Anda di halaman 1dari 63

BAB I

PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang


Pembangunan kesehatan dalam periode tahun 2015-2019 difokuskan pada
empat program prioritas yaitu penurunan angka kematian ibu dan bayi, penurunan
prevalensi balita pendek (stunting), pengendalian penyakit menular dan
pengendalian penyakit tidak menular (Kemenkes RI, 2016). Stunting merupakan isu
baru yang menjadi sorotan WHO untuk segera dituntaskan karena mempengaruhi
fisik dan fungsional tubuh serta meningkatnya angka kesakitan anak. Stunting dapat
dituntaskan bila faktor penyebab stunting disetiap wilayah dapat dikendalikan
(Mugianti et al. 2018).
Stunting (kerdil) adalah kondisi dimana balita memiliki panjang atau tinggi
badan yang kurang jika dibandingkan dengan umur. Kondisi ini diukur dengan
panjang atau tinggi badan yang lebih dari minus dua standar deviasi median standar
pertumbuhan anak dari WHO. Balita stunting termasuk masalah gizi kronik yang
disebabkan oleh banyak faktor seperti kondisi sosial ekonomi, gizi ibu saat hamil,
kesakitan pada bayi, dan kurangnya asupan gizi pada bayi. Balita stunting di masa
yang akan datang akan mengalami kesulitan dalam mencapai perkembangan fisik
dan kognitif yang optimal (Kemenkes RI, 2018).
Kejadian balita pendek atau biasa disebut dengan stunting merupakan salah
satu masalah gizi yang dialami oleh balita di dunia saat ini. Pada tahun 2017,
jumlahnya mencapai 22,2% atau sekitar 150,8 juta balita di dunia mengalami
stunting. Namun angka ini sudah mengalami penurunan jika dibandingkan dengan
angka stunting pada tahun 2000 yaitu 32,6%. Pada tahun 2017, lebih dari setengah
balita di dunia berasal dari Asia (55%) sedangkan lebih dari sepertiganya (29%)
tinggal di Afrika. Dari 83,6 juta balita stznting di Asia, proposisi terbanyak berasal
dari Asia Selatan (58,7%) dan proposisi paling sedikit di Asia Tengah (0,9%). Data
prevalensi balita stunting yang dikumpulkan World Health Organization (WHO),
Indonesia termasuk ke dalam Negara ketiga dengan prevalensi tertinggi di regional
ASIA Tenggara/South-East Asia Regional (SEAR). Rata-rata prevalensi balita
stunting di Indonesia tahun 2005-2017 adalah 36,4% (Kemenkes RI, 2018).

1
2

Prevalensi balita pendek di Indonesia cenderung statis. Hasil Riset Kesehatan


Dasar (Riskesdas) tahun 2007 menunjukkan prevalensi balita pendek di Indonesia
sebesar 36,8%. Pada tahun 2010, terjadi sedikit penurunan menjadi 35,6%. Namun
prevalensi balita pendek kembali meningkat pada tahun 2013 yaitu menjadi 37,2%.
Prevalensi balita pendek selanjutnya akan diperoleh dari hasil Riskesdas tahun 2018
yang juga menjadi ukuran keberhasilan program yang sudah diupayakan oleh
pemerintah. Prevalensi balita sangat pendek dan pendek usia 0-59 bulan di Indonesia
tahun 2017 adalah 9,8% dan 19,8%. Kondisi ini meningkat dari tahun sebelumnya
yaitu prevalensi balita sangat pendek sebesar 8,5% dan balita pendek sebesar 19%
(Kemenkes RI, 2018).
Provinsi dengan prevalensi tertinggi balita sangat pendek dan pendek pada usia
0-59 bulan tahun 2017 adalah Nusa Tenggara Timur, sedangkan provinsi dengan
prevalensi terendah adalah Bali. Berdasarkan hasil laporan yang sama, di Povinsi
Sulawesi Selatan sendiri kejadian balita stunting dengan kualifikasi sangat pendek
sebesar 9,9% dan kualifikasi pendek sebesar 24,2% (Kemenkes RI, 2018).
Kondisi kesehatan dan gizi ibu sebelum dan saat kehamilan serta setelah
persalinan mempengaruhi pertumbuhan janin dan risiko terjadinya stunting. Faktor
lainnya pada ibu yang mempengaruhi adalah postur tubuh ibu (pendek), jarak
kehamilan yang terlalu dekat, ibu yang masih remaja, serta asupan nutrisi yang
kurang pada saat kehamilan (Kemenkes RI, 2018). Beberapa penelitian telah
dilakukan, diantaranya penelitian Ni’mah K dan Nadiroh SR (2015) tentang factor
yang berhubungan dengan kejadian stunting pada balita yang menyatakan bahwa
panjang badan lahir, riwayat ASI eksklusif, pendapatan keluarga, pendidikan ibu,
dan pengetahuan gizi ibu merupakan faktor yang berhubungan dengan kejadian
stunting pada balita.
Penelitian yang dilakukan oleh Aridiyah dkk (2015) tentang factor yang
mempengaruhi kejadian stunting pada anak balita menyatakan bahwa status
pekerjaan ibu, jumlah anggota keluarga, status imunisasi, tingkat kecukupan energi,
dan status BBLR tidak mempengaruhi terjadinya stunting. Tingkat kecukupan
protein dan kalsium di wilayah pedesaan menunjukkan hubungan yang signifikan
sedangkan di wilayah perkotaan tidak menunjukkan adanya hubungan. Faktor yang
3

paling mempengaruhi terjadinya stunting pada anak balita di wilayah pedesaan


maupun perkotaan yaitu tingkat kecukupan zink.
Berdasarkan pengambilan data awal di wilayah kerja puskesmas desa
Taraweang Kabupaten Pangkep pada tahun 2018 jumlah balita keseluruhan dari 6
posyandu yang ada di desa Taraweang yaitu 438 balita, yang dimana sebanyak 24
balita yang masuk dalam kategori sangat pendek dan 43 balita masuk dalam kategori
pendek. Pada tahun 2019 jumlah balita keseluruhan dari 6 posyandu yang ada di
desa Taraweang yaitu 427 balita, sebanyak 24 balita masuk dalam kategori sangat
pendek dan 66 balita masuk dalam kategori pendek. Berarti jumlah balita yang
mengalami kejadian stunting pada tahun 2018 sekitar 67 balita, sedangkan pada
tahun 2019 sampai bulan april sekitar 90 balita. Kesimpulannya, bahwa peningkatan
stunting dari tahun 2018-2019 mengalami peningkatan yang cukup tinggi karna pada
tahun 2019 sampai bulan april sudah mencakup 55 balita yang mengalami stunting.
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka penulis tertarik untuk melakukan
penelitian dengan judul “hubungan riwayat pola makan pendamping asi dan
imunisasi dengan kejadian stunting pada balita usia 1-3 tahun di wilayah kerja
puskesmas taraweang kab pangkep “.
I.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka penulis tertarik untuk melakukan
penelitian dengan judul “hubungan riwayat pola makan pendamping asi dan
imunisasi dengan kejadian Stunting pada balita usia 1-3 tahun di wilayah kerja
Puskesmas Taraweang Kab Pangkep “.
I.3 Tujuan Penelitian
I.3.1 Tujuan Umum
Untuk mengetahui hubungan riwayat pola makan pendamping ASI dan
imunisasi dengan kejadian stunting pada balita usia 1-3 tahun di wilayah kerja
Puskesmas Taraweang Kab Pangkep.
I.3.2 Tujuan Khusus
I.3.2.1 Telah diketahui hubungan riwayat pola makan pendamping ASI dengan
kejadian stunting pada balita usia 1-3 tahun di wilayah kerja Puskesmas
Taraweang Kab. Pangkep.
4

I.3.2.2 Telah diketahui hubungan imunisasi dengan kejadian stunting pada


balita di wilayah kerja puskesmas Taraweang Kab. Pangkep
I.4 Manfaat Penelitian
I.4.1 Manfaat bagi Pendidikan
Penelitian ini diharapkan dapat menambah literature khususnya dalam
masalah kejadian stunting pada anak balita sehingga dapat dijadikan sebagai
bahan rujukan dan bahan pustaka untuk semua orang yang
membutuhkannya.
I.4.2 Manfaat bagi Institusi Kesehatan
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan perbandingan bagi
institusi kesehatan setempat agar dapat dijadikan rujukan khususnya dalam
penanganan kasus kejadian stunting agar dapat memberikan edukasi pada
masyarakat sehingga kejadian stunting dapat diminimalisir.
I.4.3 Manfaat bagi Peneliti
Penelitian ini diharapakan dapat menambah wawasan dan pengalaman
peneliti dalam bidang penelitian khususnya tentang masalah kejadian
stunting pada balita.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tinjauan Umum tentang Stunting


2.1.1 Pengertian
Stunting didefenisikan sebagai tinggi badan menurut usia di bawah -2
standar median kurva pertumbuhan anak WHO. Stunting merupakan
kondisi kronis buruknya pertumbuhan linear seorang anak yang merupakan
akumulasi dampak berbagai factor seperti buruknya gizi dan kesehatan
sebelum dan setelah kelahiran anak tersebut (Fikawati et al, 2017).
Stunting (kerdil) adalah kondisi dimana balita memiliki panjang atau
tinggi badan yang kurang jika dibandingkan dengan umur. Kondisi ini
diukur dengan panjang atau tinggi badan yang lebih dari minus dua standar
deviasi median standar pertumbuhan anak dari WHO. Balita stunting
termasuk masalah gizi kronik yang disebabkan oleh banyak faktor seperti
kondisi sosial ekonomi, gizi ibu saat hamil, kesakitan pada bayi, dan
kurangnya asupan gizi pada bayi. Balita stunting di masa yang akan datang
akan mengalami kesulitan dalam mencapai perkembangan fisik dan
kognitif yang optimal (Kemenkes RI, 2018).
Stunting merupakan adalah sebuah kondisi dimana tinggi badan
seseorang ternyata lebih pendek disbanding tinggi badan orang lain pada
umumnya (seusianya) (Majid, 2017).
Stunting adalah masalah kurang gizi kronis yang disebabkan oleh
asupan gizi yang kurang dalam waktu cukup lama akibat pemberian
makanan yang tidak sesuai dengan kebutuhan gizi. Stunting terjadi mulai
janin masih dalam kandungan dan baru nampak saat anak berusia dua
tahun. Kekurangan gizi pada usia dini meningkatkan angka kematian bayi
dan anak, menyebabkan penderitanya mudah sakit dan memiliki postur
tubuh tak maksimal saat dewasa. Kemampuan kognitif para penderita juga
berkurang, sehingga mengakibatkan kerugian ekonomi jangka panjang bagi
Indonesia (MCAI, 2019).
Stunting adalah kondisi gagal tumbuh pada anak balita akibat dari
kekurangan gizi kronis sehingga anak terlalu pendek untuk usianya.

5
6

(kekurangan gizi terjadi sejak bayi dalam kandungan dan pada masa awal
setelah anak lahir, tetapi baru nampak setelah anak berusia 2 tahun)
(Kemenkeu RI, 2018).
2.1.2 Faktor Penyebab Kejadian Stunting
Stunting disebabkan oleh beberapa factor multi dimensial diantaranya
(Majid, 2017) :
2.1.2.1 Praktek pengasuhan yang tidak baik
a) Kurang pengetahuan tentang kesehatan dan gizi sebelum dan
pada masa kehamilan
b) 60% dari anak usia 0 – 6 bulan tidak mendapatkan ASI ekslusif
c) 2 dari 3 anak usia 0 – 24 bulan tidak menerima makanan
pengganti ASI
2.1.2.2 Terbatasnya layanan kesehatan termasuk layanan ANC (Ante Natal
Care), post natal dan pembelajaran dini yang berkualitas
a) 1 dari 3 anak usia 3 – 6 tahun tidak terdaftar di Pendidikan Anak
Usia Dini
b) 2 dari 3 ibu hamil belum mengkonsumsi suplemen zat besi yang
memadai
c) Menurunnya tingkat kehadiran anak di Posyandu (dari 79% di
2007 menjadi 64% di 2013)
d) Tidak mendapat akses yang memadai ke layanan imunisasi
2.1.2.3 Kurangnya akses ke makanan bergizi
a) 1 dari 3 ibu hamil anemia
b) Makanan bergizi mahal
2.1.2.4 Kurangnya akses ke air bersih dan sanitasi
a) 1 dari 5 rumah tangga masih BAB di ruang terbuka
b) 1 dari 3 rumah tangga belum memiliki akses ke air minum
bersih
7

2.1.2.5 Ciri-Ciri Anak Stunting


Beberapa cirri-ciri anak mengalami stunting menurut Majid
(2017) antara lain :
a) Tanda pubertas terlambat
b) Performa buruk pada tes perhatian dan memori belajar
c) Pertumbuhan gigi terlambat
d) Usia 8 – 10 tahun anak menjadi lebih pendiam, tidak banyak
melakukan eye contact
e) Pertumbuhan melambat
f) Wajah tampak lebih muda dari seusianya.
2.1.3 Dampak Buruk Stunting
Dampak buruk yang dapat ditimbulkan oleh stunting antara lain
(Majid, 2017) :
2.1.3.1 Jangka pendek adalah terganggunya perkembangan otak,
kecerdasan, gangguan pertumbuhan fisik, dan gangguan
metabolisme dalam tubuh
2.1.3.2 Dalam jangka panjang akibat buruk dapat ditimbulkan adalah
menurunnya kemampuan kognitif dan prestasi belajar, menurunnya
kekebalan tubuh sehingga mudah sakit, dan resiko tinggi untuk
munculnya penyakit diabetes, kegemukan, penyakit jantung dan
pembuluh darah, kanker, stroke, dan disabilitas pada usia tua.
Kesemuanya itu akan menurunkan kualitas sumber daya manusia
Indonesia, produktifitas dan daya saing bangsa.
2.1.4 Pencegahan Stunting
Stunting bisa dicegah dengan cara (MCAI, 2019) :
2.1.4.1 Pemenuhan kebutuhan zat gizi bagi ibu hamil. Ibu hamil harus
mendapatkan makanan yang cukup gizi, suplementasi zat gizi
(tablet zat besi atau Fe), dan terpantau kesehatannya. Namun,
kepatuhan ibu hamil untuk meminum tablet tambah darah hanya
33%. Padahal mereka harus minimal mengkonsumsi 90 tablet
selama kehamilan
8

