Anda di halaman 1dari 67

LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN KEPERAWATAN GIZI BURUK

PADA ANAK DI RUANG ASTER RUMAH SAKIT dr. SOEBANDI

JEMBER

OLEH:
Alqurroti Ainun Chofiya, S.Kep
NIM 222311101099

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI NERS


FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS JEMBER
JEMBER
2023
LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN KEPERAWATAN GIZI BURUK

PADA ANAK DI RUANG ASTER RUMAH SAKIT dr. SOEBANDI

JEMBER

KEPERAWATAN ANAK

Disusun guna memenuhi tugas Praktik Profesi Keperawatan Anak

Dosen Pengampu : Ns. Peni Perdani Juliningrum, S.Kep., M.Kep

Oleh

Alqurroti Ainun Chofiya, S.Kep

NIM 222311101099

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI NERS

FAKULTAS KEPERAWATAN

UNIVERSITAS JEMBER

2023
LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN KEPERAWATAN DENGAN GIZI BURUK PADA ANAK

Oleh Alqurroti Ainun Chofiya

1. Kasus (masalah utama) (Diagnosa Medis)


Gizi Buruk
2. Proses terjadinya masalah (pengertian, penyebab, Patofisiologi, tanda &
gejala, Penangan)
a. Definisi
Gizi buruk adalah salah satu penyebab kematian tertinggi anak di negara
berkembang (Ode Salma dan Tosepu, 2021). Gizi buruk adalah status gizi
yang didasarkan pada indeks berat badan menurut umur (BB/U) yang
merupakan padanan istilah underweight (gizi kurang) dan severely
underweight (gizi buruk). Balita disebut gizi buruk apabila indeks Berat
Badan menurut Umur (BB/U) kurang dari -3 SD (Kemenkes, 2011). Gizi
buruk (severe malnutrition) adalah suatu istilah teknis yang umumnya
dipakai oleh kalangan gizi, kesehatan dan kedokteran. Gizi buruk adalah
bentuk terparah dari proses terjadinya kekurangan gizi menahun.
Peningkatan kejadian gizi buruk di Indonesia masih terus menerus
berkembang hingga tahun 2018 mencapai 17,7%. Target Sustainable
Development Goals (SDGs) tahun 2019 yaitu tidak ada lagi kasus gizi buruk
di Indonesia pada tahun 2030. Hal ini menjadi patokan jika kasus gizi buruk
memiliki urgensi bagi negara untuk menekan prevalensinya (Kementerian
Kesehatan Republik Indonesia, 2019). Berdasarkan survei Studi Status Gizi
Indonesia, prevalensi stunting atau gizi buruk di Indonesia saat ini mencapai
24,4%, angka tersebut jauh dari yang ditargetkan dalam Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024 sebesar
14%.
b. Etiologi
WHO menyebutkan bahwa banyak faktor dapat menyebabkan gizi
buruk, yang sebagian besar berhubungan dengan pola makan yang buruk,
infeksi berat dan berulang terutama pada populasi yang kurang mampu. Diet
yang tidak memadai, dan penyakit infeksi terkait erat dengan standar umum
hidup, kondisi lingkungan, kemampuan untuk memenuhi kebutuhan dasar
seperti makanan, perumahan dan perawatan kesehatan (WHO, 2012).
Banyak faktor yang mempengaruhi terjadinya gizi buruk, diantaranya
adalah status sosial ekonomi, ketidaktahuan ibu tentang pemberian gizi yang
baik untuk anak, dan Berat Badan Lahir Rendah (BBLR).
1) Asupan Nutrisi
Asupan nutrisi Asupan nutrisi harus memenuhi jumlah dan
komposisi zat gizi yang dibutuhkan oleh tubuh, konsumsi makanan harus
beragam, bergizi dan berimbang. Makanan yang bergizi adalah makanan
yang mengandung semua zat gizi yang dibutuhkan tubuh diantaranya,
karbohidrat, protein, vitamin dan mineral. Namun, seringkali anak
cenderung kurang berminat terhadap makanan bergizi dan bermasalah
dalam pemberian makanan karena faktor kesulitan makan, anak memilih-
milih makanan dan lain sebagainya. Gangguan kesulitan makan pada
anak perlu mendapat perhatian yang serius agar tidak menimbulkan
dampak negatif nantinya. Dampak negatif yang ditimbulkan diantaranya
adalah kekurangan gizi, menurunnya daya intelegensi dan menurunnya
daya tahan tubuh anak yang akan berdampak pula terhadap kesehatan
anak, anak lebih mudah terserang penyakit dan tumbuh kembang anak
tidak berlangsung dengan optimal.
Keadaan kekurangan gizi dapat dilihat dari penurunan berat badan,
yang mengakibatkan perubahan terhadap status gizi. Penilaian status gizi
dilaku kan dengan pengukuran antropometri. Status gizi pada balita
dinilai menurut 3 indeks, yaitu Berat Badan Menurut Umur (BB/U),
Tinggi Badan Menurut Umur (TB/U), Berat Badan Menurut Tinggi
Badan (BB/TB). Indeks berat badan menurut umur memberikan indikasi
masalah gizi kronis atau menderita penyakit infeksi (Kementerian
Kesehatan, 2018), sedangkan untuk anak usia >5 tahun sampai 18 tahun
ditentu kan dengan formulasi Indeks Massa Tubuh menurut Umur
(IMT/U) (Rukmasari dkk., 2019).
2) Penyakit infeksi
Status gizi belita dipengaruhi oleh 2 faktor salah satunya faktor langsung
yang terdiri dari asupan zat gizi dan penyakit infeksi (Reska dkk., 2018).
Infeksi adalah salah satu penyebab langsung yang mempengaruhi status
gizi pada balita. Infeksi dan kekurangan gizi selalu berhubungan erat.
Infeksi pada anak-anak yang malnutrisi sebagian besar disebabkan
kerusakan fungsi kekebalan tubuh, produksi kekebalan tubuh yang
terbatas dan atau kapasitas fungsional berkurang dari semua komponen
seluler dari sistem kekebalan tubuh pada penderita malnutrisi. Infeksi
membuat balita mengalami penurunan nafsu makan sehingga gizi yang
masuk ke dalam butuh berkurang kemudian muntah yang mengakibatkan
kehilangan zat gizi (Ratufelan dkk., 2018). Menurut penelitian Ode
Salma balita yang terserang penyakit infeksi, nafsu makan akan
mengalami penurunan sehingga terjadi perubahan pada berat badan
sesuai kondsi tubuh (Ode Salma dan Tosepu, 2021).
3) Pengetahuan ibu tentang gizi dan kesehatan
Seorang ibu merupakan sosok yang menjadi tumpuan dalam mengelola
makan keluarga. pengetahuan ibu tentang gizi balita merupakan segala
bentuk informasi yang dimiliki oleh ibu mengenai zat makanan yang
dibutuhkan bagi tubuh balita dan kemampuan ibu untuk menerapkannya
dalam kehidupan sehari-hari. Kurangnya pengetahuan tentang gizi akan
mengakibatkan berkurangnya kemampuan untuk menerapkan informasi
dalam kehidupan sehari-hari yang merupakan salah satu penyebab
terjadinya gangguan gizi. Pemilihan bahan makanan, tersedianya jumlah
makanan yang cukup dan keanekaragaman makanan ini dipengaruhi oleh
tingkat pengetahuan ibu tentang makanan dan gizinya. Ketidaktahuan ibu
dapat menyebabkan kesalahan pemilihan makanan terutama untuk anak
balita.
4) Pendidikan ibu
Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang maka semakin mudah
diberikan pengertian mengenai suatu informasi dan semakin mudah
untuk mengimplementasikan pengetahuannya dalam perilaku khususnya
dalam hal kesehatan dan gizi (Ihsan M.Hiswani, Jemadi, 2012).
Pendidikan ibu yang relatif rendah akan berkaitan dengan sikap dan
tindakan ibu dalam menangani masalah kurang gizi pada anak balitanya
(Oktavianis, 2016).
5) Pola asuh anak
Pola asuh anak merupakan praktek pengasuhan yang diterapkan kepada
anak balita dan pemeliharaan kesehatan (Siti M, 2015). Pola asuh makan
adalah praktik-praktik pengasuhan yang diterapkan ibu kepada anak
balita yang berkaitan dengan cara dan situasi makanPola asuh yang baik
dari ibu akan memberikan kontribusi yang besar pada pertumbuhan dan
perkembangan balita sehingga akan menurunkan angka kejadian
gangguan gizi. Pada penelitian Ode Salma tahun 2021 menunjukkan
bahwa pola asuh yang kurang memiliki status gizi buruk sebanyak 57,1%
dan pola asuh yang cukup memiliki status gizi buruk 3,3% artinya bahwa
pola asuh makan yang tidak memadai dapat menyebabkan masalah gizi
buruk pada balita. Pola asuh makan adalah pola asuh pada anak yang
dapat dilihat dari perilaku ibu dalam pemerian makan pada anak (Ode
Salma dan Tosepu, 2021).
6) Sanitasi
Sanitasi lingkungan termasuk faktor tidak langsung yang mempengaruhi
status gizi. Gizi buruk dan infeksi bermula dari kemiskinan dan
lingkungan yang tidak sehat dengan sanitasi buruk. Upaya penurunan
angka kejadian penyakit bayi dan balita dapat diusahakan dengan
menciptakan sanitasi lingkungan yang sehat, yang pada akhirnya akan
memperbaiki status gizinya (Minkhatulmaula dkk., 2020).
7) Tingkat pendapatan
Tingkat pendapatan keluarga merupakan faktor eksternal yang
mempengaruhi status gizi balita (Mulyana DW, 2013). Keluarga dengan
status ekonomi menengah kebawah, memungkinkan konsumsi pangan
dan gizi terutama pada balita rendah dan hal ini mempengaruhi status gizi
pada anak balita. Balita yang mempunyai orang tua dengan tingkat
pendapatan kurang memiliki risiko 4 kali lebih besar menderita status
gizi kurang dibanding dengan balita yang memiliki orang tua dengan
tingkat pendapatan cukup.
Dari penelitian Ode Salma Pada tahun 2021 menunjukkan bahwa
keluarga dengan tingkat pendapatan rendah cenderung memiliki gizi
buruk (55,6%) dibandingkan dengan keluarga yang memiliki pendapatan
tinggi (Ode Salma dan Tosepu, 2021). Pendapatan dapat mencerminkan
tingkat kemampuan keluarga dalam konsumsi makanan (Ode Salma dan
Tosepu, 2021).
8) Ketersediaan pangan
Kemiskinan dan ketahanan pangan merupakan penyebab tidak langsung
terjadinya status gizi kurang atau buruk (Roehadi S, 2013). Masalah gizi
yang muncul sering berkaitan dengan masalah kekurangan pangan, salah
satunya timbul akibat masalah ketahanan pangan ditingkat rumahtangga,
yaitu kemampuan rumahtangga memperoleh makanan untuk semua
anggotanya.
9) Jumlah anggota keluarga
Jumlah anggota keluarga berperan dalam status gizi seseorang. Anak
yang tumbuh dalam keluarga miskin paling rawan terhadap kurang gizi.
apabila anggota keluarga bertambah maka pangan untuk setiap anak
berkurang, asupan makanan yang tidak adekuat merupakan salah satu
penyebab langsung karena dapat menimbulkan manifestasi berupa
penurunan berat badan atau terhambat pertumbuhan pada anak, oleh
sebab itu jumlah anak merupakan faktor yang turut menentukan status
gizi balita (Faradevi R, 2017).
10) Sosial budaya
Budaya mempengaruhi seseorang dalam menentukan apa yang akan
dimakan, bagaimana pengolahan, persiapan, dan penyajiannya serta
untuk siapa dan dalam kondisi bagaimana pangan tersebut dikonsumsi.
Sehingga hal tersebut dapat menimbulkan masalah gizi buruk (Arifn Z,
2015).
c. Klasifikasi Gizi Buruk
Gizi buruk berdasarkan gejala klinisnya dapat dibagi menjadi 3, yaitu:
1. Marasmus
Marasmus terjadi disebabkan asupan kalori yang tidak cukup. Marasmus
sering sekali terjadi pada bayi di bawah 12 bulan. Pada kasus marasmus,
anak terlihat kurus kering sehingga wajah seperti orangtua, kulit keriput,
cengeng dan rewel meskipun setelah makan, perut cekung, rambut tipis,
jarang dan kusam, tulang iga tampak jelas dan pantat kendur dan keriput
(baggy pant).
2. Kwashiorkor
Kwashiorkor adalah salah satu bentuk malnutrisi protein yang berat
disebabkan oleh asupan karbohidrat yang normal atau tinggi namun
asupan protein yang inadekuat (Liansyah TM, 2015). Beberapa tanda
khusus dari kwashiorkor adalah: rambut berubah menjadi warna
kemerahan atau abu-abu, menipis dan mudah rontok, apabila rambut
keriting menjadi lurus, kulit tampak pucat dan biasanya disertai anemia,
terjadi dispigmentasi dikarenakan habisnya cadangan energi atau protein.
Pada kulit yang terdapat dispigmentasi akan tampak pucat, Sering terjadi
dermatitis (radang pada kulit), terjadi pembengkakan, terutama pada kaki
dan tungkai bawah sehingga balita terlihat gemuk. Pembengkakan yang
terjadi disebabkan oleh akumulasi cairan yang berlebihan. Balita memiliki
selera yang berubah-ubah dan mudah terkena gangguan pencernaan.
3. Marasmus-Kwashiorkor
Memperlihatkan gejala campuran antara marasmus dan kwashiorkor.
Makanan sehari-hari tidak cukup mengandung protein dan energi untuk
pertumbuhan normal. Pada penderita berat badan dibawah 60% dari
normal memperlihatkan tanda-tanda kwashiorkor seperti edema, kelainan
rambut, kelainan kulit serta kelainan biokimia.
Berdasarkan ada tidaknya komplikasi, gizi buruk dikategorikan sebagai
berikut :
1. Gizi Buruk tanpa komplikasi yang ditandai dengan :
- Lingkar lengan ats (LiLA) < 11,5 cm untuk balita berusia 6-59 bulan
- BB/PB atau BB/TB kurang dari -3 SD
- Adanya edema bilateral dengan derajat +1 atau +2 (Kementrian
Kesehatan Republik Indonesia, 2019).

