Anda di halaman 1dari 63

LAPORAN KASUS

Selulitis dengan Diabetes Melitus Tipe II

Oleh:
Muhammad Afiq Naufal
2211901024

Pembimbing:
dr.Eva Roswati,M.ked(PD), Sp. PD

KEPANITRAAN KLINIK SENIOR


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ABDURRAB
BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KOTA DUMAI
2022
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI............................................................................................................2
KATA PENGANTAR.............................................................................................1
BAB I.......................................................................................................................2
BAB II......................................................................................................................3
2.1 Diabetes Melitus............................................................................................3
2.1.1 Defenisi Diabetes Melitus.......................................................................3
2.1.2 Klasifikasi Diabetes Melitus...................................................................3
2.1.3 Patofisiologi Diabetes Melitus................................................................4
2.1.4 Diagnosis.................................................................................................8
2.1.5 Komplikasi............................................................................................31
A. Komplikasi Akut...............................................................................................31
B. Komplikasi Kronik............................................................................................31
2.2 Selulitis........................................................................................................32
2.2.1 Definisi..........................................................................................................32
2.2.2 Etiologi..........................................................................................................33
2.2.3 Epidemiologi.................................................................................................35
2.2.4 Faktor Predisposisi........................................................................................35
2.2.5 Gejala Klinis.................................................................................................36
2.2.6 Patogenesis....................................................................................................38
2.2.7 Diagnosis Banding........................................................................................39
2.2.8 Pengobatan....................................................................................................40
2.2.9 Komplikasi....................................................................................................40
2.2.10 Risiko Infeksi pada Diabetes Tipe II..........................................................41
BAB III..................................................................................................................49
BAB IV..................................................................................................................58
PEMBAHASAN....................................................................................................58
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................60
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat dan anugrah
dariNya saya dapat menyelesaikan makalah Laporan Kasus Kepaniteraan Klinik
Senior bagian Ilmu Penyakit Dalam RSUD Dumai “Selulitis dengan Diabetes
Melitus Tipe II” ini. Sholawat dan salam semoga senantiasa tercurahkan kepada
junjungan besar kita, Nabi Muhammad SAW yang telah menunjukkan kepada kita
semua jalan yang lurus berupa ajaran agama Islam yang sempurna dan menjadi
anugrah terbesar bagi seluruh alam semesta. Terimakasih saya ucapkan kepada dr.
Eva Roswati,Sp.PD yang telah membimbing dan telah mengarahkan tujuan
diskusi sehingga saya dapat mencapai tujuan pembelajaran dan menyelesaikan
makalah ini. Dengan segala kerendahan hati, kritik dan saran yang konstruktif
sangat saya harapkan dari para pembaca guna untuk meningkatkan dan
memperbaiki makalah ini agar kedepannya dapat saya perbaiki.

Dumai, Desember 2022

Muhammad Afiq Naufal

1
BAB I
PENDAHULUAN
Diabetes mellitus (DM) merupakan salah satu kelompok penyakit
metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi
insulin, kerja insulin, atau keduanya. DM dapat dibedakan menjadi 4 kelompok,
yaitu DM tipe 1, DM tipe 2, DM gestasional dan DM tipe lain. Pada kesempatan
ini, hiperglikemi dibahas terkait DM tipe 2. Berbagai penelitian epidemiologi
menunjukkan adanya peningkatan insidensi dan prevalensi DM tipe 2 di berbagai
penjuru dunia. Badan kesehatan WHO memprediksi kenaikan jumlah pasien DM
tipe 2 di Indonesia dari 8,4 juta pada tahun 2000 menjadi sekitar 21,3 juta pada
tahun 2030. International Diabetes Federation (IDF) juga menunjukkan bahwa
memprediksi pada tahun 2019-2030 terdapat kenaikan jumlah pasien DM dari
10,7 juta menjadi 13,7 juta pada tahun 2030.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik Indonesia tahun 2003,
diperkirakan penduduk Indonesia yang berusia di atas 20 tahun sebanyak 133
juta jiwa, dengan prevalensi DM sebesar 14,7% pada daerah urban dan 7,2%
pada daerah rural, sehingga diperkirakan pada tahun 2003 didapatkan 8,2 juta
pasien DM di daerah rural. Berdasarkan pola pertambahan penduduk,
diperkirakan bahwa pada tahun 2030 nanti akan ada 194 juta penduduk yang
berusia diatas 20 tahun dan dengan asumsi prevalensi DM pada urban (14,7%)
dan rural (7,2%), maka diperkirakan terdapat 28 juta pasien diabetes di daerah
urban dan 13,9 juta di daerah rural. Laporan hasil Riset Kesehatan Dasar
(RISKESDAS) tahun 2018 oleh Departemen Kesehatan menunjukkan
peningkatan prevalensi DM menjadi 8,5%. (1)
Komplikasi yang terjadi akibat penyakit DM dapat berupa gangguan pada
pembuluh darah baik makrovaskular maupun mikrovaskular, serta gangguan
pada sistem saraf atau neuropati. Gangguan ini dapat terjadi pada pasien DM
tipe 2 yang sudah lama menderita penyakit atau DM tipe 2 yang baru
terdiagnosis. Komplikasi makrovaskular umumnya mengenai organ jantung,
otak dan pembuluh darah, sedangkan gangguan mikrovaskular dapat terjadi
pada mata dan ginjal. Keluhan neuropati juga umum dialami oleh pasien DM,
baik neuropati motorik, sensorik ataupun neuropati otonom (1)

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Diabetes Melitus

2.1.1 Defenisi Diabetes Melitus


Diabetes melitus (DM) merupakan suatu kelompok penyakit metabolik
dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin,
kerja insulin atau keduanya. (1)

2.1.2 Klasifikasi Diabetes Melitus


Diabetes mellitus dapat terbagi menjadi
Tabel 1. Klasifikasi Etiologi Diabetes Melitus
Klasifikasi Deskripsi
Tipe 1 Destruksi sel beta pankreas, umumnya
berhubungan dengan defisiensi insulin
absolut
- Autoimun
- Idiopatik
Tipe 2 Bervariasi, mulai yang dominan
resistensi insulin disertai defisiensi
insulin relatif sampai yang dominan
defek sekresi insulin disertai resistensi
insulin.

Diabetesmelitus gestasional Diabetes yang didiagnosis pada


trimester kedua atau ketiga kehamilan
dimana sebelum kehamilan tidak
didapatkan diabetes

Tipe spesifik yang berkaitan dengan - Sindroma diabetes


penyebabnya monogenik
(diabetes neonatal, maturity−onset
diabetes of the young [MODY])
- Penyakit eksokrin pankreas
(fibrosis kistik, pankreatitis)

3
- Disebabkan oleh obat atau zat

kimia (misalnya penggunaan


glukokortikoid pada terapi HIV/AIDS
atau setelah
transplantasi organ)

2.1.3 Patofisiologi Diabetes Melitus


Resistensi insulin pada sel otot dan hati, serta kegagalan sel beta
pankreas telah dikenal sebagai patofisiologi kerusakan sentral dari DM tipe
2. Hasil penelitian terbaru telah diketahui bahwa kegagalan sel beta terjadi
lebih dini dan lebih berat dari yang diperkirakan sebelumnya. Organ lain
yang juga terlibat pada DM tipe 2 adalah jaringan lemak (meningkatnya
lipolisis), gastrointestinal (defisiensi inkretin), sel alfa pankreas
(hiperglukagonemia), ginjal (peningkatan absorpsi glukosa), dan otak
(resistensi insulin), yang ikut berperan menyebabkan gangguan toleransi
glukosa. Saat ini sudah ditemukan tiga jalur patogenesis baru dari ominous
octet yang memperantarai terjadinya hiperglikemia pada DM tipe 2. Sebelas
organ penting dalam gangguan toleransi glukosa ini (egregious eleven) perlu
dipahami karena dasar patofisiologi ini memberikan konsep:
1. Pengobatan harus ditujukan untuk memperbaiki gangguan patogenesis,
bukan hanya untuk menurunkan HbA1c saja
2. Pengobatan kombinasi yang diperlukan harus didasarkan pada kinerja
obat sesuai dengan patofisiologi DM tipe 2.
3. Pengobatan harus dimulai sedini mungkin untuk mencegah atau
memperlambat progresivitas kerusakan sel beta yang sudah terjadi pada
pasien gangguan toleransi glukosa.

4
Schwartz pada tahun 2016 menyampaikan, bahwa tidak hanya otot, hepar,
dan sel beta pankreas saja yang berperan sentral dalam patogenesis pasien DM
tipe 2 tetapi terdapat delapan organ lain yang berperan, disebut sebagai the
egregious eleven (Gambar 1).

Gambar 1. The Egregious Eleven

SUMBER : Schwatrz SS, et al. The time is right for a new classification
system for diabetes rationale and implications of the - cell-centric
classification schema. Diabetes Care. 2016; 39: 179 - 86

Secara garis besar patogenesis hiperglikemia disebabkan oleh sebelas hal


(egregious eleven) yaitu:

1. Kegagalan sel beta pankreas


Pada saat diagnosis DM tipe 2 ditegakkan, fungsi sel beta sudah sangat
berkurang. Obat anti diabetik yang bekerja melalui jalur ini adalah
sulfonilurea, meglitinid, agonis glucagon-like peptide (GLP-1) dan
penghambat dipeptidil peptidase-4 (DPP-4).
2. Disfungsi sel alfa pankreas
Sel alfa pankreas merupakan organ ke-6 yang berperan dalam
hiperglikemia dan sudah diketahui sejak 1970. Sel alfa berfungsi pada
sintesis glukagon yang dalam keadaan puasa kadarnya di dalam plasma
akan meningkat. Peningkatan ini menyebabkan produksi glukosa hati

5
(hepatic glucose production) dalam keadaan basal meningkat secara
bermakna dibanding individu yang normal. Obat yang menghambat
sekresi glukagon atau menghambat reseptor glukagon meliputi GLP-1
receptor agonist (GLP-1 RA), penghambat DPP-4 dan amilin.
3. Sel lemak
Sel lemak yang resisten terhadap efek antilipolisis dari insulin,
menyebabkan peningkatan proses lipolisis dan kadar asam lemak bebas
(free fatty acid/FFA) dalam plasma. Peningkatan FFA akan merangsang
proses glukoneogenesis, dan mencetuskan resistensi insulin di hepar dan
otot, sehingga mengganggu sekresi insulin. Gangguan yang disebabkan
oleh FFA ini disebut sebagai lipotoksisitas. Obat yang bekerja dijalur ini
adalah tiazolidinedion.
4. Otot
Pada pasien DM tipe 2 didapatkan gangguan kinerja insulin yang
multipel di intramioselular, yang diakibatkan oleh gangguan fosforilasi
tirosin, sehingga terjadi gangguan transport glukosa dalam sel otot,
penurunan sintesis glikogen, dan penurunan oksidasi glukosa. Obat yang
bekerja di jalur ini adalah metformin dan tiazolidinedion.
5. Hepar
Pada pasien DM tipe 2 terjadi resistensi insulin yang berat dan memicu
glukoneogenesis sehingga produksi glukosa dalam keadaan basal oleh
hepar (hepatic glucose production) meningkat. Obat yang bekerja melalui
jalur ini adalah metformin, yang menekan proses glukoneogenesis.
6. Otak
Insulin merupakan penekan nafsu makan yang kuat. Pada individu yang
obese baik yang DM maupun non-DM, didapatkan hiperinsulinemia yang
merupakan mekanisme kompensasi dari resistensi insulin. Pada golongan
ini asupan makanan justru meningkat akibat adanya resistensi insulin
yang juga terjadi di otak. Obat yang bekerja di jalur Ini adalah GLP-1
RA, amilin dan bromokriptin.
7. Kolon/Mikrobiota
Perubahan komposisi mikrobiota pada kolon berkontribusi dalam
keadaan hiperglikemia. Mikrobiota usus terbukti berhubungan dengan

6
DM tipe 1, DM tipe 2, dan obesitas sehingga menjelaskan bahwa hanya
sebagian individu berat badan berlebih akan berkembang menjadi DM.
Probiotik dan prebiotik diperkirakan sebagai mediator untuk menangani
keadaan hiperglikemia.
8. Usus halus
Glukosa yang ditelan memicu respons insulin jauh lebih besar dibanding
bilar diberikan secara intravena. Efek yang dikenal sebagai efek inkretin
ini diperankan oleh 2 hormon yaitu glucagon-like polypeptide-1 (GLP-1)
dan glucose-dependent insulinotrophic polypeptide atau disebut juga
gastric inhibitory polypeptide (GIP). Pada pasien DM tipe 2 didapatkan
defisiensi GLP-1 dan resisten terhadap hormon GIP. Hormon inkretin
juga segera dipecah oleh keberadaan enzim DPP-4, sehingga hanya
bekerja dalam beberapa menit. Obat yang bekerja menghambat kinerja
DPP-4 adalah penghambat DPP-4. Saluran pencernaan juga mempunyai
peran dalam penyerapan karbohidrat melalui kinerja enzim alfa
glukosidase yang akan memecah polisakarida menjadi monosakarida, dan
kemudian diserap oleh usus sehingga berakibat meningkatkan glukosa
darah setelah makan. Obat yang bekerja untuk menghambat kinerja
enzim alfa glukosidase adalah acarbosa.
9. Ginjal
Ginjal merupakan organ yang diketahui berperan dalam patogenesis DM
tipe 2. Ginjal memfiltrasi sekitar 163 gram glukosa sehari. Sembilan
puluh persen dari glukosa terfiltrasi ini akan diserap kembali melalui
peran enzim sodium glucose co-transporter -2 (SGLT-2) pada bagian
convulated tubulus proksimal, dan 10% sisanya akan diabsorbsi melalui
peran sodium glucose co-transporter - 1 (SGLT-1) pada tubulus
desenden dan asenden, sehingga akhirnya tidak ada glukosa dalam urin.
Pada pasien DM terjadi peningkatan ekspresi gen SGLT-2, sehingga
terjadi peningkatan reabsorbsi glukosa di dalam tubulus ginjal dan
mengakibatkan peningkatan kadar glukosa darah. Obat yang menghambat
kinerja SGLT-2 ini akan menghambat reabsorbsi kembali glukosa di
tubulus ginjal sehingga glukosa akan dikeluarkan lewat urin. Obat yang