2.1.4.2 ASI eksklusif sampai umur 6 bulan dan setelah umur 6 bulan diberi
makanan pendamping ASI (MPASI) yang cukup jumlah dan
kualitasnya.
2.1.4.3 Memantau pertumbuhan balita di posyandu merupakan upaya yang
sangat strategis untuk mendeteksi dini terjadinya gangguan
pertumbuhan.
2.1.4.4 Meningkatkan akses terhadap air bersih dan fasilitas sanitasi, serta
menjaga kebersihan lingkungan
2.1.5 Kerangka Intervensi Stunting di Indonesia
Kerangka Intervensi Stunting yang dilakukan oleh Pemerintah
Indonesia terbagi menjadi dua, yaitu Intervensi Gizi Spesifik dan Intervensi
Gizi Sensitif (TNP2K, 2017) :
2.1.5.1 Intervensi Gizi Spesifik
Ini merupakan intervensi yang ditujukan kepada anak dalam
1.000 Hari Pertama Kehidupan (HPK) dan berkontribusi pada 30%
penurunan stunting. Kerangka kegiatan intervensi gizi spesifik
umumnya dilakukan pada sektor kesehatan. Intervensi ini juga
bersifat jangka pendek dimana hasilnya dapat dicatat dalam waktu
relatif pendek. Kegiatan yang idealnya dilakukan untuk
melaksanakan Intervensi Gizi Spesifik dapat dibagi menjadi
beberapa intervensi utama yang dimulai dari masa kehamilan ibu
hingga melahirkan balita:
a) Intervensi Gizi Spesifik dengan sasaran Ibu Hamil. Intervensi
ini meliputi kegiatan memberikan makanan tambahan (PMT)
pada ibu hamil untuk mengatasi kekurangan energi dan protein
kronis,
mengatasi kekurangan zat besi dan asam folat, mengatasi
kekurangan iodium, menanggulangi kecacingan pada ibu hamil
serta melindungi ibu hamil dari Malaria
b) Intervensi Gizi Spesifik dengan sasaran Ibu Menyusui dan Anak
Usia 0-6 Bulan. Intervensi ini dilakukan melalui beberapa
kegiatan yang mendorong inisiasi menyusui dini/IMD terutama
9

melalui pemberian ASI jolong/colostrum serta mendorong


pemberian ASI Eksklusif
c) Intervensi Gizi Spesifik dengan sasaran Ibu Menyusui dan Anak
Usia 0-6 Bulan. Intervensi ini dilakukan melalui beberapa
kegiatan yang mendorong inisiasi menyusui dini/IMD terutama
melalui pemberian ASI jolong/colostrum serta mendorong
pemberian ASI Eksklusif
2.1.5.2 Intervensi Gizi Sensitif
Kerangka ini idealnya dilakukan melalui berbagai kegiatan
pembangunan diluar sector kesehatan dan berkontribusi pada 70%
Intervensi Stunting. Sasaran dari intervensi gizi spesifik adalah
masyarakat secara umum dan tidak khusus ibu hamil dan balita pada
1.000 Hari Pertama Kehidupan/HPK. Kegiatan terkait Intervensi
Gizi Sensitif dapat dilaksanakan melalui beberapa kegiatan yang
umumnya makro dan dilakukan secara lintas Kementerian dan
Lembaga. Ada 12 kegiatan yang dapat berkontribusi pada
penurunan stunting melalui Intervensi Gizi Spesifik sebagai berikut:
a) Menyediakan dan memastikan akses terhadap air bersih
b) Menyediakan dan memastikan akses terhadap sanitasi
c) Melakukan fotifikasi bahan pangan
d) Menyediakan akses kepada layanan kesehatan dan Keluarga
Berencana (KB)
e) Menyediakan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN)
f) Menyediakan Jaminan Persalinan Universal (Jampersal)
g) Memberikan pendidikan pengasuhan pada orang tua
h) Memberikan Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) Universal
i) Memberikan pendidikan gizi masyarakat
j) Memberikan edukasi kesehatan seksual dan reproduksi, serta
gizi pada remaja
k) Menyediakan bantuan dan jaminan social bagi keluarga miskin
l) Meningkatkan ketahanan pangan dan gizi
10

2.2 Tinjauan Umum tentang Balita


2.2.1 Pengertian balita
Balita adalah anak yang berumur 0-59 bulan , pada masa ini ditandai
dengan proses perumbuhan dan perkembangan yang sangat pesat. Disertai
dengan perubahan yang memerlukan zat-zat gizi yang jumlahnya lebih
banyak dengan kualitas tinggi .akan tetapi, balita termasuk kelompok rawan
gizi yang mudah menderita kelainan gizi karna kekurangan makanan yang
di butuhkan. Masalah gizi balita yang harus di hadapi Indonesia pda saat ini
adalah masalah gizi kurang dan masalah gizi lebih. Masalah gizi kuranng di
sebabkan oleh kemiskinan, kurangnya persediaan pangan, sanitasi
lingkungan yang kurang baik, kurangtnya pengetahuan masyarakat tentang
gizi, dan kesehatan, sedang masalah gizi lebih disebabkan oleh kemajuan
ekonomi pada masyarakat disertai dengan kurangnya pengetahuan gizi dan
kesehatan (Ariani, 2017).
Berdasarkan dari beberapa pengertian diatas dapat disimpulkan
bahwa balita adalah anak usia dibawah 5 tahun yang terdiri dari infant,
toddlers, dan preschool age. Di usia ini anak perlu mendapatkan perhatian
penuh dari orang tua maupun lingkungan sehingga anak dapat tumbuh dan
kembang secara sempurna.
Usia balita merupakan periode pertumbuhan dan perkembangan yang
sangat pesat dan rawan terhadap kekurangan gizi. Maslaah gizi balita yang
harus dihadapi Indonesia pada saat ini adalah maslaah gizi kurang dan gizi
lebih. Maslaah gizi kurang disbabkan oleh kemiskinan, kurangnnya
persediaan pangan, sanitasi lingkungan yang kurang baik, kurangnya
pengetahuan tentang gizi dan kesehatan, sedangkan masalah gizi lebih
disebabkan oleh kemajuan ekonomi pada masyarakat disertai dengan
kurangnya pengetahuan gizi dan kesehatan (Ariani, 2017).
11

2.2.2 Prinsip Gizi Balita


Gizi adalah adalah suatu proses organism menggunakan makanan
yang dikonsumsi secara normal melalui proses digesti, absorpsi,
transportasi, penyimpanan, metabolisme dan pengeluaran zat-zat yang tidak
digunakan untuk mempertahankan kehidupan, pertumbuhan dan fungsi
normal dari organ-organ serta menghasilkan energi (Ariani, 2017).
Sedangkan menurut Fikawati, dkk (2017), gizi merupakan faktor
utama yang mendukung terjadinya proses metabolisme didalam tubuh.
Secara harfiah, balita atau anak bawah lima tahun adalah anak usia
kurang dari lima tahun sehingga bayi usia dibawah satu tahun juga
termasuk dalam golongan ini. Namun karena faal (kerja alat tubuh
semestinya) bayi usia di bawah satu tahun berbeda dengan anak usia di atas
satu tahun, banyak ilmuwan yang membedakannya. Anak usia 1-5 tahun
dapat pula dikatakan mulai disapih atau selepas menyusu sampai dengan
prasekolah. Sesuai dengan pertumbuhan badan dan perkembangan
kecerdasannya, faal tubuhnya juga mengalami perkembangan sehingga
jenis makanan dan cara pemberiannya pun harus disesuaikan dengan
keadaanya (Ariani, 2017).
Balita usia 1-5 tahun dapat dibedakan menjadi dua yaitu anak usia
lebih dari satu tahun sampai tiga tahun dikenal sebagai batita dan anak usia
lebih dari tiga tahun sampai lima tahun dikenal sebagai balita (prasekolah).
Gizi ibu yang kurang atau buruk pada waktu konsepsi atau sedang hamil
muda dapat berpengaruh pada kehidupannya di usia sekolah dan prasekolah
(Ariani, 2017).
12

2.2.3 Kecukupan Gizi Balita


Kecukupan gizi balita dapat dilihat pada tabel berikut ini :
Tabel 2.1
Nilai kecukupan gizi pada balita
Umur
No. Zat Gizi
1-3 Tahun 4-6 Tahun
1 Energy 1.210 1.600
2 Proterin 23 29
3 Kalsium (Ca) 500 500
4 Besi (Fe) 10 10
5 Vitamin A 1.500 1.800
6 Vitamin C 20 20
7 Vitamin B 0.5 0.6

2.2.4 Zat Gizi


Zat gizi yang dibutuhkan tubuh secara umum dapat dikelompokkan
menjadi lima menurut(Susilowati, 2016), yaitu:
2.2.4.1 Karbohidrat
Karbohidrat merupakan pati dan gula dari makanan.Pati
merupakan komponen utama dari sereal, kacang-kacangan, biji-
bijian dan sayuran akar.Karbohidrat merupakan sumber energy
utama bagi manusia yang harganya relative murah.Satu gram
karbohidrat menghasilkan 4 kkal. Untuk mencukupi kebutuhan
energy di anjurkan sekitar 60-70% dan energi total berasal dari
karbohidrat.
Karbohidrat merupakan sumber energi utama bagi anak.
Hampir separuh dari energi yang di butuhkan seorang anak
sebaiknya berasal dari sumber makanan yang kaya karbohidrat,
seperti roti, sereal, nasi, mie dan kentang.
Anjuran konsumsi karbohuidrat sehari bagi anak usia 1 tahun
ke atas antara 50-60%. Anak-anak tidak memerlukan gula pasir
sebagai energi serta madu harus di batasi. Dalam kehidupan sehar-
13

hari, manusia membutuhkan karbohidrat sebagai energi utama serta


bermanfaat untuk perkambangan otak saat belajar disebabkan
karbohidrat di otak berupa Sialic acid. Begitu juga dengan balita,
mereka juga membutuhkan gizi tersebut yang bisa di peroleh pada
makanan. Seperti roti, nasi, kentang, sereal, atau mie. Kenalkan
mereka dengan beragam karbohidrat secara bergantian.
2.2.4.2 Protein
Protein di perlukan untuk pertumbuhan, pemeliharaan dan
perbaikan jaringan tubuh, serta membuat enzim pencernaan dsan zat
kekebalan yang bekerja untuk melindungi tubuh balita. Asupan gizi
yang baik bagi balita juga teredapat pada makanan yang
mengandung protein. Protein bermanfaat sebagai prekursor untuk
neurotransmitter demi perkembangan otak yang baik nantinya.
Sumber protein yang terdapat pada ikan, susu, daging, telur,
kacang-kacangan, sebaiknya pemberian di tunda jika menimbulkan
alergi atau menggantinya dengan sumber-sumber protein lain.
Untuk vegetarian gabungkan konsumsi susu dengan minuman
berkadar vitamin C tinggi untuk membantu penyerapan zat besi.
Kebutuhan protein secara proporsional lebih tinggi untuk
anak-anak daripada orang dewasa. Besarnya kebutuhan protein
berdasrkan berat badan adalah:
a) 2,2 g/kg BB/hari pada usia <6 bulan
b) 2 g/kg BB/hari pada usia 6-12 bulan
c) 1-1,5 g/kg BB/hari pada usia di atas 1 tahun
2.2.4.3 Lemak
Lemak merupakan sumber energy dengan konsentrasi yang
cukup tinggi. Dalam 1 kg lemak dapat menghasilkan energi
sebanyak 9 kkal.Lemak memiliki fungsi sebagai sumber asam
lemak esensial, pelarut vitamin A, D, E, dan K, serta pemberi rasa
gurih dan penyedap makanan. Sebagai sumber energy yang efisien,
di anjurkan kecukupan lemak anak menyumbang 15-30%
kebutuhan energi total.
14

Balita membutuhkan lebih banyak lemak di bandingkan orang


dewasa karena tubuh mereka menggunakan energi yang lebih secara
proporsional selama masa pertumbuhan dan perkembangan mereka.
Sumber lemak dalam makanan bisa di peroleh dalam mentega, susu,
daging, ikan, dan minyak nabati.
2.2.4.4 Kalsium
Kalsium berperan dalam pertumbuhan dan mineralisasi
tulang. Lebih dari 98% kalsium tubuh berbentuk tulang dan 1%
lainnya berada pada cairan tubuh dan otot. Sejumlah 30-60%
asupan kalsium diserap oleh tubuh. Selain itu, kalsium juga
membantu menjaga detak jantung teratur dan mengirimkan impuls
saraf. Kekurangan kalsium dapat mengakibatkan insomnia, kram
otot, gugup, mati rasa, gangguan kognitif, depresi dan hiperaktif.
2.2.4.5 Zat besi
Zat besi merupakan bahan dasar pembentuk hemoglobin. Zat
besi berperan dalam pengangkutan oksigen dan sari-sari makanan
ke seluruh sel dalam tubuh. Hal ini penting untuk pertumbuhan,
sistem kekebalan tubuh, dan produksi energi. Kekurangan zat besi
dapat disebabkan oleh aktivitas berlebih, kurangnya asupan, dan
pencernaan yang buruk. Tanda-tanda kekurangan zat besi, seperti
pusing, kelelahan, gugup, dan reaksi mental melambat.
2.2.5 Penilaian Status Gizi
2.2.5.1 Penilaian status gizi secara Antropometri
Secara umum antropometri artinya ukuran tubuh manusia.
Ditinjau dari sudut pandang gizi adalah berhubungan dengan
berbagai macam pengukuran dimensi tubuh dan komposisi tubuh dari
berbagai tingkat umur dan tingkat gizi. Antropometri secara umum
digunakan untuk melihat ketidakseimbangan asupan protein dan
energi (Ariani, 2017).
15

