PENDAHULUAN
1
2
5
6
(kekurangan gizi terjadi sejak bayi dalam kandungan dan pada masa awal
setelah anak lahir, tetapi baru nampak setelah anak berusia 2 tahun)
(Kemenkeu RI, 2018).
2.1.2 Faktor Penyebab Kejadian Stunting
Stunting disebabkan oleh beberapa factor multi dimensial diantaranya
(Majid, 2017) :
2.1.2.1 Praktek pengasuhan yang tidak baik
a) Kurang pengetahuan tentang kesehatan dan gizi sebelum dan
pada masa kehamilan
b) 60% dari anak usia 0 – 6 bulan tidak mendapatkan ASI ekslusif
c) 2 dari 3 anak usia 0 – 24 bulan tidak menerima makanan
pengganti ASI
2.1.2.2 Terbatasnya layanan kesehatan termasuk layanan ANC (Ante Natal
Care), post natal dan pembelajaran dini yang berkualitas
a) 1 dari 3 anak usia 3 – 6 tahun tidak terdaftar di Pendidikan Anak
Usia Dini
b) 2 dari 3 ibu hamil belum mengkonsumsi suplemen zat besi yang
memadai
c) Menurunnya tingkat kehadiran anak di Posyandu (dari 79% di
2007 menjadi 64% di 2013)
d) Tidak mendapat akses yang memadai ke layanan imunisasi
2.1.2.3 Kurangnya akses ke makanan bergizi
a) 1 dari 3 ibu hamil anemia
b) Makanan bergizi mahal
2.1.2.4 Kurangnya akses ke air bersih dan sanitasi
a) 1 dari 5 rumah tangga masih BAB di ruang terbuka
b) 1 dari 3 rumah tangga belum memiliki akses ke air minum
bersih
7
2.1.4.2 ASI eksklusif sampai umur 6 bulan dan setelah umur 6 bulan diberi
makanan pendamping ASI (MPASI) yang cukup jumlah dan
kualitasnya.
2.1.4.3 Memantau pertumbuhan balita di posyandu merupakan upaya yang
sangat strategis untuk mendeteksi dini terjadinya gangguan
pertumbuhan.
2.1.4.4 Meningkatkan akses terhadap air bersih dan fasilitas sanitasi, serta
menjaga kebersihan lingkungan
2.1.5 Kerangka Intervensi Stunting di Indonesia
Kerangka Intervensi Stunting yang dilakukan oleh Pemerintah
Indonesia terbagi menjadi dua, yaitu Intervensi Gizi Spesifik dan Intervensi
Gizi Sensitif (TNP2K, 2017) :
2.1.5.1 Intervensi Gizi Spesifik
Ini merupakan intervensi yang ditujukan kepada anak dalam
1.000 Hari Pertama Kehidupan (HPK) dan berkontribusi pada 30%
penurunan stunting. Kerangka kegiatan intervensi gizi spesifik
umumnya dilakukan pada sektor kesehatan. Intervensi ini juga
bersifat jangka pendek dimana hasilnya dapat dicatat dalam waktu
relatif pendek. Kegiatan yang idealnya dilakukan untuk
melaksanakan Intervensi Gizi Spesifik dapat dibagi menjadi
beberapa intervensi utama yang dimulai dari masa kehamilan ibu
hingga melahirkan balita:
a) Intervensi Gizi Spesifik dengan sasaran Ibu Hamil. Intervensi
ini meliputi kegiatan memberikan makanan tambahan (PMT)
pada ibu hamil untuk mengatasi kekurangan energi dan protein
kronis,
mengatasi kekurangan zat besi dan asam folat, mengatasi
kekurangan iodium, menanggulangi kecacingan pada ibu hamil
serta melindungi ibu hamil dari Malaria
b) Intervensi Gizi Spesifik dengan sasaran Ibu Menyusui dan Anak
Usia 0-6 Bulan. Intervensi ini dilakukan melalui beberapa
kegiatan yang mendorong inisiasi menyusui dini/IMD terutama
9
tinggi badan (BB/TB). Untuk mengetahui balita stunting atau tidak indek
yang digunakan adalah indeks tinggi badan menurut umur (TB/U).