7
bekerja di jalur ini adalah penghambar SGLT- 2. Dapaglifozin,
empaglifozin dan canaglifozin adalah contoh obatnya.
10. Lambung
Penurunan produksi amilin pada diabetes merupakan konsekuensi kerusakan sel
beta pankreas. Penurunan kadar amilin menyebabkan percepatan pengosongan
lambung dan peningkatan absorpsi glukosa di usus halus, yang berhubungan
dengan peningkatan kadar glukosa postprandial.
11. Sistem Imun
Terdapat bukti bahwa sitokin menginduksi respon fase akut (disebut
sebagai inflamasi derajat rendah, merupakan bagian dari aktivasi sistem
imun bawaan/innate) yang berhubungan erat dengan patogenesis DM tipe
2 dan berkaitan dengan komplikasi seperti dislipidemia dan
aterosklerosis. Inflamasi sistemik derajat rendah berperan dalam induksi
stres pada endoplasma akibat peningkatan kebutuhan metabolisme untuk
insulin.
DM tipe 2 ditandai dengan resistensi insulin perifer dan penurunan
produksi insulin, disertai dengan inflamasi kronik derajat rendah pada
jaringan perifer seperti adiposa, hepar dan otot. Beberapa dekade terakhir,
terbukti bahwa adanya hubungan antara obesitas dan resistensi insulin
terhadap inflamasi. Hal tersebut menggambarkan peran penting inflamasi
terhadap patogenesis DM tipe 2, yang dianggap sebagai kelainan imun
(immune disorder). Kelainan metabolik lain yang berkaitan dengan
inflamasi juga banyak terjadi pada DM tipe 2.

2.1.4 Diagnosis
Diagnosis DM ditegakkan atas dasar pemeriksaan kadar glukosa darah
dan HbA1c. Pemeriksaan glukosa darah yang dianjurkan adalah
pemeriksaan glukosa secara enzimatik dengan bahan plasma darah vena.
Pemantauan hasil pengobatan dapat dilakukan dengan glukometer.
Diagnosis tidak dapat ditegakkan atas dasar adanya glukosuria. Berbagai
keluhan dapat ditemukan pada pasien DM. Kecurigaan adanya DM perlu
dipikirkan apabila terdapat keluhan seperti (1):

8
• Keluhan klasik DM: poliuria, polidipsia, polifagia dan penurunan berat
badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya.
• Keluhan lain: lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur, dan disfungsi
ereksi pada pria, serta pruritus vulva pada wanita.
Berikut tabel kriteria diagnosis Diabetes Melitus

Tabel 2. Kriteria Diagnosis Diabetes Melitus


Pemeriksaan glukosa plasma puasa ≥ 126 mg/dL. Puasa adalah kondisi tidak
ada asupan kalori minimal 8 jam.(B)

Atau
Pemeriksaan glukosa plasma ≥ 200 mg/dL 2-jam setelah Tes Toleransi Glukosa
Oral
(TTGO) dengan beban glukosa 75 gram. (B)
Atau
Pemeriksaan glukosa plasma sewaktu ≥ 200 mg/dL dengan keluhan klasik
atau krisis
hiperglikemia.
Atau
Pemeriksaan HbA1c ≥ 6,5% dengan menggunakan metode yang terstandarisasi
oleh
National Glycohaemoglobin Standarization Program (NGSP) dan Diabetes
Control and
Complications Trial assay (DCCT) . (B)

Table.3 Kadar Tes Laboratorium Darah untuk Diagnosis Diabetes dan


Prediabetes.
HbA1c Glukosa Glukosa plasma 2 jam
(%) darah setelah
puasa TTGO (mg/dL)
(mg/dL)
Diabetes

9
Pre- 5,7 − 100 – 125 140 – 199
Diabetes 6,4
Normal < 5,7 70 – 99 70 – 139

Diagnosis DM juga dapat di tegakkan melalui cara berikut :


- Gejala klasik DM + glukosa plasma sewaktu > 200 mg/dL (11,1 mmol/L)
Glukosa plasma sewaktu merupakan hasil pemeriksaan sesaat pada suatu
hari tanpa memperlihatkan waktu makan terakhir Atau
- Gejala klasik DM + glukosa plasma puasa > 126 mg/dL (7,0 mmol/L)
Puasa diartikan pasien tidak mendapat kalori tambahan sedikitnya 8 jam
- Glukosa plasma 2 jam pada TTGO > 200 mg/dL (11,1 mmol/L) TTGO
dilakukan dengan standar WHO, menggunakan beban glukosa yang setara
dengan 75 gram glukosa anhidrus yang dilarutkan kedalam air. 2,3
Hasil pemeriksaan yang tidak memenuhi kriteria normal atau kriteria. DM
digolongkan kedalam kelompok prediabetes yang meliputi toleransi glukosa
terganggu (TGT) dan glukosa darah puasa terganggu (GDPT).
- GDPT: hasil pemeriksaan glukosa plasma antara 100-125 mg/dl dan
pemeriksaan TTGO glukosa plasma 2 jam <140 mg/dl;
- TGT: hasil pemeriksaan glukosa plasma 2 jam setelah TTGO antara 140-
199 mg/dl dan glukosa plasma puasa <100mg/dl
- Bersama-sama didapatkan GDPTdan TGT
- Diagnosis prediabetes dapat juga ditegakkan berdasarkan hasil
pemeriksaan HbA1c yang menunjukkan angka 5,7-6,4%. (2,3)
Pemeriksaan penyaring dilakukan untuk menegakkan diagnosis DM tipe 2 dan
prediabetes pada kelompok risiko tinggi yang tidak menunjukkan gejala klasik
DM, yaitu:
1. Kelompok dengan berat badan lebih (indeks massa tubuh [IMT] ≥23kg/m2)
yang disertai dengan satu atau lebih faktor risiko sebagai berikut:
a. Aktivitas fisik yang kurang
b. First degree relative DM (terdapat faktor keturunan DM dalam keluarga)
c. Kelompok ras/etnis tertentu

10
d. Perempuan yang memiliki riwayat melahirkan bayi dengan BBL>4kg atau
mempunyai riwayat DM gestasional.
e. Hipertensi (≥140/90 mmHg atau sedang mendapat terapi hipertensi)
f. HDL < 35 mg/dl dan atau trigliserida >250 mg/dl
g. Wanita dengan sindrom polikistik ovarium
h. Riwayat prediabetes
i. Obesitas berat, akantosis nigrikans
j. Riwayat penyakit kardiovaskular 2,3
2. Usia > 45 tahun tanpa faktor risiko diatas Kelompok risiko tinggi dengan
hasil pemeriksaan glukosa plasma normal sebaiknya diulang setiap 3 tahun,
kecuali pada kelompok prediabetes pemeriksaan diulang tiap 1 tahun. Pada
keadaan yang tidak tersedia fasilitas TTGO, maka pemeriksaan penyaring dengan
menggunakan pemeriksaan glukosa darah kapiler diperbolehkan untuk patokan
diagnosis DM. Dalam hal ini harus diperhatikan adanya perbedaan hasil
pemeriksaan glukosa darah plasma vena dan glukosa darah kapiler. (2,3)

2.1.5 Penatalaksanaan (1)

A. Tatalaksana Non-Farmakologis
Penatalaksanaan DM dimulai dengan menerapkan pola hidup sehat
(terapi nutrisi medis dan aktivitas fisik) bersamaan dengan intervensi
farmakologis dengan obat anti hiperglikemia secara oral dan/atau suntikan.
Obat anti hiperglikemia oral dapat diberikan sebagai terapi tunggal atau
kombinasi. Pada keadaan emergensi dengan dekompensasi metabolik berat,
misalnya ketoasidosis, stres berat, berat badan yang menurun dengan cepat,
atau adanya ketonuria, harus segera dirujuk ke pelayanan kesehatan
sekunder atau tersier.
Pengetahuan tentang pemantauan mandiri, tanda dan gejala
hipoglikemia dan cara mengatasinya harus diberikan kepada pasien.
Pengetahuan tentang pemantauan mandiri tersebut dapat dilakukan setelah
mendapat pelatihan khusus.

11
1. Edukasi
Edukasi dengan tujuan promosi hidup sehat, perlu selalu dilakukan
sebagai bagian dari upaya pencegahan dan merupakan bagian yang sangat
penting dari pengelolaan DM secara holistik. Materi edukasi terdiri dari
materi edukasi tingkat awal dan materi edukasi tingkat lanjutan.
a. Materi edukasi pada tingkat awal dilaksanakan di Pelayanan Kesehatan
Primer yang meliputi:
 Materi tentang perjalanan penyakit DM.
 Makna dan perlunya pengendalian dan pemantauan DM secara
berkelanjutan.
 Penyulit DM dan risikonya.
 Intervensi non-farmakologi dan farmakologis serta target pengobatan.
 Interaksi antara asupan makanan, aktivitas fisik, dan obat
antihiperglikemia oral atau insulin serta obat-obatan lain. Cara
pemantauan glukosa darah dan pemahaman hasil glukosa darah atau
urin mandiri (hanya jika alat pemantauan glukosa darah mandiri tidak
tersedia).
 Mengenal gejala dan penanganan awal hipoglikemia
 Pentingnya latihan jasmani yang teratur  Pentingnya perawatan kaki.
 Cara menggunakan fasilitas perawatan kesehatan
b. Materi edukasi pada tingkat lanjut dilaksanakan di Pelayanan Kesehatan
Sekunder dan/atau Tersier, yang meliputi:
 Mengenal dan mencegah penyulit akut DM.
 Pengetahuan mengenai penyulit menahun DM.
 Penatalaksanaan DM selama menderita penyakit lain.
 Rencana untuk kegiatan khusus (contoh : olahraga prestasi)
 Kondisi khusus yang dihadapi (contoh : hamil, puasa, kondisi rawat
inap)
 Hasil penelitian dan pengetahuan masa kini dan teknologi mutakhir
tentang DM.
 Pemerliharaan/perawatan kaki.

12
Perilaku hidup sehat bagi pasien DM adalah memenuhi anjuran:
Mengikuti pola makan sehat.
Meningkatkan kegiatan jasmani dan latihan jasmani yang teratur
Menggunakan obat DM dan obat lainya pada keadaan khusus secara aman
dan teratur.
Melakukan Pemantauan Glukosa Darah Mandiri (PGDM) dan
memanfaatkan hasil pemantauan untuk menilai keberhasilan pengobatan.
Melakukan perawatan kaki secara berkala.
Memiliki kemampuan untuk mengenal dan menghadapi keadaan sakit akut
dengan tepat.
Mempunyai keterampilan mengatasi masalah yang sederhana, dan mau
bergabung dengan kelompok pasien diabetes serta mengajak keluarga
untuk mengerti pengelolaan pasien DM.
Mampu memanfaatkan fasilitas pelayanan kesehatan yang ada.

Prinsip yang perlu diperhatikan pada proses edukasi DM adalah:


Memberikan dukungan dan nasehat yang positif serta hindari terjadinya
kecemasan.
Memberikan informasi secara bertahap, dimulai dengan hal-hal yang
sederhana dan dengan cara yang mudah dimengerti.
Melakukan pendekatan untuk mengatasi masalah dengan melakukan
simulasi.
Mendiskusikan program pengobatan secara terbuka, perhatikan keinginan
pasien. Berikan penjelasan secara sederhana dan lengkap tentang program
pengobatan yang diperlukan oleh pasien dan diskusikan hasil
pemeriksaan laboratorium.
Melakukan kompromi dan negosiasi agar tujuan pengobatan dapat diterima.
Memberikan motivasi dengan memberikan penghargaan.
Melibatkan keluarga/pendamping dalam proses edukasi.
Perhatikan kondisi jasmani dan psikologis serta tingkat pendidikan pasien
dan keluarganya.
Gunakan alat bantu audio visual

13
2. Terapi Nutrisi Medis (TNM)
Terapi nutrisi medis merupakan bagian penting dari penatalaksanaan
DM secara komprehensif. Kunci keberhasilannya adalah keterlibatan secara
menyeluruh dari anggota tim (dokter, ahli gizi, petugas kesehatan yang lain
serta pasien dan keluarganya). TNM sebaiknya diberikan sesuai dengan
kebutuhan setiap pasien DM agar mencapai sasaran.
Prinsip pengaturan makan pada pasien DM hampir sama dengan anjuran
makan untuk masyarakat umum, yaitu makanan yang seimbang dan sesuai
dengan kebutuhan kalori dan zat gizi masing-masing individu. Pasien DM
perlu diberikan penekanan mengenai pentingnya keteraturan jadwal makan,
jenis dan jumlah kandungan kalori, terutama pada mereka yang
menggunakan obat yang meningkatkan sekresi insulin atau terapi insulin itu
sendiri.

A. Komposisi Makanan yang Dianjurkan terdiri dari:


 Karbohidrat o Karbohidrat yang dianjurkan sebesar 45 − 65% total
asupan energi.
Terutama karbohidrat yang berserat tinggi.
o Pembatasan karbohidrat total < 130 g/hari tidak dianjurkan. o
Glukosa dalam bumbu diperbolehkan sehingga pasien diabetes
dapat makan sama dengan makanan keluarga yang lain. o Sukrosa
tidak boleh lebih dari 5% total asupan energi.
o Dianjurkan makan tiga kali sehari dan bila perlu dapat diberikan
makanan selingan seperti buah atau makanan lain sebagai bagian
dari kebutuhan kalori sehari.
 Lemak o Asupan lemak dianjurkan sekitar 20 − 25% kebutuhan kalori,
dan tidak diperkenankan melebihi 30% total asupan energi.
o Komposisi yang dianjurkan:
O lemak jenuh (SAFA) < 7 % kebutuhan kalori.
O lemak tidak jenuh ganda (PUFA) < 10 %.
O selebihnya dari lemak tidak jenuh tunggal (MUFA) sebanyak 12-
15%

14
O Rekomendasi perbandingan lemak jenuh: lemak tak jenuh tunggal:
lemak tak jenuh ganda = 0.8 : 1.2 : 1.
o Bahan makanan yang perlu dibatasi adalah yang banyak mengandung
lemak jenuh dan lemak trans antara lain:
O daging berlemak dan susu fullcream.
o Konsumsi kolesterol yang dianjurkan adalah < 200 mg/hari.

 Protein o Pada pasien dengan nefropati diabetik perlu penurunan


asupan protein menjadi 0,8 g/kg BB perhari atau 10% dari kebutuhan
energi, dengan 65% diantaranya bernilai biologik tinggi.
o Pasien DM yang sudah menjalani hemodialisis asupan protein
menjadi 1 − 1,2 g/kg BB perhari.
o Sumber protein yang baik adalah ikan, udang, cumi, daging tanpa
lemak, ayam tanpa kulit, produk susu rendah lemak, kacangkacangan,
tahu dan tempe. Sumber bahan makanan protein dengan kandungan
saturated fatty acid (SAFA) yang tinggi seperti daging sapi, daging
babi, daging kambing dan produk hewani olahan sebaiknya dikurangi
untuk dikonsumsi.
 Natrium o Anjuran asupan natrium untuk pasien DM sama dengan
orang sehat yaitu < 1500 mg per hari.
o Pasien DM yang juga menderita hipertensi perlu dilakukan
pengurangan natrium secara individual.
o Pada upaya pembatasan asupan natrium ini, perlu juga memperhatikan
bahan makanan yang mengandung tinggi natrium antara lain adalah
garam dapur, monosodium glutamat, soda, dan bahan pengawet
seperti natrium benzoat dan natrium nitrit.
 Serat o Pasien DM dianjurkan mengonsumsi serat dari kacang-
kacangan, buah dan sayuran serta sumber karbohidrat yang tinggi
serat.
o Jumlah konsumsi serat yang disarankan adalah 20-35 gram per hari.
 Pemanis Alternatif o Pemanis alternatif aman digunakan sepanjang
tidak melebihi batas aman (Accepted Daily Intake/ADI). Pemanis

15
alternatif dikelompokkan menjadi pemanis berkalori dan pemanis tak
berkalori.
o Pemanis berkalori perlu diperhitungkan kandungan kalorinya
sebagai bagian dari kebutuhan kalori, seperti glukosa alkohol dan
fruktosa.
o Glukosa alkohol antara lain isomalt, lactitol, maltitol, mannitol,
sorbitol dan xylitol.
o Fruktosa tidak dianjurkan digunakan pada pasien DM karena dapat
meningkatkan kadar LDL, namun tidak ada alasan menghindari
makanan seperti buah dan sayuran yang mengandung fruktosa
alami.
o Pemanis tak berkalori termasuk aspartam, sakarin, acesulfame
potasium, sukrose, neotame.
B. Kebutuhan Kalori
Ada beberapa cara untuk menentukan jumlah kalori yang dibutuhkan
pasien DM, antara lain dengan memperhitungkan kebutuhan kalori basal
yang besarnya 25−30 kal/kgBB ideal. Jumlah kebutuhan tersebut ditambah
atau dikurangi bergantung pada beberapa faktor yaitu: jenis kelamin, umur,
aktivitas, berat badan, dan lain-lain. Beberapa cara perhitungan berat badan
ideal adalah sebagai berikut:
Perhitungan berat badan ideal (BBI) menggunakan rumus Broca yang
dimodifikasi:
o Berat badan ideal =
90% x (TB dalam cm - 100) x 1 kg
o Bagi pria dengan tinggi badan di bawah 160 cm dan wanita di bawah
150 cm, rumus dimodifikasi menjadi: Berat badan ideal (BBI) =
(TB dalam cm − 100) x 1 kg
 BB normal : BB ideal ± 10 %
 Kurus : kurang dari BB ideal − 10%
 Gemuk : lebih dari BB ideal + 10%
Perhitungan berat badan ideal menurut Indeks Massa Tubuh (IMT).
Indeks massa tubuh dapat dihitung dengan rumus:

16
IMT = BB (kg)/TB (m2)
Klasifikasi IMT:
o BB kurang < 18,5 o
BB normal 18,5 −
22,9 o BB lebih ≥
23,0
- Dengan risiko 23,0 − 24,9
- Obese I 25,0 − 29,9
- Obese II ≥ 30
*) WHO WPR/IASO/IOTF dalam The Asia-Pacific Perspective:
Redefining Obesity and its Treatment.
BBR = Berat Badan Relatif = BB/TB-100 X 100% (2)
Keterangan: berat badan (BB) dalann kg, tinggi badan (TB) dalam cm
Gizi buruk : <90%
Normal: 90 - 110%
Gizi lebih: 110- 120%
Gemuk (obesitas): >120%
Kebutuhan kalori/hari untuk menuju ke berat badan normal:
1. Berat badan kurang (BBR <90%), kebutuhan kalori sehari: 40-60 kal/kg BB
2. Berat badan normal (BBR 90-100 % ) , kebutuhan kalori sehari: 30 kal/kg BB
3. Berat badan lebih (BBR >110%), kebutuhan kalori sehari: 20 kal/kg BB
4. Gemuk atau obesitas (BBR >120%), kebutuhan kalori sehari: 10-15 kal/kg BB
Untuk memudahkan dalam teknik pelaksanaanya diet diabetes dibagi
sesuai dengan jumlah kalorinya dengan perincian sebagai berikut:
Diet DM I (1100 kal)
Diet DM II (1300 kal)
Diet DM III (1500 kal)
Diet DM IV (1700 kal)
Diet DM V (1900 kal)
Diet DM VI (2100 kal)
Diet DM VII (2300 kal)
Diet DM VIII (2500 kal)

17
Diet DM IX (2700 kal)
Diet DM X (2900 kal)
Diet DM XI (3100 kal)
Diet DM XII (3300 kal) Sebagai
contoh:
Diabetisi dengan TB: 170 cm; BB: 73 kg, kerja biasa
BBR = 73 / 170-100 X 100% = 105%
Kebutuhan kalori sehari = 73 x 30 kal = 2.190 kkal dibulatkan menjadi 2300 kal.
Faktor-faktor yang menentukan kebutuhan kalori antara lain :

Jenis Kelamin
Kebutuhan kalori basal perhari untuk perempuan sebesar 25 kal/kgBB
sedangkan untuk pria sebesar 30 kal/kgBB.
Umur o Pasien usia di atas 40 tahun, kebutuhan kalori dikurangi 5%
untuk setiap dekade antara 40 dan 59 tahun.
o Pasien usia di antara 60 dan 69 tahun, dikurangi 10%. o Pasien usia
di atas usia 70 tahun, dikurangi 20%.
Aktivitas Fisik atau Pekerjaan o Kebutuhan kalori dapat ditambah
sesuai dengan intensitas aktivitas fisik.
o Penambahan sejumlah 10% dari kebutuhan basal diberikan pada keadaan
istirahat. o Penambahan sejumlah 20% pada pasein dengan aktivitas
ringan : pegawai kantor, guru, ibu rumah tangga
o Penambahan sejumlah 30% pada aktivitas sedang : pegawai industri
ringan, mahasiswa, militer yang sedang tidak perang
o Penambahan sejumlah 40% pada aktivitas berat: petani, buruh, atlet,
militer dalam keadaan latihan
o Penambahan sejumlah 50% pada aktivitas sangat berat: tukang becak,
tukang gali.
Stres Metabolik o Penambahan 10−30% tergantung dari beratnya stress
metabolik
(sepsis, operasi, trauma).
Berat Badan o Pasien DM yang gemuk, kebutuhan kalori dikurangi
sekitar 20−30% tergantung kepada tingkat kegemukan.

18
o Pasien DM kurus, kebutuhan kalori ditambah sekitar 20−30% sesuai
dengan kebutuhan untuk meningkatkan BB.
o Jumlah kalori yang diberikan paling sedikit 1000−1200 kal perhari untuk
wanita dan 1200−1600 kal perhari untuk pria.
Secara umum, makanan siap saji dengan jumlah kalori yang terhitung dan
komposisi tersebut di atas, dibagi dalam 3 porsi besar untuk makan pagi
(20%), siang (30%), dan sore (25%), serta 2-3 porsi makanan ringan (10 -
15%) di antaranya. Tetapi pada kelompok tertentu perubahan jadwal,
jumlah dan jenis makanan dilakukan sesuai dengan kebiasaan. Untuk pasien
DM yang mengidap penyakit lain, pola pengaturan makan disesuaikan
dengan penyakit penyerta.
3. Latihan Fisik
Latihan fisik merupakan salah satu pilar dalam pengelolaan DM tipe 2.
Program latihan fisik secara teratur dilakukan 3−5 hari seminggu selama
sekitar 30−45 menit, dengan total 150 menit per minggu, dengan jeda antar
latihan tidak lebih dari 2 hari berturut-turut. Kegiatan sehari-hari atau
aktivitas sehari-hari bukan termasuk dalam latihan fisik. Latihan fisik selain
untuk menjaga kebugaran juga dapat menurunkan berat badan dan
memperbaiki sensitivitas insulin, sehingga akan memperbaiki kendali
glukosa darah. Latihan fisik yang dianjurkan berupa latihan fisik yang
bersifat aerobik dengan intensitas sedang (50−70% denyut jantung
maksimal) seperti jalan cepat, bersepeda santai, jogging, dan berenang.
Denyut jantung maksimal dihitung dengan cara mengurangi 220 dengan usia
pasien.
Pasien diabetes dengan usia muda dan bugar dapat melakukan 90
menit/minggu dengan latihan aerobik berat, mencapai > 70% denyut jantung
maksimal. Pemeriksaan glukosa darah dianjurkan sebelum latihan fisik.
Pasien dengan kadar glukosa darah < 100 mg/dL harus mengkonsumsi
karbohidrat terlebih dahulu dan bila > 250 mg/dL dianjurkan untuk menunda
latihan fisik. Pasien diabetes asimptomatik tidak diperlukan pemeriksaan
medis khusus sebelum memulai aktivitas fisik intensitas ringan-sedang,
seperti berjalan cepat. Subyek yang akan melakukan latihan intensitas tinggi

19
atau memiliki kriteria risiko tinggi harus dilakukan pemeriksaan medis dan
uji latih sebelum latihan fisik
Pada pasien DM tanpa kontraindikasi (contoh: osteoartritis, hipertensi
yang tidak terkontrol, retinopati, nefropati) dianjurkan juga melakukan
resistance training (latihan beban) 2−3 kali/perminggu sesuai dengan
petunjuk dokter. Latihan fisik sebaiknya disesuaikan dengan umur dan status
kesegaran fisik. Intensitas latihan fisik pada pasien DM yang relatif sehat
bisa ditingkatkan, sedangkan pada pasien DM yang disertai komplikasi
intesitas latihan perlu dikurangi dan disesuaikan dengan masing-masing
individu.

B. Tatalaksana Farmakologis
Terapi farmakologis diberikan bersama dengan pengaturan makan dan
latihan jasmani (gaya hidup sehat). Terapi farmakologis terdiri dari obat oral
(lampiran 1) dan bentuk suntikan.
1. Obat Antihiperglikemia Oral
Berdasarkan cara kerjanya, obat anti-hiperglikemia oral dibagi
menjadi 6 golongan:
a. Pemacu Sekresi Insulin (Insulin Secretagogue)

 Sulfonilurea
Obat golongan ini mempunyai efek utama meningkatkan sekresi
insulin oleh sel beta pankreas. Efek samping utama adalah
hipoglikemia dan peningkatan berat badan. Hati-hati
menggunakan sulfonilurea pada pasien dengan risiko tinggi
hipoglikemia (orang tua, gangguan fungsi hati dan ginjal).
Contoh obat dalam golongan ini adalah glibenclamide, glipizide,
glimepiride, gliquidone dan gliclazide.
 Glinid
Glinid merupakan obat yang cara kerjanya mirip dengan
sulfonilurea, namun berbeda lokasi reseptor, dengan hasil akhir
berupa penekanan pada peningkatan sekresi insulin fase
pertama. Golongan ini terdiri dari 2 macam obat yaitu

20
Repaglinid (derivat asam benzoat) dan Nateglinid (derivat
fenilalanin). Obat ini diabsorbsi dengan cepat setelah pemberian
secara oral dan diekskresi secara cepat melalui hati. Obat ini
dapat mengatasi hiperglikemia post prandial. Efek samping
yang mungkin terjadi adalah hipoglikemia. Obat golongan glinid
sudah tidak tersedia di Indonesia.
b. Peningkat Sensitivitas terhadap Insulin (Insulin Sensitizers)

