Anda di halaman 1dari 41

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Stunting merupakan indikator kekurangan gizi kronis akibat ketidak

cukupan asupan makanan dalam waktu yang lama, kualitas pangan yang

buruk, meningkatnya morbiditas serta terjadinya peningkatan tinggi badan

yang tidak sesuai dengan umurnya (TB/U) (Ernawati dkk, 2013). Pada

umumnya, masalah pertumbuhan linier pada balita sering diabaikan karena

masih dianggap normal asalkan berat badan anak telah memenuhi standar.

Menurut beberapa penelitian, stunting berkaitan denganpeningkatan resiko

kesakitan dan kematian serta terhambatnya pertumbuhan kemampuan

motorik dan mental (Priyono dkk, 2015).

Penyebab stunting diantaranya adalah hambatan pertumbuhan dalam

kandungan, asupan zat gizi yang tidak mencukupi untuk mendukung

pertumbuhan dan perkembangan yang cepat pada masa balita serta

seringnya terkena penyakit infeksi selama masa awal kehidupan, balita

memiliki panjang badan yang rendah ketika lahir, berat lahir yang rendah

pada saat dilahirkan, dan pemberian makanan tambahan yang tidak sesuai

menurut usia disertai dengan konsistensi makanannya (Kusuma, 2013).

Menurut Depkes (2017), adapun tanda-tanda terjadinya stunting adalah

bagian tubuh memiliki bentuk yang tidak proporsional seperti ukuran


lengan dan kaki, memiliki kadar hormone tiroksin yang rendah maka akan

menimbulkan gejala penyerta seperti (mudah lelah, sembelit, kulit kering,

rambut kering, dan sering kedinginan), memiliki kadar hormone

pertumbuhan yang rendah, dan terjadi karena masalah pada sistem

pencernaan, maka akan terjadi gejala seperti (diare, sembelit, muntah atau

mual).

Dampak buruk yang dapat ditimbulkan oleh masalah gizi atau stunting,

dalam jangka pendek adalah terganggunya perkembangan otak

kecerdasan, gangguan pertumbuhan fisik, dan gangguan metabolisme

dalam tubuh. Sedangkan dalam jangka panjang akibat buruk yang dapat

ditimbulkan adalah menurunnya kemampuan kognitif dan prestasi belajar,

menurunnya kekebalan tubuh sehingga mudah sakit, dan resiko tinggi

untuk munculnya penyakit diabetes, kegemukan, penyakit jantung, dan

pembuluh darah, kanker, stroke, dan disabilitas pada usia tua, serta

kualitas kerja yang tidak kompetitif yang berakibat pada rendahnya

produktivitas ekonomi (Kemenkes RI, 2016).

Pencegahan pada kejadian stunting yang dapat dilakukan yaitu dengan

memperbaiki gizi ibu hamil, perbaiki gizi yang dapat dilakukan saat

kehamilan yaitu dengan memberikan tablet tambah darah minimal 90

tablet saat melahirkan. Selain itu pada ibu yang mengalami kurang energi

kronis (KEK) perlu mendapatkan makanan tambahan untuk meningkatkan

gizi ibu hamil tersebut (Kemenkes RI, 2015). Meningkatkan praktek


menyusui juga merupakan salah satu tindakan untuk mencegah terjadinya

stunting. Inisiasi menyusui dini dan pemberian ASI eksklusif selama enam

bulan dapat memberikan perlindungan terhadap infeksi gastrointestinal

(World Health Organization, 2013).

Faktor yang mempengaruhi stunting yaitu asupan makanan yang tidak

seimbang, berat badan lahir rendah (BBLR) dan penyakit infeksi. Sebuah

penelitian menunjukkan balita dengan berat badan lahir rendah

mempunyai resiko 2,3 kali lebih besar terkena stunting dibandingkan

balita dengan berat badan lahir normal (Arifin dkk, 2012).

Menurut World Health Organization (WHO) tahun 2017, lebih dari

setengah balita stunting didunia berasal dari Asia sebanyak 5.500 juta

balita atau sekitar 55%, sedangkan lebih dari sepertiganya sebanyak 3.900

juta balita atau sekitar 39% tinggal di Afrika. Dari 8.360 juta atau sekitar

83,6% balita stunting di Asia. Proporsi balita stunting terbanyak berasal

dari Asia Selatan sebanyak 5.680 juta atau sekitar 56,8% dan proporsi

paling sedikit di Asia Tengah sebanyak 90 juta atau sekitar 0,9% (World

Health Organization, 2017).

Menurut Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) Tahun 2018, prevelensi

kejadian stunting pada balita di Indonesia pada tahun 2018 sebanyak 3.300

kasus atau sekitar 3,3% dengan karakteristik jenis kelamin laki-laki lebih

banyak dari pada perempuan, dengan penderita laki-laki sebanyak 3,4%


dan perempuan sebanyak 3,1%. Sulawesi Tenggara sendiri masuk urutan

pertama di Indonesia dengan kejadian stunting pada balita sebanyak 7%.

Provinsi Jambi sendiri masuk urutan ke 32 dari 34 provinsi di Indonesia

yang mengalami stunting, pada tahun 2018 penderita stunting sebanyak

1,4% (Riskesdas, 2018). Menurut data dari Dinas Kesehatan (DINKES)

Kabupaten Kerinci tahun 2019, Kabupaten Kerinci menduduki urutan ke 7

dari 11 Kabupaten/ Kota di Provinsi Jambi dengan kejadian stunting pada

balita sebanyak 1,8% atau sekitar 180 kasus (Dinkes Kabupaten Kerinci,

2019).

Berdasarkan survey data di Puskesmas Siulak Mukai bahwa kejadian

stunting lumayan banyak. Pada tahun 2018 angka kejadian stunting

sebanyak 19 kasus, pada tahun 2019 meningkat sebanyak 28 kasus dan

pada tahun 2020 dari bulan Januari-Maret kejadian stunting pada balita

sebanyak 4 kasus, hal ini disebabkan oleh hambatan pertumbuhan dalam

kandungan, asupan zat gizi yang tidak mencukupi untuk mendukung

pertumbuhan dan seringnya terkena penyakit infeksi selama masa awal

kehidupan.

