Anda di halaman 1dari 12

Nama : Dya Syelvy Natasya

NIM : 201701142

Kelas : 4D

Prodi : S1 Keperawatan

Analisis Picot

1. Judul : Hubungan Pemberian ASI Eksklusif Dengan Kejadian Stunting Pada Balita
(pendekatan case control study, Desain analitik/Hubungan)
Populasi : Populasi dalam penelitian ini dipilih dari 7 desa prioritas stunting di
Kecamatan Buntu Malangka Kabupaten Mamasa. Peneliti mengambil 3 desa secara
acak yaitu Desa Penatangan, Ranteberang, dan Kebanga. Populasi dalam penelitian
ini semua balita di Desa Penatangan, Ranteberang, dan Kebanga yang berjumlah 219
balita.
 Problem : Stunting adalah masalah kurang gizi kronis yang disebabkan oleh
asupan gizi yang kurang dalam waktu cukup lama akibat pemberian makanan
yang tidak sesuai dengan kebutuhan gizi. Kekurangan gizi pada usia dini
meningkatkan angka kematian bayi dan anak, menyebabkan penderitanya
mudah sakit dan memiliki postur tubuh tak maksimal saat dewasa (Millenium
Challengga Account Indonesia, 2013). Prevalensi stunting pada balita
berdasarkan hasil Riskesdas pada tahun 2013 prevalensi stunting sebanyak
37,2% dan pada tahun 2018 prevalensi ini menurun secara nasional menjadi
30,8% (Kemenkes, 2018b). Berdasarkan prevalensi stunting tersebut, kejadian
stunting di Indonesia masih menjadi masalah karena prevalensi nasional masih
diatas toleransi yang ditetapkan WHO yang hanya 20% (Kemenkes, 2016).
Riskesdas tahun 2018, Provinsi Sulawesi Barat menduduki peringkat kedua
angka stunting tertinggi secara nasional sekitar 40%. Kota Mamasa
menduduki urutan kedua se-Sulawesi Barat dan Kecamatan Buntu Malangka
menduduki angka kejadian stunting paling tinggi di Kota Mamasa sebesar
49,2%.
 Intervensi : Data diperoleh dengan melakukan pengukuran TB terhadap anak
menggunakan microtoise dan pengisian kuesioner terhadap ibu. Hasil
pengukuran TB selanjutnya diolah untuk mendapatkan data status gizi anak
dengan menggunakan standar perhitungan z- score tinggi badan menurut umur
(TB/U) menggunakan tabel antropometri SK Kemenkes, 2010. Data mengenai
riwayat pemberian ASI eksklusif diperoleh melalui kuesioner yang diisi oleh
ibu balita. Data dianalisis dengan analisis univariat untuk memperoleh
gambaran distribusi frekuensi, analisis bivariat menggunakan uji chi square
untuk memperoleh hubungan pemberian ASI eksklusif dengan kejadian
stunting pada balita dengan tingkat kemaknaan α = 0,05. Selanjutnya
dilakukan uji Odds Ratio (OR) untuk menentukan seberapa besar hubungan
pemberian ASI eksklusif dengan kejadian stunting pada balita.
 Comparation : Pada Jurnal tidak dijelaskan perbedaan yang signifikan.
Namun, Di Kecamatan Buntu Malangka, balita dengan panjang badan rendah
(< 48 cm) paling banyak pada kelompok kasus dibandingkan kelompok
kontrol yaitu sebanyak 54 (75.0%) responden. Di Kecamatan Buntu Malangka
juga diketahuipenghasilan keluarga ≥ UMR lebih banyak pada kelompok
kontrol dibandingkan kelompok kasus yaitu sebanyak 9 (12.5%) responden.
