Anda di halaman 1dari 12

MENGANALISIS 3 MASALAH KEBIDANAN YANG ADA

DI SEKITAR TEMPAT TINGGAL

Disusun untuk Memenuhi Tugas

Mata Kuliah : Kebidanan Berbasis Bukti

Dosen Pengampu : Yuni Sulistiawati, S.ST, M.tr.Keb

Oleh :

Layli Uswatun Hasanah (210107015P)

FAKULTAS KESEHATAN
PROGRAM STUDI KEBIDANAN PROGRAM S1 KONVERSI
UNIVERSITAS AISYAH PRINGSEWU LAMPUNG
TAHUN 2021
3 MASALAH KEBIDANAN YANG ADA
DI SEKITAR TEMPAT TINGGAL

1. BALITA STUNTING
A. pengertian
Pengertian stunting Balita pendek ( Stunting) adalah masalah kurang gizi
kronis yang disebabkan oleh asupan gizi yang kurang dalam waktu cukup lama
akibat pemberian makanan yang tidak sesuai dengan kebutuhan gizi. Stunting dapat
terjadi mulai janin dalam kandungan dan baru nampak saat anak berusia dua tahun.
(Eko Putro sandjojo,2017 ).
Stunting adalah status gizi yang didasarkan pada indeks PB / U atau TB / U dimana
dalam standar antropometri penilaian status gizi anak, hasil pengukuran tersebut ada
pada ambang batas (Z – Score ) < 2 SD sampai dengan – 3 SD ( pendek / stunted )
dan < -3 SD ( sangat pendek/ severely stunted ) (Trihono,dkk, 2015 ).
Prevalensi stunting mulai meningkat pada usia 3 bulan, kemudian proses
stunting melambat pada saat anak berusia sekitar 3 tahun. Terdapat perbedaan
interpretasi kejadian stunting diantara kedua kelompok usia anak. Pada anak yang
berusia di bawah 2-3 tahun, menggambarkan proses gagal bertumbuh atau stunting
yang masih sedang berlangsung/terjadi. Sementara pada anak yang berusia lebih dari
3 tahun, menggambarkan keadaan dimana anak tersebut telah mengalami kegagalan
pertumbuhan atau telah menjadi stunted (Sandra Fikawati dkk, 2017).
Berbagai ahli menurut Wamani et al, dalam Sandra Fikawati dkk (2017)
menyatakan bahwa stunting merupakan dampak dari berbagai faktor seperti Berat
lahir yang rendah, stimulasi dan 7 pengasuhan anak yang kurang tepat asupan nutrisi
kurang dan infeksi berulang serta berbagai faktor lingkungan lainnya.
B. Etiologi
Etiologi Pertumbuhan manusia merupakan hasil interaksi antara faktor
genetik, hormon, zat gizi dan energi dengan faktor lingkungan. Proses
pertumbuhan manusia merupakan fenomena yang kompleks yang
berlangsung selama kurang lebih 20 tahun lamanya, mulai dari kandungan
sampai remaja yang merupakan hasil interaksi faktor genetik dan lingkungan.
Pada masa anakanak, penambahan tinggi badan pada tahun pertama
kehidupan merupakan yang paling cepat dibandingkan periode waktu
setelahnya. Pada usia 1 tahun, anak akan mengalami peningkatan tinggi badan
sampai 50 % dari panjang badan lahir, kemudian tinggi badan tersebut akan
meningkat 2 kali lipat pada usia 4 tahun dan tiga kali lipat pada usia 13 tahun
( sandra Fikawati dkk, 2017).
C. epidemiologi
Epidemiologi Diperkirakan dari 171 juta anak stunting di seluruh dunia , 167
juta anak ( 98 % ) hidup di negara berkembang. UNICEF menyatakan pada tahun
2011, ada 1 dari 4 anak mengalami stunting. Selanjutnya, diprediksi akan ada 127 juta
anak dibawah 5 tahun yang stunting, pada tahun 2025 nanti jika tren sekarang terus
berlanjut, WHO mimiliki target global untuk menurunkan angka stunting balita
sebesar 40 % pada tahun 2025 (UNICEF , 2013 ). Di Indonesia, saat ini stunting
menjadi permasalahan kesehatan dengan prevalensi nasional sebesar 20,1 %
( Pemantauan status gizi ,2017 ). Dari 10 orang anak sekitar 3-4 orang anak
mengalami stunting ( zahraini, 2013 ). Indonesia adalah salah satu dari 3 negara
dengan prevalensi stunting tertinggi di Asia Tenggara. Penurunan angka kejadian
stunting di Indonesia tidak begitu signifikan jika dibandingkan dengan Myanmar,
Kamboja dan Vietnam ( Trihono dkk,2015 ).
D. Dampak stunting
Dampak Stunting merupakan malnutrisi kronis yang terjadi di dalam rahim
dan selama 2 tahun kehidupan anak dapat mengakibatkan rendahnya intelegensi dan
turunnya kapasitas fisik yang pada akhirnya menyebabkan penurunan produktifitas,
perlambatan pertumbuhan ekonomi, dan perpanjangan kemiskinan. Selain itu,
stunting juga dapat berdampak pada sistem kekebalan tubuh yang lemah dan
kerentanan terhadap penyakit kronisseperti diabetes militus, penyakit jantung,dan
kanker serta gangguan reproduksi maternal di masa dewasa. Proses stunting
disebabkan oleh asupan zat gizi yang kurang dan infeksi yang berulang yang
berakibat pada terlambatnya perkembangan fungsi kognitif dan kerusakan kognitif
