Anda di halaman 1dari 9

SNPPM-2 (Seminar Nasional Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat) Tahun 2020

ISBN 978-623-90328-5-2

Artikel Hasil Penelitian

IDENTIFIKASI POLA ASUH DAN KETAHANAN PANGAN KELUARGA UNTUK


MENURUNKAN PREVALENSI STUNTING

Nurhayati Darubekti

Universitas Bengkulu, Kota Bengkulu, Indonesia


E-mail: ndarubekti@unib.ac.id

Abstrak
Kejadian balita stunting masih merupakan masalah yang dihadapi Indonesia. Di Kabupaten Seluma, pada tahun
2018 ditemukan kasus balita kurus 5,7%, sangat kurus 0,7%, dan stunting 21,98% dari sasaran balita sebanyak
11.583 balita, dan tahun 2019 ditemukan kasus balita kurus 1,50%, sangat kurus 0,4%, dan stunting 10,6% dari
10.674 balita. Kabupaten Seluma menjadi lokus penurunan stunting pada Tahun 2020. Stunting atau masalah gizi
kronis yang disebabkan oleh asupan gizi yang kurang masih menghantui Provinsi Bengkulu. Dengan pendekatan
kualitatif, penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi pola asuh dan ketahanan pangan keluarga untuk
menurunkan prevalensi stunting. Jenis penelitiannya adalah studi kasus pada masyarakat desa pesisir di Desa
Kungkai Baru, Kecamatan Air Periukan, Kabupaten Seluma, Propinsi Bengkulu. Data primer diperoleh melalui
wawancara mendalam kepada ibu hamil, dan keluarga dengan anak usia 0-23 bulan. Pada saat penelitian, ada 37
anak usia 0-23 bulan, 1 (satu) anak terindikasi stunting. Hasil identifikasi kepada 6 ibu hamil dan keluarga dengan
anak usia 0-23 bulan menunjukkan bahwa kejadian stunting berkaitan dengan praktek pengasuhan anak yang
kurang baik, anak tidak mendapat imunisasi dasar lengkap, ibu dan anak tidak aktif dalam kegiatan posyandu,
rumah tangga tidak memiliki sarana jamban yang layak, anak tidak memiliki jaminan layanan kesehatan, dan
lemahnya ketahanan pangan keluarga.

Kata Kunci: ketahanan pangan keluarga, pola asuh, stunting

PENDAHULUAN
Indonesia merupakan salah satu tripel ganda permasalahan gizi yaitu stunting (pendek),
wasting (kurus), dan overweight (obesitas). Berdasarkan data Pemantauan Status Gizi (PSG)
selama tiga tahun terakhir, stunting memiliki prevalensi tertinggi dibandingkan dengan masalah
gizi lainnya. Prevalensi balita pendek mengalami peningkatan dari tahun 2016 dengan angka
27,5 persen menjadi 29,6 persen pada tahun 2017 dan pada 2018 mengalami peningkatan
kembali menjadi 30,8 persen. Data prevalensi balita stunting yang dikumpulkan World Health
Organization (WHO), Indonesia termasuk ke dalam negara ketiga dengan prevalensi tertinggi di
regional Asia Tenggara/South-East Asia Regional (SEAR). Rata-rata prevalensi balita stunting
di Indonesia tahun 2005-2017 adalah 36,4 persen (Pusat Data dan Informasi Kementerian
Kesehatan RI, 2018).
Prevalensi balita stunting di Indonesia pada tahun 2018 tercatat dalam hasil Riskesdas
2018 sebesar 29,9 persen sedangkan target RPJMN 2019 yaitu 28 persen. Hal ini menunjukan
bahwa perlunya perhatian khusus guna tercapainya target dalam perbaikan gizi masyarakat
terfokus pada stunting. Prevalensi stunting di Indonesia masih ada 2 provinsi yang mempunyai
prevalensi stunting di atas 40 persen yang tergolong sangat tinggi, dan 18 provinsi mempunyai
prevalensi stunting antara 30-40 persen yang tergolong tinggi. Berdasarkan hasil Pemantauan
Status Gizi (PSG) tahun 2015, prevalensi balita pendek di Indonesia adalah 29 persen. Angka ini

Copyright © 2020, Universitas Muhammadiyah Metro 12


SNPPM-2 (Seminar Nasional Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat) Tahun 2020
ISBN 978-623-90328-5-2

