Oleh :
2. Epidemiologi
Kejadian gizi buruk perlu dideteksi secara dini melalui intensifikasi pemantauan pertumbuhan
dan identifikasi faktor risiko yang erat dengan kejadian luar biasa gizi seperti campak dan diare
melalui kegiatan surveilans. Prevalensi balita yang mengalami gizi buruk di Indonesia masih
tinggi. Hasil Riskesdas menunjukkan adanya peningkatan prevalensi balita gizi kurang dan buruk
secara nasional, prevalensi gizi buruk dan kurang pada tahun 2013 adalah 19,6 persen, terdiri
dari 5,7 persen gizi buruk dan 13,9 persen gizi kurang. Jika dibandingkan dengan angka
prevalensi nasional tahun 2007 (18,4 %) dan tahun 2010 (17,9 %) terlihat meningkat. Perubahan
terutama pada prevalensi gizi buruk yaitu dari 5,4 persen tahun 2007, 4,9 persen pada tahun
2010, dan 5,7 persen tahun 2013. Sedangkan prevalensi gizi kurang naik sebesar 0,9 persen dari
2007 ke tahun 2013 (Liansyah, 2015).
5. Manifestasi Klinis
Menurut Rabinowitz, Gehri, Stettler, dan Di Paolo (2009) dijelaskan behwa manifestasi klinis
gizi buruk berdasarkan tipenya:
1. Kwashiorkor, ditandai dengan : edema, yang dapat terjadi di seluruh tubuh, wajah sembab
dan membulat, mata sayu, rambut tipis, kemerahan seperti rambut jagung, mudah dicabut
dan rontok, cengeng, rewel dan apatis, pembesaran hati, otot mengecil (hipotrofi), bercak
merah ke coklatan di kulit dan mudah terkelupas (crazy pavement dermatosis), sering disertai
penyakit infeksi terutama akut, diare dan anemia.
2. Marasmus, ditandai dengan: sangat kurus, tampak tulang terbungkus kulit, wajah seperti
orang tua, cengeng dan rewel, kulit keriput, jaringan lemak sumkutan minimal/tidak ada,
perut cekung, iga gambang, sering disertai penyakit infeksi dan diare.
3. Marasmus kwashiorkor, campuran gejala klinis kwashiorkor dan marasmus.
6. Klasifikasi
Klasifikasi pada anak dengan gizi buruk dapat dibedakan menjadi dengan tiga diantaranya;
a. Marasmus
Marasmus terjadi karena malnutrisi baik kalori dan protein. Ini biasa terjadi pada negara yang
belum berkembang pada masa kekeringan, terutama pada kebudayaan dimana orang dewasa
didahulukan untuk makan sehingga makanan yang tersisa tidak mencukupi baik secara kuantitas
dan kualitas untuk anak-anak. Marasmus biasanya merupakan sindrom dari deprivasi fisik dan
emosi. Hal ini dapat dilihat pada anak dengan gagal tumbuh dimana penyebabnya tidak hanya
nutrisi namun terutama emosional. Marasmus juga dapat terjadi pada bayi usia tiga bulan jika
pemberian ASI tidak berhasil dan tidak ada alternatif yang tersedia (Sari, 2013).
Marasmus dikarakteristikan dengan kehilangan bertahap dan atropi pada jaringan tubuh,
terutama lemak subkutan. Anak akan tampak sangat tua, kulit lembek dan keriput. Metabolisme
lemak lebih sedikit terganggu dibanding kwashiorkor sehingga kekurangan vitamin A minimal
atau tidak ada. Secara umum, manifestasi klinis marasmus sama dengan kwashiorkor kecuali
pada marasmus tidak ada edema karena hipoalbumin dan retensi natrium, tidak ada dermatosis
karena kurang vitamin, sedikit atau tidak ada depigmentasi pada kulit atau rambut, dan ukuran
kepala lebih kecil dan masa pemulihan setelah pengobatan lebih lambat (Sari,2013).
