Anda di halaman 1dari 21

LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN KEPERAWATAN PADA ANAK DENGAN GIZI BURUK DI RUANGAN


CEMPAKA III RSUP SANGLAH

Oleh :

NI PUTU JULIADEWI EKA GUNAWATI


NIM. 1302105033

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN PROGRAM A


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2017
LAPORAN PENDAHULUAN ANAK DENGAN GIZI BURUK

A. Konsep Dasar Penyakit


1. Definisi
Gizi buruk adalah keadaan kurang gizi yang disebabkan karena kurang asupan energi dan
protein juga mikronutrien dalam jangka waktu lama dan disebabkan oleh faktor langsung dan
tidak langsung (Sulistiyawati, 2011). Gizi buruk adalah kurang gizi dengan tingkat berat pada
anak berdasarkan indeks berat badan menurut tinggi badan (BB/TB) < -3 SD dengan atau tanpa
gejala klinis marasmus, kwashiorkor, dan marasmus-kwashiorkor. Depkes (2011) menyatakan
bahwa gizi buruk menggambarkan keadaan gizi anak yang ditandai dengan satu atau lebih tanda
berikut yaitu sangat kurus, edema (minimal pada kedua punggung kaki), BB/PB atau BB/TB < -
3 SD, LLA < 11.5 cm untuk anak usia 6-59 bulan (Depkes, 2011). Gizi buruk (severe
malnutrition) adalah suatu istilah teknis yang umumnya dipakai oleh kalangan gizi, kesehatan
dan kedokteran. Gizi buruk adalah bentuk terparah dari proses terjadinya kekurangan gizi
menahun (Liansyah, 2015).

2. Epidemiologi
Kejadian gizi buruk perlu dideteksi secara dini melalui intensifikasi pemantauan pertumbuhan
dan identifikasi faktor risiko yang erat dengan kejadian luar biasa gizi seperti campak dan diare
melalui kegiatan surveilans. Prevalensi balita yang mengalami gizi buruk di Indonesia masih
tinggi. Hasil Riskesdas menunjukkan adanya peningkatan prevalensi balita gizi kurang dan buruk
secara nasional, prevalensi gizi buruk dan kurang pada tahun 2013 adalah 19,6 persen, terdiri
dari 5,7 persen gizi buruk dan 13,9 persen gizi kurang. Jika dibandingkan dengan angka
prevalensi nasional tahun 2007 (18,4 %) dan tahun 2010 (17,9 %) terlihat meningkat. Perubahan
terutama pada prevalensi gizi buruk yaitu dari 5,4 persen tahun 2007, 4,9 persen pada tahun
2010, dan 5,7 persen tahun 2013. Sedangkan prevalensi gizi kurang naik sebesar 0,9 persen dari
2007 ke tahun 2013 (Liansyah, 2015).