permanen. Pada wanita, stunting dapat berdampak pada perkembangan dan
pertumbuhan janin saat kehamilan, terhambatnya proses melahirkan serta
meningkatkan resiko kepada gangguan metabolisme dan penyakit kronis saat anak
tumbuh dewasa ( Sandra Fikawati dkk, 2017 ).
E. Faktor-faktor yang mempengaruhi stunting
Faktor-faktor yang mempengaruhi Stunting Stunting disebabkan oleh faktor
multi dimensi dan tidak hanya disebabkan oleh faktor gizi buruk yang dialami oleh
ibu hamil maupun anak balita. Secara lebih detail, beberapa faktor yang
mempengaruhi kejadian stunting dapat digambarkan sebagai berikut :
a. Faktor langsung
1) Faktor ibu Faktor ibu dapat dikarenakan nutrisi yang buruk selama
prekonsepsi, 10 kehamilan, dan laktasi. Selain itu juga dipengaruhi perawakan ibu
seperti usia ibu terlalu muda atau terlalu tua, pendek, infeksi, kehamilan muda,
kesehatan jiwa,BBLR, IUGR dan persalinan prematur, jarak persalinan yang dekat
dan hipertensi ( Sandra Fikawati dkk,2017 ).
2) Faktor Genetik Faktor genetik merupakan modal dasar mencapai hasil
proses pertumbuhan. Melalui genetik yang berada dalam sel telur yang telah dibuahi,
dapat ditentukan kualitas dan kuantitas pertumbuhan. Derajat sensitivitas jaringan
terhadap rangsangan, umur pubertas danberhentinya pertumbuhan tulang (Narsikhah,
2012). Menurut Amigo et al, dalam Narsikhah (2012) salah satu atau kedua orang tua
yang pendek akibat kondisi patologi ( seperti defisiensi hormon pertumbuhan )
memiliki gen dalam kromosom yang membawa sifat pendek sehingga memperbesar
peluang anak mewarisi gen tersebut dan tumbuh menjadi stunting. Akan tetapi, bila
orang tua pendek akibat kekurangan zat gizi atau penyakit, kemungkinan anak dapat
tumbuh dengan tinggi badan normal selama anak tersebut tidak terpapar faktor resiko
yang lain.
3) Asupan Makanan Kualitas makanan yang buruk meliputi kualitas
micronutrien yang buruk, kurangnya keragaman dan asupan pangan yang bersumber
dari pangan hewani, kandungan tidak bergizi, dan rendahnya kandungan energi pada
complementary foods. Praktik pemberian 11 makanan yang tidak memadai, meliputi
pemberian makanan yang jarang, pemberian makanan yang tidak adekuat selama dan
setelah sakit, konsistensi pangan yang terlalu ringan, kuantitas pangan yang tidak
mencukupi, pemberian makan yang tidak berespon. Bukti menunjukan keragaman
diet yang lebih bervariasi dan konsumsi makanan dari sumber hewani terkait dengan
pertumbuhan linier. Analisa terbaru menunjukan bahwa rumah tangga yang
menerapkan diet yang beragam, termasuk diet yang diperkaya nutrisi pelengkap, akan
meningkatkan asupan gizi dan mengurangi resiko stunting ( Sandra fikawati dkk,
2017 ).
4) Pemberian ASI Eksklusif Masalah-masalah tekait praktik pemberian ASI
meliputi delayed Initiation, tidak menerapkan ASI Eksklusif, dan penghentian dini
konsumsi ASI. Sebuah penelitian membuktikan bahwa menunda inisiasi menyusu
( delayed initiation ) akan meningkatkan kematian bayi. ASI Eksklusif adalah
pemberian ASI tanpa suplementasi makanan maupun minuman lain, baik berupa air
putih, jus, ataupun susu selain ASI. Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI)
merekomendasikan pemberian ASI Eksklusif selama 6 bulan pertama untuk mencapai
tumbuh kembang yang optimal. Setelah 6 bulan, bayi mendapat makanan pendamping
yang adekuat sedangkan ASI dilanjutkan sampai usia 24 bulan. Menyusui yang
berkelanjutan selama dua tahun memberikan kontribusi signifikan terhadap asupan
nutrisi penting pada bayi ( Sandra fikawati dkk, 2017).
b. Faktor infeksi
Beberapa contoh infeksi yang sering dialami yaitu infeksi entrik seperti diare,
enteropati,dan cacing, dapat juga disebabkan oleh infeksi pernapasan ( ISPA),
malaria, berkurangnya nafsu makan akibat serangan infeksi dan inflamasi. Penyakit
infeksi akan berdampak pada gangguan masalah gizi. Infeksi klinis menyebabkan
lambatnya pertumbuhan dan perkembangan, sedangkan anak yang memiliki riwayat
penyakit infeksi memiliki peluang mengalami stunting ( picauly & Toy, 2013 ).
c. Faktor tidak langsung
1) Faktor sosial ekonomi Status ekonomi yang rendah dianggap memiliki
dampak yang signifikan terhadap anak menjadi kurus dan pendek (UNICEF, 2013 ).
Menurut Bishwakarma dalam khoiron dkk (2015),status ekonomi yang rendah akan
mempengaruhi pemilihan makanan yang dikonsumsinya sehingga biasanya menjadi