 Outcome : Berdasarkan penelitian yang dilakukan didapatkan nilai OR = 61
artinya balita yang tidak diberikan ASI eksklusif berpeluang 61 kali lipat
mengalami stunting dibandingkan balita yang diberi ASI eksklusif. Kemudian,
balita yang tidak diberikan ASI eksklusif memiliki peluang 98% untuk
mengalami stunting. Di Kota Mamasa khususnya di Kecamatan Buntu
Malangka persentase pemberian ASI eksklusif hanya mencapai 17,0%. Hal ini
dikarenakan kurangnya tingkat pengetahuan masyarakat mengenai pentingnya
pemberian ASI eksklusif, bayi yang sudah diberi makanan tambahan sebelum
umur 6 bulan serta kurangnya gizi dari ibu menyusui sehingga produksi ASI
menurun. Kondisi sosial ekonomi juga berkaitan dengan terjadinya stunting.
Keluarga dengan pendapatan yang relatif rendah akan mengalami kesulitan
memenuhi kebutuhan nutrisi. Situasi ini biasanya terjadi pada balita dari
keluarga dengan penghasilan rendah. Bayi yang mendapat susu formula
memiliki risiko 5 kali lebih besar mengalami pertumbuhan yang tidak baik
pada bayi usia 0-6 bulan dibandingkan dengan bayi yang mendapat ASI. ASI
merupakan asupan gizi yang sesuai dengan kebutuhan akan membantu
pertumbuhan dan perkembangan anak. Bayi yang tidak mendapatkan ASI
dengan cukup berarti memiliki asupan gizi yang kurang baik dan dapat
menyebabkan kekurangan gizi. United Nation Childrens Fund (UNICEF) dan
World Health Organization (WHO) merekomendasikan sebaiknya anak hanya
disusui air susu ibu (ASI) selama paling sedikit enam bulan. Makanan padat
seharusnya diberikan sesudah anak berusia 6 bulan, dan pemberian ASI
dilanjutkan sampai anak berusia dua tahun. Sehingga didapatkan kesimpulan
jika ASI eksklusif sangat penting untuk pertumbuhan balita dan dapat
mengurangi risiko terjadinya stunting.
 Time : Penelitian ini dilaksanakan di Kecamatan Buntu Malangka Kabupaten
Mamasa, pada bulan Desember 2019-Februari 2020.
2. Judul : Faktor penyebab anak Stunting usia 25-60 bulan di Kecamatan Sukorejo Kota
Blitar (desain penelitian deskriptif)
Populasi : Populasi penelitian adalah anak stunting usia 25–60 bulan di Kecamatan
Sukorejo Kota Blitar sejumlah 155 anak, besar sampel sebanyak 31 anak dengan
teknik quota sampling yaitu 20% dari populasi.
 Problem : Permasalahan Stunting merupakan isu baru yang berdampak buruk
terhadap permasalahan gizi di Indonesia karena mempengaruhi fisik dan
fungsional dari tubuh anak serta meningkatnya angka kesakitan anak, bahkan
kejadian stunting tersebut telah menjadi sorotan WHO untuk segera
dituntaskan (Kania, 2015). Berdasarkan Pemantauan Status Gizi (PSG) pada
tahun 2014 Provinsi Jawa Timur memiliki prevalensi stunting sebesar 29%.
Data Dinas Kesehatan Kota Blitar tahun 2015 balita dalam kategori pendek
sebanyak 605 anak (9,71%) dan balita sangat pendek sebanyak 96 anak
(1,54%). Kecamatan Sukorejo jumlah balita pendek sebanyak 261 anak
(12,13%) dan balita sangat pendek 57 anak (2,65%). Menurut UNICEF dalam
BAPPENAS (2011), pada dasarnya status gizi anak dapat dipengaruhi oleh
faktor langsung dan tidak langsung, faktor langsung yang berhubungan dengan
stunting yaitu karakteristik anak berupa jenis kelamin laki-laki, berat badan
lahir rendah, konsumsi makanan berupa asupan energi rendah dan asupan
protein rendah, faktor langsung lainnya yaitu status kesehatan penyakit infeksi
ISPA dan diare. Pola pengasuhan tidak ASI ekslusif, pelayanan kesehatan
berupa status imunisasi yang tidak lengkap, dan karakteristik keluarga berupa
pekerjaan orang tua, pendidikan orang tua dan status ekonomi keluarga
merupakan faktor tidak langsung yang mempengaruhi stunting. Faktor risiko
terjadinya stunting berbeda disetiap wilayah. Kejadian stunting akan terus
meningkat jika faktor-faktor risiko yang telah dijelaskan sebelumnya tidak
diperhatikan.