3. Penyebab dan Faktor Risiko


Faktor penyebab gizi buruk terdiri atas penyebab tak langsung dan langsung. Adapun
penyebab tak langsung seperti kurangnya jumlah dan kualitas makanan yang dikonsumsi,
menderita penyakit infeksi, cacat bawaan, menderita penyakit kanker dan penyebab langsung
yaitu ketersediaan pangan rumah tangga, perilaku dan pelayanan kesehatan. Selain itu terdapat
faktor lain seperti kemiskinan dan ketersediaan pangan yang kurang (Dewi & Budiana, 2012).
Penyakit infkesi adalah penyerta yang sering pada gizi buruk dan seperti lingkaran setan,
penyakit-penyakit penyerta akan menambah rendahnya status gizi anak. Penyakit-penyakit
penyerta yang sering terjadi adalah Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA), diare persisten,
cacingan, tuberculosis, malaria dan HIV/AIDS (Liansyah, 2015). Adapun faktor risiko dari
kejadian gizi buruk diantaranya;
a. Asupan makanan
Kurangnya asupan makanan disebabkan oleh berbagai faktor, antara lain yaitu pola makan
yang salah, tidak tersedianya makanan secara cukup, dan anak tidak cukup atau salah mendapat
makanan bergizi seimbang. Kebutuhan nutrisi pada balita meliputi air, energi, protein, lemak,
karbohidrat, vitamin dan mineral. Setiap gram protein menghasilkan 4 kalori, lemak 9 kalori, dan
karbohidrat 4 kalori. Distribusi kalori dalam makanan balita dalam keseimbangan diet adalah
15% dari protein, 35% dari lemak, dan 50% dari karbohidrat. Maka jika terjadi kelebihan kalori
yang menetap setiap hari sekitar 500 kalori dapat menyebabkan kenaikan berat badan 500 gram
dalam seminggu (Liansyah, 2015).
Terdapat perbedaan asupan makanan pada setiap kelompok umur, misalnya pada kelompok
umur 1-2 tahun masih diperlukan pemberian nasi tim meskipun tidak perlu disaring. Hal ini
dikarenakan pertumbuhan gigi susu telah lengkap apabila anak sudah berumur 2-2,5 tahun.
Kemudian pada usia 3-5 tahun balita sudah dapat memilih makanan sendiri sehingga asupan
makanan harus diatur dengan sebaik mungkin. Memilih makanan yang tepat untuk balita harus
menentukan jumlah kebutuhan dari setiap nutrien, menentukan jenis bahan makanan yang
dipilih, dan menentukan jenis makanan yang akan diolah sesuai dengan hidangan yang
dikehendaki (Liansyah, 2015). Balita dengan gizi buruk sebagian besar memiliki pola makan
yang kurang beragam, artinya mereka mengkonsumsi hidangan dengan komposisi yang tidak
memenuhi gizi seimbang. Berdasarkan dari keseragaman susunan hidangan pangan, dikatakan
pola makanan dengan gizi seimbang jika mengandung unsur zat tenaga yaitu makanan pokok, zat
pembangun dan pemelihara jaringan yaitu lauk pauk dan zat pengatur yaitu sayur dan buah
(Liansyah, 2015).
b. Status sosial ekonomi
Balita dengan gizi buruk pada umumnya hidup dengan makanan yang kurang bergizi
(Liansyah, 2015). Hal ini dapat disebabkan oleh karena rendahnya ekonomi keluarga sehingga
pada akhirnya akan berdampak dengan rendahnya daya beli pada keluarga tersebut. Selain itu
rendahnya kualitas dan kuantitas konsumsi pangan, merupakan penyebab langsung dari
kekurangan gizi pada anak balita. Keadaan sosial ekonomi yang rendah berkaitan dengan
masalah kesehatan yang dihadapi karena ketidaktahuan dan ketidakmampuan untuk mengatasi
berbagai masalah tersebut (Liansyah, 2015). Ibu yang bekerja baik dari sektor formal atau
informal yang dilakukan secara reguler di luar rumah yang akan berpengaruh terhadap waktu
yang dimiliki oleh ibu untuk memberikan pelayanan terhadap anaknya. Pekerjaan tetap ibu yang
mengharuskan ibu meninggalkan anaknya dari pagi sampai sore menyebabkan pemberian ASI
tidak dilakukan dengan sebagaimana mestinya (Liansyah, 2015).
c. ASI
Hanya 14% ibu di Indonesia yang memberikan air susu ibu (ASI) eksklusif kepada bayinya
sampai enam bulan. Rata-rata bayi di Indonesia hanya menerima ASI eksklusif kurang dari dua
bulan (Liansyah, 2015). Sebanyak 86% bayi mendapatkan makanan berupa susu formula,
makanan padat, atau campuran antara ASI dan susu formula. Berdasarkan riset yang sudah
dibuktikan di seluruh dunia, ASI merupakan makanan terbaik bagi bayi sampai enam bulan, dan
disempurnakan sampai umur dua tahun (Liansyah, 2015). Memberi ASI kepada bayi merupakan
hal yang sangat bermanfaat antara lain oleh karena praktis, mudah, murah, sedikit kemungkinan
untuk terjadi kontaminasi,dan menjalin hubungan psikologis yang erat antara bayi dan ibu yang
penting dalam perkembangan psikologi anak tersebut. Beberapa sifat pada ASI yaitu merupakan
makanan alam atau natural, ideal, fisiologis, nutrien yang diberikan selalu dalam keadaan segar
dengan suhu yang optimal dan mengandung nutrien yang lengkap dengan komposisi yang sesuai
kebutuhan pertumbuhan bayi (Liansyah, 2015).
Selain ASI mengandung gizi yang cukup lengkap, ASI juga mengandung antibodi atau zat
kekebalan yang akan melindungi balita terhadap infeksi. Hal ini yang menyebabkan balita yang
diberi ASI, tidak rentan terhadap penyakit dan dapat berperan langsung terhadap status gizi
balita. Selain itu, ASI disesuaikan dengan sistem pencernaan bayi sehingga zat gizi cepat
terserap. Berbeda dengan susu formula atau makanan tambahan yang diberikan secara dini pada
bayi. Susu formula sangat susah diserap usus bayi. Pada akhirnya, bayi sulit buang air besar.
Apabila pembuatan susu formula tidak steril, bayi akan rawan diare (Liansyah, 2015).
d. Pendidikan ibu
Salah satu faktor penyebab timbulnya kemiskinan adalah pendidikan yang rendah sehingga
menyebabkan seseorang kurang mempunyai keterampilan tertentu yang diperlukan dalam
kehidupan. Rendahnya pendidikan dapat mempengaruhi ketersediaan pangan dalam keluarga,
yang selanjutnya mempengaruhi kuantitas dan kualitas konsumsi pangan yang merupakan
penyebab langsung dari kekurangan gizi pada anak balita (Liansyah, 2015). Tingkat pendidikan
terutama tingkat pendidikan ibu dapat mempengaruhi derajat kesehatan karena pendidikan ibu
berpengaruh terhadap kualitas pengasuhan anak. Tingkat pendidikan yang tinggi membuat
seseorang mudah untuk menyerap informasi dan mengimplementasikannya dalam perilaku
sehari-hari (Liansyah, 2015). Selain itu tingkat pendidikan yang tinggi kemungkinan akan
meningkatkan pendapatan dan dapat meningkatkan daya beli makanan. Pendidikan diperlukan
untuk memperoleh informasi yang dapat meningkatkan kualitas hidup seseorang (Liansyah,
2015).
e. Pengetahuan ibu
Pengetahuan yang dimiliki ibu berpengaruh terhadap pola konsumsi makanan keluarga
khususnya pada anak balita. Kurangnya pengetahuan ibu tentang gizi menyebabkan
keanekaragaman makanan yang berkurang. Keluarga akan lebih banyak membeli barang karena
pengaruh kebiasaan, iklan, dan lingkungan. Selain itu, gangguan gizi juga disebabkan karena
kurangnya kemampuan ibu menerapkan informasi tentang gizi dalam kehidupan sehari-hari
(Liansyah, 2015).
f. Penyakit penyerta
Balita yang berada dalam status gizi buruk, umumnya sangat rentan terhadap penyakit
penyakit seperti tuberculosis (TBC), diare persisten (berlanjutnya episode diare selama 14 hari
atau lebih dan dimulai dari suatu diare cair akut atau berdarah/disentri) dan HIV/AIDS. Penyakit
tersebut dapat memperjelek keadaan gizi melalui gangguan masukan makanan dan meningkatnya
kehilangan zat-zat gizi esensial tubuh. Terdapat hubungan timbal balik antara kejadian penyakit
dan gizi kurang maupun gizi buruk. Anak yang menderita gizi kurang dan gizi buruk akan
mengalami penurunan daya tahan, sehingga rentan terhadap penyakit. Di sisi lain anak yang
menderita sakit akan cenderung menderita gizi buruk (Liansyah, 2015).
g. Berat Badan Lahir Rendah
Bayi berat lahir rendah (BBLR) adalah bayi dengan berat lahir kurang dari 2500 gram tanpa
memandang masa gestasi (Liansyah, 2015). Penyebab terbanyak terjadinya BBLR adalah
kelahiran prematur. Bayi yang lahir pada umur kehamilan kurang dari 37 minggu ini pada
umumnya disebabkan oleh karena ibu tidak mempunyai uterus yang dapat menahan janin,
gangguan selama kehamilan, dan lepasnya plasenta yang lebih cepat dari waktunya. Bayi
prematur mempunyai organ dan alat tubuh yang belum berfungsi normal untuk bertahan hidup di
luar rahim sehingga semakin muda umur kehamilan, fungsi organ menjadi semakin kurang
berfungsi dan prognosanya juga semakin kurang baik. Kelompok BBLR sering mendapatkan
komplikasi akibat kurang matangnya organ karena premature (Liansyah, 2015).
Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) juga dapat disebabkan oleh bayi lahir kecil untuk masa
kehamilan yaitu bayi yang mengalami hambatan pertumbuhan saat berada di dalam kandungan.
Hal ini disebabkan oleh keadaan ibu atau gizi ibu yang kurang baik. Kondisi bayi lahir kecil ini
sangat tergantung pada usia kehamilan saat dilahirkan. Peningkatan mortalitas, morbiditas, dan
disabilitas neonatus, bayi, dan anak merupakan faktor utama yang disebabkan oleh BBLR.24
Gizi buruk dapat terjadi apabila BBLR jangka panjang. Pada BBLR zat anti kekebalan kurang
sempurna sehingga lebih mudah terkena penyakit terutama penyakit infeksi. Penyakit ini
menyebabkan balita kurang nafsu makan sehingga asupan makanan yang masuk kedalam tubuh
menjadi berkurang dan dapat menyebabkan gizi buruk (Liansyah, 2015).
h. Kelengkapan imunisasi
Infeksi pada balita dapat dicegah dengan imunisasi. Imunisasi terhadap suatu penyakit hanya
dapat memberi kekebalan terhadap penyakit tersebut sehingga bila balita kelak terpajan antigen
yang sama, balita tersebut tidak akan sakit dan untuk menghindari penyakit lain diperlukan
imunisasi yang lain (Liansyah, 2015). Imunisasi merupakan suatu cara untuk meningkatkan
kekebalan terhadap suatu antigen yang dapat dibagi menjadi imunisasi aktif dan imunisasi pasif.
Imunisasi aktif adalah pemberian kuman atau racun kuman yang sudah dilemahkan atau
dimatikan untuk merangsang tubuh memproduksi antibodi sendiri sedangkan imunisasi pasif
adalah penyuntikan sejumlah antibodi sehingga kadar antibodi dalam tubuh meningkat
(Liansyah, 2015).
Kelompok yang paling penting untuk mendapatkan imunisasi adalah bayi dan balita karena
meraka yang paling peka terhadap penyakit dan sistem kekebalan tubuh balita masih belum
sebaik dengan orang dewasa. Sistem kekebalan tersebut yang menyebabkan balita menjadi tidak
terjangkit sakit. Apabila balita tidak melakukan imunisasi, maka kekebalan tubuh balita akan
berkurang dan akan rentan terkena penyakit. Hal ini mempunyai dampak yang tidak langsung
dengan kejadian gizi. Imunisasi tidak cukup hanya dilakukan satu kali tetapi dilakukan secara
bertahap dan lengkap terhadap berbagai penyakit untuk mempertahankan agar kekebalan dapat
tetap melindungi terhadap paparan bibit penyakit. Menurut Riskesdas 2013, propinsi Aceh
berada di peringkat ke 8 dari 33 propinsi di Indonesia dengan jumlah balita yang tidak
mendapatkan imunisasi secara lengkap. Hal ini dapat dihubungkan dengan kasus malnutrisi di
Aceh yang hingga saat ini masih memprihatinkan (Liansyah, 2015).

