan alami

dalam mencegah kehamilan. Bila MP-ASI sudah diberikan, bayi

tidak lagi menyusu secara eksklusif sehingga persentase

keberhasilan metode pengaturan kehamilan alami ini akan

menurun.

10) Bayi berisiko tidak mendapat nutrisi optimal seperti ASI.

Umumnya bentuk MP-ASI dini yang diberikan berupa bubur

encer/cair yang mudah ditelan bayi. MP-ASI seperti ini

mengenyangkan bayi, tetapi nutrisinya tidak memadai.

11) Bayi berisiko mengalami invagasi usus/intususepsi.

Invagasi usus/intususepsi adalah keadaan suatu segmen usus

masuk ke dalam bagian usus lainnya sehingga menimbulkan

berbagai masalah kesehatan serius dan bila tidak segera ditangani

dapat menyebabkan kematian. Penyebab pasti penyakit ini belum

55
diketahui, tetapi hipotesis yang paling kuat adalah karena

pemberian MP-ASI yang terlalu cepat.

i. Kerugian Menunda MP-ASI

Berapa ibu dan orangtua menunda pemberian MP-ASI hingga usia bayi

lebih dari 6 bulan dengan alasan agar bayi terhindar dari risiko menderita

alergi makanan serta meberikan kekebalan pada bayi lebih lama. Padahal

sebuah tinjauan dari sebuah penelitian menyimpulkan bahwa menunda

pemberian MP- ASI hingga usia bayi melewati 6 bulan tidak memberikan

perlindungan yang berarti. Berikut kerugian jika menunda pemberian MP-

ASI :

1) Kebutuhan energi bayi tidak terpenuhi. Bila kebutuhan bayi tidak

terpenuhi, bayi akan berhenti tumbuh atau tumbuh dengan tidak

optimal, bahkan bila dibiarkan bayi dapat menderita gagal tumbuh.

Tingkatkan kuantitas MP-ASI seiring bertambahnya usia bayi.

2) Bayi berisiko kekurangan zata besi dan menderita ADB (anemia

defisiensi besi)

3) Kebutuhan makronutrien dan mikronutrien lainnya tidak terpenuhi

sehingga mengakibatkan bayi/anak berisiko menderita malnutrisi dan

defisiensi mikronutrien.

4) Perkembangan fungsi motorik oral bayi dapat terlambat.

5) Bayi berpotensi menolak berbagai jenis makanan dan sulit menerima

rasa makanan baru di kemudian hari.

j. Cara membuat MPASI

56
MP ASI dapat dibeli ditoko dalam bentuk instan atau dibuat sendiri di

rumah. Meski diperlukan waktu lebih untuk membuat MPASI dirumah,

membuat MPASI dapat menjadi alternatif untuk menghasilkan MPASI

yang bergizi dengan harga yang lebih ekonomis. Ibu dapat membuat satu

jenis MPASI untuk menjadi makanan bayi untuk satu hari. Untuk

menghasilkan tekstur yang sesuai dengan kemampuan bayi dalam

mencerna makanan, teknik memasak MPASI perlu diperhatikan, sehingga

tekstur dan konsistensinya sesuai. Cara lain untuk mensiasati konsistensi

dan tekstur makanan adalah dengan menggunakan bantuan blender atau

food processor.

Berikut merupakan jenis makanan yang dapat dijadikan bahan untuk

membuat MPASI.

1) Serealia dan Umbi-umbian

Bahan pangan jenis ini adalah beras, oat, beras merah dan gandum

merupakan sumber utama karbohidrat dan kaya akan vitamin B.

Serealia yang digunakan dapat dihaluskan terlebih dahulu sebelum di

seduh atau dimasak hingga seperti bubur untuk mempermudah bayi saat

menelan. Ibu dapat menggunakan campuran dari beberapa serelia saat

diberikan kepada bayi, namun pada tahap awal disarankan untuk

memberikan satu jenis sereal terlebih dahulu dikarenakan sereal

berpotensi untuk menimbulkan alergi pada bayi.