Penelitian yang dilakukan oleh (Sukmawati dkk, 2018) yang berjudul

“Hubungan Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) dan Perilaku Pemberian

Asi Eksklusif dengan Kejadian Stunting Baduta di Puskesmas Sangkrah

Kota Surakarta”. Didapatkan Hasil dengan berat badan lahir rendah yang

stunting dengan nilai (p=0,031<0,05) dan (OR=0,308 ; CI=0,116-0,820).


Dalam penelitian yang dilakukan oleh (Aristanto, 2017) dengan judul

“Berat Badan dan Panjang Badan Lahir Rendah Sebagai Faktor Resiko

terjadinya Stunted pada Balita Usia 12-24 Bulan di Puskesmas Ngemplak

II”. Didapatkan hasil berat badan lahir dengan kejadian stunted (OR=4,491

; p=0,000).

Berdasarkan wawancara dan observasi terhadap 8 ibu-ibu yang memiliki

anak balita yang mengalami kejadian stunting, dari 4 orang ibu-ibu

mengatakan kurangnya pemeriksaan kehamilan dan pekerjaan fisik yang

berat, dari 3 ibu-ibu mengatakan mempunyai riwayat penyakit kronis

seperti anemia, hipertensi, dan diabetes militus, dan dari 1 ibu-ibu

mengatakan mempunyai riwayat berat badan lebih rendah (BBLR) dan

usia ibu lebih dari 35 tahun saat melahirkan.

Berdasarkan fenomena diatas maka peneliti tertatrik untuk melakukan

penelitian tentang “Hubungan Berat Badan Lahir dengan Kejadian

Stunting di Wilayah Kerja Puskesmas Siulak Mukai Tahun 2020”.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang permasalahan yang diuraikan diatas,

maka dapat dirumuskan masalah dalam penelitian ini yaitu apakah ada

“Hubungan Berat Badan Lahir dengan Kejadian Stunting di Wilayah Kerja

Puskesmas Siulak Mukai Tahun 2020?”.

C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum

Mengetahui “Hubungan Berat Badan Lahir dengan Kejadian Stunting

di Wilayah Kerja Puskesmas Siulak Mukai Tahun 2020”.

2. Tujuan khusus

a. Mengetahui distribusi frekuensi kejadian stunting di Wilayah

Kerja Puskesmas Siulak Mukai Tahun 2020.

b. Mengetahui distribusi frekuensi berat badan lahir di Wilayah

Kerja Puskesmas Siulak Mukai Tahun 2020.

c. Mengetahui hubungan berat badan lahir dengan kejadian

stunting di Wilayah Kerja Puskesmas Siulak Mukai Tahun 2020.

D. Manfaat Penelitian

1. Bagi Tempat penelitian (Puskesmas Tanah Kampung)

Sebagai bahan masukan bagi pihak institusi terkait (Puskesmas Siulak

Mukai) dalam menyusun rencana penanggulangan kejadian stunting

lebih lanjut.

2. Bagi Institusi Pendidikan (Stikes Syedza Saintika)

Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan bacaan dan

perbandingan, dapat digunakan dimasa yang akan datang dan

dokumentasi bagi pihak program studi Stikes Syedza Saintika Padang.

3. Bagi Penelitian Selanjutnya

Diharapakan dapat menambahkan wawasan dan ilmu pengetahuan

secara nyata tentang hubungan berat badan lahir dengan kejadian

stunting di Wilayah Kerja Puskesmas Siulak Mukai Tahun 2020.


E. Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini membahas tentang hubungan berat badan lahir dengan

kejadian stunting di Wilayah Kerja Puskesmas Siulak Mukai. Variabel

penelitian ini adalah fariabel independen (berat badan lahir) dan variabel

dependen kejadian (stunting). Jenis penelitian ini adalah bersifat analitik

dengan pendekatan cross sectional study, yaitu variabel bebas dan terikat

diukur pada saat yang sama, pada waktu penelitian berlangsung dimana

hasilnya dapat memberikan gambaran tentang hubungan antara dua

variabel penelitian, kemudian dilakukan pengamatan terhadap hubungan

berat badan lahir dengan kejadian stunting di Wilayah Kerja Puskesmas

Siulak Mukai Tahun 2020. Penelitian ini dilaksanakan di Wilayah Kerja

Puskesmas Siulak Mukai. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh

pasien yang berkunjung ke Poli Anak Puskesmas Siulak Mukai tiga bulan

terakhir yang berjumlah yang berjumlah 130 orang dan sampel yang

didapatkan 4 orang. Teknik pengambilan sampel yaitu secara accidental

sampling. Data dikumpulkan menggunakan lembar observasi, kemudian

dianalisa dengan analisa univariat dan bivariat menggunakan uji chi

square.
BAB II

PENDAHULUAN

A. STUNTING

1. Pengertian Stunting

Stunting merupakan masalah kurang gizi kronis yang disebabkan

oleh asupan gizi yang kurang dalam waktu yang cukup lama akibat

pemberian makanan yang tidak sesuai dengan kebutuhan gizi.

Stunting terjadi mulai janin masih dalam kandungan dan baru

nampak pada saat anak berusia dua tahun. Meningkatnya angka

kematian bayi dan anak terjadi karena kekurangan gizi pada usia

dini yang dapat menyebabkan penderita mudah sakit dan memiliki

postur tubuh tidak maksimal saat dewasa (MCA, 2013). Stunting

merupakan bentuk dari proses pertumbuhan anak yang terhambat,

yang termasuk salah satu masalah gizi yang perlu mendapat

perhatian (Picauly and Toy, 2013).

Tubuh pendek pada masa anak-anak (Chilhood stunting)

merupakan akibat kekurangan gizi kronis atau kegagalan

pertumbuhan di masa lalu dan digunakan sebagai indikator jangka

panjang untuk gizi kurang pada anak. Chilhood stunting

berhubungan dengan gangguan perkembangan neurokognitif dan

risiko menderita penyakit tidak menular di masa depan ([Kemenkes


RI] Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2015).