4. Patofisiologi (Pathway terlampir)


Patofisiologi gizi buruk pada balita adalah anak sulit makan atau anorexia bisa terjadi karena
penyakit akibat defisiensi gizi, psikologik seperti suasana makan, pengaturan makanan dan
lingkungan. Rambut mudah rontok dikarenakan kekurangan protein, vitamin A, vitamin C dan
vitamin E. Karena keempat elemen ini merupakan nutrisi yang penting bagi rambut. Pasien juga
mengalami rabun senja. Rabun senja terjadi karena defisiensi vitamin A dan protein. Pada retina
ada sel batang dan sel kerucut. Sel batang lebih hanya bisa membedakan cahaya terang dan
gelap. Sel batang atau rodopsin ini terbentuk dari vitamin A dan suatu protein. Jika cahaya terang
mengenai sel rodopsin, maka sel tersebut akan terurai. Sel tersebut akan mengumpul lagi pada
cahaya yang gelap. Inilah yang disebut adaptasi rodopsin. Adaptasi ini butuh waktu. Jadi, rabun
senja terjadi karena kegagalan atau kemunduran adaptasi rodopsin (Sari,2013).
Turgor atau elastisitas kulit jelek karena sel kekurangan air (dehidrasi). Reflek patella negatif
terjadi karena kekurangan aktin myosin pada tendon patella dan degenerasi saraf motorik akibat
dari kekurangn protein, Cu dan Mg seperti gangguan neurotransmitter. Sedangkan, hepatomegali
terjadi karena kekurangan protein. Jika terjadi kekurangan protein, maka terjadi penurunan
pembentukan lipoprotein. Hal ini membuat penurunan HDL dan LDL. Karena penurunan HDL
dan LDL, maka lemak yang ada di hepar sulit ditransport ke jaringan-jaringan, pada akhirnya
penumpukan lemak di hepar (Sari, 2013).
Tanda khas pada penderita kwashiorkor adalah pitting edema. Pitting edema adalah edema
yang jika ditekan, sulit kembali seperti semula. Pitting edema disebabkan oleh kurangnya
protein, sehingga tekanan onkotik intravaskular menurun. Jika hal ini terjadi, maka terjadi
ekstravasasi plasma ke intertisial. Plasma masuk ke intertisial, tidak ke intrasel, karena pada
penderita kwashiorkor tidak ada kompensansi dari ginjal untuk reabsorpsi natrium. Padahal
natrium berfungsi menjaga keseimbangan cairan tubuh. Pada penderita kwashiorkor, selain
defisiensi protein juga defisiensi multinutrien. Ketika ditekan, maka plasma pada intertisial lari
ke daerah sekitarnya karena tidak terfiksasi oleh membran sel dan mengembalikannya
membutuhkan waktu yang lama karena posisi sel yang rapat. Edema biasanya terjadi pada
ekstremitas bawah karena pengaruh gaya gravitasi, tekanan hidrostatik dan onkotik (Sari, 2013).
Penyebab utama marasmus adalah kurang kalori protein yang dapat terjadi karena : diet yang
tidak cukup, kebiasaan makan yang tidak tepat seperti hubungan orang tua dengan anak
terganggu, karena kelainan metabolik atau malformasi kongenital. Keadaan ini merupakan hasil
akhir dari interaksi antara kekurangan makanan dan penyakit infeksi. Selain faktor lingkungan
ada beberapa faktor lain pada diri anak sendiri yang dibawa sejak lahir, diduga berpengaruh
terhadap terjadinya marasmus. Secara garis besar sebab-sebab marasmus adalah sebagai berikut
(Sari, 2013):
a. Masukan makanan yang kurang: marasmus terjadi akibat masukan kalori yang sedikit,
pemberian makanan yang tidak sesuai dengan yang dianjurkan akibat dari ketidaktahuan
orang tua si anak, misalnya pemakaian secara luas susu kaleng yang terlalu encer (Sari, 2013).
b. Infeksi yang berat dan lama menyebabkan marasmus, terutama infeksi enteral misalnya
infantil gastroenteritis, bronkhopneumonia, pielonephiritis dan sifilis kongenital.
c. Kelainan struktur bawaan misalnya: penyakit jantung bawaan, penyakit Hirschpurng,
deformitas palatum, palatoschizis, mocrognathia, stenosis pilorus. Hiatus hernia,
hidrosefalus, cystic fibrosis pancreas.
d. Prematuritas dan penyakit pada masa neonatus. Pada keadaan tersebut pemberian ASI kurang
akibat reflek mengisap yang kurang kuat.
e. Pemberian ASI yang terlalu lama tanpa pemberian makanan tambahan yang cukup
f. Gangguan metabolik, misalnya renal asidosis, idiopathic hypercalcemia, galactosemia, lactose
intolerance (Sari, 2013).
g. Tumor hypothalamus, kejadian ini jarang dijumpai dan baru ditegakkan bila penyebab
maramus yang lain disingkirka (Sari, 2013).
h. Penyapihan yang terlalu dini desertai dengan pemberian makanan tambahan yang kurang akan
menimbulkan marasmus (Sari, 2013).
i. Urbanisasi mempengaruhi dan merupakan predisposisi untuk timbulnya marasmus,
meningkatnya arus urbanisasi diikuti pula perubahan kebiasaan penyapihan dini dan
kemudian diikuti dengan pemberian susu manis dan susu yang terlalu encer akibat dari tidak
mampu membeli susu, dan bila disertai infeksi berulang terutama gastroenteritis akan
menyebabkan anak jatuh dalam marasmus (Sari, 2013).