mengalami penurunan pada tahun 2016 menjadi 27,5 persen. Namun prevalensi balita pendek
kembali meningkat menjadi 29,6 persen pada tahun 2017.
Stunting juga menghantui Provinsi Bengkulu. Berdasarkan data pemantauan status gizi
Dinas Kesehatan Provinsi Bengkulu, presentase jumlah stunting di sepuluh kabupaten/kota di
Bengkulu dalam lima tahun terakhir terjadi peningkatan. Di Bengkulu, hasil maping tahun 2017
ternyata rata-rata 29,4 persen jumlah stunting. Dari presentase tersebut, angka tertinggi terdapat
di Kabupaten Bengkulu Utara dengan jumlah 35,8 persen. Padahal dalam standar nasional angka
toleransi stunting hanya 20 persen (Dinas Kesehatan Provinsi Bengkulu, 2018; Angraini, dkk.,
2019). Di Kabupaten Seluma, pada tahun 2018 ditemukan kasus balita kurus 5,7%, sangat kurus
0,7%, dan stunting 21,98% dari sasaran balita sebanyak 11.583 balita, dan tahun 2019
ditemukan kasus balita kurus 1,50%, sangat kurus 0,4%, dan stunting 10,6% dari 10.674 balita.
Kabupaten Seluma menjadi lokus penurunan stunting pada Tahun 2020.
Stunting didefinisikan sebagai kondisi anak usia 0-59 bulan, dimana tinggi badan
menurut umur berada di bawah minus 2 Standar Deviasi (< -2 SD) dari standar median WHO.
Stunting akan berdampak dan dikaitkan dengan proses perkembangan otak yang terganggu,
dimana dalam jangka pendek akan berpengaruh pada kemampuan kognitif, dalam jangka
panjang akan mengurangi kapasitas untuk berpendidikan lebih baik dan hilangnya kesempatan
untuk peluang kerja dengan pendapatan lebih baik. Dalam jangka panjang, anak stunting yang
berhasil mempertahankan hidupnya, pada usia dewasa cenderung akan menjadi gemuk (obese),
dan berpeluang menderita Penyakit Tidak Menular (PTM), seperti hipertensi, diabetes, kanker,
dan lain-lain. Data Riset Kesehatan Dasar tahun 2007 dan tahun 2013 menunjukkan bahwa
Indonesia menunjukkan adanya tren (kecenderungan) PTM meningkat dari tahun 2007 ke tahun
2013, dimana diperkirakan ada 70-an juta penduduk dewasa (>18 tahun) yang menderita PTM
(Kemenkes RI, 2016; Muljati, Triwinarto, dan Budiman, 2011).
Hasil penelitian Sihadi dan Djaiman (2011) menunjukkan bahwa variabel yang terkait
dengan terjadinya anak balita pendek, yaitu pada level individu adalah konsumsi energi anak
balita. Pada level rumah tangga, terutama adalah pola asuh anak, tinggi badan ibu, sanitasi, dan
status ekonomi rumah tangga. Pada level provinsi adalah kemiskinan. Level provinsi
mempunyai kontribusi 51,9 persen, individu 34,9 persen, dan rumah tangga 13,2 persen
terhadap terjadinya anak balita pendek. Proporsi balita pendek 44,5 persen dapat diturunkan
menjadi 42,5 persen bila konsumsi energi balita diperbaiki, menjadi 40,8 persen bila konsumsi
energi rumah tangga diperbaiki, menjadi 43,2 persen bila ekonomi rumah tangga diperbaiki,
menjadi 32,6 persen bila pola asuh diperbaiki, menjadi 35,8 persen bila ibu tidak pendek,
menjadi 39,4 persen bila pendidikan ibu diperbaiki, dan menjadi 41,4 persen bila kemiskinan di
tingkat provinsi diperbaiki.
Menurut WHO (2013) faktor penyebab terjadinya stunting yaitu faktor rumah tangga dan
keluarga, pemberian makan pendamping yang tidak memadai, faktor menyusui, dan penyakit
infeksi. Hasil penelitian Aramico, Sudargo, Susilo (2013) pada siswa sekolah dasar di
Kecamatan Lut Tawar Kabupaten Aceh Tengah menunjukkan bahwa pola asuh yang kurang
baik berisiko 8,07 kali lebih besar dibanding pola asuh yang baik, dengan hasil persentase
masing-masing status gizi stunting yaitu 53% dan 12,3%. Subjek penelitian dengan pola asuh
kurang baik berisiko 8 kali lebih besar terkena stunting dibanding dengan subjek penelitian
dengan pola asuh yang baik. Astari, Nasoetion, dan Dwiriani (2005) menemukan hubungan
antara karakteristik keluarga, pola pengasuhan dan kejadian stunting anak usia 6-12 bulan.

Copyright © 2020, Universitas Muhammadiyah Metro 13


SNPPM-2 (Seminar Nasional Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat) Tahun 2020
ISBN 978-623-90328-5-2

