Anda di halaman 1dari 49

USULAN SKRIPSI

HUBUNGAN ANTARA IBU MENYUSUI 0-6 BULAN DENGAN ASI


EKSKLUSIF DAN SUSU FORMULA TERHADAP STUNTING
DI PUSKESMAS BULELENG I TAHUN 2023

OLEH
I GUSTI AGUNG KRISNA SWADISTANA

NIM: 2118011037

JURUSAN KEDOKTERAN
FAKULTAS
KEDOKTERAN
UNIVERSITAS PENDIDIKAN GANESHA
SINGARAJA
2023
BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Masalah gizi merupakan suatu permasalahan yang masih sangat
mendominasi di masyarakat umum. Stunting merupakan kondisi yang
mana balita memiliki panjang atau tinggi badan yang kurang jika
dibandingkan dengan umur sebayanya ataupun rata-ratanya. Stunting
dapat dinilai. Berdasarkan indeks panjang badan menurut umur (PB/U)
atau indeks tinggi badan menurut umur (TB/U). Anak bisa dikatakan
pendek (stunting) jika indeks panjang badan dibanding umur (PB/U) atau
tinggi badan dibanding umur (TB/U) dengan batas (z-score) kurang dari -2
SD dan dikategorikan sangat pendek (severly stunted) jika nilai z-score
kurang dari -3SD (Kemenkes RI, 2020).
Balita yang mengalami stunting memiliki risiko terjadinya
penurununan intelektual, produktivitas dan peningkatan risiko penyakit
degeneratif dimasa mendatang. Stunting juga meningkatkan risiko
terjadinya obesitas karena
orang dengan tubuh pendek memiliki berat badan ideal yang
rendah.
Kenaikan berat badan beberapa kilogram saja bisa menaikan
Indeks Massa
Tubuh (IMT) melebihi normal (Anugraheni, 2012). Selain itu anak
stunting
cenderung lebih rentan terhadap penyakit infeksi, sehingga berisiko
lebih
sering absen dan mengalami penurunan kualitas belajar di sekolah
(Yunitasari, 2012).
Hasil penelitian Alam MA, Richard SA, Fahim SM, Mahfud M, et
al (2020)
menunjukkan bahwa anak yang memiliki nilai z score untuk PB/U
lebih
rendah pada 2 tahun pertama kehidupan, memiliki hasil kognitif
yang lebih
buruk. Anak-anak yang mengalami stunting pada usia dini
memiliki skor
2
kognitif lebih rendah dibandingkan mereka yang tidak mengalami
hambatan
pertumbuhan. Penelitian lain yang dilaksanakan oleh Picauly I dan
Toy SM
(2013) terhadap anak sekolah di Kupang dan Sumba Timur
menunjukkan
bahwa siswa dengan stunting lebih banyak memiliki prestasi
belajar yang
kurang, sementara siswa yang non stunting lebih banyak memiliki
prestasi
belajar yang baik. Dapat disimpulkan anak yang mengalami
stunting akan
mengalami hambatan pada proses berpikir dan memorinya sehinga
berdampak terhadap kurangnya prestasi belajar.
Stunting disebabkan oleh banyak faktor yang saling terkait baik
faktor
penyebab lansgung maupun tidak langsung dan akar masalah yang
ada di
masyarakat. Secara langsung dipengaruhi oleh jangkauan dan
kualitas
pelayanan kesehatan, pola asuh anak yang kurang memadai,
kurang baiknya
kondisi sanitasi lingkungan dan rendahnya ketahanan pangan di
tingkat
rumah tangga (Sulistiyani, 2011). Sebagai akar masalah di
masyarakat yaitu
rendahnya pendidikan, pengetahuan serta keterampilan (Jayanti,
2015).
Pencegahan stunting dipengaruhi 3 poin penting dan mendasar
yaitu: pola
asuh yang baik, perbaikan pola makan dan peningkatan sanitasi
dan air bersih
(P2PTM Kemenkes RI, 2018). Pola asuh yang salah dan kurang
memadai
menjadi salah satu penyebab terjadinya masalah gizi khususnya
kurang gizi.
Kurang gizi juga disebabkan oleh kemiskinan, keadaan sosial
ekonomi
rendah, ketersediaan makanan yang kurang, daya beli yang rendah,
sering
mengalami sakit, kurang perawatan dan kebersihan, serta kebiasaan
atau pola
asuh orang tua dalam praktik pemberian makan yang kurang tepat
(Amalia &
Mardiana, 2016).
Karakteristik ibu mempengaruhi pola asuh dalam praktek
pemberian makan,
pemanfaatan pelayanan kesehatan dan hiegene dan berdampak
terhadap status
gizi anak., semakin tinggi pendidikan ibu akan menambah pola
pikir ibu
tentang pola pemberian makan keluarga maupun pola pengasuhan
anak
(Mustamin dkk, 2018). Beberapa studi menunjukkan adanya
hubungan antara
Stunting adalah masalah kurang gizi kronis yang disebabkan oleh
asupan gizi yang kurang dalam waktu cukup lama akibat pemberian
makanan yang tidak sesuai dengan kebutuhan gizi. Kekurangan gizi pada
usia dini meningkatkan angka kematian bayi dan anak, menyebabkan
penderitanya mudah sakit dan memiliki postur tubuh tak maksimal saat
dewasa (Millenium Challengga Account Indonesia, 2013). Stunting terjadi
mulai janin masih dalam kandungan dan baru nampak saat anak berusia
dua tahun. Stunting pada balita perlu menjadi perhatian khusus
karena dapat menghambat perkembangan fisik dan mental anak.
Stunting berkaitan dengan peningkatan risiko kesakitan dan kematian
serta terhambatnya pertumbuhan kemampuan motorik dan mental juga
memiliki risiko terjadinya penurunan kemampuan intelektual,
produktivitas, dan peningkatan risiko penyakit degeneratif. Anak stunting
juga cenderung lebih rentan terhadap penyakit infeksi, sehingga berisiko
mengalami penurunan kualitas belajar di sekolah dan berisiko lebih
sering absen, sehingga mengakibatkan kerugian ekonomi jangka
panjang bagi Indonesia (Kartikawati, 2011 dalam Indrawati, 2016).
Prevalensi stunting pada balita berdasarkan hasil Riskesdas pada tahun
2013 prevalensi stunting sebanyak 37,2% dan pada tahun 2018
prevalensi ini menurun secara nasional menjadi 30,8% (Kemenkes,
2018b). Berdasarkan prevalensi stunting tersebut, kejadian stunting di
Indonesia masih menjadi masalah karena prevalensi nasional masih
diatas toleransi yang ditetapkan WHO yang hanya 20% (Kemenkes,
2016). Riskesdas tahun 2018, Provinsi Sulawesi Barat menduduki
peringkat kedua angka stunting tertinggi secara nasional sekitar 40%.
Kota Mamasa menduduki urutan kedua se-Sulawesi Barat dan
Kecamatan Buntu Malangka menduduki angka kejadian stunting
paling tinggi di Kota Mamasa sebesar 49,2%. Menurut Unicef
Framework faktor penyebab stunting pada balita salah satunya yaitu
asupan makanan yang tidak seimbang. Asupan makanan yang tidak
seimbang termasuk dalam pemberian ASI eksklusif yang tidak diberikan
selama 6 bulan (Wiyogowati, 2012 dalam Fitri, 2018). ASI (Air Susu
Ibu) adalah air susu yang dihasilkan oleh ibu dan mengandung zat
gizi yang diperlukan oleh bayi untuk kebutuhan dan perkembangan bayi.
Bayi hanya diberi ASI saja, tanpa tambahan cairan lain seperti susu
formula, air jeruk, madu, air teh, air putih dan tanpa tambahan makanan
padat seperti pisang, pepaya, bubur susu, biskuit, bubur nasi dan tim,
selama 6 bulan (Mufdlilah, 2017). Manfaat ASI eksklusif bagi bayi
antara lain sebagai nutrisi lengkap, meningkatkan daya tubuh,
meningkatkan kecerdasan mental dan emosional yang stabil serta
spiritual yang matang diikuti perkembangan sosial yang baik, mudah
dicerna dan diserap, memiliki
450 Sr. Anita Sampe, SJMJ, etal, 2020, Relationship between
Exclusive Breastfeeding and Stunting in Toddlers, jiksh Vol.11 No. 1
Juni 2020 komposisi lemak, karbohidrat, kalori, protein dan vitamin,
perlindungan penyakit infeksi, perlindungan alergi karena didalam ASI
mengandung antibodi, memberikan rangsang intelegensi dan saraf,
meningkatkan kesehatan dan kepandaian secara optimal (Mufdlilah, 2017)
Penelitian ini menggunakan pendekatan case control study
yang merupakan penelitian yang membandingkan kelompok kasus dan
kelompok kontrol untuk mengetahui proporsi kejadian berdasarkan
riwayat ada tidaknya paparan disebut juga penelitian retrospektif untuk
melihat hubungan pemberian ASI eksklusif dengan kejadian stunting
pada balita. Tempat penelitian adalah di Kecamatan Buntu Malangka
Kabupaten Mamasa, pada bulan Desember 2019-Februari 2020. Populasi
dalam penelitian ini dipilih dari 7 desa prioritas stunting di Kecamatan
Buntu Malangka Kabupaten Mamasa. Peneliti mengambil 3 desa secara
acak yaitu Desa Penatangan, Ranteberang, dan Kebanga. Populasi dalam
penelitian ini semua balita di Desa Penatangan, Ranteberang, dan
Kebanga yang berjumlah 219 balita. Data diperoleh dengan
melakukan pengukuran TB terhadap anak menggunakan microtoise dan
pengisian kuesioner terhadap ibu. Hasil pengukuran TB selanjutnya diolah
untuk mendapatkan data status gizi anak dengan menggunakan standar
perhitungan z-
451 Sr. Anita Sampe, SJMJ, etal, 2020, Relationship between
Exclusive Breastfeeding and Stunting in Toddlers, jiksh Vol.11 No. 1
Juni 2020 score tinggi badan menurut umur (TB/U) menggunakan tabel
antropometri SK Kemenkes, 2010. Data mengenai riwayat pemberian ASI
eksklusif diperoleh melalui kuesioner yang diisi oleh ibu balita. Data
dianalisis dengan analisis univariat untuk memperoleh gambaran
distribusi frekuensi, analisis bivariat menggunakan uji chi square
untuk memperoleh hubungan pemberian ASI eksklusif dengan kejadian
stunting pada balita dengan tingkat kemaknaan α = 0,05. Selanjutnya
dilakukan uji Odds Ratio (OR) untuk menentukan seberapa besar
hubungan pemberian ASI eksklusif dengan kejadian stunting pada balita.

1.2 Rumusan Masalah


1. Bagaimana gambaran kualitas tidur pasien penderita hipertensi di
kegiatan prolanis Puskesmas Buleleng I tahun 2022?
1.3 Tujuan
1. Mengetahui gambaran kualitas tidur pasien penderita hipertensi di
kegiatan prolanis Puskesmas Buleleng I tahun 2022

1.4 Manfaat
1.4.1 Bagi Peneliti

Memperluas wawasan peneliti serta dapat hasil penelitian


yang dilakukan dapat membantu penelitian kedepannya.

1.4.2 Bagi Masyarakat


Memberikan wawasan terkait kualitas tidur yang menjadi
salah satu faktor risiko penting dalam perkembangan penyakit
hipertensi.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Landasan Teori
2.1.1 Tidur
2.1.1.1 Pendahuluan Tidur
Tidur adalah keadaan fisiologis yang terjadi saat seseorang tidak
terjaga dan tidak aktif secara fisik atau mental. Tidur merupakan
proses yang penting bagi kesehatan seseorang karena dapat membantu
menjaga kesehatan fisik dan mental, meningkatkan produktivitas, dan
menjaga kestabilan emosi. Tidur terdiri dari beberapa tahap, di
antaranya adalah tahap tidur lelap, tahap tidur REM (Rapid Eye
Movement), dan tahap tidur tidak REM. Tahap tidur lelap merupakan
tahap pertama saat seseorang mulai tertidur, tahap tidur REM
merupakan tahap tidur yang terjadi setelah tahap tidur lelap dan
biasanya terjadi sekitar setengah jam pertama saat seseorang tertidur,
sedangkan tahap tidur tidak REM merupakan tahap tidur yang terjadi
setelah tahap tidur REM. (Rahma Reza, R. et al, 2019)
Kualitas tidur mengacu pada kualitas tidur seseorang secara
keseluruhan. Ini adalah ukuran seberapa baik seseorang dapat tertidur,
tetap tertidur, dan mencapai tidur yang nyenyak dan nyenyak. Kualitas
tidur yang baik sangat penting untuk menjaga kesehatan fisik,
kesejahteraan mental, dan kualitas hidup secara keseluruhan. Faktor
yang dapat mempengaruhi kualitas tidur meliputi gangguan tidur,
kebiasaan gaya hidup (seperti konsumsi kafein atau alkohol), dan
faktor lingkungan (seperti tingkat kebisingan atau cahaya di kamar
tidur). Meningkatkan kualitas tidur mungkin melibatkan mengatasi
gangguan tidur yang mendasarinya, membuat perubahan gaya hidup
untuk mendorong kebiasaan tidur yang lebih baik, dan menciptakan
lingkungan tidur yang kondusif. Tidur memengaruhi kualitas hidup
dan kesehatan, yang juga dianggap sebagai variabel penting. Merasa
energik dan bugar setelah tidur digambarkan sebagai kualitas tidur.
Kualitas tidur yang rendah menjadi indikator banyak penyakit medis.
Kualitas
tidur merupakan konsep penting dalam praktik klinik dan penelitian
terkait tentang tidur. (Yilmaz, D et al, 2017)
Kualitas tidur dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, di antaranya
adalah ritme sirkadian, lingkungan tidur, gaya hidup, dan kondisi
kesehatan.

2.1.1.2 Faktor yang Mempengaruhi


1) Ritme Sirkadian

Ritme sirkadian adalah jam biologis tubuh yang mengatur proses


tidur dan bangun. Ritme sirkadian merupakan siklus yang terjadi
secara teratur dalam tubuh manusia yang mengatur proses tidur,
makan, dan aktivitas lainnya. Ritme sirkadian dipengaruhi oleh faktor
lingkungan seperti cahaya dan suhu, serta diprogram oleh genetik
seseorang.

Ritme sirkadian merupakan faktor yang penting dalam kualitas


tidur. Jika ritme sirkadian terganggu, misalnya karena bekerja pada
shift yang tidak teratur atau terlalu banyak menonton layar pada
malam hari, maka kualitas tidur dapat terganggu.

Untuk menjaga ritme sirkadian yang sehat, ada beberapa langkah


yang dapat dilakukan, di antaranya adalah:

 Tidur dan bangun pada waktu yang sama setiap hari.


 Menghindari terlalu banyak menonton layar pada malam hari.
 Mencoba mengatur suhu ruangan agar lebih nyaman saat tidur.
 Mencoba melakukan olahraga secara teratur.
 Mencoba mengatur pola makan agar tidak terlalu dekat
dengan waktu tidur.
2) Lingkungan Tidur

Lingkungan tidur merupakan faktor yang penting dalam kualitas


tidur. Lingkungan tidur yang nyaman dan aman dapat membantu
seseorang tidur dengan nyenyak.
Untuk menciptakan lingkungan tidur yang nyaman, ada beberapa
langkah yang dapat dilakukan, di antaranya adalah:

 Menyiapkan tempat tidur yang nyaman, dengan menggunakan


bantal dan selimut yang empuk serta menggunakan kasur
yang tepat.
 Menjaga suhu ruangan agar tidak terlalu panas atau terlalu
dingin.
 Menghilangkan sumber kebisingan yang dapat mengganggu
tidur, seperti suara TV atau radio.
 Menghilangkan sumber cahaya yang dapat mengganggu tidur,
seperti lampu atau cahaya matahari.
 Menghindari terlalu banyak menonton layar pada malam hari.
 Menghindari mengonsumsi makanan atau minuman yang
dapat mengganggu tidur, seperti kopi atau alkohol.
3) Gaya Hidup
Gaya hidup merupakan faktor yang penting dalam kualitas
tidur. Gaya hidup yang sehat dapat membantu seseorang tidur
dengan nyenyak, sedangkan gaya hidup yang tidak sehat dapat
mengganggu kualitas tidur.
Untuk menjaga gaya hidup yang sehat dan meningkatkan
kualitas tidur, ada beberapa langkah yang dapat dilakukan, di
antaranya adalah:
 Tidur dan bangun pada waktu yang sama setiap hari.
 Melakukan olahraga secara teratur, namun
jangan melakukannya terlalu dekat dengan
waktu tidur.
 Menjaga pola makan yang sehat, hindari makan terlalu
banyak atau terlalu dekat dengan waktu tidur.
 Menghindari konsumsi alkohol atau rokok, karena dapat
mengganggu kualitas tidur.
 Menjaga lingkungan tidur yang nyaman dan aman.
 Menghindari terlalu banyak menonton layar pada malam
hari.
 Mencoba mengatur suhu ruangan agar lebih nyaman saat
tidur.
 Menghindari stres dan cemas dengan melakukan relaksasi
atau meditasi sebelum tidur.
4) Kondisi Kesehatan
Beberapa kondisi kesehatan dapat mengganggu kualitas tidur,
seperti masalah pernapasan, nyeri, atau gangguan tidur seperti
insomnia.
Untuk menjaga kualitas tidur yang sehat, ada beberapa
langkah yang dapat dilakukan, di antaranya adalah:
 Menjaga gaya hidup sehat, seperti melakukan olahraga
secara teratur, menjaga pola makan yang sehat, dan
menghindari konsumsi alkohol atau rokok.
 Menjaga lingkungan tidur yang nyaman dan aman.
 Menghindari terlalu banyak menonton layar pada malam
hari.
 Mencoba mengatur suhu ruangan agar lebih nyaman saat
tidur.
 Menghindari stres dan cemas dengan melakukan relaksasi
atau meditasi sebelum tidur.
 Mengonsultasikan masalah tidur yang dialami kepada
dokter atau ahli kesehatan mental.
 Mengobati kondisi kesehatan yang dapat mengganggu
tidur, seperti masalah pernapasan atau nyeri.
 Menggunakan obat-obatan dengan bijak sesuai anjuran
dokter dan hindari tergantung pada obat-obatan untuk
tidur.
2.1.2 Hipertensi
2.1.2.1 Pendahuluan Hipertensi
Hipertensi atau tekanan darah tinggi adalah peningkatan tekanan
darah arteri yang persisten, dimana tekanan sistolik (SBP) di atas 130
mmHg atau tekanan darah diastolik (DBP) di atas 80 mmHg.
Diagnosis hipertensi ditegakkan bila peningkatan tekanan darah
didapatkan pada pemeriksaan berulang (setidaknya 2 kali) di praktik
klinis. Lebih lanjut, hipertensi dapat dibagi menjadi hipertensi derajat
1 dan derajat 2. (Iqbal, A. M., & Jamal, S. F., 2022) (Unger, T., et al,
2020). Sebagian besar kasus hipertensi yang ditemukan di praktik
merupakan hipertensi esensial, yaitu hipertensi yang pernyebabnya
tidak diketahui atau idiopatik. berbagai mekanisme di duga menjadi
dasar patofisiologi hipertensi, termasuk keterlibatan ginjal, vascular,
dan system saraf pusat. Selain itu, regulasi sodium maupun system
hormonal renin- angiostensin-aldosteron juga diduga berperan dalam
pengaturan tekanan darah. (Oparil, S. et al, 2018) (Iqbal, A. M., &
Jamal, S. F., 2022).

Seperti telah disebutkan di atas, diagnosis hipertensi dapat


ditegakkan jika terjadi peningkatan tekanan darah dari ambang
normalnya. Pada dewasa, tekanan darah dianggap tinggi bila SBP di
atas 130 mmHg atau DBP di atas 80 mmHg. Diagnosis sebaiknya
dibuat dengan pengukuran berulang, sekitar 2-3 kunjungan dengan
interval 1-4 minggu. Diagnosis hipertensi dapat dibuat pada satu
kunjungan, jika tekanan darah 180/110 mmHg atau lebih dan ada
bukti penyakit kardiovaskular (CVD) seperti sindrom koroner akut.
Apabila memungkinkan, diagnosis hipertensi sebaiknya dikonfirmasi
dengan pengukuran out of office, misalnya dengan teknik pengukuran
tekanan darah ambulatori. (Unger, T., et al, 2020)

Penatalaksanaan hipertensi dilakukan dengan modifikasi gaya


hidup dan farmakoterapi. Tujuan penatalaksanaan adalah menurunkan
tekanan darah, mencegah perkembangan penyakit kardiovaskuler,
menurunkan mortalitas, serta menjaga kualitas hidup pasien.
Modifikasi gaya hidup melibatkan modifikasi diet, peningkatan
aktivitas fisik, penurunan berat badan pada pasien obesitas atau
overweight, serta berhenti merokok. Pemilihan obat antihipertensi
bergantung pada komorbiditas yang dimiliki, tolerabilitas, dan juga
mempertimbangkan preferensi pasien. Secara umum, antihipertensi
lini pertama adalah calcium channel blocker (CCB) seperti
amlodipine, ACE inhibitor seperti captopril, angiotensin receptor
blocker (ARB) seperti valsartan, dan diuretik seperti
hydrochlorothiazide. (Iqbal, A. M., & Jamal, S. F., 2022) (Oparil, S.,
et al, 2018).

2.1.2.2 Patofisiologi Hipertensi


Patofisiologi hipertensi melibatkan peningkatan tekanan darah,
yang jika terjadi secara kronis akan menyebabkan kerusakan target
organ. Peningkatan tekanan darah dapat terjadi akibat abnormalitas
pada resistensi perifer ataupun cardiac output. Patofisiologi hipertensi
juga melibatkan sistem renin-angiotensin-aldosteron.

a. Peran Ginjal dan Volume Cairan Tubuh

Ginjal memiliki peran penting dalam pengaturan tekanan darah.


Ginjal memproduksi dan meregulasi renin yang merangsang
angiotensin I-converting enzyme (ACE) untuk membentuk
angiotensin II dari angiotensin I yang disebut juga sebagai renin-
angiotensin system (RAS).

Angiotensin II merupakan peptida vasoaktif yang berperan dalam


konstriksi pembuluh darah, sehingga peningkatannya akan
meningkatkan tekanan darah. Selain itu, ginjal juga berperan dalam
mengatur diuresis dan natriuresis, di mana kegagalan fungsi ini
menyebabkan peningkatan volume cairan dan kadar natrium darah,
sehingga terjadi peningkatan tekanan darah.

Ginjal juga memiliki persarafan aferen yang dapat mengirimkan


sinyal ke sistem saraf pusat, sehingga terjadi refleks yang merangsang
peningkatan tonus sistem saraf eferen dan menyebabkan
vasokonstriksi pembuluh darah.

b. Peran Vaskulatur

Mekanisme vaskular, termasuk ukuran, reaktivitas, dan elastisitas


pembuluh darah juga memainkan peran penting dalam terjadinya
hipertensi. Hipertensi sering dikaitkan dengan vasokonstriksi yang
dapat disebabkan oleh peningkatan hormon vasokonstriktor, seperti
angiotensin II, katekolamin, dan vasopresin. Selain itu, gangguan
vasodilatasi juga dapat berperan dalam terjadinya hipertensi.

Hipertensi juga dapat disebabkan oleh adanya gangguan


anatomis pada vaskular, seperti kakunya arteri besar, sehingga tidak
terjadi distensi saat sistol dan recoil saat diastole.

c. Peran Sistem Saraf Pusat

Sistem saraf pusat berperan dalam patofisiologi hipertensi melalui


aktivitas simpatetik akibat sinyal saraf aferen. Aktivitas simpatetik
yang menyebabkan peningkatan tekanan darah, antara lain
peningkatan vasokonstriksi dan remodelling vaskular, produksi renin
oleh ginjal, dan peningkatan resorpsi natrium oleh ginjal.

Pada orang dengan obesitas, saraf aferen dari jaringan adiposa


yang dirangsang oleh diet tinggi lemak mengirimkan sinyal refleks
untuk meningkatkan tekanan darah dan resistensi insulin.

d. Peran Endokrin

Selain angiotensin II, aldosteron juga memiliki peran dalam


terjadinya hipertensi. Keberadaan angiotensin II menyebabkan
pelepasan aldosteron oleh kelenjar adrenal. Aldosteron diketahui
meningkatkan resorpsi natrium oleh ginjal dan menurunkan diuresis.
e. Peran Mekanisme Imun

Pada orang dengan hipertensi, sel inflamasi diketahui terakumulasi


di ginjal dan pembuluh darah. Sel inflamasi dapat memproduksi
sitokin, termasuk interleukin, spesies oksigen reaktif, dan
metaloproteinase yang ikut mengatur fungsi dan struktur ginjal dan
vaskular. Namun, penyebab aktivasi sel inflamasi ini masih belum
diketahui, di mana diduga sel inflamasi aktif akibat adanya aktivasi
endotel pembuluh darah

f. Peran Genetik

Genetik diduga kuat berperan penting dalam patofisiologi


hipertensi. Kasus hipertensi yang diturunkan dalam keluarga cukup
umum ditemukan. Namun, hingga saat ini, beberapa mutasi genetik
gen tunggal yang dicurigai menyebabkan hipertensi belum dapat
menjelaskan fenomena hipertensi yang diturunkan dalam keluarga.

2.1.2.3 Etiologi dan Faktor Resiko Hipertensi


Berdasarkan etiologi, hipertensi dapat dibagi menjadi hipertensi
esensial dan hipertensi sekunder. Faktor risiko hipertensi dapat berupa
faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi, seperti usia dan jenis
kelamin, serta faktor risiko yang dapat dimodifikasi seperti berat
badan.

a. Hipertensi Esensial

Hipertensi esensial merupakan jenis hipertensi yang paling banyak


terjadi. Penyebab hipertensi esensial tidak diketahui atau idiopatik.
(Oparil, S., et al, 2018) (Jordan J., et al, 2018)

b. Hipertensi Sekunder

Hipertensi sekunder merupakan hipertensi yang penyebabnya


diketahui. Hipertensi sekunder meliputi sekitar 5–10% kasus
hipertensi. Contoh etiologi hipertensi sekunder adalah penyakit ginjal
kronik, hipertiroid, kehamilan, dan obat seperti ibuprofen dan
naproxen.
Etiologi dan faktor risiko penyakit hipertensi dalam kehamilan dibahas
dalam artikel terpisah. (Unger, T., et al, 2020) (Charles L., et al, 2017)

c. Faktor Resiko

Faktor risiko terjadinya hipertensi dapat terbagi menjadi dua, yaitu


faktor yang tidak dapat dimodifikasi dan yang dapat dimodifikasi.
(Iqbal, A. M., & Jamal, S. F., 2022) (Hedge S., et al, 2022) (Pinto IC.,
et al, 2017)

1. Faktor Risiko Tidak Dapat Dimodifikasi

Faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi, antara lain:

 Jenis kelamin laki-laki


 Usia ≥55 tahun pada laki-laki, serta ≥65 tahun pada perempuan
 Riwayat penyakit kardiovaskuler pada kerabat tingkat pertama
 Riwayat hipertensi pada keluarga
 Menopause

2. Faktor Risiko Dapat Dimodifikasi

Faktor risiko yang dapat dimodifikasi, antara lain:

 Merokok atau riwayat pernah merokok


 Dislipidemia
 Gula darah puasa 102–125 mg/dL
 Hiperurisemia
 Obesitas: indeks massa tubuh ≥30 kg/m2 atau lingkar perut ≥102 cm
pada laki-laki dan ≥88 cm pada perempuan
 Denyut jantung >80 kali per menit saat istirahat
 Gaya hidup kurang bergerak (sedentary lifestyle)
2.1.2.4 Epidemiologi Hipertensi

Epidemiologi hipertensi secara global diperkirakan mencapai 45%


dari populasi dewasa. Di Indonesia sendiri, 34,11% populasi dewasa
mengalami hipertensi.

Secara global, diperkirakan lebih dari 1 miliar orang mengalami


peningkatan tekanan darah yang masuk kriteria hipertensi. Prevalensi
hipertensi yang tinggi ini konsisten pada seluruh golongan
sosioekonomi, dengan prevalensi yang meningkat seiring pertambahan
usia. Angka prevalensi hipertensi dapat mencapai 60% pada populasi
dengan usia lebih dari 60 tahun. Diperkirakan jumlah pasien dengan
hipertensi dalam skala global akan meningkat sekitar 15-20% hingga
mencapai 1,5 miliar pada tahun 2025. (Iqbal, A. M., & Jamal, S. F.,
2022) (Mills, K.T., et al, 2020)

Berdasarkan Laporan Nasional Riset Kesehatan Dasar 2018


terhadap 658.201 subjek penelitian dari seluruh provinsi di Indonesia,
prevalensi hipertensi menurut diagnosis dokter pada populasi dewasa
berada pada angka 8,36%. Angka ini terlampau jauh dari prevalensi
hipertensi berdasarkan hasil pengukuran tekanan darah yang berada
pada angka 34,11%. Data tersebut menunjukkan tingginya prevalensi
hipertensi yang belum terdeteksi di masyarakat Indonesia. Selain itu,
kepatuhan minum obat secara rutin pada subjek yang telah didiagnosis
hipertensi hanya berada pada 54,40%. (RISKESDAS, 2018)

Hipertensi tidak langsung menjadi penyebab kematian pada


penderitanya, melainkan menjadi faktor yang sangat penting dalam
peningkatan kejadian penyakit kardio-serebrovaskular. Hal ini
menyebabkan mortalitas hipertensi secara global menjadi sangat
tinggi, di mana tekanan darah sistolik ≥140 mmHg dikaitkan dengan
14,0% dari seluruh kematian di dunia. Tekanan darah sistolik ≥140
mmHg juga dikaitkan dengan 40,1% mortalitas akibat penyakit
jantung
iskemik, 38,1% mortalitas akibat stroke iskemik, dan 42,5% mortalitas
akibat stroke hemoragik. (Oparil, S., et al, 2018) (Jordan J., et al,
2018)

2.1.2.5 Diagnosis Hipertensi


Diagnosis hipertensi ditegakkan jika terdapat peningkatan tekanan
darah dari ambang normalnya. Hipertensi umumnya didefinisikan
sebagai tekanan sistolik (SBP) di atas 130 mmHg atau tekanan darah
diastolik (DBP) di atas 80 mmHg pada pasien dewasa. Pengukuran
tekanan darah oleh petugas kesehatan sebaiknya dilakukan berulang
pada 2-3 kunjungan dengan interval 1-4 minggu. Selain itu, apabila
memungkinkan dapat dilakukan pengukutan out of office, seperti
pengukuran dengan teknik ambulatori, yang dapat membantu
mengeksklusi white coat hypertension.

1) Anamnesis
Sebagian besar pasien dengan hipertensi tidak memiliki gejala
apapun. Pada kasus hipertensi esensial, hipertensi bersifat idiopatik
atau tidak terdapat penyebab dasar yang bisa diidentifikasi. Pada kasus
hipertensi sekunder, dokter perlu mengidentifikasi keluhan-keluhan
untuk mengetahui penyebab hipertensi, misalnya penyakit ginjal
kronik atau hipertiroid.
 Gejala

Sebagian besar pasien tidak memiliki gejala ketika mengidap


hipertensi. Jika bergejala, gejala yang sering dialami/dikeluhkan
pasien adalah nyeri kepala. Gejala yang dialami terkait dengan
komplikasi hipertensi antara lain fatigue, sesak napas saat beraktivitas,
kaki bengkak, kelemahan salah satu sisi tubuh, dan pengelihatan
buram. Komplikasi dari hipertensi dapat berupa kejadian kardio-
serebrovaskular, seperti gagal jantung kongestif dan stroke.
 Riwayat Kejadian Kardiovaskular

Pasien perlu ditanyakan terkait dengan Riwayat sebelumnya


apakah sudah didiagnosis hipertensi. Selain itu tanyakan riwayat
penyakit kardiovaskular sebelumnya yakni sindrom koroner akut,
gagal jantung, penyakit ginjal kronis, penyakit arteri perifer, sleep
apnea, stroke, transient ischemic attack (TIA), ataupun demensia.

 Faktor Resiko

Faktor resiko juga perlu ditanyakan untuk menilai resiko


komplikasi penyakit kardiovaskular serta perencanaan terapi. Hal
yang perlu ditanyakan yakni komorbiditas terkait resiko penyakit
kardiovaskular seperti diabetes, displidemia, serta gaya hidup seperti
inaktivitas fisik, kebiasaan merokok, dan konsumsi alcohol.

 Riwayat Konsumsi Obat

Hal ini perlu ditanyakan untuk penyesuaian jenis dan dosis


antihipertensi pada pasien yang sudah sering berobat untuk masalah
hipertensi. Selain itu, dokter juga perlu mengevaluasi penggunaa obat
yang memiliki efek memicu kenaikan tekanan darah, misalnya pil
kontrasepsi, pseufoephedrine, serta narkoba seperti kokain dan ekstasi.

2) Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik utama yang dilakukan adalah pemeriksaan
tekanan darah. Selain itu, dapat dilakukan pemeriksaan fisik yang
mengevaluasi target organ untuk mengetahui adanya penyebab
sekunder atau kemungkinan komplikasi
 Pengukuran Tekanan Darah

Pemeriksaan tekanan darah sendiri sebaiknya tidak dilakukan


hanya satu kali, melainkan 2-3 kali pemeriksaan dalam jarak
pemeriksaan 1– 4 minggu di fasilitas pelayanan kesehatan. Selain itu,
pemeriksaan tekanan darah mandiri di rumah atau home blood
pressure measurement (HBPM) maupun pengukuran tekanan darah
selama 24 jam atau 24-
hour ambulatory blood pressure (ABPM) perlu dilakukan, terutama
bila nilai tekanan darah dicurigai berubah saat bertemu dengan tenaga
kesehatan (white coat hypertension). Spigmomanometer yang
digunakan juga merupakan jenis aneroid atau digital yang telah
dikalibrasi tiap 6–12 bulan. Pasien dapat diminta istirahat 10-30 menit
untuk mencegah bias hasil pemeriksaan. (Oparil, S., et al, 2018)
(Iqbal,
A. M., & Jamal, S. F., 2022)

Perhatian Khusus dalam Pengukuran Tekanan Darah:

Saat dilakukan pengukuran tekanan darah, posisi pasien sebaiknya


duduk dengan posisi lengan setinggi jantung, punggung bersandar
serta tungkai tidak menyilang. Posisi yang tidak sesuai terbukti
memberikan hasil pengukuran yang lebih tinggi. Pasien sebaiknya
tidak berbicara saat dilakukan pengukuran. Pengukuran juga dilakukan
minimal setelah 5 menit pasien duduk. Setelah posisi tepat, lakukan
pengukuran tekanan darah.

Pompa manset tensimeter hingga pulsasi arteri radialis menghilang.


Lanjutkan pompa tensimeter hingga 30 mmHg di atas sistolik (di atas
batas nilai saat pulsasi menghilang). Letakan stetoskop pada area
arteri brakialis dengan penekanan ringan. Kempeskan manset tensi
perlahan dengan kecepatan 2 sampai 3 mmHg per denyut nadi. SBP
ditandai dengan Korotkoff fase I (bunyi pulsasi yang terdengar
pertama kali). Bunyi pulsasi akan perlahan menghilang. Bunyi
terakhir yang terdengar atau dikenal dengan Korotkoff fase V
merupakan DBP. (Whelton PK., et al, 2017) (Williams B., et al, 2018)

 Pemeriksaan Fisik Lainnya

Pemeriksaan antropometri sebaiknya dilakukan pada semua pasien.


Perhitungan indeks massa tubuh (IMT) diperlukan untuk pemantauan
berat badan. Obesitas terbukti merupakan faktor risiko hipertensi.
Selain tinggi dan berat badan, ukur juga lingkar pinggang pasien.
Selain antropometri, perlu dilakukan evaluasi terkait komplikasi
hipertensi:

a. Pemeriksaan neurologis lengkap harus dilakukan jika secara


klinis terdapat gejala stroke
b. Pemeriksaan mata: Hipertensi dapat menimbulkan kerusakan
pada fundus okuli. Selain itu cek ada tidaknya xanthoma
sebagai tanda gangguan metabolisme lipid
c. Tanda kongesti: Pada pasien gagal jantung dapat ditemukan
tanda kongesti seperti peningkatan tekanan vena jugularis,
ronki basah halus, hepatomegali dan pitting edema.
Pembesaran ventrikel kiri dapat dicurigai jika apeks teraba
bergeser ke lateral saat palpasi
d. Pulsasi: Penyakit arteri perifer dapat ditandai dengan melemah
bahkan hilangnya pulsasi perifer. (Iqbal, A. M., & Jamal, S. F.,
2022) (Unger, T., et al, 2020) (Lukito AA., et al, 2019)

3) Diagnosis Banding
Diagnosis banding yang perlu dipertimbangkan pada pasien
dengan hipetensi sekunder adalah hiperaldosteronisme, koarktasio
aorta, stenosis arteri renal, dan penyakit gunjal kronis.
 Hipersldosteronisme

Hiperaldosteronisme adalah penyakit di mana kelenjar adrenal (s)


membuat terlalu banyak aldosteron yang menyebabkan hipertensi
(tekanan darah tinggi) dan kadar kalium darah rendah.

 Koarktasio Aorta

Koarktasio aorta dapat menimbulkan tekanan darah tinggi.


Koarktasio aorta adalah penyempitan aorta yang menyebabkan
jantung harus memompa lebih keras untuk membuat darah dapat
melewati aorta. Koarktasio aorta umumnya timbul sebagai cacat
jantung bawaan. Kondisi ini mungkin tidak terdeteksi sampai dewasa.
 Stenosis Arteri Renal

Stenosis arteri renal adalah penyempitan salah satu atau kedua


arteri ginjal. Kondisi ini merupakan salah satu penyebab utama
hipertensi

 Penyakit Ginjal Kronis

Hipertensi merupakan penyebab dan akibat dari penyakit ginjal


kronis (PGK) dan mempengaruhi sebagian besar pasien PGK.
Pemeriksaan laboratorium urine dan fungsi ginjal dapat mendeteksi
adanya PGK

 Jenis Hipertensi

Terdapat berbagai jenis diagnosis hipertensi menurut etiologi, hasil


tekanan darah, maupun kondisi yang mempengaruhi, antara lain:

o Hipertensi esensial: Hipertensi dengan etiologi idiopatik


o Hipertensi sekunder: Hipertensi yang diketahui
penyebabnya, misalnya akibat konsumsi obat tertentu,
gangguan fungsi ginjal, atau hipertiroid
o Hipertensi resisten: Hipertensi yang tidak dapat diobati
hingga mencapai target tekanan darah <140/90 mmHg
meskipun telah mendapatkan 3 antihipertensi berbeda
golongan serta menjalani rekomendasi perubahan gaya
hidup
o Krisis hipertensi: Hipertensi dengan tekanan darah sistolik
≥180 mmHg atau diastolik ≥110 mmHg, dapat disertai
dengan hypertension-mediated organ damage (hipertensi
emergensi) maupun tanpa hypertension-mediated organ
damage (hipertensi urgensi)
o Hipertensi jas putih (white coat hypertension): Hipertensi
dengan tekanan darah tinggi saat diperiksa di fasilitas
pelayanan kesehatan, namun hasil pengukuran dengan
metode HBPM atau ABPM menunjukkan hasil tekanan
darah normal
o Hipertensi terselubung (masked hypertension): Hipertensi
dengan tekanan darah normal saat diperiksa di fasilitas
pelayanan kesehatan, namun hasil pengukuran dengan
metode HBPM atau ABPM menunjukkan hasil hipertensi.
(Unger, T., et al, 2020) (Oparil, S., et al, 2018) (Jordan J.,
et al, 2018)

4) Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan penunjang sebaiknya dilakukan pada pasien dengan


hipertensi sebagai penapisan terhadap end-organ damage.

 Pemeriksaan Penunjang Dasar

Pemeriksaan penunjang dasar rutin yang perlu segera dilakukan,


antara lain:

o Pemeriksaan laboratorium: Fungsi ginjal dengan elektrolit dan


perhitungan laju filtrasi glomerulus (estimated glomerular
filtration rate), profil lipid, dan gula darah puasa
o Pemeriksaan dipstick urine
o Elektrokardiografi 12-lead
 Pemeriksaan Penunjang pasa Kecurigaan Hypertension-Mediated
Organ Damage

Bila terdapat kecurigaan kuat terjadinya hypertension-


mediated organ damage, perlu dilakukan pemeriksaan penunjang
tambahan. Pemeriksaan pencitraan yang mungkin diperlukan antara
lain echocardiography, carotid ultrasound, pencitraan renovaskuler
dengan ultrasound maupun angiografi dengan computed tomography
(CT) atau magnetic resonance imaging (MRI), funduskopi, dan CT
scan atau MRI kepala. Pemilihan pemeriksaan penunjang dilakukan
sesuai indikasi. Echocardiography dapat bermanfaat pada pasien yang
dicurigai mengalami iskemia atau gagal jantung. CT scan dan MRI
kepala bermanfaat pada kecurigaan TIA atau stroke. Doppler
perifer dapat
digunakan untuk melihat struktur pembuluh darah, misalnya pada
deep vein thrombosis dan penyakit arteri perifer. USG ginjal
digunakan untuk melihat adanya kelainan pada ginjal, misalnya batu
ginjal atau kista ginjal. (Jordan J., et al, 2018) (Whelton PK., et al,
2017) (Williams B., et al, 2018)

2.1.2.6 Tatalaksana
Tujuan penatalaksanaan hipertensi adalah menurunkan tekanan
darah, mencegah perkembangan penyakit kardiovaskuler, menurunkan
mortalitas, serta menjaga kualitas hidup pasien. Penatalaksanaan
mencakup modifikasi gaya hidup dan pemberian medikamentosa.

1) Modifikasi Gaya Hidup


Modifikasi gaya hidup harus menjadi terapi lini pertama dalam
penatalaksanaan hipertensi. Modifikasi gaya hidup juga dapat
meningkatkan efikasi medikamentosa yang dikonsumsi oleh pasien.
Pemberian terapi farmakologi dapat ditunda pada pasien hipertensi
derajat 1 dengan risiko komplikasi penyakit kardiovaskular rendah.
Jika dalam 4-6 bulan tekanan darah belum mencapai target atau
terdapat faktor risiko penyakit kardiovaskular lainnya maka
pemberian medikamentosa sebaiknya dimulai.

 Penurunan Berat Badan

Penurunan berat badan akan bermanfaat pada pasien dengan


obesitas atau overweight. Penurunan berat badan dilakukan perlahan
hingga mencapai berat badan ideal dengan cara terapi nutrisi medis
dan peningkatan aktivitas fisik dengan latihan jasmani.

 Modifikasi Diet

Diet tinggi garam akan meningkatkan retensi cairan tubuh. Asupan


garam sebaiknya tidak melebihi 2 gr/ hari.
Diet DASH merupakan salah satu diet yang direkomendasikan
pada pasien hipertensi. Diet ini pada intinya mengandung makanan
kaya sayur dan buah, serta produk rendah lemak. Makanan yang
dihindari yakni jeroan, daging kambing, makanan yang diolah
menggunakan garam natrium, makanan dan minuman dalam kemasan,
makanan yang diawetkan, mentega dan keju. Pasien juga dianjurkan
menghindari konsumsi bumbu-bumbu tertentu (kecap asin, terasi,
petis, saus tomat, saus sambal, tauco dan bumbu penyedap lain), serta
makanan dan minuman yang mengandung alkohol.

 Aktivitas Fisik

Aktivitas fisik regular telah dilaporkan membantu penurunan


tekanan darah, terutama pada kasus hipertensi resisten. Rekomendasi
terkait olahraga yakni olahraga aerobic dan Latihan resistensi secara
teratur sebanyak 30 menit/hari pada 3-5 hari/minggu

 Modifikasi Gaya Hidup Lain

Minta pasien mengurangi konsumsi alkohol. Pembatasan konsumsi


alkohol tidak lebih dari 2 gelas per hari pada pria atau 1,5 gelas per
hari pada wanita dapat menurunkan tekanan darah.

Penderita hipertensi juga dianjurkan untuk berhenti merokok demi


menurunkan risiko komplikasi penyakit kardiovaskular. Selain itu
diperlukan manajemen stres yang baik karena stres diketahui dapat
meningkatkan tekanan darah

2) Medikamentosa
Terapi medikamentosa perlu segera dimulai pada hipertensi derajat
1 dengan risiko tinggi maupun dengan riwayat penyakit komorbid
seperti stroke, penyakit ginjal kronik, diabetes mellitus, dan
hypertension-mediated organ damage dan. Farmakoterapi juga
dilakukan pada setiap kasus hipertensi derajat 2.
Pada hipertensi derajat 1 dengan risiko rendah-sedang dan tanpa
disertai komorbiditas, terapi medikamentosa dimulai setelah 3–6 bulan
modifikasi gaya hidup tidak menyebabkan tekanan darah terkontrol.
Target reduksi tekanan darah setidaknya 20/10 mmHg dalam 3 bulan,
tetapi sebaiknya hingga <140/90 mmHg. Bila memungkinkan, target
tekanan darah dilakukan berdasarkan usia, yaitu:
 <65 tahun : Target tekanan darah <130/80 mmHg bila dapat
ditoleransi
 ≥65 tahun: Target tekanan darah <140/90 mmHg bila dapat
ditoleransi

3) Penanganan Hipertensi Resisten


Hipertensi resisten didefinisikan sebagai tekanan darah di
atas140/90 mm Hg pada pasien yang telah mendapat terapi dengan
tiga atau lebih obat antihipertensi pada dosis optimal atau yang dapat
ditoleransi, termasuk diuretik. Hipertensi resisten mempengaruhi
sekitar 10% pasien hipertensi, serta meningkatkan risiko kerusakan
organ target.
Dalam melakukan penatalaksanaan hipertensi resisten, dokter perlu
menyingkirkan terlebih dulu pseudoresistensi, misalnya akibat white
coat hypertension atau kepatuhan terapi yang buruk. Selanjutnya,
perlu dilakukan skrining terhadap penyebab sekunder hipertensi.
Lakukan optimalisasi terapi yang sudah dijalani, serta dapat
ditambahkan agen ke-4 berupa spironolactone dosis rendah. Jika
spironolactone tidak dapat diberikan, pilihan terapi alternatif adalah
amilorid, doxazosin, eplerenone, dan clonidine.
4) Penanganan Hipertensi Sekunder
Pertimbangkan skrining utnuk hipertensi sekunder pada:
 Pasien dengan hipertensi onset dini (<30 tahun) khususnya jika
pasien tidak memiliki faktor risiko hipertensi, seperti obesitas,
sindrom metabolik, atau riwayat keluarga
 Pasien dengan hipertensi resisten
 Pasien dengan penurunan mendadak dalam kontrol tekanan
darah
 Hipertensi urgensi dan emergensi
 Pasien yang memiliki kemungkinan tinggi hipertensi sekunder
berdasarkan analisis klinis

Skrining dasar untuk hipertensi sekunder harus mencakup penilaian


menyeluruh dari riwayat klinis, pemeriksaan fisik, elektrolit, fungsi
ginjal, fungsi tiroid, dan analisis urine dipstick. Pada pasien dengan
hipertensi sekunder, lakukan rujukan pada spesialis terkait dan
lakukan penanganan multidisiplin.

5) Penanganan Hipertensi dalam Kehamilan


Hipertensi dalam kehamilan mempengaruhi 5-10% kehamilan di
seluruh dunia. Adanya hipertensi pada kehamilan akan meningkatkan
risiko ibu berupa solusio plasenta, stroke, kegagalan organ multipel,
dan koagulasi vaskular diseminata. Pada janin, hipertensi akan
meningkatkan risiko retardasi pertumbuhan intrauterine, kelahiran
prematur, dan kematian intrauterine. Penanganan hipertensi dalam
kehamilan dibahas dalam artikel terpisah.

6) Penanganan Hipertensi pada Pasien dengan Penyakit Jantung Koroner


Pasien hipertensi dengan komorbid penyakit jantung koroner
mengalami peningkatan risiko infark miokard akut. Penanganan mirip
dengan pasien hipertensi pada umumnya, meliputi modifikasi gaya
hidup dan farmakoterapi. Obat antihipertensi yang direkomendasikan
adalah beta bloker dengan atau tanpa CCB.
Selain itu, pasien juga memerlukan obat antidislipidemia dengan
target penurunan kolesterol-LDL hingga di bawah 55 mg/dl. Pasien
juga direkomendasikan mendapat aspirin.

7) Penanganan Hipertensi pada Pasien dengan Stroke


Hipertensi meningkatkan risiko serangan stroke dan rekurensi
stroke. Kontrol tekanan darah dapat mencegah kejadian stroke. Obat
antihipertensi yang disarankan mencakup ACE inhibitor, ARB, CCB,
dan diuretik.
Pasien juga perlu mendapat obat antidislipidemia dengan target
kolesterol-LDL di bawah 70 mg/dl. Antiplatelet, seperti aspirin,
mungkin diperlukan pada pasien dengan riwayat stroke iskemik.
Pemberian antiplatelet perlu berhati-hati pada pasien dengan riwayat
stroke hemoragik.
8) Penanganan Hipertensi pada Pasien dengan Gagal Jantung
Hipertensi merupakan faktor risiko gagal jantung kongestif.
Penurunan tekanan darah akan bermanfaat menurunkan risiko gagal
jantung dan keperluan rawat inap pada pasien gagal jantung.
Obat antihipertensi yang disarankan adalah ACE inhibitor, ARB,
dan anatagonis reseptor mineralokortikoid seperti spironolactone.
Penggunaan dilaporkan bermanfaat pada pasien dengan penurunan
fraksi ejeksi.
9) Penanganan Hipertensi pada Pasien dengan Penyakit Ginjal Kronis
Hipertensi merupakan faktor risiko dan dapat memperburuk fungsi
ginjal pada pasien dengan penyakit ginjal kronis. ACE inhibitor dan
ARB direkomendasikan sebagai lini pertama karena dapat
menurunkan albuminusia. CCB dan loop diuretic dapat ditambahkan
jika perlu. Laju filtrasi glomerulus, mikroalbuminuria, dan kadar
elektrolit perlu dipantau
10) Penanganan Hipertensi pada Pasien dengan Penyakit Paru Obstruktif
Kronis
Hipertensi merupakan komorbiditas tersering pada pasien dengan
penyakit paru obstruktif kronis. Antihipertensi yang disarankan adalah
ARB dan CCB dengan atau tanpa diuretic
11) Penanganan Hipertensi pada Pasien dengan Diabetes
Antihipertensi yang disarankan pada pasien diabetes adalah ACE
inhibitor atau ARB, CCB, dengan atau tanpa diuretik. Pemberian
statin, seperti atorvastatin, disarankan sebagai profilaksis primer jika
kadar kolesterol LDL melebihi 100 mg/dl pada diabetes tanpa
komplikasi target organ atau di atas 70 mg/dl jika sudah ada
komplikasi.
12) Penanganan Hipertensi pada Pasien dengan Dislipidemia
Pada pasien hipertensi dengan dislipidemia, antihipertensi yang
disarankan adalah ACE inhibitor atau ARB dengan CCB. Obat
penurun kadar lipid yang disarankan adalah ezetimibe dan PCSK9
inhibitor seperti evolocumab. Fenofibrat dapat diberikan pada pasien
dengan kadar HDL rendah atau trigliserida tinggi.

2.2 Penelitian yang Relevan


Beberapa penelitian yang relevan pada penelitian ini akan dijabarkan sebagai
berikut.

a. Penelitian yang berjudul “Gambaran Kualitas Tidur Pada


Penderitahipertensi” oleh Putwi Rizki Sakinah et al, pada tahun 2018,
yang menyatakan bahwa kualitas tidur pada penderita hipertensi di
Puskesmas Rancaekek dengan menggunakan kuesioner PSQI
yangmengevaluasi tidur selama satu bulan terakhir dengan
pengambilan data dalam satu waktu didapatkan hasil bahwa yang
memiliki kualitas tidur buruk sebanyak 94,9% dan hanya 5,1% yang
memiliki kualitas tidur baik. Kualitas tidur subjektif 51,9%
mengatakan cukup baik, latensi tidur 43,0% dimana penderita
hipertensi pada item tidak dapat tertidur dalam waktu 30 menit
dengan
≥3 kali dalam seminggu, sebanyak 67,1% memiliki durasi tidur <5
jam, 45,6% memiliki efisiensi kebiasaan tidur <65%, gangguan
tidur sebanyak 64,6% yang mengalami terbangun di tengah malam
atau pagi-pagi sekali, terbangun karena ingin ke toilet dengan masing-
masing ≥3 kali dalam seminggu, 100% tidak menggunakan obat tidur,
dan mengalami gangguan aktivitas pada siang hari 44,3%.
b. Penelitian yang berjudul “Hubungan Kualitas Tidurdengan Tekanan
Darah Penderitahipertensidi Wilayah Kerja Puskesmas Purwosari
Metro Utara Tahun 2017” oleh Umi Romayati Keswaraet al, pada
tahun 2017 yang menyatakan bahwa Distribusi frekuensi karakteristik
responden sebagian besar berusia >50 tahun (71,1%), jenis kelamin
laki-laki (61,4%), pendidikan SD (47,2%), pekerjaan wiraswasta
(40,6%). Distribusi rata-rata kualitas tidur penderita hipertensi adalah
7,10 standar deviasi 2,424. Distribusi rata-rata tekanan darah penderita
hipertensi adalah 167,31/108,50 mmHg dengan standar deviasi
13,817/10,328. Hasil analisis dengan uji Rank Spearman’s rho
menunjukkan ada hubungan antara kualitas tidur dengan tekanan
darah penderita hipertensi (p-value=0,000 < 0,05). Nilai korelasi
yang didapatkan 0,496 arah positif dengan kekuatan hubungan sedang.
c. Penelitian yang berjudul “Hubungankualitas Tidur Dengan Tekanan
Darah Pasien Hipertensi Di Puskesmas Mojolangukota Malang” oleh
Wahid Nur Alfi dan Roni Yuliwar pada tahun 2017 menyatakan bahwa
sebagian besar penderita hipertensi berjenis kelamin perempuan.
Karakteristik responden berdasarkan usia, didapatkan bahwa sebagian
besar responden yang menderita hipertensiberada pada kelompok usia
41-60 tahun.Rata-rata responden yang hipertensi memiliki kualitas
tidur yang buruk. Sebagian besar responden mengungkapkan alasan
mereka memiliki kualitas tidur jelek karena sering terbangun untuk ke
kamar mandi pada malam hari sering merasa sakit dan pusing kepala
sehingga membuat tidur tidak nyenyak, sulit memulai tidur dan bahkan
ada yang tidak bisa tertidur sampai dengan 30 menit
d. Penelitian yang berjudul “Hubungan Kualitas Tidur Dengan Tingkat
Kekambuhan Hipertensi Pada Lansia Di Kelurahan Tlogomas Kota
Malang” oleh Hafiez Amanda et al, tahun 2017 yang menyatakan
Lebih
dari separuh lansia (60,0%) mengalami kualitas tidur buruk di RW 08
Kelurahan Tlogomas Kota Malang. Lebih dari separuh lansia (56,7%)
mengalami tingkat kekambuhan hipertensi dengan komplikasi di
RW 08 Kelurahan Tlogomas Kota Malang. Ada hubungan yang
signifikan antara kualitas tidur dengan tingkat kekambuhan hipertensi
pada lansia di RW 08 Kelurahan Tlogomas Kota Malang dengan p-
value= (0,000) < (0,050).
e. Penelitian yang berjudul “Kualitas Tidurberhubungandengan
Perubahan Tekanan Darah Pada Lansia” oleh Harsismanto J, et al,
tahun 2020 yang menyatakan berdasarkan hasil penelitian maka dapat
diambil kesimpulan ada hubungan yang signifikan dan kuat antara
kualitas tidur dengan perubahan tekanan darah pada lansia hipertensi di
Panti Sosial Tresna Wherda Provinsi Bengkulu. Kualitas tidur yang
buruk berpengaruh terhadap tekanan darah lansia dengan hipertensi.
2.3 Kerangka Konseptual

Jam Sirkadian Gaya Hidup

Lingkungan Tidur Kondisi Kesehatan

Kualitas
Tidur

Hipertensi

Merokok Kondisi Kesehatan

Genetik Umur

Gaya Hidup Jenis Kelamin

Variabel Bebas: Variabel Diteliti :


Kualitas Tidur
Variabel Tidak Diteliti :
Variabel Terikat :
Hipertensi
BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Tempat dan Waktu Penelitian


Tempat Penelitian : Puskesmas Buleleng I

Waktu Penelitian : Bulan Maret Sampai Oktober 2023

3.2 Desain/Rancangan Penelitian


Rancangan penelitian kualitas tidur adalah sebuah studi yang
dirancang untuk mengukur dan mengevaluasi kualitas tidur seseorang atau
sekelompok orang. Penelitian ini dapat dilakukan dengan berbagai metode,
termasuk menggunakan kuesioner, wawancara, observasi, dan penggunaan
alat pengukur tidur seperti poligrafi atau actigraphy.

Teknik pengumpulan data yang akan digunakan dalam penelitian


ini adalah wawancara, kuesioner, dan pengukuran tekanan darah secara
periodik. Wawancara akan dilakukan untuk mengetahui latar belakang dan
kebiasaan tidur penderita hipertensi, sedangkan kuesioner akan digunakan
untuk mengetahui tingkat kepuasan tidur penderita hipertensi. Pengukuran
tekanan darah akan dilakukan secara periodik untuk mengetahui kontrol
tekanan darah penderita hipertensi.

Untuk penelitian ini penulis akan melakukan penilaian terhadap


kualitas tidur yang dimiliki oleh pasien penderita hipertensi yang
mengikuti kegiatan prolanis di Puskesmas Buleleng I. Penelitian ini akan
menggunakan formular/kuisioner Pittsburg Sleep Quality Index (PSQI)
yang dimana PSQI adalah kuesioner penilaian diri yang menilai kualitas
dan gangguan tidur selama interval waktu 1 bulan. PSQI berisi 19
pertanyaan yang dinilai sendiri dan 5 pertanyaan yang dinilai oleh
pasangan tidur atau teman sekamar (jika tersedia). Hanya pertanyaan yang
dinilai sendiri yang disertakan dalam penilaian. 19 item penilaian diri
digabungkan untuk
membentuk tujuh skor "komponen", yang masing-masing memiliki kisaran
0-3 poin. Setiap komponen tidur menghasilkan skor mulai dari 0 sampai 3,
dengan 3 menunjukkan disfungsi terbesar. Skor komponen tidur
dijumlahkan untuk menghasilkan skor total mulai dari 0 hingga 21 dengan
skor total yang lebih tinggi (disebut sebagai skor global) menunjukkan
kualitas tidur yang lebih buruk.

Dalam melakukan penelitian ini, penulis akan mewawancarai


pasien penderita penyakit hipertensi satu per satu untuk mengumpulkan
data pasti yang akan digunakan nantinya dalam menyusun penelitian ini.
Setelah data terkumpul, langkah selanjutnya adalah menganalisis dan
menafsirkan data tersebut untuk mencapai kesimpulan. Kesimpulan yang
diperoleh dari penelitian kualitas tidur dapat digunakan untuk
mengembangkan intervensi terapi tidur yang lebih efektif atau untuk
meningkatkan kualitas hidup seseorang dengan meningkatkan kualitas
tidur mereka.

3.3 Populasi dan Sampel


3.3.1 Populasi
Populasi penelitian adalah jumlah orang atau objek yang akan diteliti
dalam sebuah penelitian. Populasi ini harus ditentukan dengan jelas pada
awal penelitian, karena akan menentukan sampel yang akan diambil dari
populasi tersebut. Populasi penelitian dapat terdiri dari orang-orang,
seperti dalam penelitian kesehatan atau sosial, atau dapat terdiri dari objek-
objek fisik, seperti dalam penelitian teknologi atau material. Populasi
penelitian harus representatif dari kelompok yang ingin diteliti, karena
hasil penelitian akan digunakan untuk membuat generalisasi tentang
kelompok tersebut. Populasi penelitian ini adalah pasien penderita
hipertensi di kegiatan Prolanis Puskesmas Buleleng I tahun 2022

3.3.2 Sampel
Sampel penelitian adalah subjek atau objek yang dipilih dari populasi
penelitian untuk dijadikan objek penelitian. Sampel harus dipilih dengan
cermat untuk memastikan bahwa hasil penelitian dapat diterapkan pada
populasi yang lebih luas. Ada beberapa cara untuk memilih sampel,
termasuk menggunakan teknik random sampling, yaitu dengan mengambil
sampel secara acak dari populasi penelitian, atau menggunakan teknik
sampling terstruktur, yaitu dengan memilih sampel sesuai dengan
karakteristik tertentu dari populasi penelitian. Ukuran sampel juga harus
dipertimbangkan, karena semakin besar sampel yang diambil, semakin
tinggi kemungkinan bahwa hasil penelitian akan dapat diterapkan pada
populasi yang lebih luas. Namun, mengambil sampel yang terlalu besar
juga dapat memakan waktu dan biaya yang lebih banyak. Penentuan
sampel akan dilakukan secara total sampling sehingga berjumlah kurang
lebih 100 orang.

3.4 Variabel Penelitian


Dalam penelitian, variabel adalah suatu konsep atau faktor yang
dapat berubah atau diubah-ubah. Terdapat dua jenis variabel dalam
penelitian, yaitu variabel dependen dan variabel independen.

Variabel dependen adalah variabel yang dipengaruhi oleh variabel


independen. Misalnya, dalam penelitian tentang pengaruh obat terhadap
kesehatan, variabel dependen adalah kesehatan, sedangkan variabel
independen adalah obat.

Variabel independen adalah variabel yang mempengaruhi variabel


dependen. Misalnya, dalam penelitian tentang pengaruh obat terhadap
kesehatan, variabel independen adalah obat, sedangkan variabel dependen
adalah kesehatan.

Penting untuk menentukan variabel penelitian dengan benar agar hasil


penelitian dapat diinterpretasikan dengan tepat dan dapat membantu dalam
mengambil keputusan atau mengembangkan konsep yang lebih baik.

a) Variabel bebas
Variabel bebas pada penelitian ini adalah kualitas tidur pada pasien
penderita hipertensi.
b) Variabel terikat
Variabel terikat pada penelitian ini adalah hipertensi.
3.5 Definisi Operasional
Definisi operasional adalah definisi yang menjelaskan secara
spesifik bagaimana suatu konsep atau variabel akan diukur atau
diobservasi dalam penelitian. Definisi operasional bertujuan untuk
membuat konsep atau variabel yang diuji dapat diobservasi secara
konsisten dan diukur dengan tepat.

Definisi operasional dapat membantu peneliti untuk mengukur dan


menganalisis data dengan tepat sesuai dengan tujuan penelitian yang telah
ditentukan. Selain itu, definisi operasional juga membantu menghindari
ambiguitas dalam interpretasi hasil penelitian.

Tabel 3.1

Definisi

Operasional

Nama Deskripsi Alat Skala Hasil


Variabel Variable Ukur Data Ukur
Kualitas Berkaitan dengan Pittsburgh Kategorik 1) Kategori
Tidur kualitas tidur dimana Sleep al normal
kualitas tidur adalah Quality (nominal) dengan skor
keadaan yang dijalani Index 1-5
seorang individu agar (PSQI). 2) Kategori
menghasilkan kesegaran ringan
dan kebugaran setelah dengan skor
bangun. Kualitas tidur 6-7
mencakup aspek 3) Kategori
kuantitatif seperti durasi sedang
tidur, latensi tidur, serta dengan skor
aspek subjektif seperti 8-14
tidur dalam dan istirahat. 4) Kategori
Kualitas tidur buruk
merupakan
kepuasan seseorang
terhadap tidurnya, dengan skor
sehingga seseorang tidak 15-21
merasakan kelelahan,
sering menguap dan
mengantuk di pagi hari.
Data kualitas tidur dapat
diukur dengan
menggunakan Pittsburgh
Sleep Quality Index
(PSQI).
Hipertensi Hipertensi atau tekanan Diukur Kategorik 1) Normal
darah tinggi adalah suatu mengguna al (<120/80
peningkatan tekanan kan (nominal) mmHg)
darah di dalam arteri. sfigmoma 2) Pre-
Dimana Hiper yang nometer Hipertensi
artinya berebihan, dan (≥120/80
Tensi yang artinya mmHg)
tekanan/tegangan, jadi 3)
hipertensi merupakan Hipertensi
gangguan pada sistem Stage-1
peredaran darah yang (≥140/90
menyebabkan kenaikan mmHg)
tekanan darah diatas 4)
nilai normal. Tekanan Hipertensi
darah lebih dari 140/90 Stage-2
mmHg (≥160/100
mmHg)

3.6 Alat Ukur


Instrument yang digunakan dalam pengukuran kualitas tidur adalah
Pittsburgh Sleep Quality Index (PSQI) yang telah dikembangkan oleh
Contreras et al., (2014). Instrument ini telah baku dan banyak digunakan
dalam penelitian kualitas tidur seperti dalam penelitian Majid (2014).
Kuesioner Pittsburgh Sleep Quality Index (PSQI) terdiri dari 9 pertanyaan.
Pada variabel ini menggunakan skala ordinal dengan skor keseluruhan dari
Pittsburgh Sleep Quality Index (PSQI) adalah 0 sampai dengan nilai 21
yang diperoleh dari 7 komponen penilaian diantaranya kualitas tidur
secara subyektif (subjective sleep quality), waktu yang diperlukan untuk
memulai tidur (sleep latency), lamanya waktu tidur (sleep duration),
efisiensi tidur (habitual sleep efficiency), gangguan tidur yang sering
dialami pada malam hari (sleep disturbance), penggunaan obat untuk
membantu tidur (using medication), dan gangguan tidur yang sering
dialami pada siang hari (daytime disfunction).

Apabila semakin tinggi skor nilai yang didapatkan maka akan


semakin buruk kualitas tidur seseorang. Keuntungan dari PSQI adalah
memiliki nilai validitas dan reliabilitas tinggi. Namun, kuesioner PSQI ini
juga memiliki kekurangan yaitu dalam pengisian kuesioner hasil yang
diperoleh kurang benar dikarenakan keterbatasan dan kesulitan dari
responden sehingga perlu dilakukan pendampingan. Kuesioner kualitas
tidur terdiri dari pertanyaan terbuka dan tertutup. Pertanyaan untuk nomor
5-8 adalah pertanyaan tertutup dan masing-masing mempunyai rentang
skor yaitu 0-3yang artinya 0= tidak pernah dalam sebulan terakhir, 1= 1
kali seminggu, 2= 2 kali seminggu dan 3= lebih dari 3 kali seminggu
Interpretasi nilai skor kualitas tidur baik apabila skor nilai 1-5, ringan 6-7,
sedang 8-14 dan kualitas tidur buruk jika skor nilai mencapai 15-21.

3.7 Prosedur Pengambilan Data


Prosedur pengambilan data penelitian adalah tahap dalam penelitian
yang bertujuan untuk mengumpulkan data yang diperlukan untuk
menjawab pertanyaan penelitian atau hipotesis yang telah ditentukan.
Terdapat beberapa langkah dasar yang harus dilakukan dalam proses
pengambilan data penelitian, di antaranya adalah:
a. Menentukan sumber data: pertama-tama, peneliti harus
menentukan sumber data yang akan digunakan, seperti data primer
atau sekunder, serta cara pengumpulannya, seperti wawancara,
observasi, atau dokumentasi.
b. Menyiapkan instrumen pengumpul data: setelah sumber data
teridentifikasi, peneliti harus menyiapkan instrumen pengumpul
data yang akan digunakan, seperti kuesioner atau skala penilaian
kualitas tidur.
c. Menentukan sampel: peneliti harus menentukan sampel yang akan
digunakan dalam penelitian, yaitu penderita hipertensi yang akan
diobservasi atau diinterview.
d. Menyiapkan rencana pengumpulan data: setelah sampel dan
instrumen pengumpul data disiapkan, peneliti harus menyiapkan
rencana pengumpulan data yang detail, termasuk jadwal waktu dan
lokasi pengumpulan data.
e. Melakukan pengumpulan data: langkah selanjutnya adalah
melakukan pengumpulan data sesuai dengan rencana yang telah
dibuat.
f. Menyimpan dan mengelola data: setelah data terkumpul, peneliti
harus menyimpan dan mengelola data dengan baik agar dapat
digunakan untuk analisis.
g. Menganalisis data: setelah data terkumpul dan terorganisir dengan
baik, peneliti dapat menganalisis data dengan teknik yang sesuai,
seperti menggunakan teknik statistik atau analisis kualitatif.
h. Menyimpulkan hasil analisis: langkah terakhir adalah
menyimpulkan hasil analisis data kualitas tidur pada penderita
hipertensi dan menyajikannya dalam bentuk laporan atau makalah.

Penting untuk menyusun proses pengambilan data penelitian dengan


baik agar data yang diperoleh dapat diandalkan dan menghasilkan hasil
penelitian yang valid.
3.8 Teknik Analisis Data
Teknik analisis data penelitian adalah proses yang dilakukan untuk
mengolah dan menganalisis data yang telah diperoleh dari proses
pengambilan data penelitian. Tujuan dari teknik analisis data penelitian
adalah untuk menemukan pola, hubungan, atau kesimpulan yang berguna
dari data yang telah diperoleh.

Pada penelitian ini, peneliti berencana melakukan analisis data


menggunakan analisis deskriptif: teknik ini digunakan untuk
menggambarkan karakteristik data kualitas tidur yang diperoleh, seperti
menghitung rata-rata, frekuensi, atau persentase.
DAFTAR PUSTAKA

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementrian Kesehatan RI.


Laporan Nasional RISKESDAS 2018. Jakarta: Lembaga Penerbit Badan
Penelitian dan Pengembangan Kesehatan.2019.

Charles, L., Triscott, J., & Dobbs, B. (2017). Secondary Hypertension:


Discovering the Underlying Cause. American family physician, 96(7), 453–
461.

Harrison, D. G., Coffman, T. M., & Wilcox, C. S. (2021). Pathophysiology of


Hypertension: The Mosaic Theory and Beyond. Circulation research, 128(7),
847–863. https://doi.org/10.1161/CIRCRESAHA.121.318082

Hegde, S., Ahmed, I., & Aeddula, N. R. (2022). Secondary Hypertension. In


StatPearls. StatPearls Publishing.

Iqbal, A. M., & Jamal, S. F. (2022). Essential Hypertension. In StatPearls.


StatPearls Publishing.

Jordan, J., Kurschat, C., & Reuter, H. (2018). Arterial Hypertension. Deutsches
Arzteblatt international, 115(33-34), 557–568.
https://doi.org/10.3238/arztebl.2018.0557

Lo, K., Woo, B., Martin, B. N., & Wilson, W. (2018). Subjective sleep quality ,
blood pressure , and hypertension : a meta- analysis. November 2017, 592–
605. https://doi.org/10.1111/jch.13220

Mills, K. T., Stefanescu, A., & He, J. (2020). The global epidemiology of
hypertension. Nature reviews. Nephrology, 16(4), 223–237.
https://doi.org/10.1038/s41581-019-0244-2

Nuraini, B. (2015). Risk Factors of Hypertension. J Majority, 4(5), 10–19.

Oparil, S., Acelajado, M. C., Bakris, G. L., Berlowitz, D. R., Cífková, R.,
Dominiczak, A. F., Grassi, G., Jordan, J., Poulter, N. R., Rodgers, A., &
Whelton, P. K. (2019). HHS Public Access. Hypertension. Nature Reviews
Disease Primers, 22(4), 1–48.
https://doi.org/10.1038/nrdp.2018.14.Hypertension

Oparil, S., Acelajado, M. C., Bakris, G. L., Berlowitz, D. R., Cífková, R.,
Dominiczak, A. F., Grassi, G., Jordan, J., Poulter, N. R., Rodgers, A., &
Whelton, P. K. (2018). Hypertension. Nature reviews. Disease primers, 4,
18014. https://doi.org/10.1038/nrdp.2018.14
Pinto, I. C., Martins, D. (2017). Prevalence and risk factors of arterial
hypertension: A literature review. Journal of Cardiovascular Medicine and
Therapeutics. 2017; 1(2):1-7

Rahma Reza, R., Berawi, K., Karima, N., 38; Budiarto, A. (n.d.). Fungsi Tidur
dalam Manajemen Kesehatan Sleep Function in Health Management

Saxena, T., Ali, A. O., & Saxena, M. (2018). Pathophysiology of essential


hypertension: an update. Expert review of cardiovascular therapy, 16(12),
879–887. https://doi.org/10.1080/14779072.2018.1540301

Singh, S., Shankar, R., & Singh, G. P. (2017). Prevalence and Associated Risk
Factors of Hypertension: A Cross-Sectional Study in Urban Varanasi.
International Journal of Hypertension,
2017.
https://doi.org/10.1155/2017/5491838

Singh, S., Shankar, R., & Singh, G. P. (2017). Prevalence and Associated Risk
Factors of Hypertension: A Cross-Sectional Study in Urban Varanasi.
International journal of hypertension, 2017, 5491838.
https://doi.org/10.1155/2017/5491838

Unger, T., Borghi, C., Charchar, F., Khan, N. A., Poulter, N. R., Prabhakaran, D.,
Ramirez, A., Schlaich, M., Stergiou, G. S., Tomaszewski, M., Wainford, R.
D., Williams, B., & Schutte, A. E. (2020). 2020 International Society of
Hypertension Global Hypertension Practice Guidelines. Hypertension
(Dallas, Tex. : 1979), 75(6), 1334–
1357.
https://doi.org/10.1161/HYPERTENSIONAHA.120.15026

Weber, M. A., Schiffrin, E. L., White, W. B., Mann, S., Lindholm, L. H., Kenerson,
J. G., Flack, J. M., Carter, B. L., Materson, B. J., Ram, C. V., Cohen, D. L.,
Cadet, J. C., Jean-Charles, R. R., Taler, S., Kountz, D., Townsend, R. R.,
Chalmers, J., Ramirez, A. J., Bakris, G. L., Wang, J., … Harrap, S. B.
(2014). Clinical practice guidelines for the management of hypertension in
the community: a statement by the American Society of Hypertension and
the International Society of Hypertension. Journal of clinical hypertension
(Greenwich, Conn.), 16(1), 14–26. https://doi.org/10.1111/jch.12237

Whelton, P. K., Carey, R. M., Aronow, W. S., Casey, D. E., Jr, Collins, K. J.,
Dennison Himmelfarb, C., DePalma, S. M., Gidding, S., Jamerson, K. A.,
Jones, D. W., MacLaughlin, E. J., Muntner, P., Ovbiagele, B., Smith, S. C.,
Jr, Spencer, C. C., Stafford, R. S., Taler, S. J., Thomas, R. J., Williams, K.
A., Sr, Williamson, J. D., … Wright, J. T., Jr (2018). 2017
ACC/AHA/AAPA/ABC/ACPM/AGS/APhA/ASH/ASPC/NMA/PCNA
Guideline for the Prevention, Detection, Evaluation, and Management of
High Blood Pressure in Adults: Executive Summary: A Report of the
American College of Cardiology/American Heart Association Task Force on
Clinical Practice Guidelines. Hypertension (Dallas, Tex. : 1979), 71(6),
1269–1324. https://doi.org/10.1161/HYP.0000000000000066
Williams, B., Mancia, G., Spiering, W., Agabiti Rosei, E., Azizi, M., Burnier, M.,
Clement, D. L., Coca, A., de Simone, G., Dominiczak, A., Kahan, T.,
Mahfoud, F., Redon, J., Ruilope, L., Zanchetti, A., Kerins, M., Kjeldsen, S.
E., Kreutz, R., Laurent, S., Lip, G. Y. H., … Authors/Task Force Members:
(2018). 2018 ESC/ESH Guidelines for the management of arterial
hypertension: The Task Force for the management of arterial hypertension of
the European Society of Cardiology and the European Society of
Hypertension: The Task Force for the management of arterial hypertension
of the European Society of Cardiology and the European Society of
Hypertension. Journal of hypertension, 36(10), 1953–2041.
https://doi.org/10.1097/HJH.0000000000001940

Zhou, B., Carrillo-Larco, R. M., Danaei, G., Riley, L. M., Paciorek, C. J., Stevens,
G. A., Gregg, E. W., Bennett, J. E., Solomon, B., Singleton, R. K., Sophiea,
M. K., Iurilli, M. L. C., Lhoste, V. P. F., Cowan, M. J., Savin, S., Woodward,
M., Balanova, Y., Cifkova, R., Damasceno, A., … Zuñiga Cisneros, J.
(2021). Worldwide trends in hypertension prevalence and progress in
treatment and control from 1990 to 2019: a pooled analysis of 1201
population- representative studies with 104 million participants. The Lancet,
398(10304), 957–980. https://doi.org/10.1016/S0140-6736(21)01330-1
LAMPIRAN
Lampiran 01. Jadwal Kegiatan

No Bulan di Tahun 2023


Nama Kegiatan
Mar Apr Mei Jun Jul Agt Sep Okt Nov Des
1 Penyusunan serta bimbingan
proposal
2 Pendaftaran seminar proposal

3 Seminar Proposal

4 Pelaksanaan penelitian dan


pengumpulan data
5 Pengolahan dan analisis data

6 Penyusunan dan bimbingan


skripsi
7 Sidang skripsi
Lampiran 02. Pittsburgh Sleep Quality Index (PSQI)

KUESIONER KUALITAS
TIDUR
Pittsburgh Sleep Quality
Index (PSQI)

1. Pukul berapa biasanya anda mulai tidur malam?


2. Berapa lama anda biasanya baru bisa tertidur tiap malam?
3. Pukul berapa anda biasanya bangun pagi?
4. Berapa lama anda tidur dimalam hari?
5. Seberapa sering Tidak pernah 1x 2x ≥ 3x
masalah masalah dalam Seminggu Seminggu Seminggu
dibawah ini sebulan (1) (2) (3)
mengganggu tidur terakhir (0)
anda?
a. Tidak mampu tertidur
selama 30 menit sejak
berbaring
b. Terbangun ditengah
malam atau dini
hari
c. Terbangun untuk
ke kamar mandi
d. Sulit bernafas
dengan baik
e. Batuk atau mengorok
f. Kedinginan di
malam hari
g. Kepanasan di
malam hari
h. Mimpi buruk
i. Terasa nyeri
j. Alasan lain.......

6 Selama sebulan
terakhir, seberapa
sering anda
menggunakan obat
tidur
7 Selama sebulan
terakhir,seberapa
sering anda
mengantuk ketika
melakukan aktivitas
di siang hari
Tidak Kecil Sedang Besar
Antusias
8 Selama satu bulan
terakhir, berapa
banyak masalah yang
anda dapatkan dan
seberapa antusias
anda selesaikan
permasalahan
tersebut?
Sangat Baik Cukup Cukup Sangat
(0) Baik (1) buruk (2) Buruk
(3)
9. Selama bulan
terakhir, bagaiman
anda menilai
kepuasan tidur anda?
Kisi - Kisi Kuesioner PSQI
Sistem Penilaian
No Komponen No.Item
Jawaban Nilai Skor
1 Kualitas Tidur Subyektif Sangat Baik 0
Baik 1
9
Kurang 2
Sangat kurang 3
2 Latensi Tidur ≤15 menit 0
16-30 menit 1
2
31-60 menit 2
>60 menit 3
Tidak Pernah 0
1x Seminggu 1
5a 2x Seminggu 2
>3x Seminggu 3
Skor Latensi Tidur 0 0
1-2 1
2+5a
3-4 2
5-6 3
3 Durasi Tidur > 7 jam 0
6-7 jam 1
4
5-6 jam 2
< 5jam 3
4 Efisiensi Tidur > 85% 0
Rumus : 75-84% 1
Durasi Tidur : lama di 65-74% 2
tempat tidur) X 100% <65% 3
1, 3, 4
*Durasi Tidur (no.4)
*Lama Tidur (kalkulasi
respon no.1 dan 3)

5 Gangguan Tidur 5b, 5c, 0 0


5d, 5e, 1-9 1
5f, 5g, 10-18 2
5h, 5i, 19-27
5i, 5j 3
6 Penggunaan Obat Tidak pernah 0
6
1x Seminggu 1
2x Seminggu 2
>3x Seminggu 3
7 Disfungsi di siang hari Tidak Pernah 0
1x Seminggu 1
7 2
2x Seminggu
>3x Seminggu 3
Tidak Antusias 0
Kecil 1
8 Sedang 2
Besar 3
0 0
1-2 1
7+8 3-4 2
5-6 3

Keterangan Kolom Nilai Skor:

0 = Sangat Baik, 1 = Cukup Baik, 2 = Agak Buruk, 3 = Sangat Buruk

Untuk menentukan Skor akhir yang menyimpulkan kualitas Tidur


keseluruhan:Jumlahkan semua hasil skor mulai dari komponen 1 sampai 7

Dengan hasil ukur:

- Baik : ≤5
- Buruk : >5
Lampiran 03. Informed Consent

SURAT PERSETUJUAN MENJADI RESPONDEN PENELITIAN


(INFORMED CONSENT)
Kepada Yth. Bapak/Ibu
Ditempat
Salam hormat,

Nama : I GD Bagus W. Krishnanda Pujawan


NIM 2018011027
Semester 6
Institusi : Program Studi Kedokteran Fakultas Kedokteran Universitas
Pendidikan Ganesha
akan melakukan penelitian tentang “Gambaran Kualitas Tidur Pada Pasien
Penderita Hipertensi Di Kegiatan Prolanis Puskesmas Buleleng I Tahun 2022”
yang bertujuan untuk mengetahui gambaran kualitas tidur pada pasien penderita
hipertensi di kegiatan prolanis Puskesmas Buleleng I tahun 2022, untuk
memenuhi tugas akhir skripsi. Kesediaan anda menjadi responden untuk mengisi
kuesioner sangat dibutuhkan dalam mendapatkan hasil dari penelitian ini.
Pertanyaan pada kuesioner mohon untuk dijawab dengan sejujur-jujurnya, tanpa
adanya padaksaan dan tekanan dari pihak manapun serta akan dijaga kerahasiaan
jawaban serta identitas diri anda.

Setelah mendapatkan penjelasan dari penulis, saya yang bertanda tangan dibawah
ini:
Nama Responden :
*No. Responden :
Bersedia menjadi responden dalam penelitian ini.

Singaraja, / /2023
Mengetahui,
Responden

( )

No. Responden diisi oleh peneliti

Anda mungkin juga menyukai