kurang bervariasi dan sedikit jumlahnya terutama pada bahan pangan yang berfungsi
untuk pertumbuhan anak seperti sumber protein, vitamin dan mineral sehingga
meningkatkan resiko kekurangan gizi.
2) Tingkat Pendidikan Menurut Delmi Sulastri (2012), pendidikan ibu yang
rendah dapat mempengaruhi pola asuh dan perawatan anak. Selain itu juga
berpengaruh dalam pemilihan dan cara penyajian makanan yang akan dikonsumsi
oleh anaknya.Penyediaan bahan dan menu makan yang tepat untuk balita dalam upaya
peningkatan status gizi akan dapat 13 terwujud bila ibu mempunyai tingkat
pengetahuan gizi yang baik. Ibu dengan pendidikan rendah antara lain akan sulit
menyerap informasi gizi sehingga anak dapat beresiko mengalami stunting.
3) Pengetahuan Gizi ibu Menurut delmi Sulastri (2012) menjelaskan bahwa
pengetahuan gizi yang rendah dapat menghambat usaha perbaikan gizi yang baik pada
keluarga maupun masyarakat sadar gizi artinya tidak hanya mengetahui gizi tetapi
harus mengerti dan mau berbuat. Tingkat pengetahuan yang dimiliki oleh seseorang
tentang kebutuhan akan zat-zat gizi berpengaruh terhadap jumlah dan jenis bahan
makanan yang dikonsumsi. Penetahuan gizi merupakan salah satu faktor yang dapat
berpengaruh terhadap konsumsi pangan dan status gizi. Ibu yang cukup pengetahuan
gizinya akan memperhatikan kebutuhan gizi anaknya agar dapat tumbuh dan
berkembang secara optimal.
f. Preventif
Preventif untuk menurunkan angka kejadian stunting seharusnya dimulai
sebelum kelahiran melalui perinatal care dan gizi ibu, kemudian 14 preventif tersebut
dilanjutkan sampai anak berusia dua tahun. Periode kritis dalam mencegah stunting
dimulai sejak janin sampai anak berusia 2 tahun yang biasa disebut dengan periode
1.000 hari pertama kehidupan. Intervensi berbasis evidence diperlukan untuk
menurunkan anka kejadian stunting di Indonesia. Gizi maternal perlu diperhatikan
melalui monitoring status gizi ibu selama kehamilan melalui ANC serta pemantauan
dan perbaikan gizi anak setelah kelahiran, juga diperlukan perhatian khusus terhadap
gizi ibu menyusui. Pencegahan kurang gizi pada ibu dan anak merupakan investasi
jangka panjang yang dapat memberi dampak baik pada generasi sekarang dan
generasi selanjutnya. ( Sandra fikawati dkk, 2017 ). Pada tahun 2012, Pemerintah
Indonesia bergabung dalam gerakan global yang dikenal dengan scaling –Up
Nutrition ( SUN) melalui rancangan dua kerangka besar intervensi stunting. Kerangka
intervensi stunting yang dilakukan oleh Pemerintah Indonesia terbagi menjadi dua,
yaitu intervensi Gizi Spesifik dan Intervensi Gizi Sensitif ( TNP2K, 2017 ).
a. Kerangka intervensi Gisi Spesifik Kerangka ini merupakan intervensi yang
ditujukan kepada anak dalam 1.000 hari Pertama Kehidupan (HPK ) dan berkontribusi
pada 30 % penurunan stunting. Kerangka kegiatan intervensi gizi spesifik umumnya
dilakukan pada sektor kesehatan. Intervensi ini juga bersifat jangka pendek dimana
hasilnya dapat dicatat dalam waktu relatif pendek. Kegiatan yang idealnya dilakukan
untuk melaksanaka intervensi gizi spesifik dapat dibagi menjadi beberapa intervensi
utama yang dimulai dari masa kehamilan ibu hingga melahirkan balita sebagai berikut
1) Intervensi gizi spesifik dengan sasaran ibu hamil. Intervensi ini meliputi
kegiatan memberikan makanan tambahan ( PMT ) pada ibu hamil untuk mengatasi
kekurangan energi dan protein kronis, mengatasi kekurangan zat besi dan asam folat,
mengatasi kekurangan iodium, menanggulangi kecacingan pada ibu hamil serta
melindungi ibu hamil dari Malaria.
2) Intervensi gizi spesifik dengan sasaran ibu menyusui dan anak usia 0-6
bulan. Intervensi ini dilakukan melalui beberapa kegiatan yang mendorong inisiasi
menyusui dini / IMD terutama pemberian ASI jolong / colostrum serta mendorong
pemberian ASI Eksklusif.
3) Intervensi gizi spesifik dengan sasaran ibu menyusui dan anak usia 2-23
bulan. Intervensi ini meliputi kegiatan untuk mendorong penerusan pemberian ASI
hingga anak / bayi berusia 23 bulan. Kemudian setelah bayi berusia diatas 6 bulan
didampingi oleh pemberian MP-ASI, menyediakan obat cacing, menyediakan
suplementasi zink, melakukan fortifikasi zat besi ke dalam makanan, memberikan
perlindungan terhadap malaria, memberikan imunisasi lengkap, serta melakukan
pencegahan dan pengobatan diare ( TNP2K, 2017).

