Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH ETIKA PROFESI SANITARIAN DAN ETIKA

PROFESI KESEHATAN LAINNYA DALAM KERJA TIM


KESEHATAN DALAM PENANGANAN STUNTING

DISUSUN OLEH:

Adelia Anastasia P07133323015


Diah Ayu Monika P07133323013
Dwi Pajria Pertiwi P07133323016
Peggy Susiana P07133323001
Rindi Antika P07133323007
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Kuasa,


atas segala rahmat yang diberikan-Nya sehingga tugas makalah yang
berjudul “Stunting Pada Balita Di NTT” ini dapat diselesaikan pada tepat
waktu. Makalah ini di buat sebagai kewajiban untuk memenuhi tugas mata
kuliah IPE RPL STR Sanitasi Lingkungan Poltekkes Kemenkes
Yogyakarta..
Makalah ini disusun dan dibuat berdasarkan materi-materi yang
ada. Materi-materi tersebut bertujuan agar dapat menambah pengetahuan
dan wawasan mengenai masalah stunting pada balita di NTT.
Kami mengucapakan terima kasih yang berlimpah kepada semua
pihak yang telah menyumbang ide dan pikiran mereka dalam menyusun
makalah ini. Kelompok menyadari makalah ini masih jauh dari kata
sempurna. Oleh sebab itu, kami membutuhkan kritik dan saran yang
membangun guna untuk kesempurnaan makalah ini. Semoga makalah ini
bermanfaat bagi kita semua.

Yogyakarta, 19 Agustus 2023

Kelompok 1
DAFTAR ISI
BAB 1 PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Stunting (balita pendek) adalah status gizi yang didasarkan pada

indeks PB/U atau TB/U dimana dalam standar antopometri penilaian

status gizi anak, hasil pengukuran tersebut berada pada ambang batas

(z-scbra)<-2 SD sampai dengan -3 (pendek/ stuktae) dan <-3 SD

(sangat pendek/savarny stuktae). Stunting adalah masalah kurang gizi

kronis yang disebabkan oleh asupan gizi yang kurang dalam waktu

cukup lama akibat pemberian makanan yang tidak sesuai dengan

kebutuhan gizi. Stunting adalah gangguan pertumbuhan dan

perkembangan yang dialami anak-anak dari gizi buruk, infeksi

berulang, dan stimulasi Psikososial yang tidak memadai yang

ditunjukan dengan nilai z-score tinggi badan menurut usia (TB/U) <-2

Standar Deviasi berdasarkan standar WHO (WHO 2012).

Prevalensi stunting bayi berusia di bawah lima tahun (balita)

Indonesia pada 2015 sebesar 36,4%. Artinya lebih dari sepertiga atau

sekitar 8,8 juta balita mengalami masalah gizi di mana tinggi

badannya di bawah standar sesuai usianya. Stunting tersebut berada di

atas ambang yang ditetapkan WHO sebesar 20%. Prevalensi stunting

balita Indonesia ini terbesar kedua di kawasan Asia Tenggara di bawah

Laos yang mencapai 43,8%.Namun, berdasarkan Pantauan Status Gizi


(PSG) 2017, balita yang mengalami stunting tercatat sebesar 26,6%.

Angka tersebut terdiri dari 9,8% masuk kategori sangat pendek dan

19,8% kategori pendek. Dalam 1.000 hari pertama sebenarnya

merupakan usia emas bayi tetapi kenyataannya masih banyak balita

usia 059 bulan pertama justru mengalami masalah gizi.