5. Manifestasi Klinis
Menurut Rabinowitz, Gehri, Stettler, dan Di Paolo (2009) dijelaskan behwa manifestasi klinis
gizi buruk berdasarkan tipenya:
1. Kwashiorkor, ditandai dengan : edema, yang dapat terjadi di seluruh tubuh, wajah sembab
dan membulat, mata sayu, rambut tipis, kemerahan seperti rambut jagung, mudah dicabut
dan rontok, cengeng, rewel dan apatis, pembesaran hati, otot mengecil (hipotrofi), bercak
merah ke coklatan di kulit dan mudah terkelupas (crazy pavement dermatosis), sering disertai
penyakit infeksi terutama akut, diare dan anemia.
2. Marasmus, ditandai dengan: sangat kurus, tampak tulang terbungkus kulit, wajah seperti
orang tua, cengeng dan rewel, kulit keriput, jaringan lemak sumkutan minimal/tidak ada,
perut cekung, iga gambang, sering disertai penyakit infeksi dan diare.
3. Marasmus kwashiorkor, campuran gejala klinis kwashiorkor dan marasmus.

6. Klasifikasi
Klasifikasi pada anak dengan gizi buruk dapat dibedakan menjadi dengan tiga diantaranya;
a. Marasmus
Marasmus terjadi karena malnutrisi baik kalori dan protein. Ini biasa terjadi pada negara yang
belum berkembang pada masa kekeringan, terutama pada kebudayaan dimana orang dewasa
didahulukan untuk makan sehingga makanan yang tersisa tidak mencukupi baik secara kuantitas
dan kualitas untuk anak-anak. Marasmus biasanya merupakan sindrom dari deprivasi fisik dan
emosi. Hal ini dapat dilihat pada anak dengan gagal tumbuh dimana penyebabnya tidak hanya
nutrisi namun terutama emosional. Marasmus juga dapat terjadi pada bayi usia tiga bulan jika
pemberian ASI tidak berhasil dan tidak ada alternatif yang tersedia (Sari, 2013).
Marasmus dikarakteristikan dengan kehilangan bertahap dan atropi pada jaringan tubuh,
terutama lemak subkutan. Anak akan tampak sangat tua, kulit lembek dan keriput. Metabolisme
lemak lebih sedikit terganggu dibanding kwashiorkor sehingga kekurangan vitamin A minimal
atau tidak ada. Secara umum, manifestasi klinis marasmus sama dengan kwashiorkor kecuali
pada marasmus tidak ada edema karena hipoalbumin dan retensi natrium, tidak ada dermatosis
karena kurang vitamin, sedikit atau tidak ada depigmentasi pada kulit atau rambut, dan ukuran
kepala lebih kecil dan masa pemulihan setelah pengobatan lebih lambat (Sari,2013).
b. Kwashiorkor
Kwashiorkor berasal dari bahasa Ga (Ghana) yang diartikan sebagai penyakit pada anak yang
lebih tua ketika adiknya lahir, yaitu keadaan kekurangan protein dengan asupan kalori yang
cukup (Sari, 2013). Kwashiorkor adalah hasil dari kekurangan nutrisi dan infeksi atau stress
lingkungan yang saling mempengaruhi. Lumut mycotoxin, aflatoxin, diduga merupakan
penyebab kwashiorkor. Lumut ini ditemukan tumbuh pada tempat penyimpanan padi dan dalam
usus anak-anak dengan kwashiorkor dalam jumlah yang besar. Kurangnya protein baik secara
kuantitas dan kualitas menjadi salah satu penyebab kwashiorkor, namun penyebab utama adalah
infeksi dan respon tubuh terhadap infeksi. Hal ini karena protein penting untuk pertumbuhan dan
perbaikan jaringan sehingga kekurangan protein akan mempengaruhi semua sistem tubuh. Pada
sel yang cepat bertumbuh seperti epitel dan mukosa akan tampak scaly, kering, dan area
depigmentasi. Rambut akan tipis, kering, mudah tercabut. Kehilangan berat badan terjadi
berkaitan dengan edema generalis karena hipoalbuminemia. Total body water meningkat, namun
jumlah kalium tubuh menurun karena retensi sodium, menyebabkan tanda hipokalemia dan
hipernatremia. Kekurangan vitamin A yang berat dapat menyebabkan kebutaan permanen. Selain
itu, kekurangan mineral juga merupakan hal yang umum, terutama zat besi, kalsium, fosfat, dan
zink. Kekurangan zink akut merupakan komplikasi KEP dan menyebabkan kemerahan pada
kulit, rambut rontok, gangguan sistem imun dan kerentanan terhadap infeksi, masalah
pencernaan, perubahan perilaku, penyembuhan luka yang lama, dan gangguan pertumbuhan.
Pemberian zink 10mg pada anak dengan diare terbukti dapat menurunkan waktu dan beratnya
diare. Diare (persistent diarrhea malnutrition syndrome) biasanya terjadi karena rendahnya
pertahanan terhadap infeksi dan komplikasi lanjut dari ketidakseimbangan elektrolit. Pada
kwashiorkor metabolisme tubuh minimum dan menjaga suhu tubuh stabil sulit karena
kekurangan lemak subkutan. Anak rewel, apatis, menarik diri, dan sangat lemah. Malnutrisi
kronis pada masa bayi menyebabkan penurunan perkembangan otak dan mempengaruhi
kapasitas mental anak di masa yang akan datang (Sari, 2013).
c. Marasmus-Kwashiorkhor
Marasmus-kwashiorkor merupakan bentuk KEP dimana tanda-tanda klinis yang muncul
adalah perpaduan kwashiorkor dan marasmus. Anak mengalami edema, pertumbuhan pendek,
dan sangat kurus. Hal ini terjadi karena kekurangan nutrisi yang disertai infeksi. Gangguan
cairan dan elektrolit, hipotermia, dan hipoglikemia menunjukkan prognosis yang buruk (Sari,
2013).