Selain serelia, umbi-umbian juga dapat digunakan sebagai MPASI,

di Indonesia sendiri umbi-umbian sangat mudah untuk ditanam dan

diakses karena tersedia diberbagai tempat dan harganya yang murah.

57
Kentang dan ubi terutama ubi merah dapat dijadikan MPASI dengan

merebus dan menghaluskannya hingga lembut terlebih dahulu. Namun,

dalam menentukan umbi yang akan dijadikan MPASI perlu

dipertimbangkan kandungan gizi umbi, sebab beberapa jenis umbi

tertentu seperti singkong memiliki kandungan protein yang minim

dibandingkan umbi lainnya.

2) Sayur dan Buah

Tidak ada saran tetentu untuk memberikan sayur atau buah terlebih

dahulu kepada bayi. Namun, beberapa peneliti menyarankan untuk

memperkenalkan sayur terlebih dahulu, sebab apabila buah yang

terlebih dahulu diperkenalkan bayi akan terbiasa dengan rasa sayuran.

Sejumlah 1/2 sendok teh sayur dan buah di hari pertama dan 1 sendok

the di hari kedua dapat diberikan kepada bayi. Bayi dapat diperkenalkan

beberapa jenis buah dalam waktu satu waktu, sehingga diperoleh

kandungan gizi yang lebih beragam.

3) Daging dan Telur

Daging dan telur dapat menjadi sumber protein dan zat besi untuk

ditambahkan pada MPASI bayi. Daging merah seperti daging sapi

daging kambing, dan hati dapat menjadi sumber zat besi yang baik.

Sementara itu, daging putih seperti ikan dapat menjadi sumber omega 3

dan 6. Telur juga merupakan sumber protein yang tinggi, putih telur

mengandung protein yang lebih tinggi dibandingkan kuning telur,

namun kuning telur mengandung lemak dan vitamin B yang baik.

58
Daging dan telur dapat diajikan kepada bayi dengan mencampurkannya

dengan bahan lain seperti serelia.

4) Roti

Saat berusia 9 bulan bayi boleh mulai mengkonsumsi makanan yang

lebih padat atau makanan yang dapat dipegang sendiri. Pada usia ini

gigi bayi juga sudah cukup banyak, sehingga bayi mulai dapat

mengonsumsi roti dan biskuit.

C. Konsep Anak Balita

1. Pengertian Anak Balita

Balita adalah istilah yang umum digunakan untuk menyebutkan

anak dengan rentang usia 2 sampai 5 tahun. Pada masa ini anak masuk

dalam masa pra sekolah, dimana semua kebutuhan anak sangat

tergantung dengan orang tua.Periode ini merupakan periode yang sangat

penting dan tidak dapat terulang atau disebut dengan the golden ege.

Pertumbuhan dan perkembangan yang terjadi pada masa ini sangat

menentukan bagaimana anak pada periode selanjutnya (Gunawan &

shofar, 2018).

2. Tahap Pertumbuhan Anak

Pertumbuhan (growth) adalah perubahan ukuran tubuh yang

terjadi pada manusia dari kecil menjadi besar dengan bertambahnya

jumlah, ukuran, dimensi pada tingkat sel, organ maupun individu.

Pertumbuhan yang terjadi pada anak mempunyai sifat kuantitatif dan

merujuk pada perubahan struktur dan fungsi organ yang lebih optimal,

pertumbuhan fisik anak dapat dinilai dengan ukuran panjang (cm, meter),

59
berat (gram, kilogram), umur, tulang, dan tanda –tanda sek sekunder,

tidak hanya petumbuhan fisik anak yang mengalami perubahan tetapi

juga struktur organ dan otak anak. (Soetjiningsih & Ranuh, 2016).

