Anda di halaman 1dari 4

TUGAS SOSIOLOGI DAN ANTROPOLOGI

KESEHATAN
OPINI MENGENAI ISU KESEHATAN

Disusun Oleh :
Nama: Devina Farry Armadani
NIM : 101911133143
Kelas : IKM D 2019

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT


UNIVERSITAS AIRLANGGA
2019
DARURAT STUNTING

Isu kesehatan di Indonesia yang marak terjadi dan menjadi salah satu fokus
pemerintah akhir-akhir ini adalah masalah stunting. Di berbagai daerah kerap
ditemukan masalah stunting dengan presentase yang cukup besar. Masalah ini
merupakan masalah yang serius bagi negara kita mengingat status gizi balita
merupakan salah satu indikator keberhasilan kesehatan untuk mencapai MDG’s.
Tentunya upaya-upaya pencegahan dan penanganan perlu diberikan sebab apabila
tidak ditangani dengan serius maka hal ini akan menyebabkan dampak yang sangat
berpengaruh di masa yang akan datang. Hal ini kemudian menimbulkan pertanyaan
dalam benak kita masing-masing yang penting untuk dijawab dan diselesaikan
bersama. Apa faktor yang menyebabkan stunting bisa terjadi pada anak usia balita?
Bagaimana upaya pencegahan dan penanganan terhadap kasus ini ?

Stunting atau terhambatnya pertumbuhan tubuh merupakan salah satu


bentuk kekurangan gizi yang ditandai dengan tinggi badan menurut usia dibawah
standar deviasi (-2SD) dengan referensi World Health Organization (WHO) 2005
(Kusumawati, Rahardjo, & Sari, 2013). Menurut definisi tersebut, masalah stunting
merupakan masalah gizi kronis yang dialami oleh anak usia balita yang mempunyai
tinggi badan kurang dibanding anak seusianya sebagai tanda awal mengalami
stunting. Jika berbicara tentang masalah gizi, asupan makanan yang kurang pada
anak menjadi alasan yang umum ditemui. Masyarakat kita sering sekali
menyepelekan tentang masalah gizi yang terkait dengan bagaimana pola makan
yang sehat dan bergizi khususnya untuk anak. Pengetahuan ibu dalam hal ini juga
menjadi faktor penting karena pola asuh ibu sangat menentukan mengenai
pemberian nutrisi yang baik. Kecenderungan kejadian stunting pada balita lebih
banyak terjadi pada ibu yang berpengetahuan rendah. Penyebabnya adalah di
masyarakat kita masih ada anggapan bahwa pendidikan untuk seorang perempuan
tidaklah penting yang pada kenyataannya pengaruh ibu sangat besar bagi tumbuh
kembang anak khususnya masalah kesehatan dan pendidikan. Ada lima faktor
utama penyebab stunting yaitu kemiskinan, sosial dan budaya, peningkatan paparan
terhadap penyakit infeksi, kerawanan pangan dan akses masyarakat terhadap
pelayanan kesehatan. Faktor yang berhubungan dengan gizi kronis pada balita tidak
sama antara wilayah perkotaan dan pedesaan, sehingga upaya penanganannya harus
disesuaikan dengan faktor yang mempengaruhi (Aridiyah, Rohmawati, & Ririanty,
2015).

Faktor ekonomi ternyata juga ikut andil dalam terjadinya stunting seperti
pada penelitian Cherkley yang menyatakan bahwa gangguan pertumbuhan linier
(stunting) sering terjadi pada balita miskin di Peru dimana rata-rata anak yang
berusia 24 bulan, tinggi badannya lebih pendek 2,5 sentimeter dari standar
internasional (Kusumawati et al., 2013). Selain faktor tersebut, stunting juga
disebabkan oleh infeksi yang berhubungan dengan defisiensi gizi baik mikronutrien
dan makronutrien. Protein, vitamin A, zinc, zat besi, iodin, kalsium, fosfor sangat
penting bagi pertumbuhan anak di usia balitanya. Sedangkan, rata-rata asupan zat
gizi tersebut sangat rendah pada anak stunting. Ini yang harus kita cegah bersama
karena makanan yang dikonsumsi sehari-hari harus memberikan semua zat gizi
yang dibutuhkan untuk fungsi normal tubuh. Energi yang masuk melalui makanan
harus seimbang dengan kebutuhan energinya. Balita yang mendapatkan asupan gizi
cukup tetapi sering mengalami infeksi seperti diare, artinya ia pun menderita
kekurangan gizi. Infeksi mudah menyerang salah satu faktornya adalah karena
balita yang tidak cukup makan sehingga imunitas atau daya tahan tubuhnya
menurun. Pemerintah melalui Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional
(RPJMN) 2010-2014 bertekad menurunkan prevalensi gizi kurang 18,4 menjadi
15% dan menurukan prevalensi balita pendek dan sangat pendek dari 36,8 %
menjadi 32% (Sulistianingsih & Ari Madi Yanti, 2015). Hal tersebut memberikan
sedikit angin segar bagi masyarakat untuk segera meningkatkan kualitas hidup
sehat sebagai upaya dan langkah yang diberikan pemerintah. Sehingga seharusnya
tidak ada lagi anak yang asupan gizinya kurang.

Adapun faktor sanitasi lingkungan juga berperan penting dimana suatu


keluarga yang mempunyai ketersediaan air bersih dan jamban, menurunkan angka
anak yang mengalami stunting. Risiko balita stunting yang tinggal dengan sanitasi
lingkungan yang kurang baik lebih tinggi dibandingkan dengan sanitasi yang baik.
Hal ini dapat terjadi karena sebagian besar tempat tinggal balita belum memenuhi
syarat seperti pencahayaan dan ventilasi yang kurang, tidak ada tempat sampah
tertutup dan tidak mempunyai jamban akhirnya timbulah infeksi pada balita
tersebut.

Adapun penanganan atau solusi yang dapat dilakukan untuk menangani


adanya stunting adalah perlu adanya pengumpulan data terkait angka kejadian gizi
oleh dinas kesehatan di tiap wilayah, adanya penyuluhan bagi ibu anak balita terkait
dengan upaya pemenuhan status gizi, dan meningkatkan status kesehatan.
Peningkatan pelayanan kesehatan bagi puskesmas melalui kegiatan deteksi dini
dengan mengukur tinggi badan anak balita secara rutin tiap bulan. Dengan aktif
mengikuti posyandu, memiliki pengaruh besar terhadap pemantauan status gizi
pada anak serta ibu balita juga mendapatkan pengetahuan baru pula untuk
menentukan pola hidup sehat. Sehingga diharapkan PHBS di lingkungan keluarga
bisa diterapkan. Selain itu perlu adanya peningkatan ketersediaan pangan melalui
pemanfaatan pekarangan sebagai sumber pangan dan gizi keluarga serta perbaikan
sanitasi lingkungan.

Anda mungkin juga menyukai