 Intervensi : Pengumpulan data dilakukan dengan cara wawancara
berdasarkan kuesioner yang dibuat sendiri oleh peneliti berdasarkan buku
sumber yang diambil dari (Supariasa, 2001), Unicef dalam Bapenas 2011
terdiri dari data umum pertanyaan tentang riwayat kondisi ibu saat hamil serta
persepsi keluarga tentang stunting dan pertanyaan khusus terdiri dari
karakteristik anak, asupan nutrisi anak, penyakit infeksi yang pernah di derita
anak, pemanfaatan Asi ekslusif, penggunakan fasilitas kesehatan, dan
karakteristik keluarga: pendidikan ayah ibu, status ekonomi serta
menggunakan lembar food recall 24 jam.
 Comparation : Tidak ada pembanding, karena desain penelitian ini sampel
yang digunakan adalah quota sampling, dimana banyaknya sampel yang
ditetapkan itu hanya sekedar perkiraan akan relatif memadai untuk
mendapatkan data yang diperlukan dengan cara pengambilan data yang
sama.
 Outcome :
 Time : Pengumpulan data dilakukan di masing-masing rumah responden
kecamatan Sukorejo Kota Blitar pada 17–22 April 2017.
3. Judul : PENGARUH KEARIFAN PANGAN LOKAL SUKU REJANG
TERHADAP PENANGANAN STUNTING BADUTA DI BENGKULU UTARA
( Penelitian ini menggunakan desain penelitian eksperimen semu (Quasy
experiment study) dengan menggunakan rancangan One group pre and post test
design.)
Populasi : Populasi pada penelitian ini adalah baduta berusia 12 – 24 bulan yang
mengalami
stunting, memiliki tinggi badan dengan nilai z score untuk indeks TB/U < -2SDdan
berada di Wilayah Kerja Puskesmas Kerkap kabupaten Bengkulu Utara
 Problem : Stunting menjadi masalah yang besar karena berkaitan erat dengan
indikator kesehatan. Di Indonesia, sekitar 37% (hampir 9 Juta) anak balita
mengalami stunting (Riset Kesehatan Dasar/Riskesdas 2013). Indonesia
adalah negara dengan prevalensi stunting kelima terbesar. Provinsi Bengkulu
mengalami permasalahan kesehatan di aspek pertumbuhan dan perkembangan
pada Balita, dimana kasus stunting di Provinsi Bengkulu tahun 2016 sebesar
22,9% dan terjadi peningkatan tahun 2017 sebesar 29,5%. Di Provinsi
Bengkulu kasus stunting tertinggi ketiga terjadi di Kabupaten Bengkulu Utara
sebesar 35,8% dibandingkan dengan Kabupaten yang lainnya (Dinas
kesehatan provinsi Bengkulu, 2018). Kabupaten Bengkulu utara merupakan
kabupaten yang mayoritas masyarakatnya suku rejang yang sangat kaya akan
pangan kearifan lokal. Pemanfaatan pangan lokal suku rejang ini dipilih
sebagai tindak lanjut dari program pemerintah dalam penanganan stunting
pada Intervensi Spesifik. Banyak bahan pangan lokal yang dihasilkan
masyarakat setempat akan tetapi pemanfaatan pangan lokal tersebut belum di
terapkan dalam weaning infant untuk menekan jumlah atau angka prevalensi
stunting di kawasan kabupaten Bengkulu Utara.
