Anda di halaman 1dari 14

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Stunting adalah masalah gizi kronis pada balita yang ditandai dengan
tinggi badan yang lebih pendek dibandingkan dengan anak seusianya. Hasil studi
membuktikan bahwa pengaruh faktor keturunan hanya berkontribusi sebesar 15%,
sementara unsur terbesar adalah terkait masalah asupan zat gizi, hormon
pertumbuhan dan terjadinya penyakit infeksi berulang. Variabel lain dalam
pertumbuhan stunting yang belum banyak disebut adalah pengaruh paparan asap
rokok maupun polusi asap juga berpengaruh terhadap pertumbuhan stunting.
Anak yang menderita stunting akan lebih rentan terhadap penyakit dan ketika
dewasa berisiko untuk mengidap penyakit degeneratif. Dampak stunting tidak
hanya pada segi kesehatan tetapi juga mempengaruhi tingkat kecerdasan anak.

Anak merupakan aset bangsa di masa depan. Bisa dibayangkan,


bagaimana kondisi sumber daya manusia Indonesia di masa yang akan datang jika
saat ini banyak anak Indonesia yang menderita stunting. Dapat dipastikan bangsa
ini tidak akan mampu bersaing dengan bangsa lain dalam menghadapi tantangan
global.

Untuk mencegah hal tersebut, pemerintah mencanangkan program


intervensi pencegahan stunting terintegrasi yang melibatkan lintas kementerian
dan lembaga. Pada tahun 2018, ditetapkan 100 kabupaten di 34 provinsi sebagai
lokasi prioritas penurunan stunting. Jumlah ini akan bertambah sebanyak 60
kabupaten pada tahun berikutnya. Dengan adanya kerjasama lintas sektor ini
diharapkan dapat menekan angka stunting di Indonesia sehingga dapat tercapai
target Sustainable Development Goals (SDGs) pada tahun 2025 yaitu penurunan
angka stunting hingga 40%.

Berdasarkan uraian di atas, penulis bermaksud untuk mengetahui lebih


dalam mengenai kebijakan-kebijakan pemerintah terhadap masalah stunting di
indonesia.

B. Rumusan Masalah

1. Apa definisi stunting?


2. Apa penyebab Stunting?
3. Bagaiamana fenomena stunting di indonesia?
4. Bagaimana kebijakan pemerintah terhadap masalah stunting?

1
2

C. Tujuan Penulisan

1. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan konsep dasar stunting


2. Mahasiswa mampu mengidentifikasi masalah stunting
3. Mahasiswa mengetahui fenomena mengenai stunting di indonesia
4. Mahasiswa mampu memahami kebijakan pemerintahan terhadap fenomena
stunting

2
3

BAB II

PEMBAHASAN

A. Konsep Dasar Stunting


1. Pengertian Stunting

Stunting adalah masalah gizi kronis pada balita yang ditandai dengan
tinggi badan yang lebih pendek dibandingkan dengan anak seusianya. Anak yang
menderita stunting akan lebih rentan terhadap penyakit dan ketika dewasa berisiko
untuk mengidap penyakit degeneratif. Dampak stunting tidak hanya pada segi
kesehatan tetapi juga mempengaruhi tingkat kecerdasan anak.
Stunting (kerdil) adalah kondisi dimana balita memiliki panjang atau
tinggi badan yang kurang jika dibandingkan dengan umur. Kondisi ini diukur
dengan panjang atau tinggi badan yang lebih dari minus dua standar deviasi
median standar pertumbuhan anak dari WHO. Balita stunting termasuk masalah
gizi kronik yang disebabkan oleh banyak faktor seperti kondisi sosial ekonomi,
gizi ibu saat hamil, kesakitan pada bayi, dan kurangnya asupan gizi pada bayi.
Balita stunting di masa yang akan datang akan mengalami kesulitan dalam
mencapai perkembangan fisik dan kognitif yang optimal.
Perawakan pendek atau stunting merupakan suatu terminologi untuk
tinggi badan yang berada dibawah persentil 3 atau -2 SD pada kurva pertumbuhan
normal yang berlaku pada populasi tersebut. Tinggi badan menurut umur (TB/U)
dapat digunakan untuk menilai status gizi masa lampau, ukuran panjang badan
dapat dibuat sendiri, murah dan mudah dibawa. Sedangkan kelemahannya adalah
tinggi badan tidak cepat naik sehingga kurang sensitif terhadap masalah gizi
dalam jangka pendek.

