Anda di halaman 1dari 14

PERMASALAHAN KESEHATAN MASYARAKAT

STUNTING DI INDONESIA

Dosen Pengampuh:
Abd. Majid HR. Lagu, SKM.,M.Kes

Oleh Kelompok 2:

Andi Fathyah Hanifah Asrul (70200118023)


Maghfira Fahriani Karim (70200119028)
Nurul Afina Fajriani (70200119063)
Tri Wulandari (70200119068)
Wiwi Karmila (70200119103)
Nirwana Fenti (70200119108)

JURUSAN KESEHATAN MASYARAKAT


FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ALAUDDIN MAKASSAR
2021
Stunting di Indonesia

A. Pengertian Stunting

Stunting merupakan masalah gizi yang cukup berat yang ditandai dengan
banyaknya kasus gizi kurang. Salah satu dampak keadaan status gizi adalah malnutrisi.
stunting ialah keadaan malnutrisi yang berhubungan dengan ketidakcukupan zat gizi masa
lalu sehingga termasuk dalam masalah gizi yang bersifat kronis. (Sutarto, Mayasari, &
Indriyani, 2018). Anak tergolong stunting apabila panjang atau tinggi badan menurut
umurnya lebih rendah dari standar nasional yang berlaku. Standar dimaksud terdapat pada
buku Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) dan beberapa dokumen lainnya. (Kementerian
Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas, 2018). Stunting adalah kondisi gagal
tumbuh pada anak balita (bayi dibawah lima tahun) akibat dari kekurangan gizi kronis
sehingga anak terlalu pendek untuk usianya. Kekurangan gizi terjadi sejak bayi dalam
kandungan dan pada masa awal setelah bayi lahir, akan tetapi kondisi stunting baru nampak
setelah bayi berusia 2 tahun. Balita pendek (stunted) dan sangat pendek (severely stunted)
adalah balita dengan panjang badan (PB/U) atau tinggi badan (TB/U) menurut umurnya
dibandingkan dengan standar baku WHO-MGRS (Multicentre Growth Reference Study)
2006. Stunting menggambarkan status gizi kurang yang bersifat kronik pada masa
pertumbuhan dan perkembangan sejak awal kehidupan. Secara global, sekitar 1 dari 4 anak
mengalami stunting (UNICEF, 2013).
Menurut Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1995/MENKES/SK/XII/2010, Balita yang
dikatakan pendek (stunted) dan sangat pendek (severely stunted) adalah balita dengan
panjang badan (PB/U) atau tinggi badan (TB/U) menurut umurnya dibandingkan dengan
standar baku WHO-MGRS (Multicentre Growth Reference Study) 2006. Anak balita
dikatakan stunting apabila memiliki nilai z-score kurang dari -2SD/standar deviasi
(stunted) dan kurang dari -3SD (severely stunted). Stunting dapat menimbulkan beberapa
dampak buruk lainnya. Dalam jangka pendek adalah terganggunya perkembangan otak,
kecerdasan, gangguan pertumbuhan fisik, dan gangguan metabolism dalam tubuh.
Sedangkan dalam jangka panjang akibat buruk yang dapat ditimbulkan adalah menurunnya
kemampuan kognitif dan prestasi belajar, menurunnya kekebalan tubuh sehingga mudah
sakit, dan resiko tinggi untuk munculnya penyakit diabetes, kegemukan, penyakit jantung
dan pembuluh darah, kanker, stroke, dan disabilitas pada usia tua (Kemenkes RI, 2016).

Kejadian balita pendek atau biasa disebut dengan stunting merupakan salah satu masalah
gizi yang dialami oleh balita di dunia saat ini. Pada tahun 2017 22,2% atau sekitar 150,8
juta balita di dunia mengalami stunting. Namun angka ini sudah mengalami penurunan jika
dibandingkan dengan angka stunting pada tahun 2000 yaitu 32,6%.

Pada tahun 2017, lebih dari setengah balita stunting di dunia berasal dari Asia (55%)
sedangkan lebih dari sepertiganya (39%) tinggal di Afrika. Dari 83,6 juta balita stunting di
Asia, proporsi terbanyak berasal dari Asia Selatan (58,7%) dan proporsi paling sedikit di
Asia Tengah (0,9%).
Dibawah ini merupakan tabel hasil riskesdas 2018 terkait dengan stunting (Gambar 1.1)

Sumber : Riset Kesehatan Dasar Kementerian Kesehatan 2018

Gambar 1.2 Distribusi Geografis Prevalensi stunting menurut Provinsi

Sumber : Riset Kesehatan Dasar Kementerian Kesehatan 2018


Berdasarkan Riskesdas tahun 2018, prevalensi balita stunting di Indonesia
menunjukkan 30,8 persen atau sekitar 7 juta balita menderita stunting. Meskipun stunting
prevalensi menurun dari angka 37,2% pada tahun 2013, namun angka stunting tetap tinggi
dan masih ada (dua) provinsi denga prevalensi di atas 40% (Gambar 1.2)

B. Penyebab Stunting

Stunting disebabkan oleh faktor multi dimensi dan tidak hanya disebabkan oleh
faktor gizi buruk yang dialami oleh ibu hamil maupun anak balita. Intervensi yang paling
menentukan untuk dapat mengurangi pervalensi stunting oleh karenanya perlu dilakukan
pada 1.000 Hari Pertama Kehidupan (HPK) dari anak balita. Pencegahan stunting dapat
dilakukan antara lain dengan cara :

1. Pemenuhan kebutuhan zat gizi bagi ibu hamil


2. ASI eksklusif sampai umur 6 bulan dan setelah umur 6 bulan diberi makanan
pendamping ASI (MPASI) yang cukup jumlah dan kualitasnya
3. Memantau pertumbuhan balita di posyandu.
4. Meningkatkan akses terhadap air bersih dan fasilitas sanitasi, serta menjaga
kebersihan lingkungan. (Sutarto, Mayasari, & Indriyani, 2018)

Penurunan stunting penting dilakukan sedini mungkin untuk menghindari dampak


jangka panjang yang merugikan seperti terhambatnya tumbuh kembang anak. stunting
mempengaruhi perkembangan otak sehingga tingkat kecerdasan anak tidak maksimal. Hal
ini berisiko menurunkan produktivitas pada saat dewasa. stunting juga menjadikan anak
lebih rentan terhadap penyakit. Anak stunting berisiko lebih tinggi menderita penyakit
kronis di masa dewasanya. Anak stunting penyebab utamanya asupan gizi. Tak satupun
penelitian yang mengatakan keturunan memegang faktor yang lebih penting daripada gizi
dalam hal pertumbuhan fisik anak. Masyarakat, umumnya menganggap pertumbuhan fisik
sepenuhnya dipengaruhi faktor keturunan. Pemahaman keliru itu kerap menghambat
sosialisasi pencegahan stunting yang semestinya dilakukan dengan upaya mencukupi
kebutuhan gizi sejak anak dalam kandungan hingga usia dua tahun. Sosialisasi terus
dilakukan. Meski demikian, diperlukan juga kemauan masyarakat untuk dapat menerima
hal tersebut, diikuti dengan kesadaran akan kewajiban menjaga kesehatan. (Kementerian
Kesehatan RI, 2018)
Adapun factor-faktor penyebab stunting, yakni:
a. Asupan energy balita rendah
Asupan energi merupakan salah satu cara untuk menilai konsumsi makanan pada anak.
Pada penelitian ini, asupan energi anak stunting di kecamatan Sukorejo dibagi menjadi
dua yaitu asupan energi rendah dan asupan energy cukup. Kategori energi rendah
apabila <100% AKG dan kategori cukup apabila >100% AKG. Asupan energi
merupakan salah satu cara untuk menilai konsumsi makanan pada anak. Hal ini sesuai
dengan penelitian Fitri (2012), yang menyatakan bahwa ada hubungan yang signifikan
antara konsumsi energi dan kejadian stunting pada balita. Hal tersebut dikarenakan
asupan gizi yang tidak adekuat, terutama dari total energi, berhubungan langsung
dengan defisit pertumbuhan fisik pada anak.
b. Penyakit Infeksi
Penyakit infeksi merupakan salah satu faktor penyebab langsung status gizi balita
disamping konsumsi makanan. Terdapat interaksi bolakbalik antara status gizi dengan
penyakit infeksi. Malnutrisi dapat meningkatkan risiko infeksi, sedangkan infeksi dapat
menyebabkan malnutrisi, yang mengarahkan ke lingkaran setan. Anak kurang gizi,
yang daya tahan terhadap penyakitnya rendah, jatuh sakit dan akan semakin kurang
gizi, sehingga mengurangi kapasitasnya untuk melawan penyakit dan sebagainya.
c. Pendidikan Ibu
Hal ini sesuai dengan penelitian Anisa (2012), bahwa kecenderungan kejadian stunting
pada balita lebih banyak terjadi pada ibu yang berpendidikan rendah. Ibu yang
berpendidikan baik akan membuat keputusan yang akan meningkatkan gizi dan
kesehatan anak-anaknya dan cenderung memiliki pengetahuan gizi yang baik pula.
Menurut Apriadji (1986), informasi akan memberikan pengaruh pada pengetahuan
seseorang meskipun seseorang mempunyai pendidikan yang rendah tetapi jika ia
mendapatkan informasi yang banyak dari berbagai media masa seperti majalah, surat
kabar, telivisi, radio ataupun lainnya, maka hal itu dapat meningkatkan pengetahuan
seseorang. Berdasarkan teori dan fakta peneliti beranggapan ibu yang berpendidikan
akan tahu bagaimana mengolah makanan, mengatur menu makanan, serta menjaga
mutu dan kebershihan makanan dengan baik selain pendidikan tinggi ibu harus aktif
dan tanggap dalam mencari informasi tentang gizi anak dari media masa ataupun
petugas kesehatan.
d. Asupan protein rendah
Asupan protein dibagi menjadi dua kategori, yaitu rendah dan cukup. Kategori protein
rendah apabila <100% AKG dan kategori cukup apabila >100% AKG. terdapat
hubungan signifikan antara konsumsi protein dan kejadian stunting pada balita. Protein
penting untuk fungsi normal dari hampir semua sel dan proses metabolisme, dengan
demikian defisit dalam zat gizi ini memiliki banyak efek klinis.
e. Pemberian ASI
ASI Ekslusif adalah pemberian hanya ASI saja bagi bayi sejak lahir sampai usia 6
bulan. dimana ada hubungan yang bermakna antara pemberian ASI Ekslusif dengan
kejadian stunting pada balita. Penelitian Hien dan Kam (2008), yang menyatakan risiko
menjadi stunting 3,7 kali lebih tinggi pada balita yang diberi ASI Ekslusif. Pada
dasarnya ASI memiliki manfaat sebagai sumber protein berkualitas baik dan mudah
didapat, meningkatkan imunitas anak dan dapat memberikan efek terhadap status gizi
anak dan mempercepat pemulihan bila sakit serta membantu menjalankan kelahiran
f. Status Ekonomi
Kecenderungan stunting pada balita lebih banyak pada keluarga dengan status ekonomi
rendah. Malnutrisi terutama stunting lebih dipengaruhi oleh dimensi sosial ekonomi.
Selain itu, status ekonomi rumah tangga dipandang memiliki dampak yang signifikan
terhadap probabilitas anak menjadi endek dan kurus. Status ekonomi secara tidak
langsung dapat memengaruhi status gizi anak. Sebagai contoh, keluarga dengan status
ekonoi baik bisa mendapatkan pelayanan umum yang lebh baik juga, yaitu pendidikan,
pelayanan kesehatan dan sebagainya
C. Upaya Pemerintah Menangani Permasalahan Gizi (Stunting)
Komitmen pemerintah dalam upaya percepatan perbaikan gizi telah dinyatakan
melalui Perpres Nomor 42 Tahun 2013, tanggal 23 Mei 2013, tentang Gerakan Nasional
(Gernas) Percepatan Perbaikan Gizi yang merupakan upaya bersama antara pemerintah dan
masyarakat melalui penggalangan partisipasi dan kepedulian pemangku kepentingan
secara terencana dan terkoordinasi untuk percepatan perbaikan gizi masyarakat dengan
prioritas pada Seribu Hari Pertama Kehidupan (1000 HPK). Melalui penetapan strategi
utama Gernas Percepatan Perbaikan Gizi yaitu:
a. Menjadikan perbaikan gizi sebagai arus utama pembangunan sumber daya
b. Peningkatan intervensi berbasis bukti yang efektif pada berbagai tatanan yang ada di
masyarakat
c. Peningkatan partisipasi masyarakat untuk penerapan norma-norma sosial yang
mendukung perilaku sadar gizi.

Secara global kebijakan yang dilakukan untuk penurunan kejadian stunting


difokuskan pada kelompok 1000 hari pertama atau yang disebut dengan Scaling Up
Nutrition. WHO merekomendasikan penurunan stunting sebesar 3,9% pertahun dalam
rangka memenuhi target 40% penurunan stunting pada tahun 2025. Intervensi dilakukan
pada sepanjang siklus kehidupan baik di sektor kesehatan maupun non kesehatan yang
melibatkan berbagai lapisan masyarakat seperti pemerintah, swasta, masyarakat sipil, PBB
melalui tindakan kolektif untuk peningkatan perbaikan gizi, baik jangka pendek (intervensi
spesifik) maupun jangka panjang (sensitif). (Mitra, 2015)Dalam mengatasi permasalahan
gizi terdapat dua solusi yang dapat dilakukan, yaitu dengan intervensi spesifik dan sensitif.
Intervensi spesifik diarahkan untuk mengatasi penyebab langsung dan tidak langsung
masalah gizi, sedangkan intervensi sensitif diarahkan untuk mengatasi akar masalahnya
dan sifatnya jangka panjang.
Intervensi sensitif salah satunya meningkatkan pengetahuan dan kemampuan dari
orang tua atau keluarga tentang hal-hal yang berkaitan dengan gizi, serta kurangnya
pengetahuan masyarakat dalam pengolahan bahan makanan, misalnya ikan. Ikan di sekitar
mereka banyak, tetapi tidak mereka konsumsi. Karena kebanyakan dari mereka hanya bisa
memasak ikan dengan digoreng dan dibakar saja, sehingga anak-anak merasa lebih cepat
bosan makan menu ikan.

Kegiatan intervensi spesifik yang dilakukan oleh Kementerian Kesehatan dalam


penanggulangan masalah gizi antara lain:
a. Pemberian Tablet Tambah Darah untuk remaja putri, calon pengantin, ibu hamil
b. Promosi ASI Eksklusif
c. Promosi Makanan Pendamping-ASI
d. Promosi makanan berfortifikasi termasuk garam beryodium
e. Promosi dan kampanye Tablet Tambah Darah
f. Suplemen gizi mikro (Taburia)
g. Suplemen gizi makro (PMT)
h. Kelas Ibu Hamil
i. Promosi dan kampanye gizi seimbang dan perubahan perilaku
j. Pemberian obat cacing
k. Tata Laksana Gizi Kurang/ Buruk
l. Suplementasi vitamin A
m. Jaminan Kesehatan Nasional
Selain itu salah satu upaya promotif preventif dalam rangka menanggulangi
berbagai masalah gizi dan kesehatan tersebut, Kementerian Kesehatan telah
mencanangkan Gerakan Masyarakat Hidup Sehat (GERMAS) dengan fokus pada 3 (tiga)
kegiatan yaitu meningkatkan aktifitas fisik, konsumsi sayur dan buah, dan deteksi dini
penyakit. (Kementerian Kesehatan RI, 2018)
Pemerintah telah berupaya melakukan advokasi tingkat tinggi yang berkelanjutan
dan kabar baiknya adalah bahwa saat ini gizi menjadi salah satu prioritas nasional.
Pendekatan multi-sektor juga terus dilakukan melalui program gizi sensitif yang
dilaksanakan secara simultan termasuk pembelajaran dari berbagai program sebelumnya
yang sangat berhasil seperti Posyandu, PKH, PNPM Generasi, Pamsimas. Langkah lainnya
adalah mengupayakan pembiayaan berbasis hasil, yaitu Dana Alokasi Khusus (DAK)
berbasis kinerja di sektor kesehatan dan pendidikan dengan menggunakan indikator-
indikator gizi, mendorong penerapan pembayaran kapitasi Jaminan Kesehatan Nasional
(JKN), untuk memperbaiki layanan gizi, dan mendorong Dana Desa untuk merevitalisasi
program gizi masyarakat. Selain itu juga melakukan advokasi untuk penguatan
kepemimpinan dan kesadaran untuk mengatasi masalah mal nutrisi, kapasitas untuk
merencanakan, melaksanakan, dan memantau program gizi multi sektor secara terpadu,
serta penegakan Standar Pelayanan Minimum yang terkait dengan layanan gizi dengan
lebih baik.
Namun penanggulangan stunting bukan hanya tanggung jawab pemerintah,
melainkan semua pihak, setiap keluarga Indonesia. Dalam jangka panjang, stunting
berdampak buruk tidak hanya terhadap tumbuh kembang anak tetapi juga terhadap
perkembangan emosi yang berakibat pada kerugian ekonomi; baik skala mikro semata
dalam keluarga maupun skala makro, dalam hal ini anggaran belanja kesehatan nasional.
Karena itu upaya percepatan perbaikan gizi membutuhkan komitmen kuat dari berbagai
pihak, baik dari pemerintah pusat dan pemerintah daerah, lembaga sosial kemasyarakatan
dan keagamaan, akademisi, organisasi profesi, media massa, dunia usaha/mitra
pembangunan, dan masyarakat secara keseluruhan. Diharapkan kerjasama ini berhasil
mencapai satu tujuan utama yaitu perbaikan generasi masa depan yang sehat dan produktif
dan memiliki daya saing. Dimulai dari pemenuhan gizi yang baik selama 1000 HPK anak
hingga menjaga lingkungan agar tetap bersih dan sehat.
Berbagai kebijakan dan regulasi telah dikeluar kan pemerintah dalam rangka
penanggulangan stunting. Adapun kebijakan/regulasi tersebut, di antaranya yaitu :
a. Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2005–2025,
b. Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) 2015-2019,
c. Rencana Aksi Nasional Pangan dan Gizi 2011-2015,
d. Undang-Undang (UU) No. 36/2009 tentang Kesehatan,
e. Peraturan Pemerintah (PP) No.33/2012 tentang Air Susu Ibu Eksklusif,
f. Peraturan Presiden (Perpres) No. 42/2013 tentang Gerakan Nasional Percepatan
Perbaikan Gizi,
g. Keputusan Menteri Kesehatan (Kepmenkes) No. 450/Menkes/SK/ IV/2004 tentang
Pemberian Air Susu Ibu (ASI) Secara Eksklusif Pada Bayi di Indonesia,
h. Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) No.15/2013 tentang Tata Cara
Penyediaan Fasilitas Khusus Menyusui dan/atau Memerah Air Susu Ibu.
i. Permenkes No.3/2014 tentang Sanitasi Total Berbasis Masyarakat (STBM).
j. Permenkes No.23/2014 tentang Upaya Perbaikan Gizi.
k. Kerangka Kebijakan Gerakan Nasional Percepatan Gizi Dalam Rangka Seribu Hari
Pertama Kehidupan (Gerakan 1.000 HPK), 2013. 12. Hari Pertama Kehidupan
(Gerakan 1000 HPK). (Nisa, 2018)
Berdasarkan paparan dapat ditarik kesimpulan bahwa Indonesia masih tergolong
ke dalam negara dengan prevelensi stunting yang tinggi, yaitu sekitar 36%. Di sisi lain
pemerintah Indonesia telah memiliki sejumlah kebijakan dan regulasi terkait
penangugulangan masalah stunting, di mana upaya yang dilakukan meliputi intervensi
spesifik yang dilakukan oleh sektor kesehatan, dan intervensi sensitif yang dilakukan oleh
lintas sektor di luar kesehatan. Faktor sosial ekonomi yang berpengaruh terhadap stunting,
di antaranya masalah kemiskinan, tingkat pendidikan, dan pendapatan keluarga yang
rendah. Penanggulangan stunting di Indonesia sudah diatur oleh banyak regulasi dan
memiliki kerangka kebijakan yang sangat baik, hanya saja implementasinya masih harus
dioptimalkan. Kebijakan dan regulasi yang ada di tingkat pusat, harus juga diikuti dengan
tindaklanjut di daerah hingga tingkat desa dan melibatkan tidak hanya sektor kesehatan
tetapi juga sektor terkait lainnya. Kebijakan di daerah terkait kerjasama lintas sektor
penanggulangan stunting perlu diformulasikan sedemikian rupa sehingga kebijakan yang
ada bisa dilaksanakan oleh seluruh pihak terkait dan dapat bersifat mengikat, termasuk juga
keterlibatan elemen masyarakat, akademisi, dan swasta. (Nisa, 2018)

D. Manajemen Solusi
Berdasarkan kajian literature yang kami lakukan, diperoleh beberapa manajemen solusi
yang dapat dijadikan alternatif pemecahan masalah stunting di Indonesia:
1. Peningkatan pemahaman dapat tercapai melalui pemberian infromasi kesehatan dengan
model pendekatan yang tepat salah satunya pendidikan kesehatan. Tingkat pemahaman
keluarga yang baik, akan mempengaruhi sikap dan tindakan keluarga dalam upaya
pencegahan masalah kesehatan, sehingga masalah kesehatan dapat teratasi dan terjadi
peningkatan derajat kesehatan pada keluarga. Pengetahuan keluarga tentang nutrisi
memiliki peranan penting dalam keluarga melakukan manajemen nutrisi pada balita dengan
stunting. Hal tersebut akan mempengaruhi perilaku keluarga dalam memilih jenis makanan
dan kuantitas makanan yang diberikan sesuai dengan kebutuhan asupan nutrisi balita
stunting. Hal tersebut juga sesuai dengan pernyataan Friedman (2010), yang menyatakan
bahwa jika keluarga memiliki tingkat pengetahuan yang baik, maka akan mensukseskan
keluarga dalam melaksanakan tugas kesehatannya meliputi:
a. keluarga mampu mengenal masalah kesehatan tentang stunting,
b. keluarga mampu memutuskan tindakan perawatan yaitu pemberian nutrisi yang tepat
pada balita stunting,
c. keluarga mampu melakukan modifikasi jenis nutrisi yang diberikan pada balita
stunting,
d. dan keluarga mampu memanfaatkan sumber daya di lingkungan guna menunjang
pelaksanaan tindakan perawatan pada balita stunting
2. kader posyandu sangat berpengaruh dalam membentuk pengetahuan ibu yang baik terkait
stunting. Kader posyandu juga merupakan penggerak utama seluruh kegiatan yang
dilaksanakan di posyandu. Keberadaan kader penting dan strategis, ketika pelayanan yang
diberikan mendapat simpati dari masyarakat akan menimbulkan implikasi positif terhadap
kepedulian dan partisipasi masyarakat. Salah satu permasalahan posyandu yang paling
mendasar adalah rendahnya tingkat pengetahuan kader baik dari sisi akademis maupun
teknis, karena itu untuk dapat memberikan pelayanan optimal di posyandu, diperlukan
penyesuaian pengetahuan dan keterampilan kader, sehingga mampu melaksanakan kegiatan
posyandu sesuai norma, standar, prosedur dan kriteria pegembangan posyandu. Kader perlu
mendapatkan bekal pengetahuan dan keterampilan yang benar dalam melakukan
penimbangan, pelayanan dan konseling atau penyuluhan gizi. Penguatan peran kader
posyandu sebagai garda terdepan menjadi salah satu kunci utama penanganan stunting.
3. Intervensi untuk menurunkan anak pendek (stunting) harus dimulai secara tepat sebelum
kelahiran, dengan pelayanan pranatal dan gizi ibu, dan berlanjut hingga usia dua tahun.
Proses untuk menjadi seorang anak bertubuh pendek – yang disebut kegagalan pertumbuhan
(growth faltering) - dimulai dalam rahim, hingga usia dua tahun. Pada saat anak melewati
usia dua tahun, sudah terlambat untuk memperbaiki kerusakan pada tahun-tahun awal. Oleh
karena itu, status kesehatan dan gizi ibu merupakan penentu penting stunting pada anak-
anak. Pemantauan dan deteksi stunting anak usia dini merupakan hal yang wajib dilakukan
sedini mungkin.
E. Kesimpulan