 Intervensi : Sebelum dilakukan ntervensi pada responden, peneliti terlebih
dahulu melakukan pelatihan pada 12 orang kader puskesmas yang tinggal di
12 desa di wilayah kerja Puskesmas Kerkap. Selama Intervensi kader
Puskesmas ini akan ikut membantu memantau dan mendampingi baduta
stunting yang tinggal di wilayah tersebut.Selanjutnya peneliti melakukan pre
test tinggi badan baduta yang menjadi responden penelitian. Intervensi
dilakukan secara individual dengan terlebih dahulu mengajarkan dan melatih
orang tua baduta tentang cara pengolahan bahan pangan lokal dan pemberian
makanan lokal (bubur jagung tim dan sup belut sawah/sup ikan nila) yang
nantinya diberikan kepada baduta selama intervensi penelitian. Makanan yang
telah diolah diberikan 3 kali sehari dan diberikan selama 3 hari dalam satu
minggu secara selang seling dengan jumlah makanan semangkok penuh 250
cc. Selama pemberian makanan tambahan ini, ASI tetap diberikan.
Pengukuran tinggi badan setelah intervensi (post tes) dilakukan setelah hari ke
90.
 Comparation : Terdapat perbandingan dalam hasil yakni perubahan tinggi
badan yang bermakna pada baduta sebelum dan setelah dilakukan intervensi.
Namun saat dilakukan intervensi tidak ada pembanding selama proses
penelitian, dikarenakan Pengambilan sampel penelitian dilakukan dengan
menggunakan teknik total sampling dan peneliti melakukan intervensi yang
sama kepada setiap responden yang terlibat dalam penelitian.
 Outcome : Hasil treatment yang diberikan dari treatment pertama sampai
dengan dilakukan post-test memiliki perkembangan yang baik. Dengan
melihat hasil perkembangan baduta yang di lihat dari panjang/tinggi badan
dengan nilai mean yang terus meningkat, berkorelasi kuat dan memiliki nilai
signifikan yang mana semua nilai signifikan di bawah 0.05. Dari hasil ini
menunjukan bahwa pangan lokal dapat digunakan sebagai salah satu alternatif
dalam menurunkan angka kejadian stunting. Pangan lokal ini memiliki gizi
yang baik, seperti jagung, dalam 100 gram jagung manis mengandung energi
sekitar 35 Kkal, 2,2 gr protein, 0,1 gr lemak, 7,4 gram karbohidrat hingga 8
mg vitamin C. Dengan kandungan gizi yang baik dan proses yang baik
menjadi suatu hal yang bernilai positif untuk asumsi gizi dalam proses
perbaikan status gizi. Selain hal tersebut, harga yang relatif murah dan mudah
di dapatkan merupakan salah satu point lebih dalam pemanfaatan pangan lokal
secara arif tanpa bahan pengawet yang sangat aman untuk baduta. Treatment
dalam pemberian weaning pada baduta yang memiliki stunting menggunakan
pangan kearifan lokal bersifat positif dapat meningkatkan tinggi badan secara
bermakna.
 Time : Penelitian ini dilakukan pada Desember 2019 dan Intervensi diberikan
selama 90 hari. Dimana pada awal dan hari ke 90 dilakukan pengukuran tinggi
badan baduta. Kemudian intervensi yang dilakukan peneliti salah satunya
memberikan makanan yang telah diolah diberikan setiap 3 kali sehari dan
diberikan selama 3 hari dalam satu minggu secara selang seling dengan jumlah
makanan semangkok penuh 250 cc.

Critical Form

4. Judul : KEADAAN MIKROBIOTA SALURAN CERNA PADA ANAK SEKOLAH


DASAR YANG MENGALAMI STUNTING DI LOMBOK BARAT
Oleh : Siti Helmyati, Endri Yuliati, Setyo Utami Wisnusanti, Risnhukathulistiwi
Maghribi, Mohammad Juffrie
Jurnal : (http://journal.ipb.ac.id/index.php/jgizipangan/article/view/17993) Jurnal
Gizi dan Pangan
 Citation : -
 Tujuan Studi : Tujuan dari penelitian ini adalah untuk membandingkan
populasi mikrobiota saluran cerna anak sekolah dasar yang mempunyai tinggi
normal dengan anak stunting.
 Literatur : (Balitbangkes 2013), (Picauly & Toy 2013), (Cahyono et al.
2016), (Owino et al. 2016), (Checkley et al.2008; Pop et al. 2014), (Dinh et al.
2016; Gough et al. 2015), (Lin et al. 2013), (Helmyati et al. 2015), (Tyakht
2013), (Mwaniki & Makokha 2013).
 Desain penelitian : Desain penelitian ini adalah penelitian observasional
dengan desain comparative. Penelitian dilakukan di tiga sekolah dasar di
Kabupaten Lombok Barat. Penentuan lokasi penelitian menggunakan
randomisasi sekolah yang ada di Kabupaten tersebut. Penelitian dilakukan
selama bulan Februari-April 2015.
 Sampel : Penelitian melibatkan 115 siswa sekolah dasar dengan usia 9-12
tahun yang dipilih secara simple random sampling. Kriteria inklusi subjek
penelitian ini adalah anak sekolah dasar yang berusia 9-12 tahun, mengalami
stunting dengan z-score indeks TB/U <-2,00 SD, bersedia ikut dalam
penelitian dan diijinkan oleh orang tua/wali untuk mengi-kuti penelitian.
Kriteria eksklusinya adalah mengonsumsi antibiotik dalam tiga bulan terakhir
dan sedang dalam masa pengobatan medis. Subjek dibagi menjadi dua yaitu
kelompok stunting sebanyak 71 anak dan kelompok normal sebanyak 44 anak.
 Outcome : Asupan zat gizi anak stunting yang kurang, bisa karena tidak
terpenuhinya jumlah atau jenis bahan makanan yang dibutuhkan dan juga
lamanya infeksi. Keadaan ini dapat menimbulkan perubahan komposisi
mikrobiota saluran pencernaan antara bakteri patogen dan komensal.
Pertumbuhan berlebih bakteri pada usus halus berhubungan dengan sanitasi
yang buruk dan stunting. Pertumbuhan bakteri patogen yang berlebihan pada
saluran cerna yang diakibatkan karena infeksi dan imun yang rendah akan
menyebabkan probiotik yang ada di saluran cerna menurun. Komposisi bakteri
patogen yang banyak menyebabkan inflamasi dan malabsorbsi zat gizi
sehingga menyebabkan stunting. Penyakit infeksi dan asupan gizi yang buruk
mampu menyebabkan environmental enteric dysfunction. Keadaan ini
menyebabkan inflamasi pada saluran cerna, ketidakseimbangan populasi
mikrobiota dalam saluran cerna dan malabsorbsi zat gizi. Kondisi tersebut
akan menyebabkan pertumbuhan linear terganggu. Hasil penelitian dalam
jurnal ini dijelaskan dengan gtabel distribusi frekuensi.Data mikrobiota
disajikan dalam mean±SD dalam satuan log CFU/g. Data dianalisa melalui uji
independent t-test menggunakan software statistika STATA.