2. Penyebab dan Patofisiologi stunting

(gambar 1.1 patofisiologi stunting)

3
4

Banyak faktor yang menyebabkan terjadinya keadaan stunting pada anak.


Faktor penyebab stunting ini dapat disebabkan oleh faktor langsung maupun tidak
langsung. Penyebab langsung dari kejadian stunting adalah asupan gizi dan
adanya penyakit infeksi sedangkan penyebab tidak langsungnya adalah pola asuh,
pelayanan kesehatan, ketersediaan pangan, faktor budaya, ekonomi dan masih
banyak lagi faktor lainnya (UNICEF, 2008; Bappenas, 2013).
a. Faktor langsung
1) Asupan gizi balita
Asupan gizi yang adekuat sangat diperlukan untuk pertumbuhan
dan perkembangan tubuh balita. Masa kritis ini merupakan masa saat
balita akan mengalami tumbuh kembang dan tumbuh kejar. Balita yang
mengalami kekurangan gizi sebelumnya masih dapat diperbaiki dengan
asupan yang baik sehingga dapat melakukan tumbuh kejar sesuai dengan
perkembangannya.
kemungkinan terjadi gangguan pertumbuhan bila asupan yang
diterima tidak mencukupi. Penelitian yang menganalisis hasil Riskesdas
menyatakan bahwa konsumsi energi balita berpengaruh terhadap kejadian
balita pendek, selain itu pada level rumah tangga konsumsi energi rumah
tangga di bawah rata-rata merupakan penyebab terjadinya anak balita
pendek (Sihadi dan Djaiman, 2011).
2) Penyakit infeksi
Penyakit infeksi merupakan salah satu faktor penyebab langsung
stunting, Kaitan antara penyakit infeksi dengan pemenuhan asupan gizi
tidak dapat dipisahkan. Adanya penyakit infeksi akan memperburuk
keadaan bila terjadi kekurangan asupan gizi. Anak balita dengan kurang
gizi akan lebih mudah terkena penyakit infeksi. Untuk itu penanganan
terhadap penyakit infeksi yang diderita sedini mungkin akan membantu
perbaikan gizi dengan diiimbangi pemenuhan asupan yang sesuai dengan
kebutuhan anak balita.
Penyakit infeksi yang sering diderita balita seperti cacingan,
Infeksi saluran pernafasan Atas (ISPA), diare dan infeksi lainnya sangat
erat hubungannya dengan status mutu pelayanan kesehatan dasar
khususnya imunisasi, kualitas lingkungan hidup dan perilaku sehat
(Bappenas, 2013). Ada beberapa penelitian yang meneliti tentang
hubungan penyakit infeksi dengan stunting yang menyatakan bahwa diare
merupakan salah satu faktor risiko kejadian stunting pada anak umur
dibawah 5 tahun (Paudel et al, 2012).

b. Faktor tidak langsung

1) Ketersediaan pangan

4
5

Ketersediaan pangan yang kurang dapat berakibat pada kurangnya


pemenuhan asupan nutrisi dalam keluarga itu sendiri. Rata-rata asupan
kalori dan protein anak balita di Indonesia masih di bawah Angka
Kecukupan Gizi (AKG) yang dapat mengakibatkan balita perempuan dan
balita laki-laki Indonesia mempunyai rata-rata tinggi badan masing-
masing 6,7 cm dan 7,3 cm lebih pendek dari pada standar rujukan WHO
2005 (Bappenas, 2011). Oleh karena itu penanganan masalah gizi ini tidak
hanya melibatkan sektor kesehatan saja namun juga melibatkan lintas
sektor lainnya.
Ketersediaan pangan merupakan faktor penyebab kejadian
stunting, ketersediaan pangan di rumah tangga dipengaruhi oleh
pendapatan keluarga, pendapatan keluarga yang lebih rendah dan biaya
yang digunakan untuk pengeluaran pangan yang lebih rendah merupakan
beberapa ciri rumah tangga dengan anak pendek (Sihadi dan Djaiman,
2011). Penelitian di Semarang Timur juga menyatakan bahwa pendapatan
perkapita yang rendah merupakan faktor risiko kejadian stunting
(Nasikhah, 2012). Selain itu penelitian yang dilakukan di Maluku Utara
dan di Nepal menyatakan bahwa stunting dipengaruhi oleh banyak faktor
salah satunya adalah faktor sosial ekonomi yaitu defisit pangan dalam
keluarga (Paudel et al, 2012).
2) Status gizi ibu saat hamil
Status gizi ibu saat hamil dipengaruhi oleh banyak faktor, faktor tersebut
dapat terjadi sebelum kehamilan maupun selama kehamilan. Beberapa
indikator pengukuran seperti 1) kadar hemoglobin (Hb) yang
menunjukkan gambaran kadar. Hb dalam darah untuk menentukan anemia
atau tidak; 2) Lingkar Lengan Atas (LILA) yaitu gambaran pemenuhan
gizi masa lalu dari ibu untuk menentukan KEK atau tidak; 3) hasil
pengukuran berat badan untuk menentukan kenaikan berat badan selama
hamil yang dibandingkan dengan IMT ibu sebelum hamil (Yongky, 2012;
Fikawati, 2010). Dilihat dari asupan makanan, ibu hamil pada umumnya
defisit energi dan protein. Hasil dari Survei Nasional Konsumsi Makanan
Individu (SKMI) tahun 2104 menunjukkan sebagian besar ibu hamil (kota
dan desa) maupun menurut sosial ekonomi (kuintil 1-5) bermasalah untuk
asupan makanan, baik energi dan protein
3) Berat badan lahir
Berat badan lahir sangat terkait dengan pertumbuhan dan perkembangan
jangka panjang anak balita, pada penelitian yang dilakukan oleh Anisa
(2012) menyimpulkan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara
berat lahir dengan kejadian stunting pada balita di Kelurahan Kalibaru.
Bayi yang lahir dengan berat badan lahir rendah (BBLR) yaitu bayi yang
lahir dengan berat badan kurang dari 2500 gram, bayi dengan berat badan
lahir rendah akan mengalami hambatan pada pertumbuhan dan

5
6

perkembangannya serta kemungkinan terjadi kemunduran fungsi


intelektualnya selain itu bayi lebih rentan terkena infeksi dan terjadi
hipotermi (Direktorat Bina Gizi dan KIA, 2012).

4) Panjang badan lahir


Asupan gizi ibu yang kurang adekuat sebelum masa kehamilan
menyebabkan gangguan pertumbuhan pada janin sehingga dapat
menyebabkan bayi lahir dengan panjang badan lahir pendek. Bayi yang
dilahirkan memiliki panjang badan lahir normal bila panjang badan lahir
bayi tersebut berada pada panjang 48-52 cm (Kemenkes R.I, 2010).
Panjang badan lahir pendek dipengaruhi oleh pemenuhan nutrisi bayi
tersebut saat masih dalam kandungan.
Penentuan asupan yang baik sangat penting untuk mengejar
panjang badan yang seharusnya. Berat badan lahir, panjang badan lahir,
umur kehamilan dan pola asuh merupakan beberapa faktor yang
mempengaruhi kejadian stunting. Panjang badan lahir merupakan salah
satu faktor risiko kejadian stunting pada balita (Anugraheni, 2012;
Meilyasari, 2014).

5) ASI Eksklusif

Pemenuhan kebutuhan bayi 0-6 bulan telah dapat terpenuhi dengan


pemberian ASI saja. Menyusui Eksklusif juga penting karena pada umur
ini, makanan selain ASI belum mampu dicerna oleh enzim-enzim yang ada
di dalam usus selain itu pengeluaran sisa pembakaran makanan belum bisa
dilakukan Arifin pada tahun 2012 dengan hasil penelitian yang
menyatakan bahwa kejadian stunting dipengaruhi oleh berat badan saat
lahir, asupan gizi balita, pemberian ASI, riwayat penyakit infeksi,
pengetahuan gizi ibu balita, pendapatan keluarga, jarak antar kelahiran
namun faktor yang paling dominan adalah pemberian ASI (Arifin dkk,
2012). Berarti dengan pemberian ASI Eksklusif kepada bayi dapat
menurunkan kemungkinan kejadian stunting pada balita, hal ini juga
tertuang pada gerakan 1000 HPK yang dicanangkan oleh pemerintah
Republik Indonesia.

B. Fenomena stunting
Indonesia merupakan salah satu negara dengan triple ganda permasalahan
gizi. Indonesia merupakan Negara ke 5 dengan jumlah balita tertinggi mengalami
stunting. Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018 yang dilakukan oleh Badan
Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Litbangkes) menunjukkan angka yang
cukup menggembirakan terkait masalah stunting. Prevalensi Balita stunting turun

6
7

dari 37,2% pada tahun 2013 menjadi 30.8% pada tahun 2018. Prevalensi Baduta
stunting juga mengalami penurunan dari 32.8% pada tahun 2013 menjadi 29,9%
pada tahun 2018.

Namun demikian tantangan percepatan penurunan stunting masih cukup besar:

1. Proporsi Berat Badan Lahir Rendah (< 2500 gram /BBLR) mengalami
kenaikan tipis dari 5,7% pada tahun 2013 menjadi 6.2% pada tahun 2018
2. Panjang badan lahir kurang dari 48 cm mengalami kenaikan dari 20,2%
pada 2013 menjadi 22,7% di 2018.
3. Proporsi Imunisasi Dasar Lengkap pada anak usia12 –23 bulan mengalami
penurunan dari 59,2% pada tahun 2013 menjadi 57,9% di 2018.
Sedangkan proporsianak yang tidak imunisasi meningkatdari 8,7% pada
tahun 2013 menjadi 9,2% pada tahun 2018.
Percepatan penurunan stunting kedepan antara lain dapat dilakukan dengan
mengatasi masalah berikut:
1. Ibu hamil dan Balita yang belum mendapatkan Program Makanan
Tambahan (PMT) masih cukup tinggi–masing-masingsekitar74,8%
dan59%.
2. Proporsi anemia pada Ibu Hamil mengalami kenaikan dari 37.1% pada
tahun 2013 menjadi 48.9% pada tahun2018

7
8

Tetapi WHO menetapkan batas toleransi stunting (bertubuh pendek)


maksimal 20 persen atau seperlima dari jumlah keseluruhan balita. Sementara, di
Indonesia tercatat 7,8 juta dari 23 juta balita adalah penderita stunting atau sekitar
35,6 persen. Sebanyak 18,5 persen kategori sangat pendek dan 17,1 persen
kategori pendek. Ini juga yang mengakibatkan WHO menetapkan Indonesia masih
sebagai Negara dengan status gizi buruk.

Dampak yang ditimbulkan stunting dapat dibagi menjadi dampak jangka


pendek dan jangka panjang.
1. Dampak Jangka Pendek.
a. Peningkatan kejadian kesakitan dan kematian;
b. Perkembangan kognitif, motorik, dan verbal pada anak tidak optimal; dan
c. Peningkatan biaya kesehatan.
2. Dampak Jangka Panjang.
a. Postur tubuh yang tidak optimal saat dewasa (lebih pendek dibandingkan
pada umumnya);
b. Meningkatnya risiko obesitas dan penyakit lainnya;
c. Menurunnya kesehatan reproduksi;
d. Kapasitas belajar dan performa yang kurang optimal saat masa sekolah;
e. Produktivitas dan kapasitas kerja yang tidak optimal.

C. Kebijakan Kesehatan Terhadap Stunting


1. Upaya preventif

Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 39 Tahun 2016 tentang


Pedoman Penyelenggaraan Program Indonesia Sehat dengan Pendekatan
Keluarga, upaya yang dilakukan untuk menurunkan prevalensi stunting di
antaranya sebagai berikut:
a. Ibu Hamil dan Bersalin
1) Intervensi pada 1.000 hari pertama kehidupan;

8
9

2) Mengupayakan jaminan mutu ante natal care (ANC) terpadu;


3) Meningkatkan persalinan di fasilitas kesehatan;
4) Menyelenggarakan program pemberian makanan tinggi kalori,
protein, dan mikronutrien (TKPM);
5) Deteksi dini penyakit (menular dan tidak menular);
6) Pemberantasan kecacingan;
7) Meningkatkan transformasi Kartu Menuju Sehat (KMS) ke dalam
Buku KIA;
8) Menyelenggarakan konseling Inisiasi Menyusu Dini (IMD) dan ASI
eksklusif; dan
9) Penyuluhan dan pelayanan KB.

b. Balita
1) Pemantauan pertumbuhan balita;
2) Menyelenggarakan kegiatan Pemberian Makanan Tambahan (PMT)
untuk balita;
3) Menyelenggarakan stimulasi dini perkembangan anak; dan
4) Memberikan pelayanan kesehatan yang optimal.

c. Anak Usia Sekolah


1) Melakukan revitalisasi Usaha Kesehatan Sekolah (UKS);
2) Menguatkan kelembagaan Tim Pembina UKS;
3) Menyelenggarakan Program Gizi Anak Sekolah (PROGAS); dan
4) Memberlakukan sekolah sebagai kawasan bebas rokok dan narkoba
Upaya pencegahan stunting yang konvergen dan terintegrasi perlu segera
dilakukan. Sejak akhir tahun 2017, Kementerian PPN/Bappenas telah
meluncurkan “Intervensi Pencegahan Stunting Terintegrasi” sebagai upaya
komprehensif dengan pendekatan multi sektor. Upaya ini mencakup intervensi
multi sektor yang cukup luas mulai dari akses makanan, layanan kesehatan dasar
termasuk akses air bersih dan sanitasi, serta pola pengasuhan.. Sebagai langkah
awal, pada tahun 2019 sebanyak 60 kabupaten/kota dan 600 desa telah
ditambahkan sebagai area fokus intervensi pencegahan stunting terintegrasi.
Berikut kerangka konseptual intervensi pencegahan stunting terintegrasi :

9
10

Upaya pencegahan masalah gizi termasuk stunting juga menjadi bagian


dari pelaksanaan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB) khususnya Tujuan 2
Tanpa Kelaparan. Pada tahun 2017, Presiden Republik Indonesia telah
menandatangani Peraturan Presiden Nomor 59 Tahun 2017 tentang Pelaksanaan
Pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Pada tanggal 5 Juni 2018, telah
diluncurkan Rencana Aksi Nasional TPB 2017-2019 yang merupakan panduan
bagi kementerian/lembaga, pemerintah daerah, dan pemangku kepentingan
lainnya dalam melaksanakan upaya pencapaian target TPB termasuk di dalamnya
Tujuan 2 untuk menghilangkan kelaparan, mencapai ketahanan pangan dan gizi
yang baik, serta meningkatkan pertanian berkelanjutan.

2. Upaya kuratif

Stunting Sejak tahun 2010 upaya perbaikan gizi di dunia dikembangkan


dalam bentuk gerakan gizi internasional yang dikenal sebagai gerakan Scaling Up
Nutrition (SUN) sebagai respon negara-negara di dunia terhadap kondisi status
gizi di sebagian besar negara berkembang dan akibat kemajuan yang tidak merata
dalam pencapaian MDGs khususnya pada Tujuan I C yaitu menurunkan hingga
setengahnya proporsi penduduk yang menderita kelaparan dalam kurun waktu
1990-2015. Sasaran yang ingin dicapai pada akhir tahun 2025 disepakati adalah:
1) Menurunkan proporsi anak balita yang stunting sebesar 40 persen; 2)
Menurunkan proporsi anak balita yang menderita kurus (wasting) kurang dari 5
persen; 3) Menurunkan anak yang lahir berat badan rendah sebesar 30 persen; 4)
Tidak ada kenaikan proporsi anak yang mengalami gizi lebih; 5) Menurunkan
proporsi ibu usia subur yang menderita anemia sebanyak 50 persen; 6)
Meningkatkan persentase ibu yang memberikan ASI ekslusif selama 6 bulan
paling kurang 50 persen. Upaya-upaya percepatan penurunan tersebut adalah :

a. Intervensi gizi spesifik


Intervensi gizi spesifik lebih ditujukan pada upaya menangani penyebab
langsung masalah gizi (asupan makan dan penyakit infeksi) dan berada dalam
lingkup kebijakan kesehatan. seperti :
1) PMT untuk mengatasi KEK pd bumil

10
11

2) TTD untuk anemia bumil


3) Konsumsi Garam Beriodium
4) ASI Ekslusif
5) Pemberian ASI sampai usia 2 tahun didampingi dengan MP ASI adekuat
6) Imunisasi
7) Suplementasi zink.
8) Fortifikasi zat besi ke dalam makanan.
9) Obat Cacing
10) Vitamin A
11) Tata Laksana Gizi Buruk
12) Penanggulangan Malaria
13) Pencegahan dan Pengobatan diare
14) Cuci tangan dengan benar

Melalui intervensi spesifik, sekitar 15% kematian anak balita dapat


dikurangi bila intervensi berbasis bukti tersebut dapat ditingkatkan hingga
cakupannya mencapai 90%, termasuk stunting yang dapat diturunkan sekitar
20,3% serta mengurangi prevalensi sangat kurus 61,4%. Selebihnya
membutuhkan peran dari intervensi sensitif (sekitar 80%).

b. Intervensi gizi sensitif


Intervensi gizi sensitif ditujukan untuk mengatasi penyebab tidak langsung
yang mendasari terjadinya masalah gizi (ketahanan pangan, akses pelayanan
kesehatan, kesehatan lingkungan, serta pola asuh) dan terkait dengan kebijakan
yang lebih luas tidak terbatas bidang kesehatan saja tetapi juga pertanian,
pendidikan, hygiene air dan sanitasi, perlindungan sosial, dan pemberdayaan
perempuan. kebijakan ini dituangkan dalam program :
1) Air Bersih, Sanitasi.
2) Fortifikasi-Ketahanan Pangan.
3) Akses kepada Layanan Kesehatan dan KB.
4) JKN, Jampersal, Jamsos lain
5) Pendidikan Pola Asuh Ortu.
6) PAUD HI- SDIDTK
7) Pendidikan Gizi Masyarakat.
8) Edukasi Kesehatan Seksual dan Reproduksi, serta Gizi pada Remaja.
9) Program Padat Karya Tunai
Program dan kebijakan gizi sensitif ini memiliki kontribusi yang cukup
besar untuk mendukung pencapaian target perbaikan gizi meskipun secara
tidak langsung.

c. Lingkungan yang mendukung (enabling-environment)


Area investasi ketiga yaitu lingkungan yang mendukung, ditujukan untuk
faktor-faktor mendasar yang berhubungan dengan status gizi seperti
pemerintahan (Kemdagri :NIK, akta lahir, APBD) ,pendapatan (Kemendes
PDTT Dana Desa,Kemenkeu : Dana Insentif Daerah), dan kesetaraan.
Investasi ini dapat berbentuk undang-undang, peraturan, kebijakan, investasi
untuk pertumbuhan ekonomi, dan peningkatan kapasitas pemerintahan.
Sebagian besar investasi yang menyasar pada penyebab tidak langsung dan

11
12

akar masalah gizi bukanlah hal yang langsung berkaitan dengan masalah gizi
dengan kata lain kegiatan yang dilakukan tidak secara eksplisit ditujukan
untuk tujuan penanggulangan masalah gizi,namun intervensi ini dapat
menjadi bagian penting dari perbaikan gizi.

Tantangan utama dalam pelaksanaan intervensi pencegahan stunting


terintegrasi adalah membangun komitmen dan dukungan yang bekelanjutan dari
pimpinan tertinggi dalam memprioritaskan pembangunan gizi di Indonesia.
Tantangan selanjutnya adalah memastikan intervensi pencegahan stunting dapat
dilaksanakan secara terintegrasi dan konvergen dengan pendekatan multisektor
sampai ke tingkat daerah. Oleh karena itu, advokasi dan koordinasi harus terus
dilakukan baik di tingkat pusat maupun daerah untuk meningkatkan komitmen
dan menyamakan persepsi terhadap tujuan pelaksanaan kegiatan percepatan
pencegahan stunting. Upaya pencegahan stunting juga harus dilaksanakan dengan
menggunakan pendekatan berbasis hasil, pemberdayaan masyarakat, dan
perubahan perilaku. Selain itu, pelaksanaan upaya percepatan pencegahan stunting
juga perlu didukung dengan sistem monitoring dan evaluasi yang efektif dan
berkesinambungan. Saat ini, Kementerian PPN/Bappenas sedang
mengembangkan kerangka rencana monitoring dan evaluasi untuk intervensi
pencegahan stunting terintegrasi. Pengembangan sistem monitoring terpadu dan
berbasis teknologi sangat diperlukan untuk memantau perkembangan pencapaian
pelaksanaan intervensi dan tantangan yang mungkin terjadi agar dapat ditangani.
Saat ini masih banyak ditemukan anak balita Indonesia yang mengalami
stunting maka lima belas tahun kedepan, bangsa Indonesia akan memiliki SDM
yang tidak produktif dan bonus demografi tidak dapat dimanfaatkan dengan
optimal. Oleh karena itu, pencegahan stunting harus dilaksanakan dengan
sungguh-sungguh. Investasi pencegahan stunting perlu dilakukan sejak dini untuk
memastikan SDM Indonesia di masa yang akan datang berkualitas dan memiliki
daya saing yang tinggi.

12
13

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Stunting adalah masalah gizi kronis pada balita yang ditandai dengan
tinggi badan yang lebih pendek dibandingkan dengan anak seusianya. Anak
yang menderita stunting akan lebih rentan terhadap penyakit dan ketika dewasa
berisiko untuk mengidap penyakit degeneratif. Dampak stunting tidak hanya
pada segi kesehatan tetapi juga mempengaruhi tingkat kecerdasan anak.
Angka stunting atau anak tumbuh pendek turun dari 37,2 persen pada
Riskesdas 2013 menjadi 30,8 persen pada Riskesdas 2018. Akan tetapi capaian
prevalensi stunting di indonesia belum sesuai dengan WHO yang harus kurang
dari 20 persen. Untuk mencapai target WHO pemerintah masih melanjutkan
Kebijakan-kebijakan pemerintah terhadap stunting :

1. Indonesia bergabungdalam Gerakan Global Scaling Up Nutrition


(SUN) movement pada tahun 2011
2. Peraturan Presiden No. 42/2013 tentang Gerakan Nasional Percepatan
Perbaikan Gizi (GernasPPG)
3. Pencegahan stunting tercakup dalam RPJMN 2015-2019

B. Saran

Penulis menyadari bahwa makalah yang dibuat banyak sekali kesalahan


dan jauh dari kesempurnaan. Penulis akan memperbaiki makalah tersebut
dengan berpedoman pada banyak sumber yang dapat dipertanggungjawabkan.
Maka dari itu penulis mengharapkan kritik dan saran mengenai pembahasan
makalah dalam kesimpulan di atas.

13
14

DAFTAR PUSTAKA
http://www.pusdatin.kemkes.go.id/ situasi-balita-pendek-di-indonesia.html
http://www.depkes.go.id/pusdatin/buletin/Buletin-Stunting-2018.pdf
http://tnp2k.go.id/filemanager/files/Rakornis%202018/Sesi%201_01_RakorStunting
TNP2K_Stranas_22Nov2018.pdf
https://www.persi.or.id/images/2019/data/FINAL_PAPARAN_PERSI_22_FEB_2019_I
r._Doddy.pdf
RISKESDAS 2013-2018

14

Anda mungkin juga menyukai