Ukuran antropometri yang sering dipakai yaitu :


a) Umur
Faktor umur sangat penting dalam penentuan status gizi.
Kesalahan penentuan umur akan menyebabkan kesalahan
interprestasi status gizi. Hasil pengukuran tinggi badan dan berat
badan yang akurat, menjadi tidak berarti jika tidak disertai
dengan penentuan umur yang tepat. Menurut Puslitbang Gizi
Bogor (1980), batasan umur yang digunakan adalah tahun umur
penuh (completed year) dan untuk anak umur 0–2 tahun di
gunakan bulan umur penuh (Supariasa, 2017).
b) Berat Badan
Berat badan adalah ukuran antropometri yang terpenting
dan paling sering digunakan pada bayi baru lahir (neonatus). Saat
bayi dan balita, berat badan dapat di gunakan untuk melihat laju
pertumbuhan fisik maupun status gizi. Kecuali apabila terdapat
kelahiran klinis seperti dehidrasi, esites, dan adanya tumor
(Adriani, 2014).
c) Tinggi badan
Tinggi badan merupakan ukuran antropometri penting bagi
keadaan gizi yang telah lalu. Selain itu tinggi badan merupakan
ukuran kedua yang penting karena dengan menghubungkan berat
badan terhadap tinggi badan, faktor umur dapat disampingkan
(Adriani, 2014).
d) Pengukuran tinggi badan untuk balita yang sudah bisa berdiri
tegak menggunakan alat pengukur tinggi mikrotoa (microtoise)
dengan ketelitian 0,1 cm (Supariasa, 2017).
2.2.5.2 Parameter Antropometri
Parameter antropometri merupakan dasar dari penilaian status gizi.
Indeks antropometri merupakan kombinasi dari parameter-parameter
yang ada. Indeks antropometri terdiri dari berat badan menurut umur
(BB/U), tinggi badan menurut umur (TB/U), dan berat badan menurut
16

tinggi badan (BB/TB). Untuk mengetahui balita stunting atau tidak indek
yang digunakan adalah indeks tinggi badan menurut umur (TB/U).
Indeks tinggi badan memiliki keistimewaan tersendiri, yaitu nilai
tinggi badan akan terus meningkat, meskipun laju tumbuh berubah dari
pesat pada masa bayi muda kemudian melambat dan menjadi pesat lagi
(growth spurt) pada masa remaja, selanjutnya terus melambat dengan
cepatnya kemudian berhenti pada usia 18 – 20 tahun dengan nilai tinggi
badan maksimal. Pada keadaan normal, sama halnya dengan berat badan,
tinggi badan tumbuh seiring dengan pertambahan umur. Pertambahan
nilai rata-rata tinggi badan orang dewasa dalam suatu bangsa dapat
dijadikan indikator peningkatan kesejahteraan, bila belum tercapainya
potensi genetic secara optimal (Supariasa, 2017).
2.2.5.3 Keunggulan dan Kelemahan Antropometri
a) Keunggulan
Alatnya mudah di dapat dan digunakan (dacin, microtoa).
Pengukuran dapat dilakukan berulang-ulang dengan mudah dan
objektif, pengukuran bukan hanya dilakukan dengan tenaga khusus
professional tetapi juga oleh tenaga lain setelah dilatih untuk itu, biaya
relative murah, dan juga hasilnya mudah disimpulkan Karena
memiliki ambang batas dan baku rujukan yang sudah pasti (Supariasa,
2017).
b) Kelemahan
Kelemahan dari penentuan status gizi secara antropometri antara
lain: tidak sensitive ( tidak dapat medeteksi status gizi dalam waktu
singkat dan juga tidak dapat membedakan kekurangan zat gizi tertentu
seperti zink dan fe). Faktor di luar gizi ( Penyakit, Genetik, dan
penurunan penggunaan energi) dapat menurunkan spesifitas dan
sensifitas pengukuran antropometri, dan kesalahan yang terjadi pada
saat pengukuran dapat mempengaruhi presisi, akurasi, dan validitas
pengukuran antropometri gizi (Supariasa, 2017).
17

2.2.6 Penilaian Status Gizi Food Frequency Questionnaire


Metode ini dikenal sebagai metode frekuensi pangan di maksudkan
untuk memperoleh informasi pola konsumsi pangan dan frekuensi konsumsi
pangan (Bakri, 2017).
Tabel 2.2 :
Status Gizi Berdasarkan Z-Score
Kategori Status Ambang Batas
Indeks
Gizi (Z-score)
Berat badan menurut Gizi buruk < -3 SD
umur(BB/U) Gizi kurang -3 SD sampai <-2 SD
Anak umur 0-60 bulan Gizi baik -2 SD sampai 2 SD
Gizi lebih >2 SD
Panjang Badan menurut Sangat pendek <-3 SD
umur (PB/U) Atau Tinggi Pendek -3 SD sampai <-2 SD
Badan menurut Umur Normal 2 SD sampai 2 SD
(TB/U) Tinggi >2 SD
Anak umur 0 – 60 bulan
Berat badan menurut Sangat kurus <-3 SD
Panjang badan (BB/PB) Kurus -3 SD sampai <-2 SD
atau Berat badan menurut Normal -2 SD sampai 2 SD
Tinggi badan (BB/TB) Gemuk >2 SD
Anak umur 0 – 60 bulan
Indeks Massa tubuh Sangat kurus <-3 SD
menurut Umur (IMT/U) Kurus -3 SD sampai <-2 SD
Anak umur 0 – 60 bulan Normal -2 SD sampai 2 SD
Gemuk >2 SD
Indeks Massa tubuh Sangat kurus <-3 SD
menurut Umur(IMT/U) Kurus -3 SD sampai <-2 SD
anak umur 5 – 18 tahun Normal -2 SD sampai 1 SD
Gemuk >1 SD – 2 SD
Obesitas > 2 SD
Sumber : Keputusan Menteri Kesehatan RI, 2010 dalam supriasa, 2017
Tabel 2.3 :
18

Standar TB/U Anak Laki-Laki Umur 24 – 60 Bulan


Umur Tinggi Badan (cm)
( Bulan) -3 SD -2 SD -1 SD Median 1 SD 2 SD 3 SD
24 78.0 81.0 84.1 87.1 90.2 93.2 96.3
25 78.6 81.7 84.9 88.0 91.1 94.2 97.3
26 79.3 82.5 85.6 88.8 92.0 95.2 98.3
27 79.9 83.1 86.1 89.6 92.9 96.1 99.3
28 80.5 83.8 87.1 90.4 93.7 97.0 100.3
29 81.1 84.5 87.8 91.2 94.5 97.9 101.2
30 81.7 85.1 88.5 91.9 95.3 98.7 102.1
31 82.3 85.7 89.2 92.7 96.1 99.6 103.0
32 82.8 86.4 89.9 93.4 96.9 100.4 103.9
33 83.4 86.9 90.5 94.1 97.6 101.2 104.8
34 83.9 87.5 91.1 94.8 98.4 102.0 105.6
35 84.4 88.1 91.8 95.4 99.1 102.7 106.4
36 85.0 88.7 92.4 96.1 99.8 103.5 107.2
37 85.5 89.2 93.0 96.7 100.5 104.2 108.0
38 86.0 89.8 93.6 97.4 101.2 105.0 108.8
39 86.5 90.3 94.2 98.0 101.8 105.7 109.5
40 87.0 90.9 94.7 98.6 102.5 106.4 110.3
41 87.5 91.4 95.3 99.2 103.2 107.1 111.0
42 88.0 91.9 95.9 99.9 103.8 107.8 111.7
43 88.4 92.4 96.4 100.4 104.5 108.5 112.5
44 88.9 93.0 97.0 101.0 105.1 109.1 113.2
45 89.4 93.5 97.5 101.6 105.7 109.8 113.9
46 89.8 94.0 98.1 102.2 106.3 110.4 114.6
47 90.3 94.4 98.6 102.8 106.9 111.1 115.2
48 90.7 94.9 99.1 103.3 107.5 111.7 115.9
49 91.2 95.4 99.7 103.9 108.1 112.4 116.6
50 91.6 95.9 100.2 104.4 108.7 113.0 117.3
51 92.1 96.4 100.7 105.0 109.3 113.6 117.9
52 92.5 96.9 101.2 105.6 109.9 114.2 118.6
53 93.0 97.4 101.7 106.1 110.5 114.9 119.2
54 93.4 97.8 102.3 106.7 111.1 115.5 119.9
19

55 93.9 98.3 102.8 107.2 111.7 116.1 120.6


56 94.3 98.8 103.3 107.8 112.3 116.7 121.2
57 94.7 99.3 103.8 108.3 112.8 117.4 121.9
58 95.2 99.7 104.3 108.9 113.4 118.0 122.6
59 95.6 100.2 104.8 109.4 114.0 118.8 123.2
60 96.1 100.7 105.3 110.0 114.6 119.2 123.9
Sumber : Keputusan Menteri Kesehatan RI, 2010 dalam supriasa, 2017
Tabel 2.4 :
Standar TB/U Anak Perempuan Umur 24 – 60 bulan
Umur Tinggi Badan (cm)
( Bulan) -3 SD -2 SD -1 SD Median 1 SD 2 SD 3 SD
24 76.0 79.3 82.5 85.7 88.9 92.2 95.4
25 76.8 80.0 83.3 86.6 89.9 93.1 96.4
26 77.5 80.8 84.1 87.4 90.8 94.1 97.4
27 78.1 81.5 84.9 88.3 91.7 95.0 98.4
28 78.8 82.2 85.7 89.1 92.5 96.0 99.4
29 79.5 82.9 86.4 89.9 93.4 96.9 100.3
30 80.1 83.6 87.1 90.7 94.2 97.7 101.3
31 80.7 84.3 87.9 91.4 95.0 98.6 102.2
32 81.3 84.9 88.6 92.2 95.8 99.4 103.1
33 81.9 85.6 89.3 92.9 96.6 100.3 103.9
34 82.5 86.2 89.9 93.6 97.4 101.1 104.8
35 83.1 86.8 90.6 94.4 98.1 101.9 105.6
36 83.6 87.4 91.2 95.1 98.9 102.7 106.5
37 84.2 88.0 91.9 95.7 99.6 103.4 107.3
38 84.7 88.6 92.5 96.4 100.3 104.2 108.1
39 85.3 89.2 93.1 97.1 101.0 105.0 108.9
40 85.8 89.8 93.8 97.7 101.7 105.7 109.7
41 86.3 90.4 94.4 98.4 102.4 106.4 110.5
42 86.8 90.9 95.0 99.0 103.1 107.2 111.2
43 87.4 91.5 95.6 99.7 103.8 107.9 112.0
44 87.9 92.0 96.2 100.3 104.5 108.6 112.7
45 88.4 92.5 96.7 100.9 105.1 109.3 113.5
46 88.9 93.1 97.3 101.5 105.8 110.0 114.2
20

47 89.3 93.6 97.9 102.1 106.4 110.7 114.9


48 89.8 94.1 98.4 102.7 107.0 111.3 115.7
49 90.3 94.6 99.0 103.3 107.7 112.0 116.4
50 90.7 95.1 99.5 103.9 108.3 112.7 117.1
51 91.2 95.6 100.1 104.5 108.9 113.3 117.7
52 91.7 96.1 100.6 105.0 109.5 114.0 118.4
53 92.1 96.6 101.1 105.6 110.1 114.6 119.1
54 92.6 97.1 101.6 106.2 110.7 115.2 119.8
55 93.0 97.6 102.2 106.7 111.3 115.9 120.4
56 93.4 98.1 102.7 107.3 111.9 116.5 121.1
57 93.9 98.5 103.2 107.8 112.5 117.1 121.8
58 94.3 99.0 103.7 108.4 113.0 117.7 122.4
59 94.7 99.5 104.2 108.9 113.6 118.3 123.1
60 95.2 99.9 104.7 109.4 114.2 118.9 123.7
Sumber : Keputusan Menteri Kesehatan RI, 2010 dalam supriasa, 2017
2.2.7 Gizi Anak Usia Toodler (1 – 3 Tahun)
2.2.7.1 Definisi anak usia toddler
Masa toodler berada dalam rentang dari masa kanak-kanak
mulai berjalan sendiri sampai mereka berjalan dan berlari dengan
mudah, yaitu merupakan bertambah usia 12 sampai 36 bulan.
Pertumbuhan merupakan bertambah jumlah dan besrnya sel seluruh
bagian tubuh yang secara kuantitatif dapat diukur, sedangkan
perkembangan merupakan bertambah sempurnanya fungsi alat tubuh
yang dapat dicapai melalui tumbuh kematangan belajar (Ruslianti,
2015).
Menurut supardi (2004) nak usia toddler adalah masa lucu-
lucunya anak, tetapi sekaligus masa yang melelahkan bagi orang tua,
banyak hal yang harus di ketahui oleh orang tua karena tingkah laku
“toodler” sangat beragam, seperti agresif, menarik rambut, banyak
kemauan, berbohong dan lain. Yang kita salah menyikapinya, maka
akan berdampak tidak baik bagi anak dalam perkembangan
selanjutnya.
21

Usia 1 tahun merupakan usia yang penuh berbagai hal menarik,


antara lain berubah dalam cara makan, bergerak, juga dalam
keinginan dan sikap atau perasaan si kecil apabila disuruh
melakukan sesuatu tidak ia suka, ini akan menyatakan sikap dan
nalurinya mengatakan ‘tidak’ baik dengan kata-kata maupun
perbuatan, meskipun sebetulnya hal itu disukai (psikolog
menyebutnys negativisme). Kenyataan ini berbeda pada saat usia
dibawah satu tahun, si kecil akan menjadi seorang penyidik yang
sangat menjengkelkan, mereka akan menyelinap masuk setiap sudut
rumah, menyentuh semua benda yang ditemukannya,
menggoyongkan meja dan kursi, menjatuhkan benda apa pun yang
bisa dijatuhkan, memanjat apa yang bisa dipanjat, memasukkan
benda kecil ke dalam benda yang lebih besar dan sebagainya
(Ruslianti, 2015).
Anak usia 2 tahun si kecil cenderung mengikuti orang tuanya ke
sana kemari, ikut-ikutan menyapu, menyepel, menyiram tanaman,
semua ini dilakukan dengan penuh kesungguhan. Pada usia 2 tahun
anak sudah mulai belajar bergaul, ia senang sekali menonton anak
lain bermain, perasaan takut dan cemas sering terjadi apabila orang
tuanya meninggalkan anak sendiri. Seandainya orang tua harus
bepergian lama atau memutuskan untuk kembali (Ruslianti, 2015).
Anak pada usia 3 tahun biasanya lebih mudah dikendalikan
karena anak sudah dalam perkembangan emosi sehingga mereka
menaggap ayah dan ibunya sebagai orang yang istimewa. Sikap
permusuhan dan kebandelan yang muncul pada usia antara 2,5
sampai 3 tahun tampaknya ramah dan hangat. Anak menjadi sangat
patuh pada orang tuanya, sehingga akan bertingkah laku baik dan
menurut sekali. Jika keinginan mereka bertentangan dengan
kehendak orang tuanya, karena mereka tetap makhluk hidup yang
mempunyai pendapat sendiri. Pada usia 3 tahun, anak cenderung
meniru siapa pun dan apapun yang dilakukan orang tuanya sehari-
hari, disebut proses identifikasi. Dalam proses inilah karakter anak
22

dibentuk jauh lebih banyak dibentuk dari petunjuk yang diterima


orang tuanya, seperti membentuk model diri mereka,membina
kepribadian, membentuk sikap dasar baik terhadap pekerja, orang
tua, dan dirinya sendiri (Ruslianti, 2015).
2.2.7.2 Karakteristik pertumbuhan dan perkembangan anak usia toddler
Toddler tersebut ditandai dengan peningkatan kemandirian
yang diperkuat dengan kemampuan mobilitas fisik dan kognitif lebih
besar.
a) Perkembangan fisik
Perkembangan keterampilan motorik yang cepat
membolehkan anak untuk berpartisipasi dalam tindakan
perawatan diri sendiri, seperti makan, berpakaian, dan
eliminasi.Pada awal toodler berjalan dalam posisi tegak dengan
sikap papan berjalan, abdomen menonjol, dan lengan berada di
luar sisi untuk keseimbangan. Segera anak mulai mengemudikan
kursi, menggunakan pegangan atau dinding untuk
mempertahankan keseimbangan sambil meninggikan,
menempatkan kaki pada langkah yang sama sebelum
melanjutkan langkah. Keberhasilan memberikan dorongan untuk
mencoba cara yang lebih tegak untuk mengalihkan kursi dengan
cara yang sama. Keterampilan daya gerak segera meliputi berlari,
melompat, berdiri satu kaki beberapa detik, dan menendang
bola.Kebanyakan toddler dapat mengendarai sepeda roda tiga,
memanjat tangga dan berlari dengan baik.
b) Perkembangan psikososial
Menurut Sigmund Freud, pada fase ini tergolong dalam
fase anak dimana pusat kesenangan anak pada perilaku menahan
feses bahkan kadang kala anak bermain-main dengan fasesnya.
Anak belajar mengidentifikasi tentang perbedaan antara dirinya
dengan orang lain di sekitarnya. Konflik yang sering terjadi
adalah adanya Oedipus complex atau katarsis, yaitu seorang anak
laki-laki.
23

