Anda di halaman 1dari 6

MENCEGAH STUNTING DARI DESA

Stunting merupakan persoalan serius yang mengancam generesai penerus bangsa


dan masih banyak terjadi di Indonesia. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia pada
tahun 2018 mencatat bahwa terdapat ± 9 juta atau 37,2% dari jumlah balita di Indonesia
menderita stunting. Dengan angka yang demikian, Indonesia tercatat sebagai negara
peringkat kelima di dunia dengan angka kasus stunting terbanyak. Parahnya di Indonesia,
stunting tak hanya dialami oleh keluarga kurang mampu saja, tetapi juga dialami oleh balita
dari keluarga yang mampu karena penerapan pola asuh yang tidak tepat.
Kondisi inilah yang mendorong pemerintah Indonesia mencanangkan Kampanye
Nasional Pencegahan Stunting (KNPS), pada tanggal 16 September 2018. Pencanangan
KNPS ini bertujuan untuk mempersiapkan manusia Indonesia menjadi manusia yang unggul
sejak dalam masa kandungan, sampai tumbuh secara mandiri untuk meningkatkan
kesejahteraan diri dan keluarganya. Pencanangan KNPS juga merupakan tindak lanjut atas
pidato kenegaraan dari Presiden Joko Widodo pada 16 Agustus 2018, yang mengajak seluruh
komponen bangsa untuk bekerja dan memastikan bahwa setiap anak Indonesia dapat lahir
dengan sehat, dapat tumbuh dengan gizi yang cukup, serta bebas dari stunting.
Dalam rangka mengatasi stunting, pemerintah Indonesia telah menDesain program
intervensi pencegahan stunting terintegrasi yang melibatkan lintas kementerian dan lembaga.
Pada tahun 2018, telah ditetapkan 100 Kabupaten di 34 Provinsi sebagai lokasi prioritas
penurunan stunting. Jumlah ini akan bertambah sebanyak 60 Kabupaten pada tahun
berikutnya. Dengan adanya kerjasama lintas sektor ini diharapkan dapat menekan angka
stunting di Indonesia, sehingga dapat tercapai target Sustainable Development Goals (SDGs)
pada tahun 2025, yaitu penurunan angka stunting hingga 40%.
 
Memahami Stunting
Stunting adalah kondisi gagal tumbuh yang dialami oleh balita, sebagai
konsekwensi dari kekurangan gizi kronis yang dialami sejak berada dalam kandungan,
sampai pada 1.000 hari pertama kehidupan. Dampak nonfisik dari balita stunting adalah
intelektual atau kemampuan berpikir yang tidak bisa tumbuh akibat jumlah sel yang terbentuk
pada otaknya tidak optimal. Ketika beranjak dewasa, balita yang mengalami stunting akan
rentan terhadap penyakit dan kurang berprestasi di sekolah.
Secara kasat mata, balita stunting dapat ditandai dengan kondisi fisik panjang
badan atau tinggi badan lebih pendek dari anak normal seusianya. Walau secara fisik bayi
atau anak yang mengalami stunting pasti pendek, tetapi bayi atau anak yang pendek belum
tentu mengalami stunting. Bayi atau anak kerdil, sama bertubuh pendek seperti bayi atau
anak yang mengalami stunting, namun keduanya dapat dibedakan berdasarkan faktor
penyebabnya. Kerdil disebabkan oleh faktor genetika atau keturunan, sedangkan stunting
tidak disebabkan oleh faktor genetika atau keturunan.
Faktor utama yang menjadi penyebab stunting adalah buruknya asupan gizi dan
rendahnya status kesehatan. Pemicu dari kedua faktor penyebab stunting ini adalah: Pertama,
praktek pengasuhan anak yang kurang baik; Kedua, tidak tersedianya makanan bergizi bagi
rumah tangga/keluarga; Ketiga, masih terbatasnya layanan kesehatan untuk ibu terutama
selama masa kehamilan, layanan kesehatan untuk balita yang tidak maksimal dan tidak
berkualitas; dan keempat, kurangnya akses ke air bersih dan sanitasi.
Mengatasi persoalan stunting tidaklah sulit, jika semua pihak berkomitmen untuk
mengatasinya. Apalagi ditopang dengan kebijakan dari pengambil kebijakan yang terfokus
untuk mengatasi persoalan: Pertama, Ketahanan Pangan (Ketersediaan, Keterjangkauan dan
Akses Pangan Bergizi); Kedua, Lingkungan Sosial (Norma, Makanan Bayi, Makanan Anak,
Kebersihan, Pendidikan dan Tempat Kerja); Ketiga, Lingkungan Kesehatan (Akses,
Pelayanan Preventif dan Pelayanan Kuratif); Keempat, Lingkungan Tempat Tinggal; dan
Kelima, Data/Informasi (Bahaya/Dampak dari Stunting, Penyebab Stunting, Pencegahan
Stunting serta Penanganan Stanting).