Merujuk pada pola pikir UNICEF, masalah stunting terutama disebabkan karena ada
pengaruh dari pola asuh, cakupan dan kualitas pelayanan kesehatan, lingkungan, dan ketahanan
pangan (Masrin, Paratmanitya, dan Aprilia, 2014). Mengacu pada “The Conceptual Framework
of the Determinants of Child Undernutrition”, “The Underlying Drivers of Malnutrition”, dan
“Faktor Penyebab Masalah Gizi Konteks Indonesia”, penyebab langsung masalah gizi pada
anak, termasuk stunting, adalah konsumsi makanan dan status infeksi. Adapun penyebab tidak
langsungnya meliputi ketersediaan dan pola konsumsi rumah tangga, pola asuh pemberian
ASI/MP ASI, pola asuh psikososial, penyediaan MP ASI, kebersihan dan sanitasi, pelayanan
kesehatan dan kesehatan lingkungan.
Estimasi UNICEF baru-baru ini menunjukkan bahwa dengan tidak adanya tindakan yang
tepat waktu, jumlah anak yang mengalami wasting atau kekurangan gizi akut di bawah 5 tahun
dapat meningkat secara global sekitar 15 persen tahun ini karena COVID-19. Ini berarti ada
peningkatan risiko wasting, suatu kondisi yang ditandai dengan berat badan rendah jika
dibandingkan dengan tinggi badan, Juga di Indonesia banyak keluarga yang kehilangan
pendapatan rumah tangga sehingga menjadi kurang mampu membeli makanan sehat dan bergizi
untuk anak-anak mereka. Pada saat yang sama, ada banyak bukti yang menunjukkan bahwa
anak-anak yang mengalami wasting akan lebih cenderung mengalami stunting, atau memiliki
tinggi badan yang rendah untuk usia mereka, dan dapat mengakibatkan lebih banyak anak
stunting di Indonesia. Bahkan sebelum COVID-19, Indonesia sudah menghadapi masalah gizi
yang tinggi. Saat ini, lebih dari dua juta anak menderita gizi buruk dan lebih dari tujuh juta anak
di bawah usia 5 tahun mengalami stunting.
Prevalensi stunting masih tinggi, oleh karena itu penelitian ini ingin membahas lebih
dalam lagi dari sisi pola asuh dan ketahanan pangan tingkat keluarga. Pola asuh anak merupakan
perilaku yang dipraktikkan oleh pengasuh (ibu, bapak, nenek, atau orang lain) dalam pemberian
makanan, pemeliharaan kesehatan, pemberian stimulasi, serta dukungan emosional yang
dibutuhkan anak untuk tumbuh kembang. Kasih sayang dan tanggung jawan orang tua juga
termasuk pola asuh (Asrar, Hadi, dan Boediman, 2009). Pola asuh (caring), termasuk di
dalamnya adalah:
1. Inisiasi Menyusu Dini (IMD) adalah proses menyusu segera setelah lahir melalui kontak
antara kulit bayi dengan kulit ibunya dan berlangsung minimal selama 1 jam.
2. Bayi mendapat ASI Eksklusif adalah bayi umur sampai 6 bulan yang diberi ASI saja tanpa
makanan atau cairan lain kecuali obat, vitamin dan mineral (Sulistianingsih dan Sari, 2018)
3. Bayi umur 6-11 bulan yang mendapat vitamin A biru
4. Anak balita usia 12-59 bulan yang mendapat kapsul vitamin A merah
5. Memiliki Kartu Menuju Sehat (KMS)/ Buku Kesehatan Ibu dan Anak (KIA)
6. Balita Ditimbang 4 kali atau lebih dalam 6 Bulan Terakhir
7. Pemberian Makanan Tambahan (PMT)
8. Remaja Puteri Umur 12-18 Tahun Mendapat Tablet Tambah Darah (TTD)
9. Ibu Hamil Mendapat Tablet Tambah Darah (TTD)
10. Ibu Hamil Risiko Kurang Energi Kronis (KEK) Mendapat Makanan Tambahan
11. Ibu Nifas Mendapat Kapsul Vitamin A
12. Rumah Tangga Mengonsumsi Garam Beriodium.

Copyright © 2020, Universitas Muhammadiyah Metro 14


SNPPM-2 (Seminar Nasional Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat) Tahun 2020
ISBN 978-623-90328-5-2

