DISUSUN OLEH:
Kelompok 1
DAFTAR ISI
BAB 1 PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
status gizi anak, hasil pengukuran tersebut berada pada ambang batas
kronis yang disebabkan oleh asupan gizi yang kurang dalam waktu
ditunjukan dengan nilai z-score tinggi badan menurut usia (TB/U) <-2
Indonesia pada 2015 sebesar 36,4%. Artinya lebih dari sepertiga atau
Angka tersebut terdiri dari 9,8% masuk kategori sangat pendek dan
tumbuh pendek turun dari 37,2 persen pada Riskesdas 2013 menjadi
orang. Sementara itu, data jumlah stuktik` pada 2018 sebesar 30,1
B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa Pengertian Stunting?
C. TUJUAN
1. Untuk mengetahui pengertian stunting
D. MANFAAT
Manfaat dari pembuatan malakah ini adalah untuk mengetahui
tentang masalah stunting terlebih di provinsi Nusa Tenggara Timur,
faktor-faktor yang menyebabkan stunting di Provinsi Nusa Tenggara
Timur Tinggi, dampak yang terjadi akibat stunting, dan program untuk
masalah stunting di Nusa Tenggara Timur dan bagaimana pencapaian
programnya. Dan makalah ini dibuat untuk memenuhi salah satu
tugas mata kuliah IPE RPL STR Sanitasi Lingkungan Poltekkes
Kemenkes Yogyakarta.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Stunting
Stunting adalah kondisi gagal tumbuh pada anak balita akibat dari
kekurangan gizi kronis sehingga anak terlalu pendek untuk usianya. Kekurangan
gizi terjadi sejak bayi dalam kandungan dan pada masa awal setelah bayi lahir,
kondisi stunting baru terlihat setelah bayi berusia 2 tahun. Stunting menurut
Keputusan Menteri Kesehatan tahun 2010 adalah status gizi yang didasarkan pada
indeks panjang badan menurut umur (PB/U) atau tinggi badan menurut umur
(TB/U) dalam standar penilaian status gizi anak, dengan hasil pengukuran yang
berada pada nilai standar atau z-score < -2 SD sampai dengan -3 SD untuk pendek
(stunted) dan < -3 SD untuk sangat pendek (severely stunted).
Stunting dapat menimbulkan dampak yang buruk, baik dalam jangka pendek
maupun dalam jangka panjang. Dalam jangka pendek stunting dapat meneyebabkan
gagal timbuh, hambatan perekembangan kognitif dan motorik sehingga berpengaruh
terhadap perkembangan otak dan keberhasilan pendidikan, dan tidak optimalnya
ukuran fisik tubuh serta gangguan metabolisme. Stunting merupakan wujud dari
adanya gangguan pertumbuhan pada tubuh, bila ini terjadi, maka salah satu organ
tubuh yang cepat mengalami risiko adalah otak. Dalam otak terdapat sel-sel saraf
yang sangat berkaitan dengan respon anak termasuk dalam melihat, mendengar dan
berpikir selama proses belajar.
Dampak jangka panjang yang ditimbulkan stunting adalah menurunnya
kapasitas intelektul, gangguan struktur fungsi saraf dan sel-sel otak yang bersifat
permanen dan menyebabkan penurunan keemampuan menyerap pelajaran di
usia sekolah yang akan berpengaruh terhadap produktivitas saat dewasa, dan
meningkatkan risiko penyakit tidak menular seperti diabetes mellitus, hipertensi,
jantung koroner dan stroke. Anak yang mengalami stunting memiliki potensi
tumbuh kembang yang tidak sempurna, kemampuan motorik dan produktivitas
rendah, serta memiliki risiko lebih tinggi untuk terkena penyakit tidak menular.
Stunting pada balita berdampak pada timbulnya potensi kerugian ekonomi karena
penurunan produktivitas kerja dan biaya perawatan. Semuanya itu akan menurunkan
kualitas sumber daya manusia, produktivitas dan daya saing bangsa.
Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan Pasal 49 ayat (1) dan
Pasal 50 ayat (1) mengatur bahwa Pemerintah Daerah bertanggungjawab atas
penyelenggaraan, meningkatkan, dan mengembangkan upaya kesehatan. Kebijakan
gizi yang direncanakan tercantum dalam dokumen Rencana Pembangunan Jangka
Menengah (RPJMN) tahun 2015-2019, dengan sasaran meningkatnya status gizi
masyarakat dan target penurunan prevalensi underweight menjadi 17%, stunting
menjadi 28 %, dan wasting menjadi 9.5% pada balita tahun 2019. Kebijakan
gizi Pemerintah Daerah Provinsi NTT tercantum dalam dokumen Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) dengan fokus sasaran
menurunnya kasus balita gizi kurang menjadi 7.64% dan gizi buruk menjadi
0.76% tahun 2018 dengan Dinas Kesehatan Provinsi NTT sebagai organisasi yang
membantu Gubernur di bidang kesehatan. Namun target ini pada tahun 2017 justru
meningkat terutama underweight (28.3%) dan stunting (40.3%) berdasarkan data
Pemantauan Status Gizi (PSG).
Masalah stunting di NTT erat kaitannya dengan masalah gizi, kesehatan
ibu hamil dan menyusui, serta bayi yang baru lahir dan anak usia dibawah dua
tahun (baduta), termasuk remaja putri. Oleh karena itu kebijakan penurunan
stunting saat ini mulai difokuskan pada 100 hari pertama kehidupan kehidupan
(HPK) dengan pendekatan intervensi spesifik dan sensitive. Intervensi sesifik
dilakukan melalui pemberian makanan tambahan (PMT) bagi ibu hamil dan
kekurangan energy kronis (KEK), konsumsi suplemen tablet daerah (Fe), promosi
dan konseling menyusui, promosi dan konseling pemberian makanan bayi dan
anak (PMBA), tata laksana gizi buruk, PMT pemulian anak kurus, pemantauan
dan promosi pertumbuhan, suplemen kalsium dan pemeriksaan kehamilan,
imunisasi, pengobatan diare, manajemen terpadu balita sakit (MTBS), suplemen
zink dan suplemen taburia serta pencegahan kecacingan.
Sedangkan intervensi sensitive meliputi, peneydiaan akses air minum dan
sanitasi (PUPR), akses llayanan keluarga berencana (BKKBN), akses JKN dan
bantuan uang tunai keliarga kurang mampu (PKH) maupun BNPT (dinas social),
parenting, konseling dan stimulant kunjungan rumah (pendidikan, PPA), akses
pangan baduta-ibu nebyusui dan ibu hamil (ketahanan pangan), serta registrasi
catatan sipil dan kata kelahiran (kependudukan).
Meskipun sudah sinkron, implementasi kebijakan gizi masih menemui
beberapa kendala, yaitu keterbatasan anggaran dan Melalui kebijakan gizi
tersebut, Provinsi NTT berhasil merealisasikan 3 target indikator dari 9 indikator
proses. Namun, pencapaian indikator hasil masih rendah terlihat dari prevalensi
underweight pada balita yang meningkat kembali di tahun 2016. Rendahnya
alokasi anggaran dan sumber daya gizi lainnya dapat menjadi perhatian
Pemerintah Daerah agar dapat mewujudkan ketersediaan sumber daya yang
memadai demi tercapainya pelaksanaan upaya penanganan masalah gizi yang
maksimal.
Etika profesi sanitarian dalam penanganan stunting sebagai seorang sanitarain dalam
melaksanakan hak dan kewajibannya harus senantiasa dilandasi oleh kode etik serta
harus selalu menjujung tinggi ketentuan yang dicanangkan oleh profesi. Dalam
pelaksanaan tugas dan fungsinya harus selalu berpedoman pada standar kompetensi.
Sedangkan standar kompetensi itu sendiri harus senantiasa terus dilengkapi dengan
perangkat-perangkat keprofesian yang lain. Sesuai dengan Keputusan Menteri
Kesehatan Nomor: 373/Menkes/SK/III/2007 Tanggal : 27 Maret 2007 Tentang
Standar Profesi Sanitarian, berikut merupakan Kode Etik Sanitarian/Ahli Kesehatan
Lingkungan Indonesia :
1. Seorang sanitarian harus menjunjung tinggi, menghayati dan mengamalkan
profesi sanitasi dengan sebaik-baiknya.
2. Seorang sanitarian harus senantiasa berupaya melaksanakan profesinya sesuai
dengan standar profesi yang tertinggi.
3. Dalam melakukan pekerjaan atau praktek profesi sanitasi, seorang sanitarian
tidak boleh dipengaruhi sesuatu yang mengakibatkan hilangnya kebebasan dan
kemandirian profesi.
4. Seorang sanitarian harus menghindarkan diri dari perbuatan yang bersifat
memuji diri sendiri.
5. Seorang sanitarian senantiasa berhati-hati dalam menerapkan setiap penemuan
teknik atau cara baru yang belum teruji kehandalannya dan hal-hal yang dapat
menimbulkan keresahan masyarakat.
6. Seorang hanya memberi saran atau rekomendasi yang telah melalui suatu proses
analisis secara komprehensif.
7. Seorang sanitarian dalam menjalankan profesinya, harus memberikan pelayanan
yang sebaik-baiknya dengan menjunjung tinggi kesehatan dan keselamatan
manusia, serta kelestarian lingkungan.
8. Seorang sanitarian harus bersikap jujur dalam berhubungan dengan klien atau
masyarakat dan teman seprofesinya, dan berupaya untuk mengingatkan teman
seprofesinya yang dia ketahui memiliki kekurangan dalam karakter atau
kompetensi, atau yang melakukan penipuan atau kebohongan dalam Menangani
masalah klien atau masyarakat.