Gambar 1 Klasifikasi edema oada balita gizi buruk (Kementrian


Kesehatan Republik Indonesia, 2019)

2. Gizi Buruk dengan Komplikasi, yang ditandai oleh hal tersebut di atas
dan adanya satu atau lebih komplikasi berikut
- Anoreksia
- Dehidrasi berat (muntah terus menerus, diare)
- Latergi atau penurunan kesadaran
- Demam tinggi
- Pneumonia berat (sulit bernafas atau bernafas cepat)
- Anemia berat
d. Tanda Dan Gejala
Anak yang berisiko tinggi terhadap gizi buruk antara lain:
1. Terlahir prematur atau berat badan lahir rendah (BBLR)
2. Mengalami infeksi kronis dan infeksi berulang
3. Berkebutuhan khusus, misalnya cerebral palsy
4. Terlahir dengan kelainan bawaan, seperti bibir sumbing, Kelaina pada
sistem pencernaan, malabsobsi makanan, atau penyakit jantung bawaan
5. Mendapatkan pola asuh yang tidak menunjang tumbuh kembangnya
6. Tinggal di lingkungan dengan sanitasi buruk, tidak mendapat akses untuk
air bersih dan terdpat polusi

Gejala Gizi Buruk antara lain :

1. Anak memilik tubuh yang sangat kurus dari anak seusianya


2. Terdapat keriputan pada wajah
3. Kulit bayi tampak kering
4. Perut bayi tampak buncit
5. Bayi sering terlihat lemas dan tampak tidak aktif dalam bermain seperti
anak seusianya
6. Mengalami kelambatan dalam tumbuh kembangnya
7. Rambut bayi mengalami kerontokan dan kusam
8. Adanya edema pada tungkai (Maulana dkk., 2020).

e. Patofisiologi
Gizi buruk pada balita yaitu mengalami kukurangan energi protein, anemia
gizi besi, gangguan akibat kurangnya Iodium dan kurang vitamin A.
Kurangnya asupan empat sumber tersebut pada balita menyebabkan terjadinya
pertumbuhan dan perkembangan terhambat, daya tahan tubuh menurun, tingkat
kecerdasan yang rendah, kemampuan fisik menurun, terjadinya gangguan
pertumbuhan jasmani dan mental, stunting serta yang paling terburuknya yaitu
kematian pada balita (Sir dkk., 2021).
Asupan nutrisi yang tidak adekuat dan tidak mampu memenuhi kebutuhan
metabolik tubuh serta adanya penyakit infeksi akan mengakibatkan absorpsi
nutrien tidak berlangsung seperti seharusnya sehingga akan berdampak
terhadap keberlangsungan sistem tubuh. Apabila hal ini dibiarkan berlangsung
dalam jangka waktu tertentu maka terjadilah penurunan berat badan, pucat
pada kulit, membran mukosa dan konjungtiva, kehilangan rambut berlebihan,
hingga kelemahan otot yang merupakan tanda dan gejala defisit nutrisi.
f. Penilaian Status Gizi
Pemantauan keadaan gizi kelompok anak balita merupakan parameter yang
sangat sesuai karena dinilai berada pada masa yang cukup sensitif. Hal ini
berhubungan erat dengan konsumsi energi dan protein yang merupakan dua
jenis zat gizi yang paling sering menimbulkan masalah gizi kesehatan pada
skala nasional atau daerah luas regional di Indonesia. Penilaian status gizi anak
serupa dengan penilaian pada periode kehidupan lain. Komponen penilaian
status gizi meliputi:
1. Survei Konsumsi Pangan
Survei konsumsi pangan ada 2 macam, yaitu secara kualitatif dan
kuantitatif. Penilaian asupan secara kualitatif, seperti food frequency,
dietary history, metode telepon, dan food list. Metode kualitatif biasanya
untuk mengetahui frekuensi makan, frekuensi konsumsi menurut jenis
bahan makanan dan menggali informasi tentang kebiasaan makan serta
cara-cara memperoleh bahan makanan tersebut. Survei konsumsi pangan
memiliki kelebihan yaitu dapat mengidentifikasi dan menerangkan
kelompok dalam populasi yang berisiko terhadap malnutrisi kronik.
Sedangkan kekurangannya yaitu kurang dapat mengidentifikasi malnutrisi
yang akut atau memberikan informasi penyebab yang mungkin terjadi dari
malnutisi.
2. Pemeriksaan Biokimia
Pemeriksaan biokimia adalah pemeriksaan spesimen yang diuji secara
laboratoris yang dilakukan pada berbagai jaringan tubuh. Jaringan yang
digunakan antara lain adalah darah, urin, tinja dan beberapa jaringan tubuh
lain seperti hati dan otot. Pemeriksaan biokimia dalam penilaian status gizi
memberikan hasil yang lebih tepat dan objektif dari pada menilaian
konsumsi pangan dan pemeriksaan lain. Pemeriksaan biokimia dapat
mendeteksi defisiensi zat gizi lebih dini.
3. Pemeriksaan Klinis
Pemeriksaan klinis merupakan cara penilaian status gizi berdasarkan
perubahan yang terjadi yang berhubungan erat dengan kekurangan maupun
kelebihan asupan zat gizi. Pemeriksaan klinis dapat dilihat pada jaringan
epitel yang terdapat di mata, kulit, rambut, mukosa mulut, dan organ yang
dekat dengan permukaan tubuh (kelenjar tiroid).
4. Pemeriksaan Antropometri
Salah satu metode untuk mengukur status gizi masyarakat adalah ukuran
antropometri. Hasil pengukuran antropometri mencerminkan status gizi
anak yang dapat digolongkan menjadi status gizi baik, kurang atau buruk.
Parameter antropometri merupakan dasar dari penilaian status gizi.
Kombinasi antara beberapa parameter disebut indeks Antropometri.
Beberapa indeks antropometri yang sering digunakan yaitu:
a) Berat Badan Menurut Umur (BB/U)
BB/U adalah berat badan anak yang dicapai pada umur tertentu. Berat
badan adalah salah satu parameter yang memberikan gambaran massa
tubuh. Massa tubuh sangat sensitif terhadap perubahan-perubahan yang
mendadak, misalnya karena terserang penyakit infeksi, menurunnya
nafsu makan atau menurunnya jumlah makanan yang dikonsumsi.
Berat badan merupakan parameter antopometri yang sangat labil.
b) Tinggi Badan Menurut Umur (TB/U)
Tinggi badan menurut umur adalah tinggi badan anak yang dicapai pada
umur tertentu.Tinggi badan merupakan antropometri yang
menggambarkan keadaan pertumbuhan skeletal. Seiring dengan
pertambahan umut tinggi badan akan tumbuh. Pertumbuhan tinggi
badan tidak seperti berat badan, relatif kurang sensitif terhadap masalah
kekurangan gizi dalam waktu yang pendek. Pengaruh defisiensi zat gizi
terhadap tinggi badan akan nampak dalam waktu yang relatif lama.
Bedasarkan karakteristik tersebut di atas, maka indeks ini
menggambarkan konsumsi protein masa lalu.
c) Berat Badan Menurut Tinggi Badan (BB/TB)
Ukuran antropometri yang terbaik adalah menggunakan BB/TB atau
BB/PB karena dapat menggambarkan status gizi saat ini dengan lebih
sensitif dan spesifik. BB/TB adalah berat badan anak dibandingkan
dengan tinggi badan yang dicapai.Berat badan memiliki hubungan yang
linier dengan tinggi badan. Dalam keadaan normal, perkembangan
berat badan akan searah dengan pertumbuhan tinggi badan dan
kecepatan tertentu.

Penyajian Indeks Antropometri

a) Persen Terhadap Median Median adalah nilai tengah dari suatu


populasi. Dalam antropometri gizi, median sama dengan persentil 50.
Nilai median dinyatakan sama dengan 100% (untuk standar). Setelah
itu dihitung persentase terhadap nilai median untuk mendapatkan
ambang batas. Cara perhitungannya yaitu berat badan atau tinggi badan
aktual (hasil pengukuran) masing-masing individu dibandingkan
dengan nilai median berat badan atau tinggi badan pada baku rujukan
𝐵𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑏𝑎𝑑𝑎𝑛 𝑎𝑘𝑡𝑢𝑎𝑙 𝑝𝑎𝑑𝑎 𝑢𝑚𝑢𝑟 𝑡𝑒𝑟𝑡𝑒𝑛𝑡𝑢
Indeks BB/U = 𝑋100
𝑛𝑖𝑙𝑎𝑖 𝑚𝑒𝑑𝑖𝑎𝑛 𝐵𝐵 𝑝𝑎𝑑𝑎 𝑢𝑚𝑢𝑟 𝑡𝑒𝑟𝑡𝑒𝑛𝑡𝑢
𝑇𝑖𝑛𝑔𝑔𝑖 𝑏𝑎𝑑𝑎𝑛 𝑎𝑘𝑡𝑢𝑎𝑙 𝑝𝑎𝑑𝑎 𝑢𝑚𝑢𝑟 𝑡𝑒𝑟𝑡𝑒𝑛𝑡𝑢
Indeks TB/U = 𝑋100
𝑛𝑖𝑙𝑎𝑖 𝑚𝑒𝑑𝑖𝑎𝑛 𝑇𝐵 𝑝𝑎𝑑𝑎 𝑢𝑚𝑢𝑟 𝑡𝑒𝑟𝑡𝑒𝑛𝑡𝑢
𝐵𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑏𝑎𝑑𝑎𝑛 𝑎𝑘𝑡𝑢𝑎𝑙 𝑝𝑎𝑑𝑎 𝑢𝑚𝑢𝑟 𝑡𝑒𝑟𝑡𝑒𝑛𝑡𝑢
Indeks BB/TB = 𝑋100
𝑛𝑖𝑙𝑎𝑖 𝑚𝑒𝑑𝑖𝑎𝑛 𝐵𝐵 𝑝𝑎𝑑𝑎 𝑇𝐵 𝑡𝑒𝑟𝑡𝑒𝑛𝑡𝑢
Kelebihan persen terhadap median adalah mudah dalam perhitungan
sedangkan kekurangannya adalah tidak memperhitungkan sebaran nilai
pada setiap kelompok umur, maka nilai persen terhadap median tidak
dapat menunjukkan posisi anak secara konsisten pada masing-masing
golongan umur menurut sebaran nilai ukurnya.
b) Z-Score
Kelebihan Z-skor adalah sudah mempertimbangkan nilai rujukan pada
masing-masing golongan umur dan jenis kelamin. Nilai Z-skor antar
umur maupun antar jenis kelamin secara konsisten menunjukkan posisi
anak yang sama dalam sebaran nilai rujukan. Kelemahannya adalah
perhitungan lebih rumit dibandingkan dengan persen median namun
masih dapat dihitung dengan cara manual dan cepat.