2.2.7.3 Penilaian pertumbuhan Anak Usia 1-3 tahun


a) Berat badan
Berat badan merupakan ukuran antropometri yang
terpenting, di pakai pada setiap kesempatan memeriksa kesehatan
anak pada semua kelompok umur. Berat badan merupakan hasil
peningkatan atau penurunan semua jaringan yang ada pada
tubuh, antara lain tulang, otot, lemak, cairan tubuh, dan lain-
lainnya.
b) Tinggi badan
Keistimewaan tinggi badan adalah bahwa ukuran tinggi
badan pada masa pertumbuhan meningkat terus sampai tinggi
maksimal dicapai. Pertumbuhan akan meningkat pesat pada masa
bayi, kemudian lambat, kemudian menjadi pesat kembali.
c) Lingkaran kepala
Linngkaran kepala mencerminkan volume intracranial.
Dipakai untuk menaksir pertumbuhan otak. Apabila otak tidak
tumbuh normal, maka kepala akan kecil. Lingkaran kepala yang
lebih kecil dari normal (mikrofeli), menunjukkan adanya
retardasi mental.
d) Lingkaran lengan atas
Lingkaran lengan atas mencerminkan tumbuh kembang
jaringan lemak dan otot yang tidak terpengaruh banyak oleh
keadaan cairan tubuh dibandingkan dengan berat badan.
2.2.7.4 Kebutuhan gizi anak usia toddler
Kebutuhan gizi seseorang adalah jumlah yang diperkirakan
cukup untuk memelihara kesehatan pada umumnya. Secara garis
besar, kebutuhan gizi ditentukan oleh usia, jenis kelamin, aktivitas,
BB dan TB. Antara asupan zat gizi dan pengeluarannya harus ada
keseimbangan sehingga diperoleh status gizi yang baik. Status gizi
toddler dapat dipantau dengan menimbang anak setiap bulan dan di
cocokkan dengan kartu menuju sehat (KMS) (Ruslianti, 2015).
24

2.2.7.5 Makanan untuk usia toddler


Toddler adalah nanak yang berusia 1-3 tahun. Makanan usia
toddler banyak bergantung pada orang tua atau pengasuhnya, karena
anak-anak belum dapat menyebutkan nama makanan yang dia
inginkan, dan orang tuanyalah yang memulihkan untuk anak. Jadi,
dapat dikatakan bahwa tumbuh kembang anak usia 1-3 tahun atau
usia toddler sangat bergantung pada bagaimana orang tuanya
mengatur makanan anaknya (Ruslianti, 2015).
Kecepatan perkembangan turun ketika usia toddler. Kebutuhan
anak akan nutrisi relatife berkurang dibandingkan usia sebelumnya.
Perhitungannya diutamakan pada kebutuhan kalori, protein, vitamin,
kalsium dan fosfor pun penting untuk perkembangan tulang. Toddler
lebih tertarik dalam lingkungan dan meningkatkan keterampilan
motorik dibanding dengan makanan, maka dari itu makanan yang
disajikan harus selalu bervariasi (Ruslianti, 2015)
2.2.7.6 Gizi Anak Usia Prasekolah (4 – 5 Tahun)
a) Definisi anak usia prasekolah
Anak usia prasekolah adalah anak usia 3-5 tahun saat di
mana sebagian besar sistem tubuh telah matur dan stabil serta
dapat menyesuaikan diri dengan stresdan perubahan yang
moderat. Selama periode ini sebagian besar anak sudah menjalani
toilet training (Ruslianti, 2015).
Menurut Hurlock (2001), usia prasekolah adalah 3-5 tahun
dan merupakan kurun yang disebut sebagai masa keemasan. Di
usia ini anak mengalami banyak perubahan baik fisik dan mental,
dengan karakteristik sebagai berikut, berkembangnya konsep diri,
munculnya egosentris, rasa ingin tahu, imajinasi, belajar
menimbang rasa, munculnya control internal (tubuh), belajar dan
lingkungannya, berkembangnya cara berpikir, berkembangnya
kemampuan berbahasa, dan munculnya perilaku (Ruslianti,
2015).
25

2.2.7.7 Karakteristik anak usia prasekolah (4-5 tahun)


a) Pertumbuhan anak prasekolah
Pertumbuhan merupakan bertambahnya jumlah dan
besarnya sel di seluruh bagian tubuh yang secara kuantitaitf dapat
di ukur, sedangkan perkembangan merupakan bertambah
sempurnanya fungsi alat tubuh yang dapat dicapai melalui
tumbuh kematangan dan belajar.
Pertumbuhan masa prasekolah pada anak, pertumbuhan fisik
khususnya berat badan mengalami kenaikan rata-rata per
tahunnya adalah 2kg, aktivitas motorik tinggi, dimana sistem
tubuh sudah mencapai kematangan seperti berjalan, melompat,
dan lain-lain. Pada pertumbuhan khususnya ukuran tinggi badan
anak akan bertambah rata-rata 6,75-7,5 sentimeter setiap
bulannya, semua gigi primer telah muncul pada usia 3 tahun
(Ruslianti, 2015).
b) Perkembangan anak usia prasekolah
1) Perkembangan motorik halus
Keterampilkan menulis, menggambar sendiri,
mewarnai gambar, menggunakan gunting, bermain tanah liat,
menyisir rambut, berpakaian sendiri dan membuat kue-kue.
2) Perkembangan motorik kasar
Perkembangan motorik kasar di antaranya adalah
melompat, dan berjalan cepat, memanjat, naik sepeda roda
tiga, berenang, lompat tali, keseimbangan berjalan di atas
pagar, sepatu roda dan menari.
2.3 Tinjauan Umum tentang Makanan Pendamping ASI
2.3.1 Pendahuluan
Perlu diketahui bahwa istilah MPASI dalam bahasa Inggris
yaitu complementary feeding. Jika diterjemahkan dalam bahasa Indonesia
istilah complementary feeding artinya makanan pelengkap. Definisi
complementary feeding menurut WHO adalah memberikan makanan lain
sebagai asupan tambahan ASI (Aulia R, 2018).
26

Menurut Organisasi Kesehatan Dunia, waktu yang tepat untuk


memberikan makanan pendamping ASI adalah saat bayi berusia 6 bulan.
Makanan yang diberikan pun harus sesuai porsi dan nutrisi yang
dibutuhkan pada usia tersebut. WHO menyarankan makanan pendamping
ASI (MPASI) yang diberikan harus memiliki kandungan karbohidrat,
protein, lemak, serta vitamin dan mineral yang proporsional. Hal tersebut
penting bagi bayi yang sedang mengalami masa pertumbuhan. Selain itu,
pengolahan dan penyajian makanan perlu dilakukan secara higienis untuk
meminimalkan risiko terkontaminasi bakteri dan kotoran (Adrian K,
2019).
2.3.1.1 Tipe MP-ASI
Ada dua tipe MP-ASI yaitu (Aulia R, 2018) :
a) Makanan khusus untuk MPASI contohnya bubur khusus bayi atau
menu MPASI sayur yang dicampur ASI
b) Makanan biasa yang diolah untuk menjadi MPASI contohnya
kentang goreng dan sayur bayam yang dipotong kecil atau digerus
halus supaya bayi dapat makan dengan mudah
2.3.1.2 Rekomendasi Menu Makanan Pendamping ASI
Mungkin banyak orang tua yang bingung menentukan menu apa
yang pas diberikan sebagai makanan pendamping ASI. Beberapa
pedoman di bawah ini mungkin bisa dijadikan patokan untuk mengatasi
kebingungan tersebut (Adrian K, 2019) :
a) Makanan yang sederhana
Makanan sederhana di sini maksudnya adalah makanan yang
dibuat hanya dari satu bahan tanpa tambahan gula atau garam.
Disarankan untuk menunggu 3-5 hari sebelum mengenalkan
makanan baru berikutnya. Dengan begitu, jika Si Kecil mengalami
reaksi berupa muntah, diare atau alergi, orang tua dapat
mengenalinya dan tidak lagi memberikan jenis makanan tersebut
kepadanya
27

Gambar 2.1
Makanan sederhana balita

Sember:Fimela, Desember 2015


b) Sereal Bayi
Makanan pendamping ASI lainnya yang bisa diberikan kepada
bayi adalah sereal khusus bayi. Sereal ini merupakan makanan yang
menjadi pilihan banyak orang tua. Cara membuatnya cukup dengan
mencampurkan sesendok makan sereal dengan 60 ml (4 sendok
makan) ASI atau susu formula.
Gambar 2.2
Makanan sereal balita

Sumber:home-nutrisi-nutrisi/23 maret 2017


c) Bubur daging, sayur atau buah
Pada saat bayi sudah akrab dengan makanan pendamping ASI,
orang tua bisa mulai memperkenalkan bubur yang terbuat dari
daging, sayur atau buah. Pengenalan bubur jenis ini pun sebaiknya
dilakukan secara bertahap. Agar bayi tidak kaget, variasikan
pemberian bubur yang terbuat dari daging, sayur atau buah tiap lima
28

kali penyajian. Sebaiknya bubur yang disajikan tidak mengandung


garam atau gula.
Gambar 2.3
Makanan bubur dan sayur balita

Sumber:infomasi resep 15 agustus 2014


d) Makanan yang dicincang halus
Mayoritas bayi yang berusia 8-10 bulan sudah bisa
mengonsumsi makanan padat yang dicincang halus dalam porsi mini.
Beberapa makanan yang bisa disajikan dengan cara ini adalah buah-
buahan yang bertekstur lembut, sayuran, pasta, keju, dan daging
matang.
Gambar 2.4

Makanan cincang halus untuk balita


Sumber:muslimah,Monday,4 july 2016
e) Makanan yang mengandung zat besi dan zink
Kedua nutrisi ini sangat penting untuk pertumbuhan dan
perkembangan Si Kecil. Jadi, jangan lupa untuk memberikan Si Kecil
makanan pendamping ASI yang mengandung kedua nutrisi ini.
29

Gambar 2.5
Makanan mengandung zat besi dan zinc

Sumber:honestdocs,22 maret 2019


2.4 Tinjauan Umum tentang Imunisasi
2.4.1 Pengertian
Imunisasi adalah investasi masa depan anak karena mampu
melindungi Si Kecil dari infeksi dengan cara yang paling efektif dan
murah.Imunisasi akan merangsang kekebalan spesifik di dalam tubuh bayi,
anak, dan remaja, sehingga mampu melawan penyakit-penyakit yang
berbahaya, mencegah sakit berat, cacat, dan kematian (Nutriclub, 2017).
Imunisasi berasal dari kata imun, kebal atau resisten. Anak
diimunisasi, berarti diberikan kekebalan terhadap suatu penyakit tertentu.
Anak kebal atau resisten terhadap suatu penyakit tetapi belum tentu kebal
terhadap penyakit yang lain. Imunisasi adalah suatu upaya untuk
menimbulkan/meningkatkan kekebalan seseorang secara aktif terhadap
suatu penyakit, sehingga apabila suatu saat terpajan dengan penyakit
tersebut tidak akan sakit atau hanya mengalami sakit ringan (Hardiati N,
dkk. 2015).
2.4.2 Jenis Imunisasi
Jenis imunisasi berdasarkan penyelenggaranya (Hardiati N, dkk. 2015) :
b.4.3.1 Imunisasi wajib
Imunisasi wajib merupakan imunisasi yang diwajibkan oleh
pemerintah untuk seseorang sesuai dengan kebutuhannya dalam rangka
melindungi yang bersangkutan dan masyarakat sekitarnya dari penyakit
30

menular tertentu. Imunisasi wajib terdiri atas imunisasi rutin, imunisasi


tambahan, dan imunisasi khusus.
b.4.3.2 Imunisasi rutin
Imunisasi rutin merupakan kegiatan imunisasi yang dilaksanakan
secara terus-menerus sesuai jadwal. Imunisasi rutin terdiri atas imunisasi
dasar dan imunisasi lanjutan. Tahukah Anda mengenai jenis vaksin
imunisasi rutin yang ada di Indonesia? Berikut akan diuraikan macam
vaksin imunisasi rutin meliputi deskripsi, indikasi, cara pemberian dan
dosis, kontraindikasi, efek samping, serta penanganan efek samping.
1) Imunisasi dasar, berupa vaksin BCG (Bacillus, Calmette, Guerin),
vaksin DPT (Difteri, Pertusis, Tetanus), vaksin hepatitis B, valsin
polio oral, vaksin Inactive Polio Vaccine, dan vaksin campak.
2) Imunisasi lanjutan, merupakan imunisasi ulangan untuk
mempertahankan tingkat kekebalan atau untuk memperpanjang masa
perlindungan. Imunisasi lanjutan diberikan kepada anak usia bawah
tiga tahun (Batita), anak usia sekolah dasar, dan
wanita usia subur. Jenis imunisasi ini antara lain vaksin DT, vaksin Td,
dan vaksin TT.
b.4.3.3 Imunisasi tambahan
Imunisasi tambahan diberikan kepada kelompok umur tertentu
yang paling berisiko terkena penyakit sesuai kajian epidemiologis pada
periode waktu tertentu. Yang termasuk dalam kegiatan imunisasi
tambahan adalah Backlog fighting, Crash program, PIN (Pekan Imunisasi
Nasional), Sub-PIN, Catch up Campaign campak dan Imunisasi dalam
Penanganan KLB (Outbreak Response Immunization/ORI).
b.4.3.4 Imunisasi khusus
Imunisasi khusus merupakan kegiatan imunisasi yang dilaksanakan
untuk melindungi masyarakat terhadap penyakit tertentu pada situasi
tertentu. Situasi tertentu antara lain persiapan keberangkatan calon jemaah
haji/umrah, persiapan perjalanan menuju negara endemis penyakit tertentu
dan kondisi kejadian luar biasa. Jenis imunisasi khusus, antara lain terdiri
31

atas Imunisasi Meningitis Meningokokus, Imunisasi Demam Kuning, dan


Imunisasi Anti-Rabies.
b.4.3.5 Imunisasi pilihan
Imunisasi pilihan merupakan imunisasi yang dapat diberikan
kepada seseorang sesuai dengan kebutuhannya dalam rangka melindungi
yang bersangkutan dari penyakit menular tertentu, yaitu vaksin MMR,
Hib, Tifoid, Varisela, Hepatitis A, Influenza, Pneumokokus, Rotavirus,
Japanese Ensephalitis, dan HPV.
2.4.3 Macam-macam imunsasi dasar
2.4.3.1 Imunisasi Bacillus Celmette –Guerin (BCG)
a. Fungsi
Imunisasi BCG berfungsi untuk mencegah penularan
tuberkolosis ( TBC) tuberkolosis disebabkan oleh
sekelompok bakteria bernama mycobacterium tuberculosis
complex.pada manusia, TBC terutama menyerang sistem
pernapasan (TB paru), meskipun organ tubuh lainnya juga
dapat terserang (penyebaran atau ekstraparu
TBC).mycobacterium tuberculosis biasanya ditularkan melalui
batuk seseorang. Seseorang biasanya terinfeksi jika mereka
menderita sakit paru-paru dan terdapat bakteria di dahaknya.
Kondisi lingkungan yang gelap dan lembab mendukung
terjadinya penularan. Penularan penyakit TBC terhadp seorang
anak dapat terjadi karena terhirupnya percikan udara yang
mengandung bakteri tuberkolosis. Bakteri ini dapat menyerang
berbagai organ tubuh, seperti paru-paru (paling sering terjadi),
kelenjar getah bening, tulang, sendi, ginjal, hati, atau selaput-
selaput otak (yang terberat). Infeksi primer terjadi saat
seseorang terjangkit bakteri TB untuk pertama kalinya. Bakteri
ini sangat kecil ukurannya sehingga dapat melewati sistem
pertahanan mukosilier bronkus, dan terus berkembang.
32