 Intervensi : Subjek dibagi menjadi dua yaitu kelompok stunting sebanyak 71
anak dan kelompok normal sebanyak 44 anak. Kemudian peneliti melakukan
pengumpulan data subjek, Data yang dikumpulkan berupa data karakteristik
yang meliputi usia, jenis kelamin, pendidikan dan pekerjaan orang tua/wali,
data tinggi badan anak, dan data uji mikrobiota saluran cerna. Data
karakteristik anak diperoleh dengan wawancara oleh enumerator dan ditulis di
dalam kuesioner karakteristik subjek. Selanjutnya peneliti melakukan Prosedur
pengumpulan feses dan pengujian mikrobiota. Pengumpulan contoh feses
dibantu oleh tenaga enumerator terlatih. Subjek dan orangtua subjek diberi
instruksi untuk mengontak enumerator jika subjek akan buang air besar
(BAB). Subjek yang didatangi adalah subjek yang mengontak enumerator dan
BAB sekitar pukul 07.00-15.00 WIT. Contoh feses subjek dimasukkan ke
dalam tabung steril yang telah disediakan dan tidak boleh bercampur dengan
air seni, air kloset maupun kotoran lainnya. Contoh feses yang dimasukkan
sekitar 2-5 g. Tabung steril tersebut diberi label berupa kode, nama responden,
tanggal, dan jam pengambilan. Tabung steril berisi contoh feses dibawa dalam
coolbox yang berisi ice gel dan langsung dianalisa di laboratorium. Mikrobiota
yang diuji adalah jumlah bakteri Lactobacillus, Bifidobacteria, E. Coli dan
Enterobacter dalam saluran cerna subjek yang dinyatakan dalam satuan
Colony Forming Unit (CFU)/gram feses contoh. Keempat genus bakteri ini
dipilih untuk menggambarkan komposisi antara parameter bakteri probiotik
yaitu Lactobacillus dan Bifidobacteria serta bakteri patogen yaitu E. Coli dan
Enterobacter. Analisa mikrobiota menggunakan metode pour plate. Feses
subjek jika berbentuk cair diambil 1 ml, jika berbentuk padatan maka diambil
1 g. Feses yang telah disiapkan diencerkan menggunakan NaCl 0,85% steril.
Setelah homogen, contoh feses dimasukkan kedalam seri pengenceran dengan
konsentrasi 10-1 hingga 10-7.Setiap seri pengenceran, dimasukkan 1 ml feses
kedalam cawan petri. Media agar dituangkan sesuai bakteri yang akan diuji
sebanyak 15-20 g, kemudian media diratakan dan ditunggu hingga memadat.
Setelah itu, diinkubasi pada suhu 37°C selama 24 jam (untuk E. coli dan
Enterobacter) atau 48 jam (untuk Lactobacillus dan Bifidobacteria). Setelah
selesai inkubasi, koloni yang tumbuh pada media dihitung menggunakan
quebec colony counter.
 Hasil : Berdasarkan hasil uji t-test, jumlah bakteri Lactobacillus kelompok
stunting lebih rendah (6,96±0,94 log CFU/g) secara signifikan (p<0,05)
dibandingkan kelompok normal (7,38±0,98 log CFU/g). Jumlah bakteri
Bifidobacteria, Enterobacter, dan E. coli tidak berbeda signifikan antara kedua
kelompok. Namun kecenderungannya, Bifidobacteria kelompok stunting lebih
rendah (8,19±0,74 log CFU/g) dibanding kelompok normal (8,22±0,79 log
CFU/g) sedangkan jumlah bakteri Enterobacter dan E. coli pada kelompok
stunting lebih tinggi (7,82±0,68 dan 7,03±0,97 log CFU/g) dibanding
kelompok normal (7,71±0,81 dan 6,96±1,22 log CFU/g).
 Kesimpulan dan Implikasi : Jumlah bakteri Lactobacillus pada subjek
stunting dan subjek status gizi normal masih dalam batas populasi seimbang,
walaupun pada kelompok stunting lebih rendah secara signifikan
dibandingkan kelompok normal (p<0,05). Komposisi bakteri Bifidobacteria,
Enterobacter, dan E. coli tidak berbeda signifikan antara kedua kelompok.
Namun kecenderungannya, Bifidobacteria kelompok stunting lebih rendah
dibanding kelompok normal sedangkan jumlah bakteri Enterobacter, dan E.
coli pada kelompok stunting lebih tinggi dibanding kelompok normal.
Keterbatasan penelitian ini adalah tidak adanya data kejadian diare pada
subjek. Selain itu rendahnya populasi Bifidobacteria ini belum dapat
dijelaskan karena penelitian ini memiliki keterbatasan yaitu tidak
dikumpulkannya data pendukung seperti gambaran kejadian infeksi pada
kedua kelompok.