7. Pemeriksaan Fisik
Penilaian status gizi dapat dilakukan melalui dua cara yaitu penilaian secara langsung dan tidak
langsung.
A. Penilaian status gizi secara langsung
Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk menilai gizi secara langsung adalah dengan
pengukuran tubuh manusia yang dikenal dengan istilah antropometri (Sulistiyawati, 2011).
Menurut Deritana, Kombong, dan Yuristianti (2000, dalam Sulistiyawati 2011) beberapa macam
antropometri yang digunakan antara lain:
1) Berat Badan (BB): Berat badan memberikan gambaran massa tubuh. Massa tubuh sangat
sensitif terhadap perubahan-perubahan yang mendadak, misalnya karena terserang sakit,
menurunya nafsu makan, atau menurunnya jumlah makanan yang dikonsumsi.
2) Tinggi Badan (TB)/Panjang Badan (PB): menggambarkan keadaan pertumbuhan skeletal.
3) Lingkar Lengan Atas (LLA): mencerminkan jumlah jaringan lemak dan oto.
4) Lingkar Kepala (LK): mencerminkan jumlah lemak dan otot di sekitar kepala.
5) Lingkar Dada (LD): mencerminkan jumlah lemak dan otot di sekitar dada.
6) Lapisan Lemak Bawah Kulit (LLBK): menggambarkan jumlah lemak dan otot di sekitar
bawah kulit.
Pengukuran antropometri dapat menggambarkan tingkat kesehatan dan status nutrisi serta
memprediksi penampakan, kesehatan, dan survival (WHO, 2003 dalam Sulistiyawati, 2011).
Menurut Sulistiyawati (2011), di Indonesia, jenis antropometri yang banyak digunakan adalah
BB dan TB yang disajikan dalam bentuk indeks dan dikaitkan dengan variabel lain, seperti:
1) Berat Badan menurut Umur (BB/U): Berat badan adalah parameter antropometri yang
sangat labil dimana dalam keadaan normal BB berkembang mengikuti pertambahan umur
sedangkan dalam keadaan abnormal BB dapat berkembang cepat atau lambat dari keadaan
normal. Berdasarkan karakteristik ini, maka indeks BB/U lebih menggambarkan status gizi
seseorang pada saat ini.
2) Tinggi Badan/Panjang Badan menurut Umur (TB/U atau PB/U): Tinggi badan
merupakan parameter yang menggambarkan keadaan pertumbuhan skeletal. Pada kondisi
normal, TB tumbuh seiring pertambahan umur. Pertambahan tinggi badan relative kurang
sensitif terhadap kekurangan gizi dalam waktu yang pendek. Pengaruh defisiensi zat gizi
terhadap tinggi badan anak akan nampak dalam waktu yang relatif lama. Oleh karena itu,
indeks TB/U dapat memberikan gambaran status gizi di masa lampau dan lebih erat kaitannya
dengan status sosial ekonomi masyarakat (Supariasa, Bakri, & Fajar, 2002 dalam
Sulistiyawati, 2011).
3) Berat Badan menurut Tinggi Badan (BB/TB): Berat badan memiliki hubungan yang linear
dengan tinggi badan. Indeks BB/TB adalah indikator untuk menilai keadaan status gizi saat
ini (Supariasa, Bakri, & Fajar, 2002 dalam Sulistiyawati, 2011).
Di bawah ini adalah tabel yang menggambarkan kategori dan ambang batas status gizi anak
menurut Depkes (2011).
Tabel 2.1 Kategori Status Gizi Anak
Indeks Kategori Status Gizi Ambang Batas (Z-score)
BB/U Gizi Buruk < -3 SD
anak umur 0-60 bulan Gizi Kurang -3 SD sampai dengan 2 SD
Gizi Baik -2 SD sampai dengan 2 SD
Gizi lebih > 2 SD
PB/U atau TB/U Sangat Pendek < -3 SD
Anak umur 0-60 bulan Pendek -3 SD sampai dengan <-2 SD
Normal -2 SD sampai dengan 2 SD
Tinggi >2 SD
BB/PB atau BB/TB Sangat Kurus < -3 SD
Anak umur 0-60 bulan Kurus -3 SD sampai dengan <-2 SD
Normal -2 SD sampai dengan 2 SD
Gemuk >2 SD
*SD: Standar Deviasi

Selain itu, bila dilihat secara klinis anak dengan gizi buruk tampak sangat kurus dan atau
edema pada kedua punggung kaki sampai seluruh tubuh sedangkan anak dengan gizi kurang
tampak kurus. Sebaliknya anak dengan gizi baik tampak sehat dan anak dengan gizi lebih
tampak gemuk.
B. Penilaian status gizi secara tidak langsung

Penilaian status gizi secara tidak langsung dapat dibagi tiga yaitu survei konsumsi makanan,
statistik vital, dan faktor ekologi (Sulistiyawati, 2011).

a. Survei konsumsi makanan: Survei konsumsi makanan merupakan metode penilaian status gizi
dengan melihat jumlah dan jenis zat gizi yang dikonsumsikan. Survei ini dapat
mengidentifikasi kelebihan dan kekurangan zat gizi.
b. Statistik vital: Pengukuran status gizi dilakukan dengan menganalisis data beberapa statistik
kesehatan seperti angka kematian berdasarkan umur, angka kesakitan dan kematian akibat
penyebab tertentu, dan data lainnya yang berhubungan dengan zat gizi.
c. Faktor ekologi: Jumlah makanan yang tersedia sangat tergantung dari keadaan ekologi seperti
iklim, tanah, irigasi, dan lain-lain. Penggunaan faktor ekologi dianggap sangat penting untuk
mengetahui penyebab malnutrisi di suatu masyarakat sebagai dasar untuk melakukan program
gizi.

8. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Laboratorium WHO merekomendasikan tes laboratorium berikut:
1) Glukosa darah
2) Pemeriksaan Pap darah dengan mikroskop atau pengujian deteksi langsung
3) Hemoglobin
4) PemeriksaanUrine pemeriksaan dan kultur
5) Pemeriksaan tinja dengan mikroskop untuk telur dan parasit
6) Serum albumin
7) Tes HIV (Tes ini harus disertai dengan konseling orang tua anak, dan kerahasiaan harus
dipelihara.)
8) Elektrolit
Menurut Sulistiyawati (2011) menyatakan hasil yang ditemukan pada anak denga gizi buruk:
1) Temuan yang signifikan dalam kwashiorkor meliputi hipoalbuminemia (10-25 g / L),
hypoproteinemia (transferin, asam amino esensial, lipoprotein), dan hipoglikemia.
2) Plasma kortisol dan kadar hormon pertumbuhan yang tinggi, tetapi sekresi insulin dan tingkat
pertumbuhan insulin faktor yang menurun.
3) Persentase cairan tubuh dan air ekstraseluler meningkat. Elektrolit, terutama kalium dan
magnesium, yang habis.
4) Tingkat beberapa enzim (termasuk laktosa) yang menurun, dan tingkat lipid beredar (terutama
kolesterol) yang rendah.
5) Ketonuria terjadi, dan kekurangan energi protein dapat menyebabkan penurunan ekskresi urea
karena asupan protein menurun. Dalam kedua kwashiorkor dan marasmus, anemia defisiensi
besi dan asidosis metabolik yang hadir.
6) Ekskresi hidroksiprolin berkurang, mencerminkan terhambatnya pertumbuhan dan
penyembuhan luka.
7) Kemih meningkat 3-methylhistidine adalah refleksi dari kerusakan otot dan dapat dilihat di
marasmus.
8) Malnutrisi juga menyebabkan imunosupresi, yang dapat menyebabkan hasil negatif palsu
tuberkulin kulit tes dan kegagalan berikutnya untuk secara akurat menilai untuk TB.
9) Biopsi kulit dan analisis rambut dapat dilakukan

9. Diagnosisi atau Kriteria Diagnosis


Sulistiyawati (2011) menyatakan bahwa diagnosi dari gizi buruk di tentukan dengan:
1. Klinik : anamnesis (terutama anamnesis makanan, tumbuh kembang, serta penyakit yang
pernah diderita) dan pemeriksaan fisik (tanda-tanda malnutrisi dan berbagai defisiensi vitamin
2. Laboratorik : terutama Hb, albumin, serum ferritin mengalami penurunan.
3. Anthropometrik : BB/U (berat badan menurut umur), TB/U (tinggi badan menurut umur),
LLA/U (lingkar lengan atas menurut umur), BB/TB (berat badan menurut tinggi badan),
LLA/TB (lingkar lengan atas menurut tinggi badan)
4. Analisis diet dan pertumbuhan: Riwayat diet rinci, pengukuran pertumbuhan, indeks massa
tubuh (BMI), dan pemeriksaan fisik lengkap ditunjukkan. Tindakan pengukuran tinggi badan-
banding-usia atau berat badan-untuk-tinggi pengukuran kurang dari 95% dan 90% dari yang
diharapkan atau lebih besar dari 2 standar deviasi di bawah rata-rata untuk usia. Pada anak
yang lebih dari 2 tahun, pertumbuhan kurang dari 5 cm / th juga dapat menjadi indikasi
defisiensi.
Sedangkan berdasarkan Depkes RI (2011) gizi buruk di diagnosis dengan adanya kriteria:
1) Gizi Buruk Tanpa Komplikasi: a. BB/TB: < -3 SD dan atau; b. Terlihat sangat kurus dan
atau; c. Adanya Edema dan atau; d. LILA < 11,5 cm untuk anak 6-59 bulan.
2) Gizi Buruk dengan Komplikasi Gizi buruk dengan tanda-tanda tersebut di atas disertai salah
satu atau lebih dari tanda komplikasi medis berikut: a. Anoreksia b. Pneumonia berat c.
Anemia berat d. Dehidrasi berat e. Demam sangat tinggi f. Penurunan kesadaran

10. Terapi atau Tindakan Penanganan


Penatalaksanaan balita dengan malnutrisi dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut ini
(Liansyah, 2015):
a. Mencegah dan mengatasi hipoglikemi: Hipoglikemi terjadi apabila kadar gula darah < 54
mg/dl atau ditandai lemah, kejang, suhu tubuh sangat rendah, kesadaran menurun, keluar
keringat
b. dingin dan pucat. Dapat diterapi dengan memberikan segera cairan gula 50 ml dekstrosa 10%
atau gula 1 sendok teh dicampurkan ke air 3,5 sendok makan, penderita diberi makan tiap 2
jam, antibotik, jika penderita tidak sadar dapat diberikan lewat sonde. Kemudian dilakukan
evaluasi setelah 30 menit, jika masih dijumpai tanda-tanda hipoglikemi maka pemberian
cairan gula tersebut diulangi (Liansyah, 2015).
c. Mencegah dan mengatasi hipotermi: Dikatakan hipotermi jika suhu tubuh anak < 35oC.
Dapat ditatalaksana dengan ruang anak harus hangat, tidak ada lubang angin, sering diberi
makan, anak diberi pakaian, tutup kepala, sarung tangan dan kaos kaki, anak dihangatkan
dalam dekapan ibunya (metode kanguru), cepat diganti jika popok basah. Dilakukan
pengukuran suhu rectal tiap 2 jam sampai suhu > 36,5oC, pastikan anak memakai pakaian,
tutup kepala dan kaos kaki (Liansyah, 2015).
d. Mencegah dan mengatasi dehidrasi: Pengelolaannya diberikan cairan Resomal
(Rehydration Solution for Malnutrition) 70-100 ml/kgBB dalam 12 jam atau mulai dengan 5
ml/kgBB setiap 30 menit secara oral dalam 2 jam pertama. Selanjutnya 5-10 ml/kgBB untuk
4-10 jam berikutnya, jumlahnya disesuaikan seberapa banyak anak mau, feses yang keluar
dan muntah. Penggantian jumlah Resomal pada jam 4,6,8,10 dengan F75 jika rehidrasi masih
dilanjutkan pada saat itu. Monitoring tanda vital, diuresis, frekuensi berak dan muntah,
pemberian cairan dievaluasi jika kecepatan pernafasan dan nadi menjadi cepat, tekanan vena
jugularis meningkat, atau jika anak dengan oedem maka oedemnya bertambah (Liansyah,
2015).
e. Koreksi gangguan elektrolit: Berikan ekstra Kalium 150-300mg/kgBB/hari, ekstra Mg 0,4-
0,6 mmol/kgBB/hari dan rehidrasi cairan rendah garam (Resomal) (Liansyah, 2015).
f. Mencegah dan mengatasi infeksi: Jika tidak ada komplikasi maka dapat diberikan
kotrimoksazol selama 5 hari, namun bila ada komplikasi dapat diberikan amoksisilin 15
mg/kgBB tiap 8 jam selama 5 hari. Dan hendaknya dilakukan monitoring terhadap komplikasi
infeksi seperti hipoglikemia atau hipotermi (Liansyah, 2015).
g. Mulai pemberian makanan: Segera setelah dirawat, untuk mencegah hipoglikemi, hipotermi
dan mencukupi kebutuhan energi dan protein. Prinsip pemberian makanan fase stabilisasi
yaitu porsi kecil, sering, secara oral atau sonde, energy 100 kkal/kgBB/hari, protein 1-1,5
g/kgBB/hari, cairan 130 ml/kgBB/hari untuk penderita marasmus, marasmik kwashiorkor atau
kwashiorkor dengan edem derajat 1,2, jika derajat 3 berikan cairan 100 ml/kgBB/hari
(Liansyah, 2015).
h. Koreksi kekurangan zat gizi mikro: Berikan setiap hari minimal 2 minggu suplemen
multivitamin, asam folat (5mg hari 1, selanjutnya 1 mg), zinc 2 mg/kgBB/hari, cooper 0,3
mg/kgBB/hari, besi 1-3 Fe elemental/kgBB/hari sesudah 2 minggu perawatan, vitamin A hari
1 (<6 bulan 50.000 IU, 6-12 bulan 100.000 IU, >1 tahun 200.000 IU) (Liansyah, 2015).
i. Memberikan makanan untuk tumbuh kejar: Satu minggu perawatan fase rehabilitasi,
berikan F100 yang mengandung 100 kkal dan 2,9 g protein/100ml, modifikasi makanan
keluarga dengan energi dan protein sebanding, porsi kecil, sering dan padat gizi, cukup
minyak dan protein (Liansyah, 2015).
j. Memberikan stimulasi untuk tumbuh kembang: Mainan digunakan sebagai stimulasi,
macamnya tergantung kondisi, umur dan perkembangan anak sebelumnya. Diharapkan dapat
terjadi stimulasi psikologis, baik mental, motorik dan kognitif (Liansyah, 2015).
k. Mempersiapkan untuk tindak lanjut di rumah: Setelah BB/PB mencapai -1SD dikatakan
sembuh, tunjukkan kepada orang tua frekuensi dan jumlah makanan, berikan terapi bermain
anak, pastikan pemberian imunisasi boster dan vitamin A pada anak setiap enam bulan
(Liansyah, 2015).

Depkes (2011) menyatakan bahwa terdapat tiga fase dalam proses pengobatan gizi buruk baik
kwashiorkor, marasmus, maupun marasmik-kwashiorkor yaitu fase stabilisasi, fase transisi, dan
fase rehabilitasi. Terdapat 10 langkah tatalaksana gizi buruk yaitu mencegah hipoglikemia,
mencegah hipotermia, mencegah dehidrasi, memperbaiki keseimbangan elektrolit, mencegah
infeksi, memperbaiki zat gizi mikro, memulai pemberian makanan, memfasilitasi tumbuh
kejar/peningkatan pemberian makanan, memberikan stimulasi, dan merencanakan tindak lanjut.
Pada penulisan ini akan dijelaskan mengenai tatalaksana memfasilitasi tumbuh kembang. Pada
masa transisi dan rehabilitasi, dibutuhkan berbagai pendekatan agar tercapai masukan makanan
yang tinggi dan pertambahan berat badan > 50 gr/minggu. Cara yang dilakukan adalah dengan
pemberian diet formula 75 dan 100. Pada awal fase ini ditandai dengan meningkatnya selera
makan, biasanya 1-2 minggu setelah dirawar. Peralihan secara perlahan dianjurkan untuk
menghindari risiko gagal jantung dan intoleransi saluran cerna yang dapat terjadi bila anak
mengonsumsi makanan dalam jumlah banyak secara mendadak.

a. Pengertian diet formula 75 dan 100


Menurut Depkes (2011), formula 75 yaitu makanan cair yang mengandung 25 gram susu bubuk
skim, 100 gram gula pasir, 30 gram minyak sayur, dan 20 ml larutan elektrolit dalam larutan
1000 ml. Formula 100 yaitu makanan cair yang mengandung 85 gram susu bubuk skim, 50 gram
gula pasir, 60 gram minyak sayur, dan 20 ml larutan elektrolit dalam larutan 1000 ml dan
mengandung energi 100 kkal setiap 100 ml. Formula ini dapat diberikan kepada anak balita yang
sangat kurus dan diberikan secara bertahap.
b. Pengertian pregestimil
Berdasarkan Enfamil (2013), pregestimil didesain untuk bayi yang mengalami malabsorpsi
lemak dan sensitif terhadap protein. Pada kasus malabsorpsi kronik pregestimil diberikan sebagai
pengganti susu pada diet anak. Pregestimil juga bersifat hipoalergen dan bebas laktosa. Setiap
8.9 gram susu (1 sendok takar) mengandung 45 kkal, 1.25 gram protein, 2.5 gram lemak, dan 4.5
gram karbohidrat.
Tabel 2.2 Tatalaksana Gizi Buruk
FASE STABILISASI TRANSISI REHABILITASI
Hari ke 1-2 Hari ke 2-7 Minggu ke-2 Minggu 3-7
Hipoglikemia
Hipotermia
Dehidrasi
Elektrolite
Infeksi
Memulai Pemberian
makanan
Tumbuh kejar
(Meningkatkan Pemberian
Makanan)
Mikronutrien Tanpa Fe Tanpa Fe
Stimulasi
Tindak lanjut
Sumber: Depkes RI (2011)

B. Konsep Dasar Asuhan Keperawatan


1. Pengkajian

Identitas
Nama, jenis kelamin, umur, pendidikan, pekerjaan, status, agama, alamat.

Riwayat Keperawatan Dahulu


Pada umumnya anak masuk rumah sakit dengan keluhan gangguan pertumbuhan (berat badan
semakin lama semakin turun), bengkak pada tungkai, sering diare dan keluhan lain yang
menunjukkan terjadinya gangguan kekurangan gizi.

Riwayat Keperawatan Sekarang


Meliputi pengkajian riwayat prenatal, natal dan post natal, hospitalisasi dan pembedahan yang
pernah dialami, alergi, pola kebiasaan, tumbuh-kembang, imunisasi, status gizi (lebih, baik,
kurang, buruk), psikososial, psikoseksual, interaksi dan lain-lain. Data fokus yang perlu dikaji
dalam hal ini adalah riwayat pemenuhan kebutuhan nutrisi anak (riwayat kekurangan protein dan
kalori dalam waktu relatif lama).

Riwayat Kesehatan Keluarga


Meliputi pengkajian pengkajian komposisi keluarga, lingkungan rumah dan komunitas,
pendidikan dan pekerjaan anggota keluarga, fungsi dan hubungan angota keluarga, kultur dan
kepercayaan, perilaku yang dapat mempengaruhi kesehatan, persepsi keluarga tentang penyakit
pasien dan lain-lain.
Pemeriksaan Fisik
TB : biasanya normal, BB : mengalami penurunan, L. Kepala: mengalami penurunan, L.
Lengan: mengalami penurunan, Telinga: simetris kiri dan kanan, Hidung: simetris kiri dan
kanan, Mulut: mukosa kering, Leher: tidak ada pembengkakan kelenjar thyroid, Dada: iga
terlihat jelas, Paru: simetris kiri dan kanan, Abdomen: turgor buruk dan Genital: normal, tidak
ada kelainan.
Meliputi pengkajian pengkajian komposisi keluarga, lingkungan rumah dan komunitas,
pendidikan dan pekerjaan anggota keluarga, fungsi dan hubungan angota keluarga, kultur dan
kepercayaan, perilaku yang dapat mempengaruhi kesehatan, persepsi keluarga tentang penyakit
pasien dan lain-lain.Pengkajian secara umum dilakukan dengan metode head to toe yang
meliputi: keadaan umum dan status kesadaran, tanda-tanda vital, area kepala dan wajah, dada,
abdomen, ekstremitas dan genito-urinaria.
Fokus pengkajian pada anak dengan Marasmik-Kwashiorkor adalah pengukuran antropometri
(berat badan, tinggi badan, lingkaran lengan atas dan tebal lipatan kulit).Tanda dan gejala yang
mungkin didapatkan adalah: Penurunan ukuran antropometri, Perubahan rambut (defigmentasi,
kusam, kering, halus, jarang dan mudah dicabut), Gambaran wajah seperti orang tua (kehilangan
lemak pipi), edema palpebra, Tanda-tanda gangguan sistem pernapasan (batuk, sesak, ronchi,
retraksi otot intercostal), Perut tampak buncit, hati teraba membesar, bising usus dapat
meningkat bila terjadi diare, Edema tungkai, Kulit kering, hiperpigmentasi, bersisik dan adanya
crazy pavement dermatosis terutama pada bagian tubuh yang sering tertekan (bokong, fosa
popliteal, lulut, ruas jari kaki, paha dan lipat paha)

Pemeriksaan Penunjang
Pada pemeriksaan laboratorium, anemia selalu ditemukan terutama jenis normositik normokrom
karena adanya gangguan sistem eritropoesis akibat hipoplasia kronis sum-sum tulang di samping
karena asupan zat besi yang kurang dalam makanan, kerusakan hati dan gangguan absorbsi.
Selain itu dapat ditemukan kadar albumin serum yang menurun. Pemeriksaan radiologis juga
perlu dilakukan untuk menemukan adanya kelainan pada paru. Pemeriksaan laboratorium :
albumin, kreatinin, nitrogen, elektrolit, Hb, Ht, transferin.
2. Diagnosa Keperawatan yang Muncul
1. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan faktor
biologi (gizi buruk dan HIV/AIDS) ditandai dengan kurang intake makanan.
2. Hipertermia berhubungan dengan penyakit gizi buruk dan HIV/AIDS ditandai dengan
peningkatan suhu diatas rentang normal (36,5-37,5 derajat celsius)
3. Ketidakefektifan perlindungan berhubungan dengan penurunan imunitas (karena virus
HIV menyerang CD4+) ditandai dengan riwayat batuk yang sering kambuh.
4. Keterlambatan tumbuh kembang berhubungan dengan efek keetunadayaan fisik karena
penyakit ditandai dengan lesu tidak bersemangat dan tidak mampu memenuhi tugaas
perkembangan berdasarkan DDST.
5. Gangguan Pertukaran Gas berhubungan perubahan membran aveolar-kapiler ditandai
dengan Gas Darah Arteri abnormal, PH artery abnormal, sianosis,nafas cuping hidung,
dan gelisah (rewel).

3. Rencana Keperawatan
Terlampir
DAFTAR PUSTAKA

Departemen Kesehatan RI. (2011). Pedoman pelayanan gizi buruk. Jakarta: Departemen
Kesehatan RI.

Dewi RK, & Budiantara IN.( 2012).Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Angka Gizi Buruk Di
Jawa Timur dengan Pendekatan Regresi Nonparametrik Spline. Jurnal Sains Dan Seni
ITS, 1(1):177-182.

Docthwrman & Joanne M., (2008). Nursing Interventions Classification. Elsevier inc. : St Louis,
Mossouri.

Herdmad, T. et al. (2015). Diagnosis Keperawatan: Definisi & Klasifikasi Edisi 10. EGC:
Jakarta:

Liansyah, T., M. (2015). Malnutrisi Pada Anak Balita. Portal Garuda, (3)1, 23-30.

Moorhead, S. et al. (2008). Nursing Outcomes Classification. Elsevier inc. : Mosby Elsevier.

Rabinowitz S.S., Gehri M., Stettler N., & Di Paolo E.R. (2009). Marasmus. eMedicine from
WebMD [serial online]. Available at : http://emedicine.medscape.com/article/984496-
overview.

Sulistiyawati. (2011). Tesis: Pengaruh pemberian diet formula 75 dan 100 terhadap berat badan
balita gizi buruk rawat jalan di wilayah kerja puskesmas Pancoran Mas Kota Depok.
Depok: Universitas Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai