Anda di halaman 1dari 12

HOST, AGENT AND ENVIRONMENT

PADA PENYAKIT NON INFEKSIUS (STUNTING)

DOSEN PENGAJAR :
Dr. Sulistiawati, dr., M.Kes

OLEH:

SISWI WIJAYANTI
215231006

PRODI MAGISTER ILMU KEDOKTERAN TROPIS


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS AIRLANGGA SURABAYA
BAB I
PENDAHULUAN

1. Latar Belakang
Pertumbuhan dan perkembangan anak merupakan penentu status kesehatan di
masa selanjutnya. Salah satu masalah gizi yang banyak dialami anak saat memasuki
masa kritis adalah panjang badan atau tinggi badan kurang dari normal atau disebut
dengan stunting. Stunting dapat menghambat pertumbuhan fisik, meningkatkan
kerentanan anak terhadap penyakit, hambatan perkembangan kognitif yang
menurunkan kecerdasan dan produktivitas anak di masa depan.
Stunting adalah suatu kondisi anak mengalami gangguan pertumbuhan, yang
mengakibatkan tinggi badan anak tidak sesuai dengan usianya, sebagai dampak dari
masalah gizi kronis yaitu kekurangan asupan gizi dalam waktu yang lama.
Berdasarkan standar antropometri penilaian status gizi anak dalam Peraturan Menteri
Kesehatan Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2020 menjelaskan bahwa stunting atau
pendek merupakan status gizi yang didasarkan pada indeks tinggi badan menurut
umur (TB/U) dengan zscore kurang dari -2 SD (standar deviasi). Stunting tidak hanya
terkait dengan masalah gangguan pertumbuhan fisik saja, tetapi juga mengakibatkan
anak menjadi mudah sakit, serta mengakibatkan gangguan perkembangan otak dan
kecerdasan, sehingga dapat dikatakan bahwa stunting merupakan ancaman besar
terhadap kualitas sumber daya manusia di Indonesia

World Health Organization (WHO) tahun 2019 menyebutkan bahwa wilayah


South-East Asia masih merupakan wilayah dengan angka prevalensi stunting yang
tertinggi di dunia yaitu sebesar 31,9% setelah Afrika (33,1%). Indonesia termasuk ke
dalam negara keenam di wilayah South-East Asia setelah Bhutan, Timor Leste,
Maldives, Bangladesh, dan India, yaitu sebesar 36,4%2. Sustainable Development
Goals (SDGs) menjadikan stunting sebagai salah satu masalah yang akan
dikendalikan.

Indonesia mendukung pencapaian tujuan pembangunan berkelanjutan atau


SDGs ke-2 yaitu mengakhiri kelaparan, mencapai ketahanan pangan dan nutrisi yang
lebih baik, dan mendukung pertanian berkelanjutan. Target yang termasuk
didalamnya adalah penanggulangan masalah stunting yang diharapkan prevalensinya
terus menurun pada tahun 2025. Tujuan ke-2 ini berkaitan erat dengan tujuan ke-3
yaitu memastikan kehidupan yang sehat dan mendukung kesejahteraan bagi semua
untuk semua usia3. Namun, Stunting masih menjadi masalah gizi utama yang dihadapi
Indonesia. Data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007 angka prevalensi
stunting di Indonesia yaitu 36,8%, tahun 2010 yaitu 35,6%, dan pada tahun 2013
prevalensinya meningkat menjadi 37,2%, terdiri dari 18% sangat pendek dan 19,2%
pendek. Berdasarkan data hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2018, angka
stunting di Indonesia sebesar 30,8%. Angka ini masih tergolong tinggi dibandingkan
dengan target Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) yaitu
sebesar 19% di tahun 2024. Data Studi Status Gizi Balita di Indonesia (SSGBI) 2019
juga masih tergolong tinggi, dimana prevalensi stunting sebesar 27,67%. Prevalensi
stunting di Indonesia masih lebih tinggi dari prevalensi di Asia Tenggara sebesar
24,7%4. Disamping itu, Stunting memiliki prevalensi tertinggi dibandingkan dengan
masalah gizi lainnya seperti gizi kurang, kurus, dan gemuk dan Berdasarkan batasan
WHO Indonesia berada pada kategori masalah stunting yang tinggi.
Balita ataupun Baduta (Bayi dibawah usia Dua Tahun) yang mengalami stunting akan
memiliki tingkat kecerdasan tidak maksimal, menjadikan anak menjadi lebih rentan terhadap
penyakit dan di masa depan dapat beresiko pada menurunnya tingkat produktivitas. Pada
akhirnya secara luas stunting akan dapat menghambat pertumbuhan ekonomi, meningkatkan
kemiskinan dan memperlebar ketimpangan. Oleh karena itu anak pendek merupakan
prediktor buruknya kualitas sumber daya manusia yang diterima secara luas, yang selanjutnya
menurunkan kemampuan produktif suatu bangsa di masa yang akan datang. Stunting
merupakan tragedi yang tersembunyi. Stunting terjadi sebagai dampak dari kekurangan gizi
kronis selama 1.000 hari pertama kehidupan anak. Kerusakan yang terjadi mengakibatkan
perkembangan anak yang irreversible (tidak bisa diubah), anak tersebut tidak akan pernah
mempelajari atau mendapatkan sebanyak yang dia bisa.
BAB II

TINJAUAN TEORI

A. KONSEP STUNTING

1. Pengertian Stunting

Stunting (kerdil) adalah kondisi balita yang memiliki panjang atau


tinggi badan kurang atau tidak sesuai jika dibandingkan dengan umur. Kondisi
ini diukur dengan panjang atau tinggi badan yang lebih dari minus dua standar
deviasi median standar pertumbuhan anak dari WHO. Balita stunting pada
masa yang akan datang tentu akan mengalami kesulitan dalam mencapai
perkembangan fisik dan kognitif yang optimal (Pusat Data dan Informasi
Kemenkes RI, 2018).
Stunting menggambarkan status gizi kurang yang bersifat kronik,
keadaan ini dipresentasikan dengan nilai z-score tinggi badan menurut umur
(TB/U) pada ambang batas <-2 SD sampai dengan -3 SD (pendek atau
stunting) dan <-3 (sangat pendek) (Larasati dkk, 2018). Masalah balita pendek
(stunting) menggambarkan adanya masalah gizi kronis, yang dipengaruhi dari
kondisi ibu atau calon ibu, masa janin, masa bayi atau balita, termasuk
penyakit yang diderita selama masa balita. Seperti masalah gizi lainnya, tidak
hanya terkait masalah kesehatan namun juga dipengaruhi oleh berbagai
kondisi lain yang secara tidak langsung memengaruhi kesehatan (Nugraheni
dkk, 2020).
2. Faktor Risiko Kejadian Stunting
Stunting merefleksikan gangguan pertumbuhan sebagai dampak dari
rendahnya status gizi dan kesehatan pada periode predan post-natal. UNICEF
framework menjelaskan tentang faktor penyebab terjadinya malnutrisi. Dua
penyebab langsung stunting adalah faktor penyakit dan asupan zat gizi. Kedua
faktor ini berhubungan dengan faktor pola asuh, akses terhadap makanan,
akses terhadap layanan kesehatan dan sanitasi lingkungan. Namun, penyebab
dasar dari semua ini adalah terdapat pada level individu dan rumah tangga
tersebut, seperti tinggkat pendidikan, pendapatan rumahtangga. Banyak
penelitian cross-sectional menemukan hubungan yang erat antara tingkat
pendidikan ibu dengan status gizi anak (Bloem MW, de Pee S, Hop LT, Khan
NC, Laillou A, Minarto, et al., 2013).
1. Faktor keluarga dan rumah tangga
Faktor maternal, dapat disebabkan karena nutrisi yang buruk selama
prekonsepsi, kehamilan, dan laktasi. Selain itu juga dipengaruhi
perawakan ibu yang pendek, infeksi, kehamilan muda, kesehatan jiwa,
IUGR dan persalinan prematur, jarak persalinan yang dekat, dan
hipertensi. Lingkungan rumah, dapat dikarenakan oleh stimulasi dan
aktivitas yang tidak adekuat, penerapan asuhan yang buruk,
ketidakamanan pangan, alokasi pangan yang tidak tepat, rendahnya
edukasi pengasuh.
2. Complementary feeding yang tidak adekuat
Setelah umur 6 bulan, setiap bayi membutuhkan makanan lunak yang
bergizi sering disebut Makanan Pendamping ASI (MP-ASI). Pengenalan
dan pemberian MP-ASI harus dilakukan secara bertahap baik bentuk
maupun jumlahnya, sesuai dengan kemampuan pencernaan bayi/anak.
Dalam keadaan darurat, bayi dan balita seharusnya mendapat MP-ASI
untuk mencegah kekurangan gizi. Untuk memperolehnya perlu
ditambahkan vitamin dan mineral (variasi bahan makanan) karena tidak
ada makanan yang cukup untuk kebutuhan bayi.
3. Beberapa masalah dalam pemberian ASI
Rendahnya kesadaran Ibu akan pentingnya memberikan ASI pada
balitanya dipengaruhi oleh pengetahuan ibu tentang kesehatan dan sosio-
kultural, terbatasnya petugas kesehatan dalam memberikan penyuluhan,
tradisi daerah berpengaruh terhadap pemberian makanan pendamping ASI
yang terlalu dini, dan tidak lancarnya ASI setelah melahirkan (BPS
Ketapang, 2016). Masalah-masalah terkait praktik pemberian ASI meliputi
delayed initiation, tidak menerapkan ASI eksklusif, dan penghentian dini
konsumsi ASI. Sebuah penelitian membuktikan bahwa menunda inisiasi
menyusu (delayed initiation) akan meningkatkan kematian bayi. ASI
eksklusif didefinisikan sebagai pemberian ASI tanpa suplementasi
makanan maupun minuman lain, baik berupa air putih, jus, ataupun susu
selain ASI. IDAI merekomendasikan pemberian ASI eksklusif selama 6
bulan pertama untuk mencapai tumbuh kembang optimal. Setelah enam
bulan, bayi mendapat makanan pendamping yang adekuat sedangkan ASI
dilanjutkan sampai usia 24 bulan. Menyusui yang berkelanjutan selama
dua tahun memberikan kontribusi signifikan terhadap asupan nutrisi
penting pada bayi.
4. Infeksi
Penyebab langsung malnutrisi adalah diet yang tidak adekuat dan penyakit.
Manifestasi malnutrisi ini disebabkan oleh perbedaan antara jumlah zat
gizi yang diserap dari makanan dan jumlah zat gizi yang dibutuhkan oleh
tubuh. Hal ini terjadi sebagai konsekuensi dari terlalu sedikit
mengkonsumsi makanan atau mengalami infeksi, yang meningkatkan
kebutuhan tubuh akan zat gizi, mengurangi nafsu makan, atau
mempengaruhi penyerapan zat gizi di usus. Kenyataannya, malnutrisi dan
infeksi sering terjadi pada saat bersamaan. Malnutrisi dapat meningkatkan
risiko infeksi, sedangkan infeksi dapat menyebabkan malnutrisi yang
mengarahkan ke lingkaran setan. Anak kurang gizi, yang daya tahan
terhadap penyakitnya rendah, jatuh sakit dan akan menjadi semakin kurang
gizi, sehingga mengurangi kapasitasnya untuk melawan penyakit dan
sebagainya. Ini disebut juga infectionmalnutrition (Maxwell, 2011).
Status kesehatan balita meliputi kejadian diare dan infeksi saluran
pernafasan akut (ISPA) pada balita. Diare adalah buang air besar dengan
frekuensi yang meningkat dan dan konsistensi tinja yang lebih lunak dan
cair yang berlangsung dalam kurun waktu minimal 2 hari dan frekuensinya
3 kali dalam sehari. Bakteri penyebab utama diare pada bayi dan anak-
anak adalah enteropathogenic escherichia coli (EPEC). Menurut Levine &
Edelman, Bakteri EPEC juga diyakini menjadi penyebab kematian ratusan
ribu anak di negara berkembang setiap tahunnya. Hal ini juga diungkapkan
oleh Budiarti, bahwa di Indonesia 53% dari bayi dan anak penderita diare
terinfeksi EPEC. Oleh karena itu, penyakit diare merupakan salah satu
masalah kesehatan utama dibanyak negara berkembang, termasuk
Indonesia.

B. KONSEP TRIANGLE EPIDEMIOLOGI


Proses terjadinya penyakit disebabkan adanya interaksi antara “agent” atau factor
penyebab penyakit, manusia sebagai “host” dan factor lingkungan “environment” yang
mendukung. Ketiga faktor tersebut dikenal sebagai trias penyebab penyakit.
Ketidakseimbangan antara ketiga factor tersebut dapat menimbulkan terjadinya
penyakit.
a. Faktor host
Host atau pejamu adalah keadaan manusia yang sedemikian rupa sehingga menjadi
faktor resiko untuk terjadinya penyakit. Faktor ini disebut faktor intrinsik. Host
biasanya berupa manusia atau hewan yang menjadi tempat terjadinya proses
alamiah penyakit.
b. Faktor agent
Agent merupakan semua unsur atau elemen hidup maupun tidak hidup yang
kehadirannya atau ketidakhadirannya bila diikuti dengan kontak yang efektif
dengan pejamu (host) yang rentan dalam keadaan yang memungkinkan akan
menjadi stimuli untuk menyebabkan terjadinya proses penyakit. Faktor agent
antara lain:
1) Agent biologis : virus, bakteri, jamur, protozoa, dan lain-lain
2) Agent kimia : pestisida, obat-obatan, limbah industry dan lain-lain
3) Agent nutrisi : karbohidrat, protein, vitamin, dan lain-lain
4) Agent mekanik : kecelakaan jalan raya
5) Agent fisik : suhu, radiasi, tekanan udara, suhu dan lain-lain
c. Faktor environment
Faktor environment di sebut juga sebagai faktor ekstrinsik. Faktor lingkungan
adalah segala sesuatu yang mengelilingi dan juga kondisi di luar manusia atau
hewan yang menyebabkan atau memungkinkan penularan penyakit. Secara garis
besar dapat dibagi dalam tiga bagian utama yaitu:
1) Lingkungan fisik
Lingkungan fisik merupakan keadaan fisik sekitar manusia yang berpengaruh
terhadap manusia baik secara langsung, maupun terhadap lingkungan biologis
dan lingkungan sosial manusia. Lingkungan fisik meliputi :
a) Udara, keadaan cuaca, geografis dan geologis
b) Air sebagai sumber kehidupan.
c) Unsur kimiawi lainnya pencemaran udara, tanah dan air, radiasi dan lain
sebagainya
2) Lingkungan sosial
Lingkungan sosial merupakan semua bentuk kehidupan sosial budaya,
ekonomi, politik, sistim organisasi, serta institusi peraturan yang berlaku bagi
setiap individu yang membentuk masyarakat tersebut. Meliputi :
a) Sistem hukum, administrasi, kehidupan sosial politik, serta sistem
ekonomi yang berlaku
b) Pekerjaan
c) Sistem pelayanan kesehatan serta kebiasaan hidup sehat masyarakat
setempat
d) Kepadatan penduduk, serta kepadatan rumah tangga
e) Perkembangan ekonomi
3) Lingkungan Biologis
Merupakan semua mahluk hidup yang berada disekitar manusia yaitu flora dan
fauna dan memegang peranan penting dalam interaksi antara manusia
(pejamu) dengan unsur penyebab (agen).
C. Konsep Triangle Epidemiologi Stunting

1. Faktor Host

Faktor Host terdiri dari penyakit infeksi yang diderita, kurang asupan gizi/
status gizi, ketahanan pangan yang rendah, pola asuh/pola makan yang
buruk, kualitas dan kuantitas makanan yang rendah, ASI eksklusif, serta
gangguan mental dan hipertensi pada ibu.
Pentingnya dukungan keluarga, terutama suami yang SIAGA (Siap Antar
Jaga) berada disamping ibu yang sedang hamil sangat berpengaruh
terhadap kondisi mental ibu hamil. Disamping itu, setelah ibu melahirkan
juga dapat meningkatkan beban ibu apalagi jika tanpa pendampingan dari
keluarga. Sebagian peserta mengaku mengalami stress dan terkadang
kurang memperhatikan asupan gizi anaknya. Depresi saat hamil adalah
gangguan suasana hati atau mood. Gangguan ini terjadi karena ada
perubahan zat kimia atau secara spesifik terjadi karena hormone,
perubahan ini menyebabkan gangguan pada tubuh dan psikologi. Pada
kondisi tertentu depresi bisa menyebabkan gangguan tidak hanya pada ibu
saja tapi juga pada janin. Saat stres atau sedang marah, tubuh ibu hamil
akan memproduksi hormon stress yang bernama kortisol. Ketika jumlah
hormon kortisol meningkat, maka pembuluh darah di dalam tubuh akan
menyempit. Sehingga aliran darah dan pasokan oksigen ke janin menjadi
berkurang dan membuat tumbuh kembang janin terganggu. Jika seorang
ibu mengalami gangguan mental dan hipertensi dalam masa kehamilan,
risiko anak menderita stunting juga semakin tinggi. Ibu yang mengalami
depresi akan cenderung kurang memperhatikan asupan gizi anak sehingga
akan berdampak pada munculnya hambatan dalam pertumbuhan dan
perkembangan anak. Stunting merupakan salah satu masalah yang akan
muncul apabila kurangnya asupan gizi yang harus terpenuhi untuk anak
sehingga terlihat dampaknya pada postur tubuh penderita.

2. Faktor Agent

Diare, ISPA,dan campak adalah penyakit yang sering menyerang anak


anak di Indonesia di beberapa daerah.
a) Diare disebabkan oleh bakteri dan parasit dari makanan atau air
yang terkontaminasi, Virus seperti flu, norovirus, atau rotavirus.
Sebagian besar diare pada anak balita disebabkan oleh infeksi
virus. Kondisi yang menjadi pemicu utama diare pada anak akibat
infeksi adalah kebersihan lingkungan dan sanitasi yang buruk.
b) Campak disebabkan oleh infeksi virus dari family Paramyxovirida.
Virus ini menular melalui percikan air liur saat penderitanya bersin,
batuk, atau berbicara. Penularan virus ini juga dapat terjadi ketika
seseorang menyentuh hidung atau mulut setelah memegang
permukaan benda yang terkontaminasi.
c) ISPA sangat terkait dengan tingkat pendidikan orang tua dan
pengetahuan ibu. Orang tua yang memiliki pengetahuan lebih
tinggi akan dapat mencegah dpat mencegah terjadinya ISPA pada
balita. Pengetahuan ibu tentang makanan pendamping ASI dan ASI
eksklusif berperan penting dalam meningkatkan status kesehatan
dan nutrisi balita (Aprillia, Mawarni, & Agustina, 2020). ASI
eksklusif juga berperan terhadap kejadian ISPA. ASI yang
diberikan kurang dari 6 bulan meningkatkan risiko stunting karena
pencernaan bayi belum sempurna sehingga menjadi lebih rentan
terhadap penyakit infeksi seperti diare dan ISPA

3. Faktor Environment

Faktor Environment terdiri dari sanitasi, akses air bersih, bahan bakar
memasak, perilaku merokok, dan paparan asap rokok.
Lingkungan yang tidak memenuhi syarat kesehatan memungkinkan
terjadinya berbagai jenis penyakit antara lain diare, cacingan, infeksi
saluran pernapasan dan infeksi saluran pencernaan. Sanitasi yang buruk
serta keterbatasan akses pada air bersih akan meningkatkan risiko stunting
pada anak. Bila anak tumbuh di lingkungan dengan sanitasi dan kondisi air
yang tidak layak, hal ini dapat mempengaruhi pertumbuhannya.
BAB III
PENCEGAHAN STUNTING

1. Intervensi Gizi Spesifik Intervensi


gizi spesifik merupakan intervensi yang ditujukan kepada anak dalam 1.000
Hari Pertama Kehidupan (HPK) dan berkontribusi pada 30% penurunan
stunting. Kerangka kegiatan intervensi gizi spesifik umumnya dilakukan pada
sektor kesehatan. Intervensi dengan sasaran Ibu Hamil yaitu:
a. Memberikan makanan tambahan pada ibu hamil untuk mengatasi
kekurangan energi dan protein kronis.
b. Mengatasi kekurangan zat besi dan asam folat
c. Mengatasi kekurangan iodium
d. Menanggulangi kecacingan pada ibu hamil
e. Melindungi ibu hamil dari Malaria.
Intervensi dengan sasaran Ibu Menyusui dan Anak Usia 0-6 Bulan yaitu:
a. Mendorong inisiasi menyusui dini (pemberian ASI jolong/colostrum)
b. Mendorong pemberian ASI Eksklusif.
Intervensi dengan sasaran Ibu Menyusui dan Anak Usia 7-23 bulan yaitu
a. Mendorong penerusan pemberian ASI hingga usia 23 bulan didampingi oleh
pemberian MP-ASI
b. Menyediakan obat cacing
c. Menyediakan suplementasi zink
d. Melakukan fortifikasi zat besi ke dalam makanan
e. Memberikan perlindungan terhadap malaria
f. Memberikan imunisasi lengkap
g. Melakukan pencegahan dan pengobatan diare.

2. Intervensi Gizi Sensitif


Idealnya dilakukan melalui berbagai kegiatan pembangunan diluar sector
kesehatan dan berkontribusi pada 70% Intervensi Stunting. Sasaran dari
intervensi gizi spesifik adalah masyarakat secara umum dan tidak khusus ibu
hamil dan balita pada 1.000 Hari PertamaKehidupan (HPK).
Intervensi gizi sensitif yang dilaksanakan antara lain sebagai berikut:
a. Menyediakan dan Memastikan Akses pada Air Bersih
b. Menyediakan dan Memastikan Akses pada Sanitasi
c. Melakukan Fortifikasi Bahan Pangan
d. Menyediakan Akses kepada Layanan Kesehatan dan Keluarga Berencana
(KB)
e. Menyediakan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN)
f. Menyediakan Jaminan Persalinan Universal (Jampersal).
g. Memberikan Pendidikan Pengasuhan pada Orang tua
h. Memberikan Pendidikan Anak Usia Dini Universal
i. Memberikan Pendidikan Gizi Masyarakat.
j. Memberikan Edukasi Kesehatan Seksual dan Reproduksi, serta Gizi pada
Remaja.
k. Menyediakan Bantuan dan Jaminan Sosial bagi Keluarga Miskin.
l. Meningkatkan Ketahanan Pangan dan Gizi. Usia 0–2 tahun atau usia bawah
tiga tahun (batita) merupakan periode emas (golden age) untuk pertumbuhan
dan perkembangan anak, karena pada masa tersebut terjadi pertumbuhan yang
sangat pesat. Periode 1000 hari pertama sering disebut window of
opportunities atau periode emas ini didasarkan pada kenyataan bahwa pada
masa janin sampai anak usia dua tahun terjadi proses tumbuh-kembang yang
sangat cepat dan tidak terjadi pada kelompok usia lain. Gagal tumbuh pada
periode ini akan mempengaruhi status gizi dan kesehatan pada usia dewasa.
Oleh karena itu perlu dilakukan upaya-upaya pencegahan masalah stunting ini
mengingat tingginya prevalensi stunting di Indonesia. Pemerintah telah
menetapkan kebijakan pencegahan stunting, melalui Keputusan Presiden
Nomor 42 tahun 2013 tentang Gerakan Nasional Peningkatan Percepatan Gizi
dengan fokus pada kelompok usia pertama 1000 hari kehidupan, yaitu sebagai
berikut (Kemenkes RI, 2013).
1. Ibu hamil mendapat Tablet Tambah Darah (TTD) minimal 90 tablet selama
kehamilan
2. Pemberian Makanan Tambahan (PMT) ibu hamil
3. Pemenuhan gizi
4. Persalinan dengan dokter atau bidan yang ahli
5. Pemberian Inisiasi Menyusu Dini (IMD)
6. Pemberian Air Susu Ibu (ASI) secara eksklusif pada bayi hingga usia 6
bulan
7. Memberikan Makanan Pendamping ASI (MP-ASI) untuk bayi diatas 6
bulan hingga 2 tahun
8. Pemberian imunisasi dasar lengkap dan vitamin A
9. Pemantauan pertumbuhan balita di posyandu terdekat
10. Penerapan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) Selain itu, pemerintah
menyelenggarakan pula PKGBM yaitu Proyek Kesehatan dan Gizi Berbasis
Masyarakat untuk mencegah stunting. PKGBM adalah program yang
komprehensif dan berkelanjutan untuk mencegah stunting di area tertentu.
Dengan tujuan program sebagai berikut:
a. Mengurangi dan mencegah berat badan lahir rendah, kurang gizi, dan
stunting pada anak – anak
b. Meningkatkan pendapatan rumah tangga/keluarga dengan penghematan
biaya, pertumbuhan produkstifitas dan pendapatan lebih tinggi
DAFTAR PUSTAKA

1. Kementerian Kesehatan R. Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2020.; 2020.


2. Gho | World Health Statistics Data Visualizations Dashboard | Child Stunting. Who.
3. Who. Joint Malnutrition Estimates World Bank Group Unicef. Accessed July 18,
2023. Https://Www.Who.Int/Data/Gho/Data/ Themes/Topics/Joint-Child-
Malnutrition-Estimates-Unicef-Who- Wb

4. International Ngo Forum On Indonesian Development (Infid). Tujuan-Tujuan


Pembangunan Berkelanjutan. Published Online 2017.
5. Badan Penelitian Dan Pengembangan Kesehatan Kkri. Hasil Utama Riset Kesehatan
Dasar 2018.; 2018.
6. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Situasi Balita Pendek (Stunting) Di
Indonesia.; 2018.

7. Arini, D., Nursalam, nursalam, Mahmudah, mahmudah, & Faradilah, I. (2020). The
incidence of stunting , the frequency / duration of diarrhea and Acute. Journal of
Public Health Research, 1816, 117–12
8. Kemenkes RI. (2021). Hasil Studi Status Gizi Indonesia (SSGI) Tingkat Nasional,
Provisi, dan Kabupaten/Kota Tahun 2021. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI.

Anda mungkin juga menyukai