Anda di halaman 1dari 10

ADVOKASI GIZI BALITA

“STUNTING”

A. PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Anak pendek (Stunting) merupakan permasalahan yang tengah dihadapi oleh
dunia khususnya di Negara miskin dan berkembang (Unicef, 2013 dalam Mitra,
2015). Prevelensi stunting di dunia masih tergolong tinggi. Ini dapat dilihat dari
persentase kejadian stunting di dunia pada tahun 2017 yang masih mencapai
22,2%, Setengah dari jumlah anak dengan stunting berada di Asia (55%) dan
sepertiga berada di Afrika (39%) (Unicef, 2018). Hal ini menunjukkan bahwa
presentasinya masih diatas standar yang telah ditetapkan oleh WHO yaitu 20 %
(Kemenkes, 2016). Pada tahun 2017 jumlah balita stunting di Indonesia
meduduki peringkat ke 4 terbesar di dunia setalah Nigeria, Pakistan, dan India
(Unicef, 2017 dalam TNP2K, 2017).
Di Indonesia sendiri kejadian stunting masih memprihatinkan, setiap tahun
prevalensi stunting mengalami penuruan dan juga kenaikan. Ini terbukti dari hasil
data Riskesdas tahun 2007 (36%), 2010 (35%), 2013 (37,2%), 2015 (29%)
(Kemenkes, 2016). Sedangkan tahun 2018 prevelensi stunting mengalami
kenaikan kembali yaitu 30,8 % data ini menunjukkan bahwa prevelensi stunting
masih diatas target yang ingin dicapai oleh nasional (Riskesdas, 2018). Menurut
riset kemenkes tahun 2017 stunting di Jawa Timur menunjukkan prevelensi
sebesar 26,7%. Kota Batu merupakan daerah yang memunjukkan kejadian
stunting tertinggi ke dua (35,1%) setelah Bondowoso (38,3 %), sedangkan kota
Malang mempunyai prevelensi yang tidak begitu tinggi dibandingkan dengan
kedua daerah tersebut, sebanyak 27,4 % prevelensi yang berada di daerah kota
Malang (PSG, 2017).
Stunting yang terjadi pada anak balita dapat disebabkan oleh berbagai faktor
multi dimensi yang saling berhubungan antara satu dengan yang lainnya. Faktor
kejadian stunting dikelompokkan menjadi dua yaitu faktor langsung dan faktor
tidak langsung. Faktor langsung diantaranya adalah asupan gizi, faktor genetik
(tinggi badan orang tua yang pendek), BBLR (Berat Badan Lahir Rendah),
penyakit infeksi, tingkat pemberian ASI ekslutif, dan ketidakseterdiaan makanan
dirumah, sedangkan faktor tidak langsung adalah tingkat kebersihan dan pola
asuh orang tua yang tidak optimal, rendahnya pendidikan orang tua, ibu dengan
gizi buruk saat kehamilan, dan sosial ekonomi yang rendah (Hall et al., 2018;
Olsa, Sulastri, & Anas, 2018).
Stunting akan menimbulkan dampak jangka pendek dan jangka panjang.
Dampak jangka pendeknya adalah terdapatnya gangguan dalam perkembangan
otak, kecerdasan, gangguan pertumbuhan fisik dan gangguan metabolisme
tubuh. Sedangkan dampak jangka panjangnya adalah penurunan fungsi kognitif
dan prestasi belajar, penurunan kekebalan tubuh, resiko tinggi terkena penyakit,
dan kualitas kerja yang tidak maksimal sehingga dapat berakibat pada rendahya
produktivitas ekonomi individu dan negara (Kemenkes, 2016). Karena stunting
terjadi akibat kekurangan gizi kronis selama 1000 hari pertama kehidupan anak,
kerusakan yang terjadi juga akan mengakibatkan perkembangan anak yang
irreversible (tidak bisa diubah) dan anak tidak akan pernah mempelajari atau
mendapatkan sebanyak yang dia bisa, sehingga jika anak yang pendek tidak
segera ditangani dengan tepat maka akan menjadi prediktor buruknya kualitas
sumber daya manusia yang diterima secara luas, yang selanjutnya akan
menurunkan produktif bangsa dimasa yang akan datang (Trihono, 2015).
Dalam upaya penurunan kejadian stunting pemerintahan Indonesia juga