2. IBU HAMIL KEK


1. Kehamilan
a. Pengertian
Ibu hamil adalah seorang wanita yang mengandung dimulai dari fertilisasi
sampai lahirnya janin. Bila dihitung, usia kehamilan normal dari fertilisasi sampai
dengan lahirnya bayi kurang lebih 40 minggu atau 10 bulan lunar atau 9 bulan
menurut kalender internasional (Prawirohardjo, 2014 : 213).
Kehamilan terbagi dalam 3 trimester, trimester I berlangsung selama 12
minggu, trimester II berlangsung selama 15 minggu dan trimester III berlangsung 13
minggu (Prawirohardjo, 2014).
Kehamilan adalah masa seorang perempuan telah terhenti dari haid untuk
beberapa waktu hingga proses kelahiran usai. Hal tersebut umumnya terjadi selama
kurang lebih sembilan bulan, atau 40 minggu, atau 280 hari. Sedangkan kehamilan
normal akan akan berlangsung selama 38 sampai 40 minggu.
Proses kehamilan dibagi atas tiga fase, yaitu:
1) Trimester pertama (0-3 bulan atau 0-12 minggu);
2) Trimester kedua (4-6 bulan atau 12-28 minggu);
3) Trimester ketiga (7-9 bulan atau 28-40 minggu).
(Istiani & Rusilanti, 2013).

a. Pengertian KEK
Risiko Kurang Energi Kronis Risiko Kurang Energi Kronis merupakan
suatu manifestasi masalah gizi makro bila terjadi pada wanita usia subur
dan ibu hamil. Masalah gizi makro adalah masalah yang utamanya
disebabkan kekurangan atau ketidakseimbangan asupan energi dan protein
(Alamsyah, 2013).
Kekurangan Energi Kronis (KEK) adalah keadaan dimana remaja
putri/wanita mengalami kekurangan gizi (kalori dan protein) yang
berlangsung lama atau menahun. Risiko Kekurangan Energi Kronis (KEK)
adalah keadaan dimana remaja putri/wanita mempunyai kecenderungan
menderita KEK.
Seseorang dikatakan mderita risiko KEK bilamana LILA < 23,5 cm
dan dengan salah satu atau beberapa kriteria sebagai berikut :
1) Berat badan ibu sebelum hamil < 42 kg.
2) Tinggi badan ibu < 145 cm.
3) Berat badan ibu pada kehamilan trimester III < 45 kg.
4) Indeks masa tubuh (IMT) sebelum hamil < 17,0.
5) Ibu menderita anemia (Hb < 11 gr %) . (Weni, 2010).

Ambang batas LILA WUS dengan risiko KEK di Indonesia adalah


23,5 cm. Apabila ukuran LILA kurang dari 23,5 cm atau dibagian
merah pita LILA, artinya wanita tersebut mempunyai risiko KEK.
Hasil pengukuran Lingkar Lengan Atas (LILA) ada dua kemungkinan
yaitu kurang dari 23,5 cm dan diatas atau sama dengan 23,5 cm.
Apabila hasil pengukuran < 23,5 cm berarti risiko Kekurangan Energi
Kronis dan ≥ 23,5 cm berarti tidak berisiko Kekurangan Energi Kronis
(Supriasa, 2002).
Lingkaran lengan atas (LILA) sudah digunakan secara umum di
Indonesia untuk mengidentifikasi ibu hamil risiko kurang energi kronis
(KEK). Menurut Departemen Kesehatan, batas ibu hamil yang disebut
sebagai risiko KEK jika ukuran LILA kurang dari 23,5 cm (Depkes,
1994).
Kurang energi kronis pada orang dewasa dapat diketahui dengan
indeks massa tubuh (IMT) yang diukur dari perbandingan antara berat
dan tinggi badan. Jika IMT kurang dari 18,5 dikatakan sebagai KEK.
Akan tetapi pengukuran IMT memerlukan alat pengukur tinggi badan
dan berat badan (Husaini, 2003). Kurang Energi Kronis (KEK) adalah
suatu keadaan kekurangan makanan sehingga menyebabkan ukuran
Indeks Massa Tubuh (IMT) di bawah normal (kurang dari 18,5)
(PERSAGI, 2009).
Menurut World Review of Nutrition and Dietetics (2015), ibu
hamil dengan kurang energi kronis (KEK) adalah ibu hamil dengan
berat badan di masa kehamilan kurang dari 45 kg dan ukuran lingkar
lengan atas kurang dari 23,5 cm dan IMT 18,5) juga memiliki sejarah
gizi ibu dan bayi yang lebih baik. IMT terkait dengan berat badan lahir
dari bayi dengan berat badan rata-rata lahir. IMT normal pada ibu
hamil berkisar antara 18,5-20 dan 20-25. Status IMT yang rendah.
Tanda dan Gejala Menurut Zulhaida (2008) tanda dan gejala dari
Kekurangan Energi Kronis itu diantaranya adalah :
a. Lingkar lengan atas sebelah kiri kurang dari 23,5 cm.
b. Kurang cekatan dalam bekerja.
c. Sering terlihat lemah, letih, lesu, dan lunglai. d. Jika hamil cenderung
akan melahirkan anak secara prematur atau jika lahir secara normal bayi
yang dilahirkan biasanya berat badan lahirnya rendah atau kurang dari 2.500
gram
Dampak Yang Ditimbulkan a. Ibu Gizi kurang pada ibu hamil dapat
menyebabkan resiko dan komplikasi pada ibu antara lain: Anemia,
perdarahan, berat badan ibu tidak bertambah secara normal dan terkena
penyakit infeksi. Sehingga akan meningkatkan kematian ibu (Zulhaida,
2008). b. Persalinan Pengaruh gizi kurang terhadap proses persalinan dapat
mengakibatkan persalinan sulit dan lama, persalinan prematur / sebelum
waktunya, perdarahan post partum, serta persalinan dengan tindakan
operasi cesar cenderung meningkat (Zulhaida, 2008). c. Janin Kurang gizi
pada ibu hamil dapat mempengaruhi proses pertumbuhan janin dan dapat
menimbulkan keguguran, abortus, bayi lahir mati, kematian neonatal, cacat
bawaan, asfiksia intra partum, lahir dengan berat badan rendah (BBLR)
(Zulhaida, 2008). 6. Pencegahan KEK Masa kehamilan merupakan masa yang
sangat menentukan kualitas sumber daya manusia masa depan, karena
tumbuh kembang anak sangat ditentukan kondisinya dimasa janin dalam
kandungan. Kehamilan menyebabkan meningkatnya metabolisme energi,
karena itu kebutuhan energi dan zat gizi lainnya meningkat selama
kehamilan. Peningkatan energi dan zat gizi tersebut diperlukan untuk
pertumbuhan dan perkembangan janin, petambahan besarnya organ
kandungan, perubahan komposisi dan metabolisme tubuh ibu. Kebutuhan
energi untuk kehamilan yang normal perlu tambah kira-kira 80.000 kalori