Indeks tinggi badan memiliki keistimewaan tersendiri, yaitu nilai
tinggi badan akan terus meningkat, meskipun laju tumbuh berubah dari
pesat pada masa bayi muda kemudian melambat dan menjadi pesat lagi
(growth spurt) pada masa remaja, selanjutnya terus melambat dengan
cepatnya kemudian berhenti pada usia 18 – 20 tahun dengan nilai tinggi
badan maksimal. Pada keadaan normal, sama halnya dengan berat badan,
tinggi badan tumbuh seiring dengan pertambahan umur. Pertambahan
nilai rata-rata tinggi badan orang dewasa dalam suatu bangsa dapat
dijadikan indikator peningkatan kesejahteraan, bila belum tercapainya
potensi genetic secara optimal (Supariasa, 2017).
2.2.5.3 Keunggulan dan Kelemahan Antropometri
a) Keunggulan
Alatnya mudah di dapat dan digunakan (dacin, microtoa).
Pengukuran dapat dilakukan berulang-ulang dengan mudah dan
objektif, pengukuran bukan hanya dilakukan dengan tenaga khusus
professional tetapi juga oleh tenaga lain setelah dilatih untuk itu, biaya
relative murah, dan juga hasilnya mudah disimpulkan Karena
memiliki ambang batas dan baku rujukan yang sudah pasti (Supariasa,
2017).
b) Kelemahan
Kelemahan dari penentuan status gizi secara antropometri antara
lain: tidak sensitive ( tidak dapat medeteksi status gizi dalam waktu
singkat dan juga tidak dapat membedakan kekurangan zat gizi tertentu
seperti zink dan fe). Faktor di luar gizi ( Penyakit, Genetik, dan
penurunan penggunaan energi) dapat menurunkan spesifitas dan
sensifitas pengukuran antropometri, dan kesalahan yang terjadi pada
saat pengukuran dapat mempengaruhi presisi, akurasi, dan validitas
pengukuran antropometri gizi (Supariasa, 2017).
17
Gambar 2.1
Makanan sederhana balita
Gambar 2.5
Makanan mengandung zat besi dan zinc
d) Kontra indikasi
Pemberian imunisasi polio tidak boleh dilakukan pada
orang yang menderita defisiensi imunitas. Tidak ada efek yang
berbahaya yang timbul akibat pemberian polio pada anak yang
sedang sakit. Namun, jika ada keraguan, misalnya sedang
menderita diare, maka dosis ulang dapat diberikan setelah
sembuh.
2.4.3.5 Imunisasi hepatitis B
a. Fungsi
Imunisasi hepatitis B, ditujukan untuk memberi tubuh
berkenalan terhadap penyakit hepatitis B, disebabkan oleh virus
yang telah mempengaruhi organ liver (hati). Virus ini akan
tinggal selamanya dalam tubuh. Bayi-bayi yang terjangkit virus
hepatitis B beresiko terkena kanker hati atau kerusakan pada
hati. Virus hepatitis B ditemukan didalam cairan tubuh orang
yang terjangkit termasuk darah, ludah dan air mani.
b. Cara pemberian dan dosis
Imunisasi diberikan 3 kali pada umur 0-11 bulan melalui
injeksi intramuscular. Kandungan vaksin adalah HbsAg dalam
bentuk cair. Terdapat vaksin prefill injection device (B-PID)
yang diberikan sesaat setelah lahir, dapat diberikan pada usia 0-
7 hari. Vaksin B-PID di suntikan denga 1 buah HB PID.
Vaksin ini, menggunakan profilled injection device (PID),
merupakan jenis alat suntik yang hanya diberikan pada bayi.