Ketahanan pangan adalah ketersediaan pangan dan kemampuan seseorang untuk


mengaksesnya. Sebuah rumah tangga dikatakan memiliki ketahanan pangan jika penghuninya
tidak berada dalam kondisi kelaparan atau dihantui ancaman kelaparan (Masrin et al., 2014).
Deklarasi Roma tentang Ketahanan Pangan Dunia dan Rencana Tindak Lanjut Konperensi
Tingkat Tinggi (KTT) Pangan Dunia tahun 1996 merumuskan bahwa ketahanan pangan
terwujud apabila semua orang, setiap saat, memiliki akses secara fisik maupun ekonomi
terhadap pangan yang cukup, aman dan bergizi untuk memenuhi kebutuhan sesuai dengan
seleranya bagi kehidupan yang aktif dan sehat. Indonesia, sebagai salah satu negara yang
menyatakan komitmen untuk melaksanakan Deklarasi Roma menerima konsep ketahanan
pangan tersebut yang dilegitimasi pada rumusan dalam Undang-Undang Pangan No. 7 tahun
1996. Namun konsep ketahanan pangan di Indonesia juga memasukkan aspek keamanan, mutu
dan keragaman sebagai kondisi yang harus dipenuhi dalam pemenuhan kebutuhan pangan
penduduk secara cukup, merata serta terjangkau. Lokakarya Ketahanan Pangan Rumah Tangga
pada tahun 1996 juga menghasilkan rumusan konsep ketahanan pangan rumah tangga yang
didefinisikan sebagai berikut: “Ketahanan pangan rumah tangga adalah kemampuan untuk
memenuhi pangan anggota keluarga dari waktu ke waktu dan berkelanjutan baik dari produksi
sendiri maupun membeli dalam jumlah, mutu dan ragamnya sesuai dengan lingkungan setempat
serta sosial budaya rumah tangga agar dapat hidup sehat dan mampu melakukan kegiatan sehari-
hari secara produktif.” (Rachman dan Ariani, 2002)
Data dunia menunjukkan bahwa sekitar 151 juta anak mengalami stunting dan 50 juta
anak mengalami wasting pada tahun 2017. Sebagai salah satu Negara berkembang, Indonesia
masih memiliki tantangan dalam mewujudkan ketahanan pangan dan gizi. Berdasarkan laporan
Global Food Security Index tahun 2017, Indonesia berada di peringkat 69 dari 113 negara.
Sementara ketahanan gizi di Indonesia juga masih mengalami masalah jika dilihat dari proporsi
kekurangan gizi pada anak balita. Berdasarkan data dari Riskesdas tahun 2018, proporsi balita di
Indonesia yang masuk kategori status gizi kurang dan buruk sebesar 17,7%. Sementara proporsi
balita yang kurus (wasting) dan pendek stunting pada tahun 2018 masing-masing sebesar 10,2%
dan 30,8%. Berpedoman pada ambang batas yang ditetapkan oleh WHO, Indonesia bias
dikatakan belum bebas dari masalah gizi masyarakat karena prevalensi stunting masih melebihi
20%, wasting 5%, serta underweight 10 persen (Sutyawan, Khomsan, dan Sukandar, 2019)
Tujuan Khusus, dan Urgensi (keutamaan) penelitian yang diajukan: 1. Data tentang pola
asuh dan ketahanan pangan keluarga untuk menurunkan prevalensi stunting; 2. Data tentang
upaya tindakan perubahan formulasi kebijakan dan perencanaan program yang tepat. Manfaat
penelitian: 1. Meningkatnya jangkauan pelayanan kesehatan bayi, anak balita, ibu hamil, ibu
bersalin, ibu nifas, dan ibu menyusui. 2. Meningkatnya mutu pelayanan kesehatan bagi ibu
hamil, ibu bersalin, ibu nifas, ibu menyusui, bayi dan anak balita. 3. Meningkatnya kemampuan
dan peran serta masyarakat, keluarga dan seluruh anggotanya untuk mengatasi masalah
kesehatan ibu, balita, anak prasekolah, terutama melalui peningkatan peran ibu dalam
keluarganya.

METODE PENELITIAN
Pendekatan penelitian ini adalah deskriptif kualitatif. Penelitian ini dilakukan di Desa
Kungkai Baru, Kecamatan Air Periukan, Kabupaten Seluma, Propinsi Bengkulu. Data primer
diperoleh melalui wawancara mendalam dan FGD kepada 6 ibu hamil dan 37 keluarga dengan
anak umur 0-23 bulan, sedangkan data sekunder diperoleh dari data Puskesmas setempat.

Copyright © 2020, Universitas Muhammadiyah Metro 15


SNPPM-2 (Seminar Nasional Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat) Tahun 2020
ISBN 978-623-90328-5-2

Kategori Panjang Badan menurut Umur (PB/U) atau Tinggi Badan menurut Umur
(TB/U) Anak umur 0-60 bulan adalah Sangat Pendek (< -3 SD), Pendek (-3 SD sampai dengan
< -2 SD), Normal (-2 SD sampai dengan 2 SD) Tinggi (>2SD).
Dimensi ketahanan pangan sangat luas mencakup dimensi waktu, dimensi sasaran dan
dimensi sosial-ekonomi masyarakat, sehingga diperlukan banyak indikator untuk mengukurnya.
Untuk tingkat rumah tangga dan individu, indikator yang dapat digunakan adalah pendapatan
dan alokasi tenaga kerja, tingkat pengeluaran pangan terhadap pengeluaran total, perubahan
kehidupan sosial, keadaan konsumsi pangan (jumlah, kualitas, kebiasaan makan), keadaan
kesehatan dan status gizi (Rachman dan Ariani, 2002).
Analisis data penelitian bersifat induktif, adalah proses penarikan kesimpulan dari
investigasi kasus yang kecil secara detail untuk mendapatkan gambaran besarnya, yang
dilakukan selama proses pengumpulan data sampai laporan penelitian selesai dikerjakan.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Berikut ini karakteristik ibu hamil sasaran 1.000 HPK di Desa Kungkai Baru, Kecamatan
Air Periukan, Kabupaten Seluma, Propinsi Bengkulu menurut Kelengkapan Konvergensi
Layanan Pencegahan Stunting 2019-2020.