Komplikasi pada penderita TBC, sering terjadi pada


penderita stadium lanjut. Berikut, beberapa komplikasi yang
bisa di alami:
1) Hemomtasis berat (pendarahan dari saluran nafas bawah)
yang dapat mengakibatkan kematian karena syok
hipofolemik atau tersumbatnya jalan nafas.
2) Lobus yang tidak berfungsi akibat retraksi bronchial.
3) Bronkiektasis (pelebaran bronkus setempat) dan fibrosis
(pembentukan jaringan ikat) pada proses pemulihan atau
retraksi pada paru.
4) Pneumotorak spontan (adanya udara didalam rongga
pleura): kolaps spontan karena kerusakan jaringan paru.
5) Penyebaran infeksi ke organ lain seperti otak, tulang,
persendian, ginjal dan sebagainya.
6) Insufiensi kardio pulmoner.
Menurut Nufareni (2003), imunisasi BCG tidak
mencegah infeksi TB tetapi mengurangi resiko TB berat seprti
meningitis TB atau TB miliar. Faktor –faktor yang
mempengaruhi efektifitas BCG, lingkungan, faktor genetic,
status gizi dan faktor lain seperti paparan sinar ultraviolet
terhadap vaksin.
b. Cara pemberian dan dosis
Vaksin BCG merupakan bakteri tuberculosis bacillus
yang telah dilemahkan. Cara pemberianya melalui suntikan.
Sebelum disuntikan, vaksin BCG harus dilarutkan terlebih
dahulu. Dosis 0,05 cc untuk bayi dan 0,1 cc untuk anak dan
orang dewasa. Imunisasi BCG dilakukan pada bayi usia 0-2
bulan, akan tetapi biasanya diberikan pada bayi umur 2 atau 3
bulan. Dapat diberikan pada anak dan orang dewasa jika sudah
melalui tes tuberculin dangan hasil negatif.
Imunisasi BCG disuntikan secara intrakutan di daerah
lengan kanan atas. Disuntikan kedalam lapisan kulit dengan
33

penyerapan pelan-pelan. Dalam pemberian suntikan intrakutan


agar dapat dilakukan dengan tepat, harus menggunakan jarum
pendek yang sangat halus (10 mm, ukuran 26). Kerja sama
antara ibu dengan petugas Imunisasi sangat di harapkan, agar
pemberian vaksin berjalan dengan tepat.
c. Kontra indikasi
Imunisasi BCG tidak boleh diberikan pada kondisi:
1) Seorang anak menderita penyakit kulit yang berat atau
menahun, seperti eksim, furunkulosis, dan sebagainya.
2) Imunisasi tidak boleh diberikan kepada orang atau anak
yang sedang menderita TBC.
d. Efek samping \
Setelah diberikan imunisasi BCG, reaksi yang timbul
tidak seprti pada imunisasi dengan vaksin lain. Imunisasi BCG
tidak menyebabkan demam. Setelah 1-2 minggu diberikan
imunisasi, akan timbul idurasi atau kemerahan ditempat
suntikan yang berubah menjadi pastula. Kemudian pecah
menjadi luka. Luka tidak perlu pengobatan khusus, karena luka
ini akan sembuh dengan sendirinya secara spontan. Kadang
terjadi pembesaran kelenjar regional diketiak atau leher.
Pembesaran kelenjar ini terasa padat, namum tidak
menimbulakan demam.
2.4.3.2 Imunisasi DPT (difert, pertussis, dan tetanus)
a. Fungsi
Imunisasi DPT bertujuan untuk mencegah 3 penyakit
sekaligus, yaitu difteri, pertussis, tetanus. Difteri merupakan
penyakit yang disebabkan oleh bakteri corynebacterium
diphtheria. difteri bersifat ganas mudah menular dan
menyerang terutrama saluran bagian atas.penularannya bisa
karena kontak secara langsung dengan penderita melalui bersin
atau batuk atau kontak tidak langsung karena adanya makanan
yang terkontaminasi bakteri difteri. Pendrita akan mengalami
34

beberapa gejala seprti demam lebih kurang 38° C, mual,


muntah, sakit waktu menelan dan terdapat pseudomembran
putih keabu-abuan di faring, laring dan tonsil, tidak mudah
lepas dan mudah berdarah, leher membengkak seperti leher
sapi disebabkan karena pembengkakan kelenjar leher dan sesak
nafas disertai bunyi (stridor). Pada pemeriksaan apusan
tenggorokan atau hidung terdapat bakteri difteri. Pada proses
infeksi selanjutnya, bakteri difteri akan menyebarkan racun
kedalam tubuh, sehingga penderita dapat mengalami tekanan
darah rendah, sehingga efek jangka panjangnya akan terjadi
kardiomiopati dan miopati perifer. Cutaneous dari bakteri
difteri menimbulkan infeksi sekunder pada kulit penderita.
Difteri disebabkan oleh bakteri yang ditemukan dimulut,
tenggorokan dan hidung. Difteri menyebabkan selaput tumbuh
disekitar bagian dalam, tenggorokan. Selaput tumbuh disekitar
bagian dalam tenggorokan. Selaput tersebut dapat
menyebabkan kesusahan menelan, bernapas, dan bahkan
mengakibatkan mati lemas. Bakteri menghasilkan racun yang
dapat menyebar keseluruh tubuh dan dapat menyebabkan
berbagai komplikasi berat seperti kelumpuhan dan gagal
jantung. Sekitar 10 persen penderita difteri akan meninggal
akibat penyakit ini. Difteri dapat ditularkan malalui batuk dan
bersin orang yang terkena penyakit ini.
Pertusis, merupakan suatu penyakit yang disebabkan oleh
kuman bordetella perussis. Kuman ini mengeluarkan toksin
yang menyebabkan ambang ransangan akan terjadi batuk yang
hebat dan lama, batuk terjadi beruntun dan pada akhir batuk
menarik nafas panjang terdengan suara “hup” (whoop) yang
khas, biasanya disertai muntah.
35

b. Cara pemberian dan dosis


Cara pemberian imunisasi DPT adalah melalui injeksi
intramuscular. Suntikan diberikan pada paha tengah luar atau
subkutan dalam dengan dosis 0,5 cc.
Cara pemberian vaksin ini, sebagai berikut:
1) Letakkan bayi dengan posisi miring diatas pangkuan
dengan seluruh kaki telanjang
2) Orang tua sebaiknya memegang kaki bayi
3) Pegang paha dengan ibu jari dan jari telunjuk
4) Masukkan jarum dengan sudut 90 derajat
5) Tekan seluruh jarum langsung ke bawah melalui kulit
sehingga masuk ke dalam otot. Untuk mengurangi rasa
sakit suntikan secara pelan-pelan.
c. Efek samping
Pemberian imunisasi DPT memberikan efek samping
ringan dan berat, efek ringan seperti terjadi pembengkakan dan
nyeri pada dan demam, sedangkan efek berat bayi menangis
hebat karna kesakitan selama kurang lebih 4 jam , kesadaran
menurun,terjadi kejang, ensefalovati, dan syok.
2.4.3.3 Imunisasi campak
a. Fungsi
imunisasi campak ditujukan untuk memberikan kekebalan
aktif terhadap penyakit campak. Campak, measles atau rubelau
adalah penyakit virus akut yang disebabakan oleh virus
campak. Penyakit ini sangat infeksius, menular sejak awal
masa prodromal sampai lebih kurang dari 4 hari setelah
munculnya ruang. Infeksi disebabkan oleh udara (airborne).
b. Gejala klinis
1) Panas meningkat dan mencapai puncaknya pada hari ke 4-
5, pada saat ruang keluar
36

2) Coryza yang terjadi sukar dibedakan dengan common cold


yang berat. Membaik dengan cepat pada saat panas
menurun
3) Konjungtivitis ditandai dengan mata merah pada
konjungtiva disertai dengan peradangan disertai dengan
keluhan fotopobia.
4) Cogh merupakan akibat pada peradangan apitel saluran
nafas, mencapai puncak pada saat erupsi dan menghilang
setelah beberapa minggu
c. Cara pemberian dan dosis
Pemberian vaksin campak hanya diberikan satu kali, dapat
dilakukan pada umur 9-11 bulan, dengan dosis 0,5 CC.
sebelum disuntikan, vaksin campak terlebih dahulu dilarutkan
dengan pelarut steril yang telah tersedia yang berisi 5 ml cairan
pelarut. Kemudian suntikan diberikan pada lengan kiri atas
secara subkutan.cara pemberian :
1) Atur bayi dengan posisi miring diatas pangkuan ibu dengan
seluruh lengan telanjang.
2) Orang tua sebaiknya memegang kaki bayi, dan gunakan
jari-jari tangan untuk menekan keatas lengan bayi.
3) Cepat tekan jarum kedalam kulit yang menonjol keatas
dengan sudut 45 derajat
4) Usahakan kestabilan posisi jarum.
d. Efek samping
Hingga 15% pasien dapat mengalami demam ringan dan
kemarahan sampai 3 hari yang dapat terjadi 8-12 hari setelah
vaksinasi.
e. Kontra indikasi
Pemberian imunisasi tidak boleh dilakukan pada orang yang
mengalami immunodefisiensi atau individu yang diduga
menderita gangguan respon imun karena leukemia, dan
limfoma.
37

2.4.3.4 Imunisasi polio


a) Fungsi
Merupakan imunisasi yang bertujuan untuk mencegah
penyakit poliomyelitis. Pemberian vaksin polio dapat
dikombinasikan dengan vaksin DPT. Terdapat 2 macam vaksin
polio:
1) Inactivated polio vaccine (IPV = vaksin salk), mengandung
virus polio yang telah dimatikan dan diberikan melalui
suntikan.
2) Oral polio vaccine (OPV = Vaksin sabin), mengandung
vaksin hidup yang telah di lemahkan dan diberikan dalam
bentuk pil atau cairan.
b) Cara pemberian dan dosis
Imunisasi dasar polio diberikan 4 kali (polio I, polio
II,polio III, polio IV) dengan interval tidak kurang dari 4 minggu.
Imunisasi ulangan diberikan 1 tahun setelah imunisasi polio IV
kemudian pada saat masuk SD (5-6 tahun) dan pada saat
meninggalkan SD (12 tahun). Di Indonesia umumnya diberikan
vaksin sabin. Vaksin diberikan sebanyak 2 tetes (0,1 ml)
langsung ke mulut anak atau dengan menggunakan sendok yang
berisi air gula. Setiap membuka vial baru harus menggunakan
penates (drpper) yang baru. Cara pemakaian :
1) Orang tua memegang bayi dengan lengan kepala disangga
dan dimiringkan ke belakang.
2) Mulut bayi dibuka hati-hati menggunakan ibu jari atau
dengan menekan pipi bayi dengan jari-jari.
3) Teteskan dengan 2 tetes vaksin dari alat tetes ke dalam lidah.
Jangan biarkan alat tetes menyentuh bayi.
c) Efek samping
Pada umumnya tidak terdapat efek samping. Efek
samping berupa paralisis yang disebabkan oleh vaksin jarang
terjadi.
38

d) Kontra indikasi
Pemberian imunisasi polio tidak boleh dilakukan pada
orang yang menderita defisiensi imunitas. Tidak ada efek yang
berbahaya yang timbul akibat pemberian polio pada anak yang
sedang sakit. Namun, jika ada keraguan, misalnya sedang
menderita diare, maka dosis ulang dapat diberikan setelah
sembuh.
2.4.3.5 Imunisasi hepatitis B
a. Fungsi
Imunisasi hepatitis B, ditujukan untuk memberi tubuh
berkenalan terhadap penyakit hepatitis B, disebabkan oleh virus
yang telah mempengaruhi organ liver (hati). Virus ini akan
tinggal selamanya dalam tubuh. Bayi-bayi yang terjangkit virus
hepatitis B beresiko terkena kanker hati atau kerusakan pada
hati. Virus hepatitis B ditemukan didalam cairan tubuh orang
yang terjangkit termasuk darah, ludah dan air mani.
b. Cara pemberian dan dosis
Imunisasi diberikan 3 kali pada umur 0-11 bulan melalui
injeksi intramuscular. Kandungan vaksin adalah HbsAg dalam
bentuk cair. Terdapat vaksin prefill injection device (B-PID)
yang diberikan sesaat setelah lahir, dapat diberikan pada usia 0-
7 hari. Vaksin B-PID di suntikan denga 1 buah HB PID.
Vaksin ini, menggunakan profilled injection device (PID),
merupakan jenis alat suntik yang hanya diberikan pada bayi.
Vaksin juga diberikan pada anak usia 12 tahun yang di masa
kecilnya belum diberi vaksin hepatitis B. selain itu orang-orang
yang berada dalam resiko hepatitis B sebaiknya juga diberi
vaksin ini.
Cara pemakaian :
1) Buka kantong aluminium atau plastic dan keluarkan alat
plastic PID
39

2) Pegang alat suntil PID pada leher dan tutup jarum dengan
memegang keduanya diantara jari dan jempol, dan dengan
gerakan cepat dorong tutp jarum ke arah leher. Teruskan
mendorong sampai tidak adanya jarak antara tutp jarum dan
leher.
3) Buka tutup jarum, tetap pegang alat suntik pada baguan
leher dan tusukan jarum pada anterolaretal paha secara
intramuskular, tidak perlu dilakukan aspirasi.
4) Pijat reservoir dengan kuat untuk menyuntik, setelah
reservoir kempis cabut alat suntik.
c. Efek samping
Reaksi local seperti rasa sakit, kemerahan dan
pembengkakan disekitar tempat penyuntikan. Reaksi yang
terjadi bersifat ringan dan biasanya hilang setelah 2 hari.
d. Kontra indikasi
Hipersensitif terhadap komponen vaksin. Sama halnya
seperti vaksin-vaksin lain, vaksin ini tidak boleh diberikan
kepada penderita infeksi berat yang disertai kejang.
40

2.5 Kerangka Teori


Berdasarkan tujuan dan tinjauan kepustakaan, maka secara garis besar
kerangka teori dalam penelitian ini dapat digambarkan sebagai berikut :

STUNTING

Masalah status gizi

 Kurang  Tidak  Anemia pada  BAB di


Pengetahuan mendapatkan kehamilan sembarang tempat
tentang gizi suplemen Fe  Akses makanan  Sanitasi
kehamilan  Kurang informasi bergizi yang lingkungan yang
 Tidak mendapat akses Imunisasi cukup mahal kurang sehat
cukup ASI  Menurunnya  Cakupan gizi  Tidak ada akses
 Pemberian MP- kehadiran di yang kurang baik air bersih
ASI kurang tepat Posyandu

Praktik Pengasuhan Terbatasnya Kurangnya Asupan Sanitasi Kurang Baik


yang Tidak Baik Layanan Kesehatan Gizi Ibu Hamil dan Layanan Air Bersih

Keterangan :
Stunting disebabkan oleh beberapa factor multidimensi diantaranya adalah
praktek pengasuhan yang kurang baik, terbatasnya layanan kesehatan baik ANC
maupun PNC, kurangnya asupan gizi pada masa kehamilan dan kurangnya akses ke
air bersih dan sanitasi yang kurang baik. Praktik pengasuhan yang kurang baik akan
berdampak pada kurangnya pengetahuan tentang gizi kehamilan dan kepada anak,
anak kurang mendapat ASI dan pemberian makanan pendamping ASI yang kurang
tepat. Terbatasnya layanan kesehatan berdampak pada kurangnya asupan suplemen
zat besi pada masa kehamilan dan menurunnya tingkat kehadiran anak di posyandu
mengakibatkan anak tidak mendapatkan akses yang memadai tentang layanan
imunisasi. Kurangnya asupan gizi saat kehamilan akan berdampak pada anemia
kehamilan. Sedngkan sanitasi yang kurang baik akan berdampak pada lingkungan
yang kurang sehat. Factor multidimensi ini kemudian berisiko tinggi kepada
pemenuhan gizi pada anak karena keterbatasan pada keluarga anak. Jika hal ini
terus berlangsung maka akan mengakibatkan anak balita menderita stunting
(Majid,2017).
BAB III
KERANGKA KONSEP, DEFENISI OPERASIONAL DAN HIPOTESIS

3.1 Kerangka Konsep


Berdasarkan uraian pada tinjuan kepustakaan, maka secara garis besar
kerangka konsep penelitian ini dapat digambarkan pada skema berikut ini :

1. Riwayat Pola Makan


Pendamping ASI Kejadian Stunting
2. Riwayat Imunisasi

Skema 1 : Kerangka Konsep Penelitian


Keterangan :
: Variabel independen
: Variabel dependen
: Hubungan antar variabel
3.2 Variabel dan Defenisi Operasional
3.2.2 Kejadian Stunting
Kejadian stunting dalam penelitian ini adalah kondisi dimana balita
memiliki panjang atau tinggi badan yang kurang jika dibandingkan dengan
anak seumurannya.
Kriteria Objektif :
1. Pendek : jika Z-skor -3 SD sampai dengan ≤ 2 SD
2. Sangat pendek : jika Z-skor ≤ 3 SD
3.2.3 Riwayat pola makan pendamping ASI
Riwayat pola makan pendamping ASI dalam penelitian ini adalah
informasi tentang pola pemberian makanan pendamping ASI yang diberikan
pada anak sejak usia 6 bulan hingga berusia 2 tahun.
Kriteria Objektif :
1. cukup : Apabila mendapatkan skor ≥ 15
2. Kurang : Apabila mendapatkan skor < 15

41
42

3.2.4 Riwayat Imunisasi


Riwayat imunisasi adalah pelaksanaan imunisasi anak mulai dari anak
usia 0-9 bulan dalam penelitian ini adalah informasi tentang status
kelengkapan imunisasi yang telah didapatkan oleh anak di wilayah kerja
puskesmas taraweang kabupaten pangkep”.
Kriteria Objektif :
1. Lengkap : Apabila status imunisasi anak dalam buku KMS
menunjukkan lengkap
2. Tidak lengkap : Apabila status imunisasi anak dalam buku KMS
menunjukan belum lengkap
3.3 Hipotesis Penelitian
Hipotesis merupakan pernyataan sementara yang perlu di uji kebenarannya
(Sabri L & Hastono SP, 2018).
3.3.1 Hipotesis Nol (H0)
3.3.1.1 Tidak ada hubungan riwayat pola makan pendamping ASI dengan
kejadian stunting pada anak balita
3.3.1.2 Tidak ada hubungan riwayat imunisasi dengan kejadian stunting
pada anak balita
3.3.2 Hipotesis Alternatif (Ha)
3.3.2.1 Ada hubungan riwayat pola makan pendamping ASI dengan
kejadian stunting pada anak balita
3.3.2.2 Ada hubungan riwayat imunisasi dengan kejadian stunting pada
anak balita.
BAB IV
METODE PENELITIAN

4.1 Jenis dan Desain Penelitian


Jenis penelitian ini adalah kuantitatif, yaitu penelitian ilmiah yang sistematis
terhadap bagian-bagian dan fenomena serta hubungan-hubungannya yang bertujuan
mengembangkan dan mengembangkan model matematis dalam pembuktian
hipotesanya. Desain penelitian yang digunakan adalah Cross Sectional Study, yaitu
jenis penelitian yang menekankan waktu pengukuran/observasi data variabel
independen dan dependen hanya satu kali pada satu saat. Pada jenis ini, variabel
independen dan dependen dinilai secara simultan pada suatu saat, jadi tidak ada
tindak lanjut. Tentunya tidak semua subjek penelitian harus diobservasi pada hari
atau pada waktu yang sama, akan tetapi baik variabel independen maupun variable
dependen dinilai hanya satu kali saja (Nursalam, 2015).
4.2 Populasi dan Sampel
4.2.1 Populasi
Populasi adalah keseluruhan atau himpunan objek dengan ciri yang sama
(Rizki & Nawangwulan, 2018).
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh anak balita yang berada di
wilayah kerja Puskesmas Taraweang Kabupaten Pangkep yang berjumlah 55
orang anak (Data Awal bulan April 2019).
4.2.2 Sampel
Sampel adalah himpunan bagian atau sebagian dari suatu populasi atau
defenisi lain objek yang diteliti dan dianggap mewakili seluruh populasi
penelitian (Rizki & Nawangwulan, 2018).
Sampel dalam penelitian ini ditentukan melalui beberapa langkah berikut ini:
4.2.2.1 Besar Sampel
Besar sampel dalam penelitian ini ditentukan menggunakan rumus
berikut ini (Nursalam, 2015) :
N
n= 2
1+ N (d)
n : Jumlah sampel
N : Jumlah Populasi

43
44

d2 : Tingkat signifikansi (p)


Jadi :
55
n= 2
1+55 (0 , 05)
n = 55
Jadi, total sampel dalam penelitian ini sebanyak 55 orang anak balita.
4.2.2.2 Teknik sampling
Sampling adalah proses menyeleksi porsi dari populasi yang dapat
mewakili populasi yang ada (Nursalam, 2015). Teknik sampling yang
digunakan adalah Total Sampling, yaitu uatu teknik penetapan sampel
dengan cara memilih sampel di antara populasi sesuai dengan yang
dikehendaki peneliti (tujuan/masalah dalam penelitian), sehingga sampel
tersebut dapat mewakili karakteristik populasi yang telah dikenal
sebelumnya (Nursalam, 2015).
4.2.2.3 Kriteria sampel
a. Kriteria inklusi
1) Anak yang oleh orang tuanya bersedia untuk diteliti
2) Bersedia diteliti hingga penelitian ini selesai
3) Anak yang berusia 1 – 3 tahun
4) Dapat berkomunikasi dengan baik
5) Mengalami stunting
b. Kriteria ekslusi
1) Anak yang ketika penelitian ini berlangsung tiba-tiba sakit
2) Tidak berada di lokasi penelitian saat penelitian berlangsung
3) Tidak mengisi lembar karakteristik responden secara lengkap
4) Tidak kooperatif.
4.3 Lokasi dan Waktu
4.3.1 Lokasi Penelitian
Penelitian ini telah dilaksanakan di wilayah kerja Puskesmas desa
Taraweang Kabupaten Pangkep.
4.3.2 Waktu Penelitian
Penelitian ini telah dilaksanakan pada tanggal 23 juli sampai 28 juli 2019.
45

4.4 Etika Penelitian


Secara umum prinsip etika dalam penelitian/pengumpulan data dapat
dibedakan menjadi tiga bagian, yaitu prinsip manfaat, prinsip menghargai hak-hak
subjek, dan prinsip keadilan (Nursalam, 2015) :
4.4.1 Prinsip manfaat
4.4.1.1 Bebas dari penderitaan
Penelitian harus dilaksanakan tanpa mengakibatkan penderitaan
kepada subjek, khususnya jika menggunakan tindakan khusus
4.4.1.2 Bebas dari eksploitasi
Partisipasi subjek dalam penelitian, harus dihindarkan dari keadaan
yang tidak menguntungkan. Subjek harus diyakinkan bahwa
partisipasinya dalam penelitian atau informasi yang telah diberikan,
tidak akan dipergunakan dalam hal-hal yang dapat merugikan subjek
dalam bentuk apapun.
4.4.1.3 Risiko (benefits ratio)
Peneliti harus hati-hati mempertimbangkan risiko dan keuntungan
yang akan berakibat kepada subjek pada setiap tindakan.
4.4.2 Prinsip menghargai hak subjek (respect human dignity)
4.4.2.1 Hak untuk ikut/tidak menjadi responden (right to self determination)
Subjek harus diperlakukan secara manusiawi. Subjek mempunyai
hak memutuskan apakah mereka bersedia menjadi subjek ataupun
tidak, tanpa adanya sanksi apapun atau akan berakibat terhadap
kesembuhannya, jika dia seorang klien.
4.4.2.2 Hak untuk mendapatkan jaminan dari perlakuan yang diberikan
(right to full disclosure)
Seorang peneliti harus memberikan penjelasan secara rinci serta
bertanggung jawab jika ada sesuatu yang terjadi kepada subjek.
4.4.2.3 Informed consent
Subjek harus mendapatkan informasi secara lengkap tentang tujuan
penelitian yang akan dilaksanakan, mempunyai hak untuk bebas
berpartisipasi atau menolak menjadi responden. Pada informed
46

consent juga perlu dicantumkan hanya akan dipergunakan untuk


pengembangan ilmu.
4.4.3 Prinsip keadilan (Right to justice)
4.4.3.1 Hak untuk mendapatkan pengobatan yang adil (right in fair
treatment)
Subjek harus diperlakukan secara adil, baik sebelum, selama dan
sesudah keikutsertaannya dalam penelitian tanpa adanya
diskriminsai apabila ternyata mereka tidak bersedia atau dikeluarkan
dari penelitian.
4.4.3.2 Hak dijaga kerahasiaannya (right to privacy)
Subjek mempunyai hak untuk meminta bahwa data yang diberikan
harus dirahasiakan, untuk itu perlun adanya tanpa nama (anonymity)
dan rahasia (confidentiality).
4.5 Alat Pengumpulan Data
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan kuesioner dan lembar observasi
sebagai alat untuk mengumpulkan data. Kuesioner dan lembar observasi terdiri atas
formulir data demografi responden/karakteristik umum responden, kuesioner
riwayat pola makan pendamping ASI, kuesioner riwayat imunisasi dan kuesioner
kejadian stunting yang menggunakan alat pengukur tinggi badan.
4.6 Proses Pengumpulan Data
Pengumpulan data adalah suatu proses pendekatan kepada subjek dan proses
pengumpulan karakteristik subjek yang diperlukan dalam suatu penelitian.
Langkah-langkah dalam pengumpulan data bergantung pada rancangan penelitian
dan teknik instrument yang digunakan. Selama proses pengumpulan data, peneliti
memfokuskan pada penyediaan subjek, melatih tenaga pengumpul data (jika
diperlukan), memerhatikan prinsip-prinsip validitas dan reliabilitas, serta
menyelesaikan masalah-masalah yang terjadi agar data dapat terkumpul sesuai
dengan rencana yang telah ditetapkan (Nursalam, 2015).
47

Proses pengumpulan data dalam penelitian ini dapat dilihat pada bagan berikut
ini :

Populasi
Balita Stunting usia 1-3 tahun

Sampel
Balita Stunting sesuai kriteria sampel

Proses Penelitian
Pembagian Kuesioner kepada keluarga sampel

Pengumpulan Data
Pengumpulan informasi berupa riwayat pola
makan pendamping ASI dan Imunisasi, serta
pengukuran kejadian stunting pada balita

Pengolahan dan Analisa Data


Tabulasi data dan pengujian statistik

Skema 4.1 : Proses Pengumpulan Data


4.7 Pengolahan dan Analisa Data
4.7.1 Pengolahan Data
Sebelum data dianalisis, maka data yang telah didapatkan perlu diolah
terlebih dahulu melalui beberapa langkah berikut ini :
4.7.1.1 Editing
Peneliti akan memastikan dengan melakukan pengecekan apakah
lembar observasi telah terisi seluruhnya.
4.7.1.2 Coding
Peneliti akan merubah data yang berbentuk huruf menjadi angka
atau bilangan. Hal ini dilakukan agar mempermudah pemasukan data
sebelum data dianalisis. Dengan melakukan conding, maka peneliti akan
mengklarifikasi setiap isisna dari lembar observasi menurut macamnya
48

4.7.1.3 Processing
Peneliti akan mulai memberikan skor terhadap berbagai item yang
perlu diberikan skor atau mengubah jenis data bila diperlukan.
Disesuaikan atau dimodifikasi dengan teknik analisis yang dipergunakan.
Tindakan selanjutnya adalah memasukkan data ke dalam komputer
dengan menggunakan program SPSS untuk menganalisis data.
4.7.1.4 Cleaning
Peneliti akan melakukan pembersihan data dengan cara melakukan
pengecekan ulang untuk mengetahui apakah data yang dimasukkan
terdapat kesalahan. Apabila dalam proses ini ditemukankesalahan berupa
kesalahan pemberian kode, ketidaklengkapan dan sebagainya amaka
akan dilakukan pembentulan atau koreksi.
4.7.2 Analisis Data
4.7.2.1 Analisis univariat
Analisis univariat adalah suatu prosedur pengolahan data dengan
menggambarkan dan meringkas data secara ilmiah dalam bentuk tabel
atau grafik. Data-data yang disajikan meliputi frekuensi, proporsi dan
rasio, ukuran-ukuran kecenderungan pusat (rata-rata hitung, median,
modus), maupun ukuran-ukuran variasi (simpangan baku, variansi,
rentang, dan kuartil). Salah satu pengamatan yang dilakukan pada tahap
analisis deskriptif adalah pengamatan terhadap tabel frekuensi. Tabel
frekuensi terdiri atas kolom-kolom yang memuat frekuensi dan
persentase untuk setiap kategori (Nursalam, 2015).
4.7.2.2 Analisis Bivariat
Dalam pengujian bivariat, uji yanbg digunakan harus sesuai
dengan rancangan penelitian. Pengujian statistik yang tidak sesuai akan
menimbulkan penafsiran yang salah dan hasil yang tidak dapat
digeneralisasi (Nursalam, 2015). Dalam penelitian ini, uji analisis
inferensial akan menggunakan uji Chi Square Test dengan toleransi
kesalahan sebesar 5%.
BAB V

HASIL PENELITIAN

Penelitian ini dilakukan di wilayah kerja Puskesmas Taraweang Kab. Pangkep


pada tanggal 23 juli s/d 28 juli 2019 dengan jumlah sampel sebanyak 55 orang
responden yang didapatkan dengan menggunakan Teknik Total Sampling yang sesuai
dengan kriteria sampel yang telah ditetapkan. Data kemudian dianalisis menggunakan
analisis univariat dan analisis bivariat dan disajikan dalam bentuk tabel beserta
penjelasan dari masing-masing tabel. Penjelasan dari masing-masing analisis data dapat
dilihat pada tabel berikut ini:
5.1 Analisis Univariat
5.1.1 Karakterisitik Responden
e.1.1.1 Karakteristik Orang Tua
a. Pekerjaan Orang Tua
Tabel 5.1
Distribusi Responden Berdasarkan Pekerjaan Orang Tua Balita
di Wilayah Kerja Puskesmas Taraweang Kabupaten Pangkep
No. Pekerjaan Orang Tua Jumlah Persentase (%)
1 IRT 34 61,8
2 Swasta 6 10,9
3 PNS 9 16,4
4 Lainnya 6 10,9
Total 55 100
Sumber : Data Primer Agustus 2019
Berdasarkan tabel di atas, maka diketahui bahwa pekerjaan
orang tua balita yang paling banyak adalah IRT dengan jumlah 34
orang (61,8%), sedangkan kelompok pekerjaan yang paling sedikit
adalah kelompok swasta dan pekerjaan lainnya masing-masing
berjumlah 6 orang responden (10,9%).

b. Pendidikan Orang Tua

49
50

Tabel 5.2
Distribusi Responden Berdasarkan Pendidikan Orang Tua
Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Taraweang
Kabupaten Pangkep
No. Pendidikan Orang Tua Jumlah Persentase (%)
1 SD 18 32,7
2 SMP 16 29,1
3 SMA 6 10,9
4 Perguruan tinggi 15 27,3
Total 55 100
Sumber : Data Primer Agustus 2019
Berdasarkan tabel di atas, maka diketahui bahwa kelompok
pedidikan orang tua responden yang paling banyak adalah SD
dengan jumlah 18 orang responden (32,7%), sedangkan kelompok
pendidikan orang tua responden yang paling sedikit adalh SMA
dengna jumlah responden sebanyak 6 orang (10,9%).
e.1.1.2 Karakteristik Responden
a. Usia Anak
Tabel 5.3
Distribusi Responden Berdasarkan Usia Anak di Wilayah Kerja
Puskesmas Taraweang Kabupaten Pangkep

No Persentase
Usia Anak Jumlah
. (%)
1 0 – 12 Bulan 3 5,5
2 13 - 24 Bulan 10 18,2
3 25 - 36 Bulan 42 76,4
Total 55 100
Sumber : Data Primer Agustus 2019
Berdasarkan tabel di atas, maka diketahui bahwa kelompok
usia anak yang paling banyak adalah > 2 tahun dengan jumlah 42
orang anak (76,4%), sedangkan kelompok usia anak yang paling
sedikit adalah < 1 tahun dengna jumlah 3 orang anak (5,5%).

b. Tinggi Badan/ Panjang Badan Anak


51

Tabel 5.4
Distribusi Responden Berdasarkan Tinggi Badan/ Panjang
Badan pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas
Taraweang Kabupaten Pangkep
No Tinggi Badan/ Panjang Persentase
Jumlah
. Badan Anak (%)
1 60 - 70 cm 8 14,5
2 71 - 80 cm 28 50,9
3 81 - 90 cm 18 32,7
4 91 - 100 cm 1 1,8
Total 55 100
Sumber : Data Primer Agustus 2019
Berdasarkan tabel di atas, maka diketahui bahwa tinggi
badan/Panjang badan anak yang paling banyak adalah 71 -80 cm
yaitu sebanyak 28 orang anak (50,9%), sedangkan tinggi
badan/Panjang badan anak yang paling sedikit adalah 91 – 100 cm
yaitu 1 orang (1,8%).
c. Berat Badan Anak
Tabel 5.5
Distribusi Responden Berdasarkan Berat Badan pada Balita
di Wilayah Kerja Puskesmas Taraweang
Kabupaten Pangkep
No
Berat Badan Anak Jumlah Persentase (%)
.
1 5 - 10 Kg 46 83,6
2 11 - 15 Kg 9 16,4
Total 55 100
Sumber : Data Primer Agustus 2019
Berdasarkan tabel di atas, maka diketahui bahwa berat badan
anak yang paling banyak adalah 5 -10 kg dengan jumlah 46 orang
(83,6%), sedangkan yang paling sedikit adalah 11 – 15 kg dengan
jumlah 9 orang (16,4%).
52

d. Jenis Kelamin Anak


Tabel 5.6
Distribusi Responden Berdasarkan Jenis Kelamin Pada Balita
di Wilayah Kerja Puskesmas Taraweang
Kabupaten Pangkep
No. Jenis Kelamin Anak Jumlah Persentase (%)
1 Laki-laki 35 63,6
2 Perempuan 20 36,4
Total 55 100
Sumber : Data Primer Agustus 2019
Berdasarkan tabel di atas, maka diketahui bahwa jenis kelamin
anak yang paling banyak adalah laki-laki yaitu sebanyak 35 orang
(63,6%), sedangkan jenis kelamin paling sedikit adalah perempuan
yaitu sebanyak 20 orang (36,4%).
5.1.2 Variabel Independen
5.1.2.1 Riwayat Pola MP-ASI

Tabel 5.7
Distribusi Responden Berdasarkan Riwayat Pola MP-ASI pada
Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Taraweang
Kabupaten Pangkep
No. Riwayat Pola MP-ASI Jumlah Persentase (%)
1 Cukup 43 78,2
2 Kurang 12 21,8
Total 55 100
Sumber : Data Primer Agustus 2019
Berdasarkan tabel di atas, maka diketahui bahwa riwayat pola makan
pendamping ASI dalam kategori yang cukup baik sebanyak 43 orang
(78,2%), sedangkan riwayat pola makan pendamping ASI yang kurang baik
sebanyak 12 orang (21,8%).
53

5.1.2.2 Riwayat Imunisasi

Tabel 5.8
Distribusi Responden Berdasarkan Riwayat Imunisasi pada Balita
di Wilayah Kerja Puskesmas Taraweang Kabupaten Pangkep
Persentase
No. Riwayat Imunisasi Jumlah
(%)
1 Lengkap 48 87,3
2 Tidak lengkap 7 12,7
Total 55 100
Sumber : Data Primer Agustus 2019
Berdasarkan tabel di atas, maka diketahui bahwa riwayat imunisasi
balita yang lengkap sebanyak 48 orang (87,3%), sedangkan riwayat
imunisasi balita yang tidak lengkap sebanyak 7 orang (12,7%).
5.1.3 Variabel Depdenden
Variable dependen dalam penelitian ini adalah kejadian stunting pada balita.
Distribusi frekuensinya dapat dilihat pada tabel berikut ini:
Tabel 5.9
Distribusi Responden Berdasarkan Kejadian Stunting pada Balita
di Wilayah Kerja Puskesmas Taraweang Kabupaten Pangkep
No. Kejadian Stunting Jumlah Persentase (%)
1 Pendek 43 78,2
2 Sangat pendek 12 21,8
Total 55 100
Sumber : Data Primer Agustus 2019
Berdasarkan tabel di atas, maka diketahui bahwa anak dengan status
stunting dalam kategori yang pendek sebanyak 43 orang (78,2%), sedangkan
anak dengan status stunting dalam kategori yang sangat pendek sebanyak 12
orang (21,8%).
5.2 Analisis Bivariat
Analisis bivariat dalam penelitian ini bertujuan untuk melihat hubungan
antara riwayat pola MP-ASI dan riwayat imunisasi dengan kejadian stunting pada
balita. Maka ketentuan bahwa riwayat pola MP-ASI dan riwayat imunisasi
mempunyai hubungan yang signifikan terhadap kejadian stunting pada balita di
wilayah kerja Puskesmas Taraweang Kabupaten Pangkep apabila p < α 0,05.
Berikut ini adalah tabel hasil analisis bivariat:
54

5.2.1 Hubungan riwayat Pola MP-ASI dengan kejadian stunting pada balita di wilayah
kerja Puskesmas Taraweang Kabupaten Pangkep
Tabel 5.10
Hubungan Riwayat Pola MP-ASI dengan Kejadian Stunting
pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Taraweang
Kabupaten Pangkep
Riwayat Kejadian Stunting
Total
Pola MP- Pendek Sangat Pendek
ASI n % n % n % ρ=0 , 02
Cukup 38 69,1 5 9,1 43 78,2 α =0 , 05
Kurang 5 9,1 7 12,7 12 21,8
Total 43 78,2 12 21,8 55 100
Sumber : Data Primer Agustus 2019
Berdasarkan tabel 5.10 diketahui bahwa dari total 43 orang balita (78,2%)
yang dalam kategori riwayat pola MP-ASI yang cukup baik, didapatkan 28 orang
balita (69,1%) dalam kategori yang pendek, sedangkan 5 balita lainnya (9,1%)
dalam kategori sangat pendek. Sedangkan dari total 12 orang balita (21,8%) yang
dalam kategori riwayat pola MP-ASI yang kurang baik, didapatkan 5 orang balita
(9,1%) dalam kategori pendek sedangkan 7 balita lainnya (12,7%) dalam kategori
sangat pendek.
Setelah dilakukan analisis statistic menggunakan uji Chi Square Test, maka
berdasarkan koreksi Continuity Correction didapatkan nilai p value sebesar 0,002.
Maka disimpulkan bahwa riwayat pola makan pendamping ASI mempunyai
hubungan yang signifikan dengan kejadian stunting pada balita di Wilayah Kerja
Puskesmas Taraweang Kabupaten Pangkep karena p 0,002 < α 0,05.
55

5.2.2 Hubungan riwayat imunisasi dengan kejadian stunting pada balita di wilayah kerja
Puskesmas Taraweang Kabupaten Pangkep
Tabel 5.11
Hubungan Riwayat Imunisasi dengan Kejadian Stunting pada Balita
di Wilayah Kerja Puskesmas Taraweang Kabupaten Pangkep
Kejadian Stunting Total
Riwayat
Pendek Sangat Pendek
Imunisasi
n % N % n %
ρ=0 , 04
Lengkap 41 74,5 7 12,7 48 87,3
α =0 , 05
Tidak lengkap 2 3,6 5 9,1 7 12,7
Total 43 78,2 12 21,8 55 100
Sumber : Data Primer Agustus 2019
Berdasarkan tabel di atas, maka diketahui bahwa dari total 48 orang balita
(87,3%) yang dalam kategori riwayat imunisasi yang lengkap, didapatkan
sebanyak 41 balita (74,5%) dalam kategori yang pendek, dan 7 balita lainnya
(12,7%) dalam kategori sangat pendek. Sedangkan dari total 7 orang balita
(12,7%) yang dalam kategori riwayat imunisasi yang tidak lengkap, didapatkan
sebanyak 2 orang balita (3,6%) dalam kategori pendek, dan 5 balita lainnya
(9,1%) dalam kategori sangat pendek.
Setelah dilakukan analisis statistic menggunakan uji Chi Square Test, maka
berdasarkan koreksi Continuity Correction didapatkan nilai p value sebesar 0,004.
Maka disimpulkan bahwa riwayat imunisasi mempunyai hubungan yang
signifikan dengan kejadian stunting pada balita di Wilayah Kerja Puskesmas
Taraweang Kabupaten Pangkep karena p 0,004 < α 0,05.
BAB VI

PEMBAHASAN

Berdasarkan interpretasi hasil penelitian yang telah dilakukan, maka dengan


membandingkan teori dan penelitian sebelumnya yang terkait dengan penelitian ini,
peneliti selanjutnya akan mengemukakan beberapa antara lain sebagai berikut:
6.1 Hubungan Riwayat Pola Makan Pendamping ASI dengan Kejadian Stunting
pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Taraweang Kab. Pangkep
Secara terotiris, anak yang mendapatkan Makanan Pendamping ASI yang
cukup baik akan mengalami perkembangan dan pertumbuhan yang optimal, atau
meskipun mengalami stunting, dia tidak mengalami stunting yang dalam kategori
yang parah atau sangat pendek. Hasil penelitian memperlihatkan sebanyak 5 orang
anak (9,1%) memiliki riwayat pola Makan Pendamping ASI yang cukup baik
namun dalam kategori sangat pendek. Hal ini menurut peneliti dipengaruhi oleh
sub variabel yang lain seperti riwayat imunisasi yang tidak lengkap. Diketahui
bahwa imunisasi yang diberikan kepada anak diharapkan dapat menurunkan
angka kesakitan. Sehingga meskipun riwayat Pola Makan Pendamping ASI yang
diberikan sesuai dengan kebutuhan dan usia anak, anak akan berpotensi
mengalami stunting. Demikian juga dengan anak yang dalam kondisi kurang baik
dalam riwayat pola Makanan Pendamping ASI dimana didapatkan sebanyak 5
orang anak dalam yang riwayat Pola Makananan Pendamping ASI kurang baik,
namun dalam kategori yang pendek.
Hasil penelitian ini juga sejalan dengan penelitian Khasanah et al (2016)
yang menyatakan bahwa waktu pertama kali pemberian MP-ASI berhubungan
signifikan dengan kejadian stunting.
Demikian juga dengan penelitian Hanum (2019) yang menyatakan bahwa
riwayat pemberian MP-ASI pada faktor usia balita pertama kali diberikan MP-
ASI berhubungan dengan kejadian stunting pada balita.
Menurut Hanum (2019) menyatakan bahwa pemberian MP-ASI yang tepat,
anak akan tumbuh sehat dan optimal. Hal ini karena gizi merupakan faktor
utama yang mendukung terjadinya proses metabolism di dalam tubuh. Oleh
karena itu semakin banyak ibu yang memberikan MP-ASI dengan tepat, maka
semakin sedikit balita yang mengalami stunting.

56
57

Anak balita yang diberikan ASI eksklusif dan MP-ASI sesuai dengan
dengan kebutuhannya dapat mengurangi resiko tejadinya stunting. Hal ini karena
pada usia 0-6 bulan ibu balita yang memberikan ASI eksklusif yang dapat
membentuk imunitas atau kekebalan tubuh anak balita sehingga dapat terhindar
dari penyakit infeksi. Setelah itu pada usia 6 bulan anak balita diberikan MP-ASI
dalam jumlah dan frekuensi yang cukup sehingga anak balita terpenuhi kebutuhan
zat gizinya yang dapat mengurangi risiko terjadinya stunting.
Berdasarkan hal tersebut, maka peneliti berasumsi bahwa riwayat pola
Makan Pendamping ASI berhubungan dengan kejadian stunting pada balita
karena pemberian MP-ASI yang tepat dapat meningkatkan status gizi pada balita
apabila diberikan secara tepat sesuai dengan umur dan kebutuhan balita. Anak
balita yang mendapatkan makanan pendamping ASI yang kurang tepat secara
kebutuhan dan usia anak, secara tidak langsung akan mengalami hambatan
pertumbuhan karena tidak diberikan secara tepat.
6.2 Hubungan Riwayat Imunisasi dengan Kejadian Stunting pada Balita di
Wilayah Kerja Puskesmas Taraweang Kab. Pangkep
Secara toritis, anak yang mendapatkan imunisasi secara lengkap akan
mendapatkan status kesehatan yang optimal, dalam hal ini anak tidak akan
mengalami kondisi stunting yang parah atau sangat pendek. Dalam penelitian ini,
didapatkan anak dengan riwayat imunisasi yang lengkap sebanyak 7 orang
(12,7%) mengalami kondisi stunting yang pendek atau sangat pendek. Demikian
juga anak yang mendapatkan imunisasi yang kurang lengkap, ditemukan sebanyak
2 orang (3,6%) yang tidak mengalami stunting dalam katerogi sangat pendek,
dalam penelitian ini dikategorikan pendek. Hal ini menurut peneliti karena
dipengaruhi oleh sub variable yang lain yaitu riwayat Pola Makan Pendamping
ASI. Sehingga meskipun anak mendapatkan imunisasi yang lengap akan
berpotensi mengalami stunting yang parah apabila tidak dibarengi dengan
pemberian makanan pendamping ASI yang sesuai dengan kebutuhan dan usia
anak. Demikian juga dengan sebaliknya.
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Aridiyah et al (2015) tentang
faktor yang mempengaruhi kejadian stunting pada anak balita menyatakan bahwa
status imunisasi mempengaruhi terjadinya stunting.
58

Demikian juga dengan penelitian Hendra et al (2016) yang menyatakan


bahwa stunting pada balita berhubungan dengan imunisasi yang tidak lengkap.
Meskipun dijelaskan bahwa tidak memberikan ASI eksklusif menjadi factor
dominan sebagai penyebab risiko anak mengalami stunting.
Menurut Mugianti et al (2018) dalam penelitiannya menyatakan bahwa
dalam semua jenis malnutrisi, diketahui bahwa proporsi anak tidak diimunisasi
lebih besar dibandingkan yang diberi umunisasi. Pada dasarnya imunisasi pada
anak memiliki tujuan penting yaitu untuk mengurangi risiko morbiditas
(kesakitan) dan mortalitas (kematian) anak akibat penyakit-penyakit yang dapat
dicegah dengan imunisasi.
Lebih lanjut dijelaskan bahwa status imunisasi pada anak adalah salah satu
indicator kontak dengan pelayanan kesehatan. Karena diharapkan bahwa kontak
dengan pelayanan kesehatan akan membantu memperbaiki masalah gizi, sehingga
imunisasi juga diharapkan akan memberikan efek positif terhadap status gizi
jangka Panjang.
Namun hasil berbeda didapatkan oleh Azriful (2018) yang menyatakan
bahwa status imunisasi dasar tidak berhubungan secara signifikan terhadap
terjadinya stunting pada anak. Dijelaskan bahwa imunisasi tidak mencegah
terjadinya stunting pada balita. Imunisasi merupakan salah satu cara pencegahan
penyakit menular, bukan pencegahan terhadap stunting.
Hayyudini et al (2017) yang meneliti secara umum tentang status gizi dalam
penelitian juga menyatakan bahwa status imunisasi tidak berhubungan secara
signifikan dengan status gizi anak usia 12-24 bulan.
Berdasarkan uraian di atas, maka peneliti berasumsi bahwa riwayat
imunisasi mempunyai hubungan yang signifikan pada kejadian stunting pada
balita. Hal ini karena imunisasi dapat mencegah beberapa penyakit termasuk
masalah gizi pada anak. Apabila balita tidak memiliki imunitas terhadap penyakit,
maka balita akan lebih mudah kehilangan energi karena penyakit infeksi, sebagai
reaksi pertama adanya infeksi adalah menurunnya nafsu makan yang dapat
memicu berkurangnya pasukan zat gizi dalam tubuh sehingga stunting dapat
terjadi.
59

6.3 Keterbatasan Penelitian


Ada beberapa keterbatasan dalam penelitian ini, keterbatasan penelitian itu
diantaranya adalah sebagai berikut :
f.3.1 Keterbatasan instumen penelitian dimana adanya potensi kekurang telitian
peneliti dalam mendapatkan informasi dari responden yang berpengaruh
terhadap penyusunan hasil penelitian.
f.3.2 Keterbatasan waktu penelitian, dimana waktu yang kurang mengakibatkan
jumlah sampel yang tidak dapat dipenuhi secara maksimal.
f.3.3 Keterbatasan terakhir yaitu keterbatasan jumlah responden. Hal ini
memungkinkan hasil penelitian tidak dapat digeneralisasikan bahwa
riwayat Pola Makan Pendamping ASI dan riwayat imunisasi tidak bisa
dijadikan sebagai rujukan penyebab kejadian stunting. Selain itu, peneliti
juga menganggap bahwa ada beberapa determinan yang lain yang
dianggap mempengaruhi terjadinya stunting pada anak.
BAB VII
KESIMPULAN DAN SARAN
7.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan tujuan penelitian tentang hubungan riwayat
pola makan pendamping asi dan imunisasi dengan kejadian stunting pada balita
usia 1-3 tahun di wilayah kerja Puskesmas Taraweang Kab Pangkep, maka penelitia
menarik beberapa kesimpulan antara lain:
7.1.1 Terdapat hubungan yang signifikan antara riwayat pemberian makanan
pendamping ASI dengan kejadian stunting pada anak balita di wilayah kerja
Puskesmas Taraweang Kabupaten Pangkep.
7.1.2 Terdapat hubungan yang signifikan antara riwayat imunisasi dengan
kejadian stunting pada anak balita di wilayah kerja Puskesmas Taraweang
Kabupaten Pangkep.
7.2 Saran
Berdasarkan kesimpulan penelitian, maka penelitia memberikan beberapa
saran antara lain sebagai berikut:
7.2.1 Dinas terkait perlu melakukan pengumpulan data terkait angka kejadian
stunting pada anak balita melalui survey penentuan status gizi di Kabupaten
Pangkep serta melakukan edukasi serta upaya pemberian informasi kepada
seluruh orang tua tentang penyebab terjadinya stunting.
7.2.2 Diperlukan perhatian bagi orang tua dalam memberikan makanan
pendamping ASI secara tepat sesuai usia dan kebutuhan balita, demikian
juga dengan kelengkapan status imunisasi pada balita karena dalam
penelitian ini keduanya mempunyai hubungan yang bermakna terhadap
kejadian stunting pada balita.
7.2.3 Diperlukan penelitian lebih lanjut dengan memperhatikan determinan atau
faktor yang lain yang berhubungan dengan terjadinya stunting pada anak
balita guna pengembangan penelitian dan ilmu pengetahuan di mas

60
61

DAFTAR PUSTAKA

Adrian, K. (2019). Makanan Pendamping ASI Bisa Dimuali Dengan Menu Berikut.
(Online) (https://www.alodokter.com/makanan-pendamping-asi-bisa-dimulai-
dengan-menu-berikut di akses pada tanggal 29 April 2019).

Adriani, M. (2014) Gizi Dan Kesehatan Balita. 1st edn. Jakarta: Kencana.

Aridiyah FO., Rohmawati N., & Ririanty M. (2015). Factor-Faktor yang


Mempengaruhi Kejadian Stunting pada Anak Balita di Wilayahn Kerja
Pedesaan dan Perkotaan. E-Journal Pustaka Kesehatan, Vol. 3 No. 1 januari
2015.

Ariani, P. (2017) Ilmu Gizi. 1st edn. Yogyakarta: Nuha Medika.

Aulia, R. (2018). Panduan MPASI WHO 2018. (Online)


(https://www.mpasi.org/artikel/panduan-mpasi-who di akses tanggal 29 April
2019).

Azriful, Bujarwati E, Habibi, Aeni S.,& Yusdarif (2018) determinan kejadian stunting
pada balita usia 24-59 bulan dikelurhan rangas kabupaten majene, public
health science journal (192-203).

Bakri, B. (2017) Penilaian Status Gizi. 1st edn. Edited by E. Rezkina. Jakarta: BUku
kedokteran.

Fikawati, S., Syafiq A., & Veratamala A. (2017). Gizi Anak dan Remaja. Edisi 1.
Jakarta : Rajawali Pers.

Hanum, N.H (2019). Hubungan tinggi badan ibu dan riwayat pemberian MP-ASI
dengan kejadian stunting pada balita usia 12-59 bulan, jurnal Anumerta Nutr
(78-84).

Hardiati N, dkk. (2015). Buku Ajar Imunisasi. Pusat Pendidikan dan Pelatihan Tenaga
Kesehatan.

Hayyudini LA, Sarah W., & Jeanette M (2017) hubungan factor resiko dengan stunting
pada anak di TK/PAUD kecamatan tumiting. Jurnal medic dan rehabilitasi Vol.
1 No. 2.

Hendra AL., Rahmat ,& Miko A. (2016). Kajian stunting pada anak balita
berdasarkan pola asuh dan pendapatan keluarga di kota banda aceh. Jurnal
kesmas Indonesia Vol. 8 No 2 963-79).

Kemenkes RI. (2016). Situasi Balita Pendek. Pusat Data dan Informasi Kementrian
Kesehatan RI : ISSN 2442 – 7659.

Kemenkes RI. (2018). Situasi Balitan Pendek (Stunting) di Indonesia. Pusat Data dan
Informasi Kementrian Kesehatan RI : ISSN 2088 – 270 X.
62

Kemenkeu RI (2018). Penanganan Stunting Terpadu Tahun 2018. Direktur Anggaran


Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan.

Khasanah D,P, Hadi H , & Paramashanti B.A. (2016). Hubungan antara pemberian
makanan pendamping ASI (MP-ASI) dengan kejadian stunting pada anak usia
6-23 bulan di kecamatan sedayu. Universitas Alma Ata Yogyakarta.

Majid, T. (2017). Buku Saku Desa Dalam Penanganan Stunting. Kementrian Desa,
Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi.

Millenium Challenge Account Indonesia. (2019). Stunting dan Masa Depan Indonesia.
(Online) (di akses pada tanggal 29 April 2019 www.mca-indonesia.go.id )

Mugianti S., Mulyadi A., Anam AK., & Najah ZL. (2018). Faktor Penyebab Anak
Stunting Usia 25-60 Bulan di Kecamatan Sukorejo Kota Blitar. Jurnal Ners
dan Kebidanan, Volume 5, Nomor 3, Desember 2018, Hal. 268–278

Ni’mah K., & Nadiroh SR. (2015). Factor yang Berhubungan dengan Kejadian
Stunting pada Balita. Media Gizi Indonesia, Vol. 10, No. 1 Januari–Juni 2015:
Hal. 13–19.

Nursalam. (2015). Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan : Pendekatan Praktis. Ed.


4. Jakarta : Salemba Medika.

Nutriclub. (2017). Imunisasi untuk Anak Usia 0 – 2 Tahun (Online)


(https://www.nutriclub.co.id/media/2573804/imunisasi-1.pdf di akses tanggal
29 April 2019).

Rizki MR., & Nawangwulan S (2018). Buku Ajar Metodologi Penelitian Kesehatan.
Sidoarjo : Indomedia Pustaka.

Ruslianti (2015) Gizi dan Kesehatan Anak Prasekolah. 1st edn. Edited by P. Latifah.
Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Sabri L., & Hastono SP. (2018). Statistic Kesehatan. Jakarta : Rajawali Pers.

Susilowati (2016) Gizi Dalam Daur Kehidupan. 1st edn. Edited by A. Suzana. Bandung:
Refika Aditama.

Supariasa, N. (2017) Ilmu Gizi Teori & Aplikasi. Edited by Hardiansyah. BUku
kedokteran.

https://www.google.co.id/search?
q=makanan+yang+sederhana+untuk+balita&safe=strict&source=lnms&tbm=is
ch&sa=X&ved=0ahUKEwjuxZf6m5TkAhVFs48KHcToAZUQ_AUIESgB&bi
w=1242&bih=597&dpr=1.1#imgrc=vy5eoOD_uI24_M:

https://www.google.co.id/search?
q=makanan+sereal+balita&safe=strict&source=lnms&tbm=isch&sa=X&ved=
63

0ahUKEwi6yOzLnJTkAhX46nMBHcsMAfUQ_AUIESgB&biw=1242&bih=5
97&dpr=1.1#imgrc=-hSYaPYWRgfTbM:

https://www.google.co.id/search?
q=makanan+bubur+dan+sayuran+balita&safe=strict&source=lnms&tbm=isch
&sa=X&ved=0ahUKEwiYyNjHnZTkAhWHSH0KHbdAD54Q_AUIESgB&bi
w=1242&bih=597&dpr=1.1#imgrc=RRsTO3YKJo0HpM:

https://www.google.co.id/search?
q=makanan+cincang+halus+untuk+balita&safe=strict&source=lnms&tbm=isc
h&sa=X&ved=0ahUKEwiluYStn5TkAhWc_XMBHQ5zBCYQ_AUIESgB&bi
w=1242&bih=597#imgrc=KIO4nKET2yrrJM:

https://www.google.co.id/search?
q=makanan+mengandung+zat+besi+untuk+anak&safe=strict&source=lnms&t
bm=isch&sa=X&ved=0ahUKEwiHvOGeoJTkAhWDSH0KHU4XBToQ_AUI
ESgB&biw=1242&bih=597#imgrc=fyGdoXIRQp7TDM:

Anda mungkin juga menyukai