Vaksin juga diberikan pada anak usia 12 tahun yang di masa
kecilnya belum diberi vaksin hepatitis B. selain itu orang-orang
yang berada dalam resiko hepatitis B sebaiknya juga diberi
vaksin ini.
Cara pemakaian :
1) Buka kantong aluminium atau plastic dan keluarkan alat
plastic PID
39
2) Pegang alat suntil PID pada leher dan tutup jarum dengan
memegang keduanya diantara jari dan jempol, dan dengan
gerakan cepat dorong tutp jarum ke arah leher. Teruskan
mendorong sampai tidak adanya jarak antara tutp jarum dan
leher.
3) Buka tutup jarum, tetap pegang alat suntik pada baguan
leher dan tusukan jarum pada anterolaretal paha secara
intramuskular, tidak perlu dilakukan aspirasi.
4) Pijat reservoir dengan kuat untuk menyuntik, setelah
reservoir kempis cabut alat suntik.
c. Efek samping
Reaksi local seperti rasa sakit, kemerahan dan
pembengkakan disekitar tempat penyuntikan. Reaksi yang
terjadi bersifat ringan dan biasanya hilang setelah 2 hari.
d. Kontra indikasi
Hipersensitif terhadap komponen vaksin. Sama halnya
seperti vaksin-vaksin lain, vaksin ini tidak boleh diberikan
kepada penderita infeksi berat yang disertai kejang.
40
STUNTING
Keterangan :
Stunting disebabkan oleh beberapa factor multidimensi diantaranya adalah
praktek pengasuhan yang kurang baik, terbatasnya layanan kesehatan baik ANC
maupun PNC, kurangnya asupan gizi pada masa kehamilan dan kurangnya akses ke
air bersih dan sanitasi yang kurang baik. Praktik pengasuhan yang kurang baik akan
berdampak pada kurangnya pengetahuan tentang gizi kehamilan dan kepada anak,
anak kurang mendapat ASI dan pemberian makanan pendamping ASI yang kurang
tepat. Terbatasnya layanan kesehatan berdampak pada kurangnya asupan suplemen
zat besi pada masa kehamilan dan menurunnya tingkat kehadiran anak di posyandu
mengakibatkan anak tidak mendapatkan akses yang memadai tentang layanan
imunisasi. Kurangnya asupan gizi saat kehamilan akan berdampak pada anemia
kehamilan. Sedngkan sanitasi yang kurang baik akan berdampak pada lingkungan
yang kurang sehat. Factor multidimensi ini kemudian berisiko tinggi kepada
pemenuhan gizi pada anak karena keterbatasan pada keluarga anak. Jika hal ini
terus berlangsung maka akan mengakibatkan anak balita menderita stunting
(Majid,2017).
BAB III
KERANGKA KONSEP, DEFENISI OPERASIONAL DAN HIPOTESIS
41
42
43
44
Proses pengumpulan data dalam penelitian ini dapat dilihat pada bagan berikut
ini :
Populasi
Balita Stunting usia 1-3 tahun
Sampel
Balita Stunting sesuai kriteria sampel
Proses Penelitian
Pembagian Kuesioner kepada keluarga sampel
Pengumpulan Data
Pengumpulan informasi berupa riwayat pola
makan pendamping ASI dan Imunisasi, serta
pengukuran kejadian stunting pada balita
4.7.1.3 Processing
Peneliti akan mulai memberikan skor terhadap berbagai item yang
perlu diberikan skor atau mengubah jenis data bila diperlukan.
Disesuaikan atau dimodifikasi dengan teknik analisis yang dipergunakan.
Tindakan selanjutnya adalah memasukkan data ke dalam komputer
dengan menggunakan program SPSS untuk menganalisis data.