Tabel 1. Karakteristik Ibu Hamil menurut Kelengkapan Konvergensi


Layanan Pencegahan Stunting 2019-2020
No Indikator Jumlah %
1 Ibu hamil periksa kehamilan paling sedikit 4 kali selama kehamilan 6 100
2 Ibu hamil mendapatkan dan minum 1 tablet tambah darah (Pil FE) setiap hari minimal 6 100
selama 90 hari
3 Ibu bersalin mendapatkan layanan nifat oleh nakes dilaksanakan minimal 3 kali 0 0
4 Ibu hamil mengikuti kegiatan konseling gizi atau kelas ibu hamil minimal 4 kali selama 6 100
kehamilan
5 Ibu hamil dengan resiko tinggi dn/atau Kekurangan Energi Kronis (KEK) mendapat 0 0
kunjungan kerumah oleh bidan desa secara terpadu minimal 1 bulan sekali
6 Rumah tangga ibu hamil memiliki sarana akses air minum yang aman 5 83,33
7 Rumah tangga ibu hamil memiliki sarana jamban keluarga yang layak 5 83,33
8 Ibu hamil memiliki jaminan layanan kesehatan 6 100
Sumber: Kelurahan Desa Kungkai Baru, Kecamatan Air Periukan, Kabupaten Seluma, Propinsi Bengkulu.

Tabel 2. Karakteristik Anak 0 s/d 23 Bulan menurut Kelengkapan Konvergensi


Layanan Pencegahan Stunting 2019-2020
No Indikator Jumlah %
1 Bayi usia 12 bulan ke bawah mendapat imunisasi dasar lengkap 28 75,67
2 Anak usia 0-23 bulan diukur berat badannya di posyandu secara rutin setiap bulan 37 100
3 Anak usia 0-23 bulan diukur panjang/tinggi badannya oleh tenaga kesehatan terlatih 36 97,29
minimal 2 kali dalam setahun
4 Orang tua/pengasuh yang memiliki anak usia 0-23 bulan mengikuti kegiatan konseling gizi 0 0
secara rutin minimal sebulan sekali
5 Anak usia 0-23 bulan dengan status gizi buruk, gizi kurang, dan stunting mendapat 0 0
kunjungan ke rumah secara terpadu minimal 1 bulan sekali
6 Rumah tangga anak usia 0-23 bulan memiliki sarana akses air minum yang aman 36 97.29
7 Rumah tangga anak usia 0-23 bulan memiliki sarana jamban keluarga yang layak 32 86,48
8 Anak usia 0-23 bulan memiliki akte kelahiran 37 100
9 Anak usia 0-23 bulan memiliki jaminan layanan kesehatan 31 83,78
10 Orang tua/pengasuh yang memiliki anak usia 0-23 bulan mengikuti kelas pengasuhan 0 0
minimal sebulan sekali
Sumber: Kelurahan Desa Kungkai Baru, Kecamatan Air Periukan, Kabupaten Seluma, Propinsi Bengkulu.

Copyright © 2020, Universitas Muhammadiyah Metro 16


SNPPM-2 (Seminar Nasional Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat) Tahun 2020
ISBN 978-623-90328-5-2