5. Judul : PERSEPSI SOSIAL TENTANG STUNTING DI KABUPATEN
TANGERANG
Oleh : Liem S., Panggabean H, Farady R.
Jurnal : (http://ejournal2.litbang.kemkes.go.id/index.php/jek/article/view/167) Jurnal
ekologi Kesehatan
 Citation : -
 Tujuan studi : Penelitian ini bertujuan untuk untuk mengetahui bagaimana
masyarakat memaknai balita berbadan pendek.
 Literatur : (Badan Litbangkes, 2018), (Kementerian Kesehatan, 2018), (WHO
& UNICEF, 2015), (Kementerian Kesehatan, 2016), (TNP2K, 2017),
(Aronson et al., 2016).
 Desain penelitian : Pada Jurnal Penelitian ini menggunakan desain kualitatif
dengan pendekatan fenomenologis.
 Sampel : Pendekatan ini memungkinkan peneliti menggali sudut pandang
responden tentang balita pendek. Dengan mempertimbangkan tidak semua ibu
yang memiliki anak stunting bersedia diwawancarai, maka responden dipilih
secara sampling dengan teknis snowball sampling mentargetkan mereka
yang memiliki anak balita stunting. Dua responden ditemui di puskesmas
kelurahan Binong di kecamatan Curug, sedangkan dua lainnya
direkomendasikan oleh kader yang mengetahui keberadaan anak stunting di
kecamatan Pasar Kemis.
 Outcome : Responden menyimpulkan, bahkan terkonfirmasi dalam interaksi
keseharian; bahwa anak stunting cenderung pintar. Kesan maupun kesimpulan
dibentuk berdasarkan kualitas stimulus dan kemampuan indera untuk
menyerap stimulus. Semakin rendah kualitas stimulus, misalnya minimnya
informasi maka semakin besar individu mengandalkan elemen individual.
Demikian pula semakin minim informasi ilmiah tentang faktor risiko stunting
yang beredar, semakin besar kemungkinan masyarakat merujuk kepada
persepsi sosial yang berlaku, termasuk menganggap keturunan sebagai
penyebab postur pendek. Terdapat ketidak-samaan definisi yang diacu oleh
literatur dengan persepsi responden dan lingkungan sekitarnya terhadap makna
pintar. Pintar dalam realitas responden adalah pintar mengaji, pintar berbicara
dan bergaul dalam masyarakat. Sedangkan berdasarkan literatur yang ada
kepintaran tercermin dalam capaian akademik. Partisipasi masyarakat yang
dihimpun secara efektif mampu mengurangi kemungkinan penolakan jika
pesan kampanye promosi dikemas dengan sebaik-baiknya. Dengan demikian,
untuk membantah persepsi bahwa anak „kuntring‟ adalah anak pintar,
dibutuhkan pola komunikasi untuk mengemas isi pesan hingga strategi
tertentu termasuk mekanisme penyampaian yang dapat meyakinkan
masyarakat khususnya orangtua balita untuk mempertanyakan “kepintaran”
anak berpostur pendek.
 Intervensi : Pengumpulan data dilakukan melalui wawancara mendalam
kepada empat orang ibu yang berusia 30 sampai 46 tahun dan memiliki anak
yang masih berusia balita. Selain wawancara mendalam, dilakukan juga
observasi lingkungan tempat tinggal. Dalam tatap muka sebelum wawancara
dimulai, peneliti menjelaskan tujuan penelitian dan keuntungan/kerugian
mengikuti penelitian ini. Semua responden menandatangani formulir informed
consent dan memberi izin untuk mempublikasikan hasil penelitian di forum
akademik dengan menggunakan inisial nama. Wawancara mendalam kepada
responden dilakukan untuk menggali informasi tentang pemaknaan anak
berpostur badan pendek dan pemahaman tentang stunting serta upaya menjaga
kesehatan gizi anak balita. Selanjutnya data yang diperoleh diolah dengan
menerapkan teknik open-coding untuk mensarikan dan mengkategorisasikan
makna yang diberikan oleh responden sebagaimana tercermin dalam kata-kata
tanggapan mereka terhadap stunting. Kata-kata kunci dalam pengkodean
mengacu kepada teori persepsi sosial serta pengalaman peneliti dalam sektor
kesehatan gizi balita. Kemudian, hasil pengkodean diinterpretasikan dan
dianalisa untuk melihat makna dari pernyataan responden selama wawancara
maupun hasil pengamatan sekitar lingkungan rumah.