2. Patofisiologi Stunting

Masalah gizi merupakan masalah multi dimensi dipengaruhi oleh

berbagai faktor penyebab. Masalah gizi berkaitan erat dengan

masalah pangan. Masalah gizi pada anak balita tidak mudah

dikenali pemerintah, atau masyarakat bahkan keluarga karena ank

tidak tampak sakit terjadinya kurang gizi tidak selalu didahului

oleh terjadinya bencana kurang pangan dan kelaparan seperti

kurang gizi pada dewasa. Hal ini berarti dalam kondisi pangan

melimpah masih mungkin terjadi kasus kurang gizi pada anak

balita. Kurang gizi pada anak balita bulan sering disebut sebagai

kelaparan tersembunyi atau hidden hunger.

Stunting merupakan retradasi pertumbuhan linier dengan deficit

dalam panjang atau tinggi badan sebesar -2 Z-score atau lebih

menurut buku rujukan pertumbuhan World Health Organization/

National Center for Health Statistics (WHO/NCHS). Stunting

disebabkan oleh komulasi episode stress yang sudah berlangsung

lama (misalnya infeksi dan asupan makanan yang buruk), yang

kemudian tidak terimbangi oleh catch up growth (kejar tumbuh)

(World Health Organization, 2013).


3. Faktor-faktor Penyebab Stunting

Banyak faktor yang menyebabkan terjadinya keadaan stunting pada

anak. Faktor-faktor dapat berhasil dari diri anak itu sendiri maupun

dari luar diri anak tersebut. Faktor penyebab stunting ini dapat

disebabkan oleh faktor langsung maupun tidak langsung. Penyebab

langsung dari kejadian stunting adalah asupan gizi dan adanya

penyakit infeksi sedangkan penyebab tidak langsungnya adalah

pola asuh, pelayanan kesehatan, ketersediaan pangan, faktor

budaya,ekonomi dan masih banyak lagi faktor lainnya (Bappenas

R.I, 2013).

a. Faktor langsung

1) Asupan gizi balita

Saat ini indonesia menghadapi masalah gizi ganda,

permasalahan gizi ganda tersebut adalah adanya

masalah kurang gizi dilain pihak masalah kegemukan

atau gizi lebih telah meningkat. Keadaan gizi dibagi

menjadi 3 berdasarkan pemenuhan asupan yaitu :

a) Kelebihan gizi adalah suatu keadaan yang muncul

akibat pemenuhan asupan zat gizi yang lebih

banyak dari kebutuhan seperti gizi lebih, obesitas

atau kegemukan.

b) Gizi baik adalah suatu keadaan yang muncul

akibat pemenuhan asupan zat gizi yang sesuai

dengan kebutuhan.
c) Kurang gizi adalah suatu keadaan yang muncul

akibat pemenuhan asupan zat gizi yang lebih

sedikit dari kebutuhan seperti gizi kurang dan

buruk,pendek kurus dan sangat kurus.

Asupan gizi yang adekuat sangat diperlukan untuk

pertumbuhan dan perkembangan tubuh balita. Masa

kritis ini merupakan masa saat balita akan mengalami

tumbuh kembang dan tumbuh kejar. Balita yang

mengalami kekurangan gizi sebelumnya masih dapat

diperbaiki dengan asupan yang baik sehingga dapat

melakukan tumbuh kejar sesuai dengan

perkembangannya.

Namun apabila intervensinya terlambat balita tidak

akan dapat mengejar keterlambatan pertumbuhannya

yang disebut dengan ggal tumbuh. Begitu pula dengan

balita yang normal kemungkinan terjadi gangguan

pertumbuhan bila asupan yang diterima tidak

mencukupi. Dalam penelitian yang menganalisis hasil

riskesdas menyatakan bahwa konsumsi energi balita

berpengaruh terhadap kejadian balita pendek, selain itu

pada level rumah tangga konsumsi energi rumah tangga

dibawah rata-rata merupakan penyebab terjadinya anak


balita pendek (Sihadi dan Djaiman, 2011).

Dalam upaya penanganan masalah stunting ini, khusus

untuk bayi dan anak telah dikembangkan standar emas

makanan bayi dalam pemenuhan kebutuhan gizinya

yaitu :

a) Insisi menyusui dini (IMD) yang harus dilakukan

sesegera mungkin setelah melahirkan

b) Memberikan ASI ekslusif sampai bayi berusia 6

bulan tanpa pemberian makanan dan minuman

lainnya

c) Pemberian makanan pendamping ASI yang

berasal dari makanan keluarga, diberikan tepat

waktu mulai berusia 6 bulan

d) Pemberian asi diteruskan sampai anak berusia 2

tahun (Bappenas R.I, 2011).

Asupan gizi yang sesuai dengan kebutuhan akan

membantu pertumbuhan dan perkembangan anak.

Sebaliknya asupan gizi yang kurang dapat

menyebabkan kekurangan gizi salah satunya dapat

menyebabkan stunting.

2) Penyakit infeksi

Penyakit infeksi merupakan salah satu faktor penyebab


langsung stunting, kaitan antara penyakit infeksi

dengan pemenuhan asupan gizi tidak dapat dipisahkan.

Adanya penyakit infeksi akan memperburuk keadaan

bila terjadi kekurangan asupan gizi. Anak balita dengan

kekurangan gizi akan lebih mudah terkena penyakit

infeksi. Penyakit infeksi akan ikut menambah

kebutuhan akan zat gizi untuk membantu perlawanan

terhadappenyakit ini sendiri. Pemenuhan zat gizi yang

sudak sesuai dengan kebutuhan namun penyakit infeksi

yang diderita tidak ditangani akan tidak dapat

memperbaiki status kesehatan dan status gizi anak

balita. Untuk itu penanganan terhdap penyakit infeksi

yang diderita sedini mungkin akan membantu

perbaikan gizi dengan diimbangi pemenuhan asupan

yang sesuai dengan kebutuhan anak balita.