Desa dan Pencegahan Stunting


Pemerintah Desa seharusnya terlibat dalam gerakan pencegahan stunting, karena
Desa atau yang disebut dengan istilah lain merupakan pemerintah terdekat dengan korban
stunting. Untuk itu, adanya komitmen Kepala Desa, anggota Badan Permusyawaratan Desa
dan masyarakat dalam pencegahan stunting sebagai salah satu arah kebijakan pembangunan
Desa adalah hal yang urgen. Pemerintah Desa dalam pencegahan stunting harus
memanfaatkan dana Desa secara tepat. Pemerintah Desa harus juga melakukan pencegahan
stunting dengan melakukan konvergensi di internal Desa maupun antar Desa.
Konvergensi untuk pencegahan stunting di Desa sangat penting untuk dilakukan
karena, terdapat banyak anggaran dan program sektoral dari luar Desa yang “berkeliaran” di
Desa, terkait pencegahan stunting. Sederhananya, konvergensi pencegahan stunting di Desa
dimaksudkan untuk mengelola sumberdaya Desa maupun sumberdaya Pemerintah dan/atau
sumberdaya Pemerintah Daerah. Hasil dari konvergensi anggaran dan program sektoral
terkait pencegahan stunting akan menghasilkan sejumlah paket layanan, seperti: Layanan
kesehatan ibu dan anak, integrasi konseling gizi, air bersih dan sanitasi, perlindungan sosial,
serta layanan Pendidikan Anak Usia Dini.
Pengelompokan paket layanan terkait konvergensi pencegahan stunting ini, harus
dilakukan dengan keterpaduan data, keterpaduan indikator pemantauan layanan, terintegrasi
dalam sistem perencanaan pembangunan Desa, terintegrasi dalam sistem penganggaran di
Desa. Sinergitas dan kerjasama antar pemangku kepentingan dalam pencegahan stunting
secara terpadu adalah aspek yang harus menajadi prioritas. Langkah konvergensi pencegahan
stunting di Desa harus dilaksanakan secara partisipatif, transparan dan akuntabel.
Selain melakukan konvergensi terkait pencegahan stunting, Pemerintah Desa
diharuskan untuk menggunakan dana Desa dengan berfokus pada peningkatan pelayanan
publik ditingkat Desa dalam rangka peningkatan gizi masyarakat serta pencegahan stunting.
Hal ini sesuai dengan dengan amanat Pasal 6 Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah
Tertinggal, dan Transmigrasi (Permendes PDTT) Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2018,
Tentang Prioritas Penggunaan Dana Desa Tahun 2019.
Konkritnya, untuk peningkatan gizi masyarakat serta pencegahan stunting
pemerintah Desa harus memanfaatkan dana Desa untuk: penyediaan air bersih dan sanitasi;
pemberian makanan tambahan dan bergizi untuk balita; pelatihan pemantauan perkembangan
kesehatan ibu hamil atau ibu menyusui; bantuan posyandu untuk mendukung kegiatan
pemeriksaan berkala kesehatan ibu hamil atau ibu menyusui; pengembangan apotik hidup
Desa dan produk hotikultura untuk memenuhi kebutuhan gizi ibu hamil atau ibu menyusui;
pengembangan ketahanan pangan di Desa; dan kegiatan penanganan kualitas hidup lainnya
yang sesuai dengan kewenangan Desa dan diputuskan dalam musyawarah Desa (Pasal 6 ayat
(2) Permendes PDTT No. 16 Tahun 2018).

Laki-laki dan Pencegahan Stunting


Dalam pencegahan stunting di level Desa, keterlibatan laki-laki adalah poin yang
tidak boleh diabaikan. Selama ini, pencegahan stunting di Desa seakan-akan hanya menjadi
tanggungjawab kaum perempuan terutama para kader posyandu yang semuanya adalah
perempuan. Untuk itu, harus ada komitmen dari Kepala Desa, anggota BPD dan masyarakat
dalam rangka pelibatan laki-laki  untuk pencegahan stunting.
Saat ini pelibatan laki-laki dalam pencegahan stunting di Desa, bisa diawali dengan
keterlibatannya dalam menDesain Rumah Desa Sehat. Rumah Desa Sehat harus dipahami
sebagai sekretariat bersama dalam konvergensi pencegahan stunting di Desa. Rumah Desa
Sehat ini diharapkan dapat berfungsi sebagai Community Center dan Literasi Kesehatan
Masyarakat.
Sebagai Community Center, Rumah Desa Sehat dapat dijadikan sebagai ruang
publik (arena-arena komunikasi politis warganegara) bagi masyarakat Desa untuk
beraktivitas dalam urusan pembangunan dan pemberdayaan masyarakat Desa di bidang
kesehatan masyarakat Desa. Rumah Desa Sehat bisa juga dijadikan sebagai ruang publik bagi
masyarakat Desa untuk mengkonsolidasikan kepentingan tentang urusan kesehatan
masyarakat yang akan dikelola dengan sumberdaya milik Desa dan/atau sumberdaya milik
masyarakat Desa. Sebagai ruang publik, Rumah Desa Sehat harus menjadi alat untuk
memperkuat daya tawar masyarakat Desa dalam mengambilan keputusan pembangunan Desa
untuk urusan kesehatan masyarakat, terutama terkait dengan stunting.
Rumah Desa Sehat dapat juga difungsikan sebagai sarana untuk meningkatkan
kemampuan warga Desa (perempuan dan laki-laki) dalam mengolah dan memahami
informasi saat melakukan proses membaca dan menulis informasi tentang kesehatan
masyarakat khususnya stunting. Manfaat dari literasi kesehatan masyarakat adalah warga
Desa akan bertindak rasional dalam mengelola urusan kesehatan (termasuk stunting) di Desa
secara mandiri.
Dengan difungsikannya Rumah Desa Sehat sebagai sarana literasi kesehatan
masyarakat dan stunting, maka warga Desa akan mampu memahami dan menganalisis
beragam informasi tentang kesehatan masyarakat dan stunting, sehingga dalam konteks
penyelenggaraan pembangunan Desa, mereka mampu berpartisipasi secara aktif dalam proses
perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan pembangunan Desa, khususnya pelayanan
kesehatan masyarakat yang dikelola dengan sumberdaya Desa.
Pada akhirnya, harus di yakini oleh semua pihak yang sudah maupun akan terlibat
dalam gerakan melawan stunting adalah masa depan suatu bangsa dapat diukur melalui
perkembangan anak-anak sebagai generasi penerus. Jika anak-anak terlahir sehat, tumbuh
dengan baik, dan didukung oleh pendidikan yang berkualitas, maka mereka akan menjadi
generasi yang menunjang kesuksesan pembangunan bangsa. Karenanya, membangun
manusia Indonesia sejak dari dalam kandungan adalah investasi untuk menghadapi masa
depan, sekaligus melapangkan jalan menuju Indonesia sejahtera.

Anda mungkin juga menyukai