Pertumbuhan otak tercepat terjadi pada trimester ketiga

kehamilan sampai 2 tahun pertama kelahiran, pembelahan sel otak

sangatlah pesat pada masa ini, setelah itu pembelahan sel melambat dan

menjadi pembelahan sel otak biasa sehingga pada bayi baru lahir berat

otaknya ¼ dari berat otak orang dewasa dan jumlah sel otaknya sudah

mencapai 2/3 dari jumlah sel otak orang dewasa. Pada anak usia 2 tahun

ukuran otak sudah menacapai 80% dari ukuran orang dewasa

(Soetjiningsih & Ranuh, 2016).

3. Perkembangan Anak

Perkembangan (development) adalah bertambahnya

kemampuan dalam struktur dan fungsi tubuh yang lebih kompleks dalam

pola yang teratur sebagai hasil dari proses pematangan. Perkembangan

merupakan proses deferensiasi sel tubuh, jaringan tubuh, organ dan

system organ yang berkembang secara optimal dan dapat memenuhi

fungsinya masing-masing, termasuk dalam perkembangan emosi,

intelektual, dan tingkah laku anak yang merupakan hasil dari interaksi

dengan lingkungansekitarnya (Ardiana, 2011).

4. Aspek Perkembangan pada Anak

Perkembangan pada anak dapat dilihat dari berbagai aspek

diantaranya adalah sebagai berikut:

1. Aspek Perkembangan Fisik

60
Fisik atau tubuh manusia merupakan organ yang sangat

komplek dan mengagumkan.Semua organ manusia mulai tumbuh sejak

berada didalam kandungan. Kuhlen da Thomshon (1956)

mengemukakan bahwa perkembangan fisik pada manusia meliputi 4

aspek yaitu, system syaraf yang mempengaruhi kecerdasan dan emosi

individu, otot yang mempengaruhi kemampuan motorik, kelenjar

endokrin yang menyebabkan munculnya tingkah laku yang baru,

struktur fisik atau tubuh yang meliputi tinggi dan berat badan.

Perkembangan fisik juga erat kaitannya dengan ketrampilan motorik

kasar dan motorik halus. (Suryana,2016).

2. Aspek Perkembangan Kognitif

Perkembangan kognitif adalah suatu proses berfikir, yaitu

kempampuan anak untuk menghubungkan, menilai, dan

mempertimbangkan. Perkembangan kognitif erat kaitannya dengan

intelektual anak dalam berfikir dan mengambil keputusan untuk

menculkan ide-ide dalam belajar dan menyelesaikan masalah yang ada

(Susanto, 2011).Berdasarkan teori yang dikembangkan oleh piaget

dalam berfikir anak – anak memiki cara yang berbeda dibandingkan

dengan orang dewasa. Piaget juga mengelompokkan perkembangan

kognitif menjadi 4 tahap perkembangan yaitu, tahap sensomotorik (0-

24 bulan), pra operasional (2-7 tahun), operasional konret(7-11 tahun),

dan operasional formal (dimulai usia 11 tahun). (Soetjiningsih, &

Ranuh, 2016).

61
3. Aspek Perkembangan Bahasa

Banyak orang yang masih keliru dengan penggunaan istilah

berbicara (speech) dengan bahasa (language). Bahasa merupakan

suatu sistem yang digunakan untuk berkomunikasi, dengan

menggunakan simbol –simbol tertentu untuk menyampaikan pesan

dari individu ke individu lain. Simbol yang digunakan untuk

komunikasi bisa berupa tulisan, berbicara, bahasa symbol, ekspresi

muka, isyarat, pantonim, dan seni. (Soetjiningsih, & Ranuh, 2016).