4.7.1.4 Cleaning
Peneliti akan melakukan pembersihan data dengan cara melakukan
pengecekan ulang untuk mengetahui apakah data yang dimasukkan
terdapat kesalahan. Apabila dalam proses ini ditemukankesalahan berupa
kesalahan pemberian kode, ketidaklengkapan dan sebagainya amaka
akan dilakukan pembentulan atau koreksi.
4.7.2 Analisis Data
4.7.2.1 Analisis univariat
Analisis univariat adalah suatu prosedur pengolahan data dengan
menggambarkan dan meringkas data secara ilmiah dalam bentuk tabel
atau grafik. Data-data yang disajikan meliputi frekuensi, proporsi dan
rasio, ukuran-ukuran kecenderungan pusat (rata-rata hitung, median,
modus), maupun ukuran-ukuran variasi (simpangan baku, variansi,
rentang, dan kuartil). Salah satu pengamatan yang dilakukan pada tahap
analisis deskriptif adalah pengamatan terhadap tabel frekuensi. Tabel
frekuensi terdiri atas kolom-kolom yang memuat frekuensi dan
persentase untuk setiap kategori (Nursalam, 2015).
4.7.2.2 Analisis Bivariat
Dalam pengujian bivariat, uji yanbg digunakan harus sesuai
dengan rancangan penelitian. Pengujian statistik yang tidak sesuai akan
menimbulkan penafsiran yang salah dan hasil yang tidak dapat
digeneralisasi (Nursalam, 2015). Dalam penelitian ini, uji analisis
inferensial akan menggunakan uji Chi Square Test dengan toleransi
kesalahan sebesar 5%.
BAB V
HASIL PENELITIAN
49
50
Tabel 5.2
Distribusi Responden Berdasarkan Pendidikan Orang Tua
Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Taraweang
Kabupaten Pangkep
No. Pendidikan Orang Tua Jumlah Persentase (%)
1 SD 18 32,7
2 SMP 16 29,1
3 SMA 6 10,9
4 Perguruan tinggi 15 27,3
Total 55 100
Sumber : Data Primer Agustus 2019
Berdasarkan tabel di atas, maka diketahui bahwa kelompok
pedidikan orang tua responden yang paling banyak adalah SD
dengan jumlah 18 orang responden (32,7%), sedangkan kelompok
pendidikan orang tua responden yang paling sedikit adalh SMA
dengna jumlah responden sebanyak 6 orang (10,9%).
e.1.1.2 Karakteristik Responden
a. Usia Anak
Tabel 5.3
Distribusi Responden Berdasarkan Usia Anak di Wilayah Kerja
Puskesmas Taraweang Kabupaten Pangkep
No Persentase
Usia Anak Jumlah
. (%)
1 0 – 12 Bulan 3 5,5
2 13 - 24 Bulan 10 18,2
3 25 - 36 Bulan 42 76,4
Total 55 100
Sumber : Data Primer Agustus 2019
Berdasarkan tabel di atas, maka diketahui bahwa kelompok
usia anak yang paling banyak adalah > 2 tahun dengan jumlah 42
orang anak (76,4%), sedangkan kelompok usia anak yang paling
sedikit adalah < 1 tahun dengna jumlah 3 orang anak (5,5%).
Tabel 5.4
Distribusi Responden Berdasarkan Tinggi Badan/ Panjang
Badan pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas
Taraweang Kabupaten Pangkep
No Tinggi Badan/ Panjang Persentase
Jumlah
. Badan Anak (%)
1 60 - 70 cm 8 14,5
2 71 - 80 cm 28 50,9
3 81 - 90 cm 18 32,7
4 91 - 100 cm 1 1,8
Total 55 100
Sumber : Data Primer Agustus 2019
Berdasarkan tabel di atas, maka diketahui bahwa tinggi
badan/Panjang badan anak yang paling banyak adalah 71 -80 cm
yaitu sebanyak 28 orang anak (50,9%), sedangkan tinggi
badan/Panjang badan anak yang paling sedikit adalah 91 – 100 cm
yaitu 1 orang (1,8%).
c. Berat Badan Anak
Tabel 5.5
Distribusi Responden Berdasarkan Berat Badan pada Balita
di Wilayah Kerja Puskesmas Taraweang
Kabupaten Pangkep
No
Berat Badan Anak Jumlah Persentase (%)
.
