NIM : 201701142
Kelas : 4D
Prodi : S1 Keperawatan
Analisis Picot
1. Judul : Hubungan Pemberian ASI Eksklusif Dengan Kejadian Stunting Pada Balita
(pendekatan case control study, Desain analitik/Hubungan)
Populasi : Populasi dalam penelitian ini dipilih dari 7 desa prioritas stunting di
Kecamatan Buntu Malangka Kabupaten Mamasa. Peneliti mengambil 3 desa secara
acak yaitu Desa Penatangan, Ranteberang, dan Kebanga. Populasi dalam penelitian
ini semua balita di Desa Penatangan, Ranteberang, dan Kebanga yang berjumlah 219
balita.
Problem : Stunting adalah masalah kurang gizi kronis yang disebabkan oleh
asupan gizi yang kurang dalam waktu cukup lama akibat pemberian makanan
yang tidak sesuai dengan kebutuhan gizi. Kekurangan gizi pada usia dini
meningkatkan angka kematian bayi dan anak, menyebabkan penderitanya
mudah sakit dan memiliki postur tubuh tak maksimal saat dewasa (Millenium
Challengga Account Indonesia, 2013). Prevalensi stunting pada balita
berdasarkan hasil Riskesdas pada tahun 2013 prevalensi stunting sebanyak
37,2% dan pada tahun 2018 prevalensi ini menurun secara nasional menjadi
30,8% (Kemenkes, 2018b). Berdasarkan prevalensi stunting tersebut, kejadian
stunting di Indonesia masih menjadi masalah karena prevalensi nasional masih
diatas toleransi yang ditetapkan WHO yang hanya 20% (Kemenkes, 2016).
Riskesdas tahun 2018, Provinsi Sulawesi Barat menduduki peringkat kedua
angka stunting tertinggi secara nasional sekitar 40%. Kota Mamasa
menduduki urutan kedua se-Sulawesi Barat dan Kecamatan Buntu Malangka
menduduki angka kejadian stunting paling tinggi di Kota Mamasa sebesar
49,2%.
Intervensi : Data diperoleh dengan melakukan pengukuran TB terhadap anak
menggunakan microtoise dan pengisian kuesioner terhadap ibu. Hasil
pengukuran TB selanjutnya diolah untuk mendapatkan data status gizi anak
dengan menggunakan standar perhitungan z- score tinggi badan menurut umur
(TB/U) menggunakan tabel antropometri SK Kemenkes, 2010. Data mengenai
riwayat pemberian ASI eksklusif diperoleh melalui kuesioner yang diisi oleh
ibu balita. Data dianalisis dengan analisis univariat untuk memperoleh
gambaran distribusi frekuensi, analisis bivariat menggunakan uji chi square
untuk memperoleh hubungan pemberian ASI eksklusif dengan kejadian
stunting pada balita dengan tingkat kemaknaan α = 0,05. Selanjutnya
dilakukan uji Odds Ratio (OR) untuk menentukan seberapa besar hubungan
pemberian ASI eksklusif dengan kejadian stunting pada balita.
Comparation : Pada Jurnal tidak dijelaskan perbedaan yang signifikan.
Namun, Di Kecamatan Buntu Malangka, balita dengan panjang badan rendah
(< 48 cm) paling banyak pada kelompok kasus dibandingkan kelompok
kontrol yaitu sebanyak 54 (75.0%) responden. Di Kecamatan Buntu Malangka
juga diketahuipenghasilan keluarga ≥ UMR lebih banyak pada kelompok
kontrol dibandingkan kelompok kasus yaitu sebanyak 9 (12.5%) responden.
Outcome : Berdasarkan penelitian yang dilakukan didapatkan nilai OR = 61
artinya balita yang tidak diberikan ASI eksklusif berpeluang 61 kali lipat
mengalami stunting dibandingkan balita yang diberi ASI eksklusif. Kemudian,
balita yang tidak diberikan ASI eksklusif memiliki peluang 98% untuk
mengalami stunting. Di Kota Mamasa khususnya di Kecamatan Buntu
Malangka persentase pemberian ASI eksklusif hanya mencapai 17,0%. Hal ini
dikarenakan kurangnya tingkat pengetahuan masyarakat mengenai pentingnya
pemberian ASI eksklusif, bayi yang sudah diberi makanan tambahan sebelum
umur 6 bulan serta kurangnya gizi dari ibu menyusui sehingga produksi ASI
menurun. Kondisi sosial ekonomi juga berkaitan dengan terjadinya stunting.