Pada tahun 2018 Kemenkes RI kembali melakukan Riset

Kesehatan Dasar (Riskesdas) yang dilakukan oleh Badan Penelitian

dan Pengembangan Kesehatan (Litbangkes) tentang Prevalensi

Stunting. Berdasarkan Penelitian tersebut angka stunting atau anak

tumbuh pendek turun dari 37,2 persen pada Riskesdas 2013 menjadi

30,8 (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2018). Prevalensi

balita pendek stuktik` dalam tiga tahun di Provinsi Nusa Tenggara

Timur (NTT) terus mengalami penurunan. Meski demikian, angkanya

masih tinggi sebesar 27,5 persen dengan kasus meninggal sebanyak 57

orang. Sementara itu, data jumlah stuktik` pada 2018 sebesar 30,1

persen. Lalu di 2019 menjadi 27,9 persen. Sementara hingga periode

agustus 2020 ini sebesar 27,5 persen. (Kuphk`, Ghtrh.cbg)

B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa Pengertian Stunting?

2. Apa saja Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya stunting di Nusa


Tenggara Timur?
3. Bagaimana dampak yang terjadi akibat dari kejadian Stunting?

4. Program untuk masalah stunting di Nusa Tenggara Timur dan bagaimana


pencapaiannya?

C. TUJUAN
1. Untuk mengetahui pengertian stunting

2. Untuk mengetahui faktor-faktor apa saja yang menyebabkan


terjadinya stunting di Nusa Tenggara Timur?
3. Untuk mengetahui dampak apa saja yang terjadi akibat dari kejadian
Stunting

4. Untuk mengetahui apakah ada program untuk masalah stunting di


Nusa Tenggara Timur Dan bagaimana pencapaiannya

5. Untuk mengetahui etika profesi Sanitarian dalam penanganan stunting


di NTT

6. Untuk mengetahui etika profesi tenaga Kesehatan lainnya dalam


penanganan stunting di NTT

D. MANFAAT
Manfaat dari pembuatan malakah ini adalah untuk mengetahui
tentang masalah stunting terlebih di provinsi Nusa Tenggara Timur,
faktor-faktor yang menyebabkan stunting di Provinsi Nusa Tenggara
Timur Tinggi, dampak yang terjadi akibat stunting, dan program untuk
masalah stunting di Nusa Tenggara Timur dan bagaimana pencapaian
programnya. Dan makalah ini dibuat untuk memenuhi salah satu
tugas mata kuliah IPE RPL STR Sanitasi Lingkungan Poltekkes
Kemenkes Yogyakarta.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Stunting

Stunting adalah kondisi gagal tumbuh pada anak balita akibat dari
kekurangan gizi kronis sehingga anak terlalu pendek untuk usianya. Kekurangan
gizi terjadi sejak bayi dalam kandungan dan pada masa awal setelah bayi lahir,
kondisi stunting baru terlihat setelah bayi berusia 2 tahun. Stunting menurut
Keputusan Menteri Kesehatan tahun 2010 adalah status gizi yang didasarkan pada
indeks panjang badan menurut umur (PB/U) atau tinggi badan menurut umur
(TB/U) dalam standar penilaian status gizi anak, dengan hasil pengukuran yang
berada pada nilai standar atau z-score < -2 SD sampai dengan -3 SD untuk pendek
(stunted) dan < -3 SD untuk sangat pendek (severely stunted).

Menurut deskripsi World Health Organization (WHO), stunting adalah


gangguan pertumbuhan dan perkembangan yang dialami anak-anak dari gizi
buruk, infeksi berulang dan stimulasi psikososial yang tidak memadai. Seorang
anak disebut menderita stunting jika tinggi badan mereka sesuai usia dibawah
minus dua standar devisiasi hingga minus tiga standar devisiasi dari median standar
pertumbuhan anak yang ditetapkan WHO.