Penyakit infeksi yang sering diderita balita seperti

cacingan, infeksi saluran pernapasan atas (ISPA), diare

dan infeksi lainnya sangat erat hubungannya dengan

status mutu pelayanan kesehatan dasar khususnya

imuniasi, kualitas lingkungan hidup dan perilaku sehat

(Bappenas R.I, 2013). Ada beberapa penelitian uang

meneliti tentang hubungan penyakit infeksi dengan

stunting yang menyatakan bahwa diare merupakan


salah satu faktor resiko kejadian stunting pada anak

usia dibawah 5 tahun (Bappenas R.I, 2013).

b. Faktor tidak langsung

1) Ketersediaan pangan

Akses pangan pada rumah tangga menurut Bappenas

adalah kondisi penguasaan sumberdaya (sosial,

teknoogi, finansial/ keuangan, alam dan manusia)

yang cakup untuk memperoleh dan atau ditukarkan

untuk memenuhi kecukupan pangan, termasuk

kecukupan pangan dirumah tangga. Masalah

ketersediaan ini tidak hanya terkait masalah daya beli

namun juga pada pendistribusian dan keberadaaan

pangan itu sendiri, sedangkan pola konsumsi pangan

merupakan susunan makanan yang biasa dimakan

mencakup jenis dan jumlah dan frekuensi jangka

waktu tertentu. Aksesibilitas pangan yang rendah

berakibat pada kurangnya pemenuhan konsumsi yang

beragam, bergizi, seimbang dan nyaman ditingkat

keluarga yang mempengaruhi pola konsumsi pangan

dalam keluarga sehingga berdampak pada semakin

beratnya masalah kurang gizi masyarakat (Bappenas

R.I, 2011).

Ketersediaan pangan yang kurang dapat berakibatt


pada kurangnya pemenuhan asupan nutrisi dalam

keluarga itu sendiri. Rata-rata asupan kalori dan

protein anak balita diindonesia masih dibawah angka

kecukupan gizi (AKG) yang dapat mengakibatkan

anak balita perempuan dan anak balita laki-laki

indonesia mempunyai rata-rata tinggi badan masing-

masing 6,7 cm dan 7,3 lebih pendek dari pada standart

rujukan WHO 2005 (Bappenas R.I, 2011). Oleh

karena itu penanganan masalah gizi ini tidak hanya

melibatkan sektor kesehatan saja namun juga

melibatkan lintas sektor lainnya.

Ketersediaan pangan merupakan faktor penyebab

terjadinya stunting, ketersediaan pangan dirumah

tangga dipengaruhi oleh pendapatan keluarga,

pendapatan keluarga yang lebih rendah dan biaya

yang digunakan untuk pengeluaran pangan yang lebih

rendah merupakan ciri beberapa rumah tangga dengan

anak pendek (Sihadi dan Djaiman, 2011). Penelitian

disemarang jawa timur juga menyatakan bahwa

pendapatan perkapita yang rendah merupakan faktor

resiko kejadian stunting (Nasikah dan Margawati,

2012). Selain itu penelitian yang dilakukan dimaluku

utara dan dinepal menyatakan bahwa stunting


dipengaruhi oleh beberapa faktor salah satunya adalah

faktor sosial ekonomi yaitu defisit pangan dalam

keluarga (Ramli et al, 2009).

2) Status gizi ibu saat hamil

Status gizi ibu saat hamil dipengaruhi oleh banyak

faktor, faktor tersebut dapat terjadi sebelum

kehamilan maupun selama kehamilan. Beberapa

indikator pengukuran seperti :

a) Kadar hemoglobin (Hb) yang menunjukkan

gambaran kadar Hb dalam daarah untuk

menentukan anemia atau tidak.

b) Lingkar lengan atas (LILA) yaitu gambaran

pemenuhan gizi masa lalu dari ibu untuk

menentukan KEK atau tidak

c) Hasil pengukuran berat badan untuk

menentukan kenaikan berat badan selama hamil

yang dibandingkan dengan IMT ibu sebelum

hamil (Yongki, 2012).

3) Berat badan lahir

Bayi yang lahir dengan berat badan lahir rendah

(BBLR) yaitu bayi yang lahir dengan berat badan

kurang dari 2500 gram, bayi dengan berat badan lahir

rendah akan mengalami hambatan pada pertumbuhan

dan perkembangannya serta kemungkinan terjadi


kemunduran fungsi intelektualnya selain itu bayi lebih

rentan terkena infeksi dan terjadi hipotermi

(Direktorat bina gizi dan KIA, 2012).

Banyak peneliti yang telah meneliti tentang hubungan

antara BBLR dengan kejadian stunting diantaranya

yaitu penelitian diklungkung dan yogyakarta

menyatakan hal yang sama bahwa ada hubungan

antara berat badan lahir dengan kejadian stunting.

Selain itu, penelitian yang dilakukan di malawi juga

menyatakan predikator terkuat terjadinya stunting

adalah BBLR (Direktorat bina gizi dan KIA, 2012).

4) Panjang badan lahir

Asupan gizi ibu yang kurang adekuat sebelum masa

kehamilan menyebabkan gangguan pertumbuhan pada

janin sehingga dapat menyebabkan bayi lahir dengan

panjng badan lahir pendek. Bayi yang dilahirkan

memiliki panjang badan lahir normal bila panjang

badan lahir bayi tersebut berada pada panjang 48-52

cm (Kemenkes R.I, 2010). Penentuan asupan yang

baik sangat penting untuk mengejar panjang badan

yang seharusnya. Berat badan lahir, panjang badan

lahir, usia kehamilan dan pola asuh merupakan

beberapa faktor yang mempengaruhi kejadian


stunting. Panjang badan lahir merupakan salah satu

faktor resiko kejadian stunting pada balita (Meilyasari

dan Isnawati, 2014).

Menurut Riskesdas tahun 2013 kategori panjang

badan lahir dikelompokkan menjadi 3 yaitu <48 cm,

48-52 cm, dan >52 cm, panjang badan lahir pendek

adalah bayi yang lahir dengan panjang <48 cm

(Kemenkes R.I, 2013).

5) ASI Eklusif

Asi Eklusif menurut peraturan pemerintah republik

indonesia nomor 33 tahun 2012 tentang pemberian air

susu ibu Eklusif dan pemberian air susu ibu (ASI)

tanpa menambahkan dan atau mengganti dengan

makanan atau minuman yang lain diberikan pada bayi

sejak baru lahir selama 6 bulan. Pemenuhan

kebutuhan bayi 0-6 bulan telah dapat terpenuhi

dengan pemberian ASI saja. Menyusui eksklusif juga

penting karena pada usia ini, makanan selain ASI

belum mampu dicerna oleh enzim-enzim yang ada

didalam usus selain itu pengeluaran sisa pembakaran

makanan belum bisa dilakukan dengan baik karena

ginjal belum sempurna (Kemenkes R.I, 2012).


Penelitian yang dilakukan diibukota aceh menyatakan

bahwa kejadian stunting disebabkan oleh rendahnya

pendapatan keluarga, pemberian ASI yang tidak

ekslusif, pemberian MP-ASI yang kurang baik,

imunisasi yang tidak lengkap dengan faktor yang

paling dominan pengaruhnya adalah pemberian asi

yang tidak Eksklusif. Hal serupa dinyatakan pula oleh

arifin pada tahun 2012 dengan hasil penelitian yang

menyatakan bahwa kejadian stunting dipengaruhi oleh

berat badan saat lahir, asupan gizi balita, pemberian

ASI (Arifin dkk, 2013).

6) MP-ASI

Kebutuhan anak balita akan pemenuhan nutrisi

bertambah seiring bertambah umurnya. ASI Ekslusif

hanya dapat memenuhi kebutuhan nutrisi balita

sampai usia 6 bulan, selanjutnya ASI hanya mampu

memenuhi kebutuhan energi sekitar 60-70% dan

sangat sedikit mengandung mikronutrien sehingga

memerlukan tambahan makanan lain yang biasa

disebut makanan pendamping ASI (MP-ASI).

Pengertian dari MP-ASI menurut WHO adalah

makanan/minuman selain ASI yang mengandung zat

gizi yang diberikan selama pemberian makanan

peralihan yaitu pada saat makanan/minuman lain yang


diberikan bersamaan dengan pemberian ASI kepada

bayi (Arifin dkk, 2013).

Pemberian MP-ASI merupakan proses transisi

dimulainya pemberian makanan khusus selain ASI

secara bertahap jenis, jumlah, frekuensi maupun

tekstur dan konsistensinya sampai seluruh kebutuhan

gizi anak dipenuhi oleh makanan keluarga. Jenis MP-

ASI ada dua yaitu MP-ASI yang dibuat secara khusus

baik buatan rumah tangga ataupabrik dan makanan

biasa dimakan keluarga yang dimodifikasi agar

mudah dimakan oleh bayi. MP- ASI yang tepat

diberikan secara bertahap sesuai dengan usia anak

baik jenis maupun jumlahnya. Resiko terkena

penyakit infeksi akibat pemberian MP-ASI terlalu dini

disebabkan karena usu yang belum siap menerima

makanan serta kebersihan yang kurang (Mailyasari

dan Isnawati, 2014). Menurut global strategy for

infant and young child feeding ada 4 persyaratan

pemberian MP-ASI yaitu :

a) Tepat waktu yaitu pemberian MP-ASI dimulai

saat kebutuhan energi gizi melebihi yang

didapat dari ASI yaitu pada umur 6 bulan.

b) Adekuat yaitu pemberian MP-ASI dimulai saat


kebutuhan energi, protein dan mikronutrien

sesuai dengan kebutuhan.

c) Tepat cara pemberian yaitu pemberian MP-ASI

sejalan dengan tanda lapar dan nafsu makan

yang ditunjukkan serta frekuensi dan cara

pemberiannya sesuai dengan umur.

d) Aman yaitu pemberian MP-ASI harus diawasi

baik dari penyimpanan, persiapan, dan saat

diberikan MP-ASI harus higienis (Arifin dkk,

2013).

Penelitian yang dilakukan di purwokerto,

menyatakan bahwa usia makan pertama merupakan

faktor resiko terhadap kejadian stunting pada balita

(Meilyasari dan isnawati, 2014). Pemberian MP-ASI

terlalu dini dapat meningkatkan resiko penyakit

infeksi seperti diare hal ini terjadi karena MP-ASI

yang diberikan tidak sebersih dan mudah dicerna

seperti ASI. Zat gizi seperti zink dan tembaga serta

air yang hilang selama diare jika tidak diganti akan

terjadi malabsorbsi zat gizi selama diare yang dapat

menimbulkan dehidrasi parah, malnutrisi, gagal

tumbuh bahkan kematian (Mailyasari dan Isnawati,

2014).
4. Dampak Stunting

Stunting merupakan wujud dari adanya gangguan pertumbuhan pada

tubuh. Otak merupakan salah satu organ yang cepat mengalami

risiko. Hal tersebut dikarenakan di dalam otak terdapat sel-sel saraf

yang berkaitan dengan respon anak termasuk dalam melihat,

mendengar, dan berpikir selama proses belajar (Picauly and Toy,

2013).

5. Pencegahan Stunting

Untuk menjaga anak tumbuh secara wajar, maka pemantauan

pertumbuhan khususnya tinggi dan berat badan anak harus dilakukan

sejak dini untuk menilai normal ataukah tidaknya pertumbuhan

secepatnya diketahui untuk pemberian tindakan lebih awal agar

dicapai hasil yang lebih baik. pengukuran tinggi badan, berat badan

harus diukur dan dipantau berkala, sesuai dengan umurnya, yaitu

pada waktu-waktu berikut :

a. Umur < 1 tahun : disaat lahir, diumur 1-12 bulan.

b. Umur 1-2 tahun : setiap 3 bulan.

c. Umur > 3-21 tahun : setiap 6 bulan.

Penyimpangan dari ukuran yan g seharusnya menurut umur dan jenis

kelaminnya harus digunakan sebagai pedoman untuk tindakan

lanjutnya (Amin, 2013).


B. BERAT BADAN LAHIR RENDAH (BBLR)

1. Pengertian

Bayi BBLR (berat badan lahir rendah) adalah bayi yang lahir dengan

berat badan kurang dari 2.500 gram tanpa memandang masa

kehamilan. Bayi yang berada dibawah persentil 10 dinamakan

ringan untuk umur kehamilan. Dahulu neonatus dengan berat badan

lahir kurang dari 2500 gram atau sama dengan 2500 gram disebut

prematur.pembagian berat badan ini sangat mudah tetapi tidak

memuaskan. Sehingga lambat laun diketahui bahwa tingkat

mordibitas dan mortalitas pada neonatus tidak hanya bergantung

pada berat badan saja, tetapi juga pada tingkat maturitas bayi itu

sendiri (Proverawati, 2010).

2. Manifestasi Klinis

Secara umum, gambaran klinis dari balita BBLR adalah sebagai

berikut :

a. Berat badan kurang dari 2500 gram.

b. Panjang kurang dari 45 cm.

c. Lingkar dada kurang dari 30 cm.

d. Umur kehamilan kurang dari 37 minggu.

e. Kepala lebih besar.

f. Kulit tipis, transparan, rambut lanugo banyak, lemak kurang.

g. Otot hipotonik lemah.

h. Pernapasan tak teratur dapat terjadi upnea.


i. Ekstermitas : paha abduksi, sendi lutut atau kaki fleksi-lurus.

j. Kepala tidak mampu tegak.

k. Pernapasan 40-50 kali / menit.

l. Nadi 100-140 kali/menit.

BBLR menunjukkan belum sempurnanya fungsi organ tubuh dengan

keadaannya lemah, yaitu sebagai berikut :

a. Tanda-tanda balita kurang bulan (KB) :

1) Kulit tipis dan mengkilap.

2) Tulang rawan telinga sangat lunak, karena belum

terbentuk dengan sempurna.

3) Lanugo (rambut halus/lembut) masih banyak

ditemukan terutama punggung.

4) Jaringan payudara belum terlihat, puting masih berupa

titik.

5) Pada bayi perempuan, labia mayora belum menutupi

labia minora.

6) Pada bayi laki-laki, skrotum belum banyak lipatan,

testis kadang belum turun.

7) Rajah telapak tangan kurang dari 1/3 bagian atau belum

terbentuk.

8) Kadang disertai dengan pernafasan yang tidak teratur.

9) Aktivitas dan tangisnya lemah.

10) Refleks menghisap dan menelan tidak efektif atau


lemah (Proverawati, 2010).

b. Tanda-tanda bayi kecil untuk masa kehamilan (KMK) :

1) Umur bayi dapat cukup, kurang atau lebih bulan, tetapi

beratnya kurang dari 2500 gram.

2) Geraknya cukup aktif, tangis cukup kuat.

3) Kulit keriput, lemak bawah kulit tipis.

4) Bilaa kurang bulan, jaringan payudara kecil, putting

kecil. Bila cukup bulan, payudara dan puting cukup

sesuai masa kehamilan.

5) Balita perempuan bila cukup bulan labia mayora

menutupi labia minora.

6) Bayi laki-laki mungkin testis telah turun.

7) Rajah telapakkaki lebih dari 1/3 bagian.

8) Menghisap cukup kuat (Proverawati, 2010).

3. Tanda-tanda BBLR

Bayi yang lahir dengan berat badan yang rendahmempunyai ciri-ciri:

a. Umur kehamilan sama dengan atau kurang dari 37 minggu

b. Berat badan sama dengan atau kurang dari 2500 gram

c. Panjang badan sama dengan atau kurang dari 46cm lingkar

kepala sama dengan atau kurang dari 33 cm, lingkar dada sama

dengan atau kurang dari 30 cm

d. Rambut lanugo masih banyak

e. Jaringan lemak subkutan tipis atau kurang


f. Tulang rawan daun telinga belum sempurna pertumbuhannya

g. Tumit mengkilap, telapak kaki halus

h. Genetalia belum sempurna, labia minora belum tertutup oleh

labia mayora, klitoris menonjol ( pada bayi perempuan), tesis

belum turun ke dalam skrotum, pigmentasi dan rugue pada

skrotum kurang (pada bayi laki-laki)

i. Tonus otot lemah sehingga bayi kurang aktif dan

pergerakannya lemah

j. Jaringan kelenjar mamae masih kurang akibat pertumbuhan

otot dan jaringan lemak masih kurang

k. Verniks kaseosamtidak ada atau sedikit bila ada (Proverawati,

2010).

4. Klarifikasi

Ada beberapa cara dalam mengelompokkan bayi BBLR, yaitu :

a. Menurut harapan hidupnya:

1) Bayi berat badan lahir rendah (BBLR) berat lahir 1500-

2500 gram.

2) Bayi berat badan lahir sangat rendah (BBLSR) berat

lahir 1000- 1500 gram

3) Bayi berat lahir ekstrim rendah (BBLER) berat lahir

kurang dari 1000gram.


b. Menurut masa gestasinya:

1) Prematuritas murni : masa gestasinya kurang dari 37

minggu dan berat badannya sesuai dengan berat badan

untuk masa gestasi berat atau biasa disebut neonatus

kurang bulan sesuai untuk masa kehamilan (NKB-

SMK).

2) Dismaturitas : bayi lahir dengan berat badan kurang

dari berat badan seharusnya untuk masa gestasi itu.

Berat bayi mengalami retradaksi pertumbuhan

itrauterin dan merupakan bayi yang kecil untuk masa

kehamilannya (KMK) (Proverawati, 2010).

5. Pentalaksanaan

a. Pengaturan suhu

Untuk mencegah hipotermi, diperlukan lingkungan yang cukup

hangat. Bila dirawat dalam inkubator maka suhunya untuk bayi

dengan BB 2 kg adalah 35°C dan untuk bayi dengan BB 2-2,5

kg adalah 34°C. Bila tidak ada inkubator, pemanasan dapat

dilakukan dengan membungkus bayi dan meletakkan botol-

botol hangat yang telah dibungkus dengan handuk atau lampu

petromak didekat tidur bayi. Bayi dalam inkubator hanya

dipakai popok untuk memudahkan pengawasan mengenai

keadaan umum, warna kulit, pernafasan, kejang dan

sebagainya sehingga penyakit dapat dikenali sedini mungkin.


b. Pengaturan makanan/nutrisi

Prinsip utama pemberian makanan pada bayi prematur adalah

sedikit demi sedikit. Secara perlahan-lahan dan hati-hati

pemberian makanan ibi berupa glukosa, ASI atau PASI atau

mengurangi resiko hipoglikemia, dehidrasi. Bayi yang daya

isapnya baik dan tanpa sakit berat dapat dicobadiminum

melalui mulut. Umunya bayi dengan berat kurang dari 1500

gram memerlukan minum pertama kurang dari 1500 gram

memerlukan minum pertama dengan pipa lambung karena

belum ada koordinasi antara gerakan menghisab dengan

menelan.