1 5 - 10 Kg 46 83,6
2 11 - 15 Kg 9 16,4
Total 55 100
Sumber : Data Primer Agustus 2019
Berdasarkan tabel di atas, maka diketahui bahwa berat badan
anak yang paling banyak adalah 5 -10 kg dengan jumlah 46 orang
(83,6%), sedangkan yang paling sedikit adalah 11 – 15 kg dengan
jumlah 9 orang (16,4%).
52
Tabel 5.7
Distribusi Responden Berdasarkan Riwayat Pola MP-ASI pada
Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Taraweang
Kabupaten Pangkep
No. Riwayat Pola MP-ASI Jumlah Persentase (%)
1 Cukup 43 78,2
2 Kurang 12 21,8
Total 55 100
Sumber : Data Primer Agustus 2019
Berdasarkan tabel di atas, maka diketahui bahwa riwayat pola makan
pendamping ASI dalam kategori yang cukup baik sebanyak 43 orang
(78,2%), sedangkan riwayat pola makan pendamping ASI yang kurang baik
sebanyak 12 orang (21,8%).
53
Tabel 5.8
Distribusi Responden Berdasarkan Riwayat Imunisasi pada Balita
di Wilayah Kerja Puskesmas Taraweang Kabupaten Pangkep
Persentase
No. Riwayat Imunisasi Jumlah
(%)
1 Lengkap 48 87,3
2 Tidak lengkap 7 12,7
Total 55 100
Sumber : Data Primer Agustus 2019
Berdasarkan tabel di atas, maka diketahui bahwa riwayat imunisasi
balita yang lengkap sebanyak 48 orang (87,3%), sedangkan riwayat
imunisasi balita yang tidak lengkap sebanyak 7 orang (12,7%).
5.1.3 Variabel Depdenden
Variable dependen dalam penelitian ini adalah kejadian stunting pada balita.
Distribusi frekuensinya dapat dilihat pada tabel berikut ini:
Tabel 5.9
Distribusi Responden Berdasarkan Kejadian Stunting pada Balita
di Wilayah Kerja Puskesmas Taraweang Kabupaten Pangkep
No. Kejadian Stunting Jumlah Persentase (%)
1 Pendek 43 78,2
2 Sangat pendek 12 21,8
Total 55 100
Sumber : Data Primer Agustus 2019
Berdasarkan tabel di atas, maka diketahui bahwa anak dengan status
stunting dalam kategori yang pendek sebanyak 43 orang (78,2%), sedangkan
anak dengan status stunting dalam kategori yang sangat pendek sebanyak 12
orang (21,8%).
5.2 Analisis Bivariat
Analisis bivariat dalam penelitian ini bertujuan untuk melihat hubungan
antara riwayat pola MP-ASI dan riwayat imunisasi dengan kejadian stunting pada
balita. Maka ketentuan bahwa riwayat pola MP-ASI dan riwayat imunisasi
mempunyai hubungan yang signifikan terhadap kejadian stunting pada balita di
wilayah kerja Puskesmas Taraweang Kabupaten Pangkep apabila p < α 0,05.