Untuk mencegah masalah stunting dibutuhkan upaya yang bersifat holistik dan saling
terintegrasi. Peraturan Presiden Nomor 42 Tahun 2013 harus disikapi dengan koordinasi yang
kuat di tingkat pusat dan aturan main dan teknis yang jelas di tingkat provinsi, kabupaten/kota,
hingga pelaksana ujung tombak. Diseminasi informasi dan advokasi perlu dilakukan oleh unit
teknis kepada stake holders lintas sektor dan pemangku kepentingan lain pada tingkatan yang
sama. Untuk jajaran struktural kebawahnya perlu dilakukan knowledge transfer dan edukasi
agar mampu menjelaskan dan melakukan pemberdayaan dalam meningkatkan status gizi
masyarakat.
Selanjutnya, perlu penguatan sistem agar 1000 HPK dapat menjadi bagian dari budaya
dan kehidupan sosial di masyarakat (misal: ibu merasa malu bila tidak memberikan ASI secara
eksklusif kepada bayinya). Selanjutnya, informasi mengenai ASI eksklusif, untung-ruginya
menyusui bayi sendiri hingga menjadi donor ASI dapat dikembangkan melalui kelas ibu hamil.
Dengan demikian, motivasi ibu untuk menyusui bayinya muncul karena kesadaran, bukan
karena dipaksa.
Pengetahuan ibu sebelum kehamilan atau sebelum menjadi pengantin (calon
pengantin) merupakan target strategis yang paling memungkinkan untuk memberikan daya
ungkit. Kursus singkat menjelang perkawinan harus dijadikan prasyarat untuk memperoleh
surat nikah. Intervensi ini dapat menjadi bekal ibu sebelum hamil agar menjaga kehamilannya
sejak dini, dimana tumbuh kembang kognitif janin terbentuk pada trimester pertama
kehamilan. Status gizi dan kesehatan ibu hamil yang optimal akan melahirkan bayi yang sehat.
Bayi yang lahir sehat dan dirawat dengan benar melalui pemberian ASI eksklusif, pola asuh
sehat dengan memberikan imunisasi yang lengkap, mendapatkan makanan pendamping ASI
(MPASI) yang berkualitas dengan kuantitas yang cukup dan periode yang tepat.
Generasi yang tumbuh optimal alias tidak stunting memiliki tingkat kecerdasan yang
lebih baik, akan memberikan daya saing yang baik dibidang pembangunan dan ekonomi.
Disamping itu, pertumbuhan optimal dapat mengurangi beban terhadap risiko penyakit
degeneratif sebagai dampak sisa yang terbawa dari dalam kandungan. Penyakit degeneratif
seperti diabetes, hipertensi, jantung, ginjal merupakan penyakit yang membutuhkan biaya
pengobatan tinggi. Dengan demikian, bila pertumbuhan stunting dapat dicegah, maka
diharapkan pertumbuhan ekonomi bisa lebih baik, tanpa dibebani oleh biaya-biaya pengobatan
terhadap penyakit degeneratif.
DAFTAR PUSTAKA

Bank, W. (2014). Better Growth through Improved Sanitation and Hygiene Practices.
Kementerian Kesehatan RI. (2018). CEGAH STUNTING ITU PENTING.
Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas. (2018). PEDOMAN PELAKSANAAN
INTERVENSI PENURUNAN STUNTING TERINTEGRASI DI KABUPATEN/ KOTA. Jakarta.
Mitra, M. (2015). Permasalahan Anak Pendek (Stunting) dan Intervensi untuk Mencegah Terjadinya
Stunting (Suatu Kajian Kepustakaan). Jurnal Kesehatann Komunitas, 254-261.
Nisa, L. S. (2018). KEBIJAKAN PENANGGULANGAN STUNTING DI INDONESIA. Jurnal
Kebijakan Pembangunan, 173-179.
Sutarto, Mayasari, D., & Indriyani, R. (2018). Stunting, Faktor Resiko dan Pencegahannya.
AGROMEDICINE UNILA, 540-545.
Yuliani, E., Immawanti, I., Yunding, J., Irfan, I., Haerianti, M. and Nurpadila, N., 2018. PELATIHAN
KADER KESEHATAN DETEKSI DINI STUNTING PADA BALITA DI DESA BETTENG:
Health Cadre Training About Early Detection Of Stunting Toddler In Betteng Village. Jurnal
Pengabdian Masyarakat Kesehatan, 4(2), pp.41-46.
Wicaksono, K.E. and Alfianto, A.G., 2020. DAMPAK POSITIF PENDIDIKAN KESEHATAN
TERHADAP TINGKAT PENGETAHUAN KELUARGA DALAM MANAJEMEN NUTRISI
BALITA STUNTING. In Conference on Innovation and Application of Science and Technology
(CIASTECH) (Vol. 3, No. 1, pp. 981-986).
Himawaty, A., 2020. Pemberdayaan Kader dan Ibu Baduta untuk Mencegah Stunting di Desa Pilangsari
Kabupaten Bojonegoro. IKESMA, 16(2), pp.77-86.

Anda mungkin juga menyukai