 Metformin
Metformin mempunyai efek utama mengurangi produksi glukosa
hati (glukoneogenesis), dan memperbaiki ambilan glukosa di
jaringan perifer. Metformin merupakan pilihan pertama pada
sebagian besar kasus DM tipe 2. Dosis metformin diturunkan
pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal (LFG 30 − 60
ml/menit/1,73 m2). Metformin tidak boleh diberikan pada
beberapa keadaan seperti LFG < 30 mL/menit/1,73 m2, adanya
gangguan hati berat, serta pasien-pasien dengan kecenderungan
hipoksemia (misalnya penyakit serebrovaskular, sepsis, renjatan,
PPOK (Penyakit Paru Obstruktif Kronik), gagal jantung NYHA
(New York Heart Association) fungsional kelas III-IV. Efek
samping yang mungkin terjadi adalah gangguan saluran
pencernaan seperti dispepsia, diare, dan lain-lain.
 Tiazolidinedion (TZD)
Tiazolidinedion merupakan agonis dari Peroxisome Proliferator
Activated Receptor Gamma (PPAR-gamma), suatu reseptor inti
yang terdapat antara lain di sel otot, lemak, dan hati. Golongan
ini mempunyai efek menurunkan resistensi insulin dengan
meningkatkan jumlah protein pengangkut glukosa, sehingga
meningkatkan ambilan glukosa di jaringan perifer.
Tiazolidinedion menyebabkan retensi cairan tubuh sehingga
dikontraindikasikan pada pasien dengan gagal jantung (NYHA
fungsional kelas III-IV) karena dapat memperberat

21
edema/retensi cairan. Hati-hati pada gangguan faal hati, dan bila
diberikan perlu pemantauan faal hati secara berkala. Obat yang
masuk dalam golongan ini adalah pioglitazone.
c. Penghambat Alfa Glukosidase
Obat ini bekerja dengan menghambat kerja enzim alfa
glukosidase di saluran pencernaan sehingga menghambat
absorpsi glukosa dalam usus halus. Penghambat glukosidase alfa
tidak digunakan pada keadaan LFG ≤ 30 ml/min/1,73 m2,
gangguan faal hati yang berat, irritable bowel syndrome (IBS).
Efek samping yang mungkin terjadi berupa bloating
(penumpukan gas dalam usus) sehingga sering menimbulkan
flatus. Guna mengurangi efek samping pada awalnya dapat
diberikan dengan dosis kecil. Contoh obat golongan ini adalah
acarbose.
d. Penghambat enzim Dipeptidil Peptidase-4
Dipeptidil peptidase-4 (DPP-4) adalah suatu serin protease, yang
didistribusikan secara luas dalam tubuh. Enzim ini memecah dua
asam amino dari peptida yang mengandung alanin atau prolin di
posisi kedua peptida N-terminal. Enzim DPP-4 terekspresikan di
berbagai organ tubuh, termasuk di usus dan membran brush
border ginjal, di hepatosit, endotelium vaskuler dari kapiler villi,
dan dalam bentuk larut dalam plasma. Penghambat DPP-4 akan
menghambat lokasi pengikatan pada DPP-4 sehingga akan
mencegah inaktivasi dari glucagon-like peptide (GLP)-1. Proses
inhibisi ini akan mempertahankan kadar GLP-1 dan
glucosedependent insulinotropic polypeptide (GIP) dalam bentuk
aktif di sirkulasi darah, sehingga dapat memperbaiki toleransi
glukosa, meningkatkan respons insulin, dan mengurangi sekresi
glukagon. Penghambat DPP-4 merupakan agen oral, dan yang
termasuk dalam golongan ini adalah vildagliptin, linagliptin,
sitagliptin, saxagliptin dan alogliptin.

22
d. Penghambat enzim Sodium Glucose co-Transporter 2
Obat ini bekerja dengan cara menghambat reabsorpsi glukosa di
tubulus proksimal dan meningkatkan ekskresi glukosa melalui
urin. Obat golongan ini mempunyai manfaat untuk menurunkan
berat badan dan tekanan darah. Efek samping yang dapat terjadi
akibat pemberian obat ini adalah infeksi saluran kencing dan
genital. Pada pasien DM dengan gangguan fungsi ginjal perlu
dilakukan penyesuaian dosis, dan tidak diperkenankan
menggunakan obat ini bila LFG kurang dari 45 ml/menit.
Hatihati karena obat ini juga dapat mencetuskan ketoasidosis.
Tabel 4. Profil Obat Antihiperglikemia Oral yang Tersedia di Indonesia
Golongan Obat Cara Kerja Utama Efek Samping Penurunan
Utama HbA1c
Metformin Menurunkan produksi Dispepsia, diare, 1,0-1,3%
glukosa hati dan asidosis laktat
meningkatkan sensitifitas
terhadap insulin
Thiazolidinedione Meningkatkan sensitifitas Edema 0,5-1,4%
terhadap insulin
Sulfonilurea Meningkatkan sekresi BB naik, hipoglikemia 0,4-1,2%
insulin
Glinid Meningkatkan sekresi BB naik, hipoglikemia 0,5-1,0%
insulin
Penghambat Menghambat absorpsi Flatulen, tinja lembek 0,5-0,8%
AlfaGlukosidase glukosa

Penghamba Meningkatkan sekresi Sebah, muntah 0,5-0,9%


t DPP-4 insulin dan
menghambat sekresi
glukagon
Penghambat Menghambat reabsorbsi Infeksi saluran 0,5-0,9%
SGLT-2 glukosa di tubulus distal kemih dan genital

23
2. Obat Antihiperglikemia Suntik (1)
Termasuk anti hiperglikemia suntik, yaitu insulin, GLP-1 RA dan
kombinasi insulin dan GLP-1 RA.
a. Insulin
Insulin digunakan pada keadaan :
 HbA1c saat diperiksa ≥ 7.5% dan sudah menggunakan satu atau dua
obat antidiabetes
 HbA1c saat diperiksa > 9%
 Penurunan berat badan yang cepat
 Hiperglikemia berat yang disertai ketosis
 Krisis hiperglikemia
 Gagal dengan kombinasi OHO dosis optimal
 Stres berat (infeksi sistemik, operasi besar, infark miokard akut,
stroke)
 Kehamilan dengan DM/diabetes melitus gestasional yang tidak
terkendali dengan perencanaan makan
 Gangguan fungsi ginjal atau hati yang berat
 Kontraindikasi dan atau alergi terhadap OHO
 Kondisi perioperatif sesuai dengan indikasi
Jenis dan Lama Kerja Insulin
Berdasarkan lama kerja, insulin terbagi menjadi 6 jenis:
 Insulin kerja cepat (Rapid-acting insulin)
 Insulin kerja pendek (Short-acting insulin)
 Insulin kerja menengah (Intermediate-acting insulin)
 Insulin kerja panjang (Long-acting insulin)
 Insulin kerja ultra panjang (Ultra long-acting insulin)
 Insulin campuran tetap, kerja pendek dengan menengah dan kerja
cepat dengan menengah (Premixed insulin)
 Insulin campuran tetap, kerja ultra panjang dengan kerja cepat Efek
samping terapi insulin:
 Efek samping utama terapi insulin adalah terjadinya hipoglikemia

24
 Penatalaksanaan hipoglikemia dapat dilihat dalam bagian
komplikasi akut DM.
 Efek samping yang lain berupa reaksi alergi terhadap insulin Berikut
ini berbagai jenis insulin Eksogen:
Awitan Puncak efek Lama kerja Kemasan

Jenis insulin (onset)


Insulin analog kerja cepat ( rapid A ting)
Insulin lispo (humalog) 5-15 menit Pen/catridge
Pen, vial
Insulin aspart ( novorapid) 1-2 jam 4-6 jam Flexpen
Insulin glulisin (apidra)
Insulin faster aspart (flasp) < 5 menit

Insulin manusia kerja pendek = insulin regular ( short acting)


Humulin 30-60 menit 2-4 jam 6-8 jam Vial, penfil
Actarpid

Insulin manusia kerja menengah = NPH ( Intermediate-Acting )


Humulin 8-10 jam Vial, pen /
Insulatard 4-10 jam catrige
Insuman basal
1,5-4 jam
Insulin analog kerja panjang ( Long-Acting )
Insulin 1-3 jam Hamper 12- 24 jam
glargine tanpa (lantus) puncak
Insulin detemin
(levemir)

Pen
Insulin analog kerja ultra panjang ( Ultra Long-Acting )
Degludec (tresiba) * 30-60 menit Hamper 12-24 jam Pen
Glargine U300(lantus) 1-3 jam tanpa
puncak
Insulin manusia campuran ( Human Premixed )

25
70/30 Humulin (70& NPH, 30-60 menit 3-12 jam
30% regular)
70/30 Mixtard (70% NPH,
30% regular)
Insulin analog campuran ( Human Premixed )

75/25 Humalogmix®
(75% protamin lispro, Vial 10 mL, pen 3
25% lispro) mL penfill/flexpen
12-30 menit 1-4 jam 4-6 jam
70/30 Novomix®
(70% protamine aspart,
30% aspart)
50/50 premix
Novomix 30 (30% aspart,
70% protamin aspart)
Co-formulation of insulin
degludec (Tresiba®)/ insulin
aspart (Novorapid®): IdegAsp
“Ryzodeg® 70/30”

NPH: neutral protamine Hagedorn; NPL: neutral protamine lispro. *Belum


tersedia di Indonesia

Dasar pemikiran terapi insulin:


Sekresi insulin fisiologis terdiri dari sekresi basal dan sekresi prandial.
Terapi insulin diupayakan mampu menyerupai pola sekresi insulin yang
fisiologis.
Defisiensi insulin mungkin berupa defisiensi insulin basal, insulin
prandial atau keduanya. Defisiensi insulin basal menyebabkan timbulnya
hiperglikemia pada keadaan puasa, sedangkan defisiensi insulin prandial
akan menimbulkan hiperglikemia setelah makan.
Terapi insulin untuk substitusi ditujukan untuk melakukan koreksi terhadap
defisiensi yang terjadi.
Sasaran pertama terapi hiperglikemia adalah mengendalikan glukosa
darah basal (puasa/sebelum makan). Hal ini dapat dicapai dengan terapi

26
oral maupun insulin. Insulin yang dipergunakan untuk mencapai sasaran
glukosa darah basal adalah insulin basal (insulin kerja sedang, panjang
atau ultra panjang)
Penyesuaian dosis insulin basal untuk pasien rawat jalan dapat dilakukan
dengan menambah 2-4 unit setiap 3-4 hari bila sasaran terapi belum
tercapai.
Apabila sasaran glukosa darah basal (puasa) telah tercapai, sedangkan
HbA1c belum mencapai target, maka dilakukan pengendalian glukosa darah
prandial (meal-related). Insulin yang dipergunakan untuk mencapai sasaran
glukosa darah prandial adalah insulin kerja cepat (rapid acting) yang
disuntikan 5 - 10 menit sebelum makan atau insulin kerja pendek (short
acting) yang disuntikkan 30 menit sebelum makan.
Insulin basal juga dapat dikombinasikan dengan obat antihiperglikemia
oral untuk menurunkan glukosa darah prandial seperti golongan obat
peningkat sekresi insulin kerja pendek (golongan glinid), atau
penghambat penyerapan karbohidrat dari lumen usus (acarbose), atau
metformin (golongan biguanid).
Terapi insulin tunggal atau kombinasi disesuaikan dengan kebutuhan
pasien dan respons individu, yang dinilai dari hasil pemeriksaan kadar
glukosa darah harian.
Cara penyuntikan insulin :
Insulin umumnya diberikan dengan suntikan di bawah kulit (subkutan),
dengan arah alat suntik tegak lurus terhadap cubitan permukaan kulit.
Pada keadaan khusus diberikan intramuskular atau drip.
Insulin campuran (mixed insulin) merupakan kombinasi antara insulin
kerja pendek dan insulin kerja menengah, dengan perbandingan dosis
yang tertentu, namun bila tidak terdapat sediaan insulin campuran
tersebut atau diperlukan perbandingan dosis yang lain, dapat dilakukan
pencampuran sendiri antara kedua jenis insulin tersebut.
Lokasi penyuntikan, cara penyuntikan maupun cara insulin harus
dilakukan dengan benar, demikian pula mengenai rotasi tempat
penyuntikkan.