Berikut ini adalah tabel hasil analisis bivariat:
54
5.2.1 Hubungan riwayat Pola MP-ASI dengan kejadian stunting pada balita di wilayah
kerja Puskesmas Taraweang Kabupaten Pangkep
Tabel 5.10
Hubungan Riwayat Pola MP-ASI dengan Kejadian Stunting
pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Taraweang
Kabupaten Pangkep
Riwayat Kejadian Stunting
Total
Pola MP- Pendek Sangat Pendek
ASI n % n % n % ρ=0 , 02
Cukup 38 69,1 5 9,1 43 78,2 α =0 , 05
Kurang 5 9,1 7 12,7 12 21,8
Total 43 78,2 12 21,8 55 100
Sumber : Data Primer Agustus 2019
Berdasarkan tabel 5.10 diketahui bahwa dari total 43 orang balita (78,2%)
yang dalam kategori riwayat pola MP-ASI yang cukup baik, didapatkan 28 orang
balita (69,1%) dalam kategori yang pendek, sedangkan 5 balita lainnya (9,1%)
dalam kategori sangat pendek. Sedangkan dari total 12 orang balita (21,8%) yang
dalam kategori riwayat pola MP-ASI yang kurang baik, didapatkan 5 orang balita
(9,1%) dalam kategori pendek sedangkan 7 balita lainnya (12,7%) dalam kategori
sangat pendek.
Setelah dilakukan analisis statistic menggunakan uji Chi Square Test, maka
berdasarkan koreksi Continuity Correction didapatkan nilai p value sebesar 0,002.
Maka disimpulkan bahwa riwayat pola makan pendamping ASI mempunyai
hubungan yang signifikan dengan kejadian stunting pada balita di Wilayah Kerja
Puskesmas Taraweang Kabupaten Pangkep karena p 0,002 < α 0,05.
55
5.2.2 Hubungan riwayat imunisasi dengan kejadian stunting pada balita di wilayah kerja
Puskesmas Taraweang Kabupaten Pangkep
Tabel 5.11
Hubungan Riwayat Imunisasi dengan Kejadian Stunting pada Balita
di Wilayah Kerja Puskesmas Taraweang Kabupaten Pangkep
Kejadian Stunting Total
Riwayat
Pendek Sangat Pendek
Imunisasi
n % N % n %
ρ=0 , 04
Lengkap 41 74,5 7 12,7 48 87,3
α =0 , 05
Tidak lengkap 2 3,6 5 9,1 7 12,7
Total 43 78,2 12 21,8 55 100
Sumber : Data Primer Agustus 2019
Berdasarkan tabel di atas, maka diketahui bahwa dari total 48 orang balita
(87,3%) yang dalam kategori riwayat imunisasi yang lengkap, didapatkan
sebanyak 41 balita (74,5%) dalam kategori yang pendek, dan 7 balita lainnya
(12,7%) dalam kategori sangat pendek. Sedangkan dari total 7 orang balita
(12,7%) yang dalam kategori riwayat imunisasi yang tidak lengkap, didapatkan
sebanyak 2 orang balita (3,6%) dalam kategori pendek, dan 5 balita lainnya
(9,1%) dalam kategori sangat pendek.
Setelah dilakukan analisis statistic menggunakan uji Chi Square Test, maka
berdasarkan koreksi Continuity Correction didapatkan nilai p value sebesar 0,004.
Maka disimpulkan bahwa riwayat imunisasi mempunyai hubungan yang
signifikan dengan kejadian stunting pada balita di Wilayah Kerja Puskesmas
Taraweang Kabupaten Pangkep karena p 0,004 < α 0,05.
BAB VI
PEMBAHASAN
56
57
Anak balita yang diberikan ASI eksklusif dan MP-ASI sesuai dengan
dengan kebutuhannya dapat mengurangi resiko tejadinya stunting. Hal ini karena
pada usia 0-6 bulan ibu balita yang memberikan ASI eksklusif yang dapat
membentuk imunitas atau kekebalan tubuh anak balita sehingga dapat terhindar
dari penyakit infeksi. Setelah itu pada usia 6 bulan anak balita diberikan MP-ASI
dalam jumlah dan frekuensi yang cukup sehingga anak balita terpenuhi kebutuhan
zat gizinya yang dapat mengurangi risiko terjadinya stunting.