Pada saat penelitian, ada 37 anak usia 0-23 bulan, dari ke 37 anak usia 0-23 tahun
tersebut, 1 (satu) anak terindikasi stunting. Hasil identifikasi kepada 6 ibu hamil dan keluarga
dengan anak usia 0-23 bulan menunjukkan bahwa penyebab langsung stunting berberkaitan
dengan empat faktor, yaitu akses terhadap makanan bergizi, praktek pemberian makanan bayi
dan anak, akses pelayanan kesehatan, dan akses kesehatan lingkungan yang meliputi tersedianya
fasilitas air bersih dan sanitasi. Sedangkan penyebab tidak langsungnya dipengaruhi oleh
berbagai faktor, antara lain pendapatan dan kesenjangan ekonomi, perdagangan, urbanisasi,
globalisasi, sistem pangan, jaminan sosial, sistem kesehatan, pembangunan pertanian, dan
pemberdayaan perempuan.
Hasil wawancara dengan keluarga dengan anak terindikasi stunting tentang pola asuh
(caring) adalah: tidak ada Inisiasi Menyusu Dini (IMD), bayi kurang mendapat ASI Eksklusif,
bayi umur 6-11 bulan tidak mendapat vitamin A biru, bayi usia 12-59 bulan tidak mendapat
kapsul vitamin A merah, ketika ibu bermur 12-18 tahun tidak mendapat Tablet Tambah Darah
(TTD), ketika ibu hamil mendapat Tablet Tambah Darah (TTD) tetapi tidak rutin diminum,
ketika ibu dalam masa nifas mendapat Kapsul Vitamin A tetapi tidak rutin diminum.
Sejak awal pandemi Covid-19, Dinas Kesehatan Propinsi Bengkulu telah menyusun
rencana pencegahan stunting dengan memperkuat peranan kader Posyandu khususnya untuk
memantau kesehatan ibu hamil melalui grup media sosial. Meskipun Posyandu ditutup, layanan
dan fasilitas untuk ibu hamil tetap dibuka, semua bidan berkoordinasi melalui grup komunikasi
sehingga semua ibu hamil bisa dipantau. Saat ini, pelayanan kesehatan seperti Posyandu sudah
dibuka kembali dengan menetapkan protokol kesehatan guna mencegah penularan Covid-19.
Pemantauan kesehatan ibu hamil untuk mencegah stunting meliputi pemantauan gizi ibu hamil
sampai semester ketiga, pemberian tablet penambah darah, dan pemantauan pemberian ASI
eksklusif bagi ibu menyusui. Dinas kesehatan juga memantau perkembangan kesehatan bayi dan
balita dengan memberikan vitamin A, serta memantau tumbuh kembangnya melalui Posyandu.
Penurunan stunting memerlukan intervensi yang komprehensif. Sosialisasi 9 pesan inti
selama 1000 Hari Pertama Kehidupan (HPK) dalam menanggulangi stunting, yaitu (1) selama
hamil makan makanan beraneka ragam, (2) selama hamil memeriksakan kehamilannya 4x, (3)
minum tablet tambah darah, (5) bayi yang baru lahir inisiasi menyusui dini, (6) merikan ASI
eksklusif selama 6 bulan, (7) timbang berat badan bayi secara rutin setiap bulan, (8) berikan
imunisasi dasar wajib bagi bayi, (9) lanjutkan pemberian asi hingga usia 2 tahun, berikan
makanan pendamping ASI secara bertahap pada usia 6 bulan dan tetap memberikan ASI.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa penyebab stunting dibedakan atas dua, yaitu
penyebab langsung dan penyebab tidak langsung. Penyebab langsung stunting adalah kurangnya
asupan gizi yang cukup dan ancaman infeksi berulang. Secara tidak langsung, stunting
disebabkan oleh pola asuh ibu atau keluarga, ketersediaan pangan di tingkat rumah tangga,
sanitasi lingkungan, dan pelayanan kesehatan. Penyebab utama stunting adalah kurangnya
asupan gizi atau gizi buruk, terutama pada 1.000 Hari Pertama Kehidupan (HPK). Dimulai dari
fase kehamilan atau 270 hari hingga anak berusia 2 tahun atau 730 hari. 1.000 HPK ini
merupakan periode terpenting kehidupan anak, yang sangat menentukan kesehatan dan
kecerdasan anak.
Kurangnya pengetahuan tentang gizi dan pola asuh yang salah berdampak pada kondisi
gizi ibu hamil dan anak. Karena anaknya ingin cepat besar maka seorang ibu menganggap Air
Susu Ibu saja tidak cukup, kemudian diberi susu formula, bahkan makanan tambahan yang lain.
Untuk menjamin adanya asupan gizi yang cukup pada 1.000 HPK, perlu didukung oleh adanya
ketahanan pangan keluarga. Ketahanan pangan maupun gizi keluarga sangat berkorelasi dengan
akses masyarakat terhadap pangan.

Copyright © 2020, Universitas Muhammadiyah Metro 17


SNPPM-2 (Seminar Nasional Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat) Tahun 2020
ISBN 978-623-90328-5-2

Hasil penelitian terhadap keluarga dengan anak terindikasi stunting menunjukkan bahwa
kemampuan rumah tangga lemah dalam menyediakan pangan bagi anggota keluarganya, tidak
dapat menghasilkan pangan sendiri, sering tidak mampu membeli pangan dalam jumlah, kualitas
dan variasi sesuai dengan lingkungan setempat, dan tidak mampu melakukan aktivitas produktif
secara rutin. Dapat dikategorikan bahwa rumah tangga dengan anak terindikasi stunting
berstatus rawan pangan karena memiliki proporsi pengeluaran pangan sebesar 67% dan tingkat
konsumsi energi terbesar yaitu 61%. Pada kategori rawan pangan ini berarti bahwa proporsi
pengeluaran pangan rumah tangga tinggi dan tingkat konsumsi energi kurang. Artinya, tingkat
kesejahteraan keluarga atau ketahanan pangan rendah.
Tingkat konsumsi pangan merupakan salah satu faktor penyebab langsung terhadap
permasalahan gizi balita yang erat kaitannya dengan ketahanan pangan rumah tangga.
Berdasarkan data hasil penelitian, anak balita yang tinggal di rumah tangga yang rawan pangan
memiliki tingkat kecukupan zat gizi (energi, protein, kalsium, besi, dan seng) yang rendah. Hal
ini sesuai dengan hasil penelitian Agbadi et al. (2017) yang menunjukkan bahwa anak-anak dari
rumah tangga yang tahan pangan menerima asupan zat gizi sesuai nilai yang direkomendasikan
dibandingkan dengan anak-anak dari rumah tangga yang rawan pangan. Kondisi rumah tangga
yang rawan pangan tidak mampu memenuhi angka kecukupan zat gizi. Menurut M’Kaibi et al.
(2015), asupan zat gizi (energi, protein, zat besi, seng, kalsium) pada anak meningkat secara
signifikan seiring dengan ketahanan pangan rumah tangga juga meningkat. Faktor risiko
stunting pada anak usia 12-24 bulan adalah tingkat kecukupan energi yang rendah, tingkat
kecukupan protein yang rendah, tingkat kecukupan seng yang rendah, berat badan lahir rendah,
dan paparan pestisida yang tinggi. Risiko tertinggi adalah paparan pestisida yang tinggi
(Wellina, Kartasurya, dan Rahfilludin, 2016).
Tingkat pendidikan ibu dan pendapatan keluarga merupakan determinan penting yang
mendukung keragaman konsumsi pangan anak usia 6-59 bulan. Dibandingkan dengan rumah
tangga berpenghasilan tinggi, rumah tangga berpenghasilan rendah cenderung memberi makan
yang kurang beragam kepada anak-anak mereka. Hal ini menunjukkan pentingnya tingkat
pendidikan orang tua terutama ibu, karena kualitas makanan pada anak balita sangat bergantung
pada perilaku dan keputusan ibu yang biasanya merawat anak.
Status gizi balita dapat digunakan sebagai indikator output dalam sistem ketahanan
pangan keluarga. Hubungan antara ketahanan pangan rumah tangga dengan status gizi terbukti
dalam penelitian ini yang menunjukkan bahwa rumah tangga tahan pangan mampu
menyediakan makanan yang beragam untuk anak-anak mereka sehingga tercapai status gizi
optimal, sedangkan rumah tangga yang rawan pangan cenderung memberi makanan yang padat
energi dan kekurangan zat gizi mikro sehingga berdampak pada kekurangan gizi pada anak.
Pandemi Covid 19 ditengarai menimbulkan ancaman krisis pangan. Oleh karena itu perlu
didorong upaya pemenuhan kebutuhan pangan dan gizi rumah tangga dengan mengoptimalkan
pemanfaatan lahan pekarangan. Setiap keluarga dapat memanfaatkan lahan pekarangannya
sebagai sumber pangan secara berkelanjutan untuk meningkatkan ketersediaan, aksesibilitas,
pemanfaatan, dan pendapatannya. Ketahanan pangan tidak hanya terkait dengan kecukupan
bahan pangan, tetapi juga kemampuan memanfaatkan sumber daya lokal untuk memproduksi
sendiri bahan pangan.