B. Faktor-Faktor yang Menyebabkan Terjadinya Stunting di Nusa


Tenggara Timur

Stunted merupakan manifestasi sebagai akibat lebih lanjut dari tingginya


angka Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR) dan kurang gizi pada masa balita serta tidak
adanya pencapaian perbaikan pertumbuhan yang sempurna pada masa berikutnya.
Kekurangan gizi kronis pada masa kehamilan atau setelah lahir ditandai dengan
stunting masa remaja dan dewasa, mereka yang mengalami kegagalan pertumbuhan
sering disebabkan oleh kekurangan gizi atau sakit. Berikut factor-faktor yang
menyebabkan terjadinya stunting di NTT.
1. Komsumsi tablet tambah darah, tingkat kemiskinan, imunisasi yang tidak
lengkap
2. Riwayat ASI
Riwayat pemberian ASI eksklusif berpengaruh terhadap stunting pada balita.
ASI eksklusif adalah pemberian air susu ibu selama 6 bulan pertama tanpa
makanan atau minuman lain. ASI eksklusif dapat memenuhi kebutuhan nutrisi
bayi dan melindungi dari infeksi. Beberapa penelitian menemukan bahwa
riwayat pemberian ASI eksklusif dapat menurunkan risiko stunting pada anak
usia 2-5 tahun, batita yang mendapat ASI non eksklusif memiliki peluang
stunting sebesar hampir 2.8 kali lebih besar dari batita yang diberi ASI
Eksklusif.
3. Pendidikan ayah
Ayah yang berpendidikan rendah memiliki peluang stunting pada anaknya
sebesar hampir 1.5 kali lebih besar dari pada ayah yang berpendidikan tinggi.
4. Pengetahuan gizi ibu.
Pengetahuan ibu tentang gizi akan menentukan perilaku ibu dalam menyediakan
makanan untuk anaknya. Ibu dengan pengetahuan gizi yang baik diharapkan
dapat menyediakan makanan dengan jenis dan jumlah yang tepat agar dapat
tumbuh dan berkembang secara optimal
5. Paritas anggota keluarga.
Keluarga yang memiliki paritas anggota keluarga lebih dari empat akan
memiliki peluang 3.2 kali lebih besar akan kejadian stunting jika dibandingkan
dengan keluarga kecil (< 4 orang). Jumlah anggota keluarga yang besar/banyak
dalkam sebuah rumah tangga menyebabkan jumlah pangan untuk setiap anak
menjadi berkurang dan distribusi makanan tidak merata sehingga menyebabkan
balita dalam keluarga tersebut menderita kurang gizi.
6. Tinggi badan orang tua
Salah satu atau kedua orang tua yang pendek akibat kondisi patologi (seperti
defisiensi hormone pertumbuhan) memiliki gen dalam kromosom yang
membawa sifat pendek sehingga memperbesar peluang anak mewarisi gen
tersebut dan tumbuh menjadi stunting. Akan tetapi, bila orang tua pendek
akibat kekurangan zat gizi atau penyakit, kemungkinan anak dapat tumbuh
dengan tinggi badan normal selama anak tersebut tidak terpapar factor risiko
yang lain.
7. Asupan energy
Asupan zat gizi yaitu asupan energy, protein lemak, karbohidrat, vitamin A
memiliki pengaruh yang signifikan terhadap kejadian stunting. Energy
diperlukan untuk kelangsungan proses – proses di dalam tubuh seperti proses
peredaran dan sirkulasi darah, denyut jantung, pernafasan, pencernaan dan
proses fisiologis lainnya. Energy dalam tubuh dapat diperoleh karena adanya
pembakaran karbohidrat, protein dan lemak. Hasil analisis bivariate dan
multivariate menunjukan bahwa asupan energy memiliki pengaruh yang
signifikan dan merupakan factor risiko kejadian stunting. Sedangkan asupan
protein, lemak karbohidrat dan vitamin A memiliki pengaruh yang signifikan
terhadap kejadian stunting tetapi bukan factor risiko yang dominan. memiliki
pengaruh yang signifikan dan merupakan factor risiko kejadian stunting.
8. Sanitasi lingkungan
Berdasarkan hasil penelitian hubungan sanitasi lingkunagna dengan kejadian
stunting adalah harus menjaga kebersihan diri dan lingkungan dengan
melakukan cuci tangan dengan pakai sabun di air mengalir karena hal ini
berpengaruh dau kali terhadap stunting, dan juga pengamanan sampah rumah
tungga, pengelolaan air minum, dan pengelolaan saluran pembuangan air.
9. Akses dan pemanfaatan pelayanan Kesehatan
10.
C. Dampak yang Terjadi Akibat Dari Kejadian Stunting