Tabel 1. Interpretasi Hasil Status Gizi dengan Z-Score


Kategori
Indeks Z-Score
Status Gizi
Gizi Buruk < -3 SD
BB/U Gizi Kurang -3 SD sampai dengan < -2 SD
Umur 0 – 60 bulan Gizi Baik -2 SD sampai dengan 2 SD
Gizi Lebih >2 SD
Sangat pendek < -3 SD
PB/U atau TB/U Pendek -3 SD sampai dengan < -2 SD
Umur 0 – 60 bulan Normal -2 SD sampai dengan 2 SD
Tinggi >2 SD
Sangat Kurus < -3 SD
BB/PB atau BB/TB Kurus -3 SD sampai dengan < -2 SD
Umur 0 – 60 bulan Normal -2 SD sampai dengan 2 SD
Gemuk >2 SD
Sangat Kurus < -3 SD
IMT/U Kurus -3 SD sampai dengan < -2 SD
Umur 0 – 60 bulan Normal -2 SD sampai dengan 2 SD
Gemuk >2 SD
IMT/U Sangat Kurus <-3 SD
Anak umur 5-18 Kurus -3 SD sampai dengan <-2 SD
tahun Normal -2 SD sampai dengan 1 SD
Gemuk >1 SD sampai dengan 2 SD
Obesitas >2 SD

g. Dampak Gizi Buruk pada Balita


1. Jangka Pendek : meningkatkan angka ksakitan, kematian dan disabilitas
2. Jangka Panjang : dapat berpengaruh pada tidak tercapainya potensi ketika
masa dewasa, perawakan pendek, mempengaruhi sistem kekebalan tubuh,
menurunkan kecerdasan, produktifitas kerja dan fungsi reproduksi, serta
meningkatkan risko (pada usia dewasa) unuk mengalami obesitas,
hipertensi, penyakit janung, keganasan dan penyakit generative lainnya.
h. Fase Dalam Terapi Rawat Inap pada Balita Gizi Buruk dan Tatalaksana
dalam 10 Langkah
a) Fase Stabilisasi
Pada fase ini diprioritaskan penanganan kegawatdaruratan yang
mengancam jiwa:
- Hipoglikemia.
- Hipotermia.
- Dehidrasi dan gangguan keseimbangan elektrolit
- Infeksi

Gamber 4 Tindakan Pelayanan pada Rawat Inap Balita Gizi Buruk


(Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, 2019).
1. Cegah atau Atasi Hipoglikemia
Kadar glukosa darah yang sangat rendah (< 3 mmol/L atau < 54 mg/dL)
biasanya terjadi bersamaan dengan hipotermia. Gejala hipoglikemia berupa
berkeringat dan pucat sangat jarang diumpai pada balita gizi buruk. Tanda
lain seperti letargis, nadi lemah, kehilangan kesadaran. Kematian
hipoglikemia terkadang didahului dengan tanda seperti mengantuk. Di unit
pelayanan Kesehatan yang tidak ada fasilitas pemeriksaan kadar glukosa
darah, setiap balita gizi buruk yang dating harus dianggap mengalami
hipoglikemia dan segera dilakukan perawatan sesuai tatalaksana
hipoglikemia. Penangananya antara lain :
- Berikan 50 ml larutan glukosa 10% (1 sendok teh munjung gula pasir
dalam 50 ml air) secara oral/melalui NGT, segera dilanjutkan dengan
pemberian Formula 75 (F-75).
- F-75 yang pertama, atau modifikasinya, diberikan 2 jam sekali dalam
24 jam pertama, dilanjutkan setiap 2-3 jam, siang dan malam selama
minimal dua hari.
- Bila masih mendapat ASI teruskan pemberian ASI di luar jadwal
pemberian F-75.
- Jika anak tidak sadar/letargi, berikan larutan glukosa 10% secara
intravena (bolus) sebanyak 5 ml/kg BB, atau larutan glukosa/gula pasir
50 ml dengan NGT. Jika glukosa IV tidak tersedia, berikan satu sendok
teh gula ditambah 1 atau 2 tetes air di bawah lidah, dan ulangi setiap 20
menit untuk mencegah terulangnya hipoglikemi. Pantau jangan sampai
balita menelan gula tersebut terlalu cepat sehingga memperlambat
proses penyerapan.
- Hipoglikemia dan hipotermia seringkali merupakan tanda adanya
infeksi berat

Pemantauan

Bila kadar gula darah awal rendah, ulangi pengukurannya setelah 30 menit.
- Jika kadar gula darah di bawah 3 mmol/L (< 54 mg/dl), ulangi
pemberian larutan glukosa/gula 10%.
- Jika suhu aksilar < 36°C atau bila kesadaran memburuk, mungkin
hipoglikemia disebabkan oleh hipotermia, ulangi pengukuran kadar
gula darah dan tangani sesuai keadaan (hipotermia dan hipoglikemia).

Pencegahan

- Beri F-75 sesegera mungkin, berikan setiap 2 jam selama 24 jam


pertama. Bila ada dehidrasi, lakukan rehidrasi terlebih dahulu.
Pemberian makan harus teratur setiap 2-3 jam, siang dan malam.
- Minta pengasuh untuk memperhatikan setiap kondisi balita, membantu
memberi makan dan menjaga balita tetap hangat.
- Periksa adanya distensi abdominal
2. Cegah atau Atasi Hipotermia
Ditandai dengan suhu pada aksiler selama 5 menit (<36 oC). Hipotermia
umumnya terjadi bersamaan dengan hipoglikemia. Hipotermi dan
hipoglikemia merupakan tanda dari adanya infeksi sistemik yang serius,
cadangan energi balita gizi buruk sangat terbatas sehingga tidak mampu
untuk memproduksi panas dalam mempertahankan suhu tubuh. Hal dapat
dilakukan yaitu mempertahankan suhu tubuh balita gizi buruk dengan cara
menyelimuti tubuhnya dengan selimut. Tindakan ini merupakan usaha
dalam penghematan penggunaan cadangan energi.

Tabel 2. Cara mempertahankan dan memulihkan suhu tubuh balita


Suhu 36 – 37oC 1. Tutupi tubuh baita termasuk kepalanya
2. Hindari adanya hembusan angin
3. Pertahankan suhu ruangan 25 – 30oC
4. Tetap diselimuti pada malam hari
5. Jangan biarkan tanpa baju terlalu lama saat
pemeriksaan dan penimbangan
6. Tangan yang merawat harus hangat
7. Segeralah ganti baju atau peralatan tidur yangbasah
8. Segera keringkan badan setelah mandi
9. Jangan jugankan botol air panas untuk menghangati
balita karena akan menyebabkan kulit menjadi
terbakar
1. Cara “kanguru” yaitu kontak langsung dengan kulit
Suhu < 36oC
ibu dan kulit balita
2. Lampu 40 W diletakkan 50 cm dari tubuh balita
3. Monitor suhu setiap 30 menit
4. Hentikan pemanasan bila suhu tubuh sudah
mencapai 37oC

Pemantauan
- Ukur suhu aksila setiap 2 jam sampai suhu meningkat menjadi 36,5°C
atau lebih. Jika digunakan pemanas, ukur suhu tiap setengah jam.
Hentikan pemanasan bila suhu mencapai 36,5°C.
- Pastikan bahwa anak selalu tertutup pakaian atau selimut, terutama
pada malam hari.
- Periksa kadar gula darah bila ditemukan hipotermia

Pencegahan

- Letakkan tempat tidur di area yang hangat, di bagian bangsal yang


bebas angin dan pastikan anak selalu tertutup pakaian/selimut.
- Ganti pakaian dan seprei yang basah, jaga agar anak dan tempat tidur
tetap kering.
- Hindarkan anak dari suasana dingin (misalnya: sewaktu/setelah mandi,
selama pemeriksaan).
- Biarkan anak tidur dipeluk orang tuanya agar tetap hangat, terutama di
malam hari.
- Beri makan F-75/modifikasinya setiap 2 jam, sesegera mungkin,
sepanjang hari/ siang-malam.
- Hati-hati bila menggunakan pemanas ruangan atau lampu pijar. Hindari
penggunaan botol air panas dan lampu neon/TL

3. Cegah atau Atasi Dehidrasi


Tabel 3. Cara menentukan Dehidrasi
No Tanda Cara Melihat dan Menentukan
Letargis Lemas, tidak waspada, tidak tertarik terhadap
1
kejadian sekitar
Anak gelisah Terutama bila disentuh /ditangani untuk Tindakan
2
dan rewel
Tidak ada air Tidak ada air mata saat balita menangis
3
mata
Mata cekung Mata cekung tersebut memang seperti biasanya
4
ataukah baru beberapa saat timbulnya
Mulut dan Raba dengan jari yang kering dan bersih untuk
5
lidah kering menentukan apakah lidah dan mulutnya kering
Haus Apakah balita ingin meraih cangkir saat diberi
6
ReSoMal. Saat cangkir itu disingkirkan, apakah
balita masih ingin meminumnya lagi
Turgor kulit Tarik lapisan kulit dan jaringan bawah kulit pelan-
7
lambat pelan. Cubit selama 1 detik dan lepaskan. Jika kulit
masih terlipat (belum balik rata). Turgor kulit
lambat umumnya pada anak “wasting”

Tatalaksana (tergantung kondisi kegawatdaruratan yang ditemukan):


- Jangan gunakan infus untuk rehidrasi, kecuali pada kasus dehidrasi
berat dengan syok.
- Beri ReSoMal, secara oral atau melalui NGT, lakukan lebih lambat dari
rehidrasi pada anak dengan gizi baik:
• Beri 5 ml/kgBB setiap 30 menit untuk 2 jam pertama;
• Selanjutnya, berikan ReSoMal 5-10 ml/kgBB/jam berselang-seling
dengan F-75 dengan jumlah yang sama, setiap jam selama 10 jam.
Jumlah yang pasti tergantung seberapa banyak anak mau, volume
tinja yang keluar dan apakah anak muntah.
- Selanjutnya berikan F-75 secara teratur setiap 2 jam.
- Jika masih diare, beri ReSoMal setiap kali diare. Untuk usia < 2 tahun:
50-100 ml setiap buang air besar, usia ≥ 2 tahun: 100-200 ml setiap
buang air besar.
4. Perbaiki Gangguan Elektrolit
Pada anak dengan gizi buruk terjadi ketidakseimbangan elektrolit di dalam
tubuh sehingga perlu diberikan larutan elektrolit / mineral dalam bentuk
ReSoMal (bila diare) dan formula WHO sesuai dengan fasenya.

Tabel 4. Cara Membuat Cairan ReSoMal


Bahan Jumlah
Oralit WHO* 1 sachet (200 ml)
Gula pasir 10 g
Larutan mineral – mix** 8 ml
Ditambahkan air sampai menjadi 400 ml
*2,6 g NaCl; 2,9 g trisodium citrate dihydrate; 1,5 g KCL; 13,5 g
glukosa
** Lihat tabel 7 untuk resep larutan mineral - mix

Jika balita gizi buruk dalam keadaan syok atau dehidrasi berat tapi tidak
memungkinkan untuk diberi rehidrasi oral/melalui NGT, maka rehidrasi
diberikan melalui infus cairan Ringer Laktat dan Dextrosa/Glukosa 10%
dengan perbandingan 1:1 (RLG 5%). Jumlah cairan yang diberikan
sebanyak 15 ml/kg BB selama 1 jam, atau 5 tetes/menit/kg BB (infus tetes
makro 20 ml/menit).
Mineral-mix juga tersedia dalam bentum sachet. Setiap sachet serbuk
mineral-mix (8 gram) mengandung:

Tabel 5. Kandungan Larutan Mineral – Mix


Kandungan Jumlah
Kalium Klorida 1,792 gram
Trikalium sitrat (1H2O) 0,648 gram
Magnesium klorida (6H2O) 0,608 gram
Seng asetat (2H2O) 0,066 gram
Tembaga sulfat 0,011 gram
Tambahkan air secukupnya

Keterangan : cara membuat larutan mineral-mix/larutan elektrolit: 1 sachet


mineral-mix ditambahkan air matang menjadi larutan elektrolit 20 ml.

Pemantauan

Pantau kemajuan proses rehidrasi dan perbaikan keadaan klinis setiap 30


menit selama 2 jam pertama, kemudian tiap jam sampai 10 jam berikutnya.
Waspada terhadap gejala kelebihan cairan, yang sangat berbahaya dan bisa
mengakibatkan gagal jantung dan kematian. Periksalah:

- frekuensi napas dan nadi;


- frekuensi miksi dan jumlah produksi urin;
- frekuensi buang air besar dan muntah.

Selama proses rehidrasi, frekuensi napas dan nadi akan berkurang dan
mulai ada diuresis. Tanda membaiknya hidrasi antara lain: kembalinya air
mata, mulut basah, cekung mata dan fontanel berkurang dan turgor kulit
membaik. Namun, pada anak gizi buruk tanda tersebut sering tidak ada,
walaupun rehidrasi penuh telah terjadi; karena itu sangat penting untuk
memantau berat badan. Bila ditemukan tanda kelebihan cairan (frekuensi
napas meningkat 5x/menit dan frekuensi nadi 15x/menit), hentikan segera
pemberian cairan/ReSoMal dan lakukan penilaian ulang setelah 1 jam.