b. Kwashiorkor
Kwashiorkor berasal dari bahasa Ga (Ghana) yang diartikan sebagai penyakit pada anak yang
lebih tua ketika adiknya lahir, yaitu keadaan kekurangan protein dengan asupan kalori yang
cukup (Sari, 2013). Kwashiorkor adalah hasil dari kekurangan nutrisi dan infeksi atau stress
lingkungan yang saling mempengaruhi. Lumut mycotoxin, aflatoxin, diduga merupakan
penyebab kwashiorkor. Lumut ini ditemukan tumbuh pada tempat penyimpanan padi dan dalam
usus anak-anak dengan kwashiorkor dalam jumlah yang besar. Kurangnya protein baik secara
kuantitas dan kualitas menjadi salah satu penyebab kwashiorkor, namun penyebab utama adalah
infeksi dan respon tubuh terhadap infeksi. Hal ini karena protein penting untuk pertumbuhan dan
perbaikan jaringan sehingga kekurangan protein akan mempengaruhi semua sistem tubuh. Pada
sel yang cepat bertumbuh seperti epitel dan mukosa akan tampak scaly, kering, dan area
depigmentasi. Rambut akan tipis, kering, mudah tercabut. Kehilangan berat badan terjadi
berkaitan dengan edema generalis karena hipoalbuminemia. Total body water meningkat, namun
jumlah kalium tubuh menurun karena retensi sodium, menyebabkan tanda hipokalemia dan
hipernatremia. Kekurangan vitamin A yang berat dapat menyebabkan kebutaan permanen. Selain
itu, kekurangan mineral juga merupakan hal yang umum, terutama zat besi, kalsium, fosfat, dan
zink. Kekurangan zink akut merupakan komplikasi KEP dan menyebabkan kemerahan pada
kulit, rambut rontok, gangguan sistem imun dan kerentanan terhadap infeksi, masalah
pencernaan, perubahan perilaku, penyembuhan luka yang lama, dan gangguan pertumbuhan.
Pemberian zink 10mg pada anak dengan diare terbukti dapat menurunkan waktu dan beratnya
diare. Diare (persistent diarrhea malnutrition syndrome) biasanya terjadi karena rendahnya
pertahanan terhadap infeksi dan komplikasi lanjut dari ketidakseimbangan elektrolit. Pada
kwashiorkor metabolisme tubuh minimum dan menjaga suhu tubuh stabil sulit karena
kekurangan lemak subkutan. Anak rewel, apatis, menarik diri, dan sangat lemah. Malnutrisi
kronis pada masa bayi menyebabkan penurunan perkembangan otak dan mempengaruhi
kapasitas mental anak di masa yang akan datang (Sari, 2013).
c. Marasmus-Kwashiorkhor
Marasmus-kwashiorkor merupakan bentuk KEP dimana tanda-tanda klinis yang muncul
adalah perpaduan kwashiorkor dan marasmus. Anak mengalami edema, pertumbuhan pendek,
dan sangat kurus. Hal ini terjadi karena kekurangan nutrisi yang disertai infeksi. Gangguan
cairan dan elektrolit, hipotermia, dan hipoglikemia menunjukkan prognosis yang buruk (Sari,
2013).
7. Pemeriksaan Fisik
Penilaian status gizi dapat dilakukan melalui dua cara yaitu penilaian secara langsung dan tidak
langsung.
A. Penilaian status gizi secara langsung
Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk menilai gizi secara langsung adalah dengan
pengukuran tubuh manusia yang dikenal dengan istilah antropometri (Sulistiyawati, 2011).
Menurut Deritana, Kombong, dan Yuristianti (2000, dalam Sulistiyawati 2011) beberapa macam
antropometri yang digunakan antara lain:
1) Berat Badan (BB): Berat badan memberikan gambaran massa tubuh. Massa tubuh sangat
sensitif terhadap perubahan-perubahan yang mendadak, misalnya karena terserang sakit,
menurunya nafsu makan, atau menurunnya jumlah makanan yang dikonsumsi.
