Anda di halaman 1dari 4

KEJADIAN STUNTING PADA BALITA

(STUDY ANALITIK DI WILAYAH SUMATERA UTARA KABUPATEN LANGKAT)

Tugas Metode Penelitian Komunikasi I (Kuantitatif)

Andre Genesa Harahap

237045035

Dosen Pengampu :

Prof. Dr. Humaizi, MA

Program Magister Ilmu Komunikasi

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Universitas Sumatera Utara

2023
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Stunting merupakan masalah gizi yang berdampak negatif terhadap kualitas hidup
anak dalam mencapai pertumbuhan dan perkembangan yang optimal berdasarkan genetik atau
potensi genetiknya. Stunting juga dapat mengganggu pertumbuhan dan perkembangan pada
anak di bawah usia lima tahun. Stunting atau perawakan pendek pada anak disebabkan karena
kekurangan gizi pada anak dalam waktu yang lama, sehingga pertumbuhannya menjadi
lambat, yaitu tinggi badannya lebih rendah atau lebih pendek.
Stunting pada balita perlu mendapat perhatian khusus karena dapat memperlambat
pertumbuhan fisik, mental, dan status kesehatan anak. Studi terbaru menunjukkan bahwa
kehadiran anak-anak stunting dikaitkan dengan kinerja sekolah yang buruk, pencapaian
pendidikan yang rendah, dan pendapatan orang dewasa yang rendah. Anak-anak yang kerdil
dengan mudah menjadi orang dewasa yang kurang sehat.
Keadaan stunting menyebabkan buruknya kemampuan kognitif, rendahnya
produktivitas, serta meningkatnya risiko penyakit mengakibatkan kerugian jangka panjang
bagi ekonomi Indonesia. Masalah stunting (balita pendek) merupakan salah satu
permasalahan gizi yang dihadapi dunia, khususnya di negara-negara miskin dan berkembang.
Stunting merupakan masalah kesehatan serius yang berhubungan dengan morbiditas dan
mortalitas yang tinggi, perkembangan otak yang kurang optimal, retardasi motorik dan
retardasi mental. Masalah yang berbeda ini mudah ditemukan di negara berkembang seperti
Indonesia. Hal tersebut merupakan ancaman serius terhadap eksistensi anak sebagai generasi
penerus bangsa. Stunting adalah kondisi rendahnya kualitas sumber daya manusia yang
diterima secara luas yang mengurangi kapasitas produktif suatu negara di masa depan
(Unicef, 2013).
Stunting adalah masalah gizi di seluruh dunia, dengan 165 juta anak di bawah usia 5
tahun di seluruh dunia mengalami stunting. 80% anak stunting di 14 negara di seluruh dunia
dan Indonesia menempati urutan ke-5 negara dengan jumlah anak stunting terbanyak
(UNICEF, 2013). Statistik stunting malnutrisi di Indonesia menunjukkan bahwa prevalensi
stunting nasional meningkat dari 35,6% (2010) menjadi 37,2% (2013) dan 30,8% (2018),
sedangkan data Pemantauan Status Gizi (PSG) tahun 2017 menunjukkan prevalensi stunting
pada balita (29,6%) lebih tinggi dibandingkan balita (20,1%) (Kemenkes RI, 2018). Stunting
adalah kondisi terhambatnya pertumbuhan balita akibat kekurangan gizi kronis yang
menyebabkan usia anak lebih muda dari standar WHO 2005 (Kementerian Kesehatan
Republik Indonesia, 2013). Masalah balita menggambarkan adanya masalah gizi kronis yang
dipengaruhi oleh kondisi ibu/calon ibu, masa janin dan masa bayi/balita, termasuk penyakit
yang didapat pada masa kanak-kanak dan masalah lain yang secara tidak langsung
mempengaruhi kesehatan (Kemenkes,2016).
Di seluruh dunia, sekitar 162 juta anak di bawah usia 5 tahun menjadi kerdil. Afrika
Sub-Sahara dan Asia Selatan adalah rumah bagi tiga perempat anak-anak yang mengalami
stunting di dunia. Data menunjukkan bahwa 40% anak-anak di sub-Sahara Afrika mengalami
stunting, sedangkan di Asia Selatan tercatat sebesar 39% (WHO Stunting Infographic).
Stunting merupakan masalah gizi yang terjadi pada anak usia dini yang ditandai
dengan tinggi badan yang lebih kecil dibandingkan dengan anak seusianya. Pengetahuan yang
dimiliki orang tua khususnya ibu balita perilhal wawasan seputar stunting bisa menjadi
penentu sikap ibu dalam menjaga kesehatan agar stunting dicegah. (Idham 2020).
Stunting dianggap menjadi masalah kesehatan masyarakat kategori kronis bila
prevalensinya sebesar ≥ 20%. Menurut data Riskesdas ada 14 propinsi di Indonesia yang
stunting tergolong masalah kesehatan masyarakat berat dan 15 propinsi tergolong serius dan
salah satunya adalah Propinsi Sumatera Utara.
Prevalensi stunting di Sumatera Utara tahun 2017 (Data PSG) adalah 28,4%. Artinya
Sumatera Utara masih dalam kondisi bermasalah kesehatan masyarakat. Prevalensi stunting
tertinggi di Sumatera Utara tersebar di 4 Kabupaten/Kota yaitu Langkat, Padang Lawas, Nias
Utara dan Gunung Sitoli. Langkat adalah kabupaten dengan prevalensi stunting tertinggi yaitu
54.961 jiwa pada tahun 2013 atau sekitar 55,48% dibandingkan dengan Padang Lawas yang
prevalensi stuntingnya 54,86%, Nias Utara 54,83% dan Gunung Sitoli 52,32% (Tim Nasional
Percepatan Kemiskinan, 2018).
Guna menurunkan prevalensi stunting dibawah 25%, pemerintah telah menetapkan
160 Kabupaten/kota prioritas dengan masing-masing 10 desa untuk penanganan stunting.
Langkat adalah salah satu kabupaten prioritas penanganan stunting di Sumatera Utara. Hal ini
karena selain prevalensi stunting yang tinggi juga karena jumlah penduduk kabupaten ini
paling banyak diantara 3 kabupaten prioritas lainnya dan kemampuan ekonominya rendah.
Tahun 2016 jumlah penduduk Kabupaten Langkat 1.019,24 ribu jiwa dengan jumlah
penduduk miskin 115,79 ribu jiwa dan tingkat kemiskinan 11,36%. Secanggang adalah salah
satu dari 10 desa yang menjadi prioritas penanganan stunting di Kabupaten Langkat. Data
Dinas Kesehatan melaporkan ada 48 Kasus stunting pada Maret 2018 yang tersebar di Desa
Secanggang, Desa Kebun Kelapa, Pematang Serai, Padang Tulang, Paluh Manis, Securai
Utara dan Selatan serta Perlis (Menteri dalam Negeri RI, 2018).
Balita stunting akan terhambat pertumbuhan dan perkembangan dan risiko menderita
penyakit tidak menular dimasa dewasa nanti, dan bila anak tumbuh menjadi ibu akan
melahirkan anak yang juga berisiko stunting. Banyak faktor yang menyebabkan stunting pada
balita, namun karena balita sangat tergantung pada ibu/keluarga maka kondisi keluarga dan
lingkungan yang mempengaruhi keluarga akan berdampak pada status gizinya. Kecukupan
energi dan protein per kapita per hari anak Indonesia terlihat rendah jika dibandingkan Angka
Kecukupan Gizi (AKG) yang dianjurkan baik pada anak normal ataupun stunting. Penelitian
sebelumnya yang melihat prevalensi stunting pada balita di kota Medan (skema PDP tahun
2017) juga menunjukkan hasil bahwa asupan energi pada balita stunting lebih rendah dari
AKG. Statistik kesejahteraan masyarakat Kabupaten Langkat mencatat pengeluaran rumah
tangga untuk makanan di Kabupaten Langkat tahun 2018 pada kelompok 40 persen terbawah
sebesar 308.580 rupiah per bulan dengan rata-rata jumlah anggota keluarga 4 orang. Oleh
karena itu perlu untuk mengkaji bagaimana ketahanan pangan rumah tangga Balita 0-59 bulan
di desa Secanggang sebagai desa prioritas stunting untuk mengetahui ketersediaan pangan
yang cukup baik jumlah maupun mutunya, aman, beragam, bergizi, merata, dan terjangkau
untuk dapat hidup sehat, aktif dan produktif serta berkelanjutan sebagai salah satu upaya
intervensi sensitif penanggulangan stunting.
Kejadian stunting pada anak disebabkan oleh berbagai faktor, contohnya seperti
pengetahuan dan perilaku ibu. Berdasarkan hasil penelitian pengetahuan pada ibu terdapat
hubungannya dengan kejadian stunting pada anak. Berdasarkan hasil distribusi data yang
diperoleh ibu yang memiliki pengetahuan tinggi adalah 13 orang (86,7%). Penelitian Salimar
(2013) juga menjelaskan bahwa pengetahuan ibu menjadi kunci dalam rumah tangga, sebab
perilaku ibu dalam memilih menu makanan pada keluarga akan sangat berpengaruh pada gizi
anak.
Begitu juga dengan perilaku ibu yang sangat mendukung adanya hubungan perilaku
dengan kejadian stunting, sebab jika ibu yang memiliki pengetahuan tinggi namun memiliki
perilaku buruk untuk menjaga kebutuhan gizi akan berdampak pada pertumbuhan anak.
Perilaku baik seseorang akan dapat tercermin jika pengetahuan yang dimiliki didukung juga
dengan sikap dan perilaku yang positif (Arnita 2020).
Hal ini juga sejalan dengan penelitian yang dilakukan Harikatang (2020) menjelaskan
bahwa pengetahuan yang baik pada seseorang tidak menjamin perilaku ibu, karena
pengetahuan tidak bisa memastikan bagaimana pola hidup yang dijalani seseorang tersebut.
Kondisi ekonomi yang kurang mencukupi juga bisa berdampak pada gizi anak walaupun
pengetahuan ibu sudah baik.
Dari data distribusi yang diperoleh peneliti melihat bahwa di Sumatera Utara faktor
yang sangat berpengaruh terhadap anak yang menderita stunting adalah perilaku ibu yang
kurang baik dalam menjaga kebutuhan gizi anak.
Berdasarkan teori yang telah ada peneliti berpendapat bahwa pengetahuan dan
perilaku ibu sangat berpengaruh terhadap kejadian stunting pada anak. Penulis juga
berpendapat bahwa faktor yang paling kuat anak menderita stunting adalah sikap dan perilaku
ibu.

Anda mungkin juga menyukai