Keluarga dengan pendapatan yang relatif rendah akan mengalami kesulitan
memenuhi kebutuhan nutrisi. Situasi ini biasanya terjadi pada balita dari
keluarga dengan penghasilan rendah. Bayi yang mendapat susu formula
memiliki risiko 5 kali lebih besar mengalami pertumbuhan yang tidak baik
pada bayi usia 0-6 bulan dibandingkan dengan bayi yang mendapat ASI. ASI
merupakan asupan gizi yang sesuai dengan kebutuhan akan membantu
pertumbuhan dan perkembangan anak. Bayi yang tidak mendapatkan ASI
dengan cukup berarti memiliki asupan gizi yang kurang baik dan dapat
menyebabkan kekurangan gizi. United Nation Childrens Fund (UNICEF) dan
World Health Organization (WHO) merekomendasikan sebaiknya anak hanya
disusui air susu ibu (ASI) selama paling sedikit enam bulan. Makanan padat
seharusnya diberikan sesudah anak berusia 6 bulan, dan pemberian ASI
dilanjutkan sampai anak berusia dua tahun. Sehingga didapatkan kesimpulan
jika ASI eksklusif sangat penting untuk pertumbuhan balita dan dapat
mengurangi risiko terjadinya stunting.
Time : Penelitian ini dilaksanakan di Kecamatan Buntu Malangka Kabupaten
Mamasa, pada bulan Desember 2019-Februari 2020.
2. Judul : Faktor penyebab anak Stunting usia 25-60 bulan di Kecamatan Sukorejo Kota
Blitar (desain penelitian deskriptif)
Populasi : Populasi penelitian adalah anak stunting usia 25–60 bulan di Kecamatan
Sukorejo Kota Blitar sejumlah 155 anak, besar sampel sebanyak 31 anak dengan
teknik quota sampling yaitu 20% dari populasi.
Problem : Permasalahan Stunting merupakan isu baru yang berdampak buruk
terhadap permasalahan gizi di Indonesia karena mempengaruhi fisik dan
fungsional dari tubuh anak serta meningkatnya angka kesakitan anak, bahkan
kejadian stunting tersebut telah menjadi sorotan WHO untuk segera
dituntaskan (Kania, 2015). Berdasarkan Pemantauan Status Gizi (PSG) pada
tahun 2014 Provinsi Jawa Timur memiliki prevalensi stunting sebesar 29%.
Data Dinas Kesehatan Kota Blitar tahun 2015 balita dalam kategori pendek
sebanyak 605 anak (9,71%) dan balita sangat pendek sebanyak 96 anak
(1,54%). Kecamatan Sukorejo jumlah balita pendek sebanyak 261 anak
(12,13%) dan balita sangat pendek 57 anak (2,65%). Menurut UNICEF dalam
BAPPENAS (2011), pada dasarnya status gizi anak dapat dipengaruhi oleh
faktor langsung dan tidak langsung, faktor langsung yang berhubungan dengan
stunting yaitu karakteristik anak berupa jenis kelamin laki-laki, berat badan
lahir rendah, konsumsi makanan berupa asupan energi rendah dan asupan
protein rendah, faktor langsung lainnya yaitu status kesehatan penyakit infeksi
ISPA dan diare. Pola pengasuhan tidak ASI ekslusif, pelayanan kesehatan
berupa status imunisasi yang tidak lengkap, dan karakteristik keluarga berupa
pekerjaan orang tua, pendidikan orang tua dan status ekonomi keluarga
merupakan faktor tidak langsung yang mempengaruhi stunting. Faktor risiko
terjadinya stunting berbeda disetiap wilayah. Kejadian stunting akan terus
meningkat jika faktor-faktor risiko yang telah dijelaskan sebelumnya tidak
diperhatikan.
Intervensi : Pengumpulan data dilakukan dengan cara wawancara
berdasarkan kuesioner yang dibuat sendiri oleh peneliti berdasarkan buku
sumber yang diambil dari (Supariasa, 2001), Unicef dalam Bapenas 2011
terdiri dari data umum pertanyaan tentang riwayat kondisi ibu saat hamil serta
persepsi keluarga tentang stunting dan pertanyaan khusus terdiri dari
karakteristik anak, asupan nutrisi anak, penyakit infeksi yang pernah di derita
anak, pemanfaatan Asi ekslusif, penggunakan fasilitas kesehatan, dan
karakteristik keluarga: pendidikan ayah ibu, status ekonomi serta
menggunakan lembar food recall 24 jam.
Comparation : Tidak ada pembanding, karena desain penelitian ini sampel
yang digunakan adalah quota sampling, dimana banyaknya sampel yang
ditetapkan itu hanya sekedar perkiraan akan relatif memadai untuk
mendapatkan data yang diperlukan dengan cara pengambilan data yang
sama.
Outcome :
Time : Pengumpulan data dilakukan di masing-masing rumah responden
kecamatan Sukorejo Kota Blitar pada 17–22 April 2017.
3. Judul : PENGARUH KEARIFAN PANGAN LOKAL SUKU REJANG
TERHADAP PENANGANAN STUNTING BADUTA DI BENGKULU UTARA
( Penelitian ini menggunakan desain penelitian eksperimen semu (Quasy
experiment study) dengan menggunakan rancangan One group pre and post test
design.)