Berdasarkan hal tersebut, maka peneliti berasumsi bahwa riwayat pola
Makan Pendamping ASI berhubungan dengan kejadian stunting pada balita
karena pemberian MP-ASI yang tepat dapat meningkatkan status gizi pada balita
apabila diberikan secara tepat sesuai dengan umur dan kebutuhan balita. Anak
balita yang mendapatkan makanan pendamping ASI yang kurang tepat secara
kebutuhan dan usia anak, secara tidak langsung akan mengalami hambatan
pertumbuhan karena tidak diberikan secara tepat.
6.2 Hubungan Riwayat Imunisasi dengan Kejadian Stunting pada Balita di
Wilayah Kerja Puskesmas Taraweang Kab. Pangkep
Secara toritis, anak yang mendapatkan imunisasi secara lengkap akan
mendapatkan status kesehatan yang optimal, dalam hal ini anak tidak akan
mengalami kondisi stunting yang parah atau sangat pendek. Dalam penelitian ini,
didapatkan anak dengan riwayat imunisasi yang lengkap sebanyak 7 orang
(12,7%) mengalami kondisi stunting yang pendek atau sangat pendek. Demikian
juga anak yang mendapatkan imunisasi yang kurang lengkap, ditemukan sebanyak
2 orang (3,6%) yang tidak mengalami stunting dalam katerogi sangat pendek,
dalam penelitian ini dikategorikan pendek. Hal ini menurut peneliti karena
dipengaruhi oleh sub variable yang lain yaitu riwayat Pola Makan Pendamping
ASI. Sehingga meskipun anak mendapatkan imunisasi yang lengap akan
berpotensi mengalami stunting yang parah apabila tidak dibarengi dengan
pemberian makanan pendamping ASI yang sesuai dengan kebutuhan dan usia
anak. Demikian juga dengan sebaliknya.
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Aridiyah et al (2015) tentang
faktor yang mempengaruhi kejadian stunting pada anak balita menyatakan bahwa
status imunisasi mempengaruhi terjadinya stunting.
58
60
61
DAFTAR PUSTAKA
Adrian, K. (2019). Makanan Pendamping ASI Bisa Dimuali Dengan Menu Berikut.
(Online) (https://www.alodokter.com/makanan-pendamping-asi-bisa-dimulai-
dengan-menu-berikut di akses pada tanggal 29 April 2019).
Adriani, M. (2014) Gizi Dan Kesehatan Balita. 1st edn. Jakarta: Kencana.
Azriful, Bujarwati E, Habibi, Aeni S.,& Yusdarif (2018) determinan kejadian stunting
pada balita usia 24-59 bulan dikelurhan rangas kabupaten majene, public
health science journal (192-203).
Bakri, B. (2017) Penilaian Status Gizi. 1st edn. Edited by E. Rezkina. Jakarta: BUku
kedokteran.
Fikawati, S., Syafiq A., & Veratamala A. (2017). Gizi Anak dan Remaja. Edisi 1.
Jakarta : Rajawali Pers.
Hanum, N.H (2019). Hubungan tinggi badan ibu dan riwayat pemberian MP-ASI
dengan kejadian stunting pada balita usia 12-59 bulan, jurnal Anumerta Nutr
(78-84).
Hardiati N, dkk. (2015). Buku Ajar Imunisasi. Pusat Pendidikan dan Pelatihan Tenaga
Kesehatan.
Hayyudini LA, Sarah W., & Jeanette M (2017) hubungan factor resiko dengan stunting
pada anak di TK/PAUD kecamatan tumiting. Jurnal medic dan rehabilitasi Vol.
1 No. 2.
Hendra AL., Rahmat ,& Miko A. (2016). Kajian stunting pada anak balita
berdasarkan pola asuh dan pendapatan keluarga di kota banda aceh. Jurnal
kesmas Indonesia Vol. 8 No 2 963-79).
Kemenkes RI. (2016). Situasi Balita Pendek. Pusat Data dan Informasi Kementrian
Kesehatan RI : ISSN 2442 – 7659.