2) Tinggi Badan (TB)/Panjang Badan (PB): menggambarkan keadaan pertumbuhan skeletal.
3) Lingkar Lengan Atas (LLA): mencerminkan jumlah jaringan lemak dan oto.
4) Lingkar Kepala (LK): mencerminkan jumlah lemak dan otot di sekitar kepala.
5) Lingkar Dada (LD): mencerminkan jumlah lemak dan otot di sekitar dada.
6) Lapisan Lemak Bawah Kulit (LLBK): menggambarkan jumlah lemak dan otot di sekitar
bawah kulit.
Pengukuran antropometri dapat menggambarkan tingkat kesehatan dan status nutrisi serta
memprediksi penampakan, kesehatan, dan survival (WHO, 2003 dalam Sulistiyawati, 2011).
Menurut Sulistiyawati (2011), di Indonesia, jenis antropometri yang banyak digunakan adalah
BB dan TB yang disajikan dalam bentuk indeks dan dikaitkan dengan variabel lain, seperti:
1) Berat Badan menurut Umur (BB/U): Berat badan adalah parameter antropometri yang
sangat labil dimana dalam keadaan normal BB berkembang mengikuti pertambahan umur
sedangkan dalam keadaan abnormal BB dapat berkembang cepat atau lambat dari keadaan
normal. Berdasarkan karakteristik ini, maka indeks BB/U lebih menggambarkan status gizi
seseorang pada saat ini.
2) Tinggi Badan/Panjang Badan menurut Umur (TB/U atau PB/U): Tinggi badan
merupakan parameter yang menggambarkan keadaan pertumbuhan skeletal. Pada kondisi
normal, TB tumbuh seiring pertambahan umur. Pertambahan tinggi badan relative kurang
sensitif terhadap kekurangan gizi dalam waktu yang pendek. Pengaruh defisiensi zat gizi
terhadap tinggi badan anak akan nampak dalam waktu yang relatif lama. Oleh karena itu,
indeks TB/U dapat memberikan gambaran status gizi di masa lampau dan lebih erat kaitannya
dengan status sosial ekonomi masyarakat (Supariasa, Bakri, & Fajar, 2002 dalam
Sulistiyawati, 2011).
3) Berat Badan menurut Tinggi Badan (BB/TB): Berat badan memiliki hubungan yang linear
dengan tinggi badan. Indeks BB/TB adalah indikator untuk menilai keadaan status gizi saat
ini (Supariasa, Bakri, & Fajar, 2002 dalam Sulistiyawati, 2011).
Di bawah ini adalah tabel yang menggambarkan kategori dan ambang batas status gizi anak
menurut Depkes (2011).
Tabel 2.1 Kategori Status Gizi Anak
Indeks Kategori Status Gizi Ambang Batas (Z-score)
BB/U Gizi Buruk < -3 SD
anak umur 0-60 bulan Gizi Kurang -3 SD sampai dengan 2 SD
Gizi Baik -2 SD sampai dengan 2 SD
Gizi lebih > 2 SD
PB/U atau TB/U Sangat Pendek < -3 SD
Anak umur 0-60 bulan Pendek -3 SD sampai dengan <-2 SD
Normal -2 SD sampai dengan 2 SD
Tinggi >2 SD
BB/PB atau BB/TB Sangat Kurus < -3 SD
Anak umur 0-60 bulan Kurus -3 SD sampai dengan <-2 SD
Normal -2 SD sampai dengan 2 SD
Gemuk >2 SD
*SD: Standar Deviasi
Selain itu, bila dilihat secara klinis anak dengan gizi buruk tampak sangat kurus dan atau
edema pada kedua punggung kaki sampai seluruh tubuh sedangkan anak dengan gizi kurang
tampak kurus. Sebaliknya anak dengan gizi baik tampak sehat dan anak dengan gizi lebih
tampak gemuk.