melakukan pengalokasian dana tersendiri untuk mangatasi permasalahan ini.
Pengalokasian dana yang dilakukan pemerintah digunakan untuk memperbaiki
faktor yang dapat mempengaruhi terjadinya stunting. Seperti memberikan
intervensi paket gizi lengkap untuk ibu hamil dan anak, pemanfaatan pelayaan
kesehatan yang ada, pelatihan pengasuhan anak, menyediakan makanan
tambahan bagi ibu hamil dengan KEK (Kekurangan Energi Kronik) dan balita
kekurangan gizi, pembinaan sanitasi yang baik dan penyediaan air bersih,
sehingga diharapkan angka kejadian stunting dapat menurun (Kemenkeu, 2018).
Intervensi yang dilakukan oleh pemerintah untuk mengurangi kejadian
stunting nyatanya tidaklah mudah untuk dilakukan. Masih terdapat beberapa
hambatan dalam melakukannya diantaranya adalah permasalah anak pendek
dan gizi ibu hamil tidak mudah untuk dilihat dan ketahui. Banyak pihak yang
masih berpendapat bahwa status gizi dengan kurangnya bahan makanan akibat
dari kemiskinan, tetapi faktanya stunting sekarang banyak terjadi pada kelompok
menengah keatas. Perempuan tidak menyadari akan pentingnya gizi saat
kehamilan, sebanyak 81% perempuan hamil menerima tablet gizi tapi hanya 18%
yang mengonsumsi selama 90 hari pada masa kahamilan. Keluarga yang tidak
memiliki pengetahuan tentang gizi dan perilaku kesehatan. Selain itu, banyak
juga ibu hamil masih mempercayai mitos yang beredar di masyarakat dan tidak
terbukti kebenarannya (Trihono Dkk, 2015).
Berdasarkan studi pendahuluan yang dilakukan di Dinkes Kota Malang
terdapat 3 pukesmas yang mempunyai prevelensi stunting tertinggi pada tahun
2017 diantaranya adalah pukesmas Dinoyo (7,1%), Cisadea (5,5 %), dan Bareng
(3,8%). Pukesmas Dinoyo memiliki jumlah anak yang menderita severely stunted
(sangat pendek) tertinggi, dari jumlah anak 2870 yang ditimbang ada 204 anak
yang berada pukesmas Dinoyo. Sedangkan pada bulan timbang Agustus 2018 di
pukesmas Dinoyo, dalam 5 kelurahan yang menjadi area kerja pukesmas
(kelurahan Dinoyo, Ketawanggede, Sumbersari, Merjosari, dan Tlogomas)
kelurahan Tlogomas mempunyai jumlah anak menderita severely stunted (sangat
pendek) terbanyak diantara kelurahan yang lain yaitu sebanyak 59 anak, dan
stunted sebanyak 93 anak.
2. Tujuan
a. Tujuan Umum : dapat mengetahui langkah-langkah advokasi gizi terhadap kejadian
Stunting di Indonesia
b. Tujuan Khusus :
 Dapat mengetahui besarnya masalah kejadian stunting
 Dapat mengetahui kerugian negara yang disebabkan kejadian stunting
 Dapat mengetahui anggaran yang sudah disiapkan oleh negara terhadap
kejadian stunting
3. Sasaran
Sasaran dari rancangan advokasi gini ini ialah:
-Presiden
-tokoh masyarakat (bupati, kepala desa, dll)
-lembaga legislatif
-lembaga yudikatif
4. Tempat
Puskesmas Dinoyo, Kecamatan Lowokwaru, Kota Malang
5. Susunan Panitia
6. Metode
Lobi Politik
7. Materi
Salah satu masalah kesehatan yang mengancam anak Indonesia adalah
stunting. Stunting didefinisikan sebagai kondisi balita yang memiliki panjang atau
tinggi badan yang kurang, bila dibandingkan dengan umurnya. Selain
memengaruhi kondisi balita pada saat ini, stunting juga memengaruhi masa
depan balita karena stunting memiliki efek jangka panjang seperti: berkurangnya
kognitif dan perkembangan fisik, mengurangi kapasitas kesehatan, serta anak
terhambat dalam mengalami peningkatan. Stunting tidak terjadi dengan
sendirinya karena disebabkan oleh banyak faktor. Stunting adalah proses siklus
karena perempuan (ibu) yang mengalami stunting di masa kecil cenderung
memiliki keturunan yang serupa (Prendergast & Humphrey, 2014). Mengutip dari
bulletin Pusdatin (Kementerian Kesehatan (2018) mengenai status gizi anak di
Indonesia, kejadian balita stunting ini merupakan masalah gizi yang utama,
dengan prevalensi tertinggi bila dibandingkan dengan masalah gizi lainnya.
Indonesia merupakan salah satu negara dengan prevalensi stunting yang cukup
tinggi dibandingkan dengan negara-negara berpendapatan menengah lainnya.
Di dunia, Indonesia menduduki posisi ke-17 dari 117 negara. Berdasarkan
studi pendahuluan yang dilakukan di Dinkes Kota Malang terdapat 3 pukesmas
yang mempunyai prevelensi stunting tertinggi pada tahun 2017 diantaranya
adalah pukesmas Dinoyo (7,1%), Cisadea (5,5 %), dan Bareng (3,8%).
Pukesmas Dinoyo memiliki jumlah anak yang menderita severely stunted (sangat
pendek) tertinggi, dari jumlah anak 2870 yang ditimbang ada 204 anak yang
berada pukesmas Dinoyo. Sedangkan pada bulan timbang Agustus 2018 di
pukesmas Dinoyo, dalam 5 kelurahan yang menjadi area kerja pukesmas
(kelurahan Dinoyo, Ketawanggede, Sumbersari, Merjosari, dan Tlogomas)
kelurahan Tlogomas mempunyai jumlah anak menderita severely stunted (sangat
pendek) terbanyak diantara kelurahan yang lain yaitu sebanyak 59 anak, dan
stunted sebanyak 93 anak.
Stunting disebabkan oleh faktor yang beragam dan tidak hanya disebabkan
oleh masalah gizi yang dialami ibu maupun anak. Beberapa faktor yang menjadi
penyebab stunting adalah: Pertama, yaitu praktik pengasuhan. Praktik
pengasuhan yang kurang baik selama masa kehamilan dan setelah melahirkan
turut memengaruhi situasi anak balita dalam mengidap stunting. Faktanya, 60%
dari anak usia 0-6 bulan tidak mendapatkan ASI secara eksklusif, dan 2 dari 3
anak usia 0-24 bulan tidak menerima makanan pendamping air susu ibu
(MPASI). Padahal MPASI sangat bermanfaat bagi pemenuhan nutrisi bayi dan
meningkatkan daya tahan tubuh. Kedua, terbatasnya layanan kesehatan. Masih
terbatasnya layanan kesehatan termasuk layanan untuk ibu selama masa
kehamilan, pasca kelahiran, dan pembelajaran dini yang berkualitas. Akses anak
untuk mendapatkan imunisasi pun belum memadai, serta masih terbatasnya
akses ke layanan pembelajaran dini yang berkualitas (Sutarto & Indriyani, 2018).
Ketiga, kurangnya akses keluarga ke makanan bergizi, karena tidak semua
orang mampu untuk membeli makanan bergizi yang harganya mahal. Terakhir,
kurangnya akses untuk mendapatkan air bersih dan sanitasi. 1 dari 5 rumah
tangga di Indonesia masih buang air besar (BAB) di ruang terbuka, serta 1 dari 3
rumah tangga belum memiliki akses ke air minum bersih (Sutarto & Indriyani,
2018).
Pengetahuan yang kurang memadai akan stunting akhirnya memengaruhi
sikap orang tua, keluarga, bahkan petugas kesehatan. Menurut UNICEF (2012),
orang tua, terutama ibu yang tidak menyadari pentingnya gizi bagi mereka sendiri
berpotensi memengaruhi kondisi kesehatan anak yang dikandungnya. Petugas
kesehatan pun tidak memberikan konseling gizi yang memadai. Kurangnya
kesadaran akan pentingnya gizi turut memengaruhi tindakan yang harus
dilakukan oleh para pengambil keputusan di daerah, misalnya, membuat dan
melaksanakan peraturan daerah (Perda) tentang iodisasi garam universal atau
tentang pemberian ASI. Penelitian lain pun menyatakan bahwa panjang badan
lahir, riwayat ASI Eksklusif, pendapatan keluarga, pendidikan ibu, dan
pengetahuan gizi ibu berhubungan dengan kejadian stunting pada balita (Ni’mah
& Nadhirah, 2015).
Di Indonesia sendiri, hal ini dibuktikan melalui sebuah penelitian di
Kalimantan Barat yang menyatakan bahwa ada pengaruh signifikan perilaku
kesadaran gizi (KADARZI) rumah tangga terhadap status gizi balita. Rumah
tangga dengan perilaku KADARZI yang kurang baik berpeluang meningkatkan
risiko kejadian stunting pada anak balita 1.21 kali lebih besar daripada rumah
tangga dengan perilaku KADARZI yang baik (Hariyadi & Ekayanti, 2011).
Lahir hingga 6 bulan (born to 6 months)
Bayi yang sehat mengalami kecepatan pertumbuhan maksimal dalam
rentang usia dari kelahiran hingga usia 6 bulan. Beberapa bulan pertama
kehidupan sangat penting untuk pengembangan jangka panjang. Demikian,
WHO merekomendasikan para ibu untuk menyusui eksklusif (EBF) untuk 6 bulan
pertama setelah melahirkan.
Usia 6-24 bulan
Periode dari 6 hingga 24 bulan adalah salah satu periode paling kritis untuk
pertumbuhan, juga merupakan periode puncak prevalensi stunting di beberapa
negara berkembang, yang disebabkan oleh tingginya permintaan nutrisi
ditambah dengan kualitas dan kuantitas makanan pelengkap yang terbatas.
Melampaui usia 24 bulan
Stunting ditentukan dalam 1000 hari pertama kehidupan, karena potensi
kegagalan pertumbuhan dimulai sejak masa kehamilan dan berlanjut terus
hingga 24 bulan pertama. Namun, baru-baru ini telah diusulkan bahwa potensi
kegagalan tersebut diperpanjang melampaui usia 24 bulan. Hal ini juga terbukti
melalui penelitian, yang mana hasil penelitiannya menyatakan bahwa terdapat
hubungan yang signifikan antara praktik pemberian makan, rangsangan
psikososial, praktik kebersihan, sanitasi lingkungan, dan pemanfaatan pelayanan
kesehatan dengan kejadian stunting anak usia 24-59 bulan (Rahmayana &
Damayati, 2014).
Komunikasi kesehatan umumnya dilakukan dalam bentuk: (1) pemasaran
sosial yang bertujuan untuk memperkenalkan atau mengubah perilaku positif, (2)
penyebarluasan informasi melalui media, dan (3) advokasi, pendampingan
komunitas, kelompok, atau media massa dengan tujuan memperkenalkan
kebijakan, peraturan, dan program-program untuk memperbaharui kesehatan
(Liliweri, 2013). Dalam penelitian ini, komunikasi kesehatan dilakukan oleh
Millenium Challenge Account Indonesia dalam bentuk kampanye ke daerah-
daerah terpilih (Suryana, Sugiana, & Trulline, 2019). Informasi kesehatan yang
disampaikan dalam kampanye ini berupa isu stunting, penyebab, dampak dan
cara-cara pencegahannya. Kegiatan ini juga fokus pada keluarga sehat yang
mendorong laki-laki dan perempuan aktif berbagi keputusan rumah tangga.
Kampanye didefinisikan sebagai rangkaian tindakan komunikasi yang
terencana dengan tujuan menciptakan efek tertentu pada khalayak dalam jumlah
yang besar, dilakukan secara berkelanjutan dalam kurun waktu tertentu (Rogers
& Storey, n.d.). Kampanye dilakukan secara terlembaga oleh lembaga atau
organisasi yang menaunginya, khalayak dalam kampanye pun biasanya sudah
ditetapkan (Venus, 2018).
8. Alat dan Bahan
 Bawa alat lobi berupa informasi terkait isu (latar belakang, data dan fakta, telaah
ketimpangan kebijakan dan arah yg diinginkan)
 Fact sheet, Booklet atau Position paper
 ALAT KAMPANYE
- Media massa
- Media cetak: leaflet, booklet, poster, koran, majalah, siaran pers, artikel, feature
- Media elektronik: radio, tv, dialog interaktif
- Media moderen: FB, Twitter
9. Rencana Anggaran Penyuluhan
Tabel 1. Alokasi Mendukung Proyek Prioritas Nasional “Penurunan Stunting” Gizi
Spesifik pada Pemerintah Pusat Tahun 2018

No Kementerian/Program/Kegiatan/Output Alokasi (dalam


Milyar)
A. Kementerian Kesehatan 28.477,87
1. Hasil Pengembangan Tabel Komposisi 8
Pangan Indonesia
2. Penyediaan Makanan Tambahan bagi Ibu 403,35
Hamil Kurang Energi Kronis (KEK)
3. Penyediaan Makanan Tambahan bagi 505,86
Balita Kekurangan Gizi
4. Penguatan Intervensi Paket Gizi (PMT, Vit 24,52
A, TTD) pada Ibu Hamil dan Balita
5. Peningkatan Surveilance Gizi 79,44
6. Kabupaten/Kota yang Mendapat 13,24
Pembinaan dalam Peningkatan Pelayanan
Antenatal
7. Kabupaten/Kota yang Mendapat 21,64
Pembinaan dalam Peningkatan Persalinan
di Fasilitas Pelayanan Kesehatan
8. Kabupaten/Kota yang Mendapat 11,75
Pembinaan dalam Peningkatan Kunjungan
Neonatal Pertama
9. Pembinaan dalam Peningkatan Persalinan 34,97
di Fasilitas Pelayanan Kesehatan
10 Pembinaan dalam Peningkatan Pelayanan 32,87
. Antenatal
11 Pembinaan dalam Peningkatan Pelayanan 3,13
. Kunjungan Neonatal Pertama
12 Paket Penyediaan Obat dan Perbekalan 746,95
. Kesehatan untuk Kesehatan Ibu dan Anak
13 Kampanye Gerakan Masyarakat Hidup 196,96
. Sehat (Promosi Kesehatan)
14 Pembinaan Kabupaten/Kota dalam 76,83
. Pelaksanaan Gerakan Masyarakat Hidup
Sehat
15 Pemberdayaan Masyarakat (Promkes) 48,38
.
16 Pembinaan Pelaksanaan Sanitasi Total 193
No Kementerian/Program/Kegiatan/Output Alokasi (dalam
Milyar)
. Berbasis Masyarakat (STBM)
17 Cakupan Penduduk yang Menjadi Peserta 25.502,40
Penerima Bantuan Iuran (PBI) Melalui
JKN/KIS
18 Pengendalian Penyakit Filiariasis dan 148,89
. Kecacingan
19 Pengadaan Obat Filiariasis 54,60
.
20 Pengadaan Obat Gizi (Vit A, TTD) 371,10
.
Sumber: Kementerian Keuangan (2018)

1. Intervensi Gizi Sensitif (dalam Milyar)


Tabel 2. Alokasi Mendukung Proyek Prioritas Nasional “Penurunan Stunting” Gizi
Sensitif pada Pemerintah Pusat Tahun 2018

No Kementerian/Program/Kegiatan/Output Alokasi (dalam


Milyar)
Jumlah (A-H) 21.293,80
A. Kementerian Pertanian 135,79
1. Pemberdayaan Pekarangan Pangan 135,79
B. Kementerian Pendidikan dan 4,41
Kebudayaan
1. Makanan Sehat bagi Anak Usia Dini 4,41
(PAUD)
C. Kementerian Agama 74,81
1. Bimbingan Perkawinan Pra-Nikah 74,81
D. Kementerian Sosial 14.365,92
1. Keluarga Miskin yang Mendapat Bantuan 12.619,85
Tunai Bersyarat
2. Penyelenggaraan Bantuan Pangan Non- 1.746,07
Tunai
E. Kementerian Pekerjaan Umum dan PR 5.965,72
Sanitasi (Infrastruktur Air Limbah, 2.713,73
Persampahan, Drainase)
Air Bersih (SPAM Perkotaan, Berbasis 3.252
Masyarakat, Kawasan Khusus, Regional)
F. Kementerian Pemberdayaan 3
Perempuan dan Perlindungan Anak
Provinsi yang Mendapatkan Pelatihan 3
Pengasuhan Anak
No Kementerian/Program/Kegiatan/Output Alokasi (dalam
Milyar)
G. Badan Pengawas Obat dan Makanan 12,5
1. Pengawasan Produk Pangan Fortifikasi 1,5
2. Desa Pangan Aman 11
H. BKKBN 731,65
1. Keluarga yang Mempunyai Balita dan 5,95
Anak Memahami Pengasuhan dan
Pembinaan Tumbuh Kembang Anak
2. Kepersetaan ber-KB 725,7
Sumber: Kementerian Keuangan (2018)
10. Indikator Keberhasilan

B. PELAKSANAAN PENYULUHAN
1. Persiapan
2. Pelaksanaan

Anda mungkin juga menyukai