Kemenkes RI. (2018). Situasi Balitan Pendek (Stunting) di Indonesia. Pusat Data dan
Informasi Kementrian Kesehatan RI : ISSN 2088 – 270 X.
62
Khasanah D,P, Hadi H , & Paramashanti B.A. (2016). Hubungan antara pemberian
makanan pendamping ASI (MP-ASI) dengan kejadian stunting pada anak usia
6-23 bulan di kecamatan sedayu. Universitas Alma Ata Yogyakarta.
Majid, T. (2017). Buku Saku Desa Dalam Penanganan Stunting. Kementrian Desa,
Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi.
Millenium Challenge Account Indonesia. (2019). Stunting dan Masa Depan Indonesia.
(Online) (di akses pada tanggal 29 April 2019 www.mca-indonesia.go.id )
Mugianti S., Mulyadi A., Anam AK., & Najah ZL. (2018). Faktor Penyebab Anak
Stunting Usia 25-60 Bulan di Kecamatan Sukorejo Kota Blitar. Jurnal Ners
dan Kebidanan, Volume 5, Nomor 3, Desember 2018, Hal. 268–278
Ni’mah K., & Nadiroh SR. (2015). Factor yang Berhubungan dengan Kejadian
Stunting pada Balita. Media Gizi Indonesia, Vol. 10, No. 1 Januari–Juni 2015:
Hal. 13–19.
Rizki MR., & Nawangwulan S (2018). Buku Ajar Metodologi Penelitian Kesehatan.
Sidoarjo : Indomedia Pustaka.
Ruslianti (2015) Gizi dan Kesehatan Anak Prasekolah. 1st edn. Edited by P. Latifah.
Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Sabri L., & Hastono SP. (2018). Statistic Kesehatan. Jakarta : Rajawali Pers.
Susilowati (2016) Gizi Dalam Daur Kehidupan. 1st edn. Edited by A. Suzana. Bandung:
Refika Aditama.
Supariasa, N. (2017) Ilmu Gizi Teori & Aplikasi. Edited by Hardiansyah. BUku
kedokteran.
https://www.google.co.id/search?
q=makanan+yang+sederhana+untuk+balita&safe=strict&source=lnms&tbm=is
ch&sa=X&ved=0ahUKEwjuxZf6m5TkAhVFs48KHcToAZUQ_AUIESgB&bi
w=1242&bih=597&dpr=1.1#imgrc=vy5eoOD_uI24_M:
https://www.google.co.id/search?
q=makanan+sereal+balita&safe=strict&source=lnms&tbm=isch&sa=X&ved=
63
0ahUKEwi6yOzLnJTkAhX46nMBHcsMAfUQ_AUIESgB&biw=1242&bih=5
97&dpr=1.1#imgrc=-hSYaPYWRgfTbM:
https://www.google.co.id/search?
q=makanan+bubur+dan+sayuran+balita&safe=strict&source=lnms&tbm=isch
&sa=X&ved=0ahUKEwiYyNjHnZTkAhWHSH0KHbdAD54Q_AUIESgB&bi
w=1242&bih=597&dpr=1.1#imgrc=RRsTO3YKJo0HpM:
https://www.google.co.id/search?
q=makanan+cincang+halus+untuk+balita&safe=strict&source=lnms&tbm=isc
h&sa=X&ved=0ahUKEwiluYStn5TkAhWc_XMBHQ5zBCYQ_AUIESgB&bi
w=1242&bih=597#imgrc=KIO4nKET2yrrJM:
https://www.google.co.id/search?
q=makanan+mengandung+zat+besi+untuk+anak&safe=strict&source=lnms&t
bm=isch&sa=X&ved=0ahUKEwiHvOGeoJTkAhWDSH0KHU4XBToQ_AUI
ESgB&biw=1242&bih=597#imgrc=fyGdoXIRQp7TDM: