Anda di halaman 1dari 17

1

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kejadian balita pendek atau biasa disebut dengan stunting merupakan
kondisi dimana balita mempunyai panjang atau tinggi badan yang kurang bila
dibandingkan dengan umur. Stunting menjadi salah satu permasalahan gizi di
dunia saat ini yang dialami oleh balita. Masalah gizi kronik yang terjadi pada
balita stunting bisa ditimbulkan oleh banyak faktor seperti kondisi sosial
ekonomi, gizi ibu ketika hamil, kesakitan pada bayi, dan kurangnya asupan
gizi pada bayi. Balita stunting pada masa yang akan datang akan mengalami
kesulitan saat mencapai perkembangan fisik serta kognitif yang optimal
(Kemenkes RI, 2018).
Menurut World Health Organization (WHO) Child Growth Standart,
stunting didasarkan pada indeks panjang badan dibanding umur (PB/U)
menggunakan batas (z-score) kurang dari -2 SD. Stunting termasuk salah satu
masalah gizi yang belum terselesaikan di Indonesia. Stunting dapat
mengakibatkan dampak jangka panjang yaitu terganggunya perkembangan
fisik, mental, intelektual, dan kognitif. Anak yang memiliki stunting hingga
usia 5 tahun akan sulit diperbaiki sehingga akan dapat berlanjut hingga
dewasa (Sutio, 2017).
Menurut data dari WHO pada tahun 2019 anak usia dibawah 5 tahun
mengalami stunting sebesar 22%. Negara dengan jumlah tertinggi mengalami
stunting adalah Afrika sebesar 33,1% dan urutan kedua tertinggi yaitu Asia
Tenggara 31,9%. Indonesia merupakan negara ke-enam dengan stunting
tertinggi di Asia Tenggara (World Health Organization, 2019). Hasil integrasi
Susenas Maret 2019 dan Studi Status Gizi Balita Indonesia (SSGBI) Tahun
2019 menunjukkan prevalensi stunting sebesar 27,67%. Angka stunting pada
balita di Indonesia masih jauh dari standar yang ditetapkan WHO yaitu 20%
(Kemenkes RI dan BPS, 2019). Sementara itu, Profil Kesehatan Riau tahun
2020 mencatat bahwa, prevalensi balita stunting di Riau yaitu sebesar 7,3%
(sangat pendek 1,9% dan pendek 5,4%) (Profil Kesehatan Provinsi Riau,
2020). %). Kabupaten Kampar merupakan kabupaten tertinggi ke-sembilan di
Provinsi Riau pada tahun 2020 yang memiliki prevalensi stunting yaitu
sebesar 5,2% (Dinas Kesehatan Provinsi Riau, 2020).
2

Faktor yang mempengaruhi terjadinya stunting pada anak balita yaitu


pendidikan ibu, pengetahuan ibu, pendapatan keluarga, pemberian ASI
ekslusif, umur pemberian MP-ASI, tingkat kecukupan zink dan zat besi,
riwayat penyakit infeksi serta adanya faktor genetik (Supariasa and
Purwaningsih, 2019). Stunting bukan disebabkan satu faktor saja tetapi
disebabkan oleh banyak faktor yang saling berhubungan satu dengan lain.
Faktor yang mempengaruhi kejadian stunting antara lain, yaitu pola asuh
yang memegang peranan penting terhadap terjadinya gangguan pertumbuhan
anak. Pola asuh yang buruk dapat menyebabkan permasalahan gizi yang
terjadi di masyarakat (Olsa et al, 2018).
Apabila stunting tidak mendapatkan penanganan, maka akan
menimbulkan dampak jangka pendek dan dampak jangka panjang. Dampak
jangka pendek berupa peningkatan kejadian kesakitan dan kematian,
perkembangan kognitif, motorik, dan verbal pada anak tidak optimal, dan
peningkatan biaya kesehatan. Sedangkan dampak jangka panjang yang dapat
terjadi seperti postur tubuh yang tidak optimal saat dewasa (lebih pendek
dibandingkan pada umumnya), meningkatnya risiko obesitas dan penyakit
lainnya, menurunnya kesehatan reproduksi, kapasitas belajar, dan performa
yang kurang optimal saat masa sekolah, produktivitas, dan kapasitas kerja
yang tidak optimal (Kemenkes RI, 2018).
Menurut Kepala Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan,
anak merupakan suatu generasi masa depan yang perlu di perhatikan terkait
sumber daya manusia di masa yang akan datang. Bangsa ini tidak akan
mampu bersaing dengan bangsa lain dalam menghadapi tantangan global,
apabila sampai saat ini masih banyak anak Indonesia mengalami stunting.
Sehingga, stunting dimasukkan pada bagian goals ke-dua Target
Pembangunan atau bagian dari Development Goals (SDGs) dimana tujuannya
adalah mengakhiri segala bentuk malnutrisi dengan menaikkan gizi pada
tahun 2030 termasuk mencapai target internasional tahun 2025 untuk
penurunan stunting pada balita (Kemenkes RI, 2018).
3

Salah satu usaha pemerintah dalam program penanggulangan stunting


dilakukan melalui Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional
(BKKBN). BKKBN sebagai Lembaga Pemerintah non Kementerian
diberikan mandat untuk mewujudkan agenda prioritas pembangunan,
tepatnya Nawacita nomor 5, “Meningkatkan Kualitas Hidup Manusia
Indonesia”, yaitu dengan menyasar aspek pembangunan kependudukan
dan keluarga berencana (BKBN, 2019). Adapun program dari BKKBN yang
bersinggungan dengan penanganan kasus stunting adalah Program
Kependudukan, Keluarga Berencana dan Pembangunan Keluarga (KKBPK).
Tujuan program ini adalah sebagai upaya pencegahan stunting serta upaya
pembangunan dan penguatan keluarga demi menuju terwujudnya keluarga
sejahtera (Tentama et al., 2018). Praktik Keluarga berencana menjadi salah
satu faktor penentu di dalam pencegahan stunting. WHO telah menyerukan
aksi global untuk mengurangi stunting hingga 40% pada tahun 2025.
Intervensi yang dapat dilakukan untuk mencegah stunting di antaranya
meningkatkan akses ke dalam program keluarga berencana (Mauluddin &
Novianti, 2021).
Komitmen pemerintah dalam penanggulangan stunting penting,
karena hak asasi anak untuk mendapatkan kesehatan merupakan HAM bagi
anak. Dengan demikian mengabaikan hak anak merupakan pelanggaran
HAM. Hal ini menjadi tanggung jawab bersama. Pengurangan prevalensi
stunting pun perlu dilakukan secara holistik dengan melibatkan berbagai
sektor yang memiliki komitmen bersama menanggulangi stunting, utamanya
negara, orang tua, keluarga, dan masyarakat (Haryanti & Hayati, 2019). Maka
dari itu peran pemerintah melalui Badan Kependudukan dan Keluarga
Berencana Nasional (BKKBN) membuat Program Kependudukan, Keluarga
Berencana dan Pembangunan Keluarga (KKBPK) dapat menjadi upaya
pencegahan stunting.
4

II. TINJAUAN PUSTAKA


2.1 Landasan Teori
2.1.1 Stunting
2.1.1.1 Definisi Stunting
Stunting merupakan kekurangan gizi pada periode kritis tumbuh
kembang seseorang di awal masa kehidupannya yang menunjukkan adanya
tinggi badan rendah dibandingkan umur. Hal tersebut dapat diidentifikasi
dengan menilai panjang atau tinggi anak dibandingkan dengan usianya dan
menginterpretasikan serta membandingkan hasil pengukuran tersebut
dengan nilai standar yang berlaku (BAPPENAS dan UNICEF, 2017).
Kementerian Kesehatan mendefinisikan stunting sebagai suatu kondisi
kekurangan gizi kronis terutama dalam 1.000 Hari Pertama Kehidupan
(HPK) yang menyebabkan gagal pada pertumbuhan anak balita usia 0-59
bulan dengan tinggi badan menurut umur kurang dari dua standar deviasi
(<-2SD) menggunakan standar pertumbuhan anak WHO (Kemenkes RI,
2018).

Menurut (Kartini, 2016) stunting adalah akibat dari kekurangan


asupan gizi karena adanya ketidaksesuaian pemberian makan dengan
kebutuhan gizi, tingginya kesakitan, atau kombinasi dari keduanya.
Sedangkan menurut (Miko dan Al-Rahmad, 2017) stunting merupakan
indikasi dari masalah gizi kronis sebagai akibat adanya kejadian dalam
jangka panjang seperti kemiskinan, perilaku hidup tidak sehat, dan
kurangnya asupan makanan dalam jangka panjang sejak usia bayi sehingga
anak menjadi pendek. Hal ini menimbulkan permasalahan malnutrisi yang
berdampak terhadap kondisi masalah gizi kronis maupun akut.

2.1.3.2 Etiologi dan Faktor Risiko


Menurut WHO (2013) dalam (Rahayu et al, 2018) penyebab stunting
yang terjadi pada anak terdiri dari 4 kategori yaitu keluarga dan rumah
5

tangga, tidak adekuatnya makanan tambahan/komplementer, menyusui, dan


infeksi.

a. Faktor keluarga dan rumah tangga


Faktor maternal disebabkan karena buruknya nutrisi saat
prekonsepsi, kehamilan, dan laktasi. Selain itu dapat juga
dipengaruhi rendahnya tinggi badan ibu atau perawakan ibu
pendek, infeksi, kehamilan di masa remaja, kesehatan jiwa,
terhambatnya pertumbuhan janin, kejadian lahir sebelum
waktunya, dekatnya jarak persalinan, dan hipertensi.
Faktor lingkungan rumah berupa tidak adekuatnya
stimulasi dan aktivitas anak, buruknya penerapan asuh anak,
kurangnya ketersediaan pangan, alokasi pangan yang tidak
sesuai, dan rendahnya edukasi pengasuh.
b. Makanan tambahan/komplementer yang tidak adekuat
Bayi setelah berusia 6 bulan akan membutuhkan
makanan bergizi yang lunak atau Makanan Pendamping ASI
(MP-ASI). MP- ASI dikenalkan dan diberikan secara bertahap
baik bentuk ataupun jumlahnya, sesuai kemampuan pencernaan
yang dimiliki bayi atau anak. Dibutuhkan juga tambahan
vitamin dan mineral (variasi bahan makanan) karena dalam
memenuhi kebutuhan bayi tidak ada makanan yang cukup.
Pemberian makanan tambahan dapat berupa makanan
lumat yang dibuat sendiri seperti bubur beras atau bubur tepung
yang ditambah lauk pauk, sayur, dan buah, sehingga hal
tersebut membutuhkan pengetahuan gizi yang baik. Konsumsi
makanan harus memenuhi kebutuhan terutama pada balita umur
1-2 tahun. Kurangnya konsumsi makanan akan menyebabkan
terjadinya proses
6

metabolisme di dalam tubuh yang tidak seimbang, jika terjadi


terus menerus akan terjadi gangguan pertumbuhan dan
perkembangan.

c. Masalah dalam pemberian Air Susu Ibu (ASI)


Pengetahuan yang dimiliki ibu tentang kesehatan dan
sosio- kultural, kurangnya petugas kesehatan yang memberikan
penyuluhan, tradisi daerah yang memberikan Makanan
Pendamping Air Susu Ibu (MP-ASI) terlalu dini, dan pemberian
ASI yang tidak lancar setelah melahirkan akan menyebabkan
rendahnya tingkat kesadaran ibu akan pentingnya pemberian
ASI pada balita.
Sebuah penelitian menyebutkan bahwa inisiasi menyusu
yang tertunda (delayed initiation) akan menyebabkan terjadinya
peningkatan kematian bayi. ASI eklusif merupakan pemberian
ASI tanpa makanan ataupun minuman lain, baik berupa air
putih, jus, ataupun susu selain ASI. IDAI merekomendasikan
bahwa dalam mencapai tumbuh kembang optimal yaitu dengan
pemberian ASI eklusif selama pada 6 bulan pertama.
d. Infeksi
Penyebab langsung kekurangan gizi yaitu asupan
makanan yang tidak memadai dan penyakit. Adanya perbedaan
antara banyaknya zat gizi yang diserap dari makanan dengan
yang dibutuhkan tubuh menyebabkan adanya manifestasi
malnutrisi. Anak yang mengalami kekurangan gizi dan
memiliki daya tahan yang rendah terhadap penyakit, akan sakit,
dan semakin kurang gizi, sehingga kapasitas yang dimilikinya
untuk melawan penyakit juga menurun. Ini disebut dengan
infection malnutrition.
Kurang baiknya sanitasi yang ada di daerah kumuh
dapat menyebabkan penularan penyakit infeksi meningkat.
7

Penyakit infeksi anak di negara berkembang merupakan


masalah kesehatan yang penting dan mempengaruhi
pertumbuhan anak. Beberapa infeksi yang sering terjadi yaitu
diare, enteropati, infeksi pernafasan (ISPA),

malaria, nafsu makan yang berkurang akibat serangan infeksi,


dan kejadian inflamasi.
e. Berat Badan Lahir Rendah (BBLR)
BBLR menunjukkan bahwa janin mengalami kondisi
kurang gizi di dalam kandungan sedangkan underweight
menunjukkan kondisi malnutrisi yang akut. Stunting terutama
terjadi disebabkan karena kekurangan gizi yang
berkepanjangan. Bayi lahir yang memiliki berat badan kurang
dari normal (<2500 gr) mungkin masih memiliki panjang badan
normal pada waktu dilahirkan. Stunting baru akan terjadi
beberapa bulan kemudian, walaupun orang tua sering tidak
menyadari kondisi ini. Umumnya, orang tua akan menyadari
kondisi stunting yang terjadi pada anaknya saat anak mulai
bergaul dengan teman-temannya dan melihat bahwa tinggi
badan anak lebih pendek dibanding teman-temannya. Sehingga,
jika anak yang lahir memiliki berat badan yang kurang harus
diwaspadai akan menjadi stunting. Penanggulangan malnutrisi
yang dilakukan dengan segera maka risiko terjadinya stunting
semakin kecil (Candra, 2020).
f. Panjang Lahir
Panjang badan lahir anak dapat ditentukan mulai dari
awal kehamilan. Tumbuh kembang janin dapat terhambat jika
pada masa kehamilan kondisi ibu tidak baik seperti adanya
kekurangan gizi, stress, atau memiliki penyakit penyerta. Hal
ini mempengaruhi perkembangan anak balita, apabila bayi lahir
dengan panjang badan kurang dari 50 cm maka dapat
berdampak pada tinggi badan anak di usia dini dan dewasa
8

(Rahmawati, 2018)
Panjang lahir menggambarkan pertumbuhan linier bayi
selama dalam kandungan. Penentuan asupan yang baik
merupakan hal penting untuk mengejar masa pertumbuhan anak
terutama saat usia 2- 3 tahun serta akan mengurangi prevalensi
terhambatnya pertumbuhan pada anak-anak. Pola asuh ibu
memiliki peran penting selama pertumbuhan dan perkembangan
anak (Dasantos et al, 2020).

Menurut (Sekretariat Wakil Presiden RI, 2017)


penyebab stunting disebabkan oleh berbagai faktor multi
dimensi. Intervensi yang paling berpengaruh dalam
menurunkan prevalensi stunting yaitu dilakukan pada 1.000
Hari Pertama Kehidupan (HPK). Faktor yang dapat
menyebabkan terjadinya stunting sebagai berikut:
1. Perilaku asuh yang kurang baik
Hal ini termasuk kurangnya pengetahuan ibu
terhadap kesehatan dan asupan makanan yang sesuai
kebutuhan tubuh sebelum, saat kehamilan, serta setelah
melahirkan. Beberapa fakta menyebutkan bahwa balita yang
berusia 0-6 bulan sebesar 60% tidak menerima ASI secara
ekslusif, dan 2 dari 3 anak berusia 0- 24 bulan tidak
mendapatkan MP-ASI. MP-ASI dapat dimulai serta
diberikan pada balita berusia 6 bulan sebagai pengenalan
jenis makanan baru pada bayi. Selain itu, MPASI juga
berguna dalam memenuhi kebutuhan harian bayi yang tidak
dapat dipenuhi oleh ASI, serta sebagai pembentuk daya
tahan tubuh dan perkembangan terhadap sistem imunologis
anak terhadap makanan ataupun minuman.
2. Masih adanya keterbatasan terhadap pelayanan kesehatan
termasuk layanan kesehatan selama masa kehamilan ibu,
pasca persalinan, dan pembelajaran dini
9

Informasi yang diperoleh dari Kemenkes


menyebutkan bahwa tingkat kehadiran anak di Posyandu
mengalami penurunan pada tahun 2007 dari 79% menjadi
64% pada tahun 2013 serta anak juga tidak memperoleh
akses yang layak ke layanan imunisasi. Informasi lain
menyatakan bahwa terdapat 2 dari 3 ibu hamil belum
mengonsumsi suplemen zat besi serta masih adanya
keterbatasan untuk mendapatkan pembelajaran dini
(terdapat 1 dari 3 anak tidak mendapat layanan
PAUD/Pendidikan Anak Usia Dini).

3. Masih adanya ketidakcukupan akses rumah tangga atau


keluarga terhadap makanan yang bergizi
Disebabkan karena di Indonesia harga makanan
bergizi masih tergolong mahal.
4. Masih kurangnya sanitasi dan ketersediaan air bersih
Data yang didapatkan di lapangan menunjukkan
bahwa 1 dari 5 rumah tangga di Indonesia masih di ruang
terbuka untuk buang air besar (BAB), serta terdapat 1 dari 3
rumah tangga belum mendapatkan akses untuk air minum
bersih.
Faktor lain yang berkaitan erat yaitu adanya kondisi
kurang energi kronis (KEK) pada wanita subur berusia 15-
49 tahun yang sedang hamil ataupun tidak hamil.
Berdasarkan Riskesdas 2013, wanita yang sedang hamil
memiliki prevalensi risiko KEK yaitu sebesar 24,2 persen,
sedangkan pada wanita tidak hamil yaitu sebesar 20,8
persen. Selain itu, riwayat terdahulu juga menjadi faktor
yang dapat mempengaruhi kejadian stunting. Keberagaman
pangan pada zat gizi makro dan mikro terdahulu juga
menjadi faktor yang mempengaruhi kejadian stunting pada
10

balita (MCA, 2014).


2.1.3.3 Dampak Stunting
World Health Organization (WHO) menyatakan bahwa keadaan
stunting dapat menimbulkan dampak dalam jangka panjang dan pendek.
Dalam jangka panjang yaitu menyebabkan ketidakoptimalan pada postur
tubuh saat berusia dewasa (lebih pendek dibandingkan umumnya), risiko
obesitas, dan penyakit lainnya mengalami peningkatan, sistem reproduksi
mengalami penurunan, kurangnya kemampuan belajar serta berprestasi saat
masa sekolah, dan penurunan produktivitas saat bekerja. Dalam jangka
pendek yaitu menyebabkan peningkatan pada kejadian sakit dan meninggal,
kurang berkembangnya kognitif, motorik, serta verbal pada anak, dan biaya
kesehatan yang meningkat (Kemenkes RI, 2018). Ketidakmaksimalan
kecerdasan yang dimiliki anak karena kejadian stunting dapat menyebabkan
terhambatnya pertumbuhan ekonomi, meningkatnya kemiskinan, dan
memperlebar ketimpangan di suatu negara (Yadika et al, 2019).
World Health Organization (WHO) menyebutkan selain terjadinya
gangguan pertumbuhan anak, anak stunting juga mengalami kejadian
keterlambatan perkembangan. Menurut Istiany dan Rusilanti (2013) yaitu
perkembangan balita dapat dilihat dari fisik, kognitif, dan psikosial.
Aryastami (2017) menjelaskan bahwa stunting berdampak pada penurunan
intelektualitas dan kemampuan kognitif anak. Sanstock menyebutkan bahwa
perkembangan kognitif berdampingan dengan proses pertumbuhan secara
genetik dan kematangan fisik anak (Yadika et al, 2019).
Anak yang stunting tidak hanya mengalami gangguan fisik atau
kognitif, tapi cenderung juga memiliki sistem metabolisme tubuh yang tidak
optimal. Hal ini berisiko terhadap penyakit tidak menular di Indonesia
seperti diabetes atau obesitas. Dampak stunting lain yaitu stunting yang
dialami sejak kecil dapat mengakibatkan dampak kesulitan dalam
mendapatkan pekerjaan karena keterbatasan kemampuan yang dimiliki
(Kementrian Kesehatan RI, 2018).
2.1.3.4 Pencegahan Stunting
11

Sustainable Development Goals (SDGs) memiliki target salah


satunya yaitu stunting yang termasuk dalam tujuan pembangunan
berkelanjutan ke-dua yaitu menghilangkan kelaparan dan segala bentuk
malnutrisi tahun 2030 serta mencapai ketahanan pangan. Pada tahun 2025
merupakan target yang ditetapkan dalam menurunkan angka stunting hingga
40% (Kemenkes RI, 2018).
Dalam mewujudkan hal tersebut, stunting ditetapkan oleh
pemerintah sebagai salah satu program prioritas. Berdasarkan Peraturan
Menteri Kesehatan Nomor 39 Tahun 2016 tentang Pedoman
Penyelenggaraan Program Indonesia Sehat dengan Pendekatan Keluarga,
upaya yang dapat dilakukan dalam rangka penurunan prevalensi balita
pendek (stunting) yaitu:

1. Ibu Hamil dan Bersalin


a. Intervensi yang dilakukan pada 1000 hari pertama kehidupan
anak;
b. Melakukan upaya jaminan mutu ante natal care (ANC)
terpadu;
c. Melakukan peningkatan pada persalinan di fasilitas
kesehatan;
d. Melaksanakan program pemberian makanan tinggi kalori,
protein, dan mikronutrien (TKPM);
e. Deteksi dini penyakit (menular dan tidak menular);
f. Memberantas kejadian kecacingan;
g. Meningkatkan transformasi Kartu Menuju Sehat (KMS) ke
dalam Buku KIA;
h. Melaksanakan konseling Inisiasi Menyusi Dini (IMD) dan
ASI ekslusif; dan
i. Penyuluhan dan pelayanan KB.
2. Balita
a. Melakukan pemantauan terhadap pertumbuhan balita;
b. Melaksanakan kegiatan Pemberian Makanan Tambahan
(PMT) untuk balita;
12

c. Menyelenggarakan simulasi dini perkembangan anak; dan


d. Memberikan pelayanan kesehatan yang optimal.
3. Anak Usia Sekolah
a. Melakukan revitalisasi Usaha Kesehatan Sekolah (UKS);
b. Menguatkan kelembagaan Tim Pembina UKS;
c. Melaksanakan Program Gizi Anak Sekolah (PROGAS); dan
d. Menerapkan sekolah sebagai kawasan bebas rokok dan
narkoba.
4. Remaja
a. Melakukan peningkatan dalam penyuluhan perilaku hidup
bersih dan sehat (PHBS), pola gizi seimbang, tidak merokok,
dan mengonsumsi narkoba; dan
b. Pendidikan kesehatan reproduksi.
5. Dewasa Muda
a. Penyuluhan dan pelayanan keluarga berencana (KB);
b. Deteksi dini penyakit (menular dan tidak menular); dan
c. Melakukan peningkatan dalam penyuluhan perilaku hidup
bersih dan sehat (PHBS), tidak merokok, serta mengonsumsi
narkoba.

2.1.2 Program Kependudukan Keluarga Berencana dan Pembangunan


Keluarga (KKBPK)
Salah satu usaha pemerintah dalam program penanggulangan
stunting dilakukan melalui Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana
Nasional (BKKBN). Adapun program dari BKKBN di tingkat kabupaten yang
bersinggungan dengan penanganan kasus stunting adalah program Kependudukan
Keluarga Berencana dan Pembangunan Keluarga (KKBPK). Tujuan program ini
adalah sebagai upaya pencegahan stunting serta upaya pembangunan dan
penguatan keluarga demi menuju terwujudnya keluarga sejahtera (Tentama et al.,
2018). Dalam program KKBPK sendiri terdapat pencerminan dari pelaksanaan 8
fungsi keluarga, yang meliputi fungsi keagamaan, fungsi social budaya, fungsi
cinta kasih, fungsi perlindungan, fungsi reproduksi, fungsi sosialisasi dan
pendidikan, fungsi ekonomi, dan fungsi pembinaan lingkungan. Praktik Keluarga
13

berencana menjadi salah satu faktor penentu di dalam pencegahan stunting.


Undang-Undang Nomor 52 Tahun 2009 tentang Perkembangan Kependudukan
Dan Pembangunan Keluarga, tercantum dalam ketentuan umum pasal 1
menyebutkan bahwa Keluarga Berencana adalah upaya mengatur kelahiran anak,
jarak dan usia ideal melahirkan, mengatur kehamilan, melalui promosi,
perlindungan, dan bantuan sesuai dengan hak reproduksi untuk mewujudkan
keluarga yang berkualitas. Program ini bertujuan untuk mengatur kehamilan yang
diinginkan, menjaga kesehatan dan menurunkan angka kematian ibu, bayi dan
anak. Selain itu juga meningkatkan akses dan kualitas informasi, pendidikan,
konseling, dan pelayanan keluarga berencana dan kesehatan reproduksi serta
meningkatkan partisipasi dan kesertaan pria dalam praktik keluarga berencana
(Muchlis, 2019).
14

DAFTAR PUSTAKA

Atikah, Rahayu, dkk. (2018) Stunting dan Upaya Pencegahannya, Buku stunting
dan upaya pencegahannya.
BAPPENAS and UNICEF (2017) ‘Laporan Baseline SDG tentang Anak-Anak di
Indonesia’, Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional
(Bappenas) dan United Nations Children’s Fund, pp. 1–105. Available at:
https://www.unicef.org/indonesia/id/SDG_Baseline_report.pdf.

BKKBN. (2019). Rencana Strategis Badan Kependudukan Dan Keluarga


Berencana Nasional. Bkkbn, 2019, 1–43.

Candra, A. (2020) Epidemiologi Stunting. Fakultas Kedokteran Universitas


Diponegoro: Semarang.
Dasantos, P. T., Dimiatri, H. and Husnah, H. (2020) ‘Hubungan Berat Badan
Lahir dan Panjang Badan Lahir dengan Stunting pada Balita di Kabupaten
Pidie’, AVERROUS: Jurnal Kedokteran dan Kesehatan Malikussaleh,
6(2), p. 29. doi: 10.29103/averrous.v6i2.2649.
Dinas Kesehatan Provinsi Riau (2020) ‘Laporan Kinerja Instansi Pemerintah
(LKJIP)’, Pemerintah Kota Pekanbaru, (56). Available at:
https://butonutarakab.go.id/publikasi/dp2kb/dp2kb.lkjp.pdf.

Haryanti, T., & Hayati, N. (2019). Penegakan Hukum Hak Asasi Manusia bagi
Anak Penderita Stunting. Jurnal HAM, 10(2), 249.
https://doi.org/10.30641/ham.2019.10.249-260

Kartini, A. (2016) ‘Kejadian Stunting Dan Kematangan Usia Tulang Pada Anak
Usia Sekolah Dasar Di Daerah Pertanian Kabupaten Brebes’, Jurnal
Kesehatan Masyarakat, 11(2), p. 214. doi: 10.15294/kemas.v11i2.4271.
Kemenkes RI (2017) ‘Buku Saku Pemantauan Status Gizi’, Buku Saku, pp. 1–150.
Kemenkes RI (2018) ‘Buletin Stunting’, Kementerian Kesehatan RI,
301(5), pp.
1163–1178.
Kemenkes RI and BPS (2019) ‘Laporan Pelaksanaan Integrasi Susenas Maret
15

2019 dan SSGBI Tahun 2019’, p. 69.


Kementrian Kesehatan RI (2018) ‘Cegah Stunting, itu Penting.’, Pusat Data dan
Informasi, Kementerian Kesehatan RI, pp. 1–27. Available at:
https://www.kemkes.go.id/download.php?file=download/pusdatin/buletin/
B uletin-Stunting-2018.pdf.

Mauluddin, A., & Novianti, N. (2021). The Role of the Population, Family
Planning and Family Development Program (KKBPK) in Reducing Stunting
Prevalence. JCIC : Jurnal CIC Lembaga Riset Dan Konsultan Sosial, 2(1),
19–28. https://doi.org/10.51486/jbo.v2i1.37

MCA (2014) ‘Stunting dan Masa Depan Indonesia’, Millennium Challenge


Account - Indonesia, 2010, pp. 2–5. Available at: www.mca-
indonesia.go.id.
Miko, A. and Al-Rahmad, A. H. (2017) ‘Hubungan Berat Dan Tinggi Badan
Orang Tua Dengan Status Gizi Balita Di Kabupaten Aceh Besar’, Gizi
Indonesia, 40(1), p. 21. doi: 10.36457/gizindo.v40i1.222.
Muchlis, S. (2019) ‘Evaluasi Program Kependudukan Keluarga Berencana Dan
Pembangunan Keluarga (Kkbpk) Dalam Menekan Angka Kematian Ibu Di
Kota Semarang’ 59, pp. 1–12.
Olsa, E. D., Sulastri, D. and Anas, E. (2018) ‘Hubungan Sikap dan Pengetahuan
Ibu Terhadap Kejadian Stunting pada Anak Baru Masuk Sekolah Dasar di
Kecamanatan Nanggalo’, Jurnal Kesehatan Andalas, 6(3), p. 523. doi:
10.25077/jka.v6i3.733.
Profil Kesehatan Provinsi Riau (2020) ‘Profil Kesehatan Provinsi Riau’, Journal
of Chemical Information and Modeling, (9), p. 19.
Rahmawati, A., Nurmawati, T. and Permata Sari, L. (2019) ‘Faktor yang
Berhubungan dengan Pengetahuan Orang Tua tentang Stunting pada
Balita’, Jurnal Ners dan Kebidanan (Journal of Ners and Midwifery),
6(3), pp. 389– 395. doi: 10.26699/jnk.v6i3.art.p389-395.
Rahmawati, V. E. (2018) ‘Hubungan Panjang Badan Lahir Dengan Kejadian
Stunting Pada Anak Balita Usia 0-59 Bulan Di Kabupaten Jombang’.
16

RI, P. (2020) ‘Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 2 tahun 2020 tentang


Standar Antropometri Anak’, Menteri Kesehatan RI, 5(1), pp. 43–54.
Available at:
http://www.akrabjuara.com/index.php/akrabjuara/article/view/919.
Sekretariat Wakil Presiden RI (2017) ‘100 Kabupaten/Kota Prioritas Untuk
Intervensi Anak Kerdil (Stunting)’, Jakarta Tim Nasional Percepatan
Penanggulangan Kemiskinan, 1.
Soetjiningsih and Ranuh, I. N. G. (2017) Tumbuh Kembang Anak. 2nd edn.
Jakarta: EGC.
Supariasa, D. N. and Purwaningsih, H. (2019) ‘Faktor-Faktor Yang
Mempengaruhi Kejadian Stunting pada Balita di Kabupaten Malang’,
Karta Rahardja, Jurnal Pembangunan dan Inovasi, 1(2), pp. 55–64.
Available at: http://ejurnal.malangkab.go.id/index.php/kr.
Sutio, D. (2017) ‘Analisis Faktor-Faktor Risiko terhadap Kejadian Stunting pada
Balita (0-59 Bulan) di Negara Berkembang dan Asia Tenggara’, pp. 247–
256.

Tentama, F., Delfores, H. D. L., Wicaksono, A. E., & Fatonah, S. F. (2018).


Penguatan Keluarga Sebagai Upaya Menekan Angka Stunting Dalam
Program Kependudukan, Keluarga Berencana Dan Pembangunan Keluarga
(Kkbpk). Jurnal Pemberdayaan: Publikasi Hasil Pengabdian Kepada
Masyarakat, 2(1), 113–120. https://doi.org/10.12928/jp.v2i1.546

Thamaria, N. (2017) Penilaian Status Gizi. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI.


World Health Organization (2019) Child stunting.
Wulandari, R. C. and Muniroh, L. (2020) ‘Hubungan Tingkat Kecukupan Gizi,
Tingkat Pengetahuan Ibu, dan Tinggi Badan Orangtua dengan Stunting di
Wilayah Kerja Puskesmas Tambak Wedi Surabaya’, Amerta Nutrition,
4(2), p. 95. doi: 10.20473/amnt.v4i2.2020.95-102.
Yadika, A. D. N., Berawi, K. N. and Nasution, S. H. (2019) ‘Pengaruh Stunting
terhadap Perkembangan Kognitif dan Prestasi Belajar’, Jurnal Majority,
8(2), pp. 273–282.
17

Anda mungkin juga menyukai