Populasi : Populasi pada penelitian ini adalah baduta berusia 12 – 24 bulan yang
mengalami
stunting, memiliki tinggi badan dengan nilai z score untuk indeks TB/U < -2SDdan
berada di Wilayah Kerja Puskesmas Kerkap kabupaten Bengkulu Utara
Problem : Stunting menjadi masalah yang besar karena berkaitan erat dengan
indikator kesehatan. Di Indonesia, sekitar 37% (hampir 9 Juta) anak balita
mengalami stunting (Riset Kesehatan Dasar/Riskesdas 2013). Indonesia
adalah negara dengan prevalensi stunting kelima terbesar. Provinsi Bengkulu
mengalami permasalahan kesehatan di aspek pertumbuhan dan perkembangan
pada Balita, dimana kasus stunting di Provinsi Bengkulu tahun 2016 sebesar
22,9% dan terjadi peningkatan tahun 2017 sebesar 29,5%. Di Provinsi
Bengkulu kasus stunting tertinggi ketiga terjadi di Kabupaten Bengkulu Utara
sebesar 35,8% dibandingkan dengan Kabupaten yang lainnya (Dinas
kesehatan provinsi Bengkulu, 2018). Kabupaten Bengkulu utara merupakan
kabupaten yang mayoritas masyarakatnya suku rejang yang sangat kaya akan
pangan kearifan lokal. Pemanfaatan pangan lokal suku rejang ini dipilih
sebagai tindak lanjut dari program pemerintah dalam penanganan stunting
pada Intervensi Spesifik. Banyak bahan pangan lokal yang dihasilkan
masyarakat setempat akan tetapi pemanfaatan pangan lokal tersebut belum di
terapkan dalam weaning infant untuk menekan jumlah atau angka prevalensi
stunting di kawasan kabupaten Bengkulu Utara.
Intervensi : Sebelum dilakukan ntervensi pada responden, peneliti terlebih
dahulu melakukan pelatihan pada 12 orang kader puskesmas yang tinggal di
12 desa di wilayah kerja Puskesmas Kerkap. Selama Intervensi kader
Puskesmas ini akan ikut membantu memantau dan mendampingi baduta
stunting yang tinggal di wilayah tersebut.Selanjutnya peneliti melakukan pre
test tinggi badan baduta yang menjadi responden penelitian. Intervensi
dilakukan secara individual dengan terlebih dahulu mengajarkan dan melatih
orang tua baduta tentang cara pengolahan bahan pangan lokal dan pemberian
makanan lokal (bubur jagung tim dan sup belut sawah/sup ikan nila) yang
nantinya diberikan kepada baduta selama intervensi penelitian. Makanan yang
telah diolah diberikan 3 kali sehari dan diberikan selama 3 hari dalam satu
minggu secara selang seling dengan jumlah makanan semangkok penuh 250
cc. Selama pemberian makanan tambahan ini, ASI tetap diberikan.
Pengukuran tinggi badan setelah intervensi (post tes) dilakukan setelah hari ke
90.
Comparation : Terdapat perbandingan dalam hasil yakni perubahan tinggi
badan yang bermakna pada baduta sebelum dan setelah dilakukan intervensi.
Namun saat dilakukan intervensi tidak ada pembanding selama proses
penelitian, dikarenakan Pengambilan sampel penelitian dilakukan dengan
menggunakan teknik total sampling dan peneliti melakukan intervensi yang
sama kepada setiap responden yang terlibat dalam penelitian.
Outcome : Hasil treatment yang diberikan dari treatment pertama sampai
dengan dilakukan post-test memiliki perkembangan yang baik. Dengan
melihat hasil perkembangan baduta yang di lihat dari panjang/tinggi badan
dengan nilai mean yang terus meningkat, berkorelasi kuat dan memiliki nilai
signifikan yang mana semua nilai signifikan di bawah 0.05. Dari hasil ini
menunjukan bahwa pangan lokal dapat digunakan sebagai salah satu alternatif
dalam menurunkan angka kejadian stunting. Pangan lokal ini memiliki gizi
yang baik, seperti jagung, dalam 100 gram jagung manis mengandung energi
sekitar 35 Kkal, 2,2 gr protein, 0,1 gr lemak, 7,4 gram karbohidrat hingga 8
mg vitamin C. Dengan kandungan gizi yang baik dan proses yang baik
menjadi suatu hal yang bernilai positif untuk asumsi gizi dalam proses
perbaikan status gizi. Selain hal tersebut, harga yang relatif murah dan mudah
di dapatkan merupakan salah satu point lebih dalam pemanfaatan pangan lokal
secara arif tanpa bahan pengawet yang sangat aman untuk baduta. Treatment
dalam pemberian weaning pada baduta yang memiliki stunting menggunakan
pangan kearifan lokal bersifat positif dapat meningkatkan tinggi badan secara
bermakna.
Time : Penelitian ini dilakukan pada Desember 2019 dan Intervensi diberikan
selama 90 hari. Dimana pada awal dan hari ke 90 dilakukan pengukuran tinggi
badan baduta. Kemudian intervensi yang dilakukan peneliti salah satunya
memberikan makanan yang telah diolah diberikan setiap 3 kali sehari dan
diberikan selama 3 hari dalam satu minggu secara selang seling dengan jumlah
makanan semangkok penuh 250 cc.
Critical Form