A. latar belakang
KEP (Kurang Energi Protein) merupakan salah satu penyakit gangguan gizi yang
penting di Indonesia maupun di negara yang sedang berkembang lainnya. Penderita KEP
memiliki berbagai macam keadaan patologis yang disebabkan oleh kekurangan energi
maupun protein dalam proporsi yang bermacam-macam. Penyakit KEP diberi nama secara
internasional yaitu Calory Protein Malnutrition (CPM), kemudian diubah menjadi Protein
Energy Malnutrition (PEM). Penyakit ini mulai banyak diselidiki di Afrika, dan di benua
tersebut KEP dikenal dengan nama lokal kwashiorkhor yang berarti penyakit rambut merah.
Menurut Suhardjo (1989) dalam Khomsan et al., (2009), setiap masyarakat memiliki
sistem nilai budaya – seperangkat nilai dan tradisi yang menjadi pola pikir dan perasaan
seperti yang diharapkan oleh masyarakat nantinya Sistem nilai budaya mengajarkan
masyarakat bagaimana berperilaku dan berusaha dalam memenuhi kebutuhan dasar
biologisnya, termasuk ketika seseorang boleh dan tidak boleh makan makanan tertentu,
pantangan makanan, dan lain sebagainya. Menurut Tan. et al. (1970) dalam Khomsan et al.
(2009), sistem nilai budaya juga berperan dalam memberikan nilai sosial pada pangan;
beberapa makanan memiliki nilai sosial yang tinggi, dan sebaliknya makanan tertentu pada
komunitas sosial tertentu memiliki nilai sosial yang lebih rendah. Untuk misalnya beras
dianggap memiliki nilai sosial makanan yang tinggi dibandingkan dengan sumber
karbohidrat lain seperti singkong dan jagung.
Nutrisi memainkan peran penting dalam siklus hidup manusia. Gizi buruk tidak hanya
dimulai setelah anak lahir ke dunia, tetapi sejak anak berada dalam kandungan ibu.
Kekurangan gizi pada ibu hamil dapat membuat bayi mengalami kenaikan berat badan yang
rendah dan juga dapat menurunkan tingkat kecerdasan anak nantinya. Pada bayi dan anak-
anak, kekurangan gizi dapat menyebabkan gangguan pertumbuhan dan perkembangan,
dan jika tidak ditangani sejak dini, dapat berlanjut hingga dewasa.
Penyakit KEP diberi nama secara internasional yaitu Calory Protein Malnutrition
(CPM), kemudian diubah menjadi Protein Energy Malnutrition (PEM). Penyakit ini mulai
banyak diselidiki di Afrika, dan di benua tersebut KEP dikenal dengan nama lokal
kwashiorkhor yang berarti penyakit rambut merah. Masyarakat di tempat tersebut
menganggap kwashiorkhor sebagai kondisi yang biasa terdapat pada 191 anak kecil yang
sudah mendapat adik. (Adriani dan Wijatmadi, 2012). Menurut Arisman (2004) Kurang
Energi Protein (KEP) akan terjadi disaat kebutuhan tubuh akan kalori, protein, atau
keduanya tidak tercukupi oleh diet. Kedua bentuk defisiensi ini tidak jarang berjalan
bersisian, meskipun salah satu lebih dominan daripada yang lain. Sedangkan menurut
Merryana Adriani dan Bambang Wijatmadi (2012) KEP merupakan keadaan kurang gizi
yang disebabkan oleh rendahnya konsumsi energi dan protein dalam makanan sehari-hari
sehingga tidak memenuhi kecukupan yang dianjurkan. Kurang Energi Protein (KEP)
didefinisikan suatu keadaan kurang gizi yang disebabkan oleh rendahnya konsumsi energi
dan protein dalam makanan sehari-hari sehingga tidak memenuhi Angka Kecukupan Gizi
(AKG) dalam jangka waktu yang lama yang ditandai dengan z-skor berat badan berada di
bawah -2.0 SD baku normal (Kemenkes 2010).
KEP pada anak balita, masih menjadi salah satu masalah gizi di berbagai wilayah
Indonesia termasuk di Provinsi Jawa Barat. Secara nasional prevalensi balita kurang gizi
dan gizi buruk sebesar 21% dan di Jawa Barat sebesar 18,7 % pada tahun 2017 (RI, 2017).
Fenomena anak KEP atau “gagal tumbuh” pada anak Indonesia mulai terjadi pada usia 4 –
6 bulan karena bayi diberikan MP-ASI (Makanan Pendamping-ASI) yang tidak tepat.
Berdasarkan gejalanya, KEP dibagi menjadi dua jenis, yaitu KEP ringan dan KEP
berat. Kejadian KEP ringan lebih banyak terjadi di masyarakat, KEP ringan sering terjadi
pada anak-anak pada masa pertumbuhan. Gejala klinis yang muncul diantaranya adalah
pertumbuhan linier terganggu atau terhenti, kenaikan berat badan berkurang atau terhenti,
ukuran lingkar lengan atas (LILA) menurun, dan maturasi tulang terhambat. Nilai z-skor
indeks berat badan menurut tinggi badan (BB/TB) juga menunjukkan nilai yang normal atau
menurun, tebal lipatan kulit normal atau berkurang, dan biasanya disertai anemia ringan.
Selain itu, aktivitas dan konsentrasi berkurang serta kadang disertai dengan kelainan kulit
dan rambut (Par’i, 2016).
metode cross sectional : Jenis data yang digunakan yaitu kuantitatif variabel bebas
dan terikat pada objek penelitian diukur dalam waktu yang bersamaan, Dalam penelitian ini
akan ditelusuri keteraturan dalam kunjungan ke Posyandu dengan kejadian Kurang Energi
Protein pada anak usian 2-5 tahun, serta faktor apa saja yang mempengaruhi Keadaan bayi
dengan Kurang Energi Protein.
Sebagian besar asupan pada balita di Kelurahan masih kurang, terutama pada
asupan protein dan zat besi. Perlu diberikan edukasi kepada ibu balita mengenai pedoman
gizi seimbang dan memberikan informasi jenis makanan yang mengandung tinggi protein
dan zat besi, seperti meningkatkan konsumsi sumber protein hewani dan sayuran hijau yang
bisa diperoleh dengan mudah di masyarakat.
Peran aktif tenaga medis atau posyandu untuk mengedukasi terhadap orang tua,
terutama pada saat kehamilan dan menyusui serta yang mempunyai anak balita agar di
berikan pemahaman mengenai asupan protein dan nutrisi yang pada anak, karaena dengan
peran serta tenaga medis dan petugas posyandu yang aktif meberikan edukasi mengenai
pengetahuan pentingnya kecukupan gizi pada saat orang tua mengandung dan pada anak
balita, maka angka kekurangan gizi pada anak akan dapat berkurang dengan perlahan.
Serta memberikan edukasi yang benar mengenai pola makan agar tidak salah dalam
memberiakan asupan nutrisi, karena di negara kita tidak jarang memberikan makanan
bukan sesuai kebutuhan anak atau ibu hamil tetapi dengan kebiasaan harian di setiap
wilayah, yang mana kadang anak di beriakan makanan yg sama dengan orang dewasa
sehingga tidak memperhatikan nutrisi anak, dan pola makan yang asal pada ibu hamil dan
menyusui harapan saya dengan dengan edukasi pentingnya memenuhi gizi yang baik.
sehingga orang tua akan lebih memperhatikan dan perduli akan kesehatan orang tua dan
anak.
Penerapan gizi seimbang harus mulai di canangkan dan di gaungkan oleh semua
lapisan masyarakat agar tercipta generasi yang sehat dan angka kekurangan gizi di negara
kita dapat jauh berkurang.
DAFTAR PUSTAKA
2. UNICEF Indonesia. Ringkasan Kajian Gizi Ibu dan Anak, Oktober 2012. Diunduh dari:
http://www.unicef.org
3. Timæus, IM. Stunting and obesity in childhood: are assessment using longitudinal data
from South Africa. International Journal of Epidemiology. 2012:1-9.
7. DepKes RI. (2002). Program Perbaikan Gizi Makro. Jakarta: Direktorat Gizi Masyarakat,
Depkes RI
8. DepKes RI. (2007). Pedoman Pelaksanaan Stimulasi, Deteksi dan Intervensi Dini
Tumbuh Kembang Anak Ditingkat Pelayanan Kesehatan. Jakarta: DepKes.
10. Arikunto, S. (2006). Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik Edisi Revisi VI.
Jakarta: PT Rineka Cipta.
11. Khomsan A, Anwar F, Mudjajanto ES (2009). pengetahuan gizi, sikap dan praktik
peserta Posyandu. Jurnal Gizi dan Pangan (dalam Bahasa Indonesia).4:34-42.
12. Brown. J.E. Nutrition Through the Life Cycle, Fourth Edition. Belmont: Thomson
Wadswoth; 2008.
13. Ekweagwu E, Agwu AE, & Madukwe E. The role of micronutrients in child health: A
review of the literature. African Journal of Biotechnology. 2008;7 (21):3804-3810.
14. Almatsier S, Soetardjo S, Soekarti, M. Gizi Seimbang dalam Daur Kehidupan. Jakarta:
Gramedia; 2011
16. HUBUNGAN ASUPAN PROTEIN, SENG, ZAT BESI, DAN RIWAYAT PENYAKIT
INFEKSI DENGAN Z-SCORE TB/U PADA BALITA, Journal of Nutrition College, Volume
5, Nomor 4, Tahun 2016 i : http://ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/jnc
18. Sistem nilai dan malnutrisi di Pesisir dan Dataran Rendah masyarakat Sasak, Jurnal
Internasional Sosiologi dan Antropologi Vol.6(9), hlm. 257-264, September 2014