KESIMPULAN
Hasil identifikasi kepada ibu hamil dan keluarga dengan anak usia 0-23 bulan
menunjukkan bahwa penyebab langsung stunting berkaitan dengan empat faktor, yaitu akses
terhadap makanan bergizi, praktek pemberian makanan bayi dan anak, akses pelayanan
kesehatan, dan akses kesehatan lingkungan yang meliputi tersedianya fasilitas air bersih dan

Copyright © 2020, Universitas Muhammadiyah Metro 18


SNPPM-2 (Seminar Nasional Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat) Tahun 2020
ISBN 978-623-90328-5-2

sanitasi. Sedangkan penyebab tidak langsungnya dipengaruhi oleh berbagai faktor, antara lain
pendapatan dan kesenjangan ekonomi, perdagangan, urbanisasi, globalisasi, sistem pangan,
jaminan sosial, sistem kesehatan, pembangunan pertanian, dan pemberdayaan perempuan.
Hasil wawancara dengan keluarga dengan anak terindikasi stunting tentang pola asuh
(caring) adalah: tidak ada Inisiasi Menyusu Dini (IMD), bayi kurang mendapat ASI Eksklusif,
bayi umur 6-11 bulan tidak mendapat vitamin A biru, bayi usia 12-59 bulan tidak mendapat
kapsul vitamin A merah, ketika ibu bermur 12-18 tahun tidak mendapat Tablet Tambah Darah
(TTD), ketika ibu hamil mendapat Tablet Tambah Darah (TTD) tetapi tidak rutin diminum,
ketika ibu dalam masa nifas mendapat Kapsul Vitamin A tetapi tidak rutin diminum.
Hasil penelitian terhadap keluarga dengan anak terindikasi stunting menunjukkan bahwa
kemampuan rumah tangga lemah dalam menyediakan pangan bagi anggota keluarganya, tidak
dapat menghasilkan pangan sendiri, sering tidak mampu membeli pangan dalam jumlah, kualitas
dan variasi sesuai dengan lingkungan setempat, dan tidak mampu melakukan aktivitas produktif
secara rutin.
Penurunan stunting memerlukan intervensi yang komprehensif, diantaranya sosialisasi
9 pesan inti selama 1000 Hari Pertama Kehidupan (HPK) dalam menanggulangi stunting,
masyarakat perlu dididik dan didekatkan dengan jenis pangan yang bisa disediakan secara
mandiri. Pandemi Covid 19 ditengarai menimbulkan ancaman krisis pangan. Oleh karena itu
perlu didorong upaya pemenuhan kebutuhan pangan dan gizi rumah tangga dengan
mengoptimalkan pemanfaatan lahan pekarangan.

DAFTAR PUSTAKA

Agbadi, P., Urke, H. B. & Mittelmark, M. B. Household food security and adequacy of child diet in the food
insecure region north in Ghana. PLoS One 12, 1–16 (2017).

Angraini, W., Pratiwi, B. A., Amin, M., Yanuarti, R., & Harjuita, T. R. (2019). Berat Badan Lahir sebagai Faktor
Risiko Kejadian Stunting Kabupaten Bengkulu Utara. Jurnal Ilmiah AVICENNA, 14(2), 1–51.