Tabel 6. Cara membuat cairan ReSoMal bila Larutan mineral-mix tidak


tersedia
Bahan Jumlah
Oralit 1 sachet (200 ml)
Gula pasir 10 g
Bubuk KCl 0,8 g
Ditambah air samapi menjadi 400 ml

Keterangan : Karena larutan pengganti tidak mengandung Mg, Zn, dan


Cu, maka dapat diberikan makanan sumber mineral tersebut. Dapat pula
diberikan MgSO4 40% IM 1 x/hari dengan dosis 0,3 ml/kg BB,
maksimum 2 ml/hari

Tabel 7. Larutan Mineral-Mix


Kandungan Jumlah
Kalium Klorida (KCl) 89,5 g
Tripotassium citrate 32,4 g
Magnesium klorida (MgCl2. 6H2O) 30,5 g
Seng asetat (Zn asesat. 2H2O) 3,3 g
Tembaga sulfat (CuSO4. 5H2O) 0,56 g
Tambahkan air menjadi 1000 ml

Jika ada, tambahkan juga selenium (0,01 g natrium selenat,


NaSeO4.10H20) dan iodium (0,005 g kalium iodida) per 1000 ml.

- Larutkan bahan ini dalam air matang yang sudah didinginkan.


- Simpan larutan dalam botol steril dan letakkan di dalam lemari es
untuk menghambat kerusakan. Buang jika berubah seperti berkabut.
Buatlah larutan baru setiap bulan.
- Tambahkan 20 ml larutan mineral-mix pada setiap pembuatan 1000
ml F-75/F-100.
- Jika tidak mungkin untuk menyiapkan larutan mineral-mix dan juga
tidak tersedia larutan siap pakai, beri K, Mg dan Zn secara terpisah.
Buat larutan KCl 10% (100 g dalam 1 liter air) dan larutan 1,5% seng
asetat (15 g dalam 1 liter air).

Untuk pembuatan ReSoMal, gunakan 45 ml larutan KCl 10% sebagai


pengganti 40 ml larutan mineral-mix, sedangkan untuk pembuatan F-75
dan F-100 gunakan 22,5 ml larutan KCl 10% sebagai pengganti 20 ml
larutan mineral-mix. Berikan larutan Zn-asetat 1,5% secara oral dengan
dosis 1 ml/kgBB/hari. Beri MgSO4 50% IM, 1x/hari dengan dosis 0,3
ml/kgBB/ hari, maksimum 2 ml.

Pencegahan

Cara mencegah dehidrasi akibat diare yang berkelanjutan seperti pada


anak dengan gizi baik, kecuali digunakannya cairan ReSoMal sebagai
pengganti larutan oralit standar. ReSoMal mengandung 37,5 mmol Na,
40 mmol K, dan 3 mmol Mg per liter. Bila larutan mineral-mix tidak
tersedia, dapat dibuat larutan penggantinya (lihat Tabel 13 dan 14).

- Jika anak masih mendapat ASI, lanjutkan pemberian ASI.


- Berikan F-75 sesegera mungkin. Berikan ReSoMal sebanyak 50-100
ml setiap buang air besar cair.

Anak dengan dehidrasi juga sering kali mengalami gangguan


keseimbangan elektrolit seperti defisiensi kalium dan magnesium. Anak
gizi buruk yang mengalami defisiensi kalium dan magnesium mungkin
membutuhkan waktu dua minggu atau lebih untuk memperbaikinya.
Terdapat kelebihan natrium total dalam tubuh, walaupun kadar natrium
serum mungkin rendah. Edema dapat diakibatkan oleh keadaan ini.
Jangan obati edema dengan diuretikum. Pemberian natrium berlebihan
dapat menyebabkan kematian. Tatalaksananya:

- Untuk mengatasi gangguan elektrolit diberikan Kalium dan


Magnesium, yang sudah terkandung di dalam larutan mineral-mix
yang ditambahkan ke dalam F-75, F-100 atau ReSoMal.
- Gunakan larutan ReSoMal untuk rehidrasi.
5. Obati Infeksi
Balita gizi buruk seringkali menderita berbagai jenis infeksi, namun
sering tidak ditemukan tanda/gejala infeksi bakteri, seperti demam. Karena
itu, semua balita gizi buruk dianggap menderita infeksi pada saat datang ke
faskes dan segera diberi antibiotik. Hipoglikemia dan hipotermia seringkali
merupakan tanda infeksi berat.
Tatalaksana
- Berikan kepada semua balita gizi buruk antibiotika dengan spektrum
luas.
- Imunisasi campak jika balita berusia ≥ 6 bulan dan belum pernah
diimunisasi atau mendapatkan imunisasi campak sebelum usia 9
bulan. Imunisasi ditunda bila balita dalam keadaan syok.

Pilihan antibiotika berspektrum luas

- Bila tanpa komplikasi, beri amoksisilin (15 mg/kg per oral setiap 8
jam) selama 5 hari.
- Pada balita gizi buruk dengan komplikasi (hipoglikemia, hipotermia,
penurunan kesadaran/letargi, atau terlihat sakit) atau komplikasi
lainnya, maka berikan antibiotika parenteral (IM/IV):
- Ampisilin (50 mg/kg IM atau IV setiap 6 jam) selama 2 hari,
kemudian dilanjutkan dengan Amoksisilin oral (25-40 mg/kg
setiap 8 jam selama 5 hari); ditambah
- Gentamisin (7.5 mg/kg IM atau IV) sehari sekali selama 7 hari
(Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, 2019).
- Pemilihan jenis antibiotika juga disesuaikan dengan pola resistensi
kuman setempat. Catatan: metronidazole 7,5 mg/kg setiap 8 jam
selama 7 hari dapat diberikan sebagai tambahan antibiotika
berspektrum luas, namun efektivitasnya belum ditegakkan dengan uji
klinis.
- Berikan terapi untuk penyakit infeksi sesuai dengan standar terapi
yang berlaku, seperti malaria, meningitis, TB dan HIV.

Pemantauan

Jika terdapat anoreksia setelah pemberian antibiotika tersebut di atas,


lanjutkan terapi sampai 10 hari. Jika nafsu makan belum membaik,
lakukan penilaian ulang menyeluruh pada balita.

Terapi untuk kecacingan

Pada balita gizi buruk dengan komplikasi, pemberian obat antihelmintik


diberikan setelah balita memasuki Fase Rehabilitasi. Berikan Pirantel
Pamoat dosis tunggal atau Albendazole dosis tunggal atau Mebendazole
100 mg per oral dua kali sehari selama 3 hari pada balita yang terdiagnosa
menderita kecacingan (hasil pemeriksaan tinja positif). Sedangkan pada
balita yang tidak terdiagnosa kecacingan, tetap diberikan Mebendazole
pada hari ke-7 setelah dirawat inap (lihat Tabel 8).

Tabel 8. Jenis Obat dan Dosis Antihelmintik


Obat Usia Dosis Resep
Pengobatan infestasi parasite (jika hasil pemeriksaan tija positif)
Pirantel Pamoat 4-9 bln (BB 6 - <8kg) ½ tab Dosis tunggal di
125 mg 9-12 bln (BB8 - <10 kg) ¾ tab hari ke-7
1-3 th (BB 10 - <14 kg) 1 tab
3-5 th (BB 14 - <19 kg) 1 ½ tab
Albendazole 200 12 – 13 bulan 200 mg Dosis tunggal di
mg hari ke-7
≥ 24 bulan 400 mg Dosi tunggal di
hari ke-7
Mebendazole >12 bulan (BB ≥ 10 kg) 100 mg, 2 Selama 3 hari;
100 mg kali sehari mulai hari ke-7
Preventif untuk daerah endemis dan balita belum/tidak pernah diberi
antihelmintik 6 bulan terakhir
Mebendazole >12 bulan (BB ≥ 10 kg) 100 mg. 2 Selama 3 hari;
(1oo mg/tab atau kali sehari dimulai dari hari
100 mg/5mL) ke-7

6. Perbaiki Def. Nutrien Mikro


Semua anak gizi buruk mengalami defisiensi vitamin dan mineral.
Meskipun sering ditemukan anemia, zat besi tidak boleh diberikan pada
fase awal, dan baru diberikan setelah anak mempunyai nafsu makan yang
baik dan mulai bertambah berat badannya (biasanya pada minggu kedua,
mulai Fase Rehabilitasi). Zat besi dapat memperparah infeksi bila diberikan
terlalu dini. Pemberian zat gizi mikro sama dengan penjelasan sebelumnya.
Jika tenaga kesehatan menggunakan F-75 dan F-100 yang dibuat
sendiri, maka suplementasi zat gizi mikro diberikan seperti penjelasan pada
Rawat Jalan. Pemberian obat dilakukan dengan hati-hati karena reaksi
fisiologis tidak normal, misalnya:
- fungsi hati dan ginjal yang abnormal;
- perubahan kemampuan menghasilkan enzim untuk proses
pengolahan/pembuangan obat, penyerapan kembali yang berlebihan
obat yang dibuang ke dalam empedu;
- penurunan lemak tubuh yang mengakibatkan penumpukan obat larut
dalam lemak. Pada balita dengan kwashiorkor, mungkin juga terjadi
kerusakan saraf otak.

Hanya sedikit obat yang sudah diuji farmakokinetika, metabolisme atau


efek samping pada penderita gizi buruk. Karena itu pemberian obat biasa
kepada balita dengan gizi buruk perlu dilakukan dengan sangat hati-hati.
Pemberian makan awal pada Fase Stabilisasi

Pemberian terapi gizi harus segera diberikan pada balita gizi buruk yang
tidak memerlukan tindakan kegawat-daruratan dan pada balita gizi buruk
dengan dehidrasi, hipotermi dan renjatan sepsis. Pemberian terapi gizi ini
dilakukan secara bertahap. Pada Fase Stabilisasi, balita gizi buruk diberi
formula terapeutik F-75, yang merupakan formula rendah protein (pada
fase ini protein tinggi dapat meningkatkan risiko kematian), rendah
laktosa, mengandung zat gizi makro dan mikro seimbang untuk
memastikan kondisi stabil pada balita.

Tabel 9. Resep Formula WHO F-75 dan F-100


Bahan Makanan Per 1000 F-75 F&% F-100
ml (+sereal)
Susu skim bubuk gram 25 25 85
Gula pasir gram 100 70 50
Tepung gram - 35 -
beras/maizena
Minyak sayur gram 27 27 60
Larutan elektrolit ml 20 20 20
Tambahkan air s/d ml 1000 1000 1000
Nilai Gizi/1000 ml
Energi Kkal 750 750 1000
Protein Gram 9 11 29
Laktosa Gram 13 13 42
Kalium mMol 40 42 63
Natrium mMol 6 6 19
Magnesium mMol 4,3 4,6 7,3
Seng Mg 20 20 23
Tembaga Mg 2,5 2,5 2,5
% energi protein - 5 6 12
% energi lemak - 32 32 53
Osmolaritas mOsm/l 413 334 419
F-75 mengandung 75 kkal/100 ml dan menormalkan kekurangan
mikronutrien serta gangguan fisiologi. F-75 dalam kemasan sudah
mengandung semua mikronutrien yang diperlukan untuk stabilisasi,
sehingga tambahan mikronutrien tidak diperlukan lagi. Bila tidak tersedia
formula F-75 siap pakai, maka F-75 dapat dibuat berdasarkan resep
formula WHO F-75. Resep F-75 dan F-100 dapat dilihat pada Tabel 15
dan resep formula modifikasinya dapat dilihat pada Tabel 10.

Tabel 10. Resep formula modifikasi


Fase Stabilisasi Rehabilitasi
Bahan Makanan F-75 F-75 F-75 F-100
I II III
Susu skim bubuk (g) 25 - - -
Susu full cream (g) - 35 - 110
Susu sapi segar (ml) - - 300 -
Gula pasir (g) 70 70 70 50
Tepung beras (g) 35 35 35 -
Minyak sayur (g) 27 17 17 30
Margarin (g) - - - -
Larutan elektrolit (ml) 20 20 20 20
Tambahan air s/d (ml) 1000 1000 1000 1000

Tatalaksana

Hal yang penting diperhatikan pada pemberian makanan pada Fase


Stabilisasi adalah:

- Makanan rendah osmolaritas, rendah laktosa, diberikan dalam


jumlah sedikit tetapi sering.
- Makanan diberikan secara oral atau melalui NGT dengan jumlah dan
frekuensi seperti dijelaskan pada Tabel 11. Pemberian makanan
parenteral dihindari. Pemberian makan dengan menggunakan NGT
dilakukan jika balita menghabiskan F-75 kurang dari 80% dari
jumlah yang diberikan dalam dua kali pemberian makan.

Tabel 11. Jumlah dan frekuensi pemberian F-75 pada balita gizi buruk
tanpa edema
Volume/KgBB Volume/KgBB
Hari ke Frekuensi
/Pemberian /Hari
1-2 Setiap 2 jam 11 ml 130 ml
3-5 Setiap 3 jam 16 ml 130 ml
6 dst Setiap 4 jam 22 ml 130 ml

- Jumlah energi/kalori: 100 kkal/KgBB/hari dan protein: 1-15


g/KgBB/hari
- Cairan: 130 ml/KgBB/hari (bila ada edema berat maka diberi 100
ml/KgBB/hari)
- Bila anak masih mendapat ASI, lanjutkan, tetapi pastikan bahwa
balita menghabiskan F-75 sesuai dengan jumlah yang telah
ditentukan
- Gunakan cangkir untuk memberi amakan balita. Pada balita gzi
buruk yang sangat lemah, gunakan sendok, semprit atau syringe.

Pemantauan

Pemantauan dilakukan dengan mencatat setiap hari:

- Jumlah makanan yang diberikan dan dihabiskan.


- Jumlah dan frekuensi muntah.
- Frekuensi defekasi dan konsistensi feses.
- Berat badan.
b) Fase Transisi
Fase ini ditandai oleh transisi dari kondisi stabil ke kondisi yang memenuhi
syarat untuk menjalani rawat jalan. Fase Transisi dimulai ketika:
- Komplikasi medis teratasi;
- Tidak ada hipoglikemia;
- Nafsu makan pulih;
- Edema berkurang

Pengelolaan Fase Transsisi terdapat dua pendapatan yaitu transisi ke


layanan rawat jalan bila tersedia dan transisi ke layanan rawat inap fase
rehabilitasi bilalayanan jalan tidak tersedia.

1. Transisi ke layanan rawat jalan Tujuannya adalah untuk:


- Mempersiapkan rehabilitasi gizi pada balita dengan gizi buruk
agar dapat menjalani rawat jalan dan mengonsumsi RUTF atau F-
100 dalam jumlah cukup untuk meningkatkan berat badan dan
kesembuhan;
- Memastikan balita tersebut untuk memperoleh kebutuhan gizi
yang dibutuhkan, yang dilakukan dengan memperkenalkan dan
meningkatkan proporsi harian pemberian RUTF atau F-100
secara bertahap.
2. Transisi ke layanan rawat inap fase rehabilitasi
Tatalaksana
Transisi dilakukan secara bertahap dari F-75 ke F-100 atau RUTF
selama 2-3 hari, sesuai dengan kondisi balita.
- Formula F-75 diganti menjadi F-100 dalam volume yang sama
seperti pemberian F-75 yang terakhir selama 2 hari. Berikan
formula tumbuh kejar (F-100 atau RUTF) yang mengandung 100
kkal/100 ml dan 2,9 g protein/100 ml.
- Pada hari ke-3: Bila menggunakan F-100, jumlah F-100
dinaikkan sebanyak 10 ml/kali pemberian sampai balita tidak
mampu menghabiskan/tersisa sedikit. Biasanya hal ini terjadi
ketika pemberian formula mencapai 200 ml/kgBB/hari. Setelah
transisi bertahap, berikan dalam frekuensi yang sering, dengan
jumlah kalori: 150-220 kkal/kgBB/hari dan protein: 4-6 g/
kgBB/hari. Bila menggunakan RUTF (lihat Kotak 3): pemberian
RUTF dimulai dengan porsi kecil tapi teratur. Balita dibujuk
untuk makan RUTF lebih sering (8 kali/hari, dan kemudian dapat
menjadi 5-6 kali/hari). Bila balita tidak dapat menghabiskan
jumlah RUTF yang dibutuhkan pada Fase Transisi ini, maka beri
tambahan F-75 sehingga mencapai kebutuhan balita/hari.
Lakukan sampai balita mampu menghabiskan RUTF yang
diberikan. Bila balita tidak dapat menghabiskan sedikitnya
setengah dari jumlah RUTF yang dibutuhkan dalam 12 jam, maka
pemberian RUTF dihentikan dan kembali diberikan F-75. Setelah
itu, pemberian RUTF dicoba lagi dalam 1-2 hari sampai balita
mampu menghabiskan jumlah RUTF yang diberikan.
- Bila balita masih mendapat ASI, maka pemberian ASI
dilanjutkan, dengan memastikan bahwa balita terlebih dahulu
menghabiskan F-100 atau RUTF sesuai jumlah yang telah
ditentukan.
c) Fase Rehabilitasi
Setelah Fase Transisi, balita mendapatkan perawatan lanjutan ke fase
Rehabilitasi di layanan rawat jalan, atau tetap di layanan rawat inap bila
tidak tersedia layanan rawat jalan.
Tatalaksana
- Kebutuhan zat gizi pada Fase Rehabilitasi adalah: Energi : 150-220
kkal/kgBB/hari Protein : 4-6 g/kgBB/hari
- Bila menggunakan RUTF: sama seperti pemberian RUTF pada layanan
rawat jalan.
- Bila menggunakan F-100: Lihat Tabel 12
Tabel 12. Kebutuhan zat Gizi untuk balita gizi bruk menurut fasenya
Zat Gizi Stabilisasi Transisi Rehabilitasi
Energi 80-100 100-150kkal 150-220
kkal/KgBB/hr /KgBB/hr kkal/KgBB/hr
Protein 1-1,5 g/KgBB/hr 2-3 g/KgBB/hr 3-4 g/KgBB/hr
atau 100
ml/KgBB/hr
Cairan 130 ml/KgBB/hr 150 150-200
100 ml/KgBB/hr bila ml/KgBB/hr ml/KgBB/hr
ada edema berat
Vitamin A Diberikan pada hari ke 1,2 dan ke 15 hari rawat
Umur <1 th 1 capsul vitamin A dosis 100.000 IU (warna biru)
Umur >1 th 1 capsul itamin A dosis 200.000 IU (warna merah)

Tabel 13. Kecukupan Gizi yang dianjurkan (kkal/KgBB/hari)


Umur Laki-laki Perempuan Protein Rata2
(thn)
0 - 0,5 110-120 110-120 2,5 g/bb/hr 700
0,5 - 1 100-120 110-120 2,5 g/bb/hr 900
1-3 100 100 2 g/bb/hr
4-6 90 90 1,8 g/bb/hr
6 - 10 50-70 40-50 1,5 g/bb/hr
10 - 14 40-50 40 1-1,5 g/bb/hr

Keterangan : untuk KEP ringan dan sedang bila toleransi baik ditambah
20% -50% dari DKGA

Pemantauan

Hal yang perlu dihindari pada fase ini adalah terjadinya gagal jantung.
Perlu diamati gejala dini gagal jantung, yaitu nadi cepat dan nafas cepat.
Bila keduanya meningkat, yaitu pernafasan naik 5x/menit dan nadi naik
25x/menit) yang menetap selama 2 kali pemeriksaan masing-masing
dengan jarak 4 jam berturut-turut, maka hal ini merupakan tanda bahaya
yang perlu dicari penyebabnya.

Penilaian Kemajuan

Kemajuan terapi dinilai dari kecepatan kenaikan berat badan setelah


Fase Transisi dan mendapat F-100 atau RUTF. • Timbang dan catat berat
badan setiap pagi sebelum diberi makan. Hitung dan catat kenaikan berat
badan setiap 3 hari dalam gram/kgBB/hari. • Bila kenaikan berat badan:
kurang, yaitu bila kenaikan berat badan kurang dari 5 g/kg BB/hari, balita
membutuhkan penilaian ulang lengkap; sedang, yaitu bila kenaikan berat
badan 5-10 g/kg BB/hari), perlu diperiksa apakah target asupan terpenuhi,
atau mungkin ada infeksi yang tidak terdeteksi; baik, yaitu bila kenaikan
berat badan lebih dari 10 g/kg BB/hari. ATAU kurang, yaitu bila kenaikan
berat badan kurang dari 50 g/kg BB/per minggu, maka balita membutuhkan
penilaian ulang lengkap; baik, yaitu bila kenaikan berat badan ≥ 50 g/kg
BB/per minggu

7. Stimulasi
Stimulasi sensorik dan emosional
Stimulasi sensorik dan emosional merupakan bagian dari stimulasi
perkembangan balita. Hal yang perlu dilakukan sebagai berikut:
- Ungkapan kasih sayang dan lingkungan yang ceria;
- Terapi bermain terstruktur selama 15-30 menit/hari;
- Aktivitas fisik segera setelah balita cukup sehat;
- Keterlibatan ibu dan anggota keluarga atau pengasuh sesering
mungkin (misalnya menghibur, memandikan, bermain, memberi
makan);
- Pengasuh diajari berinteraksi positif dengan balita agar nafsu
makannya meningkat.

Kriteria pulang dari layanan rawat inap dan pindah ke layanan rawat jalan:
- Tidak ada komplikasi medis,
- Edema berkurang,
- Nafsu makan baik,
- Secara klinis baik. Kriteria pindah dari layanan rawat inap ke layanan
rawat jalan TIDAK berdasarkan kriteria antropometri tapi
berdasarkan kondisi klinis.

Kriteria sembuh untuk balita gizi buruk (selama 2 minggu berturut-turut):

- LiLA ≥ 12.5cm (hijau) dan/atau


- Skor-Z BB/PB (atau BB/TB) ≥ -2 SD
- Tidak ada edema, secara klinis baik
- Indikator antropometri yang digunakan untuk menyatakan balita gizi
buruk sembuh adalah sama dengan indikator yang digunakan untuk
memasukkan balita gizi buruk dalam perawatan.

Bila balita gizi buruk masuk dengan bilateral edema, maka kriteria
sembuh adalah:

- LiLA ≥ 12.5cm (hijau),


- Skor-Z BB/PB (atau BB/TB) ≥ -2 SD,
- Tidak ada edema, secara klinis baik
- Persentase kenaikan berat badan TIDAK BOLEH digunakan untuk
kriteria sembuh atau keluar dari perawatan balita gizi buruk.
8. Siapkan Tindak Lanjut

i. Pencegahan Gizi Buruk pada Bayi di Bawah 6 Bulan


Gizi buruk pada bayi di bawah usia 6 bulan dapat terjadi sejak di dalam
kandungan atau setelah lahir, atau akibat adanya penyakit/kelainan bawaan.
Pencegahan gizi buruk pada kelompok ini seringkali bersifat jangka panjang
dan tidak langsung, karena terkait dengan status kesehatan dan kondisi ibu
sebelum/selama kehamilan dan pada masa menyusui serta faktor risiko lainnya.
Pencegahan jangka pendeknya adalah dengan memberikan kolostrum/IMD
dan memenuhi kebutuhan ASI, (ASI eksklusif). Bila ditemukan penyakit/
kelainan bawaan, maka bayi perlu segera dirujuk untuk mendapatkan
pelayanan yang adekuat dan tepat waktu. Dengan memahami keterkaitan
berbagai faktor risiko dan dampak yang ditimbulkan dari masalah kekurangan
gizi sejak di dalam kandungan (gambar 2), maka upaya pencegahan dapat
dilakukan secara lebih terarah. Pemahaman ini juga berguna bagi petugas
kesehatan dalam memberikan penyuluhan dan konseling kepada keluarga dan
masyarakat.

Gambar 2. Keterkaitan berbagai faktor risiko dan dampak kekuragan gizi


pada 1000 HPK (Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, 2019).

Faktor risiko gizi buruk pada bayi < 6 bulan yang sering ditemukan
sebagai berikut.
1. Bayi berat lahir rendah (BBLR), yaitu berat lahir di bawah 2500 g:
- Bayi lahir sebelum waktunya (preterm/prematur), yaitu sebelum usia
kehamilan 37 minggu: berat lahirnya rendah dan organ-organ
tubuhnya belum berfungsi sepenuhnya. Akibatnya, risiko kegagalan
fungsi tubuh meningkat, yang antara lain menimbulkan gangguan
pernafasan dan hipotermi. Faktor penyebab kelahiran prematur pada
umumnya terkait dengan status kesehatan ibu, misalnya ibu menderita
penyakit infeksi atau penyakit kronis, ibu mengalami komplikasi
kehamilan, ibu merokok/terpapar asap rokok, ibu terlalu berat beban
kerja atau mengalami stres;
- Bayi lahir cukup umur (37 minggu atau lebih), tetapikecil untuk umur
kehamilannya, sebagai akibat dari kekurangan gizi sejak di dalam
kandungan. Pada kelahiran cukup umur, biasanya organ-organ tubuh
bayi telah matang dan dapat berfungsi normal. Faktor penyebabnya
pada umumnya adalah masalah kurang gizi pada ibu, misalnya KEK
(kurang energi kronis) dan/atau anemia pada masa kehamilan atau
bahkan sebelumnya.
2. Penyakit/kelainan bawaan: beberapa jenis kelainan bawaan berakibat pada
gangguan fungsi pencernaan, misalnya bibir dan langit-langit sumbing,
kelainan saluran pencernaan atau kelainan sistem organ lainnya, seperti
kelainan sistem kardiovaskuar, dll. Penyakit bawaan misalnya HIV, sifilis
dan hepatitis B yang dapat ditularkan dari ibu ke janin.
3. Pola asuh yang tidak menunjang proses tumbuh kembang bayi dan
gangguan kesehatan ibu setelah melahirkan, misalnya bayi lahir tidak
mendapat kolostrum; produksi ASI sedikit sehingga bayi tidak
mendapatkan ASI eksklusif, atau kondisi lainnya seperti ibu tidak mau
menyusui atau berjauhan dengan bayinya.
Upaya pencegahan gizi buruk pada bayi kurang dari 6 bulan adalah dengan
mencegah timbulnya faktor-faktor risiko tersebut, yang meliputi upaya
peningkatan kesehatan ibu, pertolongan persalinan dan pelayanan kesehatan
bayi berkualitas. Kemenkes menjadikan upaya-upaya tersebut sebagai paket
pelayanan Seribu Hari Pertama Kehidupan (1000 HPK). Tujuannya mengawal
status gizi ibu dan janin/bayinya agar tetap sehat sejak di dalam kandungan
(270 hari) sampai usia dua tahun (730 hari), melalui;
1. Pencegahan pernikahan dini dan kehamilan pada remaja puteri.
2. Pemberian tablet tambah darah pada remaja puteri.
3. Konseling pranikah.
4. Peningkatan upaya kepesertaan Keluarga Berencana (KB).
5. Pelayanan antenatal sesuai dengan standar, termasuk mengatasi penyakit
kronis pada ibu, pemberian makanan tambahan pada ibu hamil KEK,
pemberian Buku KIA, edukasi tentang inisiasi menyusu dini (IMD) dan
promosi ASI eksklusif.
6. Pelayanan persalinan dan nifas serta kunjungan neonatal sesuai dengan
standar dan mengatasi penyulit maupun komplikasi
7. Pemantauan dan stimulasi tumbuh kembang anak.
8. Pelayanan imunisasi dasar.
9. Pelayanan kesehatan bayi sesuai dengan standar melalui pendekatan
Manajemen Terpadu Balita Muda (MTBM) bagi bayi < 2 bulan dan
Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) bagi bayi > 2 bulan sampai 59
bulan.
10. Upaya penanggulangan kelainan bawaan.

j. Pencegahan Gizi Buruk pada Balita 6-59 Bulan


Kekurangan gizi pada balita 6-59 bulan lebih banyak dipengaruhi oleh
faktor luar, misalnya:
- Asupan makanan
- Kekebalan tubuh terhadap infeksi, yang antara lain dipengaruhi oleh
kelengkapan pemberian imunisasi dasar
- Terpapar sumber infeksi penyakit menular baik internal maupun eksternal
- Ketersediaan jamban keluarga dan air bersih
- Kondisi lingkungan, misalnya yang berkaitan dengan polusi, termasuk
polusi dari industri, kendaraan bermotor, asap rokok, asap dapur, dll.

Kapasitas lambung balita usia 6-23 bulan masih kecil, sehingga belum
bisa menampung volume makanan dalam jumlah besar yang sesuai dengan
kebutuhan kalorinya. Untuk mengatasi hal tersebut, balita perlu diberi MP-ASI
yang padat gizi, termasuk tinggi kalori tinggi protein, agar volume tidak terlalu
besar. Komposisi lemak yang dianjurkan agar MPASI padat energi untuk balita
usia 6 sampai kurang dari 24 bulan adalah 30-45% dari total kebutuhan energi
per hari. Hal tersebut dapat dipenuhi dengan menambahkan minyak atau santan
kental ke dalam MP-ASI.

Gambar 3 Kebutuhan Gizi Sepanjang Usia (Kementrian Kesehatan


Republik Indonesia, 2019).

Keterangan :

- Balita usia 9 - <12 bulan memerlukan 800 kkal/hal dengan porsi ASI
60-70%, porsi lemak 30-40% dari kebutuhan kalori dan kalori dari
MP-ASI 300 kkal
- Balita usia 12 - <24 bulan memerlukan 1100 kkal/hari dengan porsi
30-40%, porsi lemak 30-45% dari kebutuhan kalori dan dari MP-
ASI 550 kkal
- Balita udia 24 – 59 bulan kebutuhan kalori 90 kkal/KgBB, porsi
lemak 30-35% dari kebutuhan kalori dan sisanya dipenuhi dari
makanan keluarga
k. a. Pohon masalah

Asupan nutrisi, penyakit infeksi,


pengetahuan ibu, pendidikan ibu,
pola asuh, dll

Gizi dalam tubuh menurun

Gizi Buruk

Kekurangan
Defisit Defisit Nutrisi Toleransi sistem Produksi sel T
protein makanan
pencernaan menurun
Pengetahuan terhadap makanan

Produksi sel T
Kekuarngan asam amino
Gangguan pola menurun
Gangguan tumbuh esensial dalam serum
eliminasi : Diare
kembang

Risiko Infeksi

Atrofi / pengecilan otot Produksi albumin


berkurang oleh hati

Hipoproteinema

Gangguan integritas Cairan pindah dari


kulit intravaskuler ke interstisial

Kulit tampak bersisik Edema/ acites


dan kering, turgor tidak
elastis
b. Masalah Keperawatan dan data yang perlu dikaji
Pengkajian adalah proses pengumpulan data secara sistematis yang
bertujuan untuk menentukan status kesehatan dan fungsional klien pada saat ini
dan waktu sebelumnya, serta untuk menentukan pola respon klien saat ini dan
waktu sebelumnya (Potter,Perry,2009:838). Pengkajian adalah usaha yang
dilakukan oleh perawat dalam menggali permasalahan dari klien meliputi usaha
pengumpulan data tentang status kesehatan seorang klien secara
sistematis,mnyeluruh,akurat,singkat dan berkesinambungan ( Muttagin, Arif :
2010:2).
Kendala dalam tahap pengkajian yaitu kemungkinan terjadinya kesalahan
karena data yang disampaikan oleh orang tua atau pengantar pasien mungkin
berdasarkan asumsi atau persepsi orang tua atau pengantar. Kedaan ini tentu saja
berhubungan dengan tingkat pengetahuan, Pendidikan, adat dan tradisi,
kepercayaan, kebiasaan dan faktor lainnya.
1. Identitas klien meliputi nama lengkap, nama panggilan, umur, tanggal lahir
dan jenis kelamin
2. Identitas orang tua meliputi nama orang tua, umur, agama, suku bangsa,
Pendidikan, pekerjaan, penghasilan dan alamat
3. Keluhan utama meliputi gangguan terpenting yang dirasakan kliensampai
perlu pertolongan dan menyebakan penderita dating berobat kemudian
ditanya keluhan tambahan
4. Riwayat Kesehatan sekarang
- Keluahan yang dirasakan pasien sejak gejala pertama sampai saat
dilakukan anamnesis/klien meminta pertolongan pertama
- Sejak kapan keluhan dirasakan, berapa lama dan berapa kali keluhan
tersebut terjadi
- Bagaimana sifat dan hebatnya keluhan, dimana pertama kali keluhan
timbul,
- Apa yang sedang dilakukan ketika keluhan itu terjadi,
- Keadaan apa yang memperberat atau memperingan keluhan,
- Ada tidaknya usaha untuk mengurangi keluhan sebelum mendapat
pertolongan,
- Serta berhasil atau tidak usaha tersebut
- Terapi apa yang telah diberikan untuk meredakan keluhan yang
dirasakan oleh bayi/anak
5. Riwayat penyakit terdahulu meliputi penyakit yang pernah diderita
bayi/anak, riwayat operasi pada bayi/anak, riwayat imunisasi yang telah
dilakukan oleh bayi/anak
6. Riwayat Perinatal meliputi antenatal, intra natal dan post natal (0-7 hari)
7. Riwayat Kesehatan keluarga meliputi penyakit yang bersifat genenik yang
pernah diderita oleh orang tua
8. Pemeriksaan tingkat perkembangan meliputi adaptasi sosial, motoric kasar,
motoric halus dan Bahasa. Motoric kasar dan halus dapat dilihat melalui
DDST.
9. Keadaan lingkungan yang mempengaruhi timbulnya penyakit meliputi
keadaan lingkungan bayi/anak yang terkena penyakit yang sama dengan
yang bayi/anak derita saat ini atau terdapat factor risiko yang mempengaruhi
kondisi Kesehatan bayi/anak
10. Pola Fungsi Kesehatan
1) Pola pesepsi dan tatalaksana Kesehatan
Adanya tindakan pelaksanaan kesehatan di rumah sakit yang akan
menimbulkan perubahan pada pemeliharaan kesehatan. Koping yang
tidak sesuai dalam pemeliharaan kesehatan dapat menimbulkan rasa
tidak nyaman
2) Pola nutrisi dan metabolisme
Pola makan dan minum sehari-hari, jumlah makanan dan minuman yang
dikonsumsi, jenis makanan dan minuman, makan berapa kali sehari,
nafsu makan menurun atau tidak, jenis makanan yang disukai, penurunan
berat badan selama sakit.
Antropometri : mengunakan Z-Score
Biomedical Sign : menggunakan hasil Laboratorium
Clinical Sign :
Komponen Hasil pemeriksaan
Penampilan Umum
Rambut
konjungtiva
Sklera
Mukosa bibir
Turgor kulit
Lain-lain:
a. pupil

Diet Pattern
Pola Makan Sebelum sakit Saat di rumah sakit
Nafsu makan
Frekuensi makan
Porsi makan
Jenis Cairan
Frekuensi minum

3) Pola Eliminasi
Kaji adanya perubahan ataupun gangguan pada kebiasaan BAB dan
BAK saat sebelum masuk rumah sakit dan saat berada di rumah sakit.
Adanya perubahan karakteristik feses dan urin. Pasien dengan gangguan
mobilisasi umumnya akan terpasang selang kateter dan untuk BAB perlu
dibantu.
4) Pola Aktifitas / Bermain
Mengetahui pola aktivitas klien sebelum dan sesudah sakit.
Aktifitas harian (Activity Daily Living)

Kemampuan perawatan diri 0 1 2 3 4

Makan/minum
Mandi
Toileting
Berpakaian
Mobilisasi di tempat tidur
Berpindah
Ambulasi ROM
Keterangan = 0: mandiri, 1: alat bantu, 2: dibantu orang lain, 3: dibantu
oranglain dan alat, 4: tergantung total

5) Pola Istirahat Tidur


Untuk mengetahui apakah terdapat gangguan tidur sebelum dan sesudah
sakit
6) Pola Kognitif dan Persepsi Sensori
Pada umumnya bayi/anak dengan gizi buruk akan mengalami
keterlambatan pada kognisinya diakibatkan lemahnya tubuh dan gizi
yang di dalam tubuh tidak memadai
7) Pola Konsep Diri
Mengetahui bagaimana kondisi penderita, apakah pasien dapat menerima
keadaannya yang sekarang atau tidak. Umumnya jika pada klien anak
tidak terkaji
8) Pola Hubungan – Peran
Kaji hubungan antar keluarga, apakah keluarga memberikan dukungan
pada klien ketika klien sakit, dan bagaimana interaksinya
9) Pola Seksual – Seksualitas
Mengkaji usia bayi/anak dengan jenis kelaminnya. Karena untuk pola
seksualitas pada bayi/anak masih belum matang secara fisiologis
10) Pola Mekanisme Koping
Sikap klien terhadap penyakitnya meliputi emosi, ketakutan terhadap
penyakit, kecemasan yang muncul tanpa alasan yang jelas termasuk
dengan memutuskan untuk menjalani pengobatan yang intensif. Dengan
adanya proses pengobatan yang lama akan mengakibatkan stres pada
klien yang bisa mengakibatkan penolakan terhadap pengobatan
11) Personal Nilai dan kepercayaan
Meliputi agama, perubahan ibadah saat sebelum dan saat sakit, ketaatan
dalam berdoa dan beribadah. Pada klien bayi belum terlalu terlihat untuk
kegiatan ibadahnya, namun untuk anak-anak mulai mampu dalam
menjalankan ibadahnya.
11. Pemeriksaan Fisik
1) Status Kesehatan Umum
Keadaan Umum. Dilakukan dengan observasi atau inspeksi. Keadaan
umum bayi dinyatakan dengan:
Derajat sakit : ringan (tenang, aktif, berontak)
Sedang (apatis, ngantuk, haus, gelisah, sulit nafas)
Berat (tidak sadar, tak bisa dibangunkan, kejang)
Status respirasi : normal atau kesulitan
Frekuensi nafas, suara nafas (rrtraksi, mengi, stidor,
sianosis)
Status hidrasi : dehidrasi (haus, selaput lender kering, mata
cowong, UUB cekung, ringan/sedang sirkulasi baik,
berat adanya renjatan)
Overhidrasi (mata sembab)
Status nutrisi : baik, kurang, jelek
(dilihat dari ukuran, BB, PB, lingkar lengan, lemak
subkutan, otot, lengan,bokong, kulit, rambut
Status sirkulasi : baik (kulit merah)
Jelek (biru, pengisian kapiler/kapiler lambat, warna
bibir, lidah, membrane mukosa, ujung jari (anemia,
sianosis), periksa nadi/tensi)
Lain : tumbuh kembang (Usia, BB, kepandaian yang
dicapai)
ikterik (mata selaput lender)
Posisi tertentu: plueritis, apendisitis, osteomyelitis
Diangkat kesakitan : meningitis
Odem mata dan ekstermitas : ginjal
Posisi tubuh
Ekspresi muka : sindrom down
2) Tanda-tanda vital
Pengukuran terhadap tekanan darah, nadi, suhu, RR, tinggi badan,
lingkar kepala, lingkar dada, lingkar lengan atas, berat bdan sebelum
sakit, perkembangan BB.
Nadi pada Bayi/Anak :
Usia Rata-Rata Batas Atas
0 – 6 bulan 140 160
6-12 bulan 180 150
1-2 tahun 110 130
2-6 tahun 100 120
6-10 tahun 95 110
10-14 tahun 85 100

RR Pada Bayi/Anak :
Usia Normal Cepat
Neonatus 30 - 50 >60
Bayi 20 - 30 >50
Balita 20 – 30 >40
Alita 15 – 20 >30
Tekanan Darah Pada Bayi/Anak :
Usia Sistole (mmHg) Diastole (mmHg)
1 tahun 105 68
3 tahun 106 68
6 tahun 114 70
9 tahun 115 74
12 tahun 121 77
13 tahun 127 - 129 79 - 82

3) Kepala
Terdapat perubahan warna rambut, tipis/lebat/jarang/cabut
4) Leher
5) Mata : cowong, anemia, icterus, lakrimasi, strabismus, edema,
pendarahan konjungtiva, katarak lensa, skret purulent
6) Telinga : bentuk daun telinga, secret sereus/purulent (otitis
interna/media), ada tidaknya pembesaran bawah telinga (parotitis)
7) Hidung : apakah memakai nasal kanul, nafas cuping hidung
8) Mulut : Bayi/ anak tak senang bila mulut/tenggorokan diperiksa, reflek
muntah, tonsil neonatus sulit terlihat, pembesaran tonsil, tanda radang,
eksudat
9) Lidah : keluar mulut/makroglosia (hipotiroid), kotor/tremor tepi merah
(demam tiroid), monilasis/oral thrush (candida albikans), ulkus mukosa
nyeri (virus cocsakie), mukosa bukal (bercak kolpik.morbili)
10) Gigi : gigi premature, jumlah gigi susu, caries, warna gigi, radang gingiva
Kelenjar : pembesaran kelenjar leher, ada tidaknya infeksi, pembesaran
kel.aksila neonatus (post vaksinasi BCG)
11) Pemeriksaan Dada / Thorak Paru
Inspeksi : ada tidaknya jejas atau lesi, pergerakan dada, kesulitan nafas,
bentuk thoraks, frekuensi nafas (dispnea/takipne) :
Palpasi : palpasi interkosta, apakah ada nyeri tekan
Perkusi : sonor / hipersonor
Auskultasi : Suara dasar bayi :bronkovesikuler, Prasekolah/sekolah :
vesikuler. Apakah ada suara tambahan ( ronkhi, wheezing, crepitasi dll)
12) Pemeriksaan Fisik Jantung/ cardiovaskuler
Inspeksi : ada tidaknya jejas atau lesi, pencembungan precordial, iktus
Palpasi : Iktus (ICS IV/V), apakah ada nyeri tekan, thrill/debaran jantung
(bising teraba/tidak)
Perkusi : bayi/anak tak banyak membantu
Auskultasi : bumyi jantung (mitral, trikuspidal, aorta, pulmonal), apakah
ada suara tambahan, suara bising/murmur (derajat 1 sulit terengar, derajat
2 samar terdengar, derajat 3 mudah dan thrill tidak ada, derajat 4 bunyi
keras dan thrill ada, derajat 5 bunyi keras kereta dan thrill ada, derajat 6
diksripsi ain (punctum maksimum, sisteole diastole penjalaran), periksa
tekanan darah
13) Abdomen
Inspeksi : anak cembung, respirasi abdominal sampai dengan balita
Gerak peristaltic, hernia, umbikalis, inguinalis, distensi (lemak, cairan,
udara, feses)
Palpasi :bagi menjadi 4 kuadran, mendeteksi pembesaran
organ/tumor/nyeri tekan, Lien (normal bayi 1-2 jari di bawah arkus
kosta), hepar (normal 1-2 cm, ginjal tak mudah dipalpasi pada
balita/anak, vesika urinaria penuh atau tidak, massa/tumor abdomen
(wilm’s tumor)
Perkusi : Cairan (pekak alih, undulasi
Auskultasi : bising, usus (diare, obstruksi)
14) Genetalia dan Anus
Apakah terdapat jejas, kemerahan, lesi
Anus : neonatus (atresia ani atas indikasi perdarahan peranum)
15) Kulit
4. Warna : pucat/icterus/bercak mongol/hiperpigmentasi
5. Infeksi virus eksantema morbilli, eksantema subitem, DBD
6. Infeksi kulit : superfisial/dalam (piodermi,furunkel)
7. Edema, sklerema, limfedema
8. Alergi : atopic, kontak dermatitis
16) Ekstremitas
9. Cacat bawaan : sindaktili, talipes equinovarus/valgus
10. Clubbing fingers : CIK, penyakit paru obstruktif
11. Kekakuan /kelumpuhan : CP / Polio
12. Bengkak sendi besar/kecil : demam reumatik/rheumatoid arthritis
juvenile
13. Variasi kaki pada usia anak
12. Pemeriksaan Diagnostik
Hasil pemeriksaan penunjang seperti hasil rontgent, CT-Scan, Radiologi dan
hasil laboratorium darah lengkap dan lain sebagainya untuk menunjang data
yang telah didapatkan
13. Terapi
Terapi yang diperoleh oleh klien selama berada di rumah sakit

l. Diagnosis keperawatan (minimal 5 diagnosa keperawatan)


1. Defisit Nutrisi b.d gizi buruk d.d nafsu makan menurun, serum albumin
turun, diare, BB menurun
2. Gangguan Integritas Kulit b.d perubahan status nutrisi d.d kerusakan lapisan
kulit
3. Defisit Pengetahuan b.d kurang terpapar informasi d.d menjalani
pemeriksaan yang tidak tepat
4. Diare b.d perubahan cairan dan makanan d.d frekuensi peristaltic
meningkat, defekasi lebih dari 3 kali dalam 24 jam
5. Gangguan tumbuh kembang b.d efek ketidakmampuan fisik d.d nafsu
makan menurun, dah lesu
6. Risiko Infeksi d.d malnutrisi dan gangguan integritas kulit
m. Rencana tindakan keperawatan (masing masing diagnosa minimal 5 rencana tindakan)
No Diagnosa Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi Paraf

1 Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama Manajemen nutrisi


Defisit Nutrisi
3x24 jam, diharapkan nutrisi klien membaik dengan Observasi Alqurroti
b.d gizi buruk
kriteria hasil : 1. Identifikasi status nutrisi
d.d nafsu makan
Status Nutrisi membaik : 2. Identifikasi alergi dan intoleransi makanan
menurun, serum 1. Asupan energi yang dibutuhkan 100 – 150 3. Identifikasi perluna penggunaan selang
albumin turun, kkal/KgBB/hr karena di fase Transisi (hari ke 8-14) nasogastric
diare, BB = 570 – 855 kkal
4. Monitor asupan makanan
menurun 2. Menghabiskan setiap porsi makan yang telah
5. Monitor berat badan
disediakan oleh ahli gizi
6. Monitor hasil pemeriksaan laboratorium
3. Asupan protein 2-3 g/KgBB/hr karena di fase
Terapeutik
Transisi (hari ke 8-14) = 11,4 – 17,1 g
4. Asupan Cairan sebanyak 150 ml/KgBB/hr = 855 ml
1. Lakukan oral hygiene sebelum makan, jika perlu

5. Mempertahankan asupan makanan dan minuman 2. Berikan makanan tinggi kalori tinggi protein
yang bergizi dengan cara selalu menghabiskan porsi Edukasi
makanan dan minuman yang diberikan oleh ahli gizi 1. Ajarkan diet yang diprogramkan
Kolaborasi
1. Kolaborasi dengan ahli gizi untuk menentukan
jumlah kalori dan jenis nutrient yang dibutuhkan,
jika perlu

Promosi Berat Badan


Observasi
1. Identifikasi kemungkinan penyebab BB kurang
2. Monitor adanya mual dan muntah
3. Monitor berat badan
4. Monitor albumin, limfosit, elektrolit dan serum
Terapeutik
1. Sediakan makanan yang tepat sesuai dengan
kondisi pasien (mis. Makanan dengan tekstur
halus, makanan yang diblender, makanan cair
yang diberikan melalui NGT)
2. Hidangkan makanan secara menarik
3. Berikan pusian pada pasien/keluarga untuk
peningkatan yang dicapai
Edukasi
1. Jelaskan jenis makanan yang bergizi tinggi
namun tetap terjangkau
2. Jelaskan peningkatan asupan kalori yang
dibutuhkan

Pemantauan Nutrisi
Observasi
1. Identifikasi faktor yang mempengaruhi asupan
gizi (mis. Pengetahuan, ketersediaan makanan,
agama /kepercayaan, budaya, mengunyah tidak
adekuat, gangguan menelan, penggunaan oabt-
obatan atau pascaoperasi)
2. Identifikasi perubahan berat badan
3. Monitor asupan oral
4. Monitor warna konjungtiva
5. Monitor hasil laboratorium
Terapeutik
1. Timbang berat badan
2. Ukur antropometri komposisi tubuh (IMT,
Panjang pinggang )
3. Dokumentasikan hasil pemantauan
Edukasi
1. Jelaskan tujuan dan prosedur pemantauan
2. Informasikan hasil pemantauan, jika perlu
2 Gangguan Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama Perawatan Integritas Kulit
Integritas Kulit 3x24 jam, diharapkan gangguan integritas kulit Observasi Alqurroti
b.d perubahan klien membaik dengan kriteria hasil : 1. Identifikasi penyebab gangguan integritas kulit
status nutrisi d.d Integritas Kulit dan Jaringan membaik : (mis. Perubahan sirkulasi, perubahan status
kerusakan 1. Elastisitas kulit meningkat (tidak kering dan tidak nutrisi, penurunan kelembaban, suhu lingkungan
lapisan kulit keriput) ekstrem, penurunan mobilitas)
2. Hidrasi meningkat dengan warna urine tidak pekat,
Terapeutik
mukosa bibir lembab, tidak demam)
1. Ubah posisi tiap 2 jam jika tirah baring
3. Tekstur kulit membaik dengan tidak terkelupas
2. Gunakan produk berbahan petroleum atau
minyak pada kulit kering
Status Nutrisi membaik :
1. Asupan energi yang dibutuhkan 100 – 150
3. Gunakan produk berbahan ringan/alami dan

kkal/KgBB/hr karena di fase Transisi (hari ke 8-14) hipoalergik pada kulit sensitive
= 570 – 855 kkal
2. Menghabiskan setiap porsi makan yang telah 4. Hindari produk berbahan dasar alcohol pada kulit
disediakan oleh ahli gizi kering
3. Asupan protein 2-3 g/KgBB/hr karena di fase Edukasi
Transisi (hari ke 8-14) = 11,4 – 17,1 g
1. Anjurkan menggunakan pelembab (mis. Lotion,
4. Asupan Cairan sebanyak 150 ml/KgBB/hr = 855 ml
serum)
5. Mempertahankan asupan makanan dan minuman
2. Anjurkan minum air yang cukup
yang bergizi dengan cara selalu menghabiskan porsi
3. Anjurkan meningkatkan asupan nutrisi
makanan dan minuman yang diberikan oleh ahli gizi
4. Anjurkan meningkatkan asupan buah dan sayur