B. Penilaian status gizi secara tidak langsung
Penilaian status gizi secara tidak langsung dapat dibagi tiga yaitu survei konsumsi makanan,
statistik vital, dan faktor ekologi (Sulistiyawati, 2011).
a. Survei konsumsi makanan: Survei konsumsi makanan merupakan metode penilaian status gizi
dengan melihat jumlah dan jenis zat gizi yang dikonsumsikan. Survei ini dapat
mengidentifikasi kelebihan dan kekurangan zat gizi.
b. Statistik vital: Pengukuran status gizi dilakukan dengan menganalisis data beberapa statistik
kesehatan seperti angka kematian berdasarkan umur, angka kesakitan dan kematian akibat
penyebab tertentu, dan data lainnya yang berhubungan dengan zat gizi.
c. Faktor ekologi: Jumlah makanan yang tersedia sangat tergantung dari keadaan ekologi seperti
iklim, tanah, irigasi, dan lain-lain. Penggunaan faktor ekologi dianggap sangat penting untuk
mengetahui penyebab malnutrisi di suatu masyarakat sebagai dasar untuk melakukan program
gizi.
8. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Laboratorium WHO merekomendasikan tes laboratorium berikut:
1) Glukosa darah
2) Pemeriksaan Pap darah dengan mikroskop atau pengujian deteksi langsung
3) Hemoglobin
4) PemeriksaanUrine pemeriksaan dan kultur
5) Pemeriksaan tinja dengan mikroskop untuk telur dan parasit
6) Serum albumin
7) Tes HIV (Tes ini harus disertai dengan konseling orang tua anak, dan kerahasiaan harus
dipelihara.)
8) Elektrolit
Menurut Sulistiyawati (2011) menyatakan hasil yang ditemukan pada anak denga gizi buruk:
1) Temuan yang signifikan dalam kwashiorkor meliputi hipoalbuminemia (10-25 g / L),
hypoproteinemia (transferin, asam amino esensial, lipoprotein), dan hipoglikemia.
2) Plasma kortisol dan kadar hormon pertumbuhan yang tinggi, tetapi sekresi insulin dan tingkat
pertumbuhan insulin faktor yang menurun.
3) Persentase cairan tubuh dan air ekstraseluler meningkat. Elektrolit, terutama kalium dan
magnesium, yang habis.
4) Tingkat beberapa enzim (termasuk laktosa) yang menurun, dan tingkat lipid beredar (terutama
kolesterol) yang rendah.
5) Ketonuria terjadi, dan kekurangan energi protein dapat menyebabkan penurunan ekskresi urea
karena asupan protein menurun. Dalam kedua kwashiorkor dan marasmus, anemia defisiensi
besi dan asidosis metabolik yang hadir.
6) Ekskresi hidroksiprolin berkurang, mencerminkan terhambatnya pertumbuhan dan
penyembuhan luka.
7) Kemih meningkat 3-methylhistidine adalah refleksi dari kerusakan otot dan dapat dilihat di
marasmus.
8) Malnutrisi juga menyebabkan imunosupresi, yang dapat menyebabkan hasil negatif palsu
tuberkulin kulit tes dan kegagalan berikutnya untuk secara akurat menilai untuk TB.
9) Biopsi kulit dan analisis rambut dapat dilakukan
Depkes (2011) menyatakan bahwa terdapat tiga fase dalam proses pengobatan gizi buruk baik
kwashiorkor, marasmus, maupun marasmik-kwashiorkor yaitu fase stabilisasi, fase transisi, dan
fase rehabilitasi. Terdapat 10 langkah tatalaksana gizi buruk yaitu mencegah hipoglikemia,
mencegah hipotermia, mencegah dehidrasi, memperbaiki keseimbangan elektrolit, mencegah
infeksi, memperbaiki zat gizi mikro, memulai pemberian makanan, memfasilitasi tumbuh
kejar/peningkatan pemberian makanan, memberikan stimulasi, dan merencanakan tindak lanjut.