9. Seorang sanitarian harus menghormati hak-hak klien atau masyarakat, hak-hak
teman seprofesi, dan hak tenaga kesehatan lainnya, dan harus menjaga
kepercayaan klien atau masyarakat.
10. Dalam melakukan pekerjaannya seorang sanitarian harus memperhatikan
kepentingan masyarakat dan memperhatikan seluruh aspek kesehatan
lingkungan secara menyeluruh, baik fisik, biologi maupun sosial, serta berusaha
menjadi pendidik dan pengabdi masyarakat yang sebenar-benarnya.
11. Seorang sanitarian dalam bekerja sama dengan para pejabat di bidang kesehatan
dan bidang lainnya serta masyarakat, harus saling menghormati.
Sebagai seorang sanitarian salah satu langkah yang dilakukan dalam
pencegahan stunting di NTT adalah dengan menerapkan Perilaku Hidup Bersih dan
Sehat (PHBS) oleh setiap rumah tangga dengan meningkatkan akses terhadap air
bersih dan fasilitas sanitasi, serta menjaga kebersihan lingkungan. PHBS
menurunkan kejadian sakit terutama penyakit infeksi yang dapat membuat energi
untuk pertumbuhan teralihkan kepada perlawanan tubuh menghadapi infeksi, gizi
sulit diserap oleh tubuh dan terhambatnya pertumbuhan. Berdasarkan konsep dan
definisi (Millennium Development Goals) MDGs, rumah tangga memiliki akses
sanitasi layak apabila fasilitas sanitasi yang digunakan memenuhi syarat kesehatan
antara lain dilengkapi dengan leher angsa, tanki septik (septic tank) /Sistem
Pengolahan Air Limbah (SPAL), yang digunakan sendiri atau bersama.
1) Farmasi
a. Melakukan promotif tentang pentingnya mengonsumsi obat cacing.
b. Melakukan promotif tentang cara penggunaan dan penyimpanan obat yang
baik dan benar.
2) Bidan
a. Menganjurkan ibu untuk melakukan pemeriksaan kehamilan sebanyak 4 kali
selama kehamilan
b. Berkolaborasi dengan tim farmasi dalam pemberian vitamin
c. Melakukan promotif mengonsumsi vitamin pada masa kehamilan
3) Perawat
a. Melakukan pnyuluhan kesehatan kepada ibu dengan anak kurang gizi
tentang pola pemberian makan yg bergizi kepada anak dengan masalah
kesehatan kekurangan gizi
b. Melakukan penyuluhan kesehatan kepada klien tentang pentingnya imunisasi
pada ibu hamil dan anak
4) Gizi
a. Memberikan penyuluhan terhadap ibu bagaimana penting nya memakan
sayur,buah dan memberitahukan bagaimana yg dinamakan gizi seimbang ,
lalu memberitahu bagaimana cara yg benar untuk menerapkan asi ekslusif,
dan Mpasi yang benar terhadap ibu.
5) Dokter
Melakukan pemeriksaan dan edukasi terhadap orang tua balita yang terdeteksi
stunting.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Stunting adalah kondisi gagal tumbuh pada anak balita akibat dari
kekurangan gizi kronis sehingga anak terlalu pendek untuk usianya. Kekurangan
gizi terjadi sejak bayi dalam kandungan dan pada masa awal setelah bayi lahir,
kondisi stunting baru terlihat setelah bayi berusia 2 tahun. Faktor-faktor penyebab
stunting di NTT antara lain riwayat ASI, pendidikan, tingkat pengetahuan ibu,
paritas anggota keluarga, tinggi badan orang tua, asupan energy, sanitasi
ligkungan, akses dan pelayanan faskes, imunisasi, dan tingkat kemiskinan,
Dalam jangka pendek stunting dapat meneyebabkan gagal timbuh,
hambatan perekembangan kognitif dan motorik sehingga berpengaruh terhadap
perkembangan otak dan keberhasilan pendidikan, dan tidak optimalnya ukuran
fisik tubuh serta gangguan metabolisme. Dampak jangka panjang yang ditimbulkan
stunting adalah menurunnya kapasitas intelektul, gangguan struktur fungsi saraf
dan sel-sel otak yang bersifat permanen dan menyebabkan penurunan keemampuan
menyerap pelajaran di usia sekolah yang akan berpengaruh terhadap produktivitas
saat dewasa, dan meningkatkan risiko penyakit tidak menular seperti diabetes
mellitus, hipertensi, jantung koroner dan stroke.
Masalah stunting di NTT erat kaitannya dengan masalah gizi, kesehatan ibu
hamil dan menyusui, serta bayi yang baru lahir dan anak usia dibawah dua
tahun (baduta), termasuk remaja putri. Oleh karena itu kebijakan penurunan
stunting saat ini mulai difokuskan pada 1000 hari pertama kehidupan kehidupan
(HPK) dengan pendekatan intervensi spesifik dan sensitive.
B. SARAN