27
Penyuntikan insulin dengan menggunakan semprit insulin dan jarumnya
sebaiknya hanya dipergunakan sekali, meskipun dapat dipakai 2-3 kali
oleh pasien diabetes yang sama, sejauh sterilitas penyimpanan terjamin.
Penyuntikan insulin dengan menggunakan pen, perlu penggantian jarum
suntik setiap kali dipakai, meskipun dapat dipakai 2 - 3 kali oleh pasien
diabetes yang sama asal sterilitas dapat dijaga.
Kesesuaian konsentrasi insulin dalam kemasan (jumlah unit/mL) dengan
semprit yang dipakai (jumlah unit/mL dari semprit) harus diperhatikan, dan
dianjurkan memakai konsentrasi yang tetap. Saat ini yang tersedia hanya
U100 (artinya 100 unit/mL).
Penyuntikan dilakukan pada daerah: perut sekitar pusat sampai ke
samping, kedua lengan atas bagian luar (bukan daerah deltoid), kedua
paha bagian samping luar.
c. Agonis GLP-1 /Incretin Mimetic
Inkretin adalah hormon peptida yang disekresi gastrointestinal
setelah makanan dicerna, yang mempunyai potensi untuk
meningkatkan sekresi insulin melalui stimulasi glukosa. Dua macam
inkretin yang dominan adalah glucose-dependent insulinotropic
polypeptide (GIP) dan GLP-1. GLP-1 RA mempunyai efek
menurunkan berat badan, menghambat pelepasan glukagon,
menghambat nafsu makan, dan memperlambat pengosongan lambung
sehingga menurunkan kadar glukosa darah postprandial. Efek samping
yang timbul pada pemberian obat ini antara lain rasa sebah dan
muntah. Obat yang termasuk golongan ini adalah: Liraglutide,
Exenatide, Albiglutide, Lixisenatide dan Dulaglutide.
d. Penggunaan GLP-1 RA pada Diabetes
GLP-1 RA adalah obat yang disuntikkan secara subkutan untuk
menurunkan kadar glukosa darah, dengan cara meningkatkan jumlah
GLP-1 dalam darah. Berdasarkan cara kerjanya golongan obat ini
dibagi menjadi 2 yakni kerja pendek dan kerja panjang. GLP-1 RA
kerja pendek memiliki waktu paruh kurang dari 24 jam yang diberikan
sebanyak 2 kali dalam sehari, contohnya adalah exenatide, sedangkan

28
GLP-1 RA kerja panjang diberikan 1 kali dalam sehari, contohnya
adalah liraglutide dan lixisenatide, serta ada sediaan yang diberikan 1
kali dalam seminggu yaitu exenatide LAR, dulaglutide dan
semaglutide.
Dosis berbeda untuk masing-masing terapi, dengan dosis
minimal, dosis tengah, dan dosis maksimal. Penggunaan golongan
obat ini dititrasi perminggu hingga mencapai dosis optimal tanpa efek
samping dan dipertahankan. Golongan obat ini dapat dikombinasi
dengan semua jenis oral anti diabetik kecuali penghambat DPP-4, dan
dapat dikombinasi dengan insulin. Pemakaian GLP-1 RA dibatasi pada
pasien dengan gangguan fungsi ginjal yang berat, yaitu LFG kurang
dari 30 mL per menit per 1,73 m2.
3. Terapi Kombinasi
Pengaturan diet dan kegiatan jasmani merupakan hal yang utama
dalam penatalaksanaan DM, namun bila diperlukan dapat dilakukan
bersamaan dengan pemberian obat antihiperglikemia oral tunggal atau
kombinasi sejak dini. Pemberian obat antihiperglikemia oral maupun insulin
selalu dimulai dengan dosis rendah, untuk kemudian dinaikkan secara
bertahap sesuai dengan respon kadar glukosa darah. Terapi kombinasi obat
antihiperglikemia oral, baik secara terpisah ataupun fixed dose combination,
harus menggunakan dua macam obat dengan mekanisme kerja yang berbeda.
Pada keadaan tertentu apabila sasaran kadar glukosa darah belum tercapai
dengan kombinasi dua macam obat, dapat diberikan kombinasi dua obat
antihiperglikemia dengan insulin. Pada pasien yang disertai dengan alasan
klinis dan insulin tidak memungkinkan untuk dipakai, maka dapat diberikan
kombinasi tiga obat oral. terapi dapat diberikan kombinasi tiga obat anti-
hiperglikemia oral.
Kombinasi obat antihiperglikemia oral dengan insulin dimulai dengan
pemberian insulin basal (insulin kerja menengah atau insulin kerja panjang).
Insulin kerja menengah harus diberikan menjelang tidur, sedangkan insulin
kerja panjang dapat diberikan sejak sore sampai sebelum tidur, atau diberikan
pada pagi hari sesuai dengan kenyamanan pasien. Pendekatan terapi tersebut

29
pada umumnya dapat mencapai kendali glukosa darah yang baik dengan
dosis insulin yang cukup kecil. Dosis awal insulin basal untuk kombinasi
adalah 0,1−0,2 unit/kgbb, kemudian dilakukan evaluasi dengan mengukur
kadar glukosa darah puasa keesokan harinya.
Dosis insulin dinaikkan secara perlahan (pada umumnya 2 unit) apabila
kadar glukosa darah puasa belum mencapai target. Pada keadaaan kadar
glukosa darah sepanjang hari masih tidak terkendali meskipun sudah
diberikan insulin basal, maka perlu diberikan terapi kombinasi insulin basal
dan prandial, pemberian obat antihiperglikemia oral terutama
golongan

Sulfonilurea sebaiknya dihentikan dengan hati-hati.


Gambar 1. Sasaran kendali glukosa darah.

2. Kombinasi Insulin Basal dengan GLP-1 RA


Manfaat insulin basal terutama adalah menurunkan glukosa darah
puasa, sedangkan GLP-1 RA akan menurunkan glukosa darah setelah makan,
dengan target akhir adalah penurunan HbA1c. Manfaat lain dari kombinasi
insulin basal dengan GLP-1 RA adalah rendahnya risiko hipoglikemia dan
mengurangi potensi peningkatan berat badan. Keuntungan pemberian secara
terpisah adalah pengaturan dosis yang fleksibel dan terhindar dari
kemungkinan interaksi obat, namun pasien kurang nyaman karena harus
menyuntikkan 2 obat sehingga dapat menurunkan tingkat kepatuhan pasien.
Ko-formulasi rasio tetap insulin dan GLP-1 RA yang tersedia saat ini adalah
IdegLira, ko-formulasi antara insulin degludeg dengan liraglutide dan
IGlarLixi, ko-formulasi antara insulin glargine dan lixisenitide.

30
2.1.6 Komplikasi
Komplikasi pada DM tipe 2 dapat dibagi menjadi komplikasi aku dan
komplikasi kronik.1

A. Komplikasi Akut
• Krisis Hiperglikemia
Ketoasidosis Diabetik (KAD) merupakan komplikasi akut yang ditandai
dengan peningkatan kadar glukosa darah yang tinggi (300600 mg/dL),
disertai dengan tanda dan gejala asidosis dan plasma keton (+) kuat,
osmolalitas plasma meningkat (300-320 mOs/mL) dan terjadi peningkatan
anion gap. Status Hiperglikemi Hiperosmolar (SHH) juga termasuk krisis
hiperglikemia dengan peningkatan glukosa darah hingga 600-1200 mg/dL
tanpa disertai tanda dan gejala asidosis, osmolaritas plasma sangat
meningkat (330-380 mOs/mL), plasma keton (+/-), anion gap normal atau
sedikit meningkat.1
• Hipoglikemia
Hipoglikemia adalah menurunnya kadar glukosa darah < 70 mg/dL.
Hipoglikemia ditandai dengan adanya whipple's triad, yaitu terdapat
gejalagejala hipoglikemia, kadar glukosa darah yang rendah, dan gejala
berkurang dengan pengobatan.1

B. Komplikasi Kronik
• Makroangiopati
Makroangiopati bisa mengenai pembuluh darah jantung, pembuluh darah
tepi, dan pembuluh darah otak. Apabila mengenai pembuluh darah tepi,
gejala tipikal yang biasa muncul pertama kali adalah nyeri ketika
beraktivitas dan berkurang saat istirahat (claudicatio intermittent), namun
sering juga tanpa disertai gejala. Ulkus iskemik pada kaki merupakan
kelainan yang bisa dapat ditemukan pada penderita.1
• Mikroangiopati
Mikroangiopati dapat berupa retinopati diabetik, nefropati diabetik, dan
neuropati. Nefropati diabetik merupakan penyebab paling utama dari gagal
ginjal stadium akhir. Sekitar 20-40% penderita diabetes akan mengalami

31
nefropati diabetes. Diagnosis nefropati diabetik ditegakkan jika didapatkan
kadar albumin >30 mg dalam urin 24 jam pada 2 dari 3 kali pemeriksaan
dalam kurun waktu 3-6 bulan, tanpa penyebab albuminuria lainnya.1 Pada
neuropati perifer, hilangnya sensai distal merupakan faktor penting yang
berisiko tinggi untuk terjadinya ulkus kaki dan meningkatkan risiko
amputasi. Gejala yang sering terasa oleh penderita meliputi rasa terbakar
pada kaki dan bergetar sendiri, serta pada malam hari terasa lebih sakit.
Pada polineuropati distal perlu dilakukan perawatan kaki yang memadai
untuk mengurangi risiko ulkus pada kaki yang akhirnya bisa menjadi kaki
diabetes.(1)

2.2 Selulitis
2.2.1 DEFINISI

Selulitis merupakan infeksi bakterial akut pada kulit. Infeksi yang terjadi
menyebar ke dalam hingga ke lapisan dermis dan sub kutis.1 Infeksi ini biasanya
didahului luka atau trauma dengan penyebab tersering Streptococcus beta
hemolitikus dan Staphylococcus aureus. Pada anak usia di bawah 2 tahun dapat
disebabkan oleh Haemophilus influenza, keadaan anak akan tampak sakit berat,
sering disertai gangguan pernapasan bagian atas, dapat pula diikuti bakterimia dan
septikemia.3 Terdapat tanda-tanda peradangan lokal pada lokasi infeksi seperti
eritema, teraba hangat, dan nyeri serta terjadi limfangitis dan sering bergejala
sistemik seperti demam dan peningkatan hitungan sel darah putih.4 Selulitis yang
mengalami supurasi disebut flegmon, sedangkan bentuk selulitis superfisial yang
mengenai pembuluh limfe yang disebabkan oleh Streptokokus beta hemolitikus
grup A disebut erisepelas. Tidak ada perbedaan yang bersifat absolut antara
selulitis dan erisepelas yang disebabkan oleh Streptokokus.1
Sebagian besar kasus selulitis dapat sembuh dengan pengobatan antibiotik.
Infeksi dapat menjadi berat dan menyebabkan infeksi seluruh tubuh jika terlambat
dalam memberikan pengobatan.5

32
Gambar 1: Anatomy of Skin and Soft Tissues and Different Types of Skin and
SoftTissue Infection (B)

2.2.2 ETIOLOGI

Penyebab selulitis paling sering pada orang dewasa adalah Staphylococcus


aureus dan Streptokokus beta hemolitikus grup A sedangkan penyebab selulitis
pada anak adalah Haemophilus influenza tipe b (Hib), Streptokokus beta
hemolitikus grup A, dan Staphylococcus aureus. Streptococcuss beta hemolitikus
group B adalah penyebab yang jarang pada selulitis.6 Selulitis pada orang dewasa
imunokompeten banyak disebabkan oleh Streptococcus pyogenes dan
Staphylococcus aureus sedangkan pada ulkus diabetikum dan ulkus dekubitus
biasanya disebabkan oleh organisme campuran antara kokus gram positif dan
gram negatif aerob maupun anaerob. Bakteri mencapai dermis melalui jalur
eksternal maupun hematogen. Pada imunokompeten perlu ada kerusakan barrier
kulit, sedangkan pada imunokopromais lebih sering melalui aliran darah (buku
kuning). Onset timbulnya penyakit ini pada semua usia.

33
Tabel 5: Etiologi Soft Tissue Infection (STIs)

34
Gambar 2: Specific Anatomical Variants of Cellulitis and Causes of
Predisposition to the Condition (6)

2.2.3 EPIDEMIOLOGI

Selulitis dapat terjadi di semua usia, tersering pada usia di bawah 3 tahun
dan usia dekade keempat dan kelima 2. Insidensi pada laki-laki lebih besar
daripada perempuan dalam beberapa studi epidemiologi. Insidensi selulitis
ekstremitas masih menduduki peringkat pertama. Terjadi peningkatan resiko
selulitis seiring meningkatnya usia, tetapi tidak ada hubungan dengan jenis
kelamin (C).
2.2.4 FAKTOR PREDISPOSISI
Faktor predisposisi erisepelas dan selulitis adalah: kaheksia, diabetes
melitus, malnutrisi, disgamaglobulinemia, alkoholisme, dan keadaan yang dapat
menurunkan daya tahan tubuh terutama bila diseratai higiene yang jelek. Selulitis
umumnya terjadi akibat komplikasi suatu luka atau ulkus atau lesi kulit yang lain,
namun dapat terjadi secara mendadak pada kulit yang normal terutama pada
pasien dengan kondisi edema limfatik, penyakit ginjal kronik atau hipostatik 7.

35
2.2.5 GEJALA KLINIS

Gambaran klinis tergantung akut atau tidaknya infeksi. Umumnya semua


bentuk ditandai dengan kemerahan dengan batas jelas, nyeri tekan dan bengkak.
Penyebaran perluasan kemerahan dapat timbul secara cepat di sekitar luka atau
ulkus disertai dengan demam dan lesu. Pada keadaan akut, kadang-kadang timbul
bula. Dapat dijumpai limfadenopati limfangitis. Tanpa pengobatan yang efektif
dapat terjadi supurasi lokal (flegmon, nekrosis atau gangren) 6.
Selulitis biasanya didahului oleh gejala sistemik seperti demam, menggigil,
dan malaise. Daerah yang terkena terdapat 4 kardinal peradangan yaitu rubor
(eritema), color (hangat), dolor (nyeri) dan tumor (pembengkakan). Lesi tampak
merah gelap, tidak berbatas tegas pada tepi lesi tidak dapat diraba atau tidak
meninggi. Pada infeksi yang berat dapat ditemukan pula vesikel, bula, pustul, atau
jaringan neurotik. Ditemukan pembesaran kelenjar getah bening regional dan
limfangitis ascenden. Pada pemeriksaan darah tepi biasanya ditemukan
leukositosis7
Periode inkubasi sekitar beberapa hari, tidak terlalu lama. Gejala prodormal
berupa: malaise anoreksia; demam, menggigil dan berkembang dengan cepat,
sebelum menimbulkan gejala-gejala khasnya. Pasien imunokompromais rentan
mengalami infeksi walau dengan patogen yang patogenisitas rendah. Terdapat
gejala berupa nyeri yang terlokalisasi dan nyeri tekan. Jika tidak diobati, gejala
akan menjalar ke sekitar lesi terutama ke proksimal. Kalau sering residif di tempat
yang sama dapat terjadi elefantiasis.
Lokasi selulitis pada anak biasanya di kepala dan leher, sedangkan pada
orang dewasa paling sering di ekstremitas karena berhubungan dengan riwayat
seringnya trauma di ekstremitas. Pada penggunaan salah obat, sering berlokasi di
lengan atas. Komplikasi jarang ditemukan, tetapi termasuk glomerulonefritis akut
(jika disebabkan oleh strain nefritogenik streptococcus, limfadenitis, endokarditis
bakterial subakut). Kerusakan pembuluh limfe dapat menyebabkan selulitis
rekurens.