selama masa kurang lebih 280 hari. Hal ini berarti perlu tambahan ekstra
sebanyak kurang lebih 300 kalori setiap hari selama hamil (Waryono, 2010).
Makan makanan yang bervariasi dan cukup mengandung kalori dan protein
termasuk makanan pokok seperti nasi, ubi dan kentang setiap hari dan
makanan yang mengandung protein seperti daging, ikan, telur, kacang-
kacangan atau susu sekurang-kurangnya sehari sekali. Bahan gizi utama dan
rekomendasi harian dan kebutuhan ibu hamil, yaitu zat-zat gizi penting yang
dibutuhkan ibu selama hamil terdiri dari: a. Energi Besaran energi yang
terasup merupakan faktor gizi paling penting jika dikaitkan dengan berat
badan lahir bayi. Banyaknya energi yang harus disiapkan hingga kehamilan
berakhir sekitar (dibulatkan) 80.000 kkal perhari (National Academy of
Sciences, 1980), atau kira-kira 300 kkal tiap hari di atas kebutuhan wanita
tidak hamil. Nilai ini dihitung berdasarkan kesetaraan dengan protein dan
lemak yang tertimbun untuk pertumbuhan janin dan keperluan ibu
(Arisman, 2010). Kebutuhan energi pada trimester I sedikit sekali meningkat.
Setelah itu, sepanjang trimster II dan III, kebutuhan akan terus membesar
sampai pada akhir kehamilan. Energi tambahan selama trimester II
diperlukan untuk pemekaran jaringan ibu, yaitu penambahan volume darah,
pertumbuhan uterus dan payudara, serta penumpukan lemak. Sepanjang
trimester III, energi tambahan dipergunakan untuk pertumbuhan janin dan
plasenta. Karena banyaknya perbedaan kebutuhan energi selama hamil,
WHO menganjurkan jumlah tambahan sebesar 150 kkal sehari pada
trimester I, dan 350 kkal pada trimester II dan III (Arisman, 2010). b. Protein
Protein merupakan komponen terbesar yang terdapat di dalam tubuh
setelah air. Protein sebagai zat pembangun atau pembentuk jaringan baru.
kekurangan asupan protein dapat menghambat pertumbuhan janin
Dibutuhkan lebih banyak protein selama kehamilan dibandingkan saat tidak
hamil. Hal ini dikarenakan protein diperlukan untuk pertumbuhan jaringan
pada janin. Ibu hamil membutuhkan sekitar 75 gram protein setiap harinya,
lebih banyak 25 gram dibandingkan wanita yang tidak hamil. Mengkonsumsi
makanan berprotein merupakan cara yang efektif untuk menambah kalori
sekaligus memenuhi kebutuhan protein. Produk hewani seperti daging, ikan,
telur, susu, keju, dan hasil laut merupakan sumber protein. Selain itu protein
juga bisa didapat dari tumbuhtumbuhan seperti kacang-kacangan, tempe,
tahu, dan lainnya (Arisman, 2010). c. Lemak Lemak merupakan sumber
energi terbesar dalam tubuh. Berfungsi sebagai cadangan energi tubuh bagi
ibu saat melahirkan, pelarut vitamin A, D, E, K dan asam lemak. Asam lemak
omega 3 dan 6 juga diperlukan untuk perkembangan sistem syaraf, fungsi
penglihatan dan pertumbuhan otak bayi juga sebagai bantalan bagi organ-
organ tertentu seperti biji mata dan ginjal. Konsumsi lemak dianjurkan tidak
melebihi 25 kalori dalam porsi makanan sehari-hari dari total kebutuhan
energi. Sumber lemak antara lain daging, susu, telur, mentega dan minyak
tumbuhan (Arisman, 2010). d. Zat besi Kebutuhan ibu hamil akan Fe terus
meningkat (untuk pembentukan plasenta dan sel darah merah) sebesar 200-
300%. Perkiraan besaran zat besi yang perlu ditimbun selama hamil ialah
1.040 mg. Dari jumlah ini, 200 mg Fe tertahan oleh tubuh ketika melahirkan
dan 840 mg sisanya hilang. Sebanyak 300 mg besi ditransfer ke janin, dengan
rincian 50-75 mg untuk pembentukan plasenta, 450 mg untuk menambah
jumlah sel darah merah, dan 200 mg lenyap ketika melahirkan. Jumlah
sebanyak ini tidak mungkin tercukupi hanya melalui diet. Karena itu,
suplementasi zat besi perlu sekali diberlakukan,bahkan kepada wanita yang
berstatus gizi baik (Arisman, 2010). e. Kalsium Metabolisme kalsium selama
hamil berubah mencolok, meskipun mekanisme keterjadiannya belum
sepenuhnya terpahami. Kadar kalsium dalam darah ibu hamil susut sampai
5% ketimbang wanita yang tidak hamil. Secara kumulatif, janin menimbun
kalsium sebanyak 30 gr, dengan kecepatan 7, 110, dan 350 mg masing-
masing pada trimester I, II, dan III. Asupamn anjuran ialah sekitar 1200
mg/hari bagi ibu hamil berumur diatas 25 tahun, dan cukup 800 mg untuk
mereka yang berusia lebih muda (Arisman, 2010). f. Asam folat Asam folat
merupakan satu-satunya vitamin yang kebutuhannya selama hamil berlipat
dua. Sekitar 24-60% wanita, baik di negara sdang berkembang maupun yang
telah maju, mengurangi kekurangan asam folat karena kandungan asam
folat di dalam makanan mereka sehari-hari tidak cukup untuk memenuhi
kebutuhan ibu hamil. Preparat suplementasi sebaiknya diberikan sekitar 28
hari setelah ovulasi atau pada 28 hari pertama kehamilan karena otak dan
sumsum tulang belakang dibentuk pada minggu pertama kehamilan. Dengan
demikian, pemberian suplementasi harus dilaksanakan sebelum konsepsi
terjadi. Besarnya suplementasi adalah 280, 660, dan 470 µg per hari,
masing-masing pada trimester I, II, III (Arisman, 2010). g. Kobalamin (vitamin
B12) Anemia pernisiosa yang disertai dengan rasa letih yang parah
merupakan akibat dari defisiensi B12. Vitamin ini sangat penting dalam
pembentukan RBC (sel darah merah). Anemia persiniosa biasanya tidak
disebabkan oleh kekurangan B12 dalam makanan, melainkan oleh ketiadaan
faktor intrinsik, yaitu sekresi gaster, yang diperlukan untuk penyerapan B12.
Gejala anemia ini meliputi rasa letih dan lemah yang hebat, diare, depresi,
mengantuk, mudah tersinggung dan pucat. Diantara vitamin B kompleks,
vitamin B12 memang unik karena sangat jarang didapat dari tanaman, tetapi
banyak di dalam daging atau produk olahan dari binatang. Bersama asam
folat,vitamin ini menyintesis DNA dan memudahkan pertumbuhan sel
(Arisman, 2010). h. Vitamin D Kekurangan vitamin D selama hamil dapat
menimbulkan gangguan metabolisme kalsium pada ibu dan janin. Gangguan
ini berupa hipokalsemia dan tetani pada bayi baru lahir, hipoplasia enamel
gigi bayi, dan osteomalasia pada ibu. Insidensi dapat ditekan dengan
pemberian 10 µg (400 IU) perhari. Kekurangan vitamin D kerap menjangkiti
ibu hamil yang bermukim di daerah yang hanya sedikit bersentuhan dengan
sinar matahari sehingga sintesis vitamin D di kulit tidak terjadi (Arisman,
2010). i. Yodium Kekurangan yodium selama hamil mengakibatkan janin
menderita hipotiroidisme, yang selanjutnya berkembang menjadi kretinisme
karena peran hormon tiroid dalam perkembangan dan pematangan
otakmenempati posisi strategis. Kerusakan saraf akibat hipotiroidisme yang
terjadi pada akhir kehamilan tidak separah jika hal ini terjadi di awal
kehamilan. Oleh karena itu, koreksi terhadap kekurangan yodium sebaiknya
dilakukan sebelum atau selama tiga bulan pertama kehamilan. Anjuran
asupan perhari untuk ibu hamil dan menyusui adalah sebesar 200 µg (Food
and Nutrition Board of The National cademy of Sciences in the United
States), dalam bentuk pemberian garam beryodium, pemberian
suplementasi pada hewan ternak, pemberian minyak beryodium peroral
atau injeksi (Arisman, 2010).

3. IBU HAMIL HIPERTENSI


1. Hipertensi pada kehamilan
Hipertensi adalah adanya kenaikan tekanan darah melebihi batas
normal yaitu tekanan darah ≥140/90 mmHg (Prawirohardjo,
2008). Menurut Prawirohardjo 2008, gangguan hipertensi pada
kehamilan diantaranya adalah:
a. Hipertensi kronik adalah hipertensi yang timbul sebelum umur
kehamilan 20 minggu atau hipertensi yang pertama kali
didiagnosis setelah umur kehamilan 20 minggu dan hipertensi
menetap sampai 12 minggu pasca persalinan.
b. Preeklamsi adalah hipertensi yang timbul setelah 20 minggu
kehamilan disertai dengan proteinuria.
c. Eklamsi adalah preeklamsi yang disertai dengan kejang-kejang
sampai dengan koma.
d. Hipertensi kronik dengan superposed preeklamsi adalah
hipertensi kronik di sertai tanda-tanda preeklamsi atau hipertensi
kronik disertai proteinuria.
e. Hipertensi gestasional (transient hypertensi) adalah hipertensi
yang timbul pada kehamilan tanpa disertai proteinuria dan
hipertensi menghilang setelah 3 bulan pascapersalin, kehamilan
dengan preeklamsi tetapi tanpa proteinuria.
Klasifikasi Hipertensi Dalam Kehamilan Peningkatan
tekanan darah dalam kehamilan dibagi menjadi:
a. Hipertensi Gestasional Hipertensi gestasional merupakan
peningkatan tekanan darah yang terjadi akibat dari proses
kehamilan, dimana peningkatan tekanan darah secara abnormal
terjadi akibat proses kehamilan tanpa disertai dengan protein
urine. Hipertensi gestasional ini bisa terjadi saat terjadinya
hemodilusi yaitu pada akhir trimester II atau pada usia kehamilan
lebih dari 20 minggu (Husin, 2013)
b. Hipertensi Kronis Hipertensi kronis merupakan gangguan pada sistem peredaran
darah, dimana tekanan darah mengalami peningkatan dari keadaan normal yang
terjadi sebelum kehamilan mencapai usia 20 minggu (ibu telah memiliki
gangguan tersebut sebelum hamil) dan berlanjut hingga 6 minggu post partum
atau menetap serta memiliki kadar protein urine
c. Superimposed preeklampsia-eklampsia Superimposed preeklampsia-eklampsia
merupakan keadaan dimana seorang ibu memiliki riwayat hipertensi
sebelumnya dan pada saat memasuki trimester II kehamilan, kenaikan tekanan
darah tersebut disertai dengan protein dalam urine. Angka kejadian
superimposed preeklampsia-eklampsia lebih dari 30% pada kehamilan. Sehingga
pada ibu hamil dengan riwayat hipertensi perlu di waspadai terjadinya
preeklampsia dalam kehamilan (Husin, 2013).
d. Tanda dan Gejala Tekanan darah diastolik merupakan indikator dalam
penanganan hipertensi dalam kehamilan, oleh karena tekanan diastolik
mengukur tahanan perifer dan tidak tergantung keadaan emosional pasien.
Diagnosis hipertensi dibuat jika tekanan darah diastolik >90 mmHg pada 2
pengukuran berjarak 1 jam 21 atau lebih. Hipertensi karena kehamilan dan
preeklampsia ringan sering ditemukan tanpa gejala, kecuali meningkatnya
tekanan darah. Prognosis menjadi lebih buruk dengan ditemukannya
proteinuria. Edema tidak lagi menjadi suatu tanda yang sahih untuk
preeklampsia (Prawihardjo, 2013).
7. Faktor Resiko Terdapat banyak faktor resiko untuk terjadinya hipertensi
dalam kehamilan, yang dapat dikelompokkan dalam faktor resiko sebagai
berikut.
a. Primigravida, primipaternitas.
b. Hiperplasentosis, misalnya : mola hidatidosa, kehamilan multipel, diabetes
mellitus, hidrops fetalis, bayi besar.
c. Umur yang ekstrim.
d. Riwayat keluarga pernah preeklampsi/eklampsia.
e. Penyakit-penyakit ginjal dan hipertensi yang sudah tidak ada sebelum hamil.
f. Obesitas (Prawihardjo, 2014).
8. Diagnosis Hipertensi Hipertensi dalam kehamilan mencakupi hipertensi
karena kehamilan dan hipertensi kronik (meningkatnya tekanan darah sebelum
usia kehamilan 20 minggu). Nyeri kepala, kejang dan hilangnya kesadaran sering
berhubungan dengan hipertensi dalam kehamilan. Keadaan lain yang dapat
mengakibatkan kejang ialah epilepsi, malaria, trauma kepala, meningitis,
ensefalitis, dan lain-lain. Tekanan diastolik merupakan indikator untuk prognosis
pada penanganan hipertensi dalam kehamilan. Tekanan diastolic mengukur
tahanan perifer dan tidak dipengaruhi oleh kedaan emosi pasien (seperti pada
tekanan sistolik). Jika 22 tekanan diastolik ≥ 90 mmHg pada dua pemeriksaan
berjarak 4 jam atau lebih, diagnosisnya adalah hipertensi. Pada keadaan darurat,
tekanan diastolik 110 mmHg dapat dipakai sebagai dasar diagnosis, dengan jarak
waktu pengukuran 20 minggu, pada persalinan, atau dalam 48 jam sesudah
persalinan, diagnosisnya adalah hipertensi dalam kehamilan. Jika hipertensi
terjadi pada kehamilan

Anda mungkin juga menyukai