 Hasil : Hasil penelitian menunjukkan balita pendek tidak dikaitkan dengan
masalah kesehatan maupun gizi, bahkan responden memandang anak
“kuntring‟ sebagai anak yang pintar. Persepsi demikian dapat berdampak pada
keterlibatan masyarakat yang tidak optimal dalam upaya pemerintah
mengurangi kejadian stunting. Selain itu penelitian menyimpulkan adanya
korelasi yang konsisten antara perilaku kesehatan dengan persepsi terhadap
adanya ancaman penyakit sehingga persepsi risiko menjadi salah satu konsep
kunci dalam memprediksi perilaku kesehatan keluarga maupun masyarakat.
Kurangnya pesan-pesan promosi kesehatan tentang pencegahan stunting
berisiko menjadikan masyarakat terus berpegang pada persepsi sosial yang
menyalahkan keturunan sebagai penyebab stunting. Anggapan demikian
menunjukkan pemahaman bahwa stunting disebabkan oleh faktor eksternal,
dibawa dari lahir, dan tidak bisa diubah.
 Kesimpulan dan Implikasi : Temuan penelitian ini menunjukkan bahwa
meskipun istilah stunting semakin dikenal namun belum disertai persepsi
sosial yang adekuat, yaitu faktor kekurangan gizi didalamnya. Di dua
kecamatan yang berbeda di kabupaten Tangerang, „cebol‟ dan „kuntring‟
digunakan untuk menggambarkan individu, termasuk anak usia balita, yang
memiliki badan pendek. Hal ini menunjukkan penekanan makna stunting
masih sebatas aspek fisik. Balita berpostur pendek dipersepsikan sebagai
keturunan, namun anggapan ini mulai dipertanyakan, terutama ketika salah
satu anak jauh lebih pendek daripada orangtua dan saudara-saudaranya. Dalam
interaksi keseharian, sebagian responden mempersepsikan anak berbadan
pendek memiliki kepintaran, khususnya pintar mengaji dan berkomunikasi
dengan orang dewasa. Anggapan demikian berpotensi mengurangi keterlibatan
masyarakat dalam kegiatan yang ditujukan untuk menurunkan kejadian
stunting. VIbu-ibu mengandalkan pemberian makanan sesuai ketentuan gizi
untuk memastikan status gizi yang baik bagi anak-anak mereka, namun
anggota keluarga lainnya tidak memberi perhatian cukup kepada faktor
kesehatan. PemaknaanPemaknaan balita pendek tidak serta merta
meningkatkan motivasi untuk mencegah stunting, karena mereka tidak
mengaggap stunting sebuah masalah, bahkan pada kasus tertentu bisa
dianggap sebagai kelebihan. Hal ini kemungkinkan berpotensi menimbulkan
dampak kontra produktif terhadap program pemerintah dalam meningkatkan
status gizi anak balita Indonesia. Di dalam penelitian ini tidak dijelaskan
adanya keterbatasan atau bias utama. Namun, Pemerintah dan mitra
pembangunan yang bekerja di bidang kesehatan ibu dan anak perlu merubah
pemahaman tentang balita pendek. Hal ini dapat dilakukan dengan cara
melakukan promosi kesehatan tentang apa itu stunting, faktor-faktor risiko
stunting, dampak stunting terhadap kesehatan anak sekarang dan jangka
panjang.

Anda mungkin juga menyukai