Termoregulasi membaik : 5. Anjurkan mengindari terpapar suhu ekstrem


1. Suhu tubuh normal 36,5oC – 37,5oC
2. Tidak pucat Pelaporan Status Kesehatan
3. Kadar gula darah sewaktu normal <200 mg/dL Observasi
1. Identifikasi kemampuan keluarga dalam
menerapkan perawatan
2. Identifikasi peralatan yang diperlukan untuk
perawatan
Terapeutik
1. Jelaskan Riwayat Kesehatan masa lalu yang
relevan
2. Jelasan diagnosis keperawatan dan medis saat ini
Edukasi
1. Jelaskan rencana keperawatan termasuk diet,
pemgobatan yang akan dilakukan
2. Jelaskan intervensi yang aka diimplementasikan
3. Jelaskan evaluasi perkembangan pasien
4. Jelaskan peran keluarga dalam perawatan
lanjutan
3 Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama Edukasi Kesehatan
Defisit
3x24 jam, diharapkan pengetahuan ibu meningkat Observasi
Pengetahuan b.d
dengan kriteria hasil: 1. Identifikasi kesiapan dan kemampuan menerima
kurang terpapar
Tingkat Pengetahuan meningkat : informasi
informasi d.d
1. Perilaku mematuhi anjuran yang telah diberikan 2. Identifikasi faktor-faktor yang dapat
menjalani
(mis. Cuci tangan setiap akan kontak dengan meningkatkan dan menurunkan motivasi perilaku
pemeriksaan
pasien) hidup bersih dan sehat
yang tidak tepat
2. Menjalani pemeriksaan yang tepat (mi. pergi ke Terapeutik
dokter atau pelayanan Kesehatan, bukan 1. Sediakan materi dan media Pendidikan Kesehatan
alternatif yang lain) 2. Berikan kesempatan untuk bertanya
Edukasi
Tingkat kepatuhan meningkat : 1. Jelaskan faktor risiko yang dapat mempengaruhi
1. Perilaku keluarga sesuai dengan anjuran tenaga Kesehatan
Kesehatan 2. Ajarkan hidu bersih dan sehat
2. Perilaku keluarga pasien mengikuti program
perawatan yang telah ditetapkan oleh pihak Edukasi Nutrisi Bayi
rumah sakit Observasi
1. Identifikasi kesiapan dan kemampuan ibu atau
pengasuh menerima informasi
2. Identifikasi kemampuan ibu atau pengasuh
menyediakan nutrisi
Terapeutik
1. Sediakan materi dan md]edia Pendidikan
Kesehatan
2. Berikan kesempatan kepada ibu atau pengasuh
untuk bertanya
Edukasi
1. Jelaskan tanda-tanda awal rasa lapar (mis. Bayi
gelisah, membuka mulut, menggeleng-gelengkan
kepala, menjulur-julurkan lidah, menghisap jari
atau tangan)
2. Anjurkan menghindari pemberian pemanis
buatan
3. Anjurkan perilaku hidup bersih dan sehat (mis.
Cuci tangan sebelum dan sesudah makan)
4. Ajarkan cara memilih makanan sesuai dengan
usia bayi
5. Anjurkan tetap memberikan ASI saat bayi sakit

Edukasi Orang tua : Fase Bayi


Observasi
1. Identifikasi pengetahuan dan kesiapan orang tua
belajar tentang perawatan bayi
Terapeutik
1. Monivasi orang tua untuk berbicara dan membaca
untuk bayi
Edukasi
1. Jelaskan kebutuhan nutrisi bayi
4 Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama Manajemen Diare
Diare b.d
1x24 jam, diharapkan diare teratasi dengan kriteria Observasi
perubahan cairan
hasil: 1. Identifikasi penyebab diare (mis. Inflamasi
dan makanan d.d
Eliminasi fekal menurun : gastrointestinal, iritasi gastrointestinal,
frekuensi 1. Konsistensi feses lembek malabrsorbsi, ansietas, stress, efek obat-obatan,
peristaltic 2. Frekuensi defekasi 1 kali/hari pemberian botol susu)
meningkat, 3. Frekuensi urine
2. Identifikasi Riwayat pemberian makanan
defekasi lebih 4. Dehidrasi menurun dengan membrane mukosa
3. Monitor warna, volume, frekuensi, dan
dari 3 kali dalam lembab, konjung tiva tidak anemis, mata tidak
konsistensi feses
24 jam cowong, turgor kulit >2 detik dan tidak
4. Monitor tanda dan gejala hypovolemia (mis.
keriput/kering
Takikardi, nadi teraba lemah, tekanan darah
turun, turgor kulit turun, mukosa mulut kering,
CRT melambat, BB menurun)
Terapeutik
1. Berikan asupan cairan oral (mis. Larutan garam
gula, orait)
2. Berikan cairan intravena (mis. Ringer asetat,
ringer laktat), jika perlu
Edukasi
1. Anjurkan makannan porsi kecil dan sering secara
bertahap
2. Anjurkan melanjutkan pemberian ASI

Manajemen nutrisi
Observasi
1. Identifikasi status nutrisi
2. Identifikasi alergi dan intoleransi makanan
3. Identifikasi perluna penggunaan selang
nasogastrik
4. Monitor asupan makanan
5. Monitor berat badan
6. Monitor hasil pemeriksaan laboratorium
Terapeutik
1. Lakukan oral hygiene sebelum makan, jika perlu
2. Berikan makanan tinggi kalori tinggi protein
Edukasi
1. Ajarkan diet yang diprogramkan
Kolaborasi
1. Kolaborasi dengan ahli gizi untuk menentukan
jumlah kalori dan jenis nutrient yang dibutuhkan,
jika perlu

Manajemen Cairan
Observasi
1. Monitor status hidrasi (mis. Frekuensi nadi,
kekuatan nadi, akral, pengisian kapiler,
kelembapan mukosa, turgor kulit, tekanan darah)
2. Monitor berat badan sebelum dan sesudah
dialysis
3. Monitor hasil pemeriksaan laboratorium (mis.
Hematokrit, Na, K, Cl)
Terapeutik
1. Catat intke-output dan hitung balance cairan 24
jam
2. Berikan asupan cairan, sesuai kebutuhan
Kolaborasi
1. Kolaborasi pemberian diuretic, jika perlu

5 Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama Perawatan Perkembangan


Gangguan
1x24 jam, diharapkan tumbuh kembang membaik Observasi
tumbuh
dengan kriteria hasil: 1. Identifikasi pencapaian tugas perkembangan anak
kembang b.d
Status Perkembangan meningkat : 2. Identifikasi siyarat perilaku dan fisiologis yang
efek
1. Keterampilan atau perilaku sesuai usia ( ditunjukkan bayi (mis. Lapar, tidak nyaman)
ketidakmampuan
2. Pasien mampu memberi respon sosial pada Terapeutik
fisik d.d nafsu
orang sekitar 1. Pertahankan sentuhan seminimal mungkin pada
makan menurun,
3. Pasien menggunakan kontak mata ketika bayi prematur
dah lesu
berkomunikasi dengan orang lain 2. Berikan sentuhan yang bersifat gentle dan tidak
ragu-ragu
Status pertumbuhan meningkat : 3. Meminimalkan kebisingan ruangan
1. Berat badan sesuai usia ( usia 14 bulan dengan 4. Sediakan aktifitas yang memotivasi anak
berat badan 8,1 kg – 12,6 kg berinteraksi dengan anak lainnya
2. Lingkar kepala normal 44 cm – 50 cm 5. Pertahankan kenyamanan anak
3. Asupan nutrisi meningkat 6. Bernyanyi Bersama anak lagu yang disukai
4. IMT membaik yaitu dalam rentang 15,8 Kg/m2 Edukasi
1. Anjurkan orang tua menyentuh dan
menggendong bayinya
2. Anjurkan orang tua berinteraksi dengan anaknya
3. Ajarkan anak keterampilan berinteraksi
Kolaborasi
1. Rujuk konseling, jika perlu

Edukasi Nutrisi Bayi


Observasi
1. Identifikasi kesiapan dan kemampuan ibu atau
pengasuh menerima informasi
2. Identifikasi kemampuan ibu atau pengasuh
menyediakan nutrisi
Terapeutik
1. Sediakan materi dan md]edia Pendidikan
Kesehatan
2. Berikan kesempatan kepada ibu atau pengasuh
untuk bertanya
Edukasi
1. Jelaskan tanda-tanda awal rasa lapar (mis. Bayi
gelisah, membuka mulut, menggeleng-gelengkan
kepala, menjulur-julurkan lidah, menghisap jari
atau tangan)
2. Anjurkan menghindari pemberian pemanis
buatan
3. Anjurkan perilaku hidup bersih dan sehat (mis.
Cuci tangan sebelum dan sesudah makan)
4. Ajarkan cara memilih makanan sesuai dengan
usia bayi
5. Anjurkan tetap memberikan ASI saat bayi sakit
6 Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama Pencegahan Infeksi
Risiko Infeksi
1x24 jam, diharapkan risiko infeksi menurun dengan Observasi
d.d malnutrisi
kriteria hasil: 1. Monitor tanda dan gejala infeksi local dan
dan gangguan
sistemik
integritas kulit
Terapeutik
Tingkat Infeksi menurun : 1. Batasi jumlah pengunjung
1. Latergi menurun ditandai dengan bayi tampak 2. Cuci tangan sebelum dan sesudah kontak dengan
segar/tidak mudah Lelah pasien dan lingkungan pasien
2. Suhu tubuh normal 36,5 C – 37,5 C
o o
3. Pertahankan Teknik aseptic pada pasien berisiko
3. Kadar Leukosit normal antara 9400 – 34000
tinggi
sel/uL
Edukasi
4. Berat badan naik sebanyak 5-10 g/KgBB/hr
1. Jelaskan tanda dan gejala infeksi
5. Integritas kulit membaik ditandai dengan kulit
2. Ajarkan cara mencuci tangan dengan benar
lembab dan tidak terkelupas
3. Anjurkan meningkatkan asupan nutrisi

Intergitas Kulit dan Jaringan meningkat: 4. Anjurkan meningkatkan asupan cairan


1. Elastisitas kulit meningkat (tidak kering dan tidak Kolaborasi
keriput) 1. Kolaborasi pemberian imunisasi, jika perlu
2. Hidrasi meningkat dengan warna urine tidak pekat,
mukosa bibir lembab, tidak demam)
3. Tekstur kulit membaik dengan tidak terkelupas Pemantauan Nutrisi
Observasi
1. Identifikasi faktor yang mempengaruhi asupan
gizi (mis. Pengetahuan, ketersediaan makanan,
agama /kepercayaan, budaya, mengunyah tidak
adekuat, gangguan menelan, penggunaan oabt-
obatan atau pascaoperasi)
2. Identifikasi perubahan berat badan
3. Monitor asupan oral
4. Monitor warna konjungtiva
5. Monitor hasil laboratorium
Terapeutik
1. Timbang berat badan
2. Ukur antropometri komposisi tubuh (IMT,
Panjang pinggang )
3. Dokumentasikan hasil pemantauan
Edukasi
1. Jelaskan tujuan dan prosedur pemantauan
2. Informasikan hasil pemantauan, jika perlu
n. Daftar pustaka

Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. 2019. Pedoman Pencegahan Dan


Tatalaksana Gizi Buruk Pada Balita. Kementerian Kesehatan Republik
Indonesia.

Maulana, A., F. Ichwan, E. W. Hidayat, dan H. Mubarok. 2020. Sistem pakar


diagnosa gizi buruk berbasis web menggunakan metode certainty factor (cf).
SAIS | Scientific Articles of Informatics Students. 3(2):75–81.

Minkhatulmaula, K. Pibriyanti, dan Fathimah. 2020. Faktor risiko kejadian gizi


kurang pada balita di etnis sunda. Sport and Nutrition Journal. 2(2):41–48.

Ode Salma, W. dan R. Tosepu. 2021. Faktor-faktor yang memengaruhi kejadian


gizi buruk pada balita dimasa pandemik covid-19 di wilayah kerja puskesmas
tawanga kabupaten konawe provinsi sulawesi tenggara. Jurnal Ilmiah Obsgin.
13(2):1–10.

Ratufelan, E., A. Zainuddin, dan Junaidi. 2018. Hubungan pola makan, ekonomi
keluarga dan riwayat infeksi dengan kejadian gizi kurang pada balita di
wilayah kerja puskesmas benu-benua tahun 2018. Jurnal Ilmiah Mahasiswa
Kesehatan Masyarakat. 3(2):3.

Reska, Y., A. Krisnasary, dan A. Wahyudi. 2018. Tingkat pendapatan, kecukupan


energi dan hidden hunger dengan status gizi balita. Jurnal Kesehatan.
9(3):458.

Rukmasari, E. A., G. G. Ramdhanie, dan B. A. Nugraha. 2019. Asupan nutrisi dan


status gizi pada anak dengan hospitalisasi. Jurnal Keperawatan. VII(1):32–41.

Sir, S. G., E. Y. Aritonang, dan J. Jumirah. 2021. Praktik pemberian makanan dan
praktik kesehatan dengan kejadian balita dengan gizi kurang. Journal of
Telenursing (JOTING). 3(1):37–42.
Tim Pokja SDKI DPP PPNI. 2018. Standart Diagnosa Keperawatan Indonesia:
Definisi dan Indikator Diagnostik. Edisi 1. Jakarta:DPP PPNI

Tim Pokja SLKI DPP PPNI. 2018. Standart Luaran Keperawatan Indinesia:
Definisi dan Kriteria Hasil Keperawatan. Edisi 1. Jakarta: DPP PPNI

Tim Pokja SIKI DPP PPNI. 2018. Standar Intervensi Keperawatan Indonesia:
Definisi dan Tindakan Keperawatan. Edisi 1. Jakarta: DPP PPNI

Anda mungkin juga menyukai