Aramico, B., Sudargo, T., dan Susilo, J., (2013). Hubungan sosial ekonomi, pola asuh, pola makan dengan stunting
pada siswa sekolah dasar di Kecamatan Lut Tawar, Kabupaten Aceh Tengah. JURNAL GIZI DAN DIETETIK
INDONESIA, 1(3), 121–130.

Asrar, M., Hadi, H., & Boediman, D. (2009). Pola asuh, pola makan, asupan zat gizi dan hubungannya dengan
status gizi anak balita masyarakat Suku Nuaulu di Kecamatan Amahai Kabupaten Maluku Tengah Provinsi
Maluku. Jurnal Gizi Klinik Indonesia, 6(2), 84. https://doi.org/10.22146/ijcn.17716

Astari, L. D., Nasoetion, A., & Dwiriani, C. M. (2005). Hubungan Karakteristik Keluarga, Pola Pengasuhan dan
Kejadian Stunting Anak Usia 6-12 Bulan. Media Gizi & Keluarga, 29(2), 40–46.

Fazilah, Z., Sudirman, & Yani, A. (2019). Masalah Pola Asuh Ibu pada Kejadian Stunting.
https://doi.org/10.31227/osf.io/tym4d

Kemenkes RI. (2016). Situasi Balita Pendek. Pusat Data Dan Informasi.

Masrin, Paratmanitya, Y., & Aprilia, V. (2014). Ketahanan pangan rumah tangga berhubungan dengan stunting
pada anak usia 6-23 bulan. JURNAL GIZI DAN DIETETIK INDONESIA, 2(3), 103–115.

Muljati, S., Triwinarto, A., & Budiman, B. (2011). Determinants of Stunting in Children 2-3 Years of Age At
Province Level. Pgm, 34(1), 50–62.

Copyright © 2020, Universitas Muhammadiyah Metro 19


SNPPM-2 (Seminar Nasional Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat) Tahun 2020
ISBN 978-623-90328-5-2

M’Kaibi, F. K., Steyn, N. P., Ochola, S. & Du Plessis, L. Effects of agricultural biodiversity and seasonal rain on
dietary adequacy and household food security in rural areas of Kenya. BMC Public Health 15, 1–11 (2015).

Rachman, H. P. S., & Ariani, M. (2002). Ketahanan Pangan: Konsep, Pengukuran dan Strategi. FAE, 20(1), 12–24.

Rahmi, R. D. M., Suratiyah, K., & Mulyo, J. H. (2013). Ketahanan Pangan Rumah Tangga Petani di Kecamatan
Ponjong Kabupaten Gunung Kidul. Agro Ekonomi, 24(2), 190–201.

Saputri, R. A., & Tumangger, J. (2019). Hulu-Hilir Penanggulangan Stunting di Indonesia. JPI: Jurnal of Political
Issues, 1(1), 1–9.

Sihadi, & Djaiman, S. P. H. (2011). Peran Kontekstual terhadap Kejadian Balita Pendek di Indonesia. PGM, 34(1),
29–38.

Suharyanto, S. (2017). Karakteristik Tingkat Ketahanan Pangan Rumah Tangga Petani Berbasis Agroekosistem
Lahan Sawah Irigasi Di Provinsi Bali. SEPA: Jurnal Sosial Ekonomi Pertanian Dan Agribisnis, 11(2), 191–
199. https://doi.org/10.20961/SEPA.V11I2.14176

Sulistianingsih, A., & Sari, R. (2018). ASI Eksklusif dan Berat Lahir berpengaruh terhadap Stunting pada Balita 2-5
Tahun di Kabupaten Pesawaran. Jurnal Gizi Klinik Indonesia, 15(2), 45–51.

Supriyanto, Y., Paramashanti, B. A., & Astiti, D. (2017). Berat badan lahir rendah berhubungan dengan kejadian
stunting pada anak usia 6-23 bulan. JURNAL GIZI DAN DIETETIK INDONESIA, 5(1), 23–30.

Sutyawan, Khomsan, A., Sukandar D., Pengembangan Indeks Ketahanan Pangan Rumah Tangga dan Kaitannya
dengan Tingkat Kecukupan Zat Gizi dan Status Gizi Anak Balita, Amerta Nutr, 201-211, DOI:
10.2473/amnt.v3i4.2019. 201-211

Wellina, W. F., Kartasurya, M. I., & Rahfilludin, M. Z. (2016). Faktor Risiko Stunting pada Anak Umur 12-24
Bulan. Jurnal Gizi Indonesia, 5(1), 55–61.

Wulandari, Rahayu, F., & Darmawansyah. (2019). Hubungan Sanitasi Lingkungan dan Riwayat Penyakit Infeksi
dengan Kejadian Stunting di Wilayah Kerja Puskesmas Kerkap Kabupaten Bengkulu Utara. Jurnal Ilmiah
AVICENNA, 14(2), 1–52.

Copyright © 2020, Universitas Muhammadiyah Metro 20

Anda mungkin juga menyukai