36
Gambar 2 . Macam-macam selulitis

37
2.2.6 PATOGENESIS

Bakteri patogen yang menembus lapisan luar menimbulkan infeksi pada


permukaan kulit atau menimbulkan peradangan. Penyakit infeksi sering berjangkit
pada orang gemuk, rendah gizi, kejemuan atau orang tua pikun dan pada orang
yang menderita diabetes mellitus yang pengobatannya tidak adekuat (D).
Setelah menembus lapisan luar kulit, infeksi akan menyebar ke
jaringanjaringan dan menghancurkannya, hyaluronidase memecah substansi
polisakarida, fibrinolysin mencerna barrier fibrin, dan lecithinase menghancurkan
membran sel 7 .

Gambar 3 .Skema patogenesis

38
2.2.7 DIAGNOSIS BANDING

Deep thrombophlebitis, dermatitits statis, dermatitis kontak, giant urticaria,


insect bite (respons hipersensitifitas), erupsi obat, eritema nodosum, eritema
migran (Lyme borreliosis), perivascular herpes zooster, acute Gout, Wells
syndrome (selulitis eosinofilik), Familial Mediterranean fever-associated
cellulitis like erythema, cutaneous anthrax, pyoderma gangrenosum, sweet
syndrome (acute febrile neutrophilic dermatosis), Kawasaki disease, carcinoma
erysipeloides.
3 DIAGNOSIS

Diagnosis selulitis ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan


klinis. Pada pemeriksaan klinis selulitis ditemukan makula eritematous, tepi tidak
meninggi, batas tidak jelas, edema, infiltrat dan teraba panas, dapat disertai
limfangitis dan limfadenitis. Penderita biasanya demam dan dapat menjadi
septicemia 6.
Selulitis yang disebabkan oleh H. Influenza tampak sakit berat, toksik dan
sering disertai gejala infeksi traktus respiratorius bagian atas bakteriemia dan
septikemia.6 Lesi kulit berwarna merah keabu-abuan, merah kebiru-biruan atau
merah keunguan. Lesi kebiru-biruan dapat juga ditemukan pada selulitis yang
disebabkan oleh Streptokokus pneumonia Pada pemeriksaan darah tepi selulitis
terdapat leukositosis (15.000-400.000) dengan hitung jenis bergeser ke kiri.7

Gejala dan tanda Selulitis


Gejala prodormal : Demam, malaise, nyeri sendi dan menggigil
Daerah predileksi : Ekstremitas atas dan bawah, wajah, badan dan
genitalia
Makula eritematous : Eritema cerah
Tepi : Batas tidak tegas
Penonjolan : Tidak terlalu menonjol
Vesikel atau bula : Biasanya disertai dengan vesikel atau bula
Edema : Edema
Hangat : Tidak terlalu hangat
Fluktuasi : Fluktuasi
Tabel 6. Gejala dan tanda selulitis (6)
Pemeriksaan laboratorium sebenarnya tidak terlalu dibutuhkan pada
sebagian besar pasien dengan selulitis. Seperti halnya pemeriksaan laboratorium,

39
pemeriksaan pencitraan juga tidak terlalu dibutuhkan. Pada pemeriksaan darah
lengkap, ditemukan leukositosis pada selulitis penyerta penyakit berat, leukopenia
juga bisa ditemukan pada toxin-mediated cellulitis. ESR dan C-reactive protein
(CRP) juga sering meningkat terutama penyakit yang membutuhkan perawatan
rumah sakit dalam waktu lama. Pada banyak kasus, pemeriksaan Gram dan kultur
darah tidak terlalu penting dan efektif.
2.2.8 PENGOBATAN

Selulitis karena streptokokus diberi penisilin prokain G 600.000-2.000.000


IU IM selama 6 hari atau dengan pengobatan secara oral dengan penisilin V 500
mg setiap 6 jam, selama 10-14 hari. Pada selulitis karena H. Influenza diberikan
Ampicilin untuk anak (3 bulan sampai 12 tahun) 100-200 mg/kg/d (150-300 mg),
>12 tahun seperti dosis dewasa.
Pada selulitis yang ternyata penyebabnya bukan staphylococcus aureus
penghasil penisilinase (non SAPP) dapat diberi penisilin. Pada yang alergi
terhadap penisilin, sebagai alternatif digunakan eritromisin (dewasa: 250-500
gram peroral; anak-anak: 30-50 mg/kgbb/hari) tiap 6 jam selama 10 hari. Dapat
juga digunakan klindamisin (dewasa 300-450 mg/hari PO; anak-anak 16-20
mg/kgbb/hari). Pada yang penyebabnya SAPP selain eritromisin dan klindamisin,
juga dapat diberikan dikloksasilin 500 mg/hari secara oral selama 7-10 hari. (6)
2.2.9 KOMPLIKASI

Pada anak dan orang dewasa yang immunocompromised, penyulit pada


selulitis dapat berupa gangren, metastasis, abses dan sepsis yang berat. Selulitis
pada wajah merupakan indikator dini terjadinya bakteriemia stafilokokus beta
hemollitikus grup A, dapat berakibat fatal karena mengakibatkan trombosis sinus
cavernpsum yang septik. Selulitis pada wajah dapat menyebabkan penyulit
intrakranial berupa meningitis.

40
2.2.10 Risiko Infeksi pada Diabetes Tipe II

Penderita Diabetes Mellitus (DM) memiliki risiko yang sangat tinggi untuk
mengalami infeksi. Penyebab dari risiko infeksi ini adalah karena adanya luka
ganggren dan perawatan luka ganggren yang kurang tepat. Risiko infeksi ini juga
disebabkan karena adanya ketidaknormalan neurologis yang bisa menimbulkan
adanya proses inflamasi, sehingga akan menghambat kesadaran dan trauma serta
predisposisi terhadap infeksi bakteri dan jamur.
Ulkus diabetikum disebabkan karena adanya angiopati, neuropati dan risiko
infeksi. Neuropati perifer menyebabkan adanya rasa baal atau menurunnya sensasi
nyeri pada luka di kaki dan mengakibatkan trauma tanpa terasa yang bisa
mengakibatkan terjadinya ulkus pada kaki. Luka yang yang susah untuk sembuh
merupakan komplikasi kronis dari penyakit Diabetes Mellitus (DM) yang bisa
timbul akibat kadar glukosa darah yang tidak terkontrol dengan baik.
Akibat dari hiperglikemia yang terus menerus akan mempunyai dampak
buruk pada kemampuan pembuluh darah tidak berkontraksi dan reaksasi
berkurang, hal tersebut mengakibatkan sirkulasi darah tubuh menurun terutama
kaki. Penurunan sirkulasi darah pada daerah kaki akan menghambat proses
penyembuhan pada luka luka, akibatnya kuman akan masuk ke dalam luka dan
dapat menyebabkan terjadinya infeksi bila tidak ditangani lebih lanjut (Soegondo
2009). Menurut SDKI 2017 risiko 10 infeksi adalah beresiko mengalami
peningkatan terserang organisme patogenik
2.3 Ulkus Diabetik
2.3.1 Definisi
Kaki diabetik dengan ulkus merupakan komplikasi diabetes yang sering
terjadi. Ulkus kaki diabetik adalah luka kronik pada daerah di bawah pergelangan
kaki, yang meningkatkan morbiditas, mortalitas dan mengurangi kualitas hidup.
Ulkus kaki diabetik disebabkan oleh proses neuropati perifer, penyakit arteri
perifer (peripheral arterial disease), ataupun kombinasi keduanya. Ulkus diabetika
mudah berkembang menjadi infeksi karena masuknya kuman atau bakteri dan
adanya gula darah yang tinggi menjadi tempat yang strategis untuk pertumbuhan
kuman aerob maupun anaerob.2

41
2.3.2 Etiologi
Proses terjadinya kaki diabetik diawali oleh angiopati, neuropati, dan
infeksi. Neuropati menyebabkan gangguan sensorik yang menghilangkan atau
menurunkan sensasi nyeri kaki, sehingga ulkus dapat terjadi tanpa terasa.
Gangguan motorik menyebabkan atrofi otot tungkai sehingga mengubah titik
tumpu yang menyebabkan ulserasi kaki. Angiopati akan mengganggu aliran darah
ke kaki; penderita dapat merasa nyeri tungkai sesudah berjalan dalam jarak
tertentu. Infeksi sering merupakan komplikasi akibat berkurangnya aliran darah
atau neuropati. Ulkus diabetik bisa menjadi gangren kaki diabetik.5 Penyebab
gangren pada penderita DM adalah bakteri anaerob, yang tersering Clostridium.
Bakteri ini akan menghasilkan gas, yang disebut gas gangrene (3)
2.3.3 Klasifikasi
Klasifikasi Wagner-Meggit dikembangkan pada tahun 1970-an, digunakan
secara luas untuk mengklasifikasi lesi pada kaki diabetes.
Tabel .4 Klasifikasi kaki diabetes berdasarkan Wagner- Meggit (4)
Derajat 0 Simtom pada kaki seperti nyeri
Derajat 1 Ulkus superficial
Derajat 2 Ulkus dalam
Derajat 3 Ulkus sampai mengenai tulang
Derajat 4 Gangrene telapak kaki
Derajat 5 Gangrene seluruh kaki

Klasifikasi Wagner-Meggit dianjurkan oleh International Working Group on


Diabetic Foot (IWGDF) dan dapat diterima semua pihak agar memudahkan
perbandingan hasil-hasil penelitian. Dengan klasifikasi ini akan dapat ditentukan
kelainan yang dominan, vaskular, infeksi, atau neuropatik dengan ankle brachial
index (ABI), filament test, nerve conduction study, electromyography (EMG),
autonomic testing, sehingga pengelolaan lebih baik. Ulkus gangren dengan critical
limb ischemia lebih memerlukan evaluasi dan perbaikan keadaan vaskularnya.
Sebaliknya jika faktor infeksi menonjol, antibiotik harus adekuat. Sekiranya faktor
mekanik yang dominan, harus diutamakan koreksi untuk mengurangi tekanan
plantar. (5)

42
Gambar 2. Klasifikasi kaki diabetes berdasarkan Wagner-Meggit
2.3.4 Patfisioogi
Ulkus kaki diabetes disebabkan tiga faktor yang sering disebut trias, yaitu:
iskemi, neuropati, dan infeksi. Kadar glukosa darah tidak terkendali akan
menyebabkan komplikasi kronik neuropati perifer berupa neuropati sensorik, motorik,
dan autonom.
Neuropati sensorik biasanya cukup berat hingga menghilangkan sensasi
proteksi yang berakibat rentan terhadap trauma fisik dan termal, sehingga
meningkatkan risiko ulkus kaki. Sensasi propriosepsi yaitu sensasi posisi kaki juga
hilang. Neuropati motorik mempengaruhi semua otot, mengakibatkan penonjolan
abnormal tulang, arsitektur normal kaki berubah, deformitas khas seperti hammer toe
dan hallux rigidus. Deformitas kaki menimbulkan terbatasnya mobilitas, sehingga
dapat meningkatkan tekanan plantar kaki dan mudah terjadi ulkus (4).
Neuropati autonom ditandai dengan kulit kering, tidak berkeringat, dan
peningkatan pengisian kapiler sekunder akibat pintasan arteriovenosus kulit. Hal ini
mencetuskan timbulnya fisura, kerak kulit, sehingga kaki rentan terhadap trauma
minimal. Hal tersebut juga dapat karena penimbunan sorbitol dan fruktosa yang
mengakibatkan akson menghilang, kecepatan induksi menurun, parestesia, serta
menurunnya refleks otot dan atrofi otot.
Penderita diabetes juga menderita kelainan vaskular berupa iskemi. Hal ini
disebabkan proses makroangiopati dan menurunnya sirkulasi jaringan yang ditandai
oleh hilang atau berkurangnya denyut nadi arteri dorsalis pedis, arteri tibialis, dan
arteri poplitea; menyebabkan kaki menjadi atrofi, dingin, dan kuku menebal.
Selanjutnya terjadi nekrosis jaringan, sehingga timbul ulkus yang biasanya dimulai
dari ujung kaki atau tungkai Kelainan neurovaskular pada penderita diabetes
diperberat dengan aterosklerosis.
Aterosklerosis merupakan kondisi arteri menebal dan menyempit karena
penumpukan lemak di dalam pembuluh darah. Menebalnya arteri di kaki dapat

43
mempengaruhi otot-otot kaki karena berkurangnya suplai darah, kesemutan, rasa
tidak nyaman, dan dalam jangka lama dapat mengakibatkan kematian jaringan
yang akan berkembang menjadi ulkus kaki diabetes. Proses angiopati pada
penderita DM berupa penyempitan dan penyumbatan pembuluh darah perifer
tungkai bawah terutama kaki, akibat perfusi jaringan bagian distal tungkai
berkurang. DM yang tidak terkendali akan menyebabkan penebalan tunika intima
(hyperplasia membran basalis arteri) pembuluh darah besar dan kapiler, sehingga
aliran darah jaringan tepi ke kaki terganggu dan nekrosis yang mengakibatkan
ulkus diabetikum (4)
Peningkatan HbA1C menyebabkan deformabilitas eritrosit dan pelepasan
oksigen oleh eritrosit terganggu, sehingga terjadi penyumbatan sirkulasi dan
kekurangan oksigen mengakibatkan kematian jaringan yang selanjutnya menjadi
ulkus. Peningkatan kadar fibrinogen dan bertambahnya reaktivitas trombosit
meningkatkan agregasi eritrosit, sehingga sirkulasi darah melambat dan
memudahkan terbentuknya thrombus (gumpalan darah) pada dinding pembuluh
darah yang akan mengganggu aliran darah keujung kaki.

Gambar 3. Patofisiologi gangren kaki diabetic

44
2.3.5 Tatalaksana
Pencegahan Primer
Penyuluhan cara terjadinya kaki diabetes sangat penting, harus selalu
dilakukan setiap saat. Berbagai usaha pencegahan sesuai dengan tingkat risiko
dengan melakukan pemeriksaan dini setiap ada luka pada kaki secara mandiri
ataupun ke dokter terdekat. Deformitas (stadium 2 dan 5) perlu sepatu/ alas kaki
khusus agar meratakan penyebaran tekanan pada kaki.
Pencegahan Sekunder Pengelolaan Holistik Ulkus Diabetik
Pada setiap tahap harus diingat berbagai faktor yang harus dikendalikan, yaitu:
- Mechanical control-pressure control
- Metabolic control
- Educational control
- Wound control
- Microbiological control-infection control
Pada tahap lanjut, perlu dilakukan wound control dan infection control, dan
semua faktor disertai kerjasama multidisipliner yang baik. Untuk stadium awal,
peran pencegahan sangat penting. Rehabilitasi medis dilakukan untuk distribusi
tekanan plantar kaki dengan menggunakan alas kaki khusus, serta berbagai usaha
non-weight bearing sangat bermanfaat untuk mengurangi kecacatan.8 Pengelolaan
kaki diabetes dapat dibagi menjadi 2 kelompok besar, yaitu pencegahan kaki
diabetes dan ulkus (pencegahan primer sebelum terjadi perlukaan kulit) dan
pencegahan kecacatan yang lebih parah (pencegahan sekunder dan pengelolaan
ulkus/gangren diabetik).
Wound Control
Perawatan luka sejak awal harus dikerjakan dengan baik dan teliti. Evaluasi
luka harus secermat mungkin. Klasifikasi ulkus pedis dilakukan setelah
debridement adekuat. Jaringan nekrotik dapat menghalangi proses penyembuhan

45
luka dengan menyediakan tempat untuk bakteri, sehingga dibutuhkan tindakan
debridement. Debridement yang baik dan adekuat akan sangat membantu
mengurangi jaringan nekrotik, dengan demikian akan sangat mengurangi produksi
pus/cairan dari ulkus/gangren. Debridement dapat dilakukan dengan beberapa
metode seperti mekanikal, surgikal, enzimatik, autolisis, dan biokemis. Cara
paling efektif adalah dengan metode autolysis debridement.8 Autolysis
debridement adalah cara peluruhan jaringan nekrotik oleh tubuh sendiri dengan
syarat utama lingkungan luka harus lembap.
Pada keadaan lembap, enzim proteolitik secara selektif akan melepas
jaringan nekrosis, sehingga mudah lepas dengan sendirinya atau dibantu secara
surgikal atau mekanikal. Pilihan lain dengan menggunakan maggot. Saat ini
terdapat banyak macam dressing (pembalut) yang dapat dimanfaatkan sesuai
keadaan luka dan letak luka. Dressing mengandung komponen zat penyerap,
seperti carbonated dressing, alginate dressing akan bermanfaat pada luka yang
masih produktif. Hydrophilic fiber dressing atau silver impregnated dressing
bermanfaat untuk luka produktif dan terinfeksi. Berbagai terapi topikal dapat
dimanfaatkan untuk mengurangi mikroba pada luka, cairan normal saline sebagai
pembersih luka, senyawa silver sebagai bagian dari dressing. Berbagai cara
debridement non-surgikal seperti preparat enzim dapat dimanfaatkan untuk
mempercepat pembersihan jaringan nekrotik. Jika luka sudah lebih baik dan tidak
terinfeksi lagi, dressing seperti hydrocolloid dressing dapat dipertahankan
beberapa hari. Untuk kesembuhan luka kronik seperti luka kaki diabetes, suasana
kondusif sekitar luka harus dipertahankan. Selama proses inflamasi masih ada,
proses penyembuhan luka tidak akan beranjak ke proses selanjutnya. Untuk
menjaga suasana kondusif dapat dipakai kasa yang dibasahi dengan normal saline.
Berbagai sarana dan penemuan baru dapat dimanfaatkan untuk wound control,
seperti: dermagrafi, apligraft, growth factor, protease inhibitor, dan sebagainya,
untuk mempercepat kesembuhan luka. Terapi hiperbarik oksigen efikasinya masih
minimal.

Microbiological Control
Data pola kuman perlu diperbaiki secara berkala, umumnya didapatkan
infeksi bakteri multipel, anaerob, dan aerob. Antibiotik harus selalu sesuai dengan

46
hasil biakan kuman dan resistensinya. Lini pertama antibiotik spectrum luas,
mencakup kuman gram negatif dan positif (misalnya sefalosporin), dikombinasi
dengan obat terhadap kuman anaerob (misalnya metronidazole).

Vascular control
Keadaan vaskular yang buruk tentu akan menghambat kesembuhan luka.
Berbagai langkah diagnostik dan terapi dapat dikerjakan sesuai keadaan dan
kondisi pasien. Umumnya kelainan pembuluh darah perifer dapat dikenali melalui
berbagai cara sederhana seperti warna dan suhu kulit, perabaan arteri dorsalis
pedis, arteri tibialis posterior, arteri poplitea, dan arteri femoralis, serta
pengukuran tekanan darah. Keadaan ini dapat dilihat dengan Ankle-Brachial Index
(ABI).
Ankle-Brachial Index (ABI) American Diabetes Association (ADA)
merekomendasikan ABI sebagai tes untuk evaluasi vaskuler. ABI menilai patency
sistem arteri ekstremitas bawah menggunakan tensimeter. Ankle brachial index
dinilai sebagai rasio tekanan darah sistolik yang diukur pada arteri dorsalis pedis
dan tibialis posterior pada ankle dibandingkan dengan tekanan darah sistolik pada
arteri brakial yang diukur pada lengan pasien pada posisi supine selama 5 menit.
Interpretasi diagnostik mengindikasikan bahwa rasio ABI yang rendah
berhubungan dengan risiko kelainan vaskuler yang tinggi (tabel 1). Ankle brachial
index harus dilakukan dengan perhatian khusus pada limitasinya terhadap pasien
diabetes. Nilai ABI yang lebih dari 1,2 bisa sekunder terhadap kalsinosis
pembuluh darah dan ABI bisa menjadi false negative pada pasien diabetes dengan
stenosis aortoiliaka (7). Berikut merupakan table hasil interpretasi ABI :

Metabolic control
Keadaan umum pasien harus diperhatikan dan diperbaiki. Kadar glukosa
darah diusahakan agar selalu senormal mungkin, untuk memperbaiki berbagai
faktor terkait hiperglikemia yang dapat menghambat penyembuhan luka.
Umumnya diperlukan insulin untuk menormalisasi kadar gula darah. Status nutrisi

47
harus diperhatikan dan diperbaiki. Nutrisi yang baik akan membantu kesembuhan
luka.
Educational control
Edukasi sangat penting untuk semua tahap pengelolaan kaki diabetik.
Dengan penyuluhan yang baik, penyandang DM dan ulkus/gangren diabetic
maupun keluarganya diharapkan akan dapat membantu dan mendukung berbagai
tindakan yang diperlukan untuk kesembuhan luka yang optimal.

Revaskularisasi
Jika kemungkinan kesembuhan luka rendah atau kondisi klaudikasio
intermitten hebat, maka tindakan revaskularisasi dapat dianjurkan. Sebelum
tindakan, diperlukan pemeriksaan arteriografi. Untuk oklusi panjang dianjurkan
operasi bedah pintas terbuka. Untuk oklusi pendek dapat dipikirkan prosedur
endovaskular. Pada keadaan sumbatan akut dapat dilakukan tromboarterektomi,
dengan berbagai teknik bedah tersebut, vaskularisasi daerah distal dapat
diperbaiki, sehingga pengelolaan ulkus diharapkan lebih baik. Terapi hiperbarik
dilaporkan juga bermanfaat memperbaiki vaskularisasi dan oksigenisasi jaringan
luka pada kaki diabetes sebagai terapi adjuvan. Masih banyak kendala untuk
menerapkan terapi hiperbarik secara rutin pada pengelolaan umum kaki diabetes.

Terapi Farmakologis
Jika mengacu pada berbagai penelitian aterosklerosis (jantung, otak), obat
seperti aspirin yang dikatakan bermanfaat, akan bermanfaat pula untuk kaki DM.
Namun, sampai saat ini belum ada bukti kuat untuk menganjurkan pemakaian obat
secara rutin guna memperbaiki patensi pembuluh darah kaki penyandang DM.

48
BAB III
STATUS PASIEN
3.1 Identitas Pasien
Nama : Ny. S
Jenis Kelamin : Perempuan
Umur : 59 Tahun
Alamat : Jl. Tirai
Agama : Islam
3.2 Anamnesis
Keluhan Utama: Pasien datang dengan keluhan bengkak dan nyeri pada
kaki kiri sejak 5 hari SMRS
Riwayat Penyakit Sekarang:
• Pasien datang dengan keluhan bengkak dan nyeri pada kaki sejak 5 hari
SMRS, bengkak disertai nyeri dirasakan setelah terjatuh di selokan 7 hari
yang lalu, nyeri dirasakan berdenyut dan sangat nyeri ketika dibawa
berjalan
• Pasien juga mengeluhkan demam sejak 7 hari yang lalu, tapi sudah reda
sejak 4 hari yang lalu.
• Mengeluhkan sering BAK > 10 kali sehari, sering haus, sering lapar, berat
badan menurun
• Mengeluhkan badan lemas terus menerus sejak 1 minggu
• Mengeluhkan sakit kepala sejak 5 hari hilang timbul
Riwayat Penyakit Dahulu:
• Riwayat penyakit diabetes mellitus sejak 1 tahun yang lalu
• Riwayat Pengobatan:
Pasien pernah minum obat diabetes, tetapi sudah tidak pernah minum lagi
sejak 6 bulan yang lalu karena BPJS mati.
Riwayat Penyakit Keluarga:
Pasien tidak mengetahui keluarganya memiliki riwayat dm atau tidak.
Riwayat Pekerjaan, Ekonomi, Kejiwaan, dan Kebiasaan:
pasien tidak merokok
pasien tidak minum alkohol pasien makan sehari hari 3 kali sehari
pasien tinggal sendirian dan sehari hari bekerja sebagai tukang
pijat.

49
3.3 Pemeriksaan Tanda Vital
• Keadaan Umum : Tampak sakit sedang
• Kesadaran : somnolen
• Tinggi Badan : 150 cm
• Berat Badan : 40kg
• Status Gizi : 17,8 ( Underweight)
• Tekanan Darah : 120/80 mmHg
• Denyut Nadi : 95 kali/menit
• Suhu Tubuh : 36 0c
• Frekuensi Nafas : 24 kali/menit
• SPO2 : 97%

3.4 Pemeriksaan Fisik Diagnostik


a. Status Lokalis

b. Pemeriksaan Kepala
Ukuran dan bentuk : Normal
Simetris Wajah : Simetris
Rambut : Putih
c. Pemeriksaan Mata
Kelopak/Palpebra : Ptosis (-/-), Edem (-/-)
Konjungtiva : Anemis (+/+)
Skelra : Ikterik (-)
Kornea : Jernih
Pupil : Isokor

d. Pemeriksaan Leher
• Inspeksi :Otot-oto leher simetris, tidak terlihat kemerahan
dan pembengkakan
• Palpasi : tidak teraba pembesaran
KGB
• Pemeriksaan Trakea : tidak deviasi

50
• Pemeriksaan Kelenjar Tiroid : tidak teraba pembesaran
kelenjar tiroid
• Pemeriksaan JVP : 5+2 cmH2O
e. Pemeriksaan Thorak Anterior
• Inspeksi :
 Statis (normochest, pembengkakan
(-), spidernevi (-)
 Dinamis (gerakan napas simetris)
• Palpasi : Fremitus taktil melemah pada basal
paru dextra
• Perkusi : Redup pada basal paru dextra
• Auskultasi : Vesikuler, wheezing(-/-), ronki(-/-)
Posterior
• Inspeksi :Normochest, gerakan napas simetris
• Palpasi :Fremitus taktil simetris kanan dan kiri
• Perkusi :Sonor diseluruh lapang paru
• Auskultasi :Vesikuler, wheezing (-/-), ronki (-/-)
Jantung
• Inspeks : ictus cordis tidak terlihat
• Palpasi :ictus cordis tidak teraba
• Perkusi :
o Batas atas : ICS III parasternalis sinistra
o Batas kanan : ICS IV parasternalis dextra
o Batas kiri :ICS V diantara linea midclavicula
sinistra dengan linea axillaris anterior sinistra
• Auskultasi : S1, S2, reguler, murmur (-), gallop (-)`

f. Pemeriksaan Abdomen
• Inspeksi : tidak tampak kemerahan,
buncit (-)
• Auskulatsi : bising usus (+)
• Perkusi : timpani 4 kuadran

51
• Palpasi : nyeri tekan epigastrium (+)
• Pemeriksaan ginjal : ballotement (-)
• Pemeriksaan nyeri CVA : nyeri ketok ginjal (-/-)
• Pemeriksaan hepar : hepar tidak teraba
• Pemeriksaan lien : lien tidak teraba
• Pemeriksaan asites : tidak terdapat asites

g. Pemeriksaan Ekstremitas

Ekstremitas atas
CRT : kurang dari 2 detik
Kekuatan : Normal di kedua lengan
Ekstremitas bawah
Sianosis : (-/-)
Kulit : Kemerahan dan bengkak pada
tungkai kiri

Edem : (+/-)
Kekuatan : Normal di kedua tungkai

52
3.3 Resume Pemeriksaan Fisik
Ny.s usia 59 tahun datang ke RSUD Kota Dumai dengan Pasien datang
dengan keluhan bengkak dan nyeri pada kaki sejak 5 hari SMRS. dari hasil
pemeriksaan tanda-tanda vital didapatkan semua tanda-tanda vital dalam batas
normal. Pada pemeriksaan fisik di dapatkan konjungtiva anemis pada kedua mata,
dan tampak pembengkakan dan tanda tanda peradangan pada tungkai kiri pasien.
.

3.6 Pemeriksaan Penunjang


Pada pasien dilakukan pemeriksaan penunjang yaitu:
Parameter Hasil Satuan Nilai Rujukan
Hematologi
Hemoglobin (HB) 8,1 gr/dL 14-17
Jumlah Leukosit 6.700 mm3 4.000-11.000
Jumlah Trombosit 132.000 mm3 150.000-450.000
HJL: Eosinofil 0 % 0-5
HJL: Basofil 0 % 0-2
HJL: Netrofil Batang 0 % 2-6
HJL: Netrofil Segment 74 % 50-70
HJL: Limfosit 18 % 20-40
HJL: Monosit 8 % 2-8
Jumlah Eritrosit 2.540.000 mm3 4.200.000-6.100.000
MCV 83 Fl 80-100
MCH 31 Fg 27-32
MCHC 38 % 32-36
Hematokrit 21% % 36-52
Pemeriksaan Gula Darah
KGD ad Random 511 mg/Dl <140
Faal ginjal
Ureum 62 mg/Dl 20-40
Kreatinin 1,4 mg/Dl 0,5-1,2
Elektrolit/Gas Darah

53
Natrium 120 mmol/L 125-149
Kalium 5,0 mmol/L 3,35-4,01
Chlorida 83 mmol/L 80,5-96,1

3.7 Diagnosis
A. Diagnosis Kerja Primer
- Selulitis pedis sinistra

B. Diagnosis Kerja Sekunder


- Dm tipe II
C. Diagnosis Banding
- Dermatitis Kontak

3.8 Tindakan Terapi


A. Terapi Non-Farmakologi
- Edukasi tentang penyakit yang diderita pasien kepada pasien dan
keluarga mengenai: penyebab penyakit, perjalanan perjalanan
penyakit, penyakit perawatan, prognosis, komplikasi serta usaha
pencegahan komplikasi
- Edukasi mengenai perawatan kaki
- Diet ML , DM II 1500 kal/hari
- WT/hari
B. Farmakologi
- IVFD Hidromal/8 jam
- Inj. Meropenem 3x1 ceftriaxone
- Inj. Omeprazol 2x1 Amp
- Apidra 3x 8u
- Fe.asam folat 3x1
- Bicnat 3x1

54
Planing:
- Pemeriksaan HbA1c
- Konsul ke spesialis bedah

3.9 Rencana Diagnostik / Tindak Lanjut


1. EKG

2. Foto Thoraks

Hasil EKG
• Irama sinus : normal sinus
• Heart rate reguler 110 kali per menit
• Axis normal
• Normal interval PR
• Normal QRS
• St Elevasi

55
Rontgent

Hasil
 Thorax : Cardiomegali, Bronkhopmeumonia dekstra
 Ankle joint : Susp.Ftaktur inkomplit os thalus sinistra

56
Follow Up
Tanggal Subjektif Objektif Assesment Penatalaksanaan
30 • Mengeluhkan nyeri TD : 150/70 - Selulitis - Diet Dm 1500 kcal
November pada kaki, Nadi :95x/ menit - DM tipe II - IUVD Nacl 0.9% 15
2022 berdenyut Rr :22x/menit - HT stage 1 tpm
• Sakit kepala T :36 - Inj. Ceftriaxon 1x1 gr
• Badan lemas Gdr:551 mg/dl - Drip metrinidazol 3x1
- Fe asam folat 3x1
- Novarapid 10 unit
1 Desember Nyeri pada kaki TD : 120/80 - Selulitis - Manajemen nyeri
2022 Nadi :80 x/menit - DM tipe II - Jaga personal hygine
Rr :23x/menit - Kompres Nacl 0,9%
T :36,6 - Diet 1500 kcal
Gdr:481 mg/dl

2 Desember • Nyeri pada kaki TD : 130/70 - Selulitis - Manajemen nyeri


2022 • Badan lemas Nadi :80 x/menit - DM tipe II - Jaga personal hygine
Rr :22x/menit - Kompres Nacl 0,9%
T :36,5 - Diet 1500 kcal
Gdr:320 mg/dl - Transfusi 1 kolf

3 Desember • Nyeri pada kaki TD : 120/80 - Selulitis - Manajemen nyeri


2022 Nadi :80 x/menit - DM tipe II - Jaga personal hygine
Rr :22x/menit
T :36,5
Gdr:317 mg/dl

4 Desember Tidak ada keluhan TD : 120/80 - Selulitis - Manajemen nyeri


2022 Nadi :80 x/menit - Jaga personal hygine
- DM tipe II
Rr :22x/menit
T :36,5

57
BAB IV
PEMBAHASAN
Pasien datang dengan keluhan bengkak dan nyeri pada kaki sejak 5 hari
SMRS, bengkak disertai nyeri dirasakan setelah terjatuh di selokan 7 hari yang
lalu, nyeri dirasakan berdenyut dan sangat nyeri ketika dibawa berjalan, Pasien
juga mengeluhkan demam sejak 7 hari yang lalu, tapi sudah reda sejak 4 hari yang
lalu. Mengeluhkan sering BAK > 10 kali sehari, sering haus, sering lapar, berat
badan menurun. Mengeluhkan badan lemas terus menerus sejak 1 minggu
Mengeluhkan sakit kepala sejak 5 hari hilang timbul
Berdasarkan teori diagnosis pasien dapat ditegakkan yaitu selulitis karena
Diagnosis selulitis ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan klinis.
Pada pemeriksaan klinis selulitis ditemukan makula eritematous, tepi tidak
meninggi, batas tidak jelas, edema, infiltrat dan teraba panas, dapat disertai
limfangitis dan limfadenitis. Penderita biasanya demam dan dapat menjadi
septikemia. Pasien juga mengeluhkan badan terasa lemas sejak1 minggu yang lalu.
Mengeluhkan sering BAK > 10 kali sehari, sering haus, sering lapar, berat badan
menurun adanya gejala lain, mengeluhkan badan lemas terus menerus demam
yang hilang-timbul. Mengeluhkan sakit kepala sejak 5 hari hilang timbul, untuk
hasil GDR pasien 551 gr/dl saat diperiksa rumash sakit. Dari hasil anamnesis,
pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang dapat disimpulkan bahwa pasien
didiagnosis dengan ulkus diabetik dengan DM tipe II.
Pada riwayat penyakit dahulu pasien memiliki riwayat DM ± 5 tahun yang
lalu, pasien jarang mengkonsumsi obat DM namun pasien ada minum obat tapi
pasien lupa nama obatnya,obat diminum sebelum makan 1 x sehari. Pasien juga
mengeluhkan sering BAK, sering merasa haus, sering merasa lapar, dan
merasakan adanya penurunan BB yang tidak diketahui penyebabnya, pasien juga
merasakan badan lemas sejak 1 minggu yang lalu diseluruh badan, untuk GDR
pasien ketika di IGD ditemukan 551 gr/dl. Dimana sesuai dengan teori adanya
gejala klasik DM + glukosa plasma sewaktu > 200 mg/dL (11,1 mmol/L) Glukosa
plasma sewaktu merupakan hasil pemeriksaan sesaat pada suatu hari tanpa
memperlihatkan waktu makan terakhir. Pasien tidak pernah dirawat di rumah sakit

58
sebelumnya. Berdasarkan keluhan yang dialami pasien dapat ditegakkan diagnosis
DM Tipe II.
Diagnosa banding pada pasien ini adalah dermatitis kontak untuk selulitis
karena pasien mengeluhkan rasa nyeri kaki, kemerahan. Namun menurut teori
dermatitis kontak didapati riwayat kontak zat iritan pada dermatitis kontak
iritan dan mempunyai riwayat atopic pada dermatitis kontak atopik, pada
pasien menyangkal jadi diagnosis dapat disingkirkan. Lalu didiagnosa banding
dengan kasus krisis hiperglikemi yakni ketoasidosis metabolik (KAD) karena
ditemukan GDR pasien 511 Gr/dl dimana untuk KAD yang ditandai dengan
peningkatan kadar glukosa darah yang tinggi (300 - 600 mg/dL), disertai tanda
dan gejala asidosis dan plasma keton (+) kuat. Osmolaritas plasma meningkat
(300 - 320 mOs/mL) dan peningkatan anion gap. Diagnosis ini dapat
disingkirkan karena pada pasien tidak ada dan gejala asidosis dan plasma keton
(+) kuat. Osmolaritas plasma meningkat (300 - 320 mOs/mL) dan peningkatan
anion gap.
Terapi untuk DM tipe 2 pada kasus ini adalah insulin, Sasaran pertama
terapi hiperglikemia adalah mengendalikan glukosa darah basal (puasa/sebelum
makan). Hal ini dapat dicapai dengan terapi oral maupun insulin. Insulin yang
dipergunakan untuk mencapai sasaran glukosa darah basal adalah insulin basal
(insulin kerja sedang, panjang atau ultrapanjang).

59
DAFTAR PUSTAKA

1. Pedoman Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2 Dewasa di


Indonesia. PERKENI. 2021, Perkumpulan Endokrinologi Indoneisa.
2. Tjokroprawiro, Askandar and Murti, Sri. Ilmu Penyakit Dalam FK UI Terapi
NonFarmakologi pada Diabetes Melitus. Jakarta : Interna Publishing, 2017.
3. Djuanda, Adhi. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi ketujuh. Jakarta: Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia.2018
4. Fitzpatrick, Thomas B. Dermatology in General Medicine, seventh edition. New
York: McGrawHill: 2018
5. Pandaleke, HEJ. Erisipelas dan selulitis. Fakultas kedokteran Universitas
Samratulangi; Manado. Cermin Dunia Kedokteran No. 117, 2017
6. Herchline TE. 2019. Cellulitis. Wright State University, Ohio, United State of
America. Morris, AD. 2018. Cellulitis and erysipelas. University Hospital of Wales,
Cardiff, UK. 1708
7. Concheiro J, Loureiro M, González-Vilas D, et al. 2019. Erysipelas and cellulitis: a
retrospective study of 122 cases. 100(10): 888-94
8. Wolff K, Johnson RA, Fitspatricks: color atlas and synopsis of clinically
dermatology. New York: McGrawHill. 2018
9. Eron LJ. 2017. Cellulitis and Soft-Tissue Infections. American College of Physicians.
10. Kertowigno S. 2017. 10 Besar Kelompok Penyakit Kulit. Unsri press, Palembang,
Indonesia, hal: 146-149
11. Swartz MN. 2019. Cellulitis. New England Journal of Medicine. 350:904-12
12. McNamara DR, Tleyjeh IM, Berbari EF, et al. 2017. Incidence of lower extremity
cellulitis: a population based stud in Olmsted county, Minnesota. 82(7):817-21
13. Arnold HL, Odom RB, James WD. Andrew’s Disieases of the Skin, Clinical
Dermatology 8th. Philadelphia, London, Toronto: WB saunders Co, 2017- 27778
14. Isselbacher, Baraundwald, Wilson. 2019. Harrison’s Principles of Internal Medicine,
Internasional edition. Mcgraw Hill Book Co, Singapore

54

Anda mungkin juga menyukai

  • STUNTING
    STUNTING
    Dokumen17 halaman
    STUNTING
    Almamira Oktarama
    Belum ada peringkat
  • Translate Jurding 2
    Translate Jurding 2
    Dokumen15 halaman
    Translate Jurding 2
    Almamira Oktarama
    Belum ada peringkat
  • REFERAT
    REFERAT
    Dokumen24 halaman
    REFERAT
    Almamira Oktarama
    Belum ada peringkat
  • Jurding Obgyn
    Jurding Obgyn
    Dokumen17 halaman
    Jurding Obgyn
    Almamira Oktarama
    Belum ada peringkat
  • Journal Reading 2 Almamira Oktarama
    Journal Reading 2 Almamira Oktarama
    Dokumen29 halaman
    Journal Reading 2 Almamira Oktarama
    Almamira Oktarama
    Belum ada peringkat
  • Jurnal Obgyn Viola
    Jurnal Obgyn Viola
    Dokumen17 halaman
    Jurnal Obgyn Viola
    Almamira Oktarama
    Belum ada peringkat
  • Journal Reading Obgyn Prayoga Eko
    Journal Reading Obgyn Prayoga Eko
    Dokumen12 halaman
    Journal Reading Obgyn Prayoga Eko
    Almamira Oktarama
    Belum ada peringkat
  • Salinan Isi 2
    Salinan Isi 2
    Dokumen10 halaman
    Salinan Isi 2
    Almamira Oktarama
    Belum ada peringkat
  • Output Peran
    Output Peran
    Dokumen14 halaman
    Output Peran
    Almamira Oktarama
    Belum ada peringkat
  • Pertanyaan
    Pertanyaan
    Dokumen4 halaman
    Pertanyaan
    Almamira Oktarama
    Belum ada peringkat
  • 1
    1
    Dokumen2 halaman
    1
    Almamira Oktarama
    Belum ada peringkat
  • Presentasi Referat
    Presentasi Referat
    Dokumen4 halaman
    Presentasi Referat
    Almamira Oktarama
    Belum ada peringkat
  • Keratitis
    Keratitis
    Dokumen5 halaman
    Keratitis
    Almamira Oktarama
    Belum ada peringkat