Pengelompokan perkembangan bahasa menjadi 3 kelompok

besar yaitu, aspek biologis, aspek psikologis dan kultur. Aspek

biologis, otot dan syaraf pada alat – alat berbicara sudah berkembang

secara baik sejak anak lahir.Anak yang baru lahir sudah bisa

mengeluarkan suara seperti “a”, “e”. Aspek psikologis, pada awalnya

anak anak berbicara dengan bereaksi dengan suaranya sendiri, dan

diulang – ulang oleh orang lain, kemudian anak akan mempelajari

suara baru dan meniru orang lain berbicara. Aspek kultur, untuk

membuka cakrawala sosial anak dikehidupan bermasyarakat adalah

solusinya. anak akan lebih mengerti jika bahasa merupakan hal yang

sangat penting untuk berinteraksi dan mendapatkan teman didalam

suatu kelompok. Hal ini menuntut anak untuk bisa lebih banyak

belajar dan mencerna setiap bahasa yang di keluarkan di dalam

masyarakat tersebut untuk berinteraksi satu dengan yang lain

(Susanto, 2015)

62
D. Kerangka Teori

Skema 2. 1
Kerangka Teori

ASI EKSLUSIF:

1. Tujuan
2. Manfaat
3. Kandungan ASI
4. Komposisi ASI
5. Faktor-faktor yang
Mempengaruhi ASI Ekslusif

Kelengkapan Imunisasi :

(Kelengkapan Imunisasi terdiri


dari Bsg, Dpt, Polio, Campak,
Hepatitis B) STUNTING

Pemberian MP-ASI :

1. Bentuk makanan
pendamping ASI
2. Prinsip Pemberian MP-ASI
3. Jenis-Jenis Makanan
Pendamping ASI
4. Jadwal pemberian Mp-ASI
5. Akibat pemberian MP-ASI
yang salah

Sumber : (Modifikasi Achadi, 2015)

63
BAB III

KERANGKA KONSEP

A. Kerangka Konsep

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui Hubungan Pemberian ASI

Ekslusif, Kelengkapan Imunisasi dan Pemberian MP-ASI terhadap Kejadian

Stunting pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Cubadak Kabupaten

Pasaman tahun 2020. Adapun variabel yang dibahas peneliti adalah yang

tertera pada kerangka konsep di bawah ini.

Variabel Independen Varibel


dependen
Pemberian ASI
Ekslusif

Kelengakapan Kejadian Stunting


Imunisasi pada Balita

Pemberian
MP-ASI

Gambar 3.1
Kerangka Konsep Penelitian

64
B. Defenisi Operasional

Defenisi operasional adalah uraian tentang batasan variabel yang

dimaksud, atau tentang apa yang diukur oleh variabel yang bersangkutan

(Notoadmojho 2012, p. 112).

Tabel 3.1
Defenisi Operasional

N Variabel Defenisi Operasional Alat Ukur Cara Ukur Hasil Ukur Skala
O Ukur
Dependent
1. Stunting Keadaan tubuh anak Pengukura Menggunakan 1 = stunting Ordinal
berdasarkan panjang n panjang aplikasi e- Bila TB/U
badan menurut umur badan ppgbm. ≥-2SD
(PB/U) <-2SD sehingga dilakukan Dengan 2 = Tidak
lebih pendek dari yang dengan aplikasi ini stunting
seharusnya. microtoice apabila tinggi Bila TB/U
badan dan <-2SD
berat badan
dimasukkan
akan keluar
secara
otomatis
apakah balita
tersebut
stunting atau
tidak.
Independen
2 ASI Memberikan hanya ASI Kuisoner Wawancara 1 = Tidak Ordinal
Ekslusif saja kepada bayi sejak Ekslusif
dilahirkan sampai enam 2 = Ekslusif
bulan, tanpa
menambahkan dengan

65
makanan/minuman lain
(kecuali obat, vitamin
dan mineral).
3 Imunisasi Kelengkapan lima jenis Buku KIA Wawancara 1 = Tidak Ordinal
imunisasi yang lengkap
diwajibkan pada anak 2 = lengkap
balita atau biasa disebut
dengan lima imunusasi
dasar lengkap yaitu
BCG 1x, DPT 3x, Polio
4x, Hepatitis B 3x dan
campak 1x (Kepmenkes
RI No.
1611/MENKES/SK/XI/
2005)
4 MP-ASI Makanan tambahan Kuisoner Wawancara 1 = Tidak Ordinal
yang diberikan kepada (Tidak
balita setelah bayi diberi MP-
berumur 6 bulan sampai ASI)
bayi berusia 24 bulan. 2 = Ya
( Diberi
MP-ASI)