Pada penulisan ini akan dijelaskan mengenai tatalaksana memfasilitasi tumbuh kembang. Pada
masa transisi dan rehabilitasi, dibutuhkan berbagai pendekatan agar tercapai masukan makanan
yang tinggi dan pertambahan berat badan > 50 gr/minggu. Cara yang dilakukan adalah dengan
pemberian diet formula 75 dan 100. Pada awal fase ini ditandai dengan meningkatnya selera
makan, biasanya 1-2 minggu setelah dirawar. Peralihan secara perlahan dianjurkan untuk
menghindari risiko gagal jantung dan intoleransi saluran cerna yang dapat terjadi bila anak
mengonsumsi makanan dalam jumlah banyak secara mendadak.
Identitas
Nama, jenis kelamin, umur, pendidikan, pekerjaan, status, agama, alamat.
Pemeriksaan Penunjang
Pada pemeriksaan laboratorium, anemia selalu ditemukan terutama jenis normositik normokrom
karena adanya gangguan sistem eritropoesis akibat hipoplasia kronis sum-sum tulang di samping
karena asupan zat besi yang kurang dalam makanan, kerusakan hati dan gangguan absorbsi.
Selain itu dapat ditemukan kadar albumin serum yang menurun. Pemeriksaan radiologis juga
perlu dilakukan untuk menemukan adanya kelainan pada paru. Pemeriksaan laboratorium :
albumin, kreatinin, nitrogen, elektrolit, Hb, Ht, transferin.
2. Diagnosa Keperawatan yang Muncul
1. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan faktor
biologi (gizi buruk dan HIV/AIDS) ditandai dengan kurang intake makanan.
2. Hipertermia berhubungan dengan penyakit gizi buruk dan HIV/AIDS ditandai dengan
peningkatan suhu diatas rentang normal (36,5-37,5 derajat celsius)
3. Ketidakefektifan perlindungan berhubungan dengan penurunan imunitas (karena virus
HIV menyerang CD4+) ditandai dengan riwayat batuk yang sering kambuh.
4. Keterlambatan tumbuh kembang berhubungan dengan efek keetunadayaan fisik karena
penyakit ditandai dengan lesu tidak bersemangat dan tidak mampu memenuhi tugaas
perkembangan berdasarkan DDST.
5. Gangguan Pertukaran Gas berhubungan perubahan membran aveolar-kapiler ditandai
dengan Gas Darah Arteri abnormal, PH artery abnormal, sianosis,nafas cuping hidung,
dan gelisah (rewel).
3. Rencana Keperawatan
Terlampir
DAFTAR PUSTAKA
Departemen Kesehatan RI. (2011). Pedoman pelayanan gizi buruk. Jakarta: Departemen
Kesehatan RI.
Dewi RK, & Budiantara IN.( 2012).Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Angka Gizi Buruk Di
Jawa Timur dengan Pendekatan Regresi Nonparametrik Spline. Jurnal Sains Dan Seni
ITS, 1(1):177-182.
Docthwrman & Joanne M., (2008). Nursing Interventions Classification. Elsevier inc. : St Louis,
Mossouri.
Herdmad, T. et al. (2015). Diagnosis Keperawatan: Definisi & Klasifikasi Edisi 10. EGC:
Jakarta:
Liansyah, T., M. (2015). Malnutrisi Pada Anak Balita. Portal Garuda, (3)1, 23-30.
Moorhead, S. et al. (2008). Nursing Outcomes Classification. Elsevier inc. : Mosby Elsevier.
Rabinowitz S.S., Gehri M., Stettler N., & Di Paolo E.R. (2009). Marasmus. eMedicine from
WebMD [serial online]. Available at : http://emedicine.medscape.com/article/984496-
overview.
Sulistiyawati. (2011). Tesis: Pengaruh pemberian diet formula 75 dan 100 terhadap berat badan
balita gizi buruk rawat jalan di wilayah kerja puskesmas Pancoran Mas Kota Depok.
Depok: Universitas Indonesia.