Stunting dapat menimbulkan dampak yang buruk, baik dalam jangka pendek
maupun dalam jangka panjang. Dalam jangka pendek stunting dapat meneyebabkan
gagal timbuh, hambatan perekembangan kognitif dan motorik sehingga berpengaruh
terhadap perkembangan otak dan keberhasilan pendidikan, dan tidak optimalnya
ukuran fisik tubuh serta gangguan metabolisme. Stunting merupakan wujud dari
adanya gangguan pertumbuhan pada tubuh, bila ini terjadi, maka salah satu organ
tubuh yang cepat mengalami risiko adalah otak. Dalam otak terdapat sel-sel saraf
yang sangat berkaitan dengan respon anak termasuk dalam melihat, mendengar dan
berpikir selama proses belajar.
Dampak jangka panjang yang ditimbulkan stunting adalah menurunnya
kapasitas intelektul, gangguan struktur fungsi saraf dan sel-sel otak yang bersifat
permanen dan menyebabkan penurunan keemampuan menyerap pelajaran di
usia sekolah yang akan berpengaruh terhadap produktivitas saat dewasa, dan
meningkatkan risiko penyakit tidak menular seperti diabetes mellitus, hipertensi,
jantung koroner dan stroke. Anak yang mengalami stunting memiliki potensi
tumbuh kembang yang tidak sempurna, kemampuan motorik dan produktivitas
rendah, serta memiliki risiko lebih tinggi untuk terkena penyakit tidak menular.
Stunting pada balita berdampak pada timbulnya potensi kerugian ekonomi karena
penurunan produktivitas kerja dan biaya perawatan. Semuanya itu akan menurunkan
kualitas sumber daya manusia, produktivitas dan daya saing bangsa.

D. Program Untuk Masalah Stunting Di Nusa Tenggara Timur Dan


Bagaimana Pencapaiannya

Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan Pasal 49 ayat (1) dan
Pasal 50 ayat (1) mengatur bahwa Pemerintah Daerah bertanggungjawab atas
penyelenggaraan, meningkatkan, dan mengembangkan upaya kesehatan. Kebijakan
gizi yang direncanakan tercantum dalam dokumen Rencana Pembangunan Jangka
Menengah (RPJMN) tahun 2015-2019, dengan sasaran meningkatnya status gizi
masyarakat dan target penurunan prevalensi underweight menjadi 17%, stunting
menjadi 28 %, dan wasting menjadi 9.5% pada balita tahun 2019. Kebijakan
gizi Pemerintah Daerah Provinsi NTT tercantum dalam dokumen Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) dengan fokus sasaran
menurunnya kasus balita gizi kurang menjadi 7.64% dan gizi buruk menjadi
0.76% tahun 2018 dengan Dinas Kesehatan Provinsi NTT sebagai organisasi yang
membantu Gubernur di bidang kesehatan. Namun target ini pada tahun 2017 justru
meningkat terutama underweight (28.3%) dan stunting (40.3%) berdasarkan data
Pemantauan Status Gizi (PSG).
Masalah stunting di NTT erat kaitannya dengan masalah gizi, kesehatan
ibu hamil dan menyusui, serta bayi yang baru lahir dan anak usia dibawah dua
tahun (baduta), termasuk remaja putri. Oleh karena itu kebijakan penurunan
stunting saat ini mulai difokuskan pada 100 hari pertama kehidupan kehidupan
(HPK) dengan pendekatan intervensi spesifik dan sensitive. Intervensi sesifik
dilakukan melalui pemberian makanan tambahan (PMT) bagi ibu hamil dan
kekurangan energy kronis (KEK), konsumsi suplemen tablet daerah (Fe), promosi
dan konseling menyusui, promosi dan konseling pemberian makanan bayi dan
anak (PMBA), tata laksana gizi buruk, PMT pemulian anak kurus, pemantauan
dan promosi pertumbuhan, suplemen kalsium dan pemeriksaan kehamilan,
imunisasi, pengobatan diare, manajemen terpadu balita sakit (MTBS), suplemen
zink dan suplemen taburia serta pencegahan kecacingan.
Sedangkan intervensi sensitive meliputi, peneydiaan akses air minum dan
sanitasi (PUPR), akses llayanan keluarga berencana (BKKBN), akses JKN dan
bantuan uang tunai keliarga kurang mampu (PKH) maupun BNPT (dinas social),
parenting, konseling dan stimulant kunjungan rumah (pendidikan, PPA), akses
pangan baduta-ibu nebyusui dan ibu hamil (ketahanan pangan), serta registrasi
catatan sipil dan kata kelahiran (kependudukan).
Meskipun sudah sinkron, implementasi kebijakan gizi masih menemui
beberapa kendala, yaitu keterbatasan anggaran dan Melalui kebijakan gizi
tersebut, Provinsi NTT berhasil merealisasikan 3 target indikator dari 9 indikator
proses. Namun, pencapaian indikator hasil masih rendah terlihat dari prevalensi
underweight pada balita yang meningkat kembali di tahun 2016. Rendahnya
alokasi anggaran dan sumber daya gizi lainnya dapat menjadi perhatian
Pemerintah Daerah agar dapat mewujudkan ketersediaan sumber daya yang
memadai demi tercapainya pelaksanaan upaya penanganan masalah gizi yang
maksimal.