3.3. Hipotesa Penelitian

a. Ada hubungan ASI Ekslusif terhadap kejadian Stunting pada Balita di

Wilayah Kerja Puskesmas Cubadak Kabupaten Pasaman Tahun 2020.

b. Ada hubungan Imunisasi terhadap kejadian Stunting pada Balita di

Wilayah Kerja Puskesmas Cubadak Kabupaten Pasaman Tahun 2020.

c. Ada hubungan MP-ASI terhadap kejadian Stunting pada Balita di

Wilayah Kerja Puskesmas Cubadak Kabupaten Pasaman Tahun 2020.

BAB IV

METODE PENELITIAN

66
A. Jenis dan Desain Penelitian

Penelitian ini bersifat Kuantitatif yaitu untuk mengetahui Hubungan

Pemberian ASI Ekslusif, Kelengkapan Imunisasi dan Pemberian MP-ASI

terhadap Kejadian Stunting pada Balita di Wilayah kerja Puskesmas Cubadak

Kabupaten Pasaman tahun 2020. Pendekatan yang digunakan adalah

pendekatan cross sectional yaitu, suatu penelitian untuk mempelajari

dinamika korelasi antara faktor-faktor resiko dengan efek, dengan cara

pendekatan observasi atau pengumpulan data sekaligus pada suatu waktu

(Notoatmodjo,2010).

B. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di wilayah kerja Puskesmas Cubadak yaitu

Nagari Cubadak. Waktu penelitian dilakukan bulan Februari 2020.

C. Populasi Dan Sampel

1) Populasi

Populasi adalah keseluruhan objek penelitian yang akan diteili

(Notoatmodjo,2012). Populasi dalam peneltian ini ad alah semua ibu

yang memiliki balita yang ada diwilayah kerja Puskesmas Cubadak,

Kabupaten Pasaman. Dengan jumlah sebanyak 1038 orang. Sehingga

Jumlah Populasi pada peneltian ini adalah 1038 orang anak.

2) Sampel

67
Sampel merupakan sebagian dari populasi yang diambil dari seluruh

objek yang diteliti dan dianggap mewakili seluruh populasi

(Notoatmodjo,2012). Teknik pengambilan sampel dialkukan secara Simple

Random Sampling. Pada penelitian berdasarkan kriteria inklusi dan ekslusi

didapat sampel sebanyak 92 orang.

n= N

1+N (d)2

Keterangan :

N = Besar Populasi

N = Besar Sampel

d = Derajat penyimpangan terhadap populasi yang di inginkan 10% (0,1)

Jadi

n= N
1 + N(d)2
n= 1038
1 + 1038(0.1)2
n= 1038
1 + 1038(0.01)
n= 1038
1 + 10.38
n= 1038
11.38

n = 92 orang

a. Kriteria Inklusi

68
Kriteria inklusi adalah kriteria atau ciri-ciri yang perlu

dipenuhi oleh setiap anggota populasi yang dapat diambil sebagai

sampel. (Notoatmodjo,2010)

Adapun kriteria inklusi sampel adalah :

a. Ibu yang memiliki balita yang ada di wilayah kerja Puskesmas

Cubadak Kabupaten Pasaman

b. Bersedia menjadi responden

c. Mampu berkomunikasi dengan baik

b. Kriteria Ekslusi

Kriteria ekslusi sampel adalah :

a. Masyarakat tidak permanen berada di wilayah kerja puskesmas

cubadak.

b. Masyarakat tidak dapat membaca dan menulis mendengar.

D. Teknik Pengumpulan Data

1. Data Primer

Pengumpulan data primer dilakukan dengan menggunakan kuesioner

yang diambil dari penelitan sebelumnya dan sudah dimodifikasi, selain itu

kuesioner disesuaikan dengan data untuk penelitian dengan

mengembangkan kerangka konsep (variabel independen dan dependen )

sehingga diperoleh informasi yang relevan dengan tujuan peneltian

kuesioner yang diperoleh melalui observasi dan wawancara langsung

kepada responden dengan menggunakan kuisioner.

2. Data Sekunder

69
Data sekunder merupakan data pelengkap dari data pokok atau data

primer. Data sekunder ini didapatkan dari instansi-instansi yang terkait

dengan penelitian yaitu di Puskesmas Cubadak Kabupaten Pasaman dan

data sekunder dari Dinas Kesehatan Kabupaten Pasaman.

E. Teknik Sampling

Teknik sampling yang digunakan adalah pengambilan sampel secara acak

sederhana (Simple Random Sampling). Hakikat dari pengambilan sampel

secara acak sederhana adalah bahwa setiap anggota atau unit dari populasi

mempunyai kesempatan yang sama untuk diseleksi sebagai sampel. Apabila

besarnya sampel yang diingikan itu berbeda-beda maka besarnya kesempatan

bagi setiap satuan elementer untuk terpilih pun berbeda-beda pula. Teknik

pengambilan sampel secara acak sederhana ini dibedakan menjadi dua cara,

yaitu dengan mengundi anggota populasi dan dengan menggunakan table

bilangan atau angka acak. Random ini dapat dilihat pada buku-buku statistik.

F. Teknik Pengolahan Data

Pengolahan data dialakukan setelah pengumpulan data selesai dilakukan

dengan maksud agar data yang terkumpul memilki sifat yang jelas, adapun

langkah-langkah sebagai berikut :

1. Penyuntingan Data (editing)

Merupakan kegiatan untuk melaksankan pencegahan penularan isian

formulir atau kuisioner adalah jawaban yang ada didalam kuesioner sudah

lengkap jelas relevan dan konsisten

2. Pengkodean Data (coding)

70
Kegiatan merubah data dan berbentuk angka/bilangan. Misal untuk

variabel pola asuh dilakukan coding 0 = baik 1 = buruk kegunaannya

untuk mempermudah pada saat analisis data dan juga mempercepat pada

saat entry data.

3. Skor (Scoring)

Skoring adalah memberikan penilaian terhadap item-item yang perlu

diberikan penilaian atau skor. Lamgkah ini dilakukan untuk menilai data

hasil jawaban kuesioner dalam bentuk skoring sehingga memudahkan

entry data.

4. Entry Data

Entry data merupakan proses pemindahan data dalam media

komputer agar diperoleh data masukan yang siap diolah menggunakan

komputerisasi.

5. Tabulating

Tabulating adalah pekerjaan membuat table. Langkah ini untuk

mengelompokkan

G. Analisis Data

1. Analisa Univariat

Analisa univariat bertujuan untuk menjelaskan atau mendiskripsikan

karakteristik setiap variabel penelitian (Notoatmodjo,2011). Dalam

penelitian ini menggunakan desain kuantitatif, data yang dikumpulkan dan

ditampilkan dalam bentuk angka. Data yang telah diperoleh ini akan diolah

dengan perhingan statistik.

2. Analisa Bivariat

71
Analisa bivariat adalah analisa terhadap satu variabel independen dan

satu variabel dependen. Disini dimaksud untuk mencari apakah ada

hubungan antara satu variabel dependen dengan satu variabel independen.

Ukuran asosiasi yang digunakan adalah Chi-square ukuran ini

merupakan ukuran asosiasi yang berusaha untuk mrnguji hipotesis bahwa

antara variabel independen dan variabel dependen terdapat hubungan yang

signifikan (Prasetyo 2010,dalam annisa 2011).

Dilakukan uji statistik dengan melakukan uji Chi square dengan

toleransi kesalahan 5% (α = 0,05). Hasil analisa dinyatakan bermakna

apabila ρ value 0,05.

a. Dilakukan terdapat ada hubungan yang bermakna secara

statistik antara variabel dependen dan independen jika ρ ≤ 0,05.

b. Dikatakan tidak terdapat hubungan yang bermakna secara

statistik antara variabel dependen dan independen jika ρ > 0,05.

BAB V

72
HASIL PENELITIAN

A. Hasil Penelitian dari Artikel yang signifikan

Dari study literatur didapatkan hasil sebagai berikut :

1). Hasil study literatur Hubungan Pemberian ASI Ekslusif dengan kejadian
Stunting pada Balita.

No Author Judul Penelitian Metode Instrumen Hasil


penelitian
1
2
3
4
5
6 Christin Faktor Kejadian Survey analitik wawancara Hasil uji Chi-
Angelina Stunting pada Balita dengan Square
, Agung Berusia 6-23 Bulan rancangan diperoleh nilai
Aji di Provinsi cross sectional. p=0,028 maka
Perdana, Lampung. dapat
Humairo disimpulkan
h adanya
hubungan
pemberian ASI
Ekslusif dengan
kejadian
stunting pada
usia 6-23 bulan
di Provinsi
Lampung
7 Erika ASI Ekslusif Kuantitatif Kuisoner Hasil Uji Chi-
Fitria Berhubungan dengan Square diperleh
Lestari, dengan Kejadian pendekatan p=0,000 maka
Luluk Stunting pada case control. dapat
Khusnul Balita. disimpulkan ada
Dwihesti hubungan
e pemberian ASI
Ekslusif dengan
kejadian
stunting pada
Balita.
8 Yogi Hubungan Analitik wawancara Hasil Uji Chi-
Subandra Pemberian ASI observasional Square
Dwitama Ekslusif dan dengan diperoleh
, Yenni Makanan pendekatan p=0.012 maka

73
Zuhairini Pendamping ASI potong lintang. diperoleh
, Julistio terhadap Balita hubungan yang
Djais. Pendek Usia 2-5 signifikan antara
Tahun di Kecamatan pemberian ASI
Jatinagor. Ekslusif dengan
kejadian
Stunting.
9 Sofia Hubungan Observasional wawancara Hasil Uji Chi-
Mawadd Pemberian ASI analitik dengan Square
ah Ekslusif dengan pendekatan diperoleh
Kejadian Stunting case-control p=0.000 maka
pada Balita Usia 24- ada hubungan
36 Bulan. yang bermakna
antara
Pemberian ASI
Ekslusif dan
Kejadian
Stunting pada
Balita Usia 24-
36 Bulan.
10 Khoirun Faktor yang Observasional Wawancara Hasil Uji Chi-
Ni’mah, Berhubungan analitik dengan Square di
Siti dengan Kejadian case control. peroleh p=0,025
Rahayu Stunting pada Balita maka ada
Nadhirah hubungan antara
pemberian ASI
Ekslusif dengan
kejadian
Stunting.
11 Farah Faktor-faktor yang Analitik Wawancara Hasil Uji-Square
Okky Mempengaruhi observasional di peroleh
Aridiyah, Kejadian Stunting dengan p=0,279 untuk
Ninna pada Anak Balita di pendekatan pedesaan dan
Rohmaw Wilayah Pedesaan cross- p=0,086 untuk
ati, Mury dan Perkotaan. sectional. perkotaan maka
Ririanty ada hubungan
antara ASI
Ekslusif dengan
kejadian
Stunting di
daerah pedesaan
dan perkotaan.
12 Apri ASI Ekslusif dan Kuantitatif Kuisoner Hasil Uji-
Sulistiani Berat Lahir Observasional Square di
ngsih, Berpengaruh dengan peroleh p=0,001
Rita Sari terhadap Stunting pendekatan maka ada
pada Balita 2-5 cross- hubungan antara
Tahun di Kabupaten sectional. ASI Ekslusif

74
Pesawaran dengan kejadian
stunting pada
balita 2-5 tahun
di Kabupaten
Pesawaran.
13 Syifa Faktor Resiko Kasus Kontrol
Vaozia, Kejadian Stunting
Nuryanto pada anak usia 1-3
tahun (study di desa
menduran
Kecamatan Brati
Kabupaten
Grobogan)

75

Anda mungkin juga menyukai