Dianjurkan untuk minum pertama sebanyak 1 ml larutan

glukosa 5% yang steril untuk bayi dengan berat kurang dari

1000 gram, 2-4 gram untuk bayi dengan berat antara 1000-

1500 gram dan 5-10 ml untuk bayi dengan berat lebih dari

1500 gram. Apabila dengan pemberian makanan pertama bayi

tidak mengalamikesukaran, pemberian ASI/PASI dapat

dilanjutkan dalam waktu 12-48 jam.

c. Mencegah infeksi

Bayi prematur mudah terserang infeksi. Hal ini disebabkan

karena daya tubuh bayi terhadap infeksi kurang antibodi relatif

belum terbentuk dan daya fegositosisserta reaksi terhadap

peradangan belum baik. Prosedur pencegahan infeksi adalah


sebagai berikut:

1) Mencuci tangan sampai kesiku dengan sabun dan air

mengalir selama 2 menit sebelum masuk keruang rawat

bayi.

2) Mencuci tangan dengan zat anti septic/sabun sebelum

dan sesudah memegang bayi

3) Mengurangi kontaminasi padamakanan bayi dan semua

benda yang berhubungan dengan bayi

4) Membatasi jumlah bayi dalam satu ruangan

5) Melarang petugas yang menderita infeksi masuk keruang

rawat bayi (Lestari, 2016).

6. Hubungan Berat Badan Lebih Rendah dengan Kejadian

Stunting

Menurut Proverawati dan Ismawati (2010) bayi dengan BBLR akan

tumbuh dan berkembang lebih lambat karena pada bayi dengan

BBLR sejak dalam kandungan telah mengalami retardasi

pertumbuhan intera uterin dan akan berlanjut sampai usia

selanjutnya setelah dilahirkan yaitu mengalami pertumbuhan dan

perkembangan yang lebih lambat dari bayi yang dilahirkan normal,

dan sering gagal menyusul tingkat pertumbuhan yang seharusnya dia

capai pada usianya setelah lahir. Bayi BBLR juga mengalami

gangguan saluran pencernaan, karena saluran pencernaan belum

berfungsi, seperti kurang dapat menyerap lemak dan mencerna


protein sehingga mengakibatkan kurangnya cadangan zat gizi dalam

tubuh. Akibatnya pertumbuhan bayi BBLR akan terganggu, bila

keadaan ini berlanjut dengan pemberian makanan yang tidak

mencukupi, sering mengalami infeksi dan perawatan kesehatan yang

tidak baik dapat menyebabkan anak stunting.


C. Kerangka Teori

Bagan 2.1

Kerangka Teori

STUNTING

Berat Badan Lahir

Status Gizi Ibu Hamil

Pencegahan dan
Konsumsi Adekuat Penanganan Penyakit
Infeksi

Sanitasi dan Air Bersih,


Pelayanan Kesehatan
Pola Asuh Wawasan &
Akses Pangan (Status (Imunisasi, Akses terhadap
Pengetahuan, Pemberian
Ekonomi Keluarga dan Pelayanan Kesehatan,
ASI Eksklusif dan
Jumlah Anggota Keluarga) Revitalisasi Posyandu,
Pemberian Makanan
Distribusi, dan Suplai Air
Bersih.

Kemiskinan, Pendapatan, Pendidikan, Keterampilan, dan


Kesempatan Kerja

Sumber : Modifikasi Achadi (2015).


BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis dan Desain Penelitian

Jenis penelitian ini adalah deskriptif analitik yaitu penelitian yang

mencoba mencari hubungan antara variabel independen (berat badan lahir)

dan variabel dependen (kejadian stunting) dengan menggunakan

pendekatan cross sectional yaitu rancangan penelitian dengan melakukan

pengukuran atau pengamatan pada waktu yang sama (Notoadmodjo,

2012).

B. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini telah dilakukan di Puskesmas Siulak Mukai pada tanggal

Maret 2019.

C. Populasi dan Sampel

1. Populasi

Populasi adalah keseluruhan objek penelitian atau objek penelitian

yang diteliti (Notoadmodjo, 2012 : 117). Populasi penelitian ini

adalah seluruh pasien yang berkunjung di Poli Anak Puskesma

Siulak Mukai pada bulan Januari sampai Maret tahun 2020 sebanyak

orang.

2. Sampel

Mengetahui besar sampel yang diambil dalam penelitian ini adalah

menggunakan metode perhitungan sampel minimal menggunakan

rumus Notoadmodjo (2010), sebagai berikut:


Rumus:

n = N

1 + N (d)2

Keterangan:

n = Ukuran populasi

d = Tingkat kepercayaan / ketetapan yang diinginkan 90% (0,1)

N = Jumlah populasi

Jadi jumlah sampel yang didapatkan yaitu:

n = N

1 + N (d)2

n = 130

1 + 30 (0,1)2

n = 3,75 atau 4 responden

D. Teknik Pengambilan Sampel

Teknik pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah

menggunakan teknik accidental sampling yaitu cara pengambilan sampel

atau responden yang kebetulan ada pada waktu penelitian.


Adapun kriteria untuk menjadi sampel adalah:

a. Kriteria Inklusi

Kriteria inklusi merupakan kriteria dimana subjek penelitian dapat

mewakili sampel penelitian yang memenuhi syarat sebagai berikut:

1) Bersedia menjadi responden

2) Semua pasien yang berkunjung ke Poli Anak Puskesmas

Siulak Mukai Tahun 2019.

3) Mampu berkomunikasi dengan baik.

b. Kriteria Eksklusi

Kriteria eksklusi merupakan kriteria dimana subjek penelitian tidak

dapat meawakili sampel penelitian karena tidak memenuhi syarat

sebagai sampel penelitian.

1) Menolak menjadi responden.

2) Tidak berada di tempat penelitian

E. Etika Penelitian

Dalam melakukan penelitian ini peneliti harus mengikuti etika penelitian

menurut Hidayat (2011), dimana etika penelitian yang harus diperhatikan

adalah sebagai berikut:

1. Informed Consent (lembar persetujuan)

Informed consent diberikan kepada responden sebelum melakukan

penelitian. Agar responden mengerti maksud dan tujuan penelitian

serta mengetahui dampak dan manfaatnya. Jika responden bersedia,

maka responden harus menandatangani lembar persetujuan.


2. Tanpa Nama (Anonimity)

Peneliti menjelaskan kepada responden bahwa tidak akan

menampilkan identitas responden, peneliti hanya akan memberikan

kode dengan urutan jumlah nomor responden 1 hingga 30, sehingga

kerahasiaan responden sangat dijaga.

3. Kerahasiaan (Confidentiality)

Semua informasi yang telah dikumpulkan dijamin kerahasiaannya

oleh peneliti, hanya kelompok data tertentu yang akan dilaporkan

pada hasil riset. Peneliti menejlaskan bahwa semua data dan

informasi yang telah diberikan oleh responden akan dijaga dan tidak

disebarluaskan pada orang lain.

4. Keleluasan Pribadi (Privacy)

Peneliti menjamin bahwa data yang diberikan oleh responden harus

dirahasiakan.

5. Perlakuan Adil (Fair Treatment)

Ketika melakukan penelitian, peneliti berusaha untuk menciptakan

suasana yang nyaman sehingga prinsip keterbukaan tercipta antara

peneliti dengan responden dengan demikian tujuan peneliti untuk

mendapatkan data tercapai.


F. Teknik Pengumpulan Data

1. Data Primer

Data yang telah diperoleh secara langsung dari responden dengan

menggunakan kuesioner dengan cara wawancara terpimpin sesuai

dengan variabel penelitian yaitu berat badan lahir.

2. Data Sekunder

Data penunjang yang diperoleh dari Puskesmas Siulak Mukai yang

berupa laporan tahunan kejadian stunting, data kunjungan kejadian

stunting dan hal-hal yang berhubungan dengan penelitian yang

diperoleh dari rekapitulasi di Puskesmas Siulak Mukai.

3. Langkah Pengumpulan Data

Pelaksanaan wawancara untuk mengumpulkan data dilakukan

dengan cara sebagai berikut:

a. Peneliti mengajukan surat permohonan izin penelitian pada

institusi Pendidikan STIKes Syedza Saintika Padang.

b. Mengajukan surat permohonan ke Puskesmas Siulak Mukai.

c. Setelah mendapatkan izin, peneliti mulai melakukan penelitian

dan menentukan sampel yang berkunjung ke Puskesmas Siulak

Mukai.

d. Peneliti menjelaskan tujuan dan manfaat penelitian serta

prosedur pengumpulan data.

e. Responden diminta untuk membubuhkan tanda tangan pada

lembar Informed Consent yang telah disediakan peneliti.


G. Analisa Data

Setelah data didapat dari hasil pengisian kuesioner oleh responden, diolah

dengan menggunakan fasilitas komputer dianilisis ke dalam dua bentuk

analisis yaitu analisis univariat dan analisis bivariat yang diuraikan sebagai

berikut:

1. Analisis Univariat

Analisis ini bertujuan untuk melihat gambaran distribusi frekuensi

dari setiap variabel yang diteliti meliputi variabel independen (berat

badan lahir) terhadap variabel dependen (kejadian stunting), dengan

rumus:

P = f x 100 %

Keterangan:

P : Persentase yang dicari

f : Frekuensi responden untuk setiap pertanyaan

N : Jumlah responden

2. Analisis Bivariat

Analisis ini bertujuan untuk mengetahui antara variabel independen

dan dependen, maka dilakukan analisis bivariat, uji statistik yang

dimanfaatkan adalah Chi-Square, uji ini digunakan untuk melihat ada

tidaknya perbedaan proporsi yang bermakna antara distribusi

frekuensi. Tingkat kepercayan yang digunakan 95%, (α= 0,05) dengan

kriteria penolakan sebagai berikut:


1) Jika p ≤ α (0,05) maka H0 diterima, berarti secara statistik

bermakna (ada hubungan).

2) Jika p > α (0,05) maka H0 ditolak dan berarti secara statistik

tidak bermakna (tidak ada hubungan).

H. Kerangka Konsep

Kerangka Konseptual dalam penelitian ini bertujuan untuk melihat

hubungan berat badan lahir dengan kejadian stunting yang digambarkan

sebagai berikut :

Bagan 3.1
Kerangka Konsep

Variabel Independen Variabel Dependen

\\
Berat Badan Lahir Kejadian Diare

I. Hipotesis Penelitian

Hipotesis adalah suatu jawaban sementara dari pertanyaan

penelitian. Biasanya hipotesis dirumuskan dalam bentuk hubungan antara

dua variabel, variabel bebas dan variabel terikat. Hipotesis berfungsi

untuk menentukan ke arah pembuktian, artinya hipotesis ini merupakan

pernyataan yang harus dibuktikan. Adapun hipotesis yang didapatkan

dalam penelitian ini adalah:

H0 : Tidak ada hubungan berat badan lahir dengan kejadian

stunting di Wilayah Kerja Puskesmas Siulak Mukai.


Ha 1 : Ada hubungan berat badan lahir dengan kejadian stunting

di Wilayah Kerja Puskesmas Siulak Mukai.

J. Defenisi Operasional

Tabel 3.1
Kerangka Konsep Penelitian
Hubungan Berat Badan Lebih dengan Kejadian
Stunting di Wilayah Kerja Puskesmas Siulak Mukai

Variabel Definisi
No Indikator Alat Ukur Skala Hasil
Dependent Operasioan
1 Berat Badan Bayi yang 1. Berat badan Buku KIA Rasio 0=BBLR jika
Lahir lahir dengan lahir rendah BB<2500gr
Rendah berat badan yaitu bayi 1= Normal ≥
kurang dari lahir dengan 2500gr
2500 gram berat 1500-
tanpa 2500 gram.
Memandang 2. Berat badan
status lahir sangat
kehamilan rendah yaitu
dikecamatan <1500 gram.
dagangan 3. Berat badan
ekstrem
rendah <
1000 gram
(Saifudin,
2009).

2 Kejadian Tinggi balita Retardasi Alat ukur Rasio 0= Stunting ( ≤ -


Stunting menurut umur pertumbuhan tinggi badan 2 SD)
(TB/U) ≤ -2 linier dengan 1= Tidak
SD sehingga defisit pada tinggi stunting (≥-
lebih pendek badan sebesar < - 2SD)
dari pada 2 z score (WHO,
tinggi yang 2012).
seharusnya.

Anda mungkin juga menyukai