E. Etika Profesi Tenaga Kesehatan dalam Penanganan Stunting

1. Etika profesi sanitarian

Etika profesi sanitarian dalam penanganan stunting sebagai seorang sanitarain dalam
melaksanakan hak dan kewajibannya harus senantiasa dilandasi oleh kode etik serta
harus selalu menjujung tinggi ketentuan yang dicanangkan oleh profesi. Dalam
pelaksanaan tugas dan fungsinya harus selalu berpedoman pada standar kompetensi.
Sedangkan standar kompetensi itu sendiri harus senantiasa terus dilengkapi dengan
perangkat-perangkat keprofesian yang lain. Sesuai dengan Keputusan Menteri
Kesehatan Nomor: 373/Menkes/SK/III/2007 Tanggal : 27 Maret 2007 Tentang
Standar Profesi Sanitarian, berikut merupakan Kode Etik Sanitarian/Ahli Kesehatan
Lingkungan Indonesia :
1. Seorang sanitarian harus menjunjung tinggi, menghayati dan mengamalkan
profesi sanitasi dengan sebaik-baiknya.
2. Seorang sanitarian harus senantiasa berupaya melaksanakan profesinya sesuai
dengan standar profesi yang tertinggi.
3. Dalam melakukan pekerjaan atau praktek profesi sanitasi, seorang sanitarian
tidak boleh dipengaruhi sesuatu yang mengakibatkan hilangnya kebebasan dan
kemandirian profesi.
4. Seorang sanitarian harus menghindarkan diri dari perbuatan yang bersifat
memuji diri sendiri.
5. Seorang sanitarian senantiasa berhati-hati dalam menerapkan setiap penemuan
teknik atau cara baru yang belum teruji kehandalannya dan hal-hal yang dapat
menimbulkan keresahan masyarakat.
6. Seorang hanya memberi saran atau rekomendasi yang telah melalui suatu proses
analisis secara komprehensif.
7. Seorang sanitarian dalam menjalankan profesinya, harus memberikan pelayanan
yang sebaik-baiknya dengan menjunjung tinggi kesehatan dan keselamatan
manusia, serta kelestarian lingkungan.
8. Seorang sanitarian harus bersikap jujur dalam berhubungan dengan klien atau
masyarakat dan teman seprofesinya, dan berupaya untuk mengingatkan teman
seprofesinya yang dia ketahui memiliki kekurangan dalam karakter atau
kompetensi, atau yang melakukan penipuan atau kebohongan dalam Menangani
masalah klien atau masyarakat.
9. Seorang sanitarian harus menghormati hak-hak klien atau masyarakat, hak-hak
teman seprofesi, dan hak tenaga kesehatan lainnya, dan harus menjaga
kepercayaan klien atau masyarakat.
10. Dalam melakukan pekerjaannya seorang sanitarian harus memperhatikan
kepentingan masyarakat dan memperhatikan seluruh aspek kesehatan
lingkungan secara menyeluruh, baik fisik, biologi maupun sosial, serta berusaha
menjadi pendidik dan pengabdi masyarakat yang sebenar-benarnya.
11. Seorang sanitarian dalam bekerja sama dengan para pejabat di bidang kesehatan
dan bidang lainnya serta masyarakat, harus saling menghormati.
Sebagai seorang sanitarian salah satu langkah yang dilakukan dalam
pencegahan stunting di NTT adalah dengan menerapkan Perilaku Hidup Bersih dan
Sehat (PHBS) oleh setiap rumah tangga dengan meningkatkan akses terhadap air
bersih dan fasilitas sanitasi, serta menjaga kebersihan lingkungan. PHBS
menurunkan kejadian sakit terutama penyakit infeksi yang dapat membuat energi
untuk pertumbuhan teralihkan kepada perlawanan tubuh menghadapi infeksi, gizi
sulit diserap oleh tubuh dan terhambatnya pertumbuhan. Berdasarkan konsep dan
definisi (Millennium Development Goals) MDGs, rumah tangga memiliki akses
sanitasi layak apabila fasilitas sanitasi yang digunakan memenuhi syarat kesehatan
antara lain dilengkapi dengan leher angsa, tanki septik (septic tank) /Sistem
Pengolahan Air Limbah (SPAL), yang digunakan sendiri atau bersama.
1) Farmasi
a. Melakukan promotif tentang pentingnya mengonsumsi obat cacing.
b. Melakukan promotif tentang cara penggunaan dan penyimpanan obat yang
baik dan benar.
2) Bidan
a. Menganjurkan ibu untuk melakukan pemeriksaan kehamilan sebanyak 4 kali
selama kehamilan
b. Berkolaborasi dengan tim farmasi dalam pemberian vitamin
c. Melakukan promotif mengonsumsi vitamin pada masa kehamilan
3) Perawat
a. Melakukan pnyuluhan kesehatan kepada ibu dengan anak kurang gizi
tentang pola pemberian makan yg bergizi kepada anak dengan masalah
kesehatan kekurangan gizi
b. Melakukan penyuluhan kesehatan kepada klien tentang pentingnya imunisasi
pada ibu hamil dan anak
4) Gizi
a. Memberikan penyuluhan terhadap ibu bagaimana penting nya memakan
sayur,buah dan memberitahukan bagaimana yg dinamakan gizi seimbang ,
lalu memberitahu bagaimana cara yg benar untuk menerapkan asi ekslusif,
dan Mpasi yang benar terhadap ibu.
5) Dokter
Melakukan pemeriksaan dan edukasi terhadap orang tua balita yang terdeteksi
stunting.
BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN

Stunting adalah kondisi gagal tumbuh pada anak balita akibat dari
kekurangan gizi kronis sehingga anak terlalu pendek untuk usianya. Kekurangan
gizi terjadi sejak bayi dalam kandungan dan pada masa awal setelah bayi lahir,
kondisi stunting baru terlihat setelah bayi berusia 2 tahun. Faktor-faktor penyebab
stunting di NTT antara lain riwayat ASI, pendidikan, tingkat pengetahuan ibu,
paritas anggota keluarga, tinggi badan orang tua, asupan energy, sanitasi
ligkungan, akses dan pelayanan faskes, imunisasi, dan tingkat kemiskinan,
Dalam jangka pendek stunting dapat meneyebabkan gagal timbuh,
hambatan perekembangan kognitif dan motorik sehingga berpengaruh terhadap
perkembangan otak dan keberhasilan pendidikan, dan tidak optimalnya ukuran
fisik tubuh serta gangguan metabolisme. Dampak jangka panjang yang ditimbulkan
stunting adalah menurunnya kapasitas intelektul, gangguan struktur fungsi saraf
dan sel-sel otak yang bersifat permanen dan menyebabkan penurunan keemampuan
menyerap pelajaran di usia sekolah yang akan berpengaruh terhadap produktivitas
saat dewasa, dan meningkatkan risiko penyakit tidak menular seperti diabetes
mellitus, hipertensi, jantung koroner dan stroke.
Masalah stunting di NTT erat kaitannya dengan masalah gizi, kesehatan ibu
hamil dan menyusui, serta bayi yang baru lahir dan anak usia dibawah dua
tahun (baduta), termasuk remaja putri. Oleh karena itu kebijakan penurunan
stunting saat ini mulai difokuskan pada 1000 hari pertama kehidupan kehidupan
(HPK) dengan pendekatan intervensi spesifik dan sensitive.

B. SARAN

Pemerintah bersama Tenaga Kesehatan lebih banyak memberikan sosialisasi


terhadap orang tua agar lebih banyak orang tua yang mengerti pentingnya gizi dan
tumbuh kembang anak sejak dini agar terhindar dari stunting.
Tenaga Kesehatan lebih aktif lagi dalam melakukan pencegahan stunting.
DAFTAR PUSTAKA

Dini Indrastuty, pujiyanto.2014. Determinan Sosial Ekonomi Rumah


Tangga dari Balita Stunting di Indonesia: Analisis Data Indonesia
Family Life Survey (IFLS) 2014. 2014. Ekonomi Kesehatan
Indonesia,3,2.

Eko Setiawan, Rizada Machmud, Masrul. Faktor-faktor yang Berhubungan


dengan Kejadian Stunting pada Anak Usia 24-59 bulan di Wilayah
Kerja Puskesmas Andalas Kecamatan
Padang Timur Kota Padang tahun 2018. 2018. Jurnal Kesehatan
Andalas. 7(2).

Tri Wurisastuti, Nungki Hapsari Suryaningtyas. Infeksi Malaria Menurut


Status Gizi Balaita Di Provinsi Nusa Tenggara Timur.2016. Buletin
Penelitian Sistem Kesehatan, 20(1), 10- 15.
Elisabet Bre Boli, Analisis Kebijakan Gizi Dalam Upaya Penanganan
Masalah Gizi di Provinsi Nusa Tenggara Timur, Jurnal Komunitas
Kesehatan Masyarakat Volume 2
Nomor 1, Juli 2020.

Agustina Setia,SST.M.Kes, Faktor Risiko Kejadian Stunting Pada Batita


Usia 6 – 36 Bulan di Desa Fatukanutu Kecamatan Amabi Oefeto
Kabupaten Kupang,
Intje Picauly, Sarci Magdalena Toy, 2013, Analisis Determinan dan
Pengaruh Stunting Terhadap Pretasi Belajar Anak Sekolah di Kupang
dan Sumba Timur, NTT, Jurnal Gizi dan Pangan, Maret 2013, 8(1):
55-62
Kinanti Rahmadhita, 2020, Permasalahan Stunting dan Pencegahannya,
Jurnal Ilmiah Kesehatan Sandi Husada hhttps://akper-sandikarsa.e-
journal.id/JIKSH Vol 11, No, 1, Juni 2020, pp; 225-229 p-
ISSN: 2354-6093 dan e-ISSN: 2654-4563 DOI:
10.35816/jiskh.v